Anda di halaman 1dari 401

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 36 TAHUN 2009


TENTANG
KESEHATAN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

1 Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
2 Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan
kesehatan,
sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi
yang
dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh
Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
3 Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan.
4 Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.
5 Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak
mengandung obat
yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan
penyakit,
merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk
struktur dan
memperbaiki fungsi tubuh.
6 Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta
memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
7 Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun
rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
8 Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi,
untuk manusia.
9 Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan,
bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun
temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma
yang
berlaku di masyarakat.
10 Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang ditujukan untuk
membantu menegakkan diagnosa, pencegahan, dan penanganan permasalahan
kesehatan
manusia.
11 Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan
secara
terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan
derajat
kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.
12 Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pelayanan
kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.
13 Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu
masalah
kesehatan/penyakit.
14 Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pengobatan
yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit,
pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat
terjaga
seoptimal mungkin.
15 Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk
mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi
sebagai
anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin
sesuai
dengan kemampuannya.
16 Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara
dan obat
yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang
dapat
17 Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia
yang
memegang kekuasaan Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah
sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.

Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan,
manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan
nondiskriminatif dan norma-norma agama.

Pasal 3
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai
investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 4
Setiap orang berhak atas kesehatan.
www.hukumonline.com
Pasal 5
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidangkesehatan.
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu,
dan terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan
kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

Pasal 6
Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.

Pasal 7
Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan
bertanggung jawab.

Pasal 8
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan
pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.

Bagian Kedua
Kewajiban

Pasal 9
(1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan
perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.
Pasal 10
Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang
sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial.

Pasal 11
Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan
memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pasal 12
Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang
menjadi tanggung jawabnya.

Pasal 13
(1) Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.
(2) Program jaminan kesehatan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

BAB IV
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
Pasal 14
(1) Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan
mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.
(2) Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikhususkan pada
pelayanan publik.

Pasal 15
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik
maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pasal 16
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan
merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pasal 17
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi, dan fasilitas
pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pasal 18
Pemerintah bertanggung jawab memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam segala
bentuk upaya kesehatan.

Pasal 19
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu,
aman, efisien, dan terjangkau.

Pasal 20
www.hukumonline.com
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan
sosial nasional bagi upaya kesehatan perorangan.
(2) Pelaksanaan sistem jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.

BAB V
SUMBER DAYA DI BIDANG KESEHATAN
Bagian Kesatu
Tenaga Kesehatan
Pasal 21
(1) Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga
kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(3) Ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan Undang-Undang.

Pasal 22
(1) Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum.
(2) Ketentuan mengenai kualifikasi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.

Pasal 23
(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.
(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari
pemerintah.
(4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.
(5) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan
Menteri.

Pasal 24
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode
etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
oleh organisasi profesi.
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 25
(1) Pengadaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan diselenggarakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat melalui pendidikan dan/atau pelatihan.
(2) Penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 26
(1) Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk pemerataan pelayanan kesehatan.
(2) Pemerintah daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan
daerahnya.
(3) Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan memperhatikan:
a. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat;
b. jumlah sarana pelayanan kesehatan; dan
c. jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja pelayanan kesehatan yang ada.
(4) Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap
memperhatikan hak tenaga kesehatan dan hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang merata.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan tenaga kesehatan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 27
(1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan
tugas sesuai dengan profesinya.
(2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban mengembangkan dan
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
(3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 28
(1) Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan atas
permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kompetensi dan
kewenangan sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki.
www.hukumonline.com
Pasal 29
Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian
tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.

Bagian Kedua
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pasal 30
(1) Fasilitas pelayanan kesehatan, menurut jenis pelayanannya terdiri atas:
a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan
b. pelayanan kesehatan masyarakat.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pelayanan kesehatan tingkat pertama;
b. pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
c. pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
(3) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pihak
Pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta.
(4) Ketentuan persyaratan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
ditetapkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku.
(5) Ketentuan perizinan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.

Pasal 31
Fasilitas pelayanan kesehatan wajib:
a. memberikan akses yang luas bagi kebutuhan penelitian dan pengembangan di bidang
kesehatan; dan
b. mengirimkan laporan hasil penelitian dan pengembangan kepada pemerintah daerah atau
Menteri.

Pasal 32
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan
pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan
kecacatan terlebih dahulu.
(2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta
dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

Pasal 33ww.hukumonl
(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat harus memiliki
kompetensi manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan.
(2) Kompetensi manajemen kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 34
(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan perseorangan harus memiliki kompetensi
manajemen kesehatan perseorangan yang dibutuhkan.
(2) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki
kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 35
(1) Pemerintah daerah dapat menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta
pemberian izin beroperasi di daerahnya.
(2) Penentuan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dilakukan
oleh pemerintah daerah dengan mempertimbangkan:
a. luas wilayah;
b. kebutuhan kesehatan;
c. jumlah dan persebaran penduduk;
d. pola penyakit;
e. pemanfaatannya;
f. fungsi sosial; dan
g. kemampuan dalam memanfaatkan teknologi.
(3) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin
beroperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga untuk fasilitas pelayanan
kesehatan asing.
(4) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak berlaku untuk jenis rumah sakit khusus karantina, penelitian, dan asilum.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Perbekalan Kesehatan
Pasal 36
(1) Pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan,
terutama obat esensial.
(2) Dalam menjamin ketersediaan obat keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan
khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan obat dan bahan yang berkhasiat obat.

Pasal 37
(1) Pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar kebutuhan dasar masyarakat akan
perbekalan kesehatan terpenuhi.
(2) Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa obat esensial dan alat kesehatan dasar
tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan kemanfaatan, harga, dan faktor yang berkaitan
dengan pemerataan.

Pasal 38
(1) Pemerintah mendorong dan mengarahkan pengembangan perbekalan kesehatan dengan
memanfaatkan potensi nasional yang tersedia.
(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan terutama untuk obat dan
vaksin baru serta bahan alam yang berkhasiat obat.
(3) Pengembangan perbekalan kesehatan dilakukan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup,
termasuk sumber daya alam dan sosial budaya.

Pasal 39
Ketentuan mengenai perbekalan kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 40
(1) Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara esensial harus tersedia bagi
kepentingan masyarakat.
(2) Daftar dan jenis obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau dan disempurnakan paling lama setiap 2
(dua) tahun sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan teknologi.
(3) Pemerintah menjamin agar obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersedia secara merata dan terjangkau
oleh masyarakat.
(4) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan
perbekalan kesehatan.
(5) Ketentuan mengenai keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mengadakan
pengecualian terhadap ketentuan paten sesuai dengan peraturan perundangundangan yang mengatur paten.
(6) Perbekalan kesehatan berupa obat generik yang termasuk dalam daftar obat esensial nasional harus dijamin
ketersediaan dan keterjangkauannya, sehingga penetapan harganya dikendalikan oleh Pemerintah.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perbekalan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 41
(1) Pemerintah daerah berwenang merencanakan kebutuhan perbekalan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
daerahnya.
(2) Kewenangan merencanakan kebutuhan perbekalan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tetap memperhatikan pengaturan dan pembinaan standar pelayanan yang berlaku
secara nasional.

Bagian Keempat
Teknologi dan Produk Teknologi
Pasal 42
(1) Teknologi dan produk teknologi kesehatan diadakan, diteliti, diedarkan, dikembangkan, dan
dimanfaatkan bagi kesehatan masyarakat.
(2) Teknologi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup segala metode dan alat yang
digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit, mendeteksi adanya penyakit,
meringankan penderitaan akibat penyakit, menyembuhkan, memperkecil komplikasi, dan
memulihkan kesehatan setelah sakit.
(3) Ketentuan mengenai teknologi dan produk teknologi kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memenuhi standar yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 43
(1) Pemerintah membentuk lembaga yang bertugas dan berwenang melakukan penapisan,
pengaturan, pemanfaatan, serta pengawasan terhadap penggunaan teknologi dan produk
teknologi.
(2) Pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 44
(1) Dalam mengembangkan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dapat dilakukan uji coba teknologi
atau produk teknologi terhadap manusia atau hewan.
(2) Uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan jaminan tidak merugikan
manusia yang dijadikan uji coba.
(3) Uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh orang yang berwenang dan
dengan persetujuan orang yang dijadikan uji coba.
(4) Penelitian terhadap hewan harus dijamin untuk melindungi kelestarian hewan tersebut serta
mencegah dampak buruk yang tidak langsung bagi kesehatan manusia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji coba terhadap manusia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 45
(1) Setiap orang dilarang mengembangkan teknologi dan/atau produk teknologi yang dapat
berpengaruh dan membawa risiko buruk terhadap kesehatan masyarakat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat
www.h(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
UPAYA KESEHATAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 46
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan
upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan
upaya kesehatan masyarakat.

Pasal 47
Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan.

Pasal 48
(1) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan
melalui kegiatan:
a. pelayanan kesehatan;
b. pelayanan kesehatan tradisional;
c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;
e. kesehatan reproduksi;
f. keluarga berencana;
g. kesehatan sekolah;
h. kesehatan olahraga;
i. pelayanan kesehatan pada bencana;
j. pelayanan darah;
k. kesehatan gigi dan mulut;
l. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran;
m. kesehatan matra;
n. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan;
o. pengamanan makanan dan minuman;
p. pengamanan zat adiktif; dan/atau
q. bedah mayat.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh
sumber daya kesehatan.

Pasal 49
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan
upaya kesehatan.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai, dan norma agama, sosial
budaya, moral, dan etika profesi.

Pasal 50
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab meningkatkan dan mengembangkan
upaya kesehatan.
(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memenuhi
kebutuhan kesehatan dasar masyarakat.
(3) Peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan pengkajian dan penelitian.
(4) Ketentuan mengenai peningkatan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui kerja sama antar-Pemerintah dan antarlintas sektor.

Pasal 51
(1) Upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
bagi individu atau masyarakat.
(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada standar pelayanan
minimal kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Pelayanan Kesehatan
Paragraf Kesatu
Pemberian Pelayanan
Pasal 52
(1) Pelayanan kesehatan terdiri atas:
a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan
b. pelayanan kesehatan masyarakat.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan dengan
pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
www.hukumonline.com
Pasal 53
(1) Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan
perseorangan dan keluarga.
(2) Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat.
(3) Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendahulukan pertolongan
keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya.

Pasal 54
(1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman,
bermutu, serta merata dan nondiskriminatif.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Pasal 55
(1) Pemerintah wajib menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan.
(2) Standar mutu pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Paragraf Kedua
Perlindungan Pasien
Pasal 56
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan
kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat
yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat.
(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 57
(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada
penyelenggara pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku dalam hal:
a. perintah undang-undang;
b. perintah pengadilan;
c. izin yang bersangkutan;
d. kepentingan masyarakat; atau
e. kepentingan orang tersebut.

Pasal 58
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau
penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam
pelayanan kesehatan yang diterimanya.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang
melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Pelayanan Kesehatan Tradisional
Pasal 59
(1) Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi:
a. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan; dan
b. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan.
(2) Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina dan diawasi oleh Pemerintah
agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak
bertentangan dengan norma agama.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis pelayanan kesehatan tradisional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 60
(1) Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan
teknologi harus mendapat izin dari lembaga kesehatan yang berwenang.
(2) Penggunaan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma
agama dan kebudayaan masyarakat.
www.hukumonline.com

Pasal 61
(1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan, meningkatkan dan
menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya.
(2) Pemerintah mengatur dan mengawasi pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan didasarkan pada keamanan, kepentingan, dan perlindungan masyarakat.

Bagian Keempat
Peningkatan Kesehatan dan Pencegahan Penyakit
Pasal 62
(1) Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk mengoptimalkan kesehatan melalui kegiatan
penyuluhan, penyebarluasan informasi, atau kegiatan lain untuk menunjang tercapainya hidup sehat.
(2) Pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk menghindari atau mengurangi risiko, masalah, dan dampak
buruk akibat penyakit.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin dan menyediakan fasilitas untuk kelangsungan
upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit diatur
dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima
Penyembuhan Penyakit dan Pemulihan Kesehatan
Pasal 63
(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk mengembalikan
status kesehatan, mengembalikan fungsi tubuh akibat penyakit dan/atau akibat cacat, atau
menghilangkan cacat.
(2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengendalian, pengobatan,dan/atau
perawatan.
(3) Pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokterandan ilmu
keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan kemanfaatan dan keamanannya.
(4) Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu
keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu.
(5) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan atau berdasarkan cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan.

Pasal 64
(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau
jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel
punca.
(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan.
(3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.

Pasal 65
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan
kesehatan pendonor yang bersangkutan dan mendapat persetujuan pendonor dan/atau ahli
waris atau keluarganya.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau
jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 66
Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya dapat dilakukan apabila
telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya.
Pasal 67
(1) Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 68
(1) Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 69
(1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu.
(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam
www.hmasyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 70
(1) Penggunaan sel punca hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan reproduksi.
(2) Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berasal dari sel punca embrionik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam
Kesehatan Reproduksi
Pasal 71
(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh,
tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi,
dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.
(2) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan;
b. pengaturan kehamilan, alat kontrasepsi, dan kesehatan seksual; dan
c. kesehatan sistem reproduksi.
(3) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui kegiatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Pasal 72
Setiap orang berhak:
a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari
paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah.
b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau
kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai
dengan norma agama.
c. menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak
bertentangan dengan norma agama.
d. memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan
dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 73
Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan
reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana.

Pasal 74
(1) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau
rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat dengan
memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan.
(2) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak
bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau
cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut
hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan
yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali
dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat
yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta
bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketujuh
Keluarga Berencana
Pasal 78
(1) Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan
bagi pasangan usia subur untuk membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas.
(2) Pemerintah bertanggung jawab dan menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat dalam
memberikan pelayanan keluarga berencana yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai pelayanan keluarga berencana dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Bagian Kedelapan
Kesehatan Sekolah
Pasal 79
(1) Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam
lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan
setinggi-tingginya menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.
(2) Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui sekolah
formal dan informal atau melalui lembaga pendidikan lain.
(3) Ketentuan mengenai kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesembilan
Kesehatan Olahraga
Pasal 80
(1) Upaya kesehatan olahraga ditujukan untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani
masyarakat.
(2) Peningkatan derajat kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan upaya dasar dalam meningkatkan prestasi belajar, kerja, dan
olahraga.
(3) Upaya kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui aktivitas fisik, latihan
fisik, dan/atau olahraga.

Pasal 81
(1) Upaya kesehatan olahraga lebih mengutamakan pendekatan preventif dan promotif, tanpa
mengabaikan pendekatan kuratif dan rehabilitatif.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan olahraga diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah aerah, dan
masyarakat.

Bagian Kesepuluh
Pelayanan Kesehatan Pada Bencana
Pasal 82

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas ketersediaan sumber
daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan
berkesinambungan pada bencana.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan kesehatan pada
tanggap darurat dan pascabencana.
(3) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup pelayanan
kegawatdaruratan yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan lebih
lanjut.
(4) Pemerintah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersumber dari anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), atau bantuan
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 83
(1) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana harus ditujukan untuk
penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut, dan kepentingan terbaik bagi pasien.
(2) Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Pasal 84
Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan pada bencana diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 85
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta wajib
memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien dan
pencegahan kecacatan.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka
terlebih dahulu.
Bagian Kesebelas
Pelayanan Darah
www.hukumonline.com
22 / 48
Pasal 86
(1) Pelayanan darah merupakan upaya pelayanan kesehatan yang memanfaatkan darah manusia
sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan komersial.
(2) Darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari pendonor darah sukarela yang sehat
dan memenuhi kriteria seleksi pendonor dengan mengutamakan kesehatan pendonor.
(3) Darah yang diperoleh dari pendonor darah sukarela sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sebelum digunakan untuk pelayanan darah harus dilakukan pemeriksaan laboratorium guna
mencegah penularan penyakit.
Pasal 87
(1) Penyelenggaraan donor darah dan pengolahan darah dilakukan oleh Unit Transfusi Darah.
(2) Unit Transfusi Darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau organisasi sosial yang tugas pokok dan fungsinya di
bidang kepalangmerahan.
Pasal 88
(1) Pelayanan transfusi darah meliputi perencanaan, pengerahan pendonor darah, penyediaan,
pendistribusian darah, dan tindakan medis pemberian darah kepada pasien untuk tujuan
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
(2) Pelaksanaan pelayanan transfusi darah dilakukan dengan menjaga keselamatan dan kesehatan
penerima darah dan tenaga kesehatan dari penularan penyakit melalui transfusi darah.
Pasal 89
Menteri mengatur standar dan persyaratan pengelolaan darah untuk pelayanan transfusi darah.
Pasal 90
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan pelayanan darah yang aman, mudah diakses,
dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
(2) Pemerintah menjamin pembiayaan dalam penyelenggaraan pelayanan darah.
(3) Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Pasal 91
(1) Komponen darah dapat digunakan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan melalui proses pengolahan dan produksi.
(2) Hasil proses pengolahan dan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikendalikan oleh
Pemerintah.
Pasal 92
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan darah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
www.hukumonline.com
Bagian Kedua Belas
Kesehatan Gigi dan Mulut
Pasal 93
(1) Pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat dalam bentuk peningkatan kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi,
pengobatan penyakit gigi, dan pemulihan kesehatan gigi oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan.
(2) Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pelayanan
kesehatan gigi perseorangan, pelayanan kesehatan gigi masyarakat, usaha kesehatan gigi
sekolah.
Pasal 94
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan
obat kesehatan gigi dan mulut dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang
aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat.

Bagian Ketiga Belas


Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Gangguan Pendengaran
Pasal 95
(1) Penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran merupakan semua
kegiatan yang dilakukan meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang
ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan indera penglihatan, dan pendengaran
masyarakat.
(2) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab
bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pasal 96
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan gangguan penglihatan dan pendengaran diatur
dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat Belas


Kesehatan Matra
Pasal 97
(1) Kesehatan matra sebagai bentuk khusus upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam lingkungan matra yang serba berubah maupun
di lingkungan darat, laut, dan udara.
www.hukumonline.com
24 / 48
(2) Kesehatan matra meliputi kesehatan lapangan, kesehatan kelautan dan bawah air, serta
kesehatan kedirgantaraan.
(3) Penyelenggaraan kesehatan matra harus dilaksanakan sesuai dengan standar dan persyaratan.
(4) Ketentuan mengenai keseha
an matra sebagaimana dimaksud dalam pasal ini diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Kelima Belas
Pengamanan dan Penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Pasal 98
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan
terjangkau.
(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan,
mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.
(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan
farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
(4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan,
penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 99
(1) Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta dan sudah terbukti berkhasiat dan
aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau perawatan, serta pemeliharaan
kesehatan tetap harus dijaga kelestariannya.
(2) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi,
mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan sediaan farmasi yang dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
(3) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan sediaan farmasi.
Pasal 100
(1) Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam
pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga
kelestariannya.
(2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat tradisional .
Pasal 101
(1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi,
mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional yang dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
(2) Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan,
dan menggunakan obat tradisional diatur dengan Peraturan Pemerintah.
www.hukumonline.com
Pasal 102
(1) Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan
berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan.
(2) Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 103
(1) Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan narkotika dan
psikotropika wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan, peredaran, serta penggunaan narkotika dan
psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 104
(1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi
masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau khasiat/kemanfaatan.
(2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara rasional.
Pasal 105
(1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat farmakope
Indonesia atau buku standar lainnya.
(2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus
memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan.
Pasal 106
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.
(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan
objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.
(3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran
sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti
tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan
dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 107
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 108
(1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep
dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

Bagian Keenam Belas


Pengamanan Makanan dan Minuman
Pasal 109
Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi, mengolah, serta mendistribusikan makanan
dan minuman yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil teknologi rekayasa genetik
yang diedarkan harus menjamin agar aman bagi manusia, hewan yang dimakan manusia, dan
lingkungan.
Pasal 110
Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi dan mempromosikan produk makanan dan
minuman dan/atau yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil olahan teknologi dilarang
menggunakan kata-kata yang mengecoh dan/atau yang disertai klaim yang tidak dapat dibuktikan
kebenarannya.
Pasal 111
(1) Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar
dan/atau persyaratan kesehatan.
(2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi:
a. Nama produk;
b. Daftar bahan yang digunakan;
c. Berat bersih atau isi bersih;
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan makanan dan minuman
kedalam wilayah Indonesia; dan
e. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa.
(4) Pemberian tanda atau label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara benar
dan akurat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian label sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar, persyaratan kesehatan,
dan/atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk
diedarkan, ditarik dari
peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 112
Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab mengatur dan mengawasi produksi, pengolahan,
pendistribusian makanan, dan minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109, Pasal 110, dan
Pasal 111.

Bagian Ketujuh Belas


Pengamanan Zat Adiktif
Pasal 113
(1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak
mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan
lingkungan.
(2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung
tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan
kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.
(3) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi
standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan.
Pasal 114
Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan
peringatan kesehatan.
Pasal 115
(1) Kawasan tanpa rokok antara lain:
a. fasilitas pelayanan kesehatan;
b. tempat proses belajar mengajar;
c. tempat anak bermain;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
f. tempat kerja; dan
g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
(2) Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya.
Pasal 116
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan Belas


Bedah Mayat
Pasal 117
Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung sirkulasi dan sistem pernafasan terbukti telah
berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan.
Pasal 118
(1) Mayat yang tidak dikenal harus dilakukan upaya identifikasi.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas upaya identifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya identifikasi mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 119
(1) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan dapat dilakukan bedah
mayat klinis di rumah sakit.
(2) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menegakkan
diagnosis dan/atau menyimpulkan penyebab kematian.
(3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan tertulis
pasien semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarga terdekat pasien.
(4) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang membahayakan masyarakat dan
bedah mayat klinis mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau penyebab
kematiannya, tidak diperlukan persetujuan.
Pasal 120
(1) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu kedokteran dan biomedik dapat dilakukan bedah
mayat anatomis di rumah sakit pendidikan atau di institusi pendidikan kedokteran.
(2) Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap
mayat yang tidak dikenal atau mayat yang tidak diurus oleh keluarganya, atas persetujuan
tertulis orang tersebut semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarganya.
(3) Mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah diawetkan, dipublikasikan untuk
dicarikan keluarganya, dan disimpan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sejak kematiannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 121
(1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh dokter sesuai
dengan keahlian dan kewenangannya.
(2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis ditemukan
adanya dugaan tindak pidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan kepada penyidik sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 122
(1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli forensik,
atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan ke tempat yang ada
dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas tersedianya pelayanan bedah
mayat forensik di wilayahnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bedah mayat forensik diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 123
(1) Pada tubuh yang telah terbukti mati batang otak dapat dilakukan tindakan pemanfaatan organ
sebagai donor untuk kepentingan transplantasi organ.
(2) Tindakan pemanfaatan organ donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan kematian dan pemanfaatan organ donor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 124
Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan sesuai dengan norma agama, norma
kesusilaan, dan etika profesi.
Pasal 125
Biaya pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau pemeriksaan mayat untuk
kepentingan hukum ditanggung oleh pemerintah melalui APBN dan APBD.

BAB VII
KESEHATAN IBU, BAYI, ANAK, REMAJA, LANJUT USIA, DAN PENYANDANG CACAT
Bagian Kesatu
Kesehatan ibu, bayi, dan anak
Pasal 126
(1) Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu
melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu.
(2) Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif.
(3) Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan obat dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan ibu secara aman, bermutu, dan terjangkau.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 127
(1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang
sah dengan ketentuan:
a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam
rahim istri dari mana ovum berasal;
b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
dan
c. pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara alamiah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 128
(1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan,
kecuali atas indikasi medis.
(2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas
khusus.
(3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan
tempat sarana umum.
Pasal 129
(1) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam rangka menjamin hak bayi untuk
mendapatkan air susu ibu secara eksklusif.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 130
Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak.
Pasal 131
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk mempersiapkan generasi
yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian
bayi dan anak.
(2) Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan,
setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi orang tua, keluarga, masyarakat, dan
Pemerintah, dan pemerintah daerah.
Pasal 132
(1) Anak yang dilahirkan wajib dibesarkan dan diasuh secara bertanggung jawab sehingga
memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal.
(2) Ketentuan mengenai anak yang dilahirkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk
mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis imunisasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 133
(1) Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi dan tindak
kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban untuk menjamin
terselenggaranya perlindungan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 134
(1) Pemerintah berkewajiban menetapkan standar dan/atau kriteria terhadap kesehatan bayi dan
anak serta menjamin pelaksanaannya dan memudahkan setiap penyelenggaraan terhadap
standar dan kriteria tersebut.
(2) Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai agama, dan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 135
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib menyediakan tempat dan sarana lain
yang diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara
optimal serta mampu bersosialisasi secara sehat.
(2) Tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilengkapi sarana perlindungan terhadap risiko kesehatan agar tidak membahayakan kesehatan anak.

Bagian Kedua
Kesehatan Remaja
Pasal 136
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja harus ditujukan untuk mempersiapkan menjadi orang
dewasa yang sehat dan produktif, baik sosial maupun ekonomi.
(2) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk untuk
reproduksi remaja dilakukan agar terbebas dari berbagai gangguan kesehatan yang dapat
menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara sehat.
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pasal 137
(1) Pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat memperoleh edukasi, informasi, dan
layanan mengenai kesehatan remaja agar mampu hidup sehat dan bertanggung jawab.
(2) Ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah dalam menjamin agar remaja memperoleh edukasi,
informasi dan layanan mengenai kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan pertimbangan moral nilai agama dan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Kesehatan Lanjut Usia dan Penyandang Cacat
Pasal 138
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup
sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi
kelompok lanjut usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis.
Pasal 139
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap
hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat.
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi
penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis.
Pasal 140
Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia dan penyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 138 dan Pasal 139 dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

BAB VIII
GIZI
Pasal 141
(1) Upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk peningkatan mutu gizi perseorangan dan
masyarakat.
(2) Peningkatan mutu gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui :
a. perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang;
b. perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan kesehatan;
c. peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan
teknologi; dan
d. peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat bersama-sama menjamin tersedianya
bahan makanan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi secara merata dan terjangkau.
(4) Pemerintah berkewajiban menjaga agar bahan makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memenuhi standar mutu gizi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Penyediaan bahan makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara lintas
sektor dan antarprovinsi, antarkabupaten atau antarkota.
Pasal 142
(1) Upaya perbaikan gizi dilakukan pada seluruh siklus kehidupan sejak dalam kandungan sampai
dengan lanjut usia dengan prioritas kepada kelompok rawan:
a. bayi dan balita;
b. remaja perempuan; dan
c. ibu hamil dan menyusui.
(2) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan standar angka kecukupan gizi, standar pelayanan
gizi, dan standar tenaga gizi pada berbagai tingkat pelayanan.
(3) Pemerintah bertanggung jawab atas pemenuhan kecukupan gizi pada keluarga miskin dan
dalam situasi darurat.
(4) Pemerintah bertanggung jawab terhadap pendidikan dan informasi yang benar tentang gizi
kepada masyarakat.
(5) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan upaya untuk mencapai status gizi
yang baik.
Pasal 143
Pemerintah bertanggung jawab meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan
pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi.

BAB IX
KESEHATAN JIWA
Pasal 144
(1) Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan
kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat
mengganggu kesehatan jiwa.
(2) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas preventif, promotif,
kuratif, rehabilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah psikososial.
(3) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab bersama
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
(4) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab menciptakan kondisi
kesehatan jiwa yang setinggi-tingginya dan menjamin ketersediaan, aksesibilitas, mutu dan
pemerataan upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (2).
(5) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk mengembangkan upaya kesehatan jiwa
berbasis masyarakat sebagai bagian dari upaya kesehatan jiwa keseluruhan, termasuk
mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa.
Pasal 145
Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin upaya kesehatan jiwa secara preventif,
promotif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk menjamin upaya kesehatan jiwa di tempat kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (3).

Pasal 146
(1) Masyarakat berhak mendapatkan informasi dan edukasi yang benar mengenai kesehatan jiwa.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menghindari pelanggaran hak asasi
seseorang yang dianggap mengalami gangguan kesehatan jiwa.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban menyediakan layanan informasi dan edukasi
tentang kesehatan jiwa.
Pasal 147
(1) Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggung jawab
Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
(2) Upaya penyembuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang berwenang dan di tempat yang tepat dengan tetap menghormati hak asasi penderita.
(3) Untuk merawat penderita gangguan kesehatan jiwa, digunakan fasilitas pelayanan kesehatan
khusus yang memenuhi syarat dan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 148
(1) Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi persamaan perlakuan dalam setiap aspek
kehidupan, kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain.
Pasal 149
(1) Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya
dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib
mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan
di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang,
mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban
dan/atau keamanan umum.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pemerataan penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat.
(4) Tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat
miskin.
Pasal 150
(1) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum (visum et repertum
psikiatricum) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa pada fasilitas
pelayanan kesehatan.
(2) Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami gangguan kesehatan
jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi sesuai dengan standar
profesi.
Pasal 151
Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya kesehatan jiwa diatur dengan Peraturan Pemerintah

.
BAB X
PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR
Bagian Kesatu
Penyakit Menular
Pasal 152
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab melakukan upaya
pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular serta akibat yang
ditimbulkannya.
(2) Upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk melindungi masyarakat dari tertularnya penyakit,
menurunkan jumlah yang sakit, cacat dan/atau meninggal dunia, serta untuk mengurangi
dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit menular.
(3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit menular sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi individu
atau masyarakat.
(4) Pengendalian sumber penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
terhadap lingkungan dan/atau orang dan sumber penularan lainnya.
(5) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan harus berbasis wilayah.
(6) Pelaksanaan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui lintas sektor.
(7) Dalam melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat
melakukan kerja sama dengan negara lain.
(8) Upaya pencegahan pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 153
Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, efektif, terjangkau, dan
merata bagi masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit menular melalui imunisasi.
Pasal 154
(1) Pemerintah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit
yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan
daerah yang dapat menjadi sumber penularan.
(2) Pemerintah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit menular sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat
melakukan kerja sama dengan masyarakat dan negara lain.
(4) Pemerintah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama
karantina.
Pasal 155
(1) Pemerintah daerah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran
penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta
menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan.
(2) Pemerintah daerah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah daerah
dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat.
(4) Pemerintah daerah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina,
dan lama karantina.
(5) Pemerintah daerah dalam menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang
berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu singkat dan pelaksanaan surveilans serta
menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina
berpedoman pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 156
(1) Dalam melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1), Pemerintah dapat menyatakan wilayah dalam
keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa (KLB).
(2) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa (KLB)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang diakui
keakuratannya.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan upaya penanggulangan keadaan
wabah, letusan, atau kejadian luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa dan upaya
penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 157
(1) Pencegahan penularan penyakit menular wajib dilakukan oleh masyarakat termasuk penderita
penyakit menular melalui perilaku hidup bersih dan sehat.
(2) Dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit menular, tenaga kesehatan yang berwenang
dapat memeriksa tempat-tempat yang dicurigai berkembangnya vektor dan sumber penyakit
lain.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Penyakit Tidak Menular
Pasal 158
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat melakukan upaya pencegahan, pengendalian,
dan penanganan penyakit tidak menular beserta akibat yang ditimbulkannya.
(2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran,
kemauan berperilaku sehat dan mencegah terjadinya penyakit tidak menular beserta akibat
yang ditimbulkan.
(3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit tidak menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
bagi individu atau masyarakat.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 159
(1) Pengendalian penyakit tidak menular dilakukan dengan pendekatan surveilan faktor risiko,
registri penyakit, dan surveilan kematian.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan memperoleh informasi yang esensial
serta dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam upaya pengendalian penyakit tidak
menular.
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kerja sama lintas sektor dan
dengan membentuk jejaring, baik nasional maupun internasional.
Pasal 160
(1) Pemerintah, pemerintah daerah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk melakukan
komunikasi, informasi, dan edukasi yang benar tentang faktor risiko penyakit tidak menular yang
mencakup seluruh fase kehidupan.
(2) Faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi diet tidak seimbang,
kurang aktivitas fisik, merokok, mengkonsumsi alkohol, dan perilaku berlalu lintas yang tidak
benar.
Pasal 161
(1) Manajemen pelayanan kesehatan penyakit tidak menular meliputi keseluruhan spektrum
pelayanan baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
(2) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola secara profesional
sehingga pelayanan kesehatan penyakit tidak menular tersedia, dapat diterima, mudah dicapai,
berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.
(3) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dititikberatkan pada deteksi dini
dan pengobatan penyakit tidak menular.

BAB XI
KESEHATAN LINGKUNGAN
Pasal 162
Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik,
kimia, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.
Pasal 163
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat
dan tidak mempunyai risiko buruk bagi kesehatan.
(2) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup lingkungan permukiman,
tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum.
(3) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bebas dari unsur-unsur yang
menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain:
a. limbah cair;
b. limbah padat;
c. limbah gas;
d. sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pemerintah;
e. binatang pembawa penyakit;
f. zat kimia yang berbahaya;
g. kebisingan yang melebihi ambang batas;
h. radiasi sinar pengion dan non pengion;
i. air yang tercemar;
j. udara yang tercemar; dan
k. makanan yang terkontaminasi.
(4) Ketentuan mengenai standar baku mutu kesehatan lingkungan dan proses pengolahan limbah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XII
KESEHATAN KERJA
Pasal 164
(1) Upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari
gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan.
(2) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pekerja di sektor formal
dan informal.
(3) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi setiap orang selain
pekerja yang berada di lingkungan tempat kerja.
(4) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi
kesehatan pada lingkungan tentara nasional Indonesia baik darat, laut, maupun udara serta
kepolisian Republik Indonesia.
(5) Pemerintah menetapkan standar kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2).
(6) Pengelola tempat kerja wajib menaati standar kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dan menjamin lingkungan kerja yang sehat serta bertanggung jawab atas terjadinya
kecelakaan kerja.
(7) Pengelola tempat kerja wajib bertanggung jawab atas kecelakaan kerja yang terjadi di
lingkungan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 165
(1) Pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya
pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja.
(2) Pekerja wajib menciptakan dan menjaga kesehatan tempat kerja yang sehat dan menaati
peraturan yang berlaku di tempat kerja.
(3) Dalam penyeleksian pemilihan calon pegawai pada perusahaan/instansi, hasil pemeriksaan
kesehatan secara fisik dan mental digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 166
(1) Majikan atau pengusaha wajib menjamin kesehatan pekerja melalui upaya pencegahan,
peningkatan, pengobatan dan pemulihan serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan
kesehatan pekerja.
(2) Majikan atau pengusaha menanggung biaya atas gangguan kesehatan akibat kerja yang
diderita oleh pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Pemerintah memberikan dorongan dan bantuan untuk perlindungan pekerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

BAB XIII
PENGELOLAAN KESEHATAN
Pasal 167
(1) Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau
masyarakat melalui pengelolaan administrasi kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya
kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran serta dan pemberdayaan
masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, serta pengaturan hukum
kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya.
(2) Pengelolaan kesehatan dilakukan secara berjenjang di pusat dan daerah.
(3) Pengelolaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam suatu sistem
kesehatan nasional.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Presiden.

BAB XIV
INFORMASI KESEHATAN
Pasal 168
(1) Untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang efektif dan efisien diperlukan informasi
kesehatan.
(2) Informasi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem informasi
dan melalui lintas sektor.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 169
Pemerintah memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk memperoleh akses terhadap informasi
kesehatan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

BAB XV
PEMBIAYAAN KESEHATAN
Pasal 170
(1) Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang
berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan
secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan
kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.
(2) Unsur-unsur pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas sumber
pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan.
(3) Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat,
swasta dan sumber lain.
Pasal 171
(1) Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari
anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji.
(2) Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal
10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji.
(3) Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan
untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran
pendapatan dan belanja daerah.
Pasal 172
(1) Alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 ayat (3) ditujukan
untuk pelayanan kesehatan di bidang pelayanan publik, terutama bagi penduduk miskin,
kelompok lanjut usia, dan anak terlantar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 173
(1) Alokasi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari swasta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 170 ayat (3) dimobilisasi melalui sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi
kesehatan komersial.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional dan/atau
asuransi kesehatan komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XVI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 174
(1) Masyarakat berperan serta, baik secara perseorangan maupun terorganisasi dalam segala
bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka membantu mempercepat
pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
(2) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup keikutsertaan secara aktif dan kreatif.

BAB XVII
BADAN PERTIMBANGAN KESEHATAN
Bagian Kesatu
Nama dan Kedudukan
Pasal 175
Badan pertimbangan kesehatan merupakan badan independen, yang memiliki tugas, fungsi, dan
wewenang di bidang kesehatan.
Pasal 176
(1) Badan pertimbangan kesehatan berkedudukan di Pusat dan daerah.
(2) Badan pertimbangan kesehatan pusat dinamakan Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional
selanjutnya disingkat BPKN berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.
(3) Badan pertimbangan kesehatan daerah selanjutnya disingkat BPKD berkedudukan di provinsi
dan kabupaten/kota.
(4) Kedudukan BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berada sampai
pada tingkat kecamatan.

Bagian Kedua
Peran, Tugas, dan Wewenang
Pasal 177
(1) BPKN dan BPKD berperan membantu pemerintah dan masyarakat dalam bidang kesehatan
sesuai dengan lingkup tugas masing-masing.
(2) BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang
antara lain:
a. menginventarisasi masalah melalui penelaahan terhadap berbagai informasi dan data
yang relevan atau berpengaruh terhadap proses pembangunan kesehatan;
b. memberikan masukan kepada pemerintah tentang sasaran pembangunan kesehatan
selama kurun waktu 5 (lima) tahun;
c. menyusun strategi pencapaian dan prioritas kegiatan pembangunan kesehatan;
d. memberikan masukan kepada pemerintah dalam pengidentifikasi dan penggerakan
sumber daya untuk pembangunan kesehatan;
e. melakukan advokasi tentang alokasi dan penggunaan dana dari semua sumber agar
pemanfaatannya efektif, efisien, dan sesuai dengan strategi yang ditetapkan;
f. memantau dan mengevaluasi pelaksanaan pembangunan kesehatan; dan
g. merumuskan dan mengusulkan tindakan korektif yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan
pembangunan kesehatan yang menyimpang.
(3) BPKN dan BPKD berperan membantu pemerintah dan masyarakat dalam bidang kesehatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, susunan organisasi dan pembiayaan BPKN dan
BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB XVIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 178
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan terhadap masyarakat dan terhadap setiap
penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya kesehatan di bidang kesehatan dan
upaya kesehatan.
Pasal 179
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 diarahkan untuk:
a. memenuhi kebutuhan setiap orang dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang
kesehatan;
b. menggerakkan dan melaksanakan penyelenggaraan upaya kesehatan;
c. memfasilitasi dan menyelenggarakan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan
kesehatan;
d. memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan perbekalan kesehatan, termasuk
sediaan farmasi dan alat kesehatan serta makanan dan minuman;
e. memenuhi kebutuhan gizi masyarakat sesuai dengan standar dan persyaratan;
f. melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya
bagi kesehatan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. komunikasi, informasi, edukasi dan pemberdayaan masyarakat;
b. pendayagunaan tenaga kesehatan;
c. pembiayaan.
Pasal 180
Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dan pemerintah daerah, dapat memberikan penghargaan
kepada orang atau badan yang telah berjasa dalam setiap kegiatan mewujudkan tujuan kesehatan.
Pasal 181
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 182
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan setiap penyelenggara kegiatan yang
berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.
(2) Menteri dalam melakukan pengawasan dapat memberikan izin terhadap setiap
penyelenggaraan upaya kesehatan.
(3) Menteri dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dapat mendelegasikan kepada lembaga pemerintah non kementerian, kepala dinas di provinsi,
dan kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan.
(4) Menteri dalam melaksanakan pengawasan mengikutsertakan masyarakat.
Pasal 183
Menteri atau kepala dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 dalam melaksanakan tugasnya
dapat mengangkat tenaga pengawas dengan tugas pokok untuk melakukan pengawasan terhadap
segala sesuatu yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.
Pasal 184
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, tenaga pengawas mempunyai
fungsi:
a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan yang berhubungan dengan
penyelenggaraan upaya kesehatan;
b. memeriksa perizinan yang dimiliki oleh tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan.
Pasal 185
Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya pemeriksaan oleh tenaga pengawas
mempunyai hak untuk menolak pemeriksaan apabila tenaga pengawas yang bersangkutan tidak
dilengkapi dengan tanda pengenal dan surat perintah pemeriksaan.
Pasal 186
Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau patut diduga adanya pelanggaran
hukum di bidang kesehatan, tenaga pengawas wajib melaporkan kepada penyidik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 187
Ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 188
(1) Menteri dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas
pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini.
(2) Menteri dapat mendelegasikan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
lembaga pemerintah nonkementerian, kepala dinas provinsi, atau kabupaten/kota yang tugas
pokok dan fungsinya di bidang kesehatan.
(3) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. pencabutan izin sementara atau izin tetap.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan tindakan administratif sebagaimana
dimaksud pasal ini diatur oleh Menteri.

BAB XIX
PENYIDIKAN
Pasal 189
(1) Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di
lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan juga diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
kesehatan.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana
di bidang kesehatan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
kesehatan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan
tindak pidana di bidang kesehatan;
d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di
bidang kesehatan;
e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak
pidana di bidang kesehatan;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang kesehatan;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan adanya
tindak pidana di bidang kesehatan.
(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh penyidik sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

BAB XX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 190
(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik
atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan
pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan
atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 191
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan
alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian
harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 192
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa
pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah
identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 195
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan,
dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 199
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan
berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 200
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
Pasal 201
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal
192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi,
selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197,
Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana
tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.

BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 202
Peraturan Perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang- Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu)
tahun sejak tanggal pengundangan Undang-Undang ini.
Pasal 203
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.

BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 204
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3495) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 205
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 13 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 13 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
Ttd.
ANDI MATTALATTA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 29 TAHUN 2004
TENTANG
PRAKTIK KEDOKTERAN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter
gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.

2. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di
luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

3. Konsil Kedokteran Indonesia adalah suatu badan otonom, mandiri, nonstruktural, dan
bersifat independen, yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi.

4. Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang


dokter atau dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia
setelah lulus uji kompetensi.

5. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap dokter dan dokter gigi yang telah memiliki
sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui
secara hukum untuk melakukan tindakan profesinya.

6. Registrasi ulang adalah pencatatan ulang terhadap dokter dan dokter gigi yang telah
diregistrasi setelah memenuhi persyaratan yang berlaku.

7. Surat izin praktik adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintah kepada dokter dan
dokter gigi yang akan menjalankan praktik kedokteran setelah memenuhi
persyaratan.
8. Surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh Konsil Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter gigi yang telah
diregistrasi.

9. Sarana pelayanan kesehatan adalah tempat penyelenggaraan upaya pelayanan


kesehatan yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi.

10. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun
tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.
11. Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau
kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang
diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani
masyarakat.
12. Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter
Gigi Indonesia untuk dokter gigi.
13. Kolegium kedokteran Indonesia dan kolegium kedokteran gigi Indonesia adalah badan
yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing cabang disiplin ilmu yang
bertugas mengampu cabang disiplin ilmu tersebut.
14. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang
untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi
dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan
sanksi.
15. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah,
manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan
pasien.
Pasal 3
Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk :
a. memberikan perlindungan kepada pasien;
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter
dan dokter gigi; dan
c. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.
BAB III
KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA
Bagian Kesatu
Nama dan Kedudukan
Pasal 4
(1) Untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi dibentuk Konsil Kedokteran
Indonesia yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi.

(2) Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab
kepada Presiden.

Pasal 5
Konsil Kedokteran Indonesia berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Fungsi, Tugas, dan Wewenang
Pasal 6
Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan,
serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan medis.
Pasal 7
(1) Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai tugas :
a. melakukan registrasi dokter dan dokter gigi;
b. mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi; dan
c. melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang
dilaksanakan bersama lembaga terkait sesuai dengan fungsi masing-masing.

(2) Standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi yang disahkan Konsil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan bersama oleh Konsil Kedokteran Indonesia
dengan kolegium kedokteran, kolegium kedokteran gigi, asosiasi institusi pendidikan
kedokteran, asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi, dan asosiasi rumah sakit
pendidikan.
Pasal 8
Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Konsil Kedokteran
Indonesia mempunyai wewenang :
a. menyetujui dan menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi;
b. menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi;
c. mengesahkan standar kompetensi dokter dan dokter gigi;
d. melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi;
e. mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi;
f. melakukan pembinaan bersama terhadap dokter dan dokter gigi mengenai pelaksanaan
etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi; dan
g. melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi oleh
organisasi profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi.

Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi dan tugas Konsil Kedokteran Indonesia diatur
dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Konsil
Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran dan
Konsil Kedokteran Gigi.
Bagian Ketiga
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 11
(1) Susunan organisasi Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas:
a. Konsil Kedokteran; dan
b. Konsil Kedokteran Gigi.

(2) Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
masing-masing terdiri atas 3 (tiga) divisi, yaitu :
a. Divisi Registrasi;
b. Divisi Standar Pendidikan Profesi; dan
c. Divisi Pembinaan.
Pasal 12
(1) Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas :
a. pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas 3 (tiga) orang merangkap
anggota;
b. pimpinan Konsil Kedokteran dan pimpinan Konsil Kedokteran Gigi masing-masing 1
(satu) orang merangkap anggota; dan
c. pimpinan divisi pada Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi masing-masing 1
(satu) orang merangkap anggota.

(2) Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja
secara kolektif.

(3) Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
adalah penanggung jawab tertinggi.
Pasal 13
(1) Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas seorang ketua dan 2 (dua) orang
wakil ketua.

(2) Pimpinan Konsil Kedokteran terdiri atas seorang ketua dan 3 (tiga) orang ketua divisi.

(3) Pimpinan Konsil Kedokteran Gigi terdiri atas seorang ketua dan 3 (tiga) orang ketua
divisi.

Pasal 14
(1) Jumlah anggota Konsil Kedokteran Indonesia 17 (tujuah belas) orang yang terdiri atas
unsur-unsur yang berasal dari :

a. organisasi profesi kedokteran 2 (dua) orang;


b. organisasi profesi kedokteran gigi 2 (dua) orang;
c. asosiasi institusi pendidikan kedokteran 1 (satu) orang;
d. asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi 1 (satu) orang;
e. kolegium kedokteran 1 (satu) orang;
f. kolegium kedokteran gigi 1 (satu) orang;
g. asosiasi rumah sakit pendidikan 2 (dua) orang;
h. tokoh masyarakat 3 (tiga) orang;
i. Departemen Kesehatan 2 (dua) orang; dan
j. Departemen Pendidikan Nasional 2 (dua) orang.

(2) Tata cara pemilihan tokoh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

(3) Keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri.

(4) Menteri dalam mengusulkan keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia harus


berdasarkan usulan dari organisasi dan asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).

(5) Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan keanggotaan Konsil Kedokteran


Indonesia diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 15
Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia, pimpinan Konsil Kedokteran, pimpinan Konsil
Kedokteran Gigi, pimpinan divisi pada Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi dipilih
oleh anggota dan ditetapkan oleh rapat pleno anggota.
Pasal 16
Masa bakti keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia adalah 5 (lima) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. 7
Pasal 17
(1) Anggota Konsil Kedokteran Indonesia sebelum memangku jabatan wajib mengucapkan
sumpah/janji, menurut agamanya di hadapan Presiden.

(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk
melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama
atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada
siapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak
langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam menjalankan tugas ini, senantiasa
menjunjung tinggi ilmu kedokteran atau kedokteran gigi dan mempertahankan serta
meningkatkan mutu pelayanan dokter atau dokter gigi.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia dan taat kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-
undangan yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan
wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh saksama, obyektif, jujur, berani, adil,
tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu
dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung
jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa dan negara.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima
atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap
teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-Undang
kepada saya .

Pasal 18
Untuk dapat diangkat sebagai anggota Konsil Kedokteran Indonesia, yang bersangkutan
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
d. berkelakuan baik;
e. berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam
puluh lima) tahun pada waktu menjadi anggota Konsil Kedokteran Indonesia;
f. pernah melakukan praktik kedokteran paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki
surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi, kecuali untuk wakil
dari masyarakat;
g. cakap, jujur, memiliki moral, etika dan integritas yang tinggi serta memiliki reputasi
yang baik; dan
h. melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya pada saat diangkat dan selama
menjadi anggota Konsil Kedokteran Indonesia.

Pasal 19
(1) Anggota Konsil Kedokteran Indonesia berhenti atau diberhentikan karena :
a. berakhir masa jabatan sebagai anggota;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. meninggal dunia;
d. bertempat tinggal tetap di luar wilayah Republik Indonesia;
e. tidak mampu lagi melakukan tugas secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan;
atau
f. dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Dalam hal anggota Konsil Kedokteran Indonesia menjadi tersangka tindak pidana
kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.
(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Ketua
Konsil Kedokteran Indonesia.

(4) Pengusulan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh
Menteri kepada Presiden.

Pasal 20
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Konsil Kedokteran Indonesia dibantu
sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris.

(2) Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

(3) Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan anggota Konsil Kedokteran
Indonesia.

(4) Dalam menjalankan tugasnya sekretaris bertanggung jawab kepada pimpinan Konsil
Kedokteran Indonesia.

(5) Ketentuan fungsi dan tugas sekretaris ditetapkan oleh Ketua Konsil Kedokteran
Indonesia.
Pasal 21
(1) Pelaksanaan tugas sekretariat dilakukan oleh pegawai Konsil Kedokteran Indonesia.

(2) Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk pada peraturan perundang-
undangan tentang kepegawaian.

Bagian Keempat
Tata Kerja
Pasal 22
(1) Setiap keputusan Konsil Kedokteran Indonesia yang bersifat mengatur diputuskan oleh
rapat pleno anggota.

(2) Rapat pleno Konsil Kedokteran Indonesia dianggap sah jika dihadiri oleh paling sedikit
setengah dari jumlah anggota ditambah satu.

(3) Keputusan diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat.

(4) Dalam hal tidak terdapat kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka
dapat dilakukan pemungutan suara.

Pasal 23
Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan tugas
anggota dan pegawai konsil agar pelaksanaan tugas dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja Konsil Kedokteran Indonesia diatur dengan
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

Bagian Kelima
Pembiayaan

Pasal 25
Biaya untuk pelaksanaan tugas-tugas Konsil Kedokteran Indonesia dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

BAB IV
STANDAR PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN
DAN KEDOKTERAN GIGI
Pasal 26
(1) Standar pendidikan profesi kedokteran dan standar pendidikan profesi kedokteran gigi
disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.

(2) Standar pendidikan profesi kedokteran dan standar pendidikan profesi kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a. untuk pendidikan profesi dokter atau dokter gigi disusun oleh asosiasi institusi
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi; dan
b. untuk pendidikan profesi dokter spesialis atau dokter gigi spesialis disusun oleh
kolegium kedokteran atau kedokteran gigi.

(3) Asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dalam menyusun standar
pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berkoordinasi
dengan organisasi profesi, kolegium, asosiasi rumah sakit pendidikan, Departemen
Pendidikan Nasional, dan Departemen Kesehatan.

(4) Kolegium kedokteran atau kedokteran gigi dalam menyusun standar pendidikan profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berkoordinasi dengan organisasi profesi,
asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi, asosiasi rumah sakit
pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Kesehatan.

BAB V
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN GIGI
Pasal 27
Pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi, untuk memberikan
kompetensi kepada dokter atau dokter gigi, dilaksanakan sesuai dengan standar
pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran gigi.
Pasal 28
(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan
pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh
organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam
rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau
kedokteran gigi.
(2) Pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh
organisasi profesi kedokteran atau kedokteran gigi.

BAB VI
REGISTRASI DOKTER DAN DOKTER GIGI
Pasal 29
(1) Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib
memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.

(2) Surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
(3) Untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi
harus memenuhi persyaratan :

a. memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis;
b. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau dokter
gigi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. memiliki sertifikat kompetensi; dan
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

(4) Surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi berlaku selama 5
(lima) tahun dan diregistrasi ulang setiap 5 (lima) tahun sekali dengan tetap
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d.

(5) Ketua konsil kedokteran dan ketua konsil kedokteran gigi dalam melakukan registrasi
ulang harus mendengar pertimbangan ketua divisi registrasi dan ketua divisi
pembinaan.

(6) Ketua konsil kedokteran dan ketua konsil kedokteran gigi berkewajiban untuk
memelihara dan menjaga registrasi dokter dan dokter gigi.
Pasal 30
(1) Dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri yang akan melaksanakan praktik kedokteran
di Indonesia harus dilakukan evaluasi.

(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:


a. kesahan ijazah;
b. kemampuan untuk melakukan praktik kedokteran yang dinyatakan dengan surat
keterangan telah mengikuti program adaptasi dan sertifikat kompetensi;
c. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau dokter
gigi;
d. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental; dan
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
(3) Dokter dan dokter gigi warga negara asing selain memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) juga harus melengkapi surat izin kerja sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan berbahasa Indonesia.

(4) Dokter dan dokter gigi yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) diberikan surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi
dokter gigi oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal 31
(1) Surat tanda registrasi sementara dapat diberikan kepada dokter dan dokter gigi warga
negara asing yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan,
penelitian, pelayanan kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang
bersifat sementara di Indonesia.

(2) Surat tanda registrasi sementara berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang untuk 1 (satu) tahun berikutnya.

(3) Surat tanda registrasi sementara diberikan apabila telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2).

Pasal 32
(1) Surat tanda registrasi bersyarat diberikan kepada peserta program pendidikan dokter
spesialis atau dokter gigi spesialis warga negara asing yang mengikuti pendidikan dan
pelatihan di Indonesia.

(2) Dokter atau dokter gigi warga negara asing yang akan memberikan pendidikan dan
pelatihan dalam rangka alih ilmu pengetahuan dan teknologi untuk waktu tertentu,
tidak memerlukan surat tanda registrasi bersyarat.

(3) Dokter atau dokter gigi warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus mendapat persetujuan dari Konsil Kedokteran Indonesia.

(4) Surat tanda registrasi dan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(3) diberikan melalui penyelenggara pendidikan dan pelatihan.

Pasal 33
Surat tanda registrasi tidak berlaku karena :
a. dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. habis masa berlakunya dan yang bersangkutan tidak mendaftar ulang;
c. atas permintaan yang bersangkutan;
d. yang bersangkutan meninggal dunia; atau
e. dicabut Konsil Kedokteran Indonesia.

Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara registrasi, registrasi ulang, registrasi
sementara, dan registrasi bersyarat diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal 35
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai
wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi
yang dimiliki, yang terdiri atas:
a. mewawancarai pasien;
b. memeriksa fisik dan mental pasien;
c. menentukan pemeriksaan penunjang;
d. menegakkan diagnosis;
e. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;
f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;
g. menulis resep obat dan alat kesehatan;
h. menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;
i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan
j. meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah
terpencil yang tidak ada apotek.

(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kewenangan lainnya diatur
dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

BAB VII
PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEDOKTERAN
Bagian Kesatu
Surat Izin Praktik
Pasal 36
Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib
memiliki surat izin praktik.
Pasal 37
(1) Surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dikeluarkan oleh pejabat
kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau
kedokteran gigi dilaksanakan.

(2) Surat izin praktik dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat.
(3) Satu surat izin praktik hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.
Pasal 38
(1) Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dokter
atau dokter gigi harus :
a. memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang
masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 31, dan Pasal 32;
b. mempunyai tempat praktik; dan
c. memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.

(2) Surat izin praktik masih tetap berlaku sepanjang :


a. surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi masih berlaku;
dan
b. tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin praktik.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat izin praktik diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Pelaksanaan Praktik
Pasal 39
Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau
dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Pasal 40
(1) Dokter atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus
membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter gigi pengganti.
(2) Dokter atau dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dokter
atau dokter gigi yang mempunyai surat izin praktik.
Pasal 41
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan
menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 wajib
memasang papan nama praktik kedokteran.
(2) Dalam hal dokter atau dokter gigi berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, pimpinan
sarana pelayanan kesehatan wajib membuat daftar dokter atau dokter gigi yang
melakukan praktik kedokteran.

Pasal 42
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau dokter gigi yang
tidak memiliki surat izin praktik untuk melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan
kesehatan tersebut.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan praktik kedokteran diatur dengan Peraturan
Menteri.

Bagian Ketiga
Pemberian Pelayanan
Paragraf 1
Standar Pelayanan
Pasal 44
(1) Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti
standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.
(2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan menurut jenis dan
strata sarana pelayanan kesehatan.
(3) Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 2
Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi

Pasal 45
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis
maupun lisan.
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur
dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 3
Rekam Medis
Pasal 46
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat
rekam medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah
pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
(3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas
yang memberikan pelayanan atau tindakan.
Pasal 47
(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik
dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis
merupakan milik pasien.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan
kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 4
Rahasia Kedokteran
Pasal 48
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,
permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 5
Kendali Mutu dan Kendali Biaya
Pasal 49
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran atau
kedokteran gigi wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya.
(2) Dalam rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diselenggarakan audit medis.
(3) Pembinaan dan pengawasan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dilaksanakan oleh organisasi profesi.
Paragraf 6
Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi

Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
d. menerima imbalan jasa.
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan
atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.

Paragraf 7
Hak dan Kewajiban Pasien
Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.
Pasal 53
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban :
a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Paragraf 8
Pembinaan
Pasal 54
(1) Dalam rangka terselenggaranya praktik kedokteran yang bermutu dan melindungi
masyarakat sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini, perlu dilakukan pembinaan terhadap dokter atau dokter gigi yang melakukan
praktik kedokteran.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Konsil Kedokteran
Indonesia bersama-sama dengan organisasi profesi.

BAB VIII
DISIPLIN DOKTER DAN DOKTER GIGI
Bagian Kesatu
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
Pasal 55
(1) Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik
kedokteran, dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
(2) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia merupakan lembaga otonom dari
Konsil Kedokteran Indonesia.
(3) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam menjalankan tugasnya
bersifat independen.
Pasal 56
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertanggung jawab kepada Konsil
Kedokteran Indonesia.
Pasal 57
(1) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia berkedudukan di ibu kota negara
Republik Indonesia.
(2) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran di tingkat provinsi dapat dibentuk oleh Konsil
Kedokteran Indonesia atas usul Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
Pasal 58
Pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas seorang ketua,
seorang wakil ketua, dan seorang sekretaris.
Pasal 59
(1) Keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas 3 (tiga)
orang dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing,
seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga)
orang sarjana hukum.
(2) Untuk dapat diangkat sebagai anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia harus dipenuhi syarat sebagai berikut :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
d. berkelakuan baik;
e. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh
lima) tahun pada saat diangkat;
f. bagi dokter atau dokter gigi, pernah melakukan praktik kedokteran paling sedikit 10
(sepuluh) tahun dan memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda
registrasi dokter gigi;
g. bagi sarjana hukum, pernah melakukan praktik di bidang hukum paling sedikit 10
(sepuluh) tahun dan memiliki pengetahuan di bidang hukum kesehatan; dan
h. cakap, jujur, memiliki moral, etika, dan integritas yang tinggi serta memiliki
reputasi yang baik.
Pasal 60
Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Menteri atas
usul organisasi profesi.

Pasal 61
Masa bakti keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu)
kali masa jabatan.
Pasal 62
(1) Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebelum memangku
jabatan wajib mengucapkan sumpah/janji sesuai dengan agama masing-masing di
hadapan Ketua Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan
tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara
apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun
juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari
siapapun juga suatu janji atau pemberian.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam menjalankan tugas ini, senantiasa
menjunjung tinggi ilmu kedokteran atau kedokteran gigi dan mempertahankan serta
meningkatkan mutu pelayanan dokter atau dokter gigi.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia dan taat kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-
undangan yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan
wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh saksama, obyektif, jujur, berani, adil,
tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu
dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung
jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa dan negara.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima
atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap
teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-Undang
kepada saya .
Pasal 63
(1) Pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dipilih dan ditetapkan oleh
rapat pleno anggota.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal 64
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas :
a. menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter
dan dokter gigi yang diajukan; dan
b. menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau
dokter gigi.
Pasal 65
Segala pembiayaan kegiatan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
dibebankan kepada anggaran Konsil Kedokteran Indonesia.

Bagian Kedua
Pengaduan
Pasal 66
(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter
atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara
tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
(2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :
a. identitas pengadu;
b. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan
dilakukan; dan
c. alasan pengaduan.
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan
hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang
berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan
Pasal 67
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan
terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi.
Pasal 68
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi profesi.

Bagian Keempat
Keputusan
Pasal 69
(1) Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter
gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) dapat berupa dinyatakan tidak
bersalah atau pemberian sanksi disiplin.
(3) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa :
a. pemberian peringatan tertulis;
b. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran
atau kedokteran gigi.

Bagian Kelima
Pengaturan Lebih Lanjut
Pasal 70
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi dan tugas Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia, tata cara penanganan kasus, tata cara pengaduan, dan tata
cara pemeriksaan serta pemberian keputusan diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia.

BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 71
Pemerintah pusat, Konsil Kedokteran Indonesia, pemerintah daerah, organisasi profesi
membina serta mengawasi praktik kedokteran sesuai dengan fungsi dan tugas masing-
masing.
Pasal 72
Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 diarahkan untuk :
a. meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan dokter dan dokter gigi;
b. melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan dokter dan dokter gigi; dan
c. memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, dokter, dan dokter gigi.
Pasal 73
(1) Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang
menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter
atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.
(2) Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dan/atau surat izin praktik.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi
tenaga kesehatan yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 74
Dalam rangka pembinaan dan pengawasan dokter dan dokter gigi yang
menyelenggarakan praktik kedokteran dapat dilakukan audit medis.

BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 75
(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran
tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran
tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain
yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter
atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda
registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 78
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi
dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang :
a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
ayat (1);
b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
ayat (1); atau
c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
Pasal 80
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa
pencabutan izin.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 81
Pada saat diundangkannya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan
yang merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
yang berkaitan dengan pelaksanaan praktik kedokteran, masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 82
(1) Dokter dan dokter gigi yang telah memiliki surat penugasan dan/atau surat izin
praktik, dinyatakan telah memiliki surat tanda registrasi dan surat izin praktik
berdasarkan Undang-Undang ini.

(2) Surat penugasan dan surat izin praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disesuaikan dengan surat tanda registrasi dokter, surat tanda registrasi dokter gigi,
dan surat izin praktik berdasarkan Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun
setelah Konsil Kedokteran Indonesia terbentuk.

Pasal 83
(1) Pengaduan atas adanya dugaan pelanggaran disiplin pada saat belum terbentuknya
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ditangani oleh Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi di Tingkat Pertama dan Menteri pada Tingkat Banding.

(2) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Menteri dalam menangani pengaduan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk Tim yang terdiri dari unsur-unsur
profesi untuk memberikan pertimbangan.

(3) Putusan berdasarkan pertimbangan Tim dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi atau Menteri sesuai dengan fungsi dan tugasnya.

Pasal 84
(1) Untuk pertama kali anggota Konsil Kedokteran Indonesia diusulkan oleh Menteri dan
diangkat oleh Presiden.

(2) Keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun sejak diangkat.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 85
Dengan disahkannya Undang-Undang ini maka Pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan yang berkaitan dengan dokter dan dokter gigi, dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Pasal 86
Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) harus
dibentuk paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 87
Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus dibentuk paling
lambat 1 (satu) bulan sebelum masa jabatan keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) berakhir.
Pasal 88
Undang-Undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 6 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2009
TENTANG
RUMAH SAKIT

www.hukumonline.com
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat
darurat.
2. Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera
guna
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut.
3. Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif,
preventif, kuratif,
dan rehabilitatif.
4. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperoleh
pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah
Sakit.
5. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai
unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
7. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai
kemanusiaan, etika dan
profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan,
perlindungan dan
keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.
Pasal 3
Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:
a. mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan;
b. memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah
sakit dan
sumber daya manusia di rumah sakit;
c. meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan
d. memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah
sakit, dan
Rumah Sakit.
BAB III
www.hukumonline.com
TUGAS DAN FUNGSI
Pasal 4
Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna.

Pasal 5
Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Rumah Sakit mempunyai
fungsi:
a. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar
pelayanan
rumah sakit;
b. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang
paripurna
tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;
c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan
kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan
d. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang
kesehatan dalam
rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan
bidang
kesehatan.

BAB IV
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 6
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk:
a. menyediakan Rumah Sakit berdasarkan kebutuhan masyarakat;
b. menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi fakir miskin, atau orang
tidak
mampu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. membina dan mengawasi penyelenggaraan Rumah Sakit;
d. memberikan perlindungan kepada Rumah Sakit agar dapat memberikan pelayanan
kesehatan
secara profesional dan bertanggung jawab;
e. memberikan perlindungan kepada masyarakat pengguna jasa pelayanan Rumah Sakit
sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. menggerakkan peran serta masyarakat dalam pendirian Rumah Sakit sesuai dengan jenis
pelayanan yang dibutuhkan masyarakat;
g. menyediakan informasi kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;
h. menjamin pembiayaan pelayanan kegawatdaruratan di Rumah Sakit akibat bencana dan
kejadian
luar biasa;
i. menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan; dan
j. mengatur pendistribusian dan penyebaran alat kesehatan berteknologi tinggi dan bernilai
tinggi.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan
kewenangan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
www.hukumonline.com
BAB V
PERSYARATAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 7
(1) Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya
manusia,
kefarmasian, dan peralatan.
(2) Rumah Sakit dapat didirikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau swasta.
(3) Rumah Sakit yang didirikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat
(2) harus berbentuk Unit Pelaksana Teknis dari Instansi yang bertugas di bidang kesehatan,
Instansi
tertentu, atau Lembaga Teknis Daerah dengan pengelolaan Badan Layanan Umum atau
Badan Layanan
Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) harus
berbentuk
badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan.

Bagian Kedua
Lokasi
Pasal 8
(1) Persyaratan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus memenuhi
ketentuan mengenai
kesehatan, keselamatan lingkungan, dan tata ruang, serta sesuai dengan hasil kajian
kebutuhan dan
kelayakan penyelenggaraan Rumah Sakit.
(2) Ketentuan mengenai kesehatan dan keselamatan lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
menyangkut Upaya Pemantauan Lingkungan, Upaya Pengelolaan Lingkungan dan/atau
dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan
peruntukan lokasi yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, Rencana
Tata Ruang
Kawasan Perkotaan dan/atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan.
(4) Hasil kajian kebutuhan penyelenggaraan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus
didasarkan pada studi kelayakan dengan menggunakan prinsip pemerataan pelayanan,
efisiensi dan
efektivitas, serta demografi.

Bagian Ketiga
Bangunan
Pasal 9
www.hukumonline.com
Persyaratan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus memenuhi:
a. persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung pada umumnya, sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. persyaratan teknis bangunan Rumah Sakit, sesuai dengan fungsi, kenyamanan dan
kemudahan dalam
pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan bagi semua orang termasuk
penyandang
cacat, anak-anak, dan orang usia lanjut.

Pasal 10
(1) Bangunan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus dapat digunakan
untuk memenuhi
kebutuhan pelayanan kesehatan yang paripurna, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian
dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.
(2) Bangunan rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas
ruang:
a. rawat jalan;
b. ruang rawat inap;
c. ruang gawat darurat;
d. ruang operasi;
e. ruang tenaga kesehatan;
f. ruang radiologi;
g. ruang laboratorium;
h. ruang sterilisasi;
i. ruang farmasi;
j. ruang pendidikan dan latihan;
k. ruang kantor dan administrasi;
l. ruang ibadah, ruang tunggu;
m. ruang penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit;
n. ruang menyusui;
o. ruang mekanik;
p. ruang dapur;
q. laundry;
r. kamar jenazah;
s. taman;
t. pengolahan sampah; dan
u. pelataran parkir yang mencukupi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis bangunan Rumah Sakit sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat
www.hukumonline.com
Prasarana
Pasal 11
(1) Prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dapat meliputi:
a. instalasi air;
b. instalasi mekanikal dan elektrikal;
c. instalasi gas medik;
d. instalasi uap;
e. instalasi pengelolaan limbah;
f. pencegahan dan penanggulangan kebakaran;
g. petunjuk, standar dan sarana evakuasi saat terjadi keadaan darurat;
h. instalasi tata udara;
i. sistem informasi dan komunikasi; dan
j. ambulan.
(2) Prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar pelayanan,
keamanan, serta
keselamatan dan kesehatan kerja penyelenggaraan Rumah Sakit
(3) Prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dalam keadaan terpelihara dan
berfungsi dengan
baik.
(4) Pengoperasian dan pemeliharaan prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus
dilakukan oleh petugas yang mempunyai kompetensi di bidangnya.
(5) Pengoperasian dan pemeliharaan prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus
didokumentasi dan dievaluasi secara berkala dan berkesinambungan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sampai
dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima
Sumber Daya Manusia
Pasal 12
(1) Persyaratan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yaitu
Rumah Sakit
harus memiliki tenaga tetap yang meliputi tenaga medis dan penunjang medis, tenaga
keperawatan,
tenaga kefarmasian, tenaga manajemen Rumah Sakit, dan tenaga nonkesehatan.
(2) Jumlah dan jenis sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai
dengan jenis
dan klasifikasi Rumah Sakit.
(3) Rumah Sakit harus memiliki data ketenagaan yang melakukan praktik atau pekerjaan
dalam
penyelenggaraan Rumah Sakit.
(4) Rumah Sakit dapat mempekerjakan tenaga tidak tetap dan konsultan sesuai dengan
kebutuhan dan
kemampuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.
Pasal 13
(1) Tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran di Rumah Sakit wajib memiliki Surat Izin
Praktik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Tenaga kesehatan tertentu yang bekerja di Rumah Sakit wajib memiliki izin sesuai dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan
standar profesi,
standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi,
menghormati
hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.
(4) Ketentuan mengenai tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat
(2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
(1) Rumah Sakit dapat mempekerjakan tenaga kesehatan asing sesuai dengan kebutuhan
pelayanan.
(2) Pendayagunaan tenaga kesehatan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dilakukan dengan
mempertimbangkan kepentingan alih teknologi dan ilmu pengetahuan serta ketersediaan
tenaga
kesehatan setempat.
(3) Pendayagunaan tenaga kesehatan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dilakukan bagi
tenaga kesehatan asing yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi dan Surat Ijin Praktik.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan tenaga kesehatan asing pada ayat (1)
ayat (2) dan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Kefarmasian
Pasal 15
(1) Persyaratan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus menjamin
ketersediaan
sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bermutu, bermanfaat, aman dan terjangkau.
(2) Pelayanan sediaan farmasi di Rumah Sakit harus mengikuti standar pelayanan
kefarmasian.
(3) Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di Rumah Sakit harus
dilakukan
oleh Instalasi farmasi sistem satu pintu.
(4) Besaran harga perbekalan farmasi pada instalasi farmasi Rumah Sakit harus wajar dan
berpatokan
kepada harga patokan yang ditetapkan Pemerintah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh
Peralatan

www.hukumonline.com
Pasal 16
(1) Persyaratan peralatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) meliputi peralatan
medis dan
nonmedis harus memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan, keselamatan
dan laik pakai.
(2) Peralatan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diuji dan dikalibrasi secara
berkala oleh
Balai Pengujian Fasilitas Kesehatan dan/atau institusi pengujian fasilitas kesehatan yang
berwenang.
(3) Peralatan yang menggunakan sinar pengion harus memenuhi ketentuan dan harus diawasi
oleh lembaga
yang berwenang.
(4) Penggunaan peralatan medis dan nonmedis di Rumah Sakit harus dilakukan sesuai
dengan indikasi
medis pasien.
(5) Pengoperasian dan pemeliharaan peralatan Rumah Sakit harus dilakukan oleh petugas
yang mempunyai
kompetensi di bidangnya.
(6) Pemeliharaan peralatan harus didokumentasi dan dievaluasi secara berkala dan
berkesinambungan.
(7) Ketentuan mengenai pengujian dan/atau kalibrasi peralatan medis, standar yang berkaitan
dengan
keamanan, mutu, dan manfaat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 17
Rumah Sakit yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal
8, Pasal 9, Pasal
10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 tidak diberikan izin
mendirikan, dicabut atau
tidak diperpanjang izin operasional Rumah Sakit.

BAB VI
JENIS DAN KLASIFIKASI
Bagian Kesatu
Jenis
Pasal 18
Rumah Sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya.
Pasal 19
(1) Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah Sakit dikategorikan dalam Rumah
Sakit Umum dan
Rumah Sakit Khusus.
(2) Rumah Sakit Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan pelayanan
kesehatan pada
semua bidang dan jenis penyakit.
(3) Rumah Sakit Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan pelayanan utama
pada satu
bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis
penyakit,
atau kekhususan lainnya.
Pasal 20
(1) Berdasarkan pengelolaannya Rumah Sakit dapat dibagi menjadi Rumah Sakit publik dan
Rumah Sakit privat.
(2) Rumah Sakit publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikelola oleh Pemerintah,
Pemerintah
Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba.
(3) Rumah Sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah diselenggarakan
berdasarkan
pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Rumah Sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat
(2) tidak dapat dialihkan menjadi Rumah Sakit privat.
Pasal 21
Rumah Sakit privat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dikelola oleh badan
hukum dengan tujuan
profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.
Pasal 22
(1) Rumah Sakit dapat ditetapkan menjadi Rumah Sakit pendidikan setelah memenuhi
persyaratan dan
standar rumah sakit pendidikan.
(2) Rumah Sakit pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri
setelah
berkoordinasi dengan Menteri yang membidangi urusan pendidikan.
Pasal 23
(1) Rumah Sakit pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 merupakan Rumah Sakit
yang
menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi
kedokteran, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya.
(2) Dalam penyelenggaraan Rumah Sakit Pendidikan dapat dibentuk Jejaring Rumah Sakit
Pendidikan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rumah Sakit pendidikan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Kedua
Klasifikasi
Pasal 24
(1) Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi
rujukan, rumah sakit
umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan
pelayanan Rumah
Sakit.
(2) Klasifikasi Rumah Sakit umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Rumah Sakit umum kelas A;
b. Rumah Sakit umum kelas B
c. Rumah Sakit umum kelas C;
d. Rumah Sakit umum kelas D.
www.hukumonline.com
10 / 40
(3) Klasifikasi Rumah Sakit khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Rumah Sakit khusus kelas A;
b. Rumah Sakit khusus kelas B;
c. Rumah Sakit khusus kelas C.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan
Menteri.

BAB VII
PERIZINAN
Pasal 25
(1) Setiap penyelenggara Rumah Sakit wajib memiliki izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari izin mendirikan dan izin operasional.
(3) Izin mendirikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan untuk jangka waktu 2 (dua)
tahun dan
dapat diperpanjang untuk 1 (satu) tahun.
(4) Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan untuk jangka waktu 5
(lima) tahun dan
dapat diperpanjang kembali selama memenuhi persyaratan.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini.
Pasal 26
(1) Izin Rumah Sakit kelas A dan Rumah Sakit penanaman modal asing atau penanaman
modal dalam negeri
diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat yang berwenang di
bidang
kesehatan pada Pemerintah Daerah Provinsi.
(2) Izin Rumah Sakit penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan setelah mendapat rekomendasi dari instansi yang melaksanakan
urusan
penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri.
(3) Izin Rumah Sakit kelas B diberikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi setelah mendapatkan
rekomendasi
dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(4) Izin Rumah Sakit kelas C dan kelas D diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
setelah
mendapat rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota.
Pasal 27
Izin Rumah Sakit dapat dicabut jika:
a. habis masa berlakunya;
b. tidak lagi memenuhi persyaratan dan standar;
c. terbukti melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan; dan/atau
d. atas perintah pengadilan dalam rangka penegakan hukum.
www.hukumonline.com
Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VIII
KEWAJIBAN DAN HAK
Bagian Kesatu
Kewajiban
Pasal 29
(1) Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban:
a. memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat;
b. memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan
mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit;
c. memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan
pelayanannya;
d. berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai dengan
kemampuan
pelayanannya;
e. menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin;
f. melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak
mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban
bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan;
g. membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit
sebagai acuan dalam melayani pasien;
h. menyelenggarakan rekam medis;
i. menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah, parkir,
ruang
tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, lanjut usia;
j. melaksanakan sistem rujukan;
k. menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta
peraturan
perundang-undangan;
l. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien;
m. menghormati dan melindungi hak-hak pasien;
n. melaksanakan etika Rumah Sakit;
o. memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana;
p. melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional maupun
nasional;
q. membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan
tenaga
kesehatan lainnya;
r. menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (hospital by laws);
s. melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam
melaksanakan tugas; dan
t. memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok.
(2) Pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
admisnistratif
berupa:
a. teguran;
b. teguran tertulis; atau
c. denda dan pencabutan izin Rumah Sakit.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Hak Rumah Sakit
Pasal 30
(1) Setiap Rumah Sakit mempunyai hak:
a. menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai dengan klasifikasi
Rumah
Sakit;
b. menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi, insentif, dan penghargaan
sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka mengembangkan pelayanan;
d. menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian;
f. mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan;
g. mempromosikan layanan kesehatan yang ada di Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan; dan
h. mendapatkan insentif pajak bagi Rumah Sakit publik dan Rumah Sakit yang ditetapkan
sebagai
Rumah Sakit pendidikan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai promosi layanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf
g diatur dengan Peraturan Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai insentif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
h diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Kewajiban Pasien
Pasal 31
(1) Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas pelayanan yang
diterimanya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pasien diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat
Hak Pasien
Pasal 32
Setiap pasien mempunyai hak:
a. memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
b. memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
c. memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
d. memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur
operasional;
e. memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik
dan materi;
f. mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
g. memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang
berlaku di Rumah
Sakit;
h. meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai
Surat Izin
Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;
i. mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya;
j. mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan
medis,
alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap
tindakan yang
dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
k. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga
kesehatan
terhadap penyakit yang dideritanya;
l. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
m. menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak
mengganggu
pasien lainnya;
n. memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit;
o. mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya;
p. menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan
yang dianutnya;
q. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan
pelayanan yang
tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan
r. mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui
media cetak
dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IX
PENYELENGGARAAN
www.hukumonline.com
Bagian Kesatu
Pengorganisasian
Pasal 33
(1) Setiap Rumah Sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien, dan akuntabel.
(2) Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas Kepala Rumah Sakit atau Direktur Rumah
Sakit, unsur
pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan
pemeriksaan internal, serta administrasi umum dan keuangan.

Pasal 34
(1) Kepala Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan
keahlian di bidang
perumahsakitan.
(2) Tenaga struktural yang menduduki jabatan sebagai pimpinan harus berkewarganegaraan
Indonesia.
(3) Pemilik Rumah Sakit tidak boleh merangkap menjadi kepala Rumah Sakit.
Pasal 35
Pedoman organisasi Rumah Sakit ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

Bagian Kedua
Pengelolaan Klinik
Pasal 36
Setiap Rumah Sakit harus menyelenggarakan tata kelola Rumah Sakit dan tata kelola klinis
yang baik.
Pasal 37
(1) Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus mendapat persetujuan
pasien atau
keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 38
(1) Setiap Rumah Sakit harus menyimpan rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dibuka untuk
kepentingan
kesehatan pasien, untuk pemenuhan permintaan aparat penegak hukum dalam rangka
penegakan
hukum, atas persetujuan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 39
(1) Dalam penyelenggaraan Rumah Sakit harus dilakukan audit.
(2) Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa audit kinerja dan audit medis.
(3) Audit kinerja dan audit medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan secara
internal dan
eksternal.
(4) Audit kinerja eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan oleh tenaga
pengawas.
(5) Pelaksanaan audit medis berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Ketiga
Akreditasi
Pasal 40
(1) Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit wajib dilakukan akreditasi secara
berkala
minimal 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Akreditasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu
lembaga independen
baik dari dalam maupun dari luar negeri berdasarkan standar akreditasi yang berlaku.
(3) Lembaga independen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat
Jejaring dan Sistem Rujukan
Pasal 41
(1) Pemerintah dan asosiasi Rumah Sakit membentuk jejaring dalam rangka peningkatan
pelayanan
kesehatan.
(2) Jejaring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi, sarana prasarana,
pelayanan, rujukan,
penyediaan alat, dan pendidikan tenaga.
Pasal 42
(1) Sistem rujukan merupakan penyelenggaraan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas
dan tanggung
jawab secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal, maupun struktural dan fungsional
terhadap
kasus penyakit atau masalah penyakit atau permasalahan kesehatan.
(2) Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban merujuk pasien yang memerlukan pelayanan di
luar
kemampuan pelayanan rumah sakit.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan
Peraturan Menteri.
www.hukumonline.com
Bagian Kelima
Keselamatan Pasien
Pasal 43
(1) Rumah Sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien.
(2) Standar keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
pelaporan
insiden, menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan angka
kejadian
yang tidak diharapkan.
(3) Rumah Sakit melaporkan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada komite
yang
membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh Menteri.
(4) Pelaporan insiden keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat secara
anonim dan
ditujukan untuk mengkoreksi sistem dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam
Perlindungan Hukum Rumah Sakit
Pasal 44
(1) Rumah Sakit dapat menolak mengungkapkan segala informasi kepada publik yang
berkaitan dengan
rahasia kedokteran.
(2) Pasien dan/atau keluarga yang menuntut Rumah Sakit dan menginformasikannya melalui
media massa,
dianggap telah melepaskan hak rahasia kedokterannya kepada umum.
(3) Penginformasian kepada media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberikan
kewenangan
kepada Rumah Sakit untuk mengungkapkan rahasia kedokteran pasien sebagai hak jawab
Rumah Sakit.
Pasal 45
(1) Rumah Sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau keluarganya
menolak atau
menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan
medis yang komprehensif.
(2) Rumah Sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan
nyawa manusia.

Bagian Ketujuh
Tanggung jawab Hukum
Pasal 46
Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan
atas kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

Bagian Kedelapan
Bentuk
Pasal 47
(1) Rumah Sakit dapat berbentuk Rumah Sakit statis, Rumah Sakit bergerak, dan Rumah Sakit
lapangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan Rumah Sakit
bergerak dan
Rumah Sakit lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB X
PEMBIAYAAN
Pasal 48
(1) Pembiayaan Rumah Sakit dapat bersumber dari penerimaan Rumah Sakit, anggaran
Pemerintah, subsidi
Pemerintah, anggaran Pemerintah Daerah, subsidi Pemerintah Daerah atau sumber lain yang
tidak
mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai subsidi atau bantuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 49
(1) Menteri menetapkan pola tarif nasional.
(2) Pola tarif nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan komponen
biaya satuan
pembiayaan dan dengan memperhatikan kondisi regional.
(3) Gubernur menetapkan pagu tarif maksimal berdasarkan pola tarif nasional sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) yang berlaku untuk rumah sakit di Provinsi yang bersangkutan.
(4) Penetapan besaran tarif rumah sakit harus berdasarkan pola tarif nasional sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) dan pagu tarif maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 50
(1) Besaran tarif kelas III Rumah Sakit yang dikelola Pemerintah ditetapkan oleh Menteri.
(2) Besaran tarif kelas III Rumah Sakit yang dikelola Pemerintah Daerah ditetapkan dengan
Peraturan
Daerah.
(3) Besaran tarif kelas III Rumah Sakit selain rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2)
ditetapkan oleh Pimpinan Rumah Sakit dengan memperhatikan besaran tarif sebagaimana
dimaksud
pada ayat (2).
Pasal 51
Pendapatan Rumah Sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah digunakan
seluruhnya secara langsung untuk biaya operasional Rumah Sakit dan tidak dapat dijadikan
pendapatan negara atau Pemerintah Daerah.

BAB XI
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pasal 52
(1) Setiap Rumah Sakit wajib melakukan pencatatan dan pelaporan tentang semua kegiatan
penyelenggaraan Rumah Sakit dalam bentuk Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit.
(2) Pencatatan dan pelaporan terhadap penyakit wabah atau penyakit tertentu lainnya yang
dapat
menimbulkan wabah, dan pasien penderita ketergantungan narkotika dan/atau psikotropika
dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 53
(1) Rumah Sakit wajib menyelenggarakan penyimpanan terhadap pencatatan dan pelaporan
yang dilakukan
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemusnahan atau penghapusan terhadap berkas pencatatan dan pelaporan sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 54
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
Rumah Sakit
dengan melibatkan organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan organisasi kemasyaratan
lainnya
sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
a. pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat;
b. peningkatan mutu pelayanan kesehatan;
c. keselamatan pasien;
d. pengembangan jangkauan pelayanan; dan
e. peningkatan kemampuan kemandirian Rumah Sakit.
(3) Dalam melaksanakan tugas pengawasan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengangkat
tenaga
pengawas sesuai kompetensi dan keahliannya.
(4) Tenaga pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melaksanakan pengawasan yang
bersifat teknis
medis dan teknis perumahsakitan.
(5) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat mengambil tindakan administratif berupa:
a. teguran;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. denda dan pencabutan izin.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 55
(1) Pembinaan dan pengawasan nonteknis perumahsakitan yang melibatkan unsur masyarakat
dapat
dilakukan secara internal dan eksternal.
(2) Pembinaan dan pengawasan secara internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Dewan
Pengawas Rumah Sakit.
(3) Pembinaan dan pengawasan secara eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh
Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia.

Bagian Kedua

Dewan Pengawas Rumah Sakit


Pasal 56
(1) Pemilik Rumah Sakit dapat membentuk Dewan Pengawas Rumah Sakit.
(2) Dewan Pengawas Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu
unit nonstruktural
yang bersifat independen dan bertanggung jawab kepada pemilik Rumah Sakit.
(3) Keanggotaan Dewan Pengawas Rumah Sakit terdiri dari unsur pemilik Rumah Sakit,
organisasi profesi,
asosiasi perumahsakitan, dan tokoh masyarakat.
(4) Keanggotaan Dewan Pengawas Rumah Sakit berjumlah maksimal 5 (lima) terdiri dari 1
(satu) orang ketua
merangkap anggota dan 4 (empat) orang anggota.
(5) Dewan Pengawas Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas:
a. menentukan arah kebijakan Rumah Sakit;
b. menyetujui dan mengawasi pelaksanaan rencana strategis;
c. menilai dan menyetujui pelaksanaan rencana anggaran;
d. mengawasi pelaksanaan kendali mutu dan kendali biaya;
e. mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien;
f. mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban Rumah Sakit; dan
g. mengawasi kepatuhan penerapan etika Rumah Sakit, etika profesi, dan peraturan
perundangundangan;
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Dewan Pengawas Rumah Sakit diatur dengan Peraturan
Menteri.

Bagian Ketiga
Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia
Pasal 57
(1) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan oleh
Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia bertanggung jawab kepada Menteri.
(3) Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia merupakan unit nonstruktural di Kementerian
yang bertanggung
jawab dibidang kesehatan dan dalam menjalankan tugasnya bersifat independen.
(4) Keanggotaan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia berjumlah maksimal 5 (lima) orang
terdiri dari 1
(satu) orang ketua merangkap anggota dan 4 (empat) orang anggota.
(5) Keanggotaan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia terdiri dari unsur pemerintah,
organisasi profesi,
asosiasi perumahsakitan, dan tokoh masyarakat.
(6) Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia dalam melaksanakan tugasnya dibantu
sekretariat yang
dipimpin oleh seorang sekretaris.
(7) Biaya untuk pelaksanaan tugas-tugas Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia
dibebankan kepada
anggaran pendapatan dan belanja negara.
Pasal 58
Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia bertugas:
a. membuat pedoman tentang pengawasan Rumah Sakit untuk digunakan oleh Badan
Pengawas Rumah
Sakit Provinsi;
b. membentuk sistem pelaporan dan sistem informasi yang merupakan jejaring dari Badan
Pengawas
Rumah Sakit Indonesia dan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi; dan
c. Melakukan analisis hasil pengawasan dan memberikan rekomendasi kepada Pemerintah
dan Pemerintah
Daerah untuk digunakan sebagai bahan pembinaan.

Pasal 59
(1) Badan Pengawas Rumah Sakit dapat dibentuk di tingkat provinsi oleh Gubernur dan
bertanggung jawab
kepada Gubernur.
(2) Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi merupakan unit nonstruktural pada Dinas
Kesehatan Provinsi
dan dalam menjalankan tugasnya bersifat independen.
(3) Keanggotaan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi terdiri dari unsur pemerintah,
organisasi profesi,
asosiasi perumahsakitan, dan tokoh masyarakat.
(4) Keanggotaan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi berjumlah maksimal 5 (lima) terdiri
dari 1 (satu)
orang ketua merangkap anggota dan 4 (empat) orang anggota.
(5) Biaya untuk pelaksanaan tugas-tugas Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi dibebankan
kepada
anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pasal 60
www.
Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1)
bertugas:
a. mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien di wilayahnya;
b. mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban Rumah Sakit di wilayahnya;
c. mengawasi penerapan etika Rumah Sakit, etika profesi, dan peraturan perundang-
undangan;
d. melakukan pelaporan hasil pengawasan kepada Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia;
e. melakukan analisis hasil pengawasan dan memberikan rekomendasi kepada Pemerintah
Daerah untuk
digunakan sebagai bahan pembinaan; dan
f. menerima pengaduan dan melakukan upaya penyelesaian sengketa dengan cara mediasi.
Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia dan Badan
Pengawas Rumah Sakit
Provinsi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 62
Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan Rumah Sakit tidak memiliki izin
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak
Rp. 5.000.000.000,00- (lima milyar rupiah).
Pasal 63
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan oleh korporasi,
selain pidana
penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi
berupa
pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 62.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana
tambahan
berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.

BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
(1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua Rumah Sakit yang sudah ada harus
menyesuaikan
dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang ini, paling lambat dalam jangka waktu
2 (dua)
tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
(2) Pada saat undang-undang ini berlaku, Izin penyelenggaraan Rumah Sakit yang telah ada
tetap berlaku sampai habis masa berlakunya.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Pada saat diundangkannya Undang-Undang ini berlaku semua peraturan perundang-
undangan yang mengatur
Rumah Sakit tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan
Undang-Undang ini.
Pasal 66
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 28 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 28 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
PATRIALIS AKBAR
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2014
TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan
perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya
disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah
yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah.
5. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan
yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya
dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara
Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani,
memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
6. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
7. Asas Otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah berdasarkan Otonomi Daerah.
8. Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan
oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan
Asas Otonomi.
9. Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada
gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab
urusan pemerintahan umum.
10. Instansi Vertikal adalah perangkat kementerian dan/atau
lembaga pemerintah nonkementerian yang mengurus
Urusan Pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah
otonom dalam wilayah tertentu dalam rangka
Dekonsentrasi.
11. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah
Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi
kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan
sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah provinsi.
12. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan
Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
13. Wilayah Administratif adalah wilayah kerja perangkat
Pemerintah Pusat termasuk gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
di Daerah dan wilayah kerja gubernur dan bupati/wali kota
dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum di
Daerah.
14. Urusan Pemerintahan Wajib adalah Urusan Pemerintahan
yang wajib diselenggarakan oleh semua Daerah.
15. Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan Pemerintahan
yang wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan
potensi yang dimiliki Daerah.
16. Pelayanan Dasar adalah pelayanan publik untuk memenuhi
kebutuhan dasar warga negara.
17. Standar Pelayanan Minimal adalah ketentuan mengenai
jenis dan mutu Pelayanan Dasar yang merupakan Urusan
Pemerintahan Wajib yang berhak diperoleh setiap warga
negara secara minimal.
18. Forum Koordinasi Pimpinan di Daerah yang selanjutnya
disebut Forkopimda adalah forum yang digunakan untuk
membahas penyelenggaraan urusan pemerintahan umum.
19. Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan adalah Daerah
provinsi yang memiliki karakteristik secara geografis dengan
wilayah lautan lebih luas dari daratan yang di dalamnya
terdapat pulau-pulau yang membentuk gugusan pulau
sehingga menjadi satu kesatuan geografis dan sosial
budaya.
20. Pembentukan Daerah adalah penetapan status Daerah pada
wilayah tertentu.
21. Daerah Persiapan adalah bagian dari satu atau lebih
Daerah yang bersanding yang dipersiapkan untuk dibentuk
menjadi Daerah baru.
34. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara yang selanjutnya
disingkat PPAS adalah program prioritas dan patokan batas
maksimal anggaran yang diberikan kepada Perangkat
Daerah untuk setiap program sebagai acuan dalam
penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja
Perangkat Daerah.
35. Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui
sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode
tahun anggaran yang bersangkutan.
36. Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang
diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam
periode tahun anggaran yang bersangkutan.
37. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar
kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali,
baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun
pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
38. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang
mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau
menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain
sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk
membayar kembali.
39. Barang Milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau
diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan
lainnya yang sah.
40. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat
BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
41. Partisipasi Masyarakat adalah peran serta warga
masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, pemikiran, dan
kepentingannya dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah.
42. Kawasan Khusus adalah bagian wilayah dalam Daerah
provinsi dan/atau Daerah kabupaten/kota yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan fungsi
pemerintahan yang bersifat khusus bagi kepentingan
nasional yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
43. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan
nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus Urusan
Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
44. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam negeri.
45. Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan dalam negeri.
46. Aparat Pengawas Internal Pemerintah adalah inspektorat
jenderal kementerian, unit pengawasan lembaga pemerintah
nonkementerian, inspektorat provinsi, dan inspektorat
kabupaten/kota.
47. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan
keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan
Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
48. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
49. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah
dana yang bersumber dari pendapatan tertentu APBN yang
dialokasikan kepada Daerah penghasil berdasarkan angka
persentase tertentu dengan tujuan mengurangi
ketimpangan kemampuan keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah.
50. Hari adalah hari kerja.

BAB II
PEMBAGIAN WILAYAH NEGARA
Pasal 2
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah
provinsi dan Daerah provinsi itu dibagi atas Daerah
kabupaten dan kota.
(2) Daerah kabupaten/kota dibagi atas Kecamatan dan
Kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau Desa.
Pasal 3
(1) Daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan Daerah dan
masing-masing mempunyai Pemerintahan Daerah.
(2) Daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan undang-undang.
Pasal 4
(1) Daerah provinsi selain berstatus sebagai Daerah juga
merupakan Wilayah Administratif yang menjadi wilayah
kerja bagi gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dan
wilayah kerja bagi gubernur dalam menyelenggarakan
urusan pemerintahan umum di wilayah Daerah provinsi.
(2) Daerah kabupaten/kota selain berstatus sebagai Daerah
juga merupakan Wilayah Administratif yang menjadi
wilayah kerja bagi bupati/wali kota dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah
Daerah kabupaten/kota.
BAB III
KEKUASAAN PEMERINTAHAN
Pasal 5
(1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
(2) Kekuasaan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diuraikan dalam berbagai Urusan Pemerintahan.
(3) Dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden dibantu oleh
menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan
tertentu.
(4) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) di Daerah dilaksanakan
berdasarkan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas
Pembantuan.
Pasal 6
Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan sebagai dasar dalam
menyelenggarakan Urusan Pemerintahan.
Pasal 7
(1) Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh
Daerah.
(2) Presiden memegang tanggung jawab akhir atas
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang dilaksanakan
oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Pasal 8
(1) Pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) terhadap
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Daerah
provinsi dilaksanakan oleh menteri/kepala lembaga
pemerintah nonkementerian.
(2) Pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) terhadap
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Daerah
kabupaten/kota dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) secara nasional dikoordinasikan oleh
Menteri.

BAB IV
URUSAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Klasifikasi Urusan Pemerintahan
Pasal 9
(1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan
absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan
pemerintahan umum.
(2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
(3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi
antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota.
(4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah
menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.
(5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Bagian Kedua
Urusan Pemerintahan Absolut
Pasal 10
(1) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat:
a. melaksanakan sendiri; atau
b. melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang
ada di Daerah atau gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi.

Bagian Ketiga
Urusan Pemerintahan Konkuren
Pasal 11
(1) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana di maksud
dalam Pasal 9 ayat (3) yang menjadi kewenangan Daerah
terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan
Pemerintahan Pilihan.
(2) Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan
dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang
tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.
(3) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan
Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang sebagian
substansinya merupakan Pelayanan Dasar.
Pasal 12
(1) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan
Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan
masyarakat; dan
f. sosial.
(2) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) meliputi:
a. tenaga kerja;
b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
c. pangan;
d. pertanahan;
e. lingkungan hidup;
f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
g. pemberdayaan masyarakat dan Desa;
h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
i. perhubungan;
j. komunikasi dan informatika;
k. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
l. penanaman . . .
- 12 -
l. penanaman modal;
m. kepemudaan dan olah raga;
n. statistik;
o. persandian;
p. kebudayaan;
q. perpustakaan; dan
r. kearsipan.
(3) Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi:
a. kelautan dan perikanan;
b. pariwisata;
c. pertanian;
d. kehutanan;
e. energi dan sumber daya mineral;
f. perdagangan;
g. perindustrian; dan
h. transmigrasi.
Pasal 13
(1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(3) didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan
eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional.
(2) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah
provinsi atau lintas negara;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah
provinsi atau lintas negara;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak
negatifnya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber
dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh
Pemerintah Pusat; dan/atau
e. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi
kepentingan nasional.
(3) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah provinsi adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah
kabupaten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah
kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak
negatifnya lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber
dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah
Provinsi.
(4) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah kabupaten/kota adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah
kabupaten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah
kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak
negatifnya hanya dalam Daerah kabupaten/kota;
dan/atau
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber
dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah
kabupaten/kota.
Pasal 14
(1) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan,
kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi
antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi.
(2) Urusan Pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan
taman hutan raya kabupaten/kota menjadi kewenangan
Daerah kabupaten/kota.
(3) Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya
mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

(4) Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya


mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berkaitan dengan pemanfaatan langsung panas bumi dalam
Daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah
kabupaten/kota.
(5) Daerah kabupaten/kota penghasil dan bukan penghasil
mendapatkan bagi hasil dari penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Penentuan Daerah kabupaten/kota penghasil untuk
penghitungan bagi hasil kelautan adalah hasil kelautan
yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil diukur dari
garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan
kepulauan.
(7) Dalam hal batas wilayah kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) kurang dari 4 (empat) mil, batas
wilayahnya dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan
prinsip garis tengah dari Daerah yang berbatasan.
Pasal 15
(1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah
kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-
Undang ini.
(2) Urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum
dalam Lampiran Undang-Undang ini menjadi kewenangan
tiap tingkatan atau susunan pemerintahan yang
penentuannya menggunakan prinsip dan kriteria
pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13.
(3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan presiden.
(4) Perubahan terhadap pembagian urusan pemerintahan
konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi
dan Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang tidak berakibat terhadap pengalihan urusan
pemerintahan konkuren pada tingkatan atau susunan
pemerintahan yang lain ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
(5) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dan
kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Pasal 16
(1) Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (3) berwenang untuk:
a. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan;
dan
b. melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah.
(2) Norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa ketentuan
peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat sebagai pedoman dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat dan yang menjadi kewenangan Daerah.
(3) Kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga
pemerintah nonkementerian.
(4) Pelaksanaan kewenangan yang dilakukan oleh lembaga
pemerintah nonkementerian sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) harus dikoordinasikan dengan kementerian terkait.
(5) Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak peraturan
pemerintah mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan
konkuren diundangkan.
Pasal 17
(1) Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah untuk
menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah.
(2) Daerah dalam menetapkan kebijakan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib berpedoman pada norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
(3) Dalam hal kebijakan Daerah yang dibuat dalam rangka
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah tidak mempedomani norma, standar,
prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah Pusat membatalkan kebijakan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) Pemerintah Pusat belum
menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria,
penyelenggara Pemerintahan Daerah melaksanakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Pasal 18
(1) Penyelenggara Pemerintahan Daerah memprioritaskan
pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan
dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (3).
(2) Pelaksanaan Pelayanan Dasar pada Urusan Pemerintahan
Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada standar
pelayanan minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan
minimal diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 19
(1) Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat diselenggarakan:
a. sendiri oleh Pemerintah Pusat;
b. dengan cara melimpahkan kepada gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat atau kepada Instansi Vertikal
yang ada di Daerah berdasarkan asas Dekonsentrasi;
atau
c. dengan cara menugasi Daerah berdasarkan asas Tugas
Pembantuan.
huruf b dibentuk setelah mendapat persetujuan dari
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(3) Pembentukan Instansi Vertikal untuk melaksanakan
urusan pemerintahan absolut dan pembentukan Instansi
Vertikal oleh kementerian yang nomenklaturnya secara
tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tidak memerlukan
persetujuan dari gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penugasan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah
berdasarkan asas Tugas Pembantuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan
peraturan menteri/kepala lembaga pemerintah
nonkementerian.
(5) Peraturan menteri/kepala lembaga pemerintah
nonkementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri.
Pasal 20
(1) Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan
Daerah provinsi diselenggarakan:
a. sendiri oleh Daerah provinsi;
b. dengan cara menugasi Daerah kabupaten/kota
berdasarkan asas Tugas Pembantuan; atau
c. dengan cara menugasi Desa.
(2) Penugasan oleh Daerah provinsi kepada Daerah
kabupaten/kota berdasarkan asas Tugas Pembantuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan kepada
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
ditetapkan dengan peraturan gubernur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan
Daerah kabupaten/kota diselenggarakan sendiri oleh
Daerah kabupaten/kota atau dapat ditugaskan sebagian
pelaksanaannya kepada Desa.
(4) Penugasan oleh Daerah kabupaten/kota kepada Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan
peraturan bupati/wali kota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan urusan
pemerintahan konkuren diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 22
(1) Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah dalam
melaksanakan Tugas Pembantuan.
(2) Kebijakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya terkait dengan pengaturan mengenai pelaksanaan
Tugas Pembantuan di Daerahnya.
(3) Anggaran untuk melaksanakan Tugas Pembantuan
disediakan oleh yang menugasi.
(4) Dokumen anggaran untuk melaksanakan Tugas
Pembantuan disampaikan oleh kepala daerah penerima
Tugas Pembantuan kepada DPRD bersamaan dengan
penyampaian rancangan APBD dalam dokumen yang
terpisah.
(5) Laporan pelaksanaan anggaran Tugas Pembantuan
disampaikan oleh kepala daerah penerima Tugas
Pembantuan kepada DPRD bersamaan dengan
penyampaian laporan keuangan Pemerintah Daerah dalam
dokumen yang terpisah.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 24
(1) Kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian
bersama Pemerintah Daerah melakukan pemetaan Urusan
Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan
Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang
diprioritaskan oleh setiap Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota.
(2) Hasil pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak
berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan
Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan peraturan menteri setelah mendapatkan
rekomendasi dari Menteri.
(3) Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan
dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan untuk menentukan intensitas Urusan
Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan
Dasar berdasarkan jumlah penduduk, besarnya APBD, dan
luas wilayah.
(4) Pemetaan Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menentukan
Daerah yang mempunyai Urusan Pemerintahan Pilihan
berdasarkan potensi, proyeksi penyerapan tenaga kerja, dan
pemanfaatan lahan.
(5) Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan
dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh
Daerah dalam penetapan kelembagaan, perencanaan,
dan penganggaran dalam penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
(6) Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan
dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh
kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian
sebagai dasar untuk pembinaan kepada Daerah dalam
pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak
berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan
Pemerintahan Pilihan secara nasional.
(7) Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan
dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan
serta pembinaan kepada Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (6) dikoordinasikan oleh Menteri.
Bagian Keempat
Urusan Pemerintahan Umum
Pasal 25
(1) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (5) meliputi:
a. pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan
nasional dalam rangka memantapkan pengamalan
Pancasila, pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka
Tunggal Ika serta pemertahanan dan pemeliharaan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;
c. pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasuku, umat
beragama, ras, dan golongan lainnya guna mewujudkan
stabilitas kemanan lokal, regional, dan nasional;
d. penanganan konflik sosial sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
e. koordinasi pelaksanaan tugas antarinstansi
pemerintahan yang ada di wilayah Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/kota untuk menyelesaikan
permasalahan yang timbul dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, hak asasi manusia, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan, potensi serta
keanekaragaman Daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
f. pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan
Pancasila; dan
g. pelaksanaan semua Urusan Pemerintahan yang bukan
merupakan kewenangan Daerah dan tidak dilaksanakan
oleh Instansi Vertikal.
(2) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh gubernur dan bupati/wali kota di
wilayah kerja masing-masing.
(3) Untuk melaksanakan urusan pemerintahan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur dan
bupati/wali kota dibantu oleh Instansi Vertikal.
(4) Dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum,
gubernur bertanggung jawab kepada Presiden melalui
Menteri dan bupati/wali kota bertanggung jawab kepada
Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(5) Gubernur dan bupati/wali kota dalam melaksanakan
urusan pemerintahan umum dibiayai dari APBN.
(6) Bupati/wali kota dalam melaksanakan urusan
pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
pada tingkat Kecamatan melimpahkan pelaksanaannya
kepada camat.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan urusan
pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sampai dengan ayat (6) diatur dalam peraturan pemerintah.
Bagian Kelima
Forkopimda
Pasal 26
(1) Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan urusan
pemerintahan umum, dibentuk Forkopimda provinsi,
Forkopimda kabupaten/kota, dan forum koordinasi
pimpinan di Kecamatan.
(2) Forkopimda provinsi, Forkopimda kabupaten/kota, dan
forum koordinasi pimpinan di Kecamatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh gubernur untuk
Daerah provinsi, oleh bupati/wali kota untuk Daerah
kabupaten/kota, dan oleh camat untuk Kecamatan.
(3) Anggota Forkopimda provinsi dan Forkopimda
kabupaten/kota terdiri atas pimpinan DPRD, pimpinan
kepolisian, pimpinan kejaksaan, dan pimpinan satuan
teritorial Tentara Nasional Indonesia di Daerah.
(4) Anggota forum koordinasi pimpinan di Kecamatan terdiri
atas pimpinan kepolisian dan pimpinan kewilayahan
Tentara Nasional Indonesia di Kecamatan.
(5) Forkopimda provinsi, Forkopimda kabupaten/kota dan
forum koordinasi pimpinan di Kecamatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat mengundang pimpinan
Instansi Vertikal sesuai dengan masalah yang dibahas.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Forkopimda dan forum
koordinasi pimpinan di Kecamatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.

BAB V
KEWENANGAN DAERAH PROVINSI DI LAUT DAN
DAERAH PROVINSI YANG BERCIRI KEPULAUAN
Bagian Kesatu
Kewenangan Daerah Provinsi di Laut
Pasal 27
(1) Daerah provinsi diberi kewenangan untuk mengelola sumber
daya alam di laut yang ada di wilayahnya.
(2) Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya
alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan
kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi;
b. pengaturan administratif;
c. pengaturan tata ruang;
d. ikut serta dalam memelihara keamanan di laut; dan
e. ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara.
(3) Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya
alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling jauh
12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut
lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
(4) Apabila wilayah laut antardua Daerah provinsi kurang dari
24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola
sumber daya alam di laut dibagi sama jarak atau diukur
sesuai dengan prinsip garis tengah dari wilayah antardua
Daerah provinsi tersebut.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil.
Bagian Kedua
Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan
Pasal 28
(1) Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan mempunyai
kewenangan mengelola sumber daya alam di laut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
(2) Selain mempunyai kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan
mendapat penugasan dari Pemerintah Pusat untuk
melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat di bidang
kelautan berdasarkan asas Tugas Pembantuan.
(3) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilaksanakan setelah Pemerintah Daerah Provinsi yang
Berciri Kepulauan memenuhi norma, standar, prosedur,
dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 29
(1) Untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan di
Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan, Pemerintah Pusat
dalam menyusun perencanaan pembangunan dan
menetapkan kebijakan DAU dan DAK harus
memperhatikan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan.
(2) Penetapan kebijakan DAU sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan cara menghitung luas lautan
yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi yang Berciri
Kepulauan dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah
laut.
(3) Dalam menetapkan kebijakan DAK sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah Pusat harus memperhitungkan
pengembangan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan
sebagai kegiatan dalam rangka pencapaian prioritas
nasional berdasarkan kewilayahan.
(4) Berdasarkan alokasi DAU dan DAK sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3), Daerah Provinsi yang Berciri
Kepulauan menyusun strategi percepatan pembangunan
Daerah dengan berpedoman pada ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5) Strategi percepatan pembangunan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) meliputi prioritas pembangunan
dan pengelolaan sumber daya alam di laut, percepatan
pembangunan ekonomi, pembangunan sosial budaya,
pengembangan sumber daya manusia, pembangunan
hukum adat terkait pengelolaan laut, dan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan Daerah Provinsi yang
Berciri Kepulauan.
(6) Dalam rangka mendukung percepatan pembangunan di
Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), Pemerintah Pusat dapat
mengalokasikan dana percepatan di luar DAU dan DAK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan Daerah provinsi di
laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Daerah Provinsi
yang Berciri Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
dan Pasal 29 diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB VI
PENATAAN DAERAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 31
(1) Dalam pelaksanaan Desentralisasi dilakukan penataan
Daerah.
(2) Penataan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditujukan untuk:
a. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah;
b. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat;
c. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik;
d. meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan;
e. meningkatkan daya saing nasional dan daya saing
Daerah; dan
f. memelihara keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya
Daerah.
(3) Penataan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas Pembentukan Daerah dan penyesuaian Daerah.
(4) Pembentukan Daerah dan penyesuaian Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan
berdasarkan pertimbangan kepentingan strategis nasional.
Bagian Kedua
Pembentukan Daerah
Pasal 32
(1) Pembentukan Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (3) berupa:
a. pemekaran Daerah; dan
b. penggabungan Daerah.
(2) Pembentukan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup pembentukan Daerah provinsi dan pembentukan
Daerah kabupaten/kota.
Paragraf 1
Pemekaran Daerah
Pasal 33
(1) Pemekaran Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat (1) huruf a berupa:
a. pemecahan Daerah provinsi atau Daerah
kabupaten/kota untuk menjadi dua atau lebih Daerah
baru; atau
b. penggabungan bagian Daerah dari Daerah yang
bersanding dalam 1 (satu) Daerah provinsi menjadi
satu Daerah baru.
(2) Pemekaran Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui tahapan Daerah Persiapan provinsi atau
Daerah Persiapan kabupaten/kota.
(3) Pembentukan Daerah Persiapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan dasar dan
persyaratan administratif.
Pasal 34
(1) Persyaratan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (3) meliputi:
a. persyaratan dasar kewilayahan; dan
b. persyaratan dasar kapasitas Daerah.
(2) Persyaratan dasar kewilayahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. luas wilayah minimal;
b. jumlah penduduk minimal;
c. batas wilayah;
d. Cakupan Wilayah; dan
e. batas usia minimal Daerah provinsi, Daerah
kabupaten/kota, dan Kecamatan.
(3) Persyaratan dasar kapasitas Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b adalah kemampuan Daerah untuk
berkembang dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Pasal 35
(1) Luas wilayah minimal dan jumlah penduduk minimal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf a dan
huruf b ditentukan berdasarkan pengelompokan pulau atau
kepulauan.
(2) Ketentuan mengenai pengelompokan pulau atau kepulauan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
peraturan pemerintah.
(3) Batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(2) huruf c dibuktikan dengan titik koordinat pada peta
dasar.
(4) Cakupan Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (2) huruf d meliputi:
a. paling sedikit 5 (lima) Daerah kabupaten/kota untuk
pembentukan Daerah provinsi;
b. paling sedikit 5 (lima) Kecamatan untuk pembentukan
Daerah kabupaten; dan
c. paling sedikit 4 (empat) Kecamatan untuk
pembentukan Daerah kota.
(5) Cakupan Wilayah untuk Daerah Persiapan yang wilayahnya
terdiri atas pulau-pulau memuat Cakupan Wilayah
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan rincian nama
pulau yang berada dalam wilayahnya.
(6) Batas usia minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (2) huruf e meliputi:
a. batas usia minimal Daerah provinsi 10 (sepuluh)
tahun dan Daerah kabupaten/kota 7 (tujuh) tahun
terhitung sejak pembentukan; dan
b. batas usia minimal Kecamatan yang menjadi Cakupan
Wilayah Daerah kabupaten/kota 5 (lima) tahun
terhitung sejak pembentukan.
Pasal 36
(1) Persyaratan dasar kapasitas Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (3) didasarkan pada parameter:
a. geografi;
b. demografi;
c. keamanan;
d. sosial politik, adat, dan tradisi;
e. potensi ekonomi ;
f. keuangan Daerah; dan
g. kemampuan penyelenggaraan pemerintahan.
(2) Parameter geografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi:
a. lokasi ibu kota;
b. hidrografi; dan
c. kerawanan bencana.
(3) Parameter demografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi:
a. kualitas sumber daya manusia; dan
b. distribusi penduduk.
(4) Parameter keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c meliputi:
a. tindakan kriminal umum; dan
b. konflik sosial.
(5) Parameter sosial politik, adat, dan tradisi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
a. partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum;
b. kohesivitas sosial; dan
c. organisasi kemasyarakatan.
(6) Parameter potensi ekonomi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e meliputi:
a. pertumbuhan ekonomi; dan
b. potensi unggulan Daerah.
(7) Parameter keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf f meliputi:
a. kapasitas pendapatan asli Daerah induk;
b. potensi pendapatan asli calon Daerah Persiapan; dan
c. pengelolaan keuangan dan aset Daerah.
(8) Parameter kemampuan penyelenggaraan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g meliputi:
a. aksesibilitas pelayanan dasar pendidikan;
b. aksesibilitas pelayanan dasar kesehatan;
c. aksesibilitas pelayanan dasar infrastruktur;
d. jumlah pegawai aparatur sipil negara di Daerah induk;
dan
e. rancangan rencana tata ruang wilayah Daerah
Persiapan.
Pasal 37
Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (3) disusun dengan tata urutan sebagai berikut:
a. untuk Daerah provinsi meliputi:
1. persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota dengan
bupati/wali kota yang akan menjadi Cakupan Wilayah
Daerah Persiapan provinsi; dan
2. persetujuan bersama DPRD provinsi induk dengan
gubernur Daerah provinsi induk.
b. untuk Daerah kabupaten/kota meliputi:
1. keputusan musyawarah Desa yang akan menjadi
Cakupan Wilayah Daerah kabupaten/kota;
2. persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota induk
dengan bupati/wali kota Daerah induk; dan
3. persetujuan bersama DPRD provinsi dengan gubernur
dari Daerah provinsi yang mencakupi Daerah Persiapan
kabupaten/kota yang akan dibentuk.
Pasal 38
(1) Pembentukan Daerah Persiapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (2) diusulkan oleh gubernur kepada
Pemerintah Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, atau Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia setelah memenuhi persyaratan dasar kewilayahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), dan
persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37.
(2) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah Pusat melakukan penilaian terhadap pemenuhan
persyaratan dasar kewilayahan dan persyaratan
administratif.
(3) Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
(4) Dalam hal usulan pembentukan Daerah Persiapan
dinyatakan memenuhi persyaratan dasar kewilayahan dan
persyaratan administratif, dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Pemerintah Pusat
membentuk tim kajian independen.
(5) Tim kajian independen bertugas melakukan kajian terhadap
persyaratan dasar kapasitas Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36.
(6) Hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
disampaikan oleh tim kajian independen kepada Pemerintah
Pusat untuk selanjutnya dikonsultasikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
(7) Hasil konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
menjadi pertimbangan Pemerintah Pusat dalam menetapkan
kelayakan pembentukan Daerah Persiapan.
Pasal 39
(1) Daerah Persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
(2) Jangka waktu Daerah Persiapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah selama 3 (tiga) tahun.
(3) Daerah Persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipimpin oleh kepala daerah persiapan.
(4) Kepala daerah persiapan provinsi diisi dari pegawai negeri
sipil yang memenuhi persyaratan dan diangkat atau
diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri.
(5) Kepala daerah persiapan kabupaten/kota diisi dari pegawai
negeri sipil yang memenuhi persyaratan dan diangkat atau
diberhentikan oleh Menteri atas usul gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat.
(6) Ketentuan mengenai persyaratan kepala daerah persiapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur
dalam peraturan pemerintah.

Pasal 40
(1) Pendanaan penyelenggaraan pemerintahan pada Daerah
Persiapan berasal dari:
a. bantuan pengembangan Daerah Persiapan yang
bersumber dari APBN;
b. bagian pendapatan dari pendapatan asli Daerah induk
yang berasal dari Daerah Persiapan;
c. penerimaan dari bagian dana perimbangan Daerah
induk; dan
d. sumber pendapatan lain yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pendanaan penyelenggaraan pemerintahan pada Daerah
Persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dalam anggaran pendapatan dan belanja Daerah induk.
Pasal 41
(1) Kewajiban Daerah induk terhadap Daerah Persiapan
meliputi:
a. membantu penyiapan sarana dan prasarana
pemerintahan;
b. melakukan pendataan personel, pembiayaan,
peralatan, dan dokumentasi;
c. membuat pernyataan kesediaan untuk menyerahkan
personel, pembiayaan, peralatan, dan dokumentasi
apabila Daerah Persiapan ditetapkan menjadi Daerah
baru; dan
d. menyiapkan dukungan dana.
(2) Kewajiban Daerah Persiapan meliputi:
a. menyiapkan sarana dan prasarana pemerintahan;
b. mengelola personel, peralatan, dan dokumentasi;
c. membentuk perangkat Daerah Persiapan;
d. melaksanakan pengisian jabatan aparatur sipil negara
pada perangkat Daerah Persiapan;
e. mengelola anggaran belanja Daerah Persiapan; dan
f. menangani pengaduan masyarakat.
(3) Masyarakat di Daerah Persiapan melakukan partisipasi dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan, dan kemasyarakatan yang dilakukan oleh
Daerah Persiapan.

Pasal 42
(1) Pemerintah Pusat melakukan pembinaan, pengawasan, dan
evaluasi terhadap Daerah Persiapan selama masa Daerah
Persiapan.
(2) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia melakukan
pengawasan terhadap Daerah Persiapan.
(3) Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melakukan
pengawasan terhadap Daerah Persiapan.
(4) Pemerintah Pusat menyampaikan perkembangan
pembinaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap Daerah
Persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
Pasal 43
(1) Pemerintah Pusat melakukan evaluasi akhir masa Daerah
Persiapan.
(2) Evaluasi akhir masa Daerah Persiapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk menilai
kemampuan Daerah Persiapan dalam melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2).
(3) Hasil evaluasi akhir masa Daerah Persiapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikonsultasikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
(4) Daerah Persiapan yang berdasarkan hasil evaluasi akhir
dinyatakan layak ditingkatkan statusnya menjadi Daerah
baru dan ditetapkan dengan undang-undang.
(5) Daerah Persiapan yang berdasarkan hasil evaluasi akhir
dinyatakan tidak layak dicabut statusnya sebagai Daerah
Persiapan dengan peraturan pemerintah dan dikembalikan
ke Daerah induk.
(6) Undang-undang yang menetapkan Pembentukan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang wilayahnya
terdiri atas pulau-pulau, selain memuat Cakupan Wilayah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4), harus
memuat perincian nama pulau yang berada dalam
wilayahnya.
(7) Daerah baru harus menyelenggarakan pemilihan kepala
daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Paragraf 2
Penggabungan Daerah
Pasal 44
(1) Penggabungan Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (1) huruf b berupa:
a. penggabungan dua Daerah kabupaten/kota atau lebih
yang bersanding dalam satu Daerah provinsi menjadi
Daerah kabupaten/kota baru; dan
b. penggabungan dua Daerah provinsi atau lebih yang
bersanding menjadi Daerah provinsi baru.
(2) Penggabungan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan:
a. kesepakatan Daerah yang bersangkutan; atau
b. hasil evaluasi Pemerintah Pusat.
Pasal 45
(1) Penggabungan Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 ayat (1) yang dilakukan berdasarkan kesepakatan
Daerah yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 ayat (2) huruf a harus memenuhi persyaratan
administratif dan persyaratan dasar kapasitas Daerah.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 berlaku secara mutatis mutandis
terhadap persyaratan administratif dalam rangka
penggabungan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Ketentuan mengenai persyaratan dasar kapasitas Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 berlaku secara
mutatis mutandis terhadap persyaratan kapasitas Daerah
dalam rangka penggabungan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 46
(1) Penggabungan Daerah kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf a yang dilakukan
berdasarkan kesepakatan Daerah yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf a
diusulkan oleh gubernur kepada Pemerintah Pusat, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, atau Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia setelah memenuhi
persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (2).
(2) Penggabungan Daerah provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (1) huruf b yang dilakukan
berdasarkan kesepakatan Daerah yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf a
diusulkan secara bersama oleh gubernur yang Daerahnya
akan digabungkan kepada Pemerintah Pusat, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, atau Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia setelah memenuhi
persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (2).
(3) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), Pemerintah Pusat melakukan penilaian
terhadap pemenuhan persyaratan administratif.
(4) Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia.
(5) Dalam hal usulan penggabungan Daerah dinyatakan
memenuhi persyaratan administratif, Pemerintah Pusat
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia membentuk tim kajian independen.
(6) Tim kajian independen bertugas melakukan kajian
terhadap persyaratan kapasitas Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3).
(7) Hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
disampaikan oleh tim kajian independen kepada
Pemerintah Pusat untuk selanjutnya dikonsultasikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
(8) Hasil konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Pusat, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, atau Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia dalam pembentukan
undang-undang mengenai penggabungan Daerah.
(9) Dalam hal penggabungan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) dinyatakan tidak layak, Pemerintah Pusat,
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, atau Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia menyampaikan
penolakan secara tertulis dengan disertai alasan penolakan
kepada gubernur.
Pasal 47
(1) Penggabungan Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 ayat (2) huruf b dilakukan dalam hal Daerah atau
beberapa Daerah tidak mampu menyelenggarakan Otonomi
Daerah.
(2) Penilaian terhadap kemampuan menyelenggarakan
Otonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Pemerintah Pusat mengajukan rancangan undang-undang
mengenai penggabungan Daerah kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia.
(4) Dalam hal rancangan undang-undang mengenai
penggabungan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) disetujui, rancangan undang-undang dimaksud
ditetapkan menjadi undang-undang.
Bagian Ketiga
Penyesuaian Daerah
Pasal 48
(1) Penyesuaian Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (3) berupa:
a. perubahan batas wilayah Daerah;
b. perubahan nama Daerah;
c. pemberian nama dan perubahan nama bagian rupa
bumi;
d. pemindahan ibu kota; dan/atau
e. perubahan nama ibu kota.
(2) Perubahan batas wilayah Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a ditetapkan dengan undang-undang.
(3) Perubahan nama Daerah, pemberian nama dan perubahan
nama bagian rupa bumi, pemindahan ibu kota, serta
perubahan nama ibu kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e ditetapkan dengan
peraturan pemerintah.

Bagian Keempat
Kepentingan Strategis Nasional
Paragraf 1
Pembentukan Daerah
Pasal 49
(1) Pembentukan Daerah berdasarkan pertimbangan
kepentingan strategis nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (4) berlaku untuk daerah perbatasan,
pulau-pulau terluar, dan Daerah tertentu untuk menjaga
kepentingan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(2) Pembentukan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilakukan melalui tahapan Daerah Persiapan provinsi
atau Daerah Persiapan kabupaten/kota paling lama 5 (lima)
tahun.
(3) Pembentukan Daerah Persiapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus memiliki Cakupan Wilayah dengan
batas-batas yang jelas dan mempertimbangkan parameter
pertahanan dan keamanan, potensi ekonomi, serta
paramater lain yang memperkuat kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 50
(1) Pembentukan Daerah Persiapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 ayat (2) dikonsultasikan oleh Pemerintah
Pusat kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
(2) Pembentukan Daerah Persiapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 ayat (2) ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 51
(1) Pemerintah Pusat menyiapkan sarana dan prasarana serta
penataan personel untuk penyelenggaraan pemerintahan
Daerah Persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
ayat (2).
(2) Kewajiban Daerah Persiapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49 ayat (2):
a. mengelola sarana dan prasarana pemerintahan;
b. mengelola personel, peralatan, dan dokumentasi;
c. membentuk perangkat Daerah Persiapan;
d. melaksanakan pengisian jabatan aparatur sipil negara
pada perangkat Daerah Persiapan;
e. mengelola anggaran belanja Daerah Persiapan; dan
f. menangani pengaduan masyarakat.
(3) Pendanaan untuk penyelenggaraan pemerintahan Daerah
Persiapan dan kewajiban Daerah Persiapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibebankan pada
APBN, pajak daerah, dan retribusi daerah yang dipungut di
Daerah Persiapan.

Pasal 52
(1) Pemerintah Pusat melakukan pembinaan, pengawasan, dan
evaluasi terhadap Daerah Persiapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) selama masa Daerah
Persiapan.
(2) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia melakukan
pengawasan terhadap Daerah Persiapan.
(3) Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melakukan
pengawasan terhadap Daerah Persiapan.
(4) Pemerintah Pusat menyampaikan perkembangan
pembinaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap Daerah
Persiapan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia.
Pasal 53
(1) Pemerintah Pusat melakukan evaluasi akhir masa Daerah
Persiapan.
(2) Evaluasi akhir masa Daerah Persiapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk menilai
kemampuan Daerah Persiapan dalam melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2).
(3) Hasil evaluasi akhir masa Daerah Persiapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikonsultasikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
(4) Daerah Persiapan yang berdasarkan hasil evaluasi akhir
dinyatakan layak ditingkatkan statusnya menjadi Daerah
baru dan ditetapkan dengan undang-undang.
(5) Daerah Persiapan yang berdasarkan hasil evaluasi
dinyatakan tidak layak dicabut statusnya sebagai Daerah
Persiapan dengan peraturan pemerintah dan dikembalikan
ke Daerah induk.
Paragraf 2
Penyesuaian Daerah
Pasal 54
(1) Penyesuaian Daerah berdasarkan pertimbangan
kepentingan strategis nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (4) berupa perubahan batas wilayah
Daerah dan pemindahan ibu kota.
(2) Perubahan batas wilayah Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan undang-undang.
(3) Pemindahan ibu kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan Daerah diatur dengan
peraturan pemerintah.
Bagian Kelima
Desain Besar Penataan Daerah

Pasal 56
(1) Pemerintah Pusat menyusun strategi penataan Daerah
untuk melaksanakan penataan Daerah.
(2) Pemerintah Pusat menyampaikan strategi penataan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
(3) Strategi penataan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dituangkan dalam desain besar penataan Daerah.
(4) Desain besar penataan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) memuat perkiraan jumlah pemekaran Daerah
pada periode tertentu.
(5) Desain besar penataan Daerah dijadikan acuan dalam
pemekaran Daerah baru.
(6) Desain besar penataan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

BAB VII
PENYELENGGARA PEMERINTAHAN DAERAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 57
Penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi dan
kabupaten/kota terdiri atas kepala daerah dan DPRD dibantu
oleh Perangkat Daerah.
Bagian Kedua
Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Pasal 58
Penyelenggara Pemerintahan Daerah, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57, dalam menyelenggarakan Pemerintahan Daerah
berpedoman pada asas penyelenggaraan pemerintahan negara
yang terdiri atas:
a. kepastian hukum;
b. tertib penyelenggara negara;
c. kepentingan umum;
d. keterbukaan;
e. proporsionalitas;
f. profesionalitas;
g. akuntabilitas;
h. efisiensi;
i. efektivitas; dan
j. keadilan.
Bagian Ketiga
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Paragraf 1
Kepala Daerah
Pasal 59
(1) Setiap Daerah dipimpin oleh kepala Pemerintahan Daerah
yang disebut kepala daerah.
(2) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
Daerah provinsi disebut gubernur, untuk Daerah
kabupaten disebut bupati, dan untuk Daerah kota disebut
wali kota.
Pasal 60
Masa jabatan kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (1) adalah selama 5 (lima) tahun terhitung sejak
pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan
yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Pasal 61
(1) Kepala daerah sebelum memangku jabatannya dilantik
dengan mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh
pejabat yang melantik.
(2) Sumpah/janji kepala daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah sebagai berikut:
"Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji akan
memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan menjalankan segala undang-undang dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti
kepada masyarakat, nusa, dan bangsa".
Pasal 62
Ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah diatur dengan
undang-undang.
Paragraf 2
Wakil Kepala Daerah
Pasal 63
(1) Kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (1) dapat dibantu oleh wakil kepala daerah.
(2) Wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk Daerah provinsi disebut wakil gubernur, untuk
Daerah kabupaten disebut wakil bupati, dan untuk Daerah
kota disebut wakil wali kota.
Pasal 64
(1) Wakil kepala daerah sebelum memangku jabatannya
dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji yang dipandu
oleh pejabat yang melantik.
(2) Sumpah/janji wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
"Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji akan
memenuhi kewajiban saya sebagai wakil kepala daerah
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti
kepada masyarakat, nusa dan bangsa".

Paragraf 3
Tugas, Wewenang, Kewajiban, dan Hak
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pasal 65
(1) Kepala daerah mempunyai tugas:
a. memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang
ditetapkan bersama DPRD;
b. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
c. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang
RPJPD dan rancangan Perda tentang RPJMD kepada
DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun
dan menetapkan RKPD;
d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang
APBD, rancangan Perda tentang perubahan APBD, dan
rancangan Perda tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas
bersama;
e. mewakili Daerahnya di dalam dan di luar pengadilan,
dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
f. mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah; dan
g. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepala daerah berwenang:
a. mengajukan rancangan Perda;
b. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan
bersama DPRD;
c. menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah;
d. mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak
yang sangat dibutuhkan oleh Daerah dan/atau
masyarakat;
e. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Kepala daerah yang sedang menjalani masa tahanan
dilarang melaksanakan tugas dan kewenangannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Dalam hal kepala daerah sedang menjalani masa tahanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau berhalangan
sementara, wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan
wewenang kepala daerah.
(5) Apabila kepala daerah sedang menjalani masa tahanan atau
berhalangan sementara dan tidak ada wakil kepala daerah,
sekretaris daerah melaksanakan tugas sehari-hari kepala
daerah.
(6) Apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah sedang
menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara,
sekretaris daerah melaksanakan tugas sehari-hari kepala
daerah.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan
wewenang kepala daerah oleh wakil kepala daerah dan
pelaksanaan tugas sehari-hari kepala daerah oleh sekretaris
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan
ayat (6) diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 66
(1) Wakil kepala daerah mempunyai tugas:
a. membantu kepala daerah dalam:
1. memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah;
2. mengoordinasikan kegiatan Perangkat Daerah dan
menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil
pengawasan aparat pengawasan;
3. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah yang dilaksanakan oleh
Perangkat Daerah provinsi bagi wakil gubernur; dan
4. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh Perangkat
Daerah kabupaten/kota, kelurahan, dan/atau Desa
bagi wakil bupati/wali kota;
b. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala
daerah dalam pelaksanaan Pemerintahan Daerah;
c. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah
apabila kepala daerah menjalani masa tahanan atau
berhalangan sementara; dan
d. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan
kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala
daerah yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), wakil kepala daerah bertanggung
jawab kepada kepala daerah.
Pasal 67
Kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah meliputi:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila,
melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. menaati seluruh ketentuan peraturan perundangundangan;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah;
e. menerapkan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan
baik;
f. melaksanakan program strategis nasional; dan
g. menjalin hubungan kerja dengan seluruh Instansi Vertikal
di Daerah dan semua Perangkat Daerah.
Pasal 68
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang tidak
melaksanakan program strategis nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 67 huruf f dikenai sanksi
administratif berupa teguran tertulis oleh Menteri untuk
gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk bupati dan/atau
wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
(2) Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan
tetap tidak dilaksanakan, kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah diberhentikan sementara selama
3 (tiga) bulan.
(3) Dalam hal kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
telah selesai menjalani pemberhentian sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap tidak
melaksanakan program strategis nasional, yang
bersangkutan diberhentikan sebagai kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah.
Pasal 69
(1) Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 67 kepala daerah wajib menyampaikan laporan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, laporan keterangan
pertanggungjawaban, dan ringkasan laporan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
(2) Laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup laporan
kinerja instansi Pemerintah Daerah.
Pasal 70
(1) Laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah memuat
capaian kinerja penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan
pelaksanaan Tugas Pembantuan.
(2) Gubernur menyampaikan laporan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 ayat (1) kepada Presiden melalui Menteri
yang dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(3) Bupati/wali kota menyampaikan laporan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) kepada Menteri melalui
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat yang dilakukan
1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(4) Laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun
anggaran berakhir.
(5) Laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
digunakan sebagai bahan evaluasi dan pembinaan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah oleh Pemerintah
Pusat.
(6) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), Menteri mengoordinasikan pengembangan
kapasitas Pemerintahan Daerah.
(7) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat
berupa pemberian penghargaan dan sanksi.
Pasal 71
(1) Laporan keterangan pertanggungjawaban memuat hasil
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang dilaksanakan
oleh Pemerintah Daerah.
(2) Kepala daerah menyampaikan laporan keterangan
pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) kepada DPRD yang dilakukan 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun paling lambat 3 (tiga) bulan setelah
tahun anggaran berakhir.
(3) Laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas oleh DPRD
untuk rekomendasi perbaikan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
Pasal 72
Kepala daerah menyampaikan ringkasan laporan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat
bersamaan dengan penyampaian laporan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
Pasal 73
(1) Kepala daerah yang tidak menyampaikan laporan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70 ayat (4) dan ringkasan laporan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 72 dikenai sanksi administratif
berupa teguran tertulis oleh Menteri untuk gubernur dan
oleh gubernur, sebagai wakil Pemerintah Pusat, untuk
bupati/wali kota.
(2) Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan
tetap tidak dilaksanakan, kepala daerah diwajibkan
mengikuti program pembinaan khusus pendalaman bidang
pemerintahan yang dilaksanakan oleh Kementerian serta
tugas dan kewenangannya dilaksanakan oleh wakil kepala
daerah atau oleh pejabat yang ditunjuk.
(3) Dalam hal kepala daerah tidak melaksanakan kewajiban
menyampaikan laporan keterangan pertanggungjawaban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2), DPRD
provinsi dapat menggunakan hak interpelasi kepada
gubernur dan DPRD kabupaten/kota dapat menggunakan
hak interpelasi kepada bupati/wali kota.
(4) Apabila penjelasan kepala daerah terhadap penggunaan hak
interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
diterima, DPRD provinsi melaporkan gubernur kepada
Menteri dan DPRD kabupaten/kota melaporkan bupati/wali
kota kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(5) Berdasarkan laporan dari DPRD sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), Menteri memberikan sanksi teguran tertulis
kepada gubernur dan gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat, memberikan sanksi teguran tertulis kepada
bupati/wali kota.
(6) Apabila sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah
disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan tetap tidak
dilaksanakan, kepala daerah diwajibkan mengikuti program
pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan yang
dilaksanakan oleh Kementerian serta tugas dan
kewenangannya dilaksanakan oleh wakil kepala daerah
atau oleh pejabat yang ditunjuk.
Pasal 74
Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, laporan keterangan pertanggungjawaban
dan ringkasan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,
serta tata cara evaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) dan Pasal 70
ayat (5) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 75
(1) Dalam melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah, kepala daerah dan wakil kepala
daerah mempunyai hak protokoler dan hak keuangan.
(2) Hak keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi gaji pokok, tunjangan jabatan, dan tunjangan lain.
(3) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang dikenai
sanksi pemberhentian sementara tidak mendapatkan hak
protokoler serta hanya diberikan hak keuangan berupa gaji
pokok, tunjangan anak, dan tunjangan istri/suami.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak protokoler dan hak
keuangan kepala daerah dan wakil kepala daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.
Paragraf 4
Larangan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pasal 76
(1) Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang:
a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan
keuntungan pribadi, keluarga, kroni, golongan tertentu,
atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. membuat kebijakan yang merugikan kepentingan umum
dan meresahkan sekelompok masyarakat atau
mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan
masyarakat lain yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. menjadi pengurus suatu perusahaan, baik milik swasta
maupun milik negara/daerah atau pengurus yayasan
bidang apa pun;
d. menyalahgunakan wewenang yang menguntungkan diri
sendiri dan/atau merugikan Daerah yang dipimpin;
e. melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta
menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain
yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang
akan dilakukan;
f. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu
perkara di pengadilan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 65 ayat (1) huruf e;
g. menyalahgunakan wewenang dan melanggar
sumpah/janji jabatannya;
h. merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya
sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan;
i. melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin dari
Menteri; dan
j. meninggalkan tugas dan wilayah kerja lebih dari
7 (tujuh) Hari berturut-turut atau tidak berturut-turut
dalam waktu 1 (satu) bulan tanpa izin Menteri untuk
gubernur dan wakil gubernur serta tanpa izin gubernur
untuk bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil
wali kota.
(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j
jika dilakukan untuk kepentingan pengobatan yang bersifat
mendesak.
Pasal 77
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi
pengurus suatu perusahaan, baik milik swasta maupun
milik negara/daerah atau pengurus yayasan bidang apa
pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf c
dikenai sanksi pemberhentian sementara selama 3 (tiga)
bulan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil
gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/wakil bupati
atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang
melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf i
dikenai sanksi pemberhentian sementara selama 3 (tiga)
bulan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil
gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil
bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
(3) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang
meninggalkan tugas dan wilayah kerja lebih dari 7 (tujuh)
Hari berturut-turut atau tidak berturut-turut dalam waktu
1 (satu) bulan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76 ayat (1) huruf j dikenai sanksi teguran tertulis oleh
Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta
oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali
kota dan/atau wakil wali kota.
(4) Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan
tetap tidak dilaksanakan, kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah diwajibkan mengikuti program
pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan yang
dilaksanakan oleh Kementerian.
(5) Dalam hal kepala Daerah mengikuti program pembinaan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tugas dan
kewenangannya dilaksanakan oleh wakil kepala daerah
atau oleh pejabat yang ditunjuk.

Paragraf 5
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pasal 78
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti
karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; atau
c. diberhentikan.
(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena:
a. berakhir masa jabatannya;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama
6 (enam) bulan;
c. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala
daerah/wakil kepala daerah;
d. tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil
kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67
huruf b;
e. melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala
daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1),
kecuali huruf c, huruf i, dan huruf j;
f. melakukan perbuatan tercela;
g. diberi tugas dalam jabatan tertentu oleh Presiden yang
dilarang untuk dirangkap oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan;
h. menggunakan dokumen dan/atau keterangan palsu
sebagai persyaratan pada saat pencalonan kepala
daerah/wakil kepala daerah berdasarkan pembuktian
dari lembaga yang berwenang menerbitkan dokumen;
dan/atau
i. mendapatkan sanksi pemberhentian.

Pasal 79
(1) Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1)
huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a dan huruf b
diumumkan oleh pimpinan DPRD dalam rapat paripurna
dan diusulkan oleh pimpinan DPRD kepada Presiden
melalui Menteri untuk gubernur dan/atau wakil gubernur
serta kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat untuk bupati dan/atau wakil bupati atau
wali kota dan/atau wakil wali kota untuk mendapatkan
penetapan pemberhentian.
(2) Dalam hal pimpinan DPRD tidak mengusulkan
pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden
memberhentikan gubernur dan/atau wakil gubernur atas
usul Menteri serta Menteri memberhentikan bupati
dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali
kota atas usul gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(3) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak
mengusulkan pemberhentian bupati dan/atau wakil bupati
atau wali kota dan/atau wakil wali kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Menteri memberhentikan bupati
dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali
kota.
Pasal 80
(1) Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2)
huruf c, huruf d, huruf e, dan/atau huruf f dilaksanakan
dengan ketentuan:
a. pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah diusulkan kepada Presiden untuk gubernur
dan/atau wakil gubernur serta kepada Menteri untuk
bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau
wakil wali kota berdasarkan putusan Mahkamah Agung
atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah dinyatakan melanggar
sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b, atau
melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
ayat (1), kecuali huruf c, huruf i, huruf j, dan/atau
melakukan perbuatan tercela;
b. pendapat DPRD sebagaimana dimaksud pada huruf a
diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD yang
dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari
jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan
persetujuan paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah
anggota DPRD yang hadir;
c. Mahkamah Agung memeriksa, mengadili, dan memutus
pendapat DPRD tersebut paling lambat 30 (tiga puluh)
Hari setelah permintaan DPRD diterima Mahkamah
Agung dan putusannya bersifat final;
d. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah terbukti
melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan
kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b, atau
melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala
daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1),
kecuali huruf c, huruf i, huruf j, dan/atau melakukan
perbuatan tercela, pimpinan DPRD menyampaikan usul
kepada Presiden untuk pemberhentian gubernur
dan/atau wakil gubernur dan kepada Menteri untuk
pemberhentian bupati dan/atau wakil bupati atau wali
kota dan/atau wakil wali kota;
e. Presiden wajib memberhentikan gubernur dan/atau
wakil gubernur paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sejak
Presiden menerima usul pemberhentian tersebut dari
pimpinan DPRD; dan
f. Menteri wajib memberhentikan bupati dan/atau wakil
bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota paling
lambat 30 (tiga puluh) Hari sejak Menteri menerima usul
pemberhentian tersebut dari pimpinan DPRD.
(2) Dalam hal pimpinan DPRD tidak menyampaikan usul
pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling
lambat 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya
pemberitahuan putusan Mahkamah Agung, Presiden
memberhentikan gubernur dan/atau wakil gubernur atas
usul Menteri dan Menteri memberhentikan bupati dan/atau
wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota atas
usul gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(3) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak
menyampaikan usul kepada Menteri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Menteri memberhentikan bupati
dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali
kota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur
dalam peraturan pemerintah.
Pasal 81
(1) Dalam hal DPRD tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1), Pemerintah
Pusat memberhentikan kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah yang:
a. melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah/wakil
kepala daerah;
b. tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil
kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67
huruf b;
c. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76 kecuali huruf c, huruf i, dan huruf j; dan/atau
d. melakukan perbuatan tercela.
(2) Untuk melaksanakan pemberhentian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat melakukan
pemeriksaan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah untuk menemukan bukti-bukti terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah.
(3) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh Pemerintah Pusat kepada Mahkamah
Agung untuk mendapat keputusan tentang pelanggaran
yang dilakukan oleh kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah.
(4) Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah terbukti melakukan
pelanggaran, Pemerintah Pusat memberhentikan kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah oleh Pemerintah
Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (4) diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 82
(1) Dalam hal kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
diduga menggunakan dokumen dan/atau keterangan palsu
sebagai persyaratan pada saat pencalonan kepala
daerah/wakil kepala daerah berdasarkan pembuktian dari
lembaga yang berwenang menerbitkan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) huruf h,
DPRD menggunakan hak angket untuk melakukan
penyelidikan.
(2) Dalam hal hasil penyelidikan oleh DPRD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah terbukti menggunakan dokumen dan/atau
keterangan palsu sebagai persyaratan pada saat pencalonan
kepala daerah/wakil kepala daerah berdasarkan
pembuktian dari lembaga yang berwenang menerbitkan
dokumen tersebut, DPRD provinsi mengusulkan
pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur kepada
Presiden melalui Menteri serta DPRD kabupaten/kota
mengusulkan pemberhentian bupati dan/atau wakil bupati
atau wali kota dan/atau wakil wali kota kepada Menteri
melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(3) Berdasarkan usulan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Presiden memberhentikan gubernur dan/atau
wakil gubernur paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sejak
diterimanya usulan dari DPRD provinsi.
(4) Berdasarkan . . .
- 54 -
(4) Berdasarkan usulan DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Menteri memberhentikan bupati
dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali
kota paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sejak diterimanya
usulan dari DPRD kabupaten/kota.
(5) Dalam hal DPRD tidak melakukan penyelidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat
melakukan klarifikasi kepada DPRD bersangkutan.
(6) Apabila DPRD dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak
dilakukan klarifikasi tetap tidak melakukan penyelidikan,
Pemerintah Pusat melakukan pemeriksaan.
(7) Dalam hal hasil pemeriksaan oleh Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah terbukti menggunakan
dokumen dan/atau keterangan palsu sebagai persyaratan
pada saat pencalonan kepala daerah/wakil kepala daerah
berdasarkan pembuktian dari lembaga yang berwenang
menerbitkan dokumen tersebut, Presiden memberhentikan
gubernur dan/atau wakil gubernur serta Menteri
memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati atau wali
kota dan/atau wakil wali kota.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur
dalam peraturan pemerintah.
Pasal 83
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan
sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa
melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana
korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana
terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang
dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi
terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di
pengadilan.
(3) Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau
wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau
wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
(4) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan
tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
(5) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil
gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil
bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
Pasal 84
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang
diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 83 ayat (1), setelah melalui proses peradilan ternyata
terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan,
paling lambat 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak
diterimanya pemberitahuan putusan pengadilan, Presiden
mengaktifkan kembali gubernur dan/atau wakil gubernur
yang bersangkutan, dan Menteri mengaktifkan kembali
bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil
wali kota yang bersangkutan.
(2) Apabila setelah diaktifkan kembali sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
ternyata terbukti bersalah berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Presiden
memberhentikan gubernur dan/atau wakil gubernur dan
Menteri memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati
atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
(3) Apabila setelah diaktifkan kembali sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
Presiden merehabilitasi gubernur dan/atau wakil gubernur
dan Menteri merehabilitasi bupati dan/atau wakil bupati
atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
Pasal 85
(1) Dalam hal kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas karena
dugaan melakukan tindak pidana yang terkait dengan
tugas, kewenangan, dan kewajibannya, DPRD dapat
menggunakan hak interpelasi dan hak angket untuk
menanggapinya.
(2) Penggunaan hak interpelasi dan hak angket sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal DPRD menyetujui penggunaan hak angket
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DPRD membentuk
panitia khusus untuk melakukan penyelidikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal ditemukan bukti kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), DPRD menyerahkan proses
penyelesaiannya kepada aparat penegak hukum sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 86
(1) Apabila kepala daerah diberhentikan sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1), wakil
kepala daerah melaksanakan tugas dan kewenangan kepala
daerah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Apabila gubernur diberhentikan sementara dan tidak ada
wakil gubernur, Presiden menetapkan penjabat gubernur
atas usul Menteri.
(3) Apabila bupati/wali kota diberhentikan sementara dan
tidak ada wakil bupati/wakil wali kota, Menteri menetapkan
penjabat bupati/wali kota atas usul gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat.
(4) Apabila wakil kepala daerah diberhentikan sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1), tugas
wakil kepala daerah dilaksanakan oleh kepala daerah
sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
(5) Apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 83 ayat (1), Presiden menetapkan penjabat gubernur
atas usul Menteri dan Menteri menetapkan penjabat
bupati/wali kota atas usul gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat sampai dengan adanya putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan masa
jabatan penjabat gubernur dan bupati/wali kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (5)
diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 87
(1) Apabila gubernur berhenti sebagaimana dimaksud pada
Pasal 78 atau diberhentikan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dilakukan pengisian jabatan gubernur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
pemilihan kepala daerah.
(2) Apabila bupati/wali kota berhenti sebagaimana dimaksud
pada Pasal 78 atau diberhentikan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dilakukan pengisian jabatan bupati/wali kota sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai pemilihan kepala daerah.
Pasal 88
(1) Dalam hal pengisian jabatan gubernur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) belum dilakukan, wakil
gubernur melaksanakan tugas sehari-hari gubernur sampai
dilantiknya gubernur atau sampai dengan diangkatnya
penjabat gubernur.
(2) Dalam hal pengisian jabatan bupati/wali kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) belum dilakukan, wakil
bupati/wakil wali kota melaksanakan tugas sehari-hari
bupati/wali kota sampai dengan dilantiknya bupati/wali
kota atau sampai diangkatnya penjabat bupati/wali kota.
Pasal 89
Apabila wakil kepala daerah berhenti sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 78 atau diberhentikan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (4), pengisian
jabatan wakil kepala daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan kepala
daerah.

Paragraf 6
Tindakan Penyidikan
Pasal 90
(1) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan
terhadap gubernur dan/atau wakil gubernur memerlukan
persetujuan tertulis dari Presiden dan terhadap bupati
dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali
kota memerlukan persetujuan tertulis dari Menteri.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak diberikan, dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) Hari terhitung sejak diterimanya permohonan, dapat
dilakukan proses penyidikan yang dilanjutkan dengan
penahanan.
(3) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan;
atau
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana mati atau telah melakukan
tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
(4) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah dilakukan
wajib dilaporkan kepada Presiden untuk gubernur dan/atau
wakil gubernur dan kepada Menteri untuk bupati dan/atau
wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota paling
lambat dalam waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam
sejak dilakukan penyidikan yang dilanjutkan dengan
penahanan.

Paragraf 7
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat
Pasal 91
(1) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah kabupaten/kota dan Tugas
Pembantuan oleh Daerah kabupaten/kota, Presiden
dibantu oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(2) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat mempunyai tugas:
a. mengoordinasikan pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan Tugas Pembantuan di Daerah
kabupaten/kota;
b. melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota
yang ada di wilayahnya;
c. memberdayakan dan memfasilitasi Daerah
kabupaten/kota di wilayahnya;
d. melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang RPJPD, RPJMD, APBD,
perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD, tata ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi
daerah;
e. melakukan pengawasan terhadap Perda
Kabupaten/Kota; dan
f. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud ayat
(2), gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mempunyai
wewenang:
a. membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan
bupati/wali kota;
b. memberikan penghargaan atau sanksi kepada
bupati/wali kota terkait dengan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah;
c. menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan
fungsi pemerintahan antar-Daerah kabupaten/kota
dalam 1 (satu) Daerah provinsi;
d. memberikan persetujuan terhadap rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang pembentukan dan susunan
Perangkat Daerah kabupaten/kota; dan
e. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Selain melaksanakan pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat mempunyai tugas dan wewenang:
a. menyelaraskan perencanaan pembangunan antar-
Daerah kabupaten/kota dan antara Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/kota di wilayahnya;
b. mengoordinasikan kegiatan pemerintahan dan
pembangunan antara Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota dan antar-Daerah kabupaten/kota
yang ada di wilayahnya;
c. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Pusat atas
usulan DAK pada Daerah kabupaten/kota di
wilayahnya;
d. melantik bupati/wali kota;
e. memberikan persetujuan pembentukan Instansi Vertikal
di wilayah provinsi kecuali pembentukan Instansi
Vertikal untuk melaksanakan urusan pemerintahan
absolut dan pembentukan Instansi Vertikal oleh
kementerian yang nomenklaturnya secara tegas
disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
f. melantik kepala Instansi Vertikal dari kementerian dan
lembaga pemerintah nonkementerian yang ditugaskan
di wilayah Daerah provinsi yang bersangkutan kecuali
untuk kepala Instansi Vertikal yang melaksanakan
urusan pemerintahan absolut dan kepala Instansi
Vertikal yang dibentuk oleh kementerian yang
nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; dan
g. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Pendanaan pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (4) dibebankan pada APBN.
(6) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dapat menjatuhkan
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
kepada penyelenggara Pemerintahan Daerah
kabupaten/kota.
(7) Tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat dapat didelegasikan kepada wakil gubernur.
(8) Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang serta
hak keuangan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 92
Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak
melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 91 ayat (2) sampai dengan ayat (4), Menteri
mengambil alih pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Pasal 93
(1) Gubernur dalam menyelenggarakan tugas sebagai wakil
Pemerintah Pusat dibantu oleh perangkat gubernur.
(2) Perangkat gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas sekretariat dan paling banyak 5 (lima) unit
kerja.
(3) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipimpin
oleh sekretaris gubernur.
(4) Sekretaris daerah provinsi karena jabatannya ditetapkan
sebagai sekretaris gubernur.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, tugas,
dan fungsi perangkat gubernur diatur dalam peraturan
pemerintah.
Bagian Keempat
DPRD Provinsi
Paragraf 1
Susunan dan Kedudukan
Pasal 94
DPRD provinsi terdiri atas anggota partai politik peserta
pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.
Pasal 95
(1) DPRD provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat
Daerah provinsi yang berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi.
(2) Anggota DPRD provinsi adalah pejabat Daerah provinsi.
Paragraf 2
Fungsi
Pasal 96
(1) DPRD provinsi mempunyai fungsi:
a. pembentukan Perda provinsi;
b. anggaran; dan
c. pengawasan.
(2) Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di Daerah
provinsi.
(3) Dalam rangka melaksanakan fungsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), DPRD provinsi menjaring aspirasi
masyarakat.
Pasal 97
Fungsi pembentukan Perda Provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 96 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan cara:
a. membahas bersama gubernur dan menyetujui atau tidak
menyetujui rancangan Perda Provinsi;
b. mengajukan usul rancangan Perda Provinsi; dan
c. menyusun program pembentukan Perda bersama gubernur.
Pasal 98
(1) Program pembentukan Perda provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 huruf c memuat daftar urutan
dan prioritas rancangan Perda Provinsi yang akan dibuat
dalam 1 (satu) tahun anggaran.
(2) Dalam menetapkan program pembentukan Perda Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD provinsi
melakukan koordinasi dengan gubernur.
Pasal 99
(1) Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96
ayat (1) huruf b diwujudkan dalam bentuk pembahasan
untuk persetujuan bersama terhadap rancangan Perda
Provinsi tentang APBD provinsi yang diajukan oleh
gubernur.
(2) Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan cara:
a. membahas KUA dan PPAS yang disusun oleh gubernur
berdasarkan RKPD;
b. membahas rancangan Perda Provinsi tentang APBD
provinsi;
c. membahas rancangan Perda Provinsi tentang perubahan
APBD provinsi; dan
d. membahas rancangan Perda Provinsi tentang
Pertanggungjawaban APBD provinsi.
Pasal 100
(1) Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96
ayat (1) huruf c diwujudkan dalam bentuk pengawasan
terhadap:
a. pelaksanaan Perda provinsi dan peraturan gubernur;
b. pelaksanaan peraturan perundang-undangan lain yang
terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
provinsi; dan
c. pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan
keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c, DPRD provinsi berhak mendapatkan
laporan hasil pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan.
(3) DPRD provinsi melakukan pembahasan terhadap laporan
hasil pemeriksaan laporan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) DPRD provinsi dapat meminta klarifikasi atas temuan
laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan kepada Badan
Pemeriksa Keuangan.

Paragraf 3
Tugas dan Wewenang
Pasal 101
(1) DPRD provinsi mempunyai tugas dan wewenang:
a. membentuk Perda Provinsi bersama gubernur;
b. membahas dan memberikan persetujuan Rancangan
Perda Provinsi tentang APBD Provinsi yang diajukan
oleh gubernur;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
Perda Provinsi dan APBD provinsi;
d. memilih gubernur;
e. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian
gubernur kepada Presiden melalui Menteri untuk
mendapatkan pengesahan pengangkatan dan
pemberhentian;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada
Pemerintah Daerah provinsi terhadap rencana
perjanjian internasional di Daerah provinsi;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama
internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
provinsi;
h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban
gubernur dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah provinsi;
i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama
dengan Daerah lain atau dengan pihak ketiga yang
membebani masyarakat dan Daerah provinsi; dan
j. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.

Paragraf 4
Keanggotaan
Pasal 102
(1) Anggota DPRD provinsi berjumlah paling sedikit 35 (tiga
puluh lima) orang dan paling banyak 100 (seratus) orang.
(2) Keanggotaan DPRD provinsi diresmikan dengan keputusan
Menteri.
(3) Anggota DPRD provinsi berdomisili di ibu kota provinsi
yang bersangkutan.
(4) Masa jabatan anggota DPRD provinsi adalah 5 (lima)
tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD provinsi yang
baru mengucapkan sumpah/janji.
Pasal 103
(1) Anggota DPRD provinsi sebelum memangku jabatannya
mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang
dipandu oleh ketua pengadilan tinggi dalam rapat
paripurna DPRD provinsi.
(2) Anggota DPRD provinsi yang berhalangan mengucapkan
sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh
pimpinan DPRD provinsi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan
sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang
tata tertib.
Pasal 104
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 adalah
sebagai berikut:
Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai
anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
provinsi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan
berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan
sungguh-sungguh demi tegaknya kehidupan demokrasi serta
mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada
kepentingan pribadi, seseorang, atau golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya
wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan
bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 105
(1) Dalam hal dilakukan pembentukan Daerah provinsi
setelah pemilihan umum, pengisian anggota DPRD
provinsi di Daerah provinsi induk dan Daerah provinsi
yang dibentuk setelah pemilihan umum dilakukan dengan
cara:
a. menetapkan jumlah kursi DPRD provinsi induk dan
Daerah provinsi yang dibentuk setelah pemilihan
umum berdasarkan jumlah penduduk sesuai dengan
ketentuan dalam undang-undang mengenai pemilihan
umum anggota DPR, DPD, dan DPRD;
b. menetapkan perolehan suara partai politik dan calon
anggota DPRD provinsi berdasarkan hasil pemilihan
umum di daerah pemilihan Daerah provinsi induk dan
Daerah provinsi yang dibentuk setelah pemilihan
umum;
c. menentukan bilangan pembagi pemilih berdasarkan
hasil pemilihan umum di daerah pemilihan Daerah
provinsi induk dan Daerah provinsi yang dibentuk
setelah pemilihan umum;
d. menentukan perolehan kursi partai politik peserta
pemilihan umum berdasarkan hasil pemilihan umum
di daerah pemilihan Daerah provinsi induk dan Daerah
provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum; dan
e. menetapkan calon terpilih dari daftar calon tetap untuk
mengisi kursi sebagaimana dimaksud pada huruf d
berdasarkan suara terbanyak.
(2) Pengisian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh komisi pemilihan umum
Daerah provinsi induk.
(3) Pengisian anggota DPRD provinsi tidak dilakukan bagi
Daerah provinsi yang dibentuk 12 (dua belas) bulan
sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(4) Masa jabatan anggota DPRD provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berakhir pada saat anggota DPRD
provinsi hasil pemilihan umum berikutnya mengucapkan
sumpah/janji.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jumlah dan
tata cara pengisian keanggotaan DPRD provinsi induk dan
Daerah provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan Komisi Pemilihan Umum sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 5
Hak DPRD Provinsi
Pasal 106
(1) DPRD provinsi mempunyai hak:
a. interpelasi;
b. angket; dan
c. menyatakan pendapat.
(2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a adalah hak DPRD provinsi untuk meminta keterangan
kepada gubernur mengenai kebijakan Pemerintah Daerah
provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas
pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
(3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
adalah hak DPRD provinsi untuk melakukan penyelidikan
terhadap kebijakan Pemerintah Daerah provinsi yang
penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan masyarakat, Daerah, dan negara yang diduga
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c adalah hak DPRD provinsi untuk
menyatakan pendapat terhadap kebijakan gubernur atau
mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di Daerah
provinsi disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya
atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi
dan hak angket.

Paragraf 6
Hak dan Kewajiban Anggota
Pasal 107
Anggota DPRD provinsi mempunyai hak:
a. mengajukan rancangan Perda Provinsi;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;
h. protokoler; dan
i. keuangan dan administratif.
Pasal 108
Anggota DPRD provinsi berkewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan menaati ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan
pribadi, kelompok, dan golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah;
g. menaati tata tertib dan kode etik;
h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan
lembaga lain dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
provinsi;
i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui
kunjungan kerja secara berkala;
j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan
masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis
kepada konstituen di daerah pemilihannya.

Paragraf 7
Fraksi
Pasal 109
(1) Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan
wewenang DPRD provinsi serta hak dan kewajiban anggota
DPRD provinsi, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun
anggota DPRD provinsi.
(2) Setiap anggota DPRD provinsi harus menjadi anggota
salah satu fraksi.
(3) Setiap fraksi di DPRD provinsi beranggotakan paling
sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRD provinsi.
(4) Partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD provinsi
mencapai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
atau lebih dapat membentuk 1 (satu) fraksi.
(5) Dalam hal partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD
provinsi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), anggotanya dapat bergabung
dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.
(6) Dalam hal tidak ada satu partai politik yang memenuhi
persyaratan untuk membentuk fraksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) maka dibentuk fraksi gabungan.
(7) Jumlah fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dan ayat (6) paling banyak 2 (dua) fraksi.
(8) Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
ayat (5) harus mendudukkan anggotanya dalam 1 (satu)
fraksi.
(9) Fraksi mempunyai sekretariat.
(10) Sekretariat DPRD provinsi menyediakan sarana, anggaran,
dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi
sesuai dengan kebutuhan dan dengan memperhatikan
kemampuan APBD.

Paragraf 8
Alat Kelengkapan DPRD Provinsi
Pasal 110
(1) Alat kelengkapan DPRD provinsi terdiri atas:
a. pimpinan;
b. badan musyawarah;
c. komisi;
d. badan pembentukan Perda Provinsi;
e. badan anggaran;
f. badan kehormatan; dan
g. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk
oleh rapat paripurna.
(2) Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh
sekretariat dan dapat dibantu oleh kelompok pakar atau
tim ahli.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan,
serta tugas dan wewenang alat kelengkapan DPRD
provinsi diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang
tata tertib.
Pasal 111
(1) Pimpinan DPRD provinsi terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua
untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 85 (delapan
puluh lima) sampai dengan 100 (seratus) orang;
b. 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua
untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 45 (empat
puluh lima) sampai dengan 84 (delapan puluh empat)
orang;
c. 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua
untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga
puluh lima) sampai dengan 44 (empat puluh empat)
orang.
(2) Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal
dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi
terbanyak di DPRD provinsi.
(3) Ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang
berasal dari partai politik yang memperolah kursi
terbanyak pertama di DPRD provinsi.
(4) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), ketua DPRD provinsi ialah
anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik
yang memperoleh suara terbanyak.
(5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik
yang memperoleh suara terbanyak sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), penentuan ketua DPRD provinsi
dilakukan berdasarkan persebaran perolehan suara partai
politik yang paling merata urutan pertama.
(6) Dalam hal ketua DPRD provinsi ditetapkan dari anggota
DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wakil
ketua DPRD Provinsi ditetapkan dari anggota DPRD
provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh
kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat dan/atau kelima
sesuai dengan jumlah wakil ketua DPRD provinsi.
(7) Dalam hal ketua DPRD provinsi ditetapkan dari anggota
DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
wakil ketua DPRD Provinsi ditetapkan dari anggota DPRD
provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh
urutan suara terbanyak kedua, ketiga, keempat dan/atau
kelima sesuai dengan jumlah wakil ketua DPRD provinsi.
(8) Dalam hal ketua DPRD provinsi ditetapkan dari anggota
DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), wakil
ketua DPRD Provinsi ditetapkan dari anggota DPRD
provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh
persebaran suara paling merata urutan kedua, ketiga,
keempat dan/atau kelima sesuai dengan jumlah wakil
ketua DPRD provinsi.
Pasal 112
(1) Dalam hal pimpinan DPRD provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) belum terbentuk,
DPRD provinsi dipimpin oleh pimpinan sementara DPRD
provinsi.
(2) Pimpinan sementara DPRD provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua
dan 1 (satu) orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua)
partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama
dan kedua di DPRD provinsi.
(3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua
sementara DPRD provinsi ditentukan secara musyawarah
oleh wakil partai politik bersangkutan yang ada di DPRD
provinsi.
(4) Ketua dan wakil ketua DPRD provinsi diresmikan dengan
keputusan Menteri.
(5) Pimpinan DPRD provinsi sebelum memangku jabatannya
mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 104 yang dipandu oleh ketua
pengadilan tinggi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan
pimpinan DPRD provinsi diatur dalam peraturan DPRD
provinsi tentang tata tertib.
Pasal 113
Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf c
dibentuk dengan ketentuan:
a. DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima)
sampai dengan 55 (lima puluh lima) orang membentuk
4 (empat) komisi;
b. DPRD provinsi yang beranggotakan lebih dari 55 (lima puluh
lima) orang membentuk 5 (lima) komisi.

Paragraf 9
Pelaksanaan Hak DPRD Provinsi
Pasal 114
(1) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106
ayat (1) huruf a diusulkan oleh:
a. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD
provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD
provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima)
orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;
b. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD
provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD
provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh
lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
kepada pimpinan DPRD provinsi.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
interpelasi DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan
dari rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri lebih
dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPRD provinsi dan
putusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu
per dua) jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
hak interpelasi diatur dalam peraturan DPRD provinsi
tentang tata tertib.
Pasal 115
(1) Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat
(1) huruf b diusulkan oleh:
a. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD
provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD
provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima)
orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;
b. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD
provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD
provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh
lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
kepada pimpinan DPRD provinsi.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
angket DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan dari
rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri paling sedikit
3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD provinsi
dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit
2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi yang
hadir.
Pasal 116
(1) DPRD provinsi memutuskan menerima atau menolak usul
hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115
ayat (1).
(2) Dalam hal DPRD provinsi menerima usul hak angket
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD provinsi
membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur
fraksi DPRD provinsi dengan keputusan DPRD provinsi.
(3) Dalam hal DPRD provinsi menolak usul hak angket
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak
dapat diajukan kembali.
Pasal 117
(1) Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116
ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3), dapat memanggil
pejabat Pemerintah Daerah provinsi, badan hukum, atau
warga masyarakat di Daerah provinsi yang dianggap
mengetahui atau patut mengetahui masalah yang
diselidiki untuk memberikan keterangan serta untuk
meminta menunjukkan surat atau dokumen yang
berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
(2) Pejabat Pemerintah Daerah provinsi, badan hukum, atau
warga masyarakat di Daerah provinsi yang dipanggil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
panggilan DPRD provinsi, kecuali ada alasan yang sah
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal pejabat Pemerintah Daerah provinsi, badan
hukum, atau warga masyarakat di Daerah provinsi telah
dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak
memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), DPRD provinsi dapat memanggil secara paksa dengan
bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 118
Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat
paripurna DPRD provinsi paling lama 60 (enam puluh) Hari
sejak panitia angket dibentuk.
Pasal 119
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak
angket diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata
tertib.
Pasal 120
(1) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 106 ayat (1) huruf c diusulkan oleh:
a. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD
provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD
provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima)
orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;
b. paling sedikit 20 (dua puluh) orang anggota DPRD
provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD
provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh
lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
kepada pimpinan DPRD provinsi.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
menyatakan pendapat DPRD provinsi apabila mendapat
persetujuan dari rapat paripurna DPRD provinsi yang
dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah
anggota DPRD provinsi dan putusan diambil dengan
persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah
anggota DPRD provinsi yang hadir.
Pasal 121
Ketentuan lebih lanjut tata cara pelaksanaan hak menyatakan
pendapat diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata
tertib.

Paragraf 10
Pelaksanaan Hak Anggota
Pasal 122
(1) Anggota DPRD provinsi mempunyai hak imunitas.
(2) Anggota DPRD provinsi tidak dapat dituntut di depan
pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau
pendapat yang dikemukakannya, baik secara lisan
maupun tertulis di dalam rapat DPRD provinsi ataupun di
luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi
serta tugas dan wewenang DPRD provinsi.
(3) Anggota DPRD provinsi tidak dapat diganti antarwaktu
karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang
dikemukakannya, baik di dalam rapat DPRD provinsi
maupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan
dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD provinsi.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan
mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat
tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud
dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 123
(1) Pimpinan dan anggota DPRD provinsi mempunyai hak
protokoler.
(2) Hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 124
(1) Pimpinan dan anggota DPRD provinsi mempunyai hak
keuangan dan administratif.
(2) Hak keuangan dan administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
(3) Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pimpinan
dan anggota DPRD provinsi berhak memperoleh tunjangan
yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan Daerah.
(4) Pengelolaan hak keuangan dan administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dan tunjangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh sekretariat
DPRD provinsi sesuai dengan peraturan pemerintah.
Paragraf 11
Persidangan dan Pengambilan Keputusan
Pasal 125
(1) Pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPRD
provinsi dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji
anggota.
(2) Tahun sidang dibagi dalam 3 (tiga) masa persidangan.
(3) Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses,
kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode
keanggotaan DPRD provinsi, masa reses ditiadakan.
Pasal 126
Semua rapat di DPRD provinsi pada dasarnya bersifat terbuka,
kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.
Pasal 127
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan
rapat DPRD provinsi diatur dalam peraturan DPRD provinsi
tentang tata tertib.
Pasal 128
(1) Pengambilan keputusan dalam rapat DPRD provinsi pada
dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk
mufakat.
(2) Dalam hal cara pengambilan keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil
berdasarkan suara terbanyak.
Pasal 129
(1) Setiap rapat DPRD provinsi dapat mengambil keputusan
jika memenuhi kuorum.
(2) Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi
jika:
a. rapat dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga per empat)
dari jumlah anggota DPRD provinsi untuk mengambil
persetujuan atas pelaksanaan hak angket dan hak
menyatakan pendapat serta untuk mengambil
keputusan mengenai usul pemberhentian gubernur
dan/atau wakil gubernur;
b. rapat dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga)
dari jumlah anggota DPRD provinsi untuk
memberhentikan pimpinan DPRD provinsi serta
untuk menetapkan Perda dan APBD;
c. rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua)
jumlah anggota DPRD provinsi untuk rapat paripurna
DPRD provinsi selain rapat sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b.
(3) Keputusan rapat dinyatakan sah jika:
a. disetujui oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari
jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir, untuk
rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
b. disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah
anggota DPRD provinsi yang hadir, untuk rapat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b;
c. disetujui dengan suara terbanyak, untuk rapat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
(4) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali
dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari
1 (satu) jam.
(5) Apabila pada akhir waktu penundaan rapat sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) kuorum belum juga terpenuhi,
pimpinan dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) Hari
atau sampai waktu yang ditetapkan oleh badan
musyawarah.
(6) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, rapat tidak
dapat mengambil keputusan.
(7) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c, cara penyelesaiannya
diserahkan kepada pimpinan DPRD provinsi dan pimpinan
fraksi.
Pasal 130
Setiap keputusan rapat DPRD provinsi, baik berdasarkan
musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara
terbanyak merupakan kesepakatan untuk ditindaklanjuti oleh
semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan.
Pasal 131
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan
keputusan diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata
tertib.

Paragraf 12
Tata Tertib dan Kode Etik
Pasal 132
(1) Tata tertib DPRD provinsi ditetapkan oleh DPRD provinsi
dengan berpedoman pada ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di
lingkungan internal DPRD provinsi.
(3) Tata tertib DPRD provinsi paling sedikit memuat
ketentuan tentang:
a. pengucapan sumpah/janji;
b. penetapan pimpinan;
c. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
d. jenis dan penyelenggaraan rapat;
e. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga,
serta hak dan kewajiban anggota;
f. pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang
alat kelengkapan;
g. penggantian antarwaktu anggota;
h. pembuatan pengambilan keputusan;
i. pelaksanaan konsultasi antara DPRD provinsi dan
Pemerintah Daerah provinsi;
j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi
masyarakat;
k. pengaturan protokoler; dan
l. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli.
Pasal 133
DPRD provinsi menyusun kode etik yang berisi norma yang
wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya
untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas
DPRD provinsi.

Paragraf 13
Larangan dan Sanksi
Pasal 134
(1) Anggota DPRD provinsi dilarang merangkap jabatan
sebagai:
a. pejabat negara atau pejabat daerah lainnya;
b. hakim pada badan peradilan; atau
c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia,
pegawai pada badan usaha milik negara, BUMD, atau
badan lain yang anggarannya bersumber dari
APBN/APBD.
(2) Anggota DPRD provinsi dilarang melakukan pekerjaan
sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan,
akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara,
notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan
tugas dan wewenang DPRD provinsi serta hak sebagai
anggota DPRD provinsi.
(3) Anggota DPRD provinsi dilarang melakukan korupsi,
kolusi, dan nepotisme.
Pasal 135
(1) Anggota DPRD provinsi yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108
dikenai sanksi berdasarkan keputusan badan kehormatan.
(2) Anggota DPRD provinsi yang terbukti melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1) dan/atau
ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota
DPRD provinsi.
(3) Anggota DPRD provinsi yang terbukti melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (3)
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian
sebagai anggota DPRD provinsi.
Pasal 136
Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (1)
berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.
Pasal 137
Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan
pengaduan kepada badan kehormatan DPRD provinsi dalam hal
memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPRD
provinsi yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau
lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dan/atau
melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 134.
Pasal 138
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan
masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan
DPRD provinsi tentang tata beracara badan kehormatan.
Paragraf 14
Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu,
dan Pemberhentian Sementara
Pasal 139
(1) Anggota DPRD provinsi berhenti antarwaktu karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. diberhentikan.
(2) Anggota DPRD provinsi diberhentikan antarwaktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c jika:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD
provinsi selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa
keterangan apa pun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD
provinsi;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat
kelengkapan DPRD provinsi yang menjadi tugas dan
kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut
tanpa alasan yang sah;
e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota
DPRD provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini;
h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
atau
i. menjadi anggota partai politik lain.
Pasal 140
(1) Pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 139 ayat (1) huruf a dan huruf b
serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i
diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan
DPRD provinsi dengan tembusan kepada Menteri.
(2) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya usul
pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pimpinan DPRD provinsi menyampaikan usul
pemberhentian anggota DPRD provinsi kepada Menteri
melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk
memperoleh peresmian pemberhentian.
(3) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak usul pemberhentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima, gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat menyampaikan usul
tersebut kepada Menteri.
(4) Menteri meresmikan pemberhentian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) Hari
sejak usulan pemberhentian anggota DPRD provinsi dari
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat diterima.
Pasal 141
(1) Pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2) huruf a, huruf b,
huruf d, huruf f, dan huruf g dilakukan setelah adanya
hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam
keputusan badan kehormatan DPRD provinsi atas
pengaduan dari pimpinan DPRD provinsi, masyarakat,
dan/atau pemilih.
(2) Keputusan badan kehormatan DPRD provinsi mengenai
pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh badan kehormatan
DPRD provinsi kepada rapat paripurna.
(3) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak keputusan badan
kehormatan DPRD provinsi yang telah dilaporkan dalam
rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pimpinan DPRD provinsi menyampaikan keputusan badan
kehormatan DPRD provinsi kepada pimpinan partai politik
yang bersangkutan.
(4) Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan
keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada
pimpinan DPRD provinsi, paling lambat 30 (tiga puluh)
Hari sejak keputusan badan kehormatan DPRD provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima dari
pimpinan DPRD provinsi.
(5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tidak memberikan keputusan pemberhentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD
provinsi paling lama 7 (tujuh) Hari meneruskan keputusan
badan kehormatan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) kepada Menteri melalui gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat untuk memperoleh peresmian
pemberhentian.
(6) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak keputusan pemberhentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterima, gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat menyampaikan keputusan
tersebut kepada Menteri.
(7) Menteri meresmikan pemberhentian sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) Hari
sejak diterimanya keputusan badan kehormatan DPRD
provinsi atau keputusan pimpinan partai politik tentang
pemberhentian anggotanya dari gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat.
Pasal 142
(1) Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1), badan
kehormatan DPRD provinsi dapat meminta bantuan dari
ahli independen.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan,
verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh badan
kehormatan DPRD provinsi diatur dalam peraturan DPRD
provinsi tentang tata beracara badan kehormatan.
Pasal 143
(1) Anggota DPRD provinsi yang berhenti antarwaktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) dan
Pasal 141 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD
provinsi yang memperoleh suara terbanyak urutan
berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari
partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang
sama.
(2) Dalam hal calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh
suara terbanyak urutan berikutnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengundurkan diri, meninggal
dunia, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon
anggota DPRD provinsi, anggota DPRD provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon
anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara terbanyak
urutan berikutnya dari partai politik yang sama pada
daerah pemilihan yang sama.
(3) Masa jabatan anggota DPRD provinsi pengganti
antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPRD
provinsi yang digantikan.
Pasal 144
(1) Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan nama anggota
DPRD provinsi yang diberhentikan antarwaktu dan
meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada komisi
pemilihan umum Daerah provinsi.
(2) Komisi pemilihan umum Daerah provinsi menyampaikan
nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (1) dan
ayat (2) kepada pimpinan DPRD provinsi paling lambat
5 (lima) Hari sejak surat pimpinan DPRD provinsi diterima.
(3) Paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama calon
pengganti antarwaktu dari komisi pemilihan umum
Daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan nama anggota
DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon
pengganti antarwaktu kepada Menteri melalui gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(4) Paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama anggota
DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon
pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
menyampaikan nama anggota DPRD provinsi yang
diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu
kepada Menteri.
(5) Paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak menerima nama
anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama
calon pengganti antarwaktu dari gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Menteri meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya
dengan keputusan Menteri.
(6) Sebelum memangku jabatannya, anggota DPRD provinsi
pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya
dipandu oleh pimpinan DPRD provinsi, dengan tata cara
dan teks sumpah/janji sebagaimana diatur dalam
Pasal 103 dan Pasal 104.
(7) Penggantian antarwaktu anggota DPRD provinsi tidak
dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPRD
provinsi yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan.
Pasal 145
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan
penggantian antarwaktu, verifikasi terhadap persyaratan calon
pengganti antarwaktu, dan peresmian calon pengganti
antarwaktu anggota DPRD provinsi diatur dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 146
(1) Anggota DPRD provinsi diberhentikan sementara karena:
a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana
umum yang diancam dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun; atau
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana
khusus.
(2) Dalam hal anggota DPRD provinsi dinyatakan terbukti
bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, anggota DPRD provinsi yang bersangkutan
diberhentikan sebagai anggota DPRD provinsi.
(3) Dalam hal anggota DPRD provinsi dinyatakan tidak
terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
anggota DPRD provinsi yang bersangkutan diaktifkan.
(4) Anggota DPRD provinsi yang diberhentikan sementara
tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian
sementara diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang
tata tertib.

Bagian Kelima
DPRD Kabupaten/Kota
Paragraf 1
Susunan dan Kedudukan
Pasal 147
DPRD kabupaten/kota terdiri atas anggota partai politik peserta
pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.
Pasal 148
(1) DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan
rakyat Daerah kabupaten/kota yang berkedudukan
sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah
kabupaten/kota.
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota adalah pejabat Daerah
kabupaten/kota.

Paragraf 2
Fungsi
Pasal 149
(1) DPRD kabupaten/kota mempunyai fungsi:
a. pembentukan Perda Kabupaten/Kota;
b. anggaran; dan
c. pengawasan.
(2) Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di Daerah
kabupaten/kota.
(3) Dalam rangka melaksanakan fungsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), DPRD kabupaten/kota menjaring
aspirasi masyarakat.
Pasal 150
Fungsi pembentukan Perda Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan
cara:
a. membahas bersama bupati/wali kota dan menyetujui atau
tidak menyetujui rancangan Perda Kabupaten/Kota;
b. mengajukan usul rancangan Perda Kabupaten/Kota; dan
c. menyusun program pembentukan Perda Kabupaten/Kota
bersama bupati/wali kota.
Pasal 151
(1) Program pembentukan Perda Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 150 huruf c memuat daftar urutan
dan prioritas rancangan Perda Kabupaten/Kota yang akan
dibuat dalam 1 (satu) tahun anggaran.
(2) Dalam menetapkan program pembentukan Perda
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
DPRD kabupaten/kota melakukan koordinasi dengan
bupati/wali kota.
Pasal 152
(1) Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149
ayat (1) huruf b diwujudkan dalam bentuk pembahasan
untuk persetujuan bersama terhadap Rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang APBD Kabupaten/Kota yang
diajukan oleh bupati/wali kota.
(2) Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan cara:
a. membahas KUA dan PPAS yang disusun oleh
bupati/wali kota berdasarkan RKPD;
b. membahas rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang
APBD kabupaten/kota;
c. membahas rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang
perubahan APBD kabupaten/kota; dan
d. membahas rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
kabupaten/kota.
Pasal 153
(1) Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 149 ayat (1) huruf c diwujudkan dalam bentuk
pengawasan terhadap:
a. pelaksanaan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan
bupati/wali kota;
b. pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
lain yang terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah kabupaten/kota; dan
c. pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan
keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud
pada (1), DPRD kabupaten/kota berhak mendapatkan
laporan hasil pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan.
(3) DPRD kabupaten/kota melakukan pembahasan terhadap
laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) DPRD kabupaten/kota dapat meminta klarifikasi atas
temuan laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan
kepada Badan Pemeriksa Keuangan.
Paragraf 3
Tugas dan Wewenang
Pasal 154
(1) DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang:
a. membentuk Perda Kabupaten/Kota bersama
bupati/wali kota;
b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan
Perda mengenai APBD kabupaten/kota yang diajukan
oleh bupati/wali kota;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
Perda dan APBD kabupaten/kota;
d. memilih bupati/wali kota;
e. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian
bupati/wali kota kepada Menteri melalui gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk mendapatkan
pengesahan pengangkatan dan pemberhentian.
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada
Pemerintah Daerah kabupaten/kota terhadap rencana
perjanjian international di Daerah;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama
internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
kabupaten/kota;
h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban
bupati/wali kota dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah kabupaten/kota;
i. memberikan . . .
- 89 -
i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama
dengan Daerah lain atau dengan pihak ketiga yang
membebani masyarakat dan Daerah;
j. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan
wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata
tertib.
Paragraf 4
Keanggotaan
Pasal 155
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota berjumlah paling sedikit
20 (dua puluh) orang dan paling banyak 50 (lima puluh)
orang.
(2) Keanggotaan DPRD kabupaten/kota diresmikan dengan
keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(3) Anggota DPRD kabupaten/kota berdomisili di ibu kota
kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota adalah
5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD
kabupaten/kota yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Pasal 156
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota sebelum memangku
jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersamasama
yang dipandu oleh ketua pengadilan negeri dalam
rapat paripurna DPRD kabupaten/kota.
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota yang berhalangan
mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang
dipandu oleh pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan
sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota
tentang tata tertib.
Pasal 157
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 sebagai
berikut:
Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai
anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten/kota dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan
sungguh-sungguh demi tegaknya kehidupan demokrasi serta
mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada
kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya
wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan
bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 158
(1) Dalam hal dilakukan pembentukan Daerah
kabupaten/kota setelah pemilihan umum, pengisian
anggota DPRD kabupaten/kota di Daerah kabupaten/kota
induk dan Daerah kabupaten/kota yang dibentuk setelah
pemilihan umum dilakukan dengan cara:
a. menetapkan jumlah kursi DPRD kabupaten/kota
induk dan Daerah kabupaten/kota yang dibentuk
setelah pemilihan umum berdasarkan jumlah
penduduk sesuai dengan ketentuan dalam undangundang
mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD,
dan DPRD;
b. menetapkan perolehan suara partai politik dan calon
anggota DPRD kabupaten/kota berdasarkan hasil
pemilihan umum di daerah pemilihan Daerah
kabupaten/kota induk dan Daerah kabupaten/kota
yang dibentuk setelah pemilihan umum;
c. menentukan bilangan pembagi pemilih berdasarkan
hasil pemilihan umum di daerah pemilihan Daerah
kabupaten/kota induk dan Daerah kabupaten/kota
yang dibentuk setelah pemilihan umum;
d. menentukan perolehan kursi partai politik peserta
pemilihan umum berdasarkan hasil pemilihan umum
di daerah pemilihan Daerah kabupaten/kota induk dan
Daerah kabupaten/kota yang dibentuk setelah
pemilihan umum;
e. menetapkan calon terpilih dari daftar calon tetap untuk
mengisi kursi sebagaimana dimaksud pada huruf d
berdasarkan suara terbanyak.
(2) Pengisian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh komisi
pemilihan umum Daerah kabupaten/kota induk.
(3) Pengisian anggota DPRD provinsi tidak dilakukan bagi
Daerah kabupaten/kota yang dibentuk 12 (dua belas)
bulan sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(4) Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berakhir pada saat anggota DPRD
kabupaten/kota hasil pemilihan umum berikutnya
mengucapkan sumpah/janji.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jumlah dan
tata cara pengisian keanggotaan DPRD kabupaten/kota
induk dan Daerah kabupaten/kota yang dibentuk setelah
pemilihan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan Komisi Pemilihan Umum sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 5
Hak DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 159
(1) DPRD kabupaten/kota mempunyai hak:
a. interpelasi;
b. angket; dan
c. menyatakan pendapat.
(2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk meminta
keterangan kepada bupati/wali kota mengenai kebijakan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang penting dan
strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
(3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk melakukan
penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota yang penting dan strategis serta
berdampak luas pada kehidupan masyarakat, Daerah, dan
negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk
menyatakan pendapat terhadap kebijakan bupati/wali
kota atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di
Daerah kabupaten/kota disertai dengan rekomendasi
penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan
hak interpelasi dan hak angket.
Paragraf 6
Hak dan Kewajiban Anggota
Pasal 160
Anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak:
a. mengajukan rancangan Perda Kabupaten/Kota;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;
h. protokoler; dan
i. keuangan dan administratif.
Pasal 161
Anggota DPRD kabupaten/kota berkewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan menaati ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan
pribadi, kelompok, atau golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah kabupaten/kota;
g. menaati tata tertib dan kode etik;
h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan
lembaga lain dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kabupaten/kota;
i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui
kunjungan kerja secara berkala;
j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan
masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis
kepada konstituen di daerah pemilihannya.

Paragraf 7
Fraksi
Pasal 162
(1) Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan
wewenang DPRD kabupaten/kota serta hak dan kewajiban
anggota DPRD kabupaten/kota, dibentuk fraksi sebagai
wadah berhimpun anggota DPRD kabupaten/kota.
(2) Setiap anggota DPRD kabupaten/kota harus menjadi
anggota salah satu fraksi.
(3) Setiap fraksi di DPRD kabupaten/kota beranggotakan
paling sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRD
kabupaten/kota.
(4) Partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD
kabupaten/kota mencapai ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) atau lebih dapat membentuk
1 (satu) fraksi.
(5) Dalam hal partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD
kabupaten/kota tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), anggotanya dapat bergabung
dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.
(6) Dalam hal tidak ada satu partai politik yang memenuhi
persyaratan untuk membentuk fraksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), dibentuk fraksi gabungan.
(7) Jumlah fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dan ayat (6) paling banyak 2 (dua) fraksi.
(8) Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
ayat (5) harus mendudukkan anggotanya dalam 1 (satu)
fraksi.
(9) Fraksi mempunyai sekretariat.
(10) Sekretariat DPRD kabupaten/kota menyediakan sarana,
anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan
tugas fraksi sesuai dengan kebutuhan dan dengan
memperhatikan kemampuan APBD.
Paragraf 8
Alat Kelengkapan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 163
(1) Alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota terdiri atas:
a. pimpinan;
b. badan musyawarah;
c. komisi;
d. badan pembentukan Perda Kabupaten/Kota;
e. badan anggaran;
f. badan kehormatan; dan
g. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk
oleh rapat paripurna.
(2) Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu
oleh sekretariat dan dapat dibantu oleh tim pakar atau tim
ahli.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan,
serta tugas dan wewenang alat kelengkapan DPRD
kabupaten/kota diatur dalam peraturan DPRD
kabupaten/kota tentang tata tertib.
Pasal 164
(1) Pimpinan DPRD kabupaten/kota terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua
untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan
45 (empat puluh lima) sampai dengan 50 (lima puluh)
orang; dan
b. 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua
untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan
20 (dua puluh) sampai dengan 44 (empat puluh
empat) orang.
(2) Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal
dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi
terbanyak di DPRD kabupaten/kota.
(3) Ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD
kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang
memperolah kursi terbanyak pertama di DPRD
kabupaten/kota.
(4) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), ketua DPRD kabupaten/kota
ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari
partai politik yang memperoleh suara terbanyak.
(5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
memperoleh suara terbanyak sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), penentuan ketua DPRD
kabupaten/kota dilakukan berdasarkan persebaran
perolehan suara partai politik yang paling merata urutan
pertama.
(6) Dalam hal ketua DPRD kabupaten/kota ditetapkan dari
anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), wakil ketua DPRD kabupaten/kota
ditetapkan dari anggota DPRD kabupaten/kota yang
berasal dari partai politik yang memperoleh kursi
terbanyak kedua, ketiga, dan/atau keempat sesuai dengan
jumlah wakil ketua DPRD kabupaten/kota.
(7) Dalam hal ketua DPRD kabupaten/kota ditetapkan dari
anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), wakil ketua DPRD kabupaten/kota
ditetapkan dari anggota DPRD kabupaten/kota yang
berasal dari partai politik yang memperoleh urutan suara
terbanyak kedua, ketiga, dan/atau keempat sesuai dengan
jumlah wakil ketua DPRD kabupaten/kota.
(8) Dalam hal ketua DPRD kabupaten/kota ditetapkan dari
anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), wakil ketua DPRD kabupaten/kota
ditetapkan dari anggota DPRD kabupaten/kota yang
berasal dari partai politik yang memperoleh persebaran
suara paling merata urutan kedua, ketiga, dan/atau
keempat sesuai dengan jumlah wakil ketua DPRD
kabupaten/kota.
Pasal 165
(1) Dalam hal pimpinan DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 164 ayat (1) belum terbentuk,
DPRD kabupaten/kota dipimpin oleh pimpinan sementara
DPRD kabupaten/kota.
(2) Pimpinan sementara DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang
ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang berasal dari
2 (dua) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak
pertama dan kedua di DPRD kabupaten/kota.
(3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang
memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua
sementara DPRD kabupaten/kota ditentukan secara
musyawarah oleh wakil partai politik bersangkutan yang
ada di DPRD kabupaten/kota.
(4) Ketua dan wakil ketua DPRD kabupaten/kota diresmikan
dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat.
(5) Pimpinan DPRD kabupaten/kota sebelum memangku
jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 dipandu oleh
ketua pengadilan negeri.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan
pimpinan DPRD kabupaten/kota diatur dalam peraturan
DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
Pasal 166
Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 ayat (1) huruf c
dibentuk dengan ketentuan:
a. DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh)
sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang membentuk
3 (tiga) komisi;
b. DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan lebih dari
35 (tiga puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi.

Paragraf 9
Pelaksanaan Hak DPRD kabupaten/kota
Pasal 167
(1) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159
ayat (1) huruf a diusulkan oleh:
a. paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD
kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk
DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua
puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima); atau
b. paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD
kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk
DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas
35 (tiga puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
interpelasi DPRD kabupaten/kota apabila mendapat
persetujuan dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota
yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) dari jumlah
anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil
dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) dari
jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir.
Pasal 168
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak
interpelasi diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota
tentang tata tertib.
Pasal 169
(1) Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159
ayat (1) huruf b diusulkan oleh:
a. paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD
kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk
DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua
puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang;
atau
b. paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD
kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk
DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas
35 (tiga puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
angket DPRD kabupaten/kota apabila mendapat
persetujuan dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota
yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari
jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan
diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per
tiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang
hadir.
Pasal 170
(1) DPRD kabupaten/kota memutuskan menerima atau
menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 169 ayat (1).
(2) Dalam hal DPRD kabupaten/kota menerima usul hak
angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD
kabupaten/kota membentuk panitia angket yang terdiri
atas semua unsur fraksi DPRD kabupaten/kota dengan
keputusan DPRD kabupaten/kota.
(3) Dalam hal DPRD kabupaten/kota menolak usul hak angket
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak
dapat diajukan kembali.
Pasal 171
(1) Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170
ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 159 ayat (3), dapat memanggil
pejabat Pemerintah Daerah kabupaten/kota, badan
hukum, atau warga masyarakat di Daerah kabupaten/kota
yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah
yang diselidiki untuk memberikan keterangan dan untuk
meminta menunjukkan surat atau dokumen yang
berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
(2) Pejabat Pemerintah Daerah kabupaten/kota, badan
hukum, atau warga masyarakat di Daerah kabupaten/kota
yang dipanggil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi panggilan DPRD kabupaten/kota, kecuali ada
alasan yang sah menurut ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Dalam hal pejabat Pemerintah Daerah kabupaten/kota,
badan hukum, atau warga masyarakat di Daerah
kabupaten/kota telah dipanggil dengan patut secara
berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), DPRD kabupaten/kota dapat
memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian
Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 172
Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat
paripurna DPRD kabupaten/kota paling lama 60 (enam
puluh) Hari sejak dibentuknya panitia angket.
Pasal 173
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak
angket diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang
tata tertib.
Pasal 174
(1) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 159 ayat (1) huruf c diusulkan oleh:
a. paling sedikit 8 (delapan) orang anggota DPRD
kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk
DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua
puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang;
atau
b. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD
kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk
DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas
35 (tiga puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak
menyatakan pendapat DPRD kabupaten/kota apabila
mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD
kabupaten/kota yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per
empat) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan
putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit
2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD
kabupaten/kota yang hadir.
Pasal 175
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak
menyatakan pendapat diatur dalam peraturan DPRD
kabupaten/kota tentang tata tertib.
Paragraf 10
Pelaksanaan Hak Anggota
Pasal 176
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak imunitas.
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota tidak dapat dituntut di
depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan,
dan/atau pendapat yang dikemukakan, baik secara lisan
maupun tertulis di dalam rapat DPRD kabupaten/kota
ataupun di luar rapat DPRD kabupaten/kota yang
berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD
kabupaten/kota.
(3) Anggota DPRD kabupaten/kota tidak dapat diganti
antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau
pendapat yang dikemukakan, baik di dalam rapat DPRD
kabupaten/kota maupun di luar rapat DPRD
kabupaten/kota yang berkaitan dengan fungsi serta tugas
dan wewenang DPRD kabupaten/kota.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan
mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat
tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud
dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 177
(1) Pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai
hak protokoler.
(2) Hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam peraturan pemerintah.
Pasal 178
(1) Pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai
hak keuangan dan administratif.
(2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota
DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
(3) Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pimpinan
dan anggota DPRD kabupaten/kota berhak memperoleh
tunjangan yang besarannya disesuaikan dengan
kemampuan Daerah.
(4) Pengelolaan hak keuangan dan administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh sekretariat
DPRD kabupaten/kota sesuai dengan peraturan
pemerintah.

Paragraf 11
Persidangan dan Pengambilan Keputusan
Pasal 179
(1) Pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPRD
kabupaten/kota dimulai pada saat pengucapan
sumpah/janji anggota.
(2) Tahun sidang dibagi dalam 3 (tiga) masa persidangan.
(3) Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses,
kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode
keanggotaan DPRD kabupaten/kota, masa reses
ditiadakan.
Pasal 180
Semua rapat di DPRD kabupaten/kota pada dasarnya bersifat
terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.
Pasal 181
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan
rapat diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang
tata tertib.
Pasal 182
(1) Pengambilan keputusan dalam rapat DPRD
kabupaten/kota pada dasarnya dilakukan dengan cara
musyawarah untuk mufakat.
(2) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil
berdasarkan suara terbanyak.
Pasal 183
(1) Setiap rapat DPRD kabupaten/kota dapat mengambil
keputusan apabila memenuhi kuorum.
(2) Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi
jika:
a. rapat dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga per empat)
dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk
mengambil persetujuan atas pelaksanaan hak angket
dan hak menyatakan pendapat serta untuk
mengambil keputusan mengenai usul pemberhentian
bupati/wali kota dan/atau wakil bupati/wakil wali
kota;
b. rapat dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga)
dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk
memberhentikan pimpinan DPRD kabupaten/kota
serta untuk menetapkan Perda Kabupaten/Kota dan
APBD kabupaten/kota; dan
c. rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua)
jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk rapat
paripurna DPRD kabupaten/kota selain rapat
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.
(3) Keputusan rapat dinyatakan sah apabila:
a. disetujui oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari
jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir,
untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a;
b. disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah
anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir, untuk
rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b;
dan
c. disetujui dengan suara terbanyak, untuk rapat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
(4) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali
dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari
1 (satu) jam.
(5) Apabila pada akhir waktu penundaan rapat sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) kuorum belum juga terpenuhi,
pimpinan dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) Hari
atau sampai waktu yang ditetapkan oleh badan
musyawarah.
(6) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, rapat tidak
dapat mengambil keputusan.
(7) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c, cara penyelesaiannya
diserahkan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dan
pimpinan fraksi.
Pasal 184
Setiap keputusan rapat DPRD kabupaten/kota, baik
berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan
suara terbanyak, merupakan kesepakatan untuk ditindaklanjuti
oleh semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan.

Paragraf 12
Tata Tertib dan Kode Etik
Pasal 185
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan
keputusan diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota
tentang tata tertib.
Pasal 186
(1) Tata tertib DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh DPRD
kabupaten/kota dengan berpedoman pada ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di
lingkungan internal DPRD kabupaten/kota.
(3) Tata tertib DPRD kabupaten/kota paling sedikit memuat
ketentuan tentang:
a. pengucapan sumpah/janji;
b. penetapan pimpinan;
c. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
d. jenis dan penyelenggaraan rapat;
e. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga,
serta hak dan kewajiban anggota;
f. pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang
alat kelengkapan;
g. penggantian antarwaktu anggota;
h. pembuatan pengambilan keputusan;
i. pelaksanaan konsultasi antara DPRD kabupaten/kota
dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi
masyarakat;
k. pengaturan protokoler; dan
l. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli.
Pasal 187
DPRD kabupaten/kota menyusun kode etik yang berisi norma
yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan
tugas untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan
kredibilitas DPRD kabupaten/kota.
Paragraf 13
Larangan dan Sanksi
Pasal 188
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang merangkap
jabatan sebagai:
a. pejabat negara atau pejabat daerah lainnya;
b. hakim pada badan peradilan; atau
c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia,
pegawai pada badan usaha milik negara, BUMD, atau
badan lain yang anggarannya bersumber dari
APBN/APBD.
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan
pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga
pendidikan, akuntan publik, konsultan, advokat atau
pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada
hubungannya dengan tugas dan wewenang DPRD
kabupaten/kota serta hak sebagai anggota DPRD
kabupaten/kota.
(3) Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pasal 189
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 dikenai
sanksi berdasarkan keputusan badan kehormatan.
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota yang dinyatakan terbukti
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 188 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi
pemberhentian sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.
(3) Anggota DPRD kabupaten/kota yang dinyatakan terbukti
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 188 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi
pemberhentian sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.
Pasal 190
Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (1)
berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.
Pasal 191
Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan
pengaduan kepada badan kehormatan DPRD kabupaten/kota
dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota
DPRD kabupaten/kota yang tidak melaksanakan salah satu
kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161
dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 188.
Pasal 192
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan
masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan
DPRD kabupaten/kota tentang tata beracara badan kehormatan.

Paragraf 14
Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu,
dan Pemberhentian Sementara
Pasal 193
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota berhenti antarwaktu
karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. diberhentikan.
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan antarwaktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD
kabupaten/kota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut
tanpa keterangan apa pun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD
kabupaten/kota;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun;
d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat
kelengkapan DPRD kabupaten/kota yang menjadi
tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota
DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan
umum;
g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini;
h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
atau
i. menjadi anggota partai politik lain.
Pasal 194
(1) Pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (1) huruf a
dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h,
dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada
pimpinan DPRD kabupaten/kota dengan tembusan kepada
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(2) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak usul pemberhentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, pimpinan
DPRD kabupaten/kota menyampaikan usul pemberhentian
anggota DPRD kabupaten/kota kepada gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat melalui bupati/wali kota untuk
memperoleh peresmian pemberhentian.
(3) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak usul pemberhentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima, bupati/wali
kota menyampaikan usul tersebut kepada gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(4) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat meresmikan
pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
lama 14 (empat belas) Hari sejak usul pemberhentian
anggota DPRD kabupaten/kota dari bupati/wali kota
diterima.
Pasal 195
(1) Pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (2) huruf a,
huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g dilakukan setelah
adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan
dalam keputusan badan kehormatan DPRD
kabupaten/kota atas pengaduan dari pimpinan DPRD
kabupaten/kota, masyarakat dan/atau pemilih.
(2) Keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota
mengenai pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh
badan kehormatan DPRD kabupaten/kota kepada rapat
paripurna.
(3) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak keputusan badan
kehormatan DPRD kabupaten/kota yang telah dilaporkan
dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan
keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota
kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.
(4) Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan
keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada
pimpinan DPRD kabupaten/kota, paling lambat 30 (tiga
puluh) Hari sejak diterimanya keputusan badan
kehormatan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dari pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tidak memberikan keputusan pemberhentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD
kabupaten/kota meneruskan keputusan badan
kehormatan DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kepada gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat melalui bupati/wali kota untuk
memperoleh peresmian pemberhentian.
(6) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak keputusan pemberhentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterima, bupati/wali
kota menyampaikan keputusan tersebut kepada gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(7) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat meresmikan
pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling
lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya keputusan
badan kehormatan DPRD kabupaten/kota atau keputusan
pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya
dari bupati/wali kota.
Pasal 196
(1) Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (1), badan
kehormatan DPRD kabupaten/kota dapat meminta
bantuan dari ahli independen.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan,
verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh badan
kehormatan DPRD kabupaten/kota diatur dengan
peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata beracara
badan kehormatan.

Pasal 197
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota yang berhenti antarwaktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (1) dan
Pasal 195 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD
kabupaten/kota yang memperoleh suara terbanyak urutan
berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari
partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
(2) Dalam hal calon anggota DPRD kabupaten/kota yang
memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia,
mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai calon anggota, anggota DPRD kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon
anggota DPRD kabupaten/kota yang memperoleh suara
terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama
pada daerah pemilihan yang sama.
(3) Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota pengganti
antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPRD
kabupaten/kota yang digantikannya.
Pasal 198
(1) Pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan nama
anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan
antarwaktu dan meminta nama calon pengganti
antarwaktu kepada komisi pemilihan umum Daerah
kabupaten/kota.
(2) Komisi pemilihan umum Daerah kabupaten/kota
menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu
berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 197 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPRD
kabupaten/kota paling lama 5 (lima) Hari sejak diterimanya
surat pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama calon
pengganti antarwaktu dari komisi pemilihan umum Daerah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan nama
anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan
nama calon pengganti antarwaktu kepada gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat melalui bupati/wali kota.
(4) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama anggota
DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon
pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), bupati/wali kota menyampaikan nama anggota
DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon
pengganti antarwaktu kepada gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat.
(5) Paling lama 14 (empat belas) Hari sejak menerima nama
anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan
nama calon pengganti antarwaktu dari bupati/wali kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat meresmikan pemberhentian dan
pengangkatannya dengan keputusan gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat.
(6) Sebelum memangku jabatannya, anggota DPRD
kabupaten/kota pengganti antarwaktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang
pengucapannya dipandu oleh pimpinan DPRD
kabupaten/kota dengan tata cara dan teks sumpah/janji
sebagaimana diatur dalam Pasal 156 dan Pasal 157.
(7) Penggantian antarwaktu anggota DPRD kabupaten/kota
tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota
DPRD kabupaten/kota yang digantikan kurang dari
6 (enam) bulan.
Pasal 199
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan
penggantian antarwaktu, verifikasi terhadap persyaratan calon
pengganti antarwaktu, dan peresmian calon pengganti
antarwaktu anggota DPRD kabupaten/kota diatur dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 200
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan sementara
karena:
a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana
umum yang diancam dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun; atau
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana
khusus.
(2) Dalam hal anggota DPRD kabupaten/kota dinyatakan
terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a atau huruf b
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, anggota DPRD kabupaten/kota
yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPRD
kabupaten/kota.
(3) Dalam hal anggota DPRD kabupaten/kota dinyatakan tidak
terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
anggota DPRD kabupaten/kota yang bersangkutan
diaktifkan kembali.
(4) Anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan
sementara tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian
sementara diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata
tertib.
Bagian Keenam
Sistem Pendukung DPRD Provinsi Dan DPRD Kabupaten/Kota
Paragraf 1
Sistem Pendukung DPRD Provinsi
Pasal 201
(1) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan
wewenang DPRD provinsi, dibentuk sekretariat DPRD
provinsi.
(2) Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPRD
provinsi, dibentuk kelompok pakar atau tim ahli.
Pasal 202
(1) Susunan organisasi dan tata kerja sekretariat DPRD
provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (1)
ditetapkan dengan Perda Provinsi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Sekretariat DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 201 ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris DPRD
provinsi yang diangkat dan diberhentikan dengan
keputusan gubernur atas persetujuan pimpinan DPRD
provinsi setelah berkonsultasi dengan pimpinan fraksi.
(3) Sekretaris DPRD provinsi dan pegawai sekretariat DPRD
provinsi berasal dari pegawai negeri sipil.
Pasal 203
(1) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 201 ayat (2) diangkat dan diberhentikan
dengan keputusan sekretaris DPRD provinsi sesuai dengan
kebutuhan atas usul anggota, pimpinan fraksi, dan
pimpinan alat kelengkapan DPRD.
(2) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bekerja sesuai dengan pengelompokan tugas dan
wewenang DPRD provinsi yang tercermin dalam alat
kelengkapan DPRD provinsi.

Paragraf 2
Sistem Pendukung DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 204
(1) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan
wewenang DPRD kabupaten/kota, dibentuk sekretariat
DPRD kabupaten/kota.
(2) Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPRD
kabupaten/kota, dibentuk kelompok pakar atau tim ahli.
Pasal 205
(1) Susunan organisasi dan tata kerja sekretariat DPRD
kabupaten/kota ditetapkan dengan Perda Kabupaten/Kota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Sekretariat DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 204 ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris
DPRD kabupaten/kota yang diangkat dan diberhentikan
dengan keputusan bupati/wali kota atas persetujuan
pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Sekretaris DPRD kabupaten/kota dan pegawai sekretariat
DPRD kabupaten/kota berasal dari pegawai negeri sipil.
Pasal 206
(1) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 204 ayat (2) diangkat dan diberhentikan
dengan keputusan sekretaris DPRD kabupaten/kota sesuai
dengan kebutuhan atas usul anggota dan kemampuan
Daerah kabupaten/kota.
(2) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bekerja sesuai dengan pengelompokan tugas dan
wewenang DPRD kabupaten/kota yang tercermin dalam
alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota.

Bagian Ketujuh
Hubungan Kerja Antara DPRD dan Kepala Daerah
Pasal 207
(1) Hubungan kerja antara DPRD dan kepala daerah
didasarkan atas kemitraan yang sejajar.
(2) Hubungan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diwujudkan dalam bentuk:
a. persetujuan bersama dalam pembentukan Perda;
b. penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban
kepada DPRD;
c. persetujuan terhadap kerja sama yang akan dilakukan
Pemerintah Daerah;
d. rapat konsultasi DPRD dengan kepala daerah secara
berkala; dan
e. bentuk lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak dapat
dijadikan sarana pemberhentian kepala daerah.

BAB VIII
PERANGKAT DAERAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 208
(1) Kepala daerah dan DPRD dalam menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan dibantu oleh Perangkat Daerah.
(2) Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi
oleh pegawai aparatur sipil negara.

Bagian Kedua
Perangkat daerah
Paragraf 1
Umum
Pasal 209
(1) Perangkat Daerah provinsi terdiri atas:
a. sekretariat daerah;
b. sekretariat DPRD;
c. inspektorat;
d. dinas; dan
e. badan.
(2) Perangkat Daerah kabupaten/kota terdiri atas:
a. sekretariat daerah;
b. sekretariat DPRD;
c. inspektorat;
d. dinas;
e. badan; dan
f. Kecamatan.
(3) Perangkat Daerah provinsi dan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) selain
melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah juga melaksanakan Tugas
Pembantuan.
Pasal 210
Hubungan kerja Perangkat Daerah provinsi dengan Perangkat
Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) bersifat koordinatif dan
fungsional.
Pasal 211
(1) Pembinaan dan pengendalian penataan Perangkat Daerah
dilakukan oleh Pemerintah Pusat untuk Daerah provinsi dan
oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk Daerah
kabupaten/kota.
(2) Nomenklatur Perangkat Daerah dan unit kerja pada
Perangkat Daerah yang melaksanakan Urusan Pemerintahan
dibuat dengan memperhatikan pedoman dari
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang
membidangi Urusan Pemerintahan tersebut.

Paragraf 2
Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah
Pasal 212
(1) Pembentukan dan susunan Perangkat Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan
dengan Perda.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku setelah
mendapat persetujuan dari Menteri bagi Perangkat Daerah
provinsi dan dari gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
bagi Perangkat Daerah kabupaten/kota.
(3) Persetujuan Menteri atau gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberikan berdasarkan pemetaan Urusan Pemerintahan
Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan
Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24.
(4) Kedudukan, susunan organisasi, perincian tugas dan
fungsi, serta tata kerja Perangkat Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perkada.

Paragraf 3
Sekretariat Daerah
Pasal 213
(1) Sekretariat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209
ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a dipimpin oleh
sekretaris Daerah.
(2) Sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai tugas membantu kepala daerah dalam
penyusunan kebijakan dan pengoordinasian administratif
terhadap pelaksanaan tugas Perangkat Daerah serta
pelayanan administratif.
(3) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), sekretaris Daerah bertanggung jawab kepada
kepala daerah.
Pasal 214
(1) Apabila sekretaris Daerah provinsi berhalangan
melaksanakan tugasnya, tugas sekretaris Daerah provinsi
dilaksanakan oleh penjabat yang ditunjuk oleh gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat atas persetujuan Menteri.
(2) Apabila sekretaris Daerah kabupaten/kota berhalangan
melaksanakan tugasnya, tugas sekretaris Daerah
kabupaten/kota dilaksanakan oleh penjabat yang ditunjuk
oleh bupati/wali kota atas persetujuan gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat.
(3) Masa jabatan penjabat sekretaris Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lama 6 (enam)
bulan dalam hal sekretaris Daerah tidak bisa
melaksanakan tugas atau paling lama 3 (tiga) bulan dalam
hal terjadi kekosongan sekretaris Daerah.
(4) Persetujuan Menteri dan gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilakukan sesuai dengan persyaratan kepegawaian
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penjabat sekretaris
Daerah diatur dalam Peraturan Presiden.
Paragraf 4
Sekretariat DPRD

Pasal 215
(1) Sekretariat DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209
ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b dipimpin oleh
sekretaris DPRD.
(2) Sekretaris DPRD mempunyai tugas:
a. menyelenggarakan administrasi kesekretariatan;
b. menyelenggarakan administrasi keuangan;
c. mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD; dan
d. menyediakan dan mengoordinasikan tenaga ahli yang
diperlukan oleh DPRD dalam melaksanakan fungsinya
sesuai dengan kebutuhan.
(3) Sekretaris DPRD dalam melaksanakan tugasnya secara
teknis operasional bertanggung jawab kepada pimpinan
DPRD dan secara administratif bertanggung jawab kepada
kepala daerah melalui sekretaris Daerah.
Paragraf 5
Inspektorat
Pasal 216
(1) Inspektorat Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 209 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c dipimpin oleh
inspektur.
(2) Inspektorat Daerah mempunyai tugas membantu kepala
daerah membina dan mengawasi pelaksanaan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dan Tugas
Pembantuan oleh Perangkat Daerah.
(3) Inspektorat Daerah dalam melaksanakan tugasnya
bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris

Daerah.
Paragraf 6
Dinas
Pasal 217
(1) Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat (1)
huruf d dan ayat (2) huruf d dibentuk untuk melaksanakan
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
(2) Dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diklasifikasikan
atas:
a. dinas tipe A yang dibentuk untuk mewadahi Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dengan
beban kerja yang besar;
b. dinas tipe B yang dibentuk untuk mewadahi Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dengan
beban kerja yang sedang; dan
c. dinas tipe C yang dibentuk untuk mewadahi Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dengan
beban kerja yang kecil.
(3) Penentuan beban kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) didasarkan pada jumlah penduduk, luas wilayah,
besaran masing-masing Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah, dan kemampuan keuangan Daerah
untuk Urusan Pemerintahan Wajib dan berdasarkan
potensi, proyeksi penyerapan tenaga kerja, dan
Pasal 218
(1) Dinas sebagaimana dimaksud dalam pasal 209 ayat (1)
huruf d dan ayat (2) huruf d dipimpin oleh seorang kepala.
(2) Kepala dinas mempunyai tugas membantu kepala daerah
melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah.
(3) Kepala dinas dalam melaksanakan tugasnya bertanggung
jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris Daerah.

Paragraf 7
Badan
Pasal 219
(1) Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat (1)
huruf e dan ayat (2) huruf e dibentuk untuk melaksanakan
fungsi penunjang Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah meliputi:
a. perencanaan;
b. keuangan;
c. kepegawaian serta pendidikan dan pelatihan;
d. penelitian dan pengembangan; dan
e. fungsi lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diklasifikasikan atas:
a. badan tipe A yang dibentuk untuk mewadahi
pelaksanaan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan
dengan beban kerja yang besar;
b. badan tipe B yang dibentuk untuk mewadahi
pelaksanaan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan
dengan beban kerja yang sedang; dan
c. badan tipe C yang dibentuk untuk mewadahi
pelaksanaan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan
dengan beban kerja yang kecil.
(3) Penentuan beban kerja badan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) didasarkan pada jumlah penduduk, luas
wilayah, kemampuan keuangan Daerah, dan cakupan
tugas.
Pasal 220
(1) Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat (1)
huruf e dan ayat (2) huruf e dipimpin oleh seorang kepala.
(2) Kepala badan mempunyai tugas membantu kepala daerah
melaksanakan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan Daerah.
(3) Kepala badan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung
jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris Daerah.

Paragraf 8
Kecamatan
Pasal 221
(1) Daerah kabupaten/kota membentuk Kecamatan dalam
rangka meningkatkan koordinasi penyelenggaraan
pemerintahan, pelayanan publik, dan pemberdayaan
masyarakat Desa/kelurahan.
(2) Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk
dengan Perda Kabupaten/Kota berpedoman pada peraturan
pemerintah.
(3) Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pembentukan
Kecamatan yang telah mendapatkan persetujuan bersama
bupati/wali kota dan DPRD kabupaten/kota, sebelum
ditetapkan oleh bupati/ wali kota disampaikan kepada
Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
untuk mendapat persetujuan.
Pasal 222
(1) Pembentukan Kecamatan sebagaimana dimaksud Pasal 221
ayat (1) harus memenuhi persyaratan dasar, persyaratan
teknis, dan persyaratan administratif.
(2) Persyaratan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. jumlah penduduk minimal;
b. luas wilayah minimal;
c. jumlah minimal Desa/kelurahan yang menjadi cakupan;
dan
d. usia minimal Kecamatan.
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. kemampuan keuangan Daerah;
b. sarana dan prasarana pemerintahan; dan
c. persyaratan teknis lainnya yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. kesepakatan musyawarah Desa dan/atau keputusan
forum komunikasi kelurahan atau nama lain di
Kecamatan induk; dan
b. kesepakatan musyawarah Desa dan/atau keputusan
forum komunikasi kelurahan atau nama lain di wilayah
Kecamatan yang akan dibentuk.
Pasal 223
(1) Kecamatan diklasifikasikan atas:
a. Kecamatan tipe A yang dibentuk untuk Kecamatan
dengan beban kerja yang besar; dan
b. Kecamatan tipe B yang dibentuk untuk Kecamatan
dengan beban kerja yang kecil.
(2) Penentuan beban kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didasarkan pada jumlah penduduk, luas wilayah,
dan jumlah Desa/kelurahan.
Pasal 224
(1) Kecamatan dipimpin oleh seorang kepala kecamatan yang
disebut camat yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada bupati/wali kota melalui sekretaris Daerah.
(2) Bupati/wali kota wajib mengangkat camat dari pegawai
negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis
pemerintahan dan memenuhi persyaratan kepegawaian
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengangkatan camat yang tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibatalkan keputusan
pengangkatannya oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat.
Pasal 225
(1) Camat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1)
mempunyai tugas:
a. menyelenggaraan urusan pemerintahan umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (6);
b. mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
c. mengoordinasikan upaya penyelenggaraan
ketenteraman dan ketertiban umum;
d. mengoordinasikan penerapan dan penegakan Perda dan
Perkada;
e. mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan sarana
pelayanan umum;
f. mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan yang dilakukan oleh Perangkat Daerah di
Kecamatan;
g. membina dan mengawasi penyelenggaraan kegiatan
Desa dan/atau kelurahan;
h. melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah kabupaten/kota yang tidak
dilaksanakan oleh unit kerja Perangkat Daerah
kabupaten/kota yang ada di Kecamatan; dan
i. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibebankan
pada APBN dan pelaksanaan tugas lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf i dibebankan kepada yang
menugasi.
(3) Camat dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh perangkat Kecamatan.
Pasal 226
(1) Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 225 ayat (1), camat mendapatkan pelimpahan
sebagian kewenangan bupati/wali kota untuk
melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.
(2) Pelimpahan kewenangan bupati/wali kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pemetaan
pelayanan publik yang sesuai dengan karakteristik
Kecamatan dan/atau kebutuhan masyarakat pada
Kecamatan yang bersangkutan.
(3) Pelimpahan kewenangan bupati/wali kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan
bupati/wali kota berpedoman pada peraturan pemerintah.
Pasal 227
Pendanaan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan yang
dilakukan oleh camat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225
ayat (1) huruf b sampai dengan huruf h serta Pasal 226 ayat (1)
dibebankan pada APBD kabupaten/kota.
Pasal 228
Ketentuan lebih lanjut mengenai Kecamatan diatur dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 229
(1) Kelurahan dibentuk dengan Perda Kabupaten/Kota
berpedoman pada peraturan pemerintah.
(2) Kelurahan dipimpin oleh seorang kepala kelurahan yang
disebut lurah selaku perangkat Kecamatan dan
bertanggung jawab kepada camat.
(3) Lurah diangkat oleh bupati/wali kota atas usul sekretaris
daerah dari pegawai negeri sipil yang memenuhi
persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4) Lurah mempunyai tugas membantu camat dalam:
a. melaksanakan kegiatan pemerintahan kelurahan;
b. melakukan pemberdayaan masyarakat;
c. melaksanakan pelayanan masyarakat;
d. memelihara ketenteraman dan ketertiban umum;
e. memelihara prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
f. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh camat;
dan
g. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 230
(1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota mengalokasikan
anggaran dalam APBD kabupaten/kota untuk
pembangunan sarana dan prasarana lokal kelurahan dan
pemberdayaan masyarakat di kelurahan.
(2) Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimasukkan ke dalam anggaran Kecamatan pada bagian
anggaran kelurahan untuk dimanfaatkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penentuan kegiatan pembangunan sarana dan prasarana
lokal kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di
kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui musyawarah pembangunan kelurahan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Untuk Daerah kota yang tidak memiliki Desa, alokasi
anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit 5 (lima) persen dari APBD setelah dikurangi DAK.
(5) Untuk Daerah kota yang memiliki Desa, alokasi anggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara pengalokasian, pemanfaatan,
pengelolaan dan pertanggungjawaban dana pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat di kelurahan serta
penyelenggaraan musyawarah pembangunan kelurahan
diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 231
Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan
memerintahkan pembentukan lembaga tertentu di Daerah,
lembaga tersebut dijadikan bagian dari Perangkat Daerah yang
ada setelah dikonsultasikan kepada Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan Urusan Pemerintahan bidang pendayagunaan
aparatur negara.
Pasal 232
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perangkat Daerah diatur
dengan peraturan pemerintah.
(2) Peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit mengatur tentang kedudukan, susunan
organisasi, tugas dan fungsi, tata kerja, eselon, beban kerja,
nomenklatur unit kerja, serta pembinaan dan pengendalian.
Pasal 233
(1) Pegawai aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 208 ayat (2) yang menduduki jabatan kepala
Perangkat Daerah, harus memenuhi persyaratan
kompetensi:
a. teknis;
b. manajerial; dan
c. sosial kultural.
(2) Selain memenuhi kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pegawai aparatur sipil negara yang menduduki
jabatan kepala Perangkat Daerah harus memenuhi
kompetensi pemerintahan.
(3) Kompetensi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga
pemerintah nonkementerian setelah dikoordinasikan
dengan Menteri.
(4) Kompetensi pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) berlaku secara mutatis mutandis terhadap pegawai
aparatur sipil negara yang menduduki jabatan
administrator di bawah kepala Perangkat Daerah dan
jabatan pengawas.
Pasal 234
(1) Kepala Perangkat Daerah provinsi diisi dari pegawai negeri
sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Kepala Perangkat Daerah kabupaten/kota diisi dari pegawai
negeri sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan bertugas di
wilayah Daerah provinsi yang bersangkutan.
(3) Dalam hal di wilayah Daerah provinsi yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terdapat pegawai
negeri sipil yang memenuhi persyaratan, kepala perangkat
daerah kabupaten/kota dapat diisi dari pegawai negeri sipil
yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan yang bertugas di
wilayah Daerah provinsi lain.
(4) Proses pengangkatan kepala Perangkat Daerah yang
menduduki jabatan administrator dilakukan melalui seleksi
sesuai dengan proses seleksi bagi jabatan pimpinan tinggi
pratama di instansi Daerah sebagaimana diatur dalam
undang-undang mengenai aparatur sipil negara.
Pasal 235
(1) Kepala daerah mengangkat dan/atau melantik kepala
Perangkat Daerah hasil seleksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 234 ayat (4).
(2) Dalam hal kepala Daerah menolak mengangkat dan/atau
melantik kepala Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Menteri mengangkat dan/atau melantik
kepala Perangkat Daerah provinsi dan gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat mengangkat dan/atau melantik
kepala Perangkat Daerah kabupaten/kota.

BAB IX
PERDA DAN PERKADA
Bagian Kesatu
Perda
Paragraf 1
Umum
Pasal 236
(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan, Daerah membentuk Perda.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh
DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah.
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi
muatan:
a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan; dan
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 237
(1) Asas pembentukan dan materi muatan Perda berpedoman
pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas
hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Pembentukan Perda mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, penetapan, dan pengundangan
yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
dan/atau tertulis dalam pembentukan Perda.
(4) Pembentukan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan secara efektif dan efisien.
Pasal 238
(1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya
paksaan penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya atau
sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling
lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau
pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda
dapat memuat ancaman sanksi yang bersifat
mengembalikan pada keadaan semula dan sanksi
administratif.
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
f. pencabutan tetap izin;
g. denda administratif; dan/atau
h. sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Paragraf 2
Perencanaan
Pasal 239
(1) Perencanaan penyusunan Perda dilakukan dalam program
pembentukan Perda.
(2) Program pembentukan Perda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disusun oleh DPRD dan kepala daerah untuk
jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas
pembentukan rancangan Perda.
(3) Program pembentukan Perda sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan dengan keputusan DPRD.
(4) Penyusunan dan penetapan program pembentukan Perda
dilakukan setiap tahun sebelum penetapan rancangan
Perda tentang APBD.
(5) Dalam program pembentukan Perda dapat dimuat daftar
kumulatif terbuka yang terdiri atas:
a. akibat putusan Mahkamah Agung; dan
b. APBD.
(6) Selain daftar kumulatif terbuka sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), dalam program pembentukan Perda
Kabupaten/Kota dapat memuat daftar kumulatif terbuka
mengenai:
a. penataan Kecamatan; dan
b. penataan Desa.
(7) Dalam keadaan tertentu, DPRD atau kepala daerah dapat
mengajukan rancangan Perda di luar program
pembentukan Perda karena alasan:
a. mengatasi keadaan luar biasa, keadaaan konflik, atau
bencana alam;
b. menindaklanjuti kerja sama dengan pihak lain;
c. mengatasi keadaan tertentu lainnya yang memastikan
adanya urgensi atas suatu rancangan Perda yang dapat
disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD yang
khusus menangani bidang pembentukan Perda dan unit
yang menangani bidang hukum pada Pemerintah
Daerah;
d. akibat pembatalan oleh Menteri untuk Perda Provinsi
dan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
untuk Perda Kabupaten/Kota; dan
e. perintah dari ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi setelah program pembentukan Perda
ditetapkan.

Paragraf 3
Penyusunan
Pasal 240
(1) Penyusunan rancangan Perda dilakukan berdasarkan
program pembentukan Perda.
(2) Penyusunan rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah.
(3) Penyusunan rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) berpedoman pada ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Paragraf 4
Pembahasan
Pasal 241
(1) Pembahasan rancangan Perda dilakukan oleh DPRD
bersama kepala Daerah untuk mendapat persetujuan
bersama.
(2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui tingkat pembicaraan.
(3) Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) berpedoman pada ketentuan peraturan perundangundangan.

Paragraf 5
Penetapan
Pasal 242
(1) Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD
dan kepala Daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD
kepada kepala daerah untuk ditetapkan menjadi Perda.
(2) Penyampaian rancangan Perda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama
3 (tiga) Hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
(3) Gubernur wajib menyampaikan rancangan Perda Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri paling
lama 3 (tiga) Hari terhitung sejak menerima rancangan
Perda Provinsi dari pimpinan DPRD provinsi untuk
mendapatkan nomor register Perda.
(4) Bupati/wali kota wajib menyampaikan rancangan Perda
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat paling
lama 3 (tiga) Hari terhitung sejak menerima rancangan
Perda kabupaten/kota dari pimpinan DPRD
kabupaten/kota untuk mendapatkan nomor register Perda.
(5) Menteri memberikan nomor register rancangan Perda
Provinsi dan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
memberikan nomor register rancangan Perda
Kabupaten/Kota paling lama 7 (tujuh) Hari sejak rancangan
Perda diterima.
(6) Rancangan Perda yang telah mendapat nomor register
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh kepala
daerah dengan membubuhkan tanda tangan paling lama
30 (tiga puluh) Hari sejak rancangan Perda disetujui
bersama oleh DPRD dan kepala Daerah.
(7) Dalam hal kepala Daerah tidak menandatangani rancangan
Perda yang telah mendapat nomor register sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), rancangan Perda tersebut sah
menjadi Perda dan wajib diundangkan dalam lembaran
daerah.
(8) Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
dinyatakan sah dengan kalimat pengesahannya berbunyi,
Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
(9) Pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada
ayat (8) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Perda
sebelum pengundangan naskah Perda ke dalam lembaran
daerah.
Pasal 243
(1) Rancangan Perda yang belum mendapatkan nomor register
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (5) belum
dapat ditetapkan kepala Daerah dan belum dapat
diundangkan dalam lembaran daerah.
(2) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat secara berkala
menyampaikan laporan Perda Kabupaten/Kota yang telah
mendapatkan nomor register kepada Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian nomor
register Perda diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 6
Pengundangan
Pasal 244
(1) Perda diundangkan dalam lembaran daerah.
(2) Pengundangan Perda dalam lembaran daerah dilakukan
oleh sekretaris Daerah.
(3) Perda mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat
pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam
Perda yang bersangkutan.

Paragraf 7
Evaluasi Rancangan Perda
Pasal 245
(1) Rancangan Perda Provinsi yang mengatur tentang RPJPD,
RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata
ruang daerah harus mendapat evaluasi Menteri sebelum
ditetapkan oleh gubernur.
(2) Menteri dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda
Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang keuangan dan untuk evaluasi Rancangan Perda
Provinsi tentang tata ruang daerah berkoordinasi dengan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang tata ruang.
(3) Rancangan Perda kabupaten/kota yang mengatur tentang
RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD,
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah,
retribusi daerah, dan tata ruang daerah harus mendapat
evaluasi gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebelum
ditetapkan oleh bupati/wali kota.
(4) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dalam
melakukan evaluasi rancangan Perda Kabupaten/Kota
tentang pajak daerah dan retribusi daerah berkonsultasi
dengan Menteri dan selanjutnya Menteri berkoordinasi
dengan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan bidang keuangan, dan untuk evaluasi
rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang tata ruang
daerah berkonsultasi dengan Menteri dan selanjutnya
Menteri berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang tata ruang.
(5) Hasil evaluasi rancangan Perda Provinsi dan rancangan
Perda Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (3) jika disetujui diikuti dengan pemberian
nomor register.

Bagian Kedua
Perkada
Paragraf 1
Umum
Pasal 246
(1) Untuk melaksanakan Perda atau atas kuasa peraturan
perundang-undangan, kepala daerah menetapkan Perkada.
(2) Ketentuan mengenai asas pembentukan dan materi
muatan, serta pembentukan Perda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 237 berlaku secara mutatis mutandis terhadap
asas pembentukan dan materi muatan, serta pembentukan
Perkada.
Paragraf 2
Perencanaan, Penyusunan, dan Penetapan
Pasal 247
Perencanaan, penyusunan, dan penetapan Perkada berpedoman
pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 3
Pengundangan
Pasal 248
(1) Perkada diundangkan dalam berita daerah.
(2) Pengundangan Perkada sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh sekretaris daerah.
(3) Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai
berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal
diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Perkada
yang bersangkutan.
Bagian Ketiga
Pembatalan Perda dan Perkada
Pasal 249
(1) Gubernur wajib menyampaikan Perda Provinsi dan
peraturan gubernur kepada Menteri paling lama 7 (tujuh)
Hari setelah ditetapkan.
(2) Gubernur yang tidak menyampaikan Perda Provinsi dan
peraturan gubernur kepada Menteri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran
tertulis dari Menteri.
(3) Bupati/wali kota wajib menyampaikan Perda
Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota kepada
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat paling lama
7 (tujuh) Hari setelah ditetapkan.
(4) Bupati/wali kota yang tidak menyampaikan Perda
Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota kepada
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa
teguran tertulis dari gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat.
Pasal 250
(1) Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249
ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.
(2) Bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;
b. terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
c. terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
d. terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat; dan/atau
e. diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan,
ras, antar-golongan, dan gender.
Pasal 251
(1) Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan
dibatalkan oleh Menteri.
(2) Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota
yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau
kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat.
(3) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak
membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan
bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau kesusilaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Menteri membatalkan Perda
Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota.
(4) Pembatalan Perda Provinsi dan peraturan gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
keputusan Menteri dan pembatalan Perda Kabupaten/Kota
dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(5) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus
menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD
bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.
(6) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus
menghentikan pelaksanaan Perkada dan selanjutnya kepala
daerah mencabut Perkada dimaksud.
(7) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi
tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda
Provinsi dan gubernur tidak dapat menerima keputusan
pembatalan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan, gubernur dapat
mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat
14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda
atau peraturan gubernur diterima.
(8) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah
kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan
pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan bupati/wali kota
tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan
bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan, bupati/wali kota dapat
mengajukan keberatan kepada Menteri paling lambat
14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda
Kabupaten/Kota atau peraturan bupati/wali kota diterima.

Pasal 252
(1) Penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi atau
kabupaten/kota yang masih memberlakukan Perda yang
dibatalkan oleh Menteri atau oleh gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251
ayat (4), dikenai sanksi.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. sanksi administratif; dan/atau
b. sanksi penundaan evaluasi rancangan Perda;
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a dikenai kepada kepala Daerah dan anggota DPRD
berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama
3 (tiga) bulan.
(4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
diterapkan pada saat penyelenggara Pemerintahan Daerah
masih mengajukan keberatan kepada Presiden untuk Perda
Provinsi dan kepada Menteri untuk Perda Kabupaten/Kota.
(5) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi
atau kabupaten/kota masih memberlakukan Perda
mengenai pajak daerah dan/atau retribusi daerah yang
dibatalkan oleh Menteri atau dibatalkan oleh gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat, dikenai sanksi penundaan
atau pemotongan DAU dan/atau DBH bagi Daerah
bersangkutan.
Bagian Keempat
Penyebarluasan Program Pembentukan Perda dan Rancangan
Perda
Pasal 253
(1) DPRD dan kepala Daerah wajib melakukan penyebarluasan
sejak penyusunan program pembentukan Perda,
penyusunan rancangan Perda, dan pembahasan rancangan
Perda.
(2) Penyebarluasan program pembentukan Perda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama oleh DPRD dan
kepala daerah yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan
DPRD yang khusus menangani pembentukan Perda.
(3) Penyebarluasan rancangan Perda yang berasal dari DPRD
dilaksanakan oleh alat kelengkapan DPRD.
(4) Penyebarluasan rancangan Perda yang berasal dari kepala
daerah dilaksanakan oleh sekretaris daerah.
(5) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk dapat memberikan informasi dan/atau
memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku
kepentingan.
Pasal 254
(1) Kepala daerah wajib menyebarluaskan Perda yang telah
diundangkan dalam lembaran daerah dan Perkada yang
telah diundangkan dalam berita daerah.
(2) Kepala daerah yang tidak menyebarluaskan Perda dan
Perkada yang telah diundangkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran
tertulis oleh Menteri untuk gubernur dan oleh gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk bupati/wali kota.
(3) Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan
tetap tidak dilaksanakan, kepala daerah diwajibkan
mengikuti program pembinaan khusus pendalaman bidang
pemerintahan yang dilaksanakan oleh Kementerian serta
tugas dan kewenangannya dilaksanakan oleh wakil kepala
daerah atau oleh pejabat yang ditunjuk.
Bagian Kelima
Penegakan Perda dan Perkada

Paragraf 1
Satuan Polisi Pamong Praja
Pasal 255
(1) Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkan
Perda dan Perkada, menyelenggarakan ketertiban umum
dan ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan
masyarakat.
(2) Satuan polisi pamong praja mempunyai kewenangan:
a. melakukan tindakan penertiban non-yustisial terhadap
warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang
melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada;
b. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan
hukum yang mengganggu ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat;
c. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga
masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga
melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada;
dan
d. melakukan tindakan administratif terhadap warga
masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang
melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada.
Pasal 256
(1) Polisi pamong praja adalah jabatan fungsional pegawai
negeri sipil yang penetapannya dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Polisi pamong praja diangkat dari pegawai negeri sipil yang
memenuhi persyaratan.
(3) Polisi pamong praja harus mengikuti pendidikan dan
pelatihan teknis dan fungsional.
(4) Pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh
Kementerian.
(5) Kementerian dalam melakukan pendidikan dan pelatihan
teknis dan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dapat berkoordinasi dengan Kepolisian Republik Indonesia
dan Kejaksaan Agung.
(6) Polisi pamong praja yang memenuhi persyaratan dapat
diangkat sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai satuan polisi pamong praja
diatur dengan peraturan pemerintah.

Paragraf 2
Pejabat Penyidik
Pasal 257
(1) Penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan Perda
dilakukan oleh pejabat penyidik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Selain pejabat penyidik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat ditunjuk penyidik pegawai negeri sipil yang
diberi tugas untuk melakukan penyidikan terhadap
pelanggaran atas ketentuan Perda sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut
umum dan berkoordinasi dengan penyidik kepolisian
setempat.
(4) Penuntutan terhadap pelanggaran atas ketentuan Perda
dilakukan oleh penuntut umum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

BAB X
PEMBANGUNAN DAERAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 258
(1) Daerah melaksanakan pembangunan untuk peningkatan
dan pemerataan pendapatan masyarakat, kesempatan
kerja, lapangan berusaha, meningkatkan akses dan kualitas
pelayanan publik dan daya saing Daerah.
(2) Pembangunan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perwujudan dari pelaksanaan Urusan
Pemerintahan yang telah diserahkan ke Daerah sebagai
bagian integral dari pembangunan nasional.
(3) Kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian
berdasarkan pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang
tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan
Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan
Daerah untuk mencapai target pembangunan nasional.
Pasal 259
(1) Untuk mencapai target pembangunan nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 ayat (3) dilakukan
koordinasi teknis pembangunan antara kementerian atau
lembaga pemerintah nonkementerian dan Daerah.
(2) Koordinasi teknis pembangunan antara kementerian atau
lembaga pemerintah nonkementerian dan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh
Menteri dengan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan bidang perencanaan pembangunan.
(3) Koordinasi teknis pembangunan antara Daerah provinsi
dan Daerah kabupaten/kota dan antar-Daerah
kabupaten/kota lingkup Daerah provinsi dilaksanakan oleh
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(4) Koordinasi teknis pembangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam tahap perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi pembangunan
Daerah.

Bagian Kedua
Perencanaan Pembangunan Daerah
Pasal 260
(1) Daerah sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana
pembangunan Daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem
perencanaan pembangunan nasional.
(2) Rencana pembangunan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikoordinasikan, disinergikan, dan
diharmonisasikan oleh Perangkat Daerah yang membidangi
perencanaan pembangunan Daerah.
Pasal 261
(1) Perencanaan pembangunan Daerah menggunakan
pendekatan teknokratik, partisipatif, politis, serta
atas-bawah dan bawah-atas.
(2) Pendekatan teknokratis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah
untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan Daerah.
(3) Pendekatan partisipatif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dengan melibatkan berbagai
pemangku kepentingan.
(4) Pendekatan politis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan menerjemahkan visi dan misi kepala
daerah terpilih ke dalam dokumen perencanaan
pembangunan jangka menengah yang dibahas bersama
dengan DPRD.
(5) Pendekatan atas-bawah dan bawah-atas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perencanaan yang
diselaraskan dalam musyawarah pembangunan yang
dilaksanakan mulai dari Desa, Kecamatan, Daerah
kabupaten/kota, Daerah provinsi, hingga nasional.
Pasal 262
(1) Rencana pembangunan Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 260 ayat (2) dirumuskan secara transparan,
responsif, efisien, efektif, akuntabel, partisipatif, terukur,
berkeadilan, dan berwawasan lingkungan.
(2) Rencana pembangunan Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 260 ayat (2) memperhatikan percepatan
pembangunan Daerah tertinggal.
Pasal 263
(1) Dokumen perencanaan pembangunan Daerah terdiri atas:
a. RPJPD;
b. RPJMD; dan
c. RKPD.
(2) RPJPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
merupakan penjabaran dari visi, misi, arah kebijakan, dan
sasaran pokok pembangunan Daerah jangka panjang untuk
20 (dua puluh) tahun yang disusun dengan berpedoman
pada RPJPN dan rencana tata ruang wilayah.
(3) RPJMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala
daerah yang memuat tujuan, sasaran, strategi, arah
kebijakan, pembangunan Daerah dan keuangan Daerah,
serta program Perangkat Daerah dan lintas Perangkat
Daerah yang disertai dengan kerangka pendanaan bersifat
indikatif untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang disusun
dengan berpedoman pada RPJPD dan RPJMN.
(4) RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
merupakan penjabaran dari RPJMD yang memuat
rancangan kerangka ekonomi Daerah, prioritas
pembangunan Daerah, serta rencana kerja dan pendanaan
untuk jangka waktu 1 (satu) tahun yang disusun dengan
berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah dan program
strategis nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 264
(1) RPJPD dan RPJMD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 263 ayat (1) huruf a dan huruf b ditetapkan dengan
Perda.
(2) RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1)
huruf c ditetapkan dengan Perkada.
(3) Perda tentang RPJPD ditetapkan paling lama 6 (enam)
bulan setelah RPJPD periode sebelumnya berakhir.
(4) Perda tentang RPJMD ditetapkan paling lama 6 (enam)
bulan setelah kepala daerah terpilih dilantik.
(5) RPJPD, RPJMD, dan RKPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dapat diubah apabila berdasarkan hasil
pengendalian dan evaluasi tidak sesuai dengan
perkembangan keadaan atau penyesuaian terhadap
kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 265
(1) RPJPD menjadi pedoman dalam perumusan visi, misi, dan
program calon kepala daerah.
(2) RPJMD dan RKPD digunakan sebagai instrumen evaluasi
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
(3) RKPD menjadi pedoman kepala daerah dalam menyusun
KUA serta PPAS.
Pasal 266
(1) Apabila penyelenggara Pemerintahan Daerah tidak
menetapkan Perda tentang RPJPD dan RPJMD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 264 ayat (3) dan ayat (4), anggota
DPRD dan kepala daerah dikenai sanksi administratif
berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama
3 (tiga) bulan.
(2) Apabila kepala daerah tidak menetapkan Perkada tentang
RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 264 ayat (2),
kepala daerah dikenai sanksi administratif berupa tidak
dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan selama 3 (tiga) bulan.

Bagian Ketiga
Evaluasi Rancangan Perda tentang RPJPD dan RPJMD
Pasal 267
(1) Rancangan Perda Provinsi tentang RPJPD dan RPJMD yang
telah disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD provinsi
sebelum ditetapkan oleh gubernur paling lama 3 (tiga) Hari
terhitung sejak persetujuan bersama disampaikan kepada
Menteri untuk dievaluasi.
(2) Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang RPJPD dan
RPJMD yang telah disetujui bersama oleh bupati/wali kota
dan DPRD Kabupaten/Kota sebelum ditetapkan oleh
bupati/wali kota paling lama 3 (tiga) Hari terhitung sejak
persetujuan bersama disampaikan kepada gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat untuk dievaluasi.
Pasal 268
(1) Evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang RPJPD
yang dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 267 ayat (1) dilaksanakan untuk menguji kesesuaian
dengan RPJPN dan rencana tata ruang wilayah provinsi,
kepentingan umum dan/atau ketentutan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
(2) Hasil evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang
RPJPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
oleh Menteri kepada gubernur paling lama 15 (lima belas)
Hari sejak Rancangan Perda diterima.
(3) Apabila Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan
Perda Provinsi tentang RPJPD tidak sesuai dengan RPJPN
dan rencana tata ruang wilayah provinsi, kepentingan
umum, dan/atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, gubernur bersama DPRD melakukan
penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari sejak hasil
evaluasi diterima.
(4) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur
dan DPRD serta gubernur menetapkan rancangan Perda
Provinsi tentang RPJPD menjadi Perda, Menteri
membatalkan Perda dimaksud.
Pasal 269
(1) Evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang
RPJMD yang dilakukan oleh Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 267 ayat (1) dilaksanakan untuk
menguji kesesuaian dengan RPJPD Provinsi dan RPJMN,
kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
(2) Hasil evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang
RPJMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
oleh Menteri kepada Gubernur paling lama 15 (lima belas)
Hari sejak rancangan Perda dimaksud diterima.
(3) Apabila Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan
Perda Provinsi tentang RPJMD tidak sesuai dengan RPJPD
provinsi dan RPJMN, kepentingan umum dan/atau
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, gubernur bersama DPRD melakukan
penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari sejak hasil
evaluasi diterima.
(4) Dalam hal hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur
dan DPRD dan gubernur menetapkan rancangan Perda
Provinsi tentang RPJMD menjadi Perda, Menteri
membatalkan Perda dimaksud.
Pasal 270
(1) Evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota
tentang RPJPD yang dilakukan oleh gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267
ayat (2) dilaksanakan untuk menguji kesesuaian dengan
RPJPN, RPJPD provinsi dan rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota, kepentingan umum dan/atau ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(2) Hasil evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota
tentang RPJPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
kepada bupati/wali kota paling lama 15 (lima belas) Hari
sejak rancangan Perda diterima.
(3) Apabila gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang RPJPD tidak sesuai dengan
RPJPN, RPJPD provinsi dan rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota, kepentingan umum dan/atau ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
bupati/wali kota bersama DPRD melakukan
penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari sejak hasil
evaluasi diterima.
(4) Dalam hal hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh
bupati/wali kota dan DPRD kabupaten/kota, dan
bupati/wali kota menetapkan rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang RPJPD menjadi Perda, gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat membatalkan Perda
dimaksud.
Pasal 271
(1) Evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota
tentang RPJMD yang dilakukan oleh gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267
ayat (2) dilaksanakan untuk menguji kesesuaian dengan
RPJPD kabupaten/kota, RPJMD provinsi dan RPJMN,
kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
(2) Hasil evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota
tentang RPJMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
kepada bupati/wali kota paling lama 15 (lima belas) Hari
sejak rancangan Perda diterima.
(3) Apabila gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang RPJMD tidak sesuai dengan
RPJPD kabupaten/kota, RPJMD provinsi dan RPJMN,
kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, bupati/wali kota
bersama DPRD kabupaten/kota melakukan
penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari sejak hasil
evaluasi diterima.
(4) Dalam hal hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh
bupati/wali kota dan DPRD kabupaten/kota dan
bupati/wali kota menetapkan rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang RPJMD kabupaten/kota menjadi
Perda, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
membatalkan Perda dimaksud.
Pasal 272
(1) Perangkat Daerah menyusun rencana strategis dengan
berpedoman pada RPJMD.
(2) Rencana strategis Perangkat Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat tujuan, sasaran, program,
dan kegiatan pembangunan dalam rangka pelaksanaan
Urusan Pemerintahan Wajib dan/atau Urusan
Pemerintahan Pilihan sesuai dengan tugas dan fungsi setiap
Perangkat Daerah.
(3) Pencapaian sasaran, program, dan kegiatan pembangunan
dalam rencana strategis Perangkat Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diselaraskan dengan pencapaian
sasaran, program, dan kegiatan pembangunan yang
ditetapkan dalam rencana strategis kementerian atau
lembaga pemerintah nonkementerian untuk tercapainya
sasaran pembangunan nasional.
Pasal 273
(1) Rencana strategis Perangkat Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 272 ayat (1) ditetapkan dengan
Perkada setelah RPJMD ditetapkan.
(2) Rencana strategis Perangkat Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dirumuskan ke dalam rancangan
rencana kerja Perangkat Daerah dan digunakan sebagai
bahan penyusunan rancangan RKPD.
(3) Rencana kerja Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) memuat program, kegiatan, lokasi, dan
kelompok sasaran yang disertai indikator kinerja dan
pendanaan sesuai dengan tugas dan fungsi setiap
Perangkat Daerah.
(4) Rencana kerja Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditetapkan kepala daerah setelah RKPD
ditetapkan.
Pasal 274
Perencanaan pembangunan Daerah didasarkan pada data dan
informasi yang dikelola dalam sistem informasi pembangunan
Daerah.

Bagian Keempat
Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah
Pasal 275
Pengendalian dan evaluasi pembangunan Daerah meliputi:
a. pengendalian terhadap perumusan kebijakan perencanaan
pembangunan Daerah;
b. pelaksanaan rencana pembangunan Daerah; dan
c. evaluasi terhadap hasil rencana pembangunan Daerah.
Pasal 276
(1) Menteri melakukan pengendalian dan evaluasi terhadap
pembangunan Daerah provinsi.
(2) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan
pengendalian dan evaluasi terhadap pembangunan Daerah
kabupaten/kota.
(3) Gubernur melakukan pengendalian dan evaluasi
pembangunan Daerah provinsi.
(4) Bupati/wali kota melakukan pengendalian dan evaluasi
terhadap pembangunan Daerah kabupaten/kota.
Pasal 277
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan,
pengendalian dan evaluasi pembangunan Daerah, tata cara
evaluasi rancangan Perda tentang RPJPD dan RPJMD, serta tata
cara perubahan RPJPD, RPJMD, dan RKPD diatur dengan
peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Pemberian Insentif dan Kemudahan Investasi
Pasal 278
(1) Penyelenggara Pemerintahan Daerah melibatkan peran
serta masyarakat dan sektor swasta dalam pembangunan
Daerah.
(2) Untuk mendorong peran serta masyarakat dan sektor
swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara
Pemerintahan Daerah dapat memberikan insentif dan/atau
kemudahan kepada masyarakat dan/atau investor yang
diatur dalam Perda dengan berpedoman pada ketentuan
peraturan perundang-undangan.

BAB XI
KEUANGAN DAERAH
Bagian Kesatu
Prinsip Umum Hubungan Keuangan
Pemerintah Pusat dengan Daerah
Pasal 279
(1) Pemerintah Pusat memiliki hubungan keuangan dengan
Daerah untuk membiayai penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan
kepada Daerah.
(2) Hubungan keuangan dalam penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pemberian sumber penerimaan Daerah berupa pajak
daerah dan retribusi daerah;
b. pemberian dana bersumber dari perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
c. pemberian dana penyelenggaraan otonomi khusus
untuk Pemerintahan Daerah tertentu yang ditetapkan
dalam undang-undang; dan
d. pemberian pinjaman dan/atau hibah, dana darurat,
dan insentif (fiskal).
(3) Hubungan keuangan dalam penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang ditugaskan kepada Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pendanaan sesuai
dengan Urusan Pemerintahan yang ditugaskan sebagai
pelaksanaan dari Tugas Pembantuan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai hubungan keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan undangundang.
Pasal 280
(1) Dalam menyelenggarakan sebagian Urusan Pemerintahan
yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara
Pemerintahan Daerah mempunyai kewajiban dalam
pengelolaan keuangan Daerah.
(2) Kewajiban penyelenggara Pemerintahan Daerah dalam
pengelolaan keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. mengelola dana secara efektif, efisien, transparan dan
akuntabel;
b. menyinkronkan pencapaian sasaran program Daerah
dalam APBD dengan program Pemerintah Pusat; dan
c. melaporkan realisasi pendanaan Urusan Pemerintahan
yang ditugaskan sebagai pelaksanaan dari Tugas
Pembantuan.

Bagian Kedua
Hubungan Keuangan Antar-Daerah
Pasal 281
(1) Daerah dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang
diserahkan oleh Pemerintah Pusat memiliki hubungan
keuangan dengan Daerah yang lain.
(2) Hubungan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. bagi hasil pajak dan nonpajak antar-Daerah;
b. pendanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah yang menjadi tanggung jawab
bersama sebagai konsekuensi dari kerja sama antar-
Daerah;
c. pinjaman dan/atau hibah antar-Daerah;
d. bantuan keuangan antar-Daerah; dan
e. pelaksanaan dana otonomi khusus yang ditetapkan
dalam Undang-Undang.

Bagian Ketiga
Pendanaan Penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan di Daerah
Pasal 282
(1) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah didanai dari dan atas beban APBD.
(2) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat di Daerah didanai dari dan
atas beban APBN.
(3) Administrasi pendanaan penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
terpisah dari administrasi pendanaan penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Bagian Keempat
Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 283
(1) Pengelolaan keuangan Daerah merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah sebagai
akibat dari penyerahan Urusan Pemerintahan.
(2) Pengelolaan keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara tertib, taat pada ketentuan
peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif,
transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan
rasa keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.
Pasal 284
(1) Kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan Daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam
kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
(2) Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), kepala daerah melimpahkan sebagian atau
seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan
pertanggungjawaban, serta pengawasan keuangan Daerah
kepada pejabat Perangkat Daerah.
(3) Pelimpahan sebagian atau seluruh kekuasaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada prinsip pemisahan
kewenangan antara yang memerintahkan, menguji, dan
yang menerima atau mengeluarkan uang.

Bagian Kelima
Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan
Paragraf 1
Pendapatan
Pasal 285
(1) Sumber pendapatan Daerah terdiri atas:
a. pendapatan asli Daerah meliputi:
1. pajak daerah;
2. retribusi daerah;
3. hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang
dipisahkan; dan
4. lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah;
b. pendapatan transfer; dan
c. lain-lain pendapatan Daerah yang sah.
(2) Pendapatan transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi:
a. transfer Pemerintah Pusat terdiri atas:
1. dana perimbangan;
2. dana otonomi khusus;
3. dana keistimewaan; dan
4. dana Desa.
b. transfer antar-Daerah terdiri atas:
1. pendapatan bagi hasil; dan
2. bantuan keuangan.
Pasal 286
(1) Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan
undang-undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih
lanjut dengan Perda.
(2) Pemerintah Daerah dilarang melakukan pungutan atau
dengan sebutan lain di luar yang diatur dalam undangundang.
(3) Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (1) huruf a
angka 3 dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (1) huruf a
angka 4 ditetapkan dengan Perda dengan berpedoman pada
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 287
(1) Kepala daerah yang melakukan pungutan atau dengan
sebutan lain di luar yang diatur dalam undang-undang
dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hakhak
keuangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.
(2) Hasil pungutan atau dengan sebutan lain yang dipungut
oleh kepala daerah di luar yang diatur dalam undangundang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disetorkan seluruhnya ke kas negara.
Pasal 288
Dana perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285
ayat (2) huruf a angka 1) terdiri atas:
a. DBH;
b. DAU; dan
c. DAK.
Pasal 289
(1) DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 huruf a
bersumber dari:
a. pajak;
b. cukai; dan
c. sumber daya alam.
(2) DBH yang bersumber dari pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. pajak bumi dan bangunan (PBB); dan
b. PPh Pasal 25 dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi
dalam negeri dan PPh Pasal 21.
(3) DBH yang bersumber dari cukai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b adalah cukai hasil tembakau sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) DBH yang bersumber dari sumber daya alam sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c berasal dari:
a. penerimaan kehutanan yang berasal dari iuran ijin
usaha pemanfaatan hutan (IIUPH), provisi sumber daya
hutan (PSDH) dan dana reboisasi yang dihasilkan dari
wilayah Daerah yang bersangkutan;
b. penerimaan pertambangan mineral dan batubara yang
berasal dari penerimaan iuran tetap (landrent) dan
penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi
(royalty) yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang
bersangkutan;
c. penerimaan negara dari sumber daya alam
pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari
wilayah Daerah yang bersangkutan;
d. penerimaan negara dari sumber daya alam
pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah
Daerah yang bersangkutan; dan
e. penerimaan dari panas bumi yang berasal dari
penerimaan setoran bagian Pemerintah Pusat, iuran
tetap, dan iuran produksi yang dihasilkan dari wilayah
Daerah yang bersangkutan.
(5) Menteri teknis menetapkan Daerah penghasil dan rencana
penerimaan negara dari sumber daya alam per Daerah
sebagai dasar alokasi dana bagi hasil sumber daya alam
paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran
bersangkutan dilaksanakan.
(6) Dalam hal sumber daya alam berada pada wilayah yang
berbatasan atau berada pada lebih dari satu Daerah,
menteri teknis menetapkan Daerah penghasil sumber daya
alam berdasarkan pertimbangan Menteri paling lambat
60 (enam puluh) Hari setelah usulan pertimbangan dari
Menteri diterima.
(7) Daerah penghasil dan rencana penerimaan negara dari
sumber daya alam per Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) disampaikan kepada Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan.
Pasal 290
(1) DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 huruf b
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan
keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan
Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. (2) DAU suatu
Daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal.
(3) Proporsi DAU antara Daerah provinsi dan kabupaten/kota
ditetapkan berdasarkan pertimbangan Urusan
Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah provinsi dan
kabupaten/kota.
(4) Celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas
fiskal Daerah.
(5) Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan
pendanaan Daerah untuk menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, baik
Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar
dan tidak terkait Pelayanan Dasar maupun Urusan
Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1).
(6) Kapasitas fiskal Daerah merupakan sumber pendanaan
Daerah yang berasal dari pendapatan asli Daerah dan DBH.
(7) Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 291
(1) Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan DAU dalam nota
keuangan dan rancangan APBN tahun anggaran
berikutnya, yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia.
(2) Kebijakan DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibahas terlebih dahulu dalam forum dewan pertimbangan
otonomi daerah sebelum penyampaian nota keuangan dan
rancangan APBN ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia.
(3) Dalam menetapkan kebijakan DAU sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah Pusat mempertimbangkan
Daerah yang berciri kepulauan.
(4) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang keuangan menetapkan alokasi DAU untuk setiap
Daerah provinsi dan kabupaten/kota setelah APBN
ditetapkan.
Pasal 292
(1) DAK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 huruf c
bersumber dari APBN dialokasikan pada Daerah untuk
mendanai kegiatan khusus yang merupakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
(2) Kebijakan DAK dibahas dalam forum dewan pertimbangan
otonomi daerah sebelum penetapan rencana kerja
Pemerintah Pusat.
(3) Menteri teknis/kepala lembaga pemerintah nonkementerian
mengusulkan kegiatan khusus kepada kementerian yang
menyelenggarakan perencanaan pembangunan nasional
dan kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan bidang keuangan.
(4) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang perencanaan pembangunan nasional
mengoordinasikan usulan kegiatan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dengan Menteri, kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan,
dan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk
ditetapkan dalam rencana kerja Pemerintah Pusat sebagai
kegiatan khusus yang akan didanai DAK.
(5) Kegiatan khusus yang telah ditetapkan dalam rencana kerja
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
menjadi dasar pengalokasian DAK.
(6) Alokasi DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
per Daerah ditetapkan oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan.
Pasal 293
Ketentuan lebih lanjut mengenai supervisi, pemonitoran dan
pengevaluasian atas penggunaan DBH, DAU, dan DAK diatur
dalam peraturan pemerintah.
Pasal 294
(1) Dana otonomi khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 285 ayat (2) huruf a angka 2 dialokasikan kepada
Daerah yang memiliki otonomi khusus sesuai dengan
ketentuan undang-undang mengenai otonomi khusus.
(2) Dana keistimewaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 285 ayat (2) huruf a angka 3 dialokasikan kepada
Daerah istimewa sesuai dengan ketentuan undang-undang
mengenai keistimewaan.
(3) Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (2)
huruf a angka 4 dialokasikan oleh Pemerintah Pusat untuk
mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan, serta
pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan kewenangan
dan kebutuhan Desa sesuai dengan ketentuan undangundang
mengenai Desa.
(4) Pendapatan bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 285 ayat (2) huruf b angka 1 adalah dana yang
bersumber dari pendapatan tertentu Daerah yang
dialokasikan kepada Daerah lain berdasarkan angka
persentase tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5) Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 285 ayat (2) huruf b angka 2 adalah dana yang
diberikan oleh Daerah kepada Daerah lainnya baik dalam
rangka kerja sama Daerah maupun untuk tujuan tertentu
lainnya.
Pasal 295
(1) Lain-lain pendapatan Daerah yang sah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 285 ayat (1) huruf c merupakan
seluruh pendapatan Daerah selain pendapatan asli Daerah
dan pendapatan transfer, yang meliputi hibah, dana
darurat, dan lain-lain pendapatan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal
dari Pemerintah Pusat, Daerah yang lain, masyarakat, dan
badan usaha dalam negeri atau luar negeri yang bertujuan
untuk menunjang peningkatan penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Pasal 296
(1) Dana darurat dapat dialokasikan pada Daerah dalam APBN
untuk mendanai keperluan mendesak yang diakibatkan
oleh bencana yang tidak mampu ditanggulangi oleh Daerah
dengan menggunakan sumber APBD.
(2) Ketidakmampuan keuangan Daerah dalam menangani
bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Menteri.
(3) Dana darurat sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1)
diberikan pada tahap pascabencana.
(4) Dana darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
digunakan untuk mendanai perbaikan fasilitas umum
untuk melayani masyarakat.
(5) Dana darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diusulkan oleh Daerah yang mengalami bencana kepada
Menteri.
(6) Menteri mengoordinasikan usulan dana darurat kepada
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang keuangan setelah berkoordinasi dengan
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait.
(7) Alokasi dana darurat kepada Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang keuangan.
Pasal 297
(1) Komisi, rabat, potongan, atau penerimaan lain dengan
nama dan dalam bentuk apa pun yang dapat dinilai dengan
uang secara langsung sebagai akibat dari penjualan, tukarmenukar,
hibah, asuransi, dan/atau pengadaan barang
dan jasa termasuk penerimaan bunga, jasa giro, atau
penerimaan lain sebagai akibat penyimpanan uang pada
bank, penerimaan dari hasil pemanfaatan barang Daerah
atau dari kegiatan lainnya merupakan pendapatan Daerah.
(2) Semua pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) apabila berbentuk uang harus segera disetor ke kas
umum Daerah dan berbentuk barang menjadi milik Daerah
yang dicatat sebagai inventaris Daerah.

Paragraf 2
Belanja
Pasal 298
(1) Belanja Daerah diprioritaskan untuk mendanai Urusan
Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar yang
ditetapkan dengan standar pelayanan minimal.
(2) Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berpedoman pada standar teknis dan standar harga satuan
regional sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Belanja Daerah untuk pendanaan Urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan Daerah selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada analisis standar
belanja dan standar harga satuan regional sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Belanja hibah dan bantuan sosial dianggarkan dalam APBD
sesuai dengan kemampuan keuangan Daerah setelah
memprioritaskan pemenuhan belanja Urusan Pemerintahan
Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan, kecuali ditentukan
lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Belanja hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
diberikan kepada:
a. Pemerintah Pusat;
b. Pemerintah Daerah lain;
c. badan usaha milik negara atau BUMD; dan/atau
d. badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang
berbadan hukum Indonesia.
(6) Belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja untuk
Desa dianggarkan dalam APBD sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(7) Belanja DAK diprioritaskan untuk mendanai kegiatan fisik
dan dapat digunakan untuk kegiatan nonfisik.
Pasal 299
(1) Ketentuan mengenai belanja kepala daerah dan wakil
kepala daerah diatur dengan peraturan pemerintah.
(2) Ketentuan mengenai belanja pimpinan dan anggota DPRD
diatur dalam peraturan pemerintah.
Paragraf 3
Pembiayaan
Pasal 300
(1) Daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari
Pemerintah Pusat, Daerah lain, lembaga keuangan bank,
lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat.
(2) Kepala daerah dengan persetujuan DPRD dapat
menerbitkan obligasi Daerah untuk membiayai
infrastruktur dan/atau investasi yang menghasilkan
penerimaan Daerah setelah memperoleh pertimbangan dari
Menteri dan persetujuan dari menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan.
Pasal 301
(1) Daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari
penerusan pinjaman utang luar negeri dari menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan
setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri.
(2) Perjanjian penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan antara menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan
dan kepala daerah.
Pasal 302
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai pinjaman Daerah diatur
dengan peraturan pemerintah.
(2) Peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit mengatur:
a. persyaratan bagi Daerah dalam melakukan pinjaman;
b. penganggaran kewajiban pinjaman Daerah yang jatuh
tempo dalam APBD;
c. pengenaan sanksi dalam hal Daerah tidak memenuhi
kewajiban membayar pinjaman;
d. tata cara pelaporan posisi kumulatif pinjaman dan
kewajiban pinjaman setiap semester dalam tahun
anggaran berjalan;
e. persyaratan penerbitan obligasi Daerah serta
pembayaran bunga dan pokok obligasi; dan
f. pengelolaan obligasi Daerah yang mencakup
pengendalian risiko, penjualan dan pembelian obligasi
serta pelunasan dan penganggaran dalam APBD.
(3) Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman
pihak lain.
Pasal 303
(1) Daerah dapat membentuk dana cadangan guna mendanai
kebutuhan pembangunan prasarana dan sarana Daerah
yang tidak dapat dibebankan dalam 1 (satu) tahun
anggaran.
(2) Pembentukan dana cadangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan Perda.
(3) Dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersumber dari penyisihan atas penerimaan Daerah kecuali
dari DAK, pinjaman Daerah, dan penerimaan lain-lain yang
penggunaannya dibatasi untuk pengeluaran tertentu.
(4) Penggunaan dana cadangan dalam satu tahun anggaran
menjadi penerimaan pembiayaan APBD dalam tahun
anggaran yang bersangkutan.
(5) Dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) ditempatkan dalam rekening tersendiri dalam
rekening kas umum Daerah.
(6) Dalam hal dana cadangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) belum digunakan sesuai dengan peruntukannya,
dana tersebut dapat ditempatkan dalam portofolio yang
memberikan hasil tetap dengan risiko rendah.
Pasal 304
(1) Daerah dapat melakukan penyertaan modal pada badan
usaha milik negara dan/atau BUMD.
(2) Penyertaan modal Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat ditambah, dikurangi, dijual kepada pihak
lain, dan/atau dapat dialihkan kepada badan usaha milik
negara dan/atau BUMD.
(3) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 305
(1) Dalam hal APBD diperkirakan surplus, APBD dapat
digunakan untuk pengeluaran pembiayaan Daerah yang
ditetapkan dalam Perda tentang APBD.
(2) Pengeluaran pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat digunakan untuk pembiayaan:
a. pembayaran cicilan pokok utang yang jatuh tempo;
b. penyertaan modal Daerah;
c. pembentukan dana cadangan; dan/atau
d. pengeluaran pembiayaan lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal APBD diperkirakan defisit, APBD dapat didanai
dari penerimaan pembiayaan Daerah yang ditetapkan dalam
Perda tentang APBD.
(4) Penerimaan pembiayaan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) bersumber dari:
a. sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya;
b. pencairan dana cadangan;
c. hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan;
d. pinjaman Daerah; dan
e. penerimaan pembiayaan lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 306
(1) Menteri melakukan pengendalian atas defisit APBD provinsi
dengan berdasarkan batas maksimal defisit APBD dan batas
maksimal jumlah kumulatif pinjaman Daerah yang
ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan bidang keuangan.
(2) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan
pengendalian atas defisit APBD kabupaten/kota dengan
berdasarkan batas maksimal defisit APBD dan batas
maksimal jumlah kumulatif pinjaman Daerah yang
ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan bidang keuangan.
(3) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilakukan pada saat evaluasi terhadap rancangan
Perda tentang APBD.

Paragraf 4
Pengelolaan Barang Milik Daerah
Pasal 307
(1) Barang milik Daerah yang diperlukan untuk
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan tidak dapat
dipindahtangankan.
(2) Pelaksanaan pengadaan barang milik Daerah dilakukan
sesuai dengan kemampuan keuangan dan kebutuhan
Daerah berdasarkan prinsip efisiensi, efektivitas, dan
transparansi dengan mengutamakan produk dalam negeri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Barang milik Daerah yang tidak digunakan untuk
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan dapat dihapus dari
daftar barang milik Daerah dengan cara dijual,
dipertukarkan, dihibahkan, disertakan sebagai modal
Daerah, dan/atau dimusnahkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (3) tidak dapat dijadikan tanggungan atau
digadaikan untuk mendapatkan pinjaman.

Paragraf 5
APBD
Pasal 308
Menteri menetapkan pedoman penyusunan APBD setiap tahun
setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan bidang perencanaan pembangunan
nasional dan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan bidang keuangan.
Pasal 309
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan Daerah dalam
masa 1 (satu) tahun anggaran sesuai dengan undang-undang
mengenai keuangan negara.
Pasal 310
(1) Kepala daerah menyusun KUA dan PPAS berdasarkan
RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (3) dan
diajukan kepada DPRD untuk dibahas bersama.
(2) KUA serta PPAS yang telah disepakati kepala daerah
bersama DPRD menjadi pedoman Perangkat Daerah dalam
menyusun rencana kerja dan anggaran satuan kerja
Perangkat Daerah.
(3) Rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada
pejabat pengelola keuangan Daerah sebagai bahan
penyusunan rancangan Perda tentang APBD tahun
berikutnya.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyusunan rencana kerja
dan anggaran, serta dokumen pelaksanaan anggaran
satuan kerja Perangkat Daerah diatur dalam Perda yang
berpedoman pada ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 311
(1) Kepala daerah wajib mengajukan rancangan Perda tentang
APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen
pendukungnya kepada DPRD sesuai dengan waktu yang
ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan
untuk memperoleh persetujuan bersama.
(2) Kepala daerah yang tidak mengajukan rancangan Perda
tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak
keuangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.
(3) Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibahas kepala daerah bersama DPRD dengan berpedoman
pada RKPD, KUA, dan PPAS untuk mendapat persetujuan
bersama.
(4) Atas dasar persetujuan bersama DPRD dan kepala daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah
menyiapkan rancangan Perkada tentang penjabaran APBD
dan rancangan dokumen pelaksanaan anggaran.
Pasal 312
(1) Kepala daerah dan DPRD wajib menyetujui bersama
rancangan Perda tentang APBD paling lambat 1 (satu) bulan
sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun.
(2) DPRD dan kepala daerah yang tidak menyetujui bersama
rancangan Perda tentang APBD sebelum dimulainya tahun
anggaran setiap tahun sebagaimana dimaksud ayat (1)
dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hakhak
keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat
dikenakan kepada anggota DPRD apabila keterlambatan
penetapan APBD disebabkan oleh kepala daerah terlambat
menyampaikan rancangan Perda tentang APBD kepada
DPRD dari jadwal yang telah ditetapkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 313
(1) Apabila kepala daerah dan DPRD tidak mengambil
persetujuan bersama dalam waktu 60 (enam puluh) Hari
sejak disampaikan rancangan Perda tentang APBD oleh
kepala daerah kepada DPRD, kepala daerah menyusun dan
menetapkan Perkada tentang APBD paling tinggi sebesar
angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai
keperluan setiap bulan.
(2) Rancangan Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat ditetapkan setelah memperoleh pengesahan dari
Menteri bagi Daerah provinsi dan oleh gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat bagi Daerah kabupaten/kota.
(3) Untuk memperoleh pengesahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), rancangan Perkada tentang APBD beserta
lampirannya disampaikan paling lama 15 (lima belas) Hari
terhitung sejak DPRD tidak mengambil keputusan bersama
dengan kepala daerah terhadap rancangan Perda tentang
APBD.
(4) Apabila dalam batas waktu 30 (tiga puluh) Hari Menteri
atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak
mengesahkan rancangan Perkada sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), kepala daerah menetapkan rancangan
Perkada dimaksud menjadi Perkada.
Pasal 314
(1) Rancangan Perda Provinsi tentang APBD yang telah
disetujui bersama dan rancangan peraturan gubernur
tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh
gubernur, paling lama 3 (tiga) Hari, disampaikan kepada
Menteri untuk dievaluasi, dilampiri RKPD, serta KUA dan
PPAS yang disepakati antara kepala daerah dan DPRD.
(2) Menteri melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda
Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur
tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
untuk menguji kesesuaian rancangan Perda Provinsi
tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang
penjabaran APBD dengan:
a. ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi;
b. kepentingan umum;
c. RKPD serta KUA dan PPAS; dan
d. RPJMD.
(4) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh Menteri kepada gubernur paling lama
15 (lima belas) Hari terhitung sejak rancangan Perda
Provinsi dan rancangan peraturan gubernur dimaksud
diterima.
(5) Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan
Perda Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan
gubernur tentang penjabaran APBD sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, kepentingan umum, RKPD, KUA dan PPAS, serta
RPJMD, gubernur menetapkan rancangan dimaksud
menjadi Perda dan peraturan gubernur.
(6) Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan
Perda Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan
gubernur tentang penjabaran APBD tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, kepentingan umum, RKPD, KUA dan PPAS, serta
RPJMD, gubernur bersama DPRD melakukan
penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak
hasil evaluasi diterima.
(7) Dalam hal hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur
dan DPRD dan gubernur menetapkan rancangan Perda
Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur
tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan peraturan
gubernur, Menteri membatalkan seluruh atau sebagian isi
Perda dan peraturan gubernur dimaksud.
(8) Dalam hal pembatalan dilakukan terhadap seluruh isi
Perda Provinsi tentang APBD dan peraturan gubernur
tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada
ayat (6), diberlakukan pagu APBD tahun sebelumnya.
Pasal 315
(1) Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang APBD yang telah
disetujui bersama dan rancangan peraturan bupati/wali
kota tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh
bupati/wali kota, paling lama 3 (tiga) Hari disampaikan
kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk
dievaluasi, dilampiri RKPD, KUA dan PPAS yang disepakati
antara kepala daerah dan DPRD.
(2) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan
evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota
tentang APBD dan rancangan peraturan bupati/wali kota
tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
untuk menguji kesesuaian rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang APBD dan rancangan peraturan
bupati/wali kota tentang penjabaran APBD dengan:
a. ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi;
b. kepentingan umum;
c. RKPD serta KUA dan PPAS; dan
d. RPJMD.
(4) Hasil evaluasi disampaikan oleh gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat kepada bupati/wali kota paling lama
15 (lima belas) Hari terhitung sejak rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang APBD dan rancangan peraturan
bupati/wali kota tentang penjabaran APBD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima.
(5) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang APBD dan rancangan peraturan
bupati/wali kota tentang penjabaran APBD sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, kepentingan umum, RKPD, KUA dan PPAS, serta
RPJMD, bupati/wali kota menetapkan rancangan dimaksud
menjadi Perda dan peraturan bupati/wali kota.
(6) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
menyatakan hasil evaluasi Rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang APBD dan rancangan peraturan
bupati/wali kota tentang penjabaran APBD tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, kepentingan umum, RKPD, KUA dan PPAS,
serta RPJMD, bupati/wali kota bersama DPRD melakukan
penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari sejak hasil
evaluasi diterima.
(7) Dalam hal hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh
bupati/wali kota dan DPRD, dan bupati/wali kota
menetapkan rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang
APBD dan rancangan peraturan bupati/wali kota tentang
penjabaran APBD menjadi Perda dan peraturan bupati/wali
kota, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
membatalkan seluruh atau sebagian isi Perda
Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota dimaksud.
(8) Dalam hal pembatalan dilakukan terhadap seluruh isi
Perda Kabupaten/Kota tentang APBD dan peraturan
bupati/wali kota tentang penjabaran APBD sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), diberlakukan pagu APBD tahun
sebelumnya.
(9) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat menyampaikan
hasil evaluasi rancangan perda kabupaten/kota tentang
APBD dan rancangan peraturan bupati/wali kota tentang
penjabaran APBD kepada Menteri paling lama 3 (tiga) Hari
sejak ditetapkannya keputusan gubernur tentang hasil
evaluasi rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang APBD
dan rancangan peraturan bupati/wali kota tentang
penjabaran APBD.
Paragraf 6
Perubahan APBD
Pasal 316
(1) Perubahan APBD dapat dilakukan jika terjadi:
a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;
b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan
pergeseran anggaran antarunit organisasi,
antarkegiatan, dan antarjenis belanja;
c. keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan
anggaran tahun sebelumnya harus digunakan untuk
pembiayaan dalam tahun anggaran berjalan;
d. keadaan darurat; dan/atau
e. keadaan luar biasa.
(2) Perubahan APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam
1 (satu) tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa.
(3) Keadaan luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan keadaan yang menyebabkan estimasi
penerimaan dan/atau pengeluaran dalam APBD mengalami
kenaikan atau penurunan lebih besar dari 50% (lima
puluh) persen.
Pasal 317
(1) Kepala daerah mengajukan rancangan Perda tentang
perubahan APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 316
ayat (1) disertai penjelasan dan dokumen pendukung
kepada DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama.
(2) Pengambilan keputusan mengenai rancangan Perda tentang
perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh DPRD bersama kepala daerah paling lambat
3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
berakhir.
(3) Apabila DPRD sampai batas waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak mengambil keputusan bersama dengan
kepala daerah terhadap rancangan Perda tentang
perubahan APBD, kepala daerah melaksanakan
pengeluaran yang dianggarkan dalam APBD tahun
anggaran berjalan.
(4) Penetapan rancangan Perda tentang perubahan APBD
dilakukan setelah ditetapkannya Perda tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD tahun sebelumnya.
Pasal 318
Perkada tentang penjabaran APBD dan Perkada tentang
penjabaran perubahan APBD dijadikan dasar penetapan
dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja Perangkat Daerah.
Pasal 319
Ketentuan mengenai evaluasi rancangan Perda tentang APBD
dan rancangan Perkada tentang penjabaran APBD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 314 dan Pasal 315 berlaku secara
mutatis mutandis terhadap evaluasi rancangan Perda tentang
perubahan APBD dan rancangan perkada tentang penjabaran
perubahan APBD.

Paragraf 7
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
Pasal 320
(1) Kepala daerah menyampaikan rancangan Perda tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD
dengan dilampiri laporan keuangan yang telah diperiksa
oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat
6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
(2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit meliputi:
a. laporan realisasi anggaran;
b. laporan perubahan saldo anggaran lebih;
c. neraca;
d. laporan operasional;
e. laporan arus kas;
f. laporan perubahan ekuitas; dan
g. catatan atas laporan keuangan yang dilampiri dengan
ikhtisar laporan keuangan BUMD.
(3) Penyajian laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan sesuai dengan standar akuntansi
pemerintahan.
(4) Rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas kepala
daerah bersama DPRD untuk mendapat persetujuan
bersama.
(5) Persetujuan bersama rancangan Perda sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lambat
7 (tujuh) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
(6) Atas dasar persetujuan bersama sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), kepala daerah menyiapkan rancangan
Perkada tentang penjabaran pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD.
Pasal 321
(1) Rancangan Perda Provinsi tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD yang telah disetujui bersama DPRD dan
rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebelum
ditetapkan oleh gubernur paling lama 3 (tiga) Hari
disampaikan kepada Menteri untuk dievaluasi.
(2) Menteri melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda
Provinsi tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaiannya
dengan Perda Provinsi tentang APBD dan/atau Perda
Provinsi tentang perubahan APBD, peraturan gubernur
tentang penjabaran APBD dan/atau peraturan gubernur
tentang penjabaran perubahan APBD serta temuan laporan
hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan.
(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan oleh Menteri kepada gubernur paling lama
15 (lima belas) Hari terhitung sejak rancangan Perda
Provinsi dimaksud diterima.
(4) Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan
Perda Provinsi tentang pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD sudah sesuai dengan Perda Provinsi tentang APBD
dan/atau Perda Provinsi tentang perubahan APBD dan
telah menindaklanjuti temuan laporan hasil pemeriksaan
Badan Pemeriksa Keuangan, gubernur menetapkan
rancangan Perda Provinsi dimaksud menjadi Perda Provinsi.
(5) Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan
Perda Provinsi tentang pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD bertentangan dengan Perda Provinsi tentang APBD
dan/atau Perda Provinsi tentang perubahan APBD dan
tidak menindaklanjuti temuan laporan hasil pemeriksaan
Badan Pemeriksa Keuangan, gubernur bersama DPRD
melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari
terhitung sejak hasil evaluasi diterima.
(6) Dalam hal hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh
gubernur dan DPRD, dan gubernur menetapkan rancangan
Perda Provinsi tentang pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD menjadi Perda, Menteri membatalkan seluruh atau
sebagian isi Perda Provinsi dimaksud.
Pasal 322
(1) Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang telah
disetujui bersama dan rancangan peraturan bupati/wali
kota tentang penjabaran pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD sebelum ditetapkan oleh bupati/wali kota paling lama
3 (tiga) Hari disampaikan kepada gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat untuk dievaluasi.
(2) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan
evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota
tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan
rancangan peraturan bupati/wali kota tentang penjabaran
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaiannya
dengan Perda Kabupaten/Kota tentang APBD dan/atau
Perda Kabupaten/Kota tentang perubahan APBD, peraturan
bupati/wali kota tentang penjabaran APBD dan/atau
peraturan bupati/wali kota tentang penjabaran perubahan
APBD serta temuan laporan hasil pemeriksaan Badan
Pemeriksa Keuangan.
(3) Hasil evaluasi disampaikan oleh gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat kepada bupati/wali kota paling lama
15 (lima belas) Hari terhitung sejak diterimanya rancangan
Perda Kabupaten/Kota dan rancangan peraturan
bupati/wali kota tentang penjabaran pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD sudah sesuai dengan Perda Kabupaten/Kota tentang
APBD dan/atau Perda Kabupaten/Kota tentang perubahan
APBD dan telah menindaklanjuti temuan laporan hasil
pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan, bupati/wali kota
menetapkan rancangan Perda Kabupaten/Kota dimaksud
menjadi Perda Kabupaten/Kota.
(5) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD bertentangan dengan Perda tentang APBD dan/atau
Perda Kabupaten/Kota tentang perubahan APBD serta tidak
menindaklanjuti temuan laporan hasil pemeriksaan Badan
Pemeriksa Keuangan, bupati/wali kota bersama DPRD
melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari
terhitung sejak hasil evaluasi diterima.
(6) Dalam hal hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh
bupati/wali kota dan DPRD, dan bupati/wali kota
menetapkan rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD menjadi Perda
Kabupaten/Kota, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
membatalkan seluruh atau sebagian isi Perda
Kabupaten/Kota dimaksud.
Pasal 323
(1) Apabila dalam waktu 1 (satu) bulan sejak diterimanya
rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD dari kepala daerah, DPRD tidak mengambil
keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap
rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD, kepala daerah menyusun dan menetapkan Perkada
tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
(2) Rancangan Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan setelah memperoleh pengesahan dari Menteri
bagi Daerah provinsi dan gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat bagi Daerah kabupaten/kota.
(3) Untuk memperoleh pengesahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Rancangan Perkada tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD beserta
lampirannya disampaikan paling lama 7 (tujuh) Hari
terhitung sejak DPRD tidak mengambil keputusan bersama
dengan kepala daerah terhadap rancangan Perda tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
(4) Apabila dalam batas waktu 15 (lima belas) Hari Menteri
atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak
mengesahkan rancangan Perkada sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), kepala daerah menetapkan rancangan
Perkada dimaksud menjadi Perkada.

Paragraf 8
Evaluasi Rancangan Perda Tentang Pajak Daerah
Dan Retribusi Daerah
Pasal 324
(1) Rancangan Perda Provinsi tentang pajak daerah dan
retribusi daerah yang telah disetujui bersama sebelum
ditetapkan oleh gubernur paling lama 3 (tiga) Hari
disampaikan kepada Menteri untuk dievaluasi.
(2) Menteri melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda
Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menguji
kesesuaiannya dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang lebih tinggi dan kepentingan umum.
(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh Menteri kepada gubernur paling lama
15 (lima belas) Hari terhitung sejak rancangan Perda
Provinsi dimaksud diterima.
(4) Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan
Perda Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum, gubernur
menetapkan rancangan Perda Provinsi dimaksud menjadi
Perda Provinsi.
(5) Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan
Perda Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah
tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum,
gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan
paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak hasil evaluasi
diterima.
(6) Dalam hal hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur
dan DPRD, dan gubernur menetapkan rancangan Perda
Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah menjadi
Perda, Menteri membatalkan seluruh atau sebagian isi
Perda Provinsi dimaksud.
(7) Menteri dalam melakukan evaluasi rancangan Perda
Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah
berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan bidang keuangan.
Pasal 325
(1) Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pajak daerah
dan retribusi daerah yang telah disetujui bersama sebelum
ditetapkan oleh bupati/wali kota, paling lama 3 (tiga) Hari
disampaikan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat untuk dievaluasi.
(2) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan
evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota
tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaiannya
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dan kepentingan umum.
(3) Dalam melakukan evaluasi rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang pajak daerah dan retribusi daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat berkonsultasi dengan Menteri dan
selanjutnya Menteri berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan.
(4) Hasil evaluasi disampaikan oleh gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat kepada bupati/wali kota paling lama
15 (lima belas) Hari terhitung sejak rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang pajak daerah dan retribusi daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima.
(5) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang pajak daerah dan retribusi daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dan kepentingan umum, bupati/wali kota
menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda
Kabupaten/Kota.
(6) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang pajak daerah dan retribusi daerah
tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum,
bupati/wali kota bersama DPRD melakukan
penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari sejak hasil
evaluasi diterima.
(7) Dalam hal hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh
bupati/wali kota dan DPRD, dan bupati/wali kota
menetapkan rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang
pajak daerah dan retribusi daerah menjadi Perda
Kabupaten/Kota, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
membatalkan seluruh atau sebagian isi Perda
Kabupaten/Kota dimaksud.
(8) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat menyampaikan
hasil evaluasi rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang
pajak daerah dan retribusi daerah kepada Menteri dan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang keuangan paling lama 3 (tiga) Hari sejak
ditetapkannya keputusan gubernur tentang hasil evaluasi
rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pajak daerah dan
retribusi daerah.

Pasal 326
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara evaluasi rancangan
Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang perubahan APBD,
rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD, rancangan Perkada tentang penjabaran APBD, rancangan
Perkada tentang penjabaran perubahan APBD, dan rancangan
Perkada tentang penjabaran pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD, serta rancangan Perda tentang pajak daerah dan
rancangan Perda tentang retribusi daerah diatur dengan
Peraturan Menteri.

Paragraf 9
Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah
Pasal 327
(1) Semua penerimaan dan pengeluaran Daerah dianggarkan
dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas umum
Daerah yang dikelola oleh bendahara umum Daerah.
(2) Dalam hal penerimaan dan pengeluaran Daerah
sebagaimana dimaksud ayat(1) tidak dilakukan melalui
rekening kas umum Daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, dilakukan pencatatan dan
pengesahan oleh bendahara umum Daerah.
(3) Setiap pengeluaran atas beban APBD diterbitkan dokumen
pelaksanaan anggaran dan surat penyediaan dana atau
dokumen lain yang dipersamakan dengan surat penyediaan
dana oleh pejabat pengelola keuangan Daerah selaku
bendahara umum Daerah.
(4) Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja
Daerah jika anggaran untuk pengeluaran tersebut tidak
tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD.
(5) Kepala Daerah, dan Perangkat Daerah dilarang melakukan
pengeluaran atas beban anggaran belanja Daerah untuk
tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD.
Pasal 328
(1) Dalam rangka manajemen kas, Pemerintah Daerah dapat
mendepositokan dan/atau melakukan investasi jangka
pendek uang milik Daerah yang sementara belum
digunakan sepanjang tidak mengganggu likuiditas
keuangan Daerah, tugas Daerah, dan kualitas pelayanan
publik.
(2) Bunga deposito, bunga atas penempatan uang di bank, jasa
giro, dan/atau bunga atas investasi jangka pendek
merupakan pendapatan Daerah.
Pasal 329
Kepala daerah dan DPRD dapat menetapkan Perda tentang:
a. penghapusan tagihan Daerah sebagian atau seluruhnya;
dan
b. penyelesaian masalah perdata.

Pasal 330
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan
pertanggungjawaban keuangan Daerah diatur dengan peraturan
pemerintah.
BAB XII
BUMD
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 331
(1) Daerah dapat mendirikan BUMD
(2) Pendirian BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Perda.
(3) BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
perusahaan umum Daerah dan perusahaan perseroan
Daerah.
(4) Pendirian BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertujuan untuk:
a. memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian
Daerah pada umumnya;
b. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu bagi
pemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi,
karakteristik dan potensi Daerah yang bersangkutan
berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik; dan
c. memperoleh laba dan/atau keuntungan.
(5) Pendirian BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada:
a. kebutuhan Daerah; dan
b. kelayakan bidang usaha BUMD yang akan dibentuk.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian BUMD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
peraturan pemerintah.
Pasal 332
(1) Sumber Modal BUMD terdiri atas:
a. penyertaan modal Daerah;
b. pinjaman;
c. hibah; dan
d. sumber modal lainnya.
(2) Sumber modal lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d adalah:
a. kapitalisasi cadangan;
b. keuntungan revaluasi aset; dan
c. agio saham.
Pasal 333
(1) Penyertaan modal Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 332 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan Perda.
(2) Penyertaan modal Daerah dapat dilakukan untuk
pembentukan BUMD dan penambahan modal BUMD.
(3) Penyertaan modal Daerah dapat berupa uang dan barang
milik Daerah.
(4) Barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dinilai sesuai nilai riil pada saat barang milik Daerah akan
dijadikan penyertaan modal.
(5) Nilai riil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh
dengan melakukan penafsiran harga barang milik Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Perusahaan Umum Daerah
Pasal 334
(1) Perusahaan umum Daerah adalah BUMD yang seluruh
modalnya dimiliki oleh satu Daerah dan tidak terbagi atas
saham.
(2) Dalam hal perusahaan umum Daerah akan dimiliki oleh
lebih dari satu Daerah, perusahaan umum Daerah tersebut
harus merubah bentuk hukum menjadi perusahaan
perseroan Daerah.
(3) Perusahaan umum Daerah dapat membentuk anak
perusahaan dan/atau memiliki saham pada perusahaan
lain.
Pasal 335
(1) Organ perusahaan umum Daerah terdiri atas kepala daerah
selaku wakil Daerah sebagai pemilik modal, direksi dan
dewan pengawas.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai organ perusahaan umum
Daerah diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 336
(1) Laba perusahaan umum Daerah ditetapkan oleh kepala
daerah selaku wakil daerah sebagai pemilik modal sesuai
dengan ketentuan anggaran dasar dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Laba perusahaan umum Daerah yang menjadi hak Daerah
disetor ke kas Daerah setelah disahkan oleh kepala daerah
selaku wakil Daerah sebagai pemilik modal.
(3) Laba perusahaan umum Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat ditahan atas persetujuan kepala daerah
selaku wakil Daerah sebagai pemilik modal.
(4) Laba perusahaan umum Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) digunakan untuk keperluan investasi kembali
(reinvestment) berupa penambahan, peningkatan dan
perluasan prasarana dan sarana pelayanan fisik dan
nonfisik serta untuk peningkatan kuantitas, kualitas dan
kontinuitas pelayanan umum, pelayanan dasar dan usaha
perintisan.
(5) Ketentuan lebih lanjut pada mengenai laba perusahaan
umum Daerah diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 337
(1) Perusahaan umum Daerah dapat melakukan
restruksturisasi untuk menyehatkan perusahaan umum
Daerah agar dapat beroperasi secara efisien, akuntabel,
transparan, dan profesional.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai restruksturisasi
perusahaan umum Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 338
(1) Perusahaan umum Daerah dapat dibubarkan.
(2) Pembubaran perusahaan umum Daerah ditetapkan dengan
Perda.
(3) Kekayaan perusahaan umum Daerah yang telah
dibubarkan dan menjadi hak Daerah dikembalikan kepada
Daerah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembubaran perusahaan
umum Daerah diatur dalam peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga
Perusahaan Perseroan Daerah
Pasal 339
(1) Perusahaan Perseroan Daerah adalah BUMD yang
berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam
saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% (lima
puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh satu Daerah.
(2) Perusahaan perseroan Daerah setelah ditetapkan dengan
Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 331 ayat (2),
pembentukan badan hukumnya dilakukan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
perseroan terbatas.
(3) Dalam hal pemegang saham perusahaan perseroan Daerah
terdiri atas beberapa Daerah dan bukan Daerah, salah satu
Daerah merupakan pemegang saham mayoritas.
Pasal 340
(1) Organ perusahaan perseroan Daerah terdiri atas rapat
umum pemegang saham, direksi, dan komisaris.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai organ perusahaan
perseroan Daerah diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 341
(1) Perusahaan perseroan Daerah dapat membentuk anak
perusahaan dan/atau memiliki saham pada perusahaan
lain.
(2) Pembentukan anak perusahaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), didasarkan atas analisa kelayakan investasi
oleh analis investasi yang profesional dan independen.
Pasal 342
(1) Perusahaan perseroan Daerah dapat dibubarkan.
(2) Kekayaan Daerah hasil pembubaran perusahaan perseroan
Daerah yang menjadi hak Daerah dikembalikan kepada
Daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembubaran perusahaan
perseroan Daerah diatur dalam peraturan pemerintah.
Bagian Keempat
Pengelolaan BUMD
Pasal 343
(1) Pengelolaan BUMD paling sedikit harus memenuhi unsur:
a. tata cara penyertaan modal;
b. organ dan kepegawaian;
c. tata cara evaluasi;
d. tata kelola perusahaan yang baik;
e. perencanaan, pelaporan, pembinaan, pengawasan;
f. kerjasama;
g. penggunaan laba;
h. penugasan Pemerintah Daerah;
i. pinjaman;
j. satuan pengawas intern, komite audit dan komite
lainnya;
k. penilaian tingkat kesehatan, restrukturisasi, privatisasi;
l. perubahan bentuk hukum;
m. kepailitan; dan
n. penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan BUMD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
peraturan pemerintah.

BAB XIII
PELAYANAN PUBLIK
Bagian Kesatu
Asas Penyelenggaraan
Pasal 344
(1) Pemerintah Daerah wajib menjamin terselenggaranya
pelayanan publik berdasarkan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah.
(2) Pelayanan publik diselenggarakan berdasarkan pada asas:
a. kepentingan umum;
b. kepastian hukum;
c. kesamaan hak;
d. keseimbangan hak dan kewajiban;
e. keprofesionalan;
f. partisipatif;
g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
h. keterbukaan;
i. akuntabilitas;
j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
k. ketepatan waktu; dan
l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Bagian Kedua
Manajemen Pelayanan Publik

Pasal 345
(1) Pemerintah Daerah wajib membangun manajemen
pelayanan publik dengan mengacu pada asas-asas
pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344
ayat (2).
(2) Manajemen pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. pelaksanaan pelayanan;
b. pengelolaan pengaduan masyarakat;
c. pengelolaan informasi;
d. pengawasan internal;
e. penyuluhan kepada masyarakat;
f. pelayanan konsultasi; dan
g. pelayanan publik lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam melaksanakan manajemen pelayanan publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah
dapat membentuk forum komunikasi antara Pemerintah
Daerah dengan masyarakat dan pemangku kepentingan
terkait.
Pasal 346
Daerah dapat membentuk Badan Layanan Umum Daerah dalam
rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan
berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 347
(1) Pemerintah Daerah wajib mengumumkan informasi
pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 345
ayat (2) huruf c kepada masyarakat melalui media dan
tempat yang dapat diakses oleh masyarakat luas.
(2) Informasi pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dituangkan dalam bentuk maklumat pelayanan
publik Pemerintah Daerah kepada masyarakat.
(3) Maklumat pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling sedikit memuat:
a. jenis pelayanan yang disediakan;
b. syarat, prosedur, biaya dan waktu;
c. hak dan kewajiban Pemerintah Daerah dan warga
masyarakat; dan
d. satuan kerja atau unit kerja penanggungjawab
penyelenggaraan pelayanan.
(4) Maklumat pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditandatangani oleh kepala daerah dan
dipublikasikan secara luas kepada masyarakat.
(5) Maklumat pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) menjadi dasar Pemerintah Daerah dalam
menyelenggarakan pelayanan publik.
Pasal 348
(1) Kepala daerah yang tidak mengumumkan informasi tentang
pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 347
ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis
oleh Menteri untuk gubernur dan oleh gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat untuk bupati/wali kota.
(2) Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan
tetap tidak dilaksanakan, kepala daerah diwajibkan
mengikuti program pembinaan khusus pendalaman bidang
pemerintahan yang dilaksanakan oleh Kementerian serta
tugas dan kewenangannya dilaksanakan oleh wakil kepala
daerah atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 349
(1) Daerah dapat melakukan penyederhanaan jenis dan
prosedur pelayanan publik untuk meningkatkan mutu
pelayanan dan daya saing Daerah.
(2) Penyederhanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Perda.
(3) Pemerintah Daerah dapat memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
Pasal 350
(1) Kepala daerah wajib memberikan pelayanan perizinan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam memberikan pelayanan perizinan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Daerah membentuk unit pelayanan
terpadu satu pintu.
(3) Pembentukan unit pelayanan terpadu satu pintu
sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (2) berpedoman
pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Kepala daerah yang tidak memberikan pelayanan perizinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
administratif.
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
berupa teguran tertulis kepada gubernur oleh Menteri dan
kepada bupati/wali kota oleh gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat untuk pelanggaran yang bersifat
administrasi.
(6) Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan
tetap tidak dilaksanakan oleh kepala daerah, Menteri
mengambil alih pemberian izin yang menjadi kewenangan
gubernur dan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
mengambil alih pemberian izin yang menjadi kewenangan
bupati/wali kota.
Pasal 351
(1) Masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan
pelayanan publik kepada Pemerintah Daerah, Ombudsman,
dan/atau DPRD.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap:
a. penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban
dan/atau melanggar larangan sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai pelayanan publik; dan
b. pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai
dengan standar pelayanan sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai pelayanan publik.
(3) Mekanisme dan tata cara penyampaian pengaduan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Kepala daerah wajib melaksanakan rekomendasi
Ombudsman sebagai tindak lanjut pengaduan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Kepala daerah yang tidak melaksanakan rekomendasi
Ombudsman sebagai tindak lanjut pengaduan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan sanksi
berupa pembinaan khusus pendalaman bidang
pemerintahan yang dilaksanakan oleh Kementerian serta
tugas dan kewenangannya dilaksanakan oleh wakil kepala
daerah atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 352
(1) Menteri melakukan evaluasi kinerja pelayanan publik yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah provinsi.
(2) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan
evaluasi kinerja pelayanan publik yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
(3) Evaluasi yang dilakukan oleh Menteri dan gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) merupakan bagian dari evaluasi
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah.
(4) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
digunakan oleh Pemerintah Pusat untuk memberikan
insentif dan disinsentif fiskal dan/atau non-fiskal kepada
Daerah.
Pasal 353
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penjatuhan sanksi
administratif dan program pembinaan khusus bidang
pemerintahan diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB XIV
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 354
(1) Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah
Daerah mendorong partisipasi masyarakat.
(2) Dalam mendorong partisipasi masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah:
a. menyampaikan informasi tentang penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah kepada masyarakat;
b. mendorong kelompok dan organisasi masyarakat untuk
berperan aktif dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah melalui dukungan pengembangan kapasitas
masyarakat;
c. mengembangkan pelembagaan dan mekanisme
pengambilan keputusan yang memungkinkan kelompok
dan organisasi kemasyarakatan dapat terlibat secara
efektif; dan/atau
d. kegiatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mencakup:
a. penyusunan Perda dan kebijakan Daerah yang
mengatur dan membebani masyarakat;
b. perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemonitoran,
dan pengevaluasian pembangunan Daerah;
c. pengelolaan aset dan/atau sumber daya alam Daerah;
dan
d. penyelenggaraan pelayanan publik.
(4) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan dalam bentuk:
a. konsultasi publik;
b. musyawarah;
c. kemitraan;
d. penyampaian aspirasi;
e. pengawasan; dan/atau
f. keterlibatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (4) diatur dengan peraturan pemerintah.
(6) Peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
paling sedikit mengatur:
a. tata cara akses masyarakat terhadap informasi
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
b. kelembagaan dan mekanisme partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
c. bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaran Pemerintahan Daerah; dan
d. dukungan penguatan kapasitas terhadap kelompok dan
organisasi kemasyarakatan agar dapat berpartisipasi
secara efektif dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah.
(7) Tata cara partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Perda
dengan berpedoman pada peraturan pemerintah.

BAB XV
PERKOTAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 355
(1) Perkotaan adalah wilayah dengan batas-batas tertentu
yang masyarakatnya mempunyai kegiatan utama di bidang
industri dan jasa.
(2) Perkotaan dapat berbentuk:
a. kota sebagai Daerah; dan
b. kawasan perkotaan.
(3) Kawasan Perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b berupa:
a. bagian Daerah kabupaten; dan
b. bagian dari dua atau lebih Daerah yang berbatasan
langsung.
(4) Penyelenggaraan pemerintahan pada kawasan perkotaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 356
(1) Kawasan perkotaan dapat terbentuk secara alami atau
dibentuk secara terencana.
(2) Kawasan perkotaan yang dibentuk secara terencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan/atau badan
hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 357
(1) Fasilitas pelayanan perkotaan di kawasan perkotaan yang
terbentuk secara alami sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 356 ayat (1) dan yang dibentuk secara terencana
oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2)
disediakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Fasilitas pelayanan perkotaan di kawasan perkotaan yang
dibentuk secara terencana oleh badan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2)
disediakan oleh badan hukum yang bersangkutan.
(3) Dalam hal badan hukum menyerahkan fasilitas pelayanan
perkotaan yang sudah dibangun sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) kepada Pemerintah Daerah, penyerahannya
dilakukan dengan tidak merugikan kepentingan umum
dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4) Penyediaan fasilitas pelayanan perkotaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai
dengan pedoman dan standar pelayanan perkotaan.
(5) Ketentuan mengenai pedoman dan standar pelayanan
perkotaan diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 358
(1) Daerah kabupaten/kota menyusun rencana,
melaksanakan dan mengendalikan penyelenggaraan
pengelolaan perkotaan.
(2) Rencana penyelenggaraan pengelolaan perkotaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian
dari rencana pembangunan Daerah dan terintegrasi
dengan rencana tata ruang wilayah.
(3) Perencanaan dan pengendalian penyelenggaraan
pengelolaan perkotaan dilaksanakan dengan
memperhatikan kepentingan strategis nasional.
Pasal 359
Ketentuan lebih lanjut mengenai perkotaan diatur dengan
peraturan pemerintah.

BAB XVI
KAWASAN KHUSUS DAN KAWASAN PERBATASAN NEGARA
Bagian Kesatu
Kawasan Khusus
Pasal 360
(1) Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu
yang bersifat strategis bagi kepentingan nasional,
Pemerintah Pusat dapat menetapkan kawasan khusus
dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota.
(2) Kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. kawasan perdagangan bebas dan/atau pelabuhan
bebas;
b. kawasan hutan lindung;
c. kawasan hutan konservasi;
d. kawasan taman laut;
e. kawasan buru;
f. kawasan ekonomi khusus;
g. kawasan berikat;
h. kawasan angkatan perang;
i. kawasan industri;
j. kawasan purbakala;
k. kawasan cagar alam;
l. kawasan cagar budaya;
m. kawasan otorita; dan
n. kawasan untuk kepentingan nasional lainnya yang
diatur dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Untuk membentuk kawasan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Pusat
mengikutsertakan Daerah yang bersangkutan.
(4) Dalam kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), setiap Daerah mempunyai kewenangan Daerah
yang diatur dengan peraturan pemerintah, kecuali
kewenangan Daerah tersebut telah diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah
Pusat.

Bagian Kedua
Kawasan Perbatasan Negara
Pasal 361
(1) Kawasan perbatasan negara adalah Kecamatan-Kecamatan
terluar yang berbatasan langsung dengan negara lain.
(2) Kewenangan Pemerintah Pusat di kawasan perbatasan
meliputi seluruh kewenangan tentang pengelolaan dan
pemanfaatan kawasan perbatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai wilayah negara.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk:
a. penetapan rencana detail tata ruang;
b. pengendalian dan izin pemanfaatan ruang; dan
c. pembangunan sarana dan prasarana kawasan.
(4) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
mengoordinasikan pelaksanaan pembangunan kawasan
perbatasan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
(5) Dalam mengoordinasikan pelaksanaan pembangunan
kawasan perbatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dibantu oleh
bupati/wali kota.
(6) Dalam memberikan bantuan pelaksanaan pembangunan
kawasan perbatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
bupati/wali kota menugaskan camat di kawasan
perbatasan.
(7) Pemerintah Pusat wajib membangun kawasan perbatasan
agar tidak tertinggal dengan kemajuan kawasan perbatasan
di negara tetangga.
(8) Kewenangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) menjadi kewenangan Daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 362
(1) Pembentukan Kecamatan di kawasan perbatasan
ditetapkan dengan Perda Kabupaten/Kota setelah
mendapatkan persetujuan dari Menteri.
(2) Susunan organisasi dan tata kerja Kecamatan di kawasan
perbatasan serta persyaratan dan tata cara pengangkatan
camat ditetapkan dengan Peraturan Menteri setelah
mendapat pertimbangan dari menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang
pendayagunaan aparatur negara.

BAB XVII
KERJA SAMA DAERAH DAN PERSELISIHAN
Bagian Kesatu
Kerja Sama Daerah
Pasal 363
(1) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, Daerah
dapat mengadakan kerja sama yang didasarkan pada
pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik
serta saling menguntungkan.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh Daerah dengan:
a. Daerah lain;
b. pihak ketiga; dan/atau
c. lembaga atau pemerintah daerah di luar negeri sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Kerja sama dengan Daerah lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a dikategorikan menjadi kerja sama
wajib dan kerja sama sukarela.

Paragraf 1
Kerja Sama Wajib
Pasal 364
(1) Kerja sama wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363
ayat (3) merupakan kerja sama antar-Daerah yang
berbatasan untuk penyelenggaraan Urusan Pemerintahan:
a. yang memiliki eksternalitas lintas Daerah; dan
b. penyediaan layanan publik yang lebih efisien jika
dikelola bersama.
(2) Kerja sama wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup:
a. kerja sama antar-Daerah provinsi;
b. kerja sama antara Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota dalam wilayahnya;
c. kerja sama antara Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota dari provinsi yang berbeda;
d. kerja sama antar-Daerah kabupaten/kota dari Daerah
provinsi yang berbeda; dan
e. kerja sama antar-Daerah kabupaten/kota dalam satu
Daerah provinsi.
(3) Dalam hal kerja sama wajib sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d tidak dilaksanakan
oleh Daerah, Pemerintah Pusat mengambil alih pelaksanaan
Urusan Pemerintahan yang dikerjasamakan.
(4) Dalam hal kerja sama wajib sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh Daerah
kabupaten/kota, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
mengambil alih pelaksanaannya.
(5) Biaya pelaksanaan kerja sama sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4) diperhitungkan dari APBD masingmasing
Daerah yang bersangkutan.
(6) Dalam melaksanakan kerja sama wajib, Daerah yang
berbatasan dapat membentuk sekretariat kerja sama.
(7) Sekretariat kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
bertugas memfasilitasi Perangkat Daerah dalam
melaksanakan kegiatan kerja sama antar-Daerah.
(8) Pendanaan sekretariat kerja sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) dibebankan pada APBD masing-masing.
(9) Daerah dapat membentuk asosiasi untuk mendukung kerja
sama antar-Daerah.
(10) Pemerintah Pusat dapat memberikan bantuan dana untuk
melaksanakan kerja sama wajib antar-Daerah melalui
APBN.

Paragraf 2
Kerja Sama Sukarela
Pasal 365
Kerja sama sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363
ayat (3) dilaksanakan oleh Daerah yang berbatasan atau tidak
berbatasan untuk penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah namun dipandang lebih efektif dan
efisien jika dilaksanakan dengan bekerja sama.
Paragraf 3
Pelaksanaan Kerja Sama
Pasal 366
(1) Kerja sama Daerah dengan pihak ketiga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 363 ayat (2) huruf b meliputi:
a. kerja sama dalam penyediaan pelayanan publik;
b. kerja sama dalam pengelolaan aset untuk
meningkatkan nilai tambah yang memberikan
pendapatan bagi Daerah;
c. kerja sama investasi; dan
d. kerja sama lainnya yang tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kerja sama Daerah dengan pihak ketiga dituangkan dalam
kontrak kerja sama yang paling sedikit mengatur:
a. hak dan kewajiban para pihak;
b. jangka waktu kerja sama;
c. penyelesaian perselisihan; dan
d. sanksi bagi pihak yang tidak memenuhi perjanjian.
(3) Kerja sama Daerah dengan pihak ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus didahului dengan studi
kelayakan yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan
kerja sama.
Pasal 367
(1) Kerja sama Daerah dengan lembaga dan/atau pemerintah
daerah di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 363 ayat (2) huruf c meliputi:
a. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. pertukaran budaya;
c. peningkatan kemampuan teknis dan manajemen
pemerintahan;
d. promosi potensi Daerah; dan
e. kerja sama lainnya yang tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kerja sama Daerah dengan lembaga dan/atau pemerintah
daerah di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Pemerintah
Pusat.
(3) Kerja sama Daerah dengan lembaga dan/atau pemerintah
daerah di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berpedoman pada ketentuan peraturan perundangundangan.

Paragraf 4
Pemantauan dan Evaluasi Kerja Sama
Pasal 368
(1) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan
pemantauan dan evaluasi terhadap kerja sama yang
dilakukan Daerah Kabupaten/Kota dalam satu Daerah
Provinsi.
(2) Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap
kerja sama antar-Daerah provinsi, antara Daerah provinsi
dan Daerah kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara
Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota di luar
wilayahnya.
Pasal 369
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama diatur dengan
peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Perselisihan
Pasal 370
(1) Dalam hal terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan antar-Daerah kabupaten/kota dalam
satu Daerah provinsi, gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat menyelesaikan perselisihan dimaksud.
(2) Dalam hal terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan antar-Daerah provinsi, antara Daerah
provinsi dan Daerah kabupaten/kota di wilayahnya, serta
antara Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota di luar
wilayahnya, Menteri menyelesaikan perselisihan dimaksud.
(3) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak
dapat menyelesaikan perselisihan sebagaimana di maksud
pada ayat (1), penanganannya dilakukan oleh Menteri.
(4) Keputusan Menteri berkaitan dengan penyelesaian
perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
penanganan penyelesaian perselisihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) bersifat final.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian
perselisihan antar-Daerah dalam penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB XVIII
DESA
Pasal 371
(1) Dalam Daerah kabupaten/kota dapat dibentuk Desa.
(2) Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai Desa.
Pasal 372
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat menugaskan
sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangannya kepada Desa.
(2) Pendanaan untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan
yang ditugaskan kepada Desa oleh Pemerintah Pusat
dibebankan kepada APBN.
(3) Pendanaan untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan
yang ditugaskan kepada Desa oleh Pemerintah Daerah
Provinsi dibebankan kepada APBD provinsi.
(4) Pendanaan untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan
yang ditugaskan kepada Desa oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dibebankan kepada APBD
kabupaten/kota.

BAB XIX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan Dan Pengawasan
Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Paragraf 1
Umum
Pasal 373
(1) Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi.
(2) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah kabupaten/kota.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri.

Paragraf 2
Pembinaan terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Provinsi
Pasal 374
(1) Pembinaan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 373
ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri, menteri teknis, dan
kepala lembaga pemerintah nonkementerian.
(2) Menteri melakukan pembinaan yang bersifat umum
meliputi:
a. pembagian Urusan Pemerintahan;
b. kelembagaan Daerah;
c. kepegawaian pada Perangkat Daerah;
d. keuangan Daerah;
e. pembangunan Daerah;
f. pelayanan publik di Daerah;
g. kerja sama Daerah;
h. kebijakan Daerah;
i. kepala Daerah dan DPRD; dan
j. bentuk pembinaan lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Menteri teknis dan kepala lembaga pemerintah
nonkementerian melakukan pembinaan yang bersifat teknis
terhadap teknis penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
yang diserahkan ke Daerah provinsi.
(4) Pembinaan yang bersifat umum dan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dalam
bentuk fasilitasi, konsultasi, pendidikan dan pelatihan serta
penelitian dan pengembangan.

Paragraf 3
Pembinaan terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota
Pasal 375
(1) Pembinaan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah kabupaten/kota dilaksanakan oleh gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dibantu
oleh perangkat gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(3) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan
pembinaan yang bersifat umum dan bersifat teknis.
(4) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan
pembinaan yang bersifat umum meliputi:
a. pembagian Urusan Pemerintahan;
b. kelembagaan Daerah;
c. kepegawaian pada Perangkat Daerah;
d. keuangan Daerah;
e. pembangunan Daerah;
f. pelayanan publik di Daerah;
g. kerja sama Daerah;
h. kebijakan Daerah;
i. kepala daerah dan DPRD; dan
j. bentuk pembinaan lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan
pembinaan yang bersifat teknis terhadap teknis
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke
Daerah kabupaten/kota.
(6) Pembinaan yang bersifat umum dan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dilakukan
dalam bentuk fasilitasi, konsultasi, pendidikan dan
pelatihan serta penelitian dan pengembangan dalam
kebijakan yang terkait dengan Otonomi Daerah.
(7) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat belum
mampu melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Pemerintah Pusat melaksanakan pembinaan
kepada Daerah kabupaten/kota dengan berkoordinasi
kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Paragraf 4
Pendidikan dan Pelatihan Kepamongprajaan
Pasal 376
(1) Untuk pembinaan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,
Kementerian menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
kepamongprajaan.
(2) Pendidikan dan pelatihan kepamongprajaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menghasilkan
lulusan sebagai abdi negara dengan karakteristik khusus:
a. memiliki keahlian dan keterampilan teknis
penyelenggaraan pemerintahan;
b. memiliki kepribadian dan keahlian kepemimpinan
kepamongprajaan; dan
c. berwawasan nusantara, berkode etik, dan
berlandaskan pada Bhinneka Tunggal Ika.
(3) Untuk menghasilkan lulusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) metode pendidikan dan latihan kepamongprajaan
dilakukan dengan menerapkan kombinasi antara
pengajaran, pengasuhan, dan pelatihan.

Paragraf 5
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi
Pasal 377
(1) Menteri melakukan pengawasan umum terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi.
(2) Menteri teknis dan kepala lembaga pemerintah
nonkementerian melaksanakan pengawasan teknis
terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi
sesuai dengan bidang tugas masing-masing dan
berkoordinasi dengan Menteri.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Internal
Pemerintah sesuai dengan fungsi dan kewenangannya.

Paragraf 6
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten/Kota
Pasal 378
(1) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan
pengawasan umum dan pengawasan teknis terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
dibantu oleh perangkat gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat.
(3) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat belum
mampu melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
meminta bantuan untuk melaksanakan pengawasan
kepada Pemerintah Pusat.

Bagian Kedua
Pembinaan dan Pengawasan Kepala Daerah
Terhadap Perangkat Daerah
Pasal 379
(1) Gubernur sebagai kepala daerah provinsi berkewajiban
melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap
Perangkat Daerah provinsi.
(2) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur dibantu
oleh inspektorat provinsi.
Pasal 380
(1) Bupati/wali kota sebagai kepala daerah kabupaten/kota
berkewajiban melaksanakan pembinaan dan pengawasan
terhadap Perangkat Daerah kabupaten/kota.
(2) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bupati/wali kota
dibantu oleh inspektorat kabupaten/kota.

Bagian Ketiga
Penghargaan dan Fasilitasi Khusus
Pasal 381
(1) Pemerintah Pusat menyusun indeks dan peringkat kinerja
penyelenggaraan Pemerintah Daerah setiap tahun untuk
bahan evaluasi.
(2) Presiden memberikan penghargaan kepada Pemerintah
Daerah yang mencapai peringkat kinerja tertinggi secara
nasional dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Pasal 382
(1) Dalam hal Daerah provinsi berdasarkan hasil evaluasi
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berkinerja rendah,
Menteri, menteri teknis, dan kepala lembaga pemerintah
nonkementerian melakukan pembinaan terhadap
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan tertentu yang
menjadi kewenangan Daerah.
(2) Menteri melakukan fasilitasi khusus terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi yang telah
dibina namun tidak menunjukkan perbaikan kinerja.
(3) Fasilitasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan jika penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
tertentu yang menjadi kewenangan Daerah yang berkinerja
rendah namun tidak berpotensi merugikan kepentingan
umum secara meluas.
(4) Menteri dalam melakukan fasilitasi khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berkoordinasi dengan menteri
teknis dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian.
(5) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan
fasilitasi khusus kepada penyelenggaraan Pemerintah
Daerah kabupaten/kota yang telah dibina namun tidak
menunjukkan perbaikan kinerja.
(6) Dalam hal Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota
yang sudah dibina sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) tidak menunjukkan perbaikan kinerja dan
berpotensi merugikan kepentingan umum secara meluas,
Pemerintah Pusat melakukan pengambilalihan pelaksanaan
Urusan Pemerintahan tertentu atas biaya yang
diperhitungkan dari APBD yang bersangkutan.
(7) Pemerintah Pusat dapat melimpahkan kepada gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk melaksanakan
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
kabupaten/kota yang diambil alih oleh Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
Pasal 383
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan
diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB XX
TINDAKAN HUKUM TERHADAP
APARATUR SIPIL NEGARA DI INSTANSI DAERAH
Pasal 384
(1) Penyidik memberitahukan kepada kepala daerah sebelum
melakukan penyidikan terhadap aparatur sipil negara di
instansi Daerah yang disangka melakukan pelanggaran
hukum dalam pelaksanaan tugas.
(2) Ketentuan pemberitahuan penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:
a. tertangkap tangan melakukan sesuatu tindak pidana;
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih; dan/atau
c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan
terhadap keamanan negara.
(3) Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberitahukan kepada kepala daerah dalam jangka waktu
paling lama 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam.
Pasal 385
(1) Masyarakat dapat menyampaikan pengaduan atas dugaan
penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di
instansi Daerah kepada Aparat Pengawas Internal
Pemerintah dan/atau aparat penegak hukum.
(2) Aparat Pengawasan Internal Pemerintah wajib melakukan
pemeriksaan atas dugaan penyimpangan yang diadukan
oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Aparat penegak hukum melakukan pemeriksaan atas
pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah terlebih
dahulu berkoodinasi dengan Aparat Pengawas Internal
Pemerintah atau lembaga pemerintah nonkementerian yang
membidangi pengawasan.
(4) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti adanya
penyimpangan yang bersifat administratif, proses lebih
lanjut diserahkan kepada Aparat Pengawas Internal
Pemerintah.
(5) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti adanya
penyimpangan yang bersifat pidana, proses lebih lanjut
diserahkan kepada aparat penegak hukum sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XXI
INOVASI DAERAH
Pasal 386
(1) Dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah dapat
melakukan inovasi.
(2) Inovasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah semua
bentuk pembaharuan dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah.
Pasal 387
Dalam merumuskan kebijakan inovasi, Pemerintahan Daerah
mengacu pada prinsip:
a. peningkatan efisiensi;
b. perbaikan efektivitas;
c. perbaikan kualitas pelayanan;
d. tidak ada konflik kepentingan;
e. berorientasi kepada kepentingan umum;
f. dilakukan secara terbuka;
g. memenuhi nilai-nilai kepatutan; dan
h. dapat dipertanggungjawabkan hasilnya tidak untuk
kepentingan diri sendiri.

Pasal 388
(1) Inisiatif inovasi dapat berasal dari kepala daerah, anggota
DPRD, aparatur sipil negara, Perangkat Daerah, dan
anggota masyarakat.
(2) Usulan inovasi yang berasal dari anggota DPRD ditetapkan
dalam rapat paripurna.
(3) Usulan inovasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada kepala daerah untuk ditetapkan dalam
Perkada sebagai inovasi Daerah.
(4) Usulan inovasi yang berasal dari aparatur sipil negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memperoleh
izin tertulis dari pimpinan Perangkat Daerah dan menjadi
inovasi Perangkat Daerah.
(5) Usulan inovasi yang berasal dari anggota masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
DPRD dan/atau kepada Pemerintah Daerah.
(6) Jenis, prosedur dan metode penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah yang bersifat inovatif ditetapkan dengan Perkada.
(7) Kepala daerah melaporkan inovasi Daerah yang akan
dilaksanakan kepada Menteri.
(8) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) paling sedikit
meliputi cara melakukan inovasi, dokumentasi bentuk
inovasi, dan hasil inovasi yang akan dicapai.
(9) Pemerintah Pusat melakukan penilaian terhadap inovasi
yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.
(10) Dalam melakukan penilaian terhadap inovasi Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (9) Pemerintah Pusat
memanfaatkan lembaga yang berkaitan dengan penelitian
dan pengembangan.
(11) Pemerintah Pusat memberikan penghargaan dan/atau
insentif kepada Pemerintah Daerah yang berhasil
melaksanakan inovasi.
(12) Pemerintah Daerah memberikan penghargaan dan/atau
insentif kepada individu atau Perangkat Daerah yang
melakukan inovasi.
Pasal 389
Dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah menjadi kebijakan
Pemerintah Daerah dan inovasi tersebut tidak mencapai sasaran
yang telah ditetapkan, aparatur sipil negara tidak dapat
dipidana.
Pasal 390
Ketentuan lebih lanjut mengenai inovasi Daerah diatur dengan
peraturan pemerintah.

BAB XXII
INFORMASI PEMERINTAHAN DAERAH
Pasal 391
(1) Pemerintah Daerah wajib menyediakan informasi
Pemerintahan Daerah yang terdiri atas:
a. informasi pembangunan Daerah; dan
b. informasi keuangan Daerah.
(2) Informasi Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikelola dalam suatu sistem informasi
Pemerintahan Daerah.
Pasal 392
Informasi pembangunan Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 391 ayat (1) huruf a memuat informasi perencanaan
pembangunan Daerah yang mencakup:
a. kondisi geografis Daerah;
b. demografi;
c. potensi sumber daya Daerah;
d. ekonomi dan keuangan Daerah;
e. aspek kesejahteraan masyarakat;
f. aspek pelayanan umum; dan
g. aspek daya saing Daerah.
Pasal 393
(1) Informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 391 ayat (1) huruf b paling sedikit memuat informasi
anggaran, pelaksanaan anggaran, dan laporan keuangan.
(2) Informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) digunakan untuk:
a. membantu kepala daerah dalam menyusun anggaran
Daerah dan laporan pengelolaan keuangan Daerah;
b. membantu kepala daerah dalam merumuskan kebijakan
keuangan Daerah;
c. membantu kepala daerah dalam melakukan evaluasi
kinerja keuangan Daerah;
d. membantu menyediakan kebutuhan statistik keuangan
Daerah;
e. mendukung keterbukaan informasi kepada masyarakat;
f. mendukung penyelenggaraan sistem informasi keuangan
Daerah secara nasional; dan
g. melakukan evaluasi pengelolaan keuangan Daerah.
(3) Informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus mudah diakses oleh masyarakat.
Pasal 394
(1) Informasi pembangunan Daerah dan informasi keuangan
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 391 ayat (1)
wajib diumumkan kepada masyarakat.
(2) Selain diumumkan kepada masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), informasi keuangan Daerah wajib
disampaikan kepala daerah kepada Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Kepala daerah yang tidak mengumumkan informasi
pembangunan Daerah dan informasi keuangan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tidak
menyampaikan informasi keuangan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa
teguran tertulis oleh Menteri untuk gubernur dan oleh
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk bupati/wali
kota.
(4) Dalam hal sanksi teguran tertulis 2 (dua) kali berturut-turut
tetap tidak dilaksanakan, kepala daerah dikenai sanksi
berupa mengikuti program pembinaan khusus pendalaman
bidang pemerintahan yang dilaksanakan oleh Kementerian
serta tugas dan kewenangannya dilaksanakan oleh wakil
kepala daerah atau oleh pejabat yang ditunjuk.
Pasal 395
Selain informasi pembangunan Daerah dan informasi keuangan
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 391 ayat (1),
Pemerintah Daerah dapat menyediakan dan mengelola informasi
Pemerintahan Daerah lainnya.

BAB XXIII
DEWAN PERTIMBANGAN OTONOMI DAERAH
Pasal 396
(1) Dalam rangka mengoptimalkan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, dibentuk dewan pertimbangan
otonomi daerah.
(2) Dewan pertimbangan otonomi daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan pertimbangan
kepada Presiden mengenai rancangan kebijakan yang
meliputi:
a. penataan Daerah;
b. dana dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus;
c. dana perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah; dan
d. penyelesaian permasalahan dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah dan/atau perselisihan antara
Daerah dengan kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian.
Pasal 397
(1) Susunan keanggotaan dewan pertimbangan otonomi daerah
terdiri atas:
a. Wakil Presiden selaku ketua;
b. Menteri selaku sekretaris;
c. para menteri terkait sebagai anggota; dan
d. perwakilan kepala daerah sebagai anggota.
(2) Untuk mendukung kelancaran tugas dewan pertimbangan
otonomi daerah dibentuk sekretariat.
(3) Menteri selaku sekretaris memimpin sekretariat dewan
pertimbangan otonomi daerah.
(4) Sekretariat dewan pertimbangan otonomi daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibantu oleh tenaga
ahli.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai dewan pertimbangan
otonomi daerah diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB XXIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 398
Kepala daerah yang tidak memberikan pelayanan perizinan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 350 ayat (1) dikenai sanksi pidana sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan apabila
pelanggarannya bersifat pidana.

BAB XXV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 399
Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua
Barat, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-
Undang yang mengatur keistimewaan dan kekhususan Daerah
tersebut.
Pasal 400
(1) Ketentuan mengenai evaluasi rancangan Perda tentang
pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 324 dan Pasal 325 berlaku secara mutatis
mutandis terhadap evaluasi rancangan Perda tentang tata
ruang daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi rancangan Perda
tentang tata ruang daerah diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB XXVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 401
(1) Penegasan batas termasuk Cakupan Wilayah dan
penentuan luas bagi Daerah yang dibentuk sebelum
Undang-Undang ini berlaku ditetapkan dengan peraturan
Menteri.
(2) Penegasan batas termasuk Cakupan Wilayah dan
penentuan luas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan pada perhitungan teknis yang
dibuat oleh lembaga yang membidangi informasi geospasial.
Pasal 402
(1) Izin yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Undang-
Undang ini tetap berlaku sampai dengan habis berlakunya
izin.
(2) BUMD yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku,
wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

BAB XXVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 403
Semua ketentuan mengenai program legislasi daerah dan badan
legislasi daerah yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini
berlaku harus dibaca dan dimaknai sebagai program
pembentukan Perda dan badan pembentukan Perda, sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 404
Serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta
dokumen sebagai akibat pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota yang diatur berdasarkan Undang-Undang ini
dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diundangkan.
Pasal 405
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan
peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2387), dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini.
Pasal 406
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai DPRD
provinsi dan DPRD kabupaten/kota dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini atau tidak diatur secara khusus dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 407
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan
Daerah wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya
pada Undang-Undang ini.
Pasal 408
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang
belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 409
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962
Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2387);
b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
c. Pasal 157, Pasal 158 ayat (2) sampai dengan ayat (9), dan
Pasal 159 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049); dan
d. Pasal 1 angka 4, Pasal 314 sampai dengan Pasal 412,
Pasal 418 sampai dengan Pasal 421 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5568),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 410
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diundangkan.
Pasal 411
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2004
TENTANG
PERIMBANGAN KEUANGAN
ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan
Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan Tugas
Pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional,
demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan
penyelenggaraan Desentralisasi, dengan memper-timbangkan potensi,
kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
4. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan
perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
5. Daerah otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6. Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi
daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota.
7. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD
adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah.
8. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
9. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada
gubernur sebagai wakil Pemerintah.
10. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah
dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.
11. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.
12. Pengeluaran Daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.
13. Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan.
14. Belanja daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan.
15. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali
dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun
anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
16. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN
adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD
adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas
dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
18. Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan
yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
19. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan
Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
20. Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk
mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
21. Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai
kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
22. Celah fiskal dihitung berdasarkan selisih antara kebutuhan fiskal Daerah
dan kapasitas fiskal Daerah.
23. Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK, adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah
tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
24. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah
menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang
dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk
membayar kembali.
25. Obligasi Daerah adalah Pinjaman Daerah yang ditawarkan kepada
publik melalui penawaran umum di pasar modal.
26. Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang
dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup
semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan
Dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi
vertikal pusat di daerah.
27. Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang
dilaksanakan oleh Daerah yang mencakup semua penerimaan dan
pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan.
28. Hibah adalah Penerimaan Daerah yang berasal dari pemerintah negara
asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah,
badan/lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk
devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan
pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.
29. Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan
kepada Daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa,
dan/atau krisis solvabilitas.
30. Rencana Kerja Pemerintah Daerah, selanjutnya disebut RKPD, adalah
dokumen perencanaan daerah provinsi, kabupaten, dan kota untuk
periode 1 (satu) tahun.
31. Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah, selanjutnya disebut
Renja SKPD, adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat
Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
32. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah,
selanjutnya disebut RKA SKPD, adalah dokumen perencanaan dan
penganggaran yang berisi program dan kegiatan Satuan Kerja
Perangkat Daerah yang merupakan penjabaran dari Rencana Kerja
Pemerintah Daerah dan rencana strategis Satuan Kerja Perangkat
Daerah yang bersangkutan dalam satu tahun anggaran, serta anggaran
yang diperlukan untuk melaksanakannya.
33. Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan
penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja
Perangkat Daerah.
34. Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan
barang milik Negara/Daerah.

BAB II
PRINSIP KEBIJAKAN PERIMBANGAN KEUANGAN
Pasal 2
(1) Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
merupakan subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi
pembagian tugas antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(2) Pemberian sumber keuangan Negara kepada Pemerintahan Daerah
dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didasarkan atas penyerahan
tugas oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dengan
memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal.
(3) Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan
penyelenggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas
Pembantuan.
Pasal 3
(1) PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah
untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi
Daerah sebagai perwujudan Desentralisasi.
(2) Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar-Pemerintah Daerah.
(3) Pinjaman Daerah bertujuan memperoleh sumber pembiayaan dalam
rangka penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah.
(4) Lain-lain Pendapatan bertujuan memberi peluang kepada Daerah
untuk memperoleh pendapatan selain pendapatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

BAB III
DASAR PENDANAAN
PEMERINTAHAN DAERAH
Pasal 4
(1) Penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi didanai APBD.
(2) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh
gubernur dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi didanai APBN.
(3) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh
gubernur dalam rangka Tugas Pembantuan didanai APBN.
(4) Pelimpahan kewenangan dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi
dan/atau penugasan dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan
dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah diikuti dengan pemberian
dana.

BAB IV
SUMBER PENERIMAAN DAERAH
Pasal 5
(1) Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas
Pendapatan Daerah dan Pembiayaan.
(2) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber
dari:
a. Pendapatan Asli Daerah;
b. Dana Perimbangan; dan
c. Lain-lain Pendapatan.
(3) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
a. sisa lebih perhitungan anggaran Daerah;
b. penerimaan Pinjaman Daerah;
c. Dana Cadangan Daerah; dan
d. hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.

BAB V
PENDAPATAN ASLI DAERAH
Pasal 6
(1) PAD bersumber dari:
a. Pajak Daerah;
b. Retribusi Daerah;
c. hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
d. lain-lain PAD yang sah.
(2) Lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
meliputi:
a. hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan;
b. jasa giro;
c. pendapatan bunga;
d. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
dan
e. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari
penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.
Pasal 7
Dalam upaya meningkatkan PAD, Daerah dilarang:
a. menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan
ekonomi biaya tinggi; dan
b. menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menghambat
mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah, dan
kegiatan impor/ekspor.
Pasal 8
Ketentuan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai
dengan Undang-Undang.
Pasal 9
Ketentuan mengenai hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
BAB VI
DANA PERIMBANGAN

Pasal 10
(1) Dana Perimbangan terdiri atas:
a. Dana Bagi Hasil;
b. Dana Alokasi Umum; dan
c. Dana Alokasi Khusus.
(2) Jumlah Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN.
Bagian Kedua
Dana Bagi Hasil
Pasal 11
(1) Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam.
(2) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan
c. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak
Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.
(3) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berasal dari:
a. kehutanan;
b. pertambangan umum;
c. perikanan;
d. pertambangan minyak bumi;
e. pertambangan gas bumi; dan
f. pertambangan panas bumi.
Pasal 12
(1) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB dan BPHTB sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a dan huruf b dibagi antara
daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan Pemerintah.
(2) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% (sembilan puluh
persen) untuk Daerah dengan rincian sebagai berikut:
a. 16,2% (enam belas dua persepuluh persen) untuk daerah provinsi
yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum
Daerah provinsi;
b. 64,8% (enam puluh empat delapan persepuluh persen) untuk
daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke
Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota; dan
c. 9% (sembilan persen) untuk biaya pemungutan.
(3) 10% (sepuluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan PBB
dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten dan kota yang
didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan,
dengan imbangan sebagai berikut:
a. 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada
seluruh daerah kabupaten dan kota; dan
b. 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada
daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya
mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.
(4) Dana Bagi Hasil dari penerimaan BPHTB adalah sebesar 80%
(delapan puluh persen) dengan rincian sebagai berikut:
a. 16% (enam belas persen) untuk daerah provinsi yang
bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah
provinsi; dan
b. 64% (enam puluh empat persen) untuk daerah kabupaten dan
kota penghasil dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah
kabupaten/kota.
(5) 20% (dua puluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB
dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten
dan kota.
(6) Penyaluran Dana Bagi Hasil PBB dan BPHTB sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 13
(1) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib
Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c yang merupakan bagian
Daerah adalah sebesar 20% (dua puluh persen).
(2) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibagi antara Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota.
(3) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib
Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibagi dengan imbangan 60% (enam puluh
persen) untuk kabupaten/kota dan 40% (empat puluh persen) untuk
provinsi.
(4) Penyaluran Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan secara triwulanan.
Pasal 14
Pembagian Penerimaan Negara yang berasal dari sumber daya alam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) ditetapkan sebagai berikut:
a. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak
Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)
yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan
imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan
puluh persen) untuk Daerah.
b. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi dibagi dengan
imbangan sebesar 60% (enam puluh persen) untuk Pemerintah dan 40%
(empat puluh persen) untuk Daerah.
c. Penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah Daerah
yang bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen)
untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.
d. Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan
imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan
puluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota.
e. Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah
Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan
pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi
dengan imbangan:
1. 84,5% (delapan puluh empat setengah persen) untuk Pemerintah;
dan
2. 15,5% (lima belas setengah persen) untuk Daerah.
f. Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah
Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan
pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi
dengan imbangan:
1. 69,5% (enam puluh sembilan setengah persen) untuk Pemerintah;
dan
2. 30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk Daerah.
g. Pertambangan Panas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang
bersangkutan yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak, dibagi
dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80%
(delapan puluh persen) untuk Daerah.
Pasal 15
(1) Dana Bagi Hasil dari penerimaan IHPH yang menjadi bagian Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, dibagi dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi; dan
b. 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota
penghasil.
(2) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PSDH yang menjadi bagian Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, dibagi dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota
penghasil; dan
c. 32% (tiga puluh dua persen) dibagikan dengan porsi yang
sama besar untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang
bersangkutan.
Pasal 16
Dana Bagi Hasil dari Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 huruf b:
a. 60% (enam puluh persen) bagian Pemerintah digunakan untuk
rehabilitasi hutan dan lahan secara nasional; dan
b. 40% (empat puluh persen) bagian daerah digunakan untuk kegiatan
rehabilitasi hutan dan lahan di kabupaten/kota penghasil.
Pasal 17
(1) Penerimaan Pertambangan Umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 huruf c terdiri atas:
a. Penerimaan Iuran Tetap (Land-rent); dan
b. Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalti).
(2) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara Iuran Tetap (Land-rent) yang
menjadi bagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dibagi dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
b. 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota penghasil.
(3) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara Iuran Eksplorasi dan Iuran
Eksploitasi (Royalti) yang menjadi bagian Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, dibagi dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam
provinsi yang bersangkutan.
(4) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c,
dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota
dalam provinsi yang bersangkutan.
Pasal 18
(1) Penerimaan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf
d terdiri atas:
a. Penerimaan Pungutan Pengusahaan Perikanan; dan
b. Penerimaan Pungutan Hasil Perikanan.
(2) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara sektor perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d dibagikan dengan
porsi yang sama besar kepada kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Pasal 19
(1) Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang
dibagikan ke Daerah adalah Penerimaan Negara dari sumber daya
alam Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi dari wilayah Daerah
yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan
lainnya.
(2) Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 huruf e angka 2 sebesar 15% (lima belas
persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a. 3% (tiga persen) dibagikan untuk provinsi yang ber-sangkutan;
b. 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c. 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam
provinsi yang bersangkutan.
(3) Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Gas Bumi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 huruf f angka 2 sebesar 30% (tiga puluh persen)
dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a. 6% (enam persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota
penghasil; dan
c. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya
dalam provinsi bersangkutan.
(4) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
dan ayat (3) huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk
semua kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.
Pasal 20
(1) Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e angka 2 dan huruf f
angka 2 sebesar 0,5% (setengah persen) dialokasikan untuk
menambah anggaran pendidikan dasar.
(2) Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi masingmasing
dengan rincian sebagai berikut:
a. 0,1% (satu persepuluh persen) dibagikan untuk provinsi yang
bersangkutan;
b. 0,2% (dua persepuluh persen) dibagikan untuk kabupaten/ kota
penghasil; dan
c. 0,2% (dua persepuluh persen) dibagikan untuk kabupaten/ kota
lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
(3) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c,
dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota
dalam provinsi yang bersangkutan.
Pasal 21
(1) Penerimaan Negara dari Pertambangan Panas Bumi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 huruf g merupakan Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang terdiri atas:
a. Setoran Bagian Pemerintah; dan
b. Iuran tetap dan iuran produksi.
(2) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Pertambangan Panas Bumi yang
dibagikan kepada Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
huruf g dibagi dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam
provinsi yang bersangkutan.
(3) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c,
dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota
dalam provinsi yang bersangkutan.
Pasal 22
Pemerintah menetapkan alokasi Dana Bagi Hasil yang berasal dari sumber
daya alam sesuai dengan penetapan dasar perhitungan dan daerah
penghasil.
Pasal 23
Dana Bagi Hasil yang merupakan bagian Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 disalurkan berdasarkan realisasi penerimaan tahun
anggaran berjalan.
Pasal 24
(1) Realisasi penyaluran Dana Bagi Hasil yang berasal dari sektor minyak
bumi dan gas bumi tidak melebihi 130% (seratus tiga puluh persen)
dari asumsi dasar harga minyak bumi dan gas bumi dalam APBN
tahun berjalan.
(2) Dalam hal Dana Bagi Hasil sektor minyak bumi dan gas bumi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi 130% (seratus tiga
puluh persen), penyaluran dilakukan melalui mekanisme APBN
Perubahan.
Pasal 25
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administrasi berupa pemotongan atas
penyaluran Dana Bagi Hasil sektor minyak bumi dan gas bumi.
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai Dana Bagi Hasil diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Ketiga
Dana Alokasi Umum
Pasal 27
(1) Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua
puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang
ditetapkan dalam APBN.
(2) DAU untuk suatu Daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan
alokasi dasar.
(3) Celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kebutuhan
fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal Daerah.
(4) Alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung
berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.
Pasal 28
(1) Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan Daerah
untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum.
(2) Setiap kebutuhan pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah,
Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per
kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia.
(3) Kapasitas fiskal Daerah merupakan sumber pendanaan Daerah yang
berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil.
Pasal 29
Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan
berdasarkan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota.
Pasal 30
(1) DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi sebagai-mana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dihitung berdasarkan perkalian
bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh
daerah provinsi.
(2) Bobot daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah provinsi yang
bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah provinsi.
Pasal 31
(1) DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dihitung berdasarkan
perkalian bobot daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dengan
jumlah DAU seluruh daerah kabupaten/ kota.
(2) Bobot daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah kabupaten/kota
yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah
kabupaten/kota.
Pasal 32
(1) Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol menerima
DAU sebesar alokasi dasar.
(2) Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut
lebih kecil dari alokasi dasar menerima DAU sebesar alokasi dasar
setelah dikurangi nilai celah fiskal.
(3) Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut
sama atau lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU.
Pasal 33
Data untuk menghitung kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 diperoleh dari lembaga statistik pemerintah
dan/atau lembaga pemerintah yang berwenang menerbitkan data yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Pasal 34
Pemerintah merumuskan formula dan penghitungan DAU sebagai-mana
dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 dengan memperhatikan
pertimbangan dewan yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan
terhadap kebijakan otonomi daerah.
Pasal 35
Hasil penghitungan DAU per provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.
Pasal 36
(1) Penyaluran DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
dilaksanakan setiap bulan masing-masing sebesar 1/12 (satu perdua
belas) dari DAU Daerah yang bersangkutan.
(2) Penyaluran DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sebelum bulan bersangkutan.
Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut mengenai DAU diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Dana Alokasi Khusus
Pasal 38
Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN.
Pasal 39
(1) DAK dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan
khusus yang merupakan urusan Daerah.
(2) Kegiatan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN.
Pasal 40
(1) Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum,
kriteria khusus, dan kriteria teknis.
(2) Kriteria umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam
APBD.
(3) Kriteria khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan
karakteristik Daerah.
(4) Kriteria teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
kementerian Negara/departemen teknis.
Pasal 41
(1) Daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping
sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari alokasi DAK.
(2) Dana Pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan
dalam APBD.
(3) Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan
menyediakan Dana Pendamping.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai DAK diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VII
LAIN-LAIN PENDAPATAN
Pasal 43
Lain-lain Pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan Dana
Darurat.
Pasal 44
(1) Pendapatan hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 merupakan
bantuan yang tidak mengikat.
(2) Hibah kepada Daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan
melalui Pemerintah.
(3) Hibah dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara Pemerintah
Daerah dan pemberi hibah.
(4) Hibah digunakan sesuai dengan naskah perjanjian sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Pasal 45
Tata cara pemberian, penerimaan, dan penggunaan hibah, baik dari dalam
negeri maupun luar negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 46
(1) Pemerintah mengalokasikan Dana Darurat yang berasal dari APBN
untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional
dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh
Daerah dengan menggunakan sumber APBD.
(2) Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana nasional dan/atau
peristiwa luar biasa ditetapkan oleh Presiden.
Pasal 47
(1) Pemerintah dapat mengalokasikan Dana Darurat pada Daerah yang
dinyatakan mengalami krisis solvabilitas.
(2) Daerah dinyatakan mengalami krisis solvabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan evaluasi Pemerintah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Krisis solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat.
Pasal 48
Ketentuan lebih lanjut mengenai Dana Darurat diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB VIII
PINJAMAN DAERAH
Bagian Kesatu
Batasan Pinjaman
Pasal 49
(1) Pemerintah menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan keadaan
dan prakiraan perkembangan perekonomian nasional.
(2) Batas maksimal kumulatif pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak melebihi 60% (enam puluh persen) dari Produk Domestik
Bruto tahun bersangkutan.
(3) Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman
Pemerintah Daerah secara keseluruhan selambat-lambatnya bulan
Agustus untuk tahun anggaran berikutnya.
(4) Pengendalian batas maksimal kumulatif Pinjaman Daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 50
(1) Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar
negeri.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dikenakan sanksi administratif berupa penundaan dan/atau
pemotongan atas penyaluran Dana Perimbangan oleh Menteri
Keuangan.
Bagian Kedua
Sumber Pinjaman
Pasal 51
(1) Pinjaman Daerah bersumber dari:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah lain;
c. lembaga keuangan bank;
d. lembaga keuangan bukan bank; dan
e. masyarakat.
(2) Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan melalui Menteri Keuangan.
(3) Pinjaman Daerah yang bersumber dari masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e berupa Obligasi Daerah diterbitkan
melalui pasar modal.
Bagian Ketiga
Jenis dan Jangka Waktu Pinjaman
Pasal 52
(1) Jenis Pinjaman terdiri atas :
a. Pinjaman Jangka Pendek;
b. Pinjaman Jangka Menengah; dan
c. Pinjaman Jangka Panjang.
(2) Pinjaman Jangka Pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu kurang atau sama
dengan satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali
pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain
seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
(3) Pinjaman Jangka Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu lebih dari
satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman
yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi
dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan Kepala
Daerah yang bersangkutan.
(4) Pinjaman Jangka Panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu lebih dari satu
tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang
meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi pada
tahun-tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan
perjanjian pinjaman yang bersangkutan.
Bagian Keempat
Penggunaan Pinjaman
Pasal 53
(1) Pinjaman Jangka Pendek dipergunakan hanya untuk menutup
kekurangan arus kas.
(2) Pinjaman Jangka Menengah dipergunakan untuk membiayai
penyediaan layanan umum yang tidak menghasilkan peneri-maan.
(3) Pinjaman Jangka Panjang dipergunakan untuk membiayai proyek
investasi yang menghasilkan penerimaan.
(4) Pinjaman Jangka Menengah dan Jangka Panjang wajib mendapatkan
persetujuan DPRD.
Bagian Kelima
Persyaratan Pinjaman
Pasal 54
Dalam melakukan pinjaman, Daerah wajib memenuhi persyaratan:
a. jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan
ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah
penerimaan umum APBD tahun sebelumnya;
b. rasio kemampuan keuangan Daerah untuk mengembalikan pinjaman
ditetapkan oleh Pemerintah;
c. tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal
dari Pemerintah.
Pasal 55
(1) Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain.
(2) Pendapatan Daerah dan/atau barang milik Daerah tidak boleh
dijadikan jaminan Pinjaman Daerah.
(3) Proyek yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik Daerah
yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi
Daerah.
Bagian Keenam
Prosedur Pinjaman Daerah
Pasal 56
(1) Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada Pemerintah Daerah
yang dananya berasal dari luar negeri.
(2) Pinjaman kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui perjanjian penerusan pinjaman kepada
Pemerintah Daerah.
(3) Perjanjian penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan antara Menteri Keuangan dan Kepala Daerah.
(4) Perjanjian penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat dinyatakan dalam mata uang Rupiah atau mata uang asing.
Bagian Ketujuh
Obligasi Daerah
Pasal 57
(1) Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah dalam mata uang Rupiah
di pasar modal domestik.
(2) Nilai Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo sama dengan nilai
nominal Obligasi Daerah pada saat diterbitkan.
(3) Penerbitan Obligasi Daerah wajib memenuhi ketentuan dalam Pasal
54 dan Pasal 55 serta mengikuti peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal.
(4) Hasil penjualan Obligasi Daerah digunakan untuk membiayai investasi
sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan
manfaat bagi masyarakat.
(5) Penerimaan dari investasi sektor publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) digunakan untuk membiayai kewajiban bunga dan pokok
Obligasi Daerah terkait dan sisanya disetorkan ke kas Daerah.
Pasal 58
(1) Dalam hal Pemerintah Daerah menerbitkan Obligasi Daerah, Kepala
Daerah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPRD dan
Pemerintah.
(2) Penerbitan Obligasi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas nilai
bersih maksimal Obligasi Daerah yang akan diterbitkan pada saat
penetapan APBD.
Pasal 59
Pemerintah tidak menjamin Obligasi Daerah.
Pasal 60
Setiap Obligasi Daerah sekurang-kurangnya mencantumkan:
a. nilai nominal;
b. tanggal jatuh tempo;
c. tanggal pembayaran bunga;
d. tingkat bunga (kupon);
e. frekuensi pembayaran bunga;
f. cara perhitungan pembayaran bunga;
g. ketentuan tentang hak untuk membeli kembali Obligasi Daerah sebelum
jatuh tempo; dan
h. ketentuan tentang pengalihan kepemilikan.
Pasal 61
(1) Persetujuan DPRD mengenai penerbitan Obligasi Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) meliputi pembayaran
semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul sebagai akibat
penerbitan Obligasi Daerah dimaksud.
(2) Pemerintah Daerah wajib membayar bunga dan pokok setiap Obligasi
Daerah pada saat jatuh tempo.
(3) Dana untuk membayar bunga dan pokok sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disediakan dalam APBD setiap tahun sampai dengan
berakhirnya kewajiban tersebut.
(4) Dalam hal pembayaran bunga dimaksud melebihi perkiraan dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Daerah melakukan
pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut
kepada DPRD dalam pembahasan Perubahan APBD.
Pasal 62
(1) Pengelolaan Obligasi Daerah diselenggarakan oleh Kepala Daerah.
(2) Pengelolaan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya meliputi:
a. penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan Obligasi Daerah
termasuk kebijakan pengendalian risiko;
b. perencanaan dan penetapan struktur portofolio Pinjaman Daerah;
c. penerbitan Obligasi Daerah;
d. penjualan Obligasi Daerah melalui lelang;
e. pembelian kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo;
f. pelunasan pada saat jatuh tempo; dan
g. pertanggungjawaban.
Bagian Kedelapan
Pelaporan Pinjaman
Pasal 63
(1) Pemerintah Daerah wajib melaporkan posisi kumulatif pinjaman dan
kewajiban pinjaman kepada Pemerintah setiap semester dalam tahun
anggaran berjalan.
(2) Dalam hal Daerah tidak menyampaikan laporan, Pemerintah dapat
menunda penyaluran Dana Perimbangan.
Pasal 64
(1) Seluruh kewajiban Pinjaman Daerah yang jatuh tempo wajib
dianggarkan dalam APBD tahun anggaran yang bersangkutan.
(2) Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban membayar pinjamannya
kepada Pemerintah, kewajiban membayar pinjaman tersebut
diperhitungkan dengan DAU dan/atau Dana Bagi Hasil dari
Penerimaan Negara yang menjadi hak Daerah tersebut.
Pasal 65
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pinjaman Daerah termasuk Obligasi Daerah
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PENGELOLAAN KEUANGAN
DALAM RANGKA DESENTRALISASI
Bagian Kesatu
Asas Umum
Pasal 66
(1) Keuangan Daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan, dan
manfaat untuk masyarakat.
(2) APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan,
alokasi, dan distribusi.
(4) Semua Penerimaan dan Pengeluaran Daerah dalam tahun anggaran
yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
(5) Surplus APBD dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran Daerah
tahun anggaran berikutnya.
(6) Penggunaan surplus APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
untuk membentuk Dana Cadangan atau penyertaan dalam
Perusahaan Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu
dari DPRD.
Pasal 67
(1) Peraturan Daerah tentang APBD merupakan dasar bagi Pemerintah
Daerah untuk melakukan Penerimaan dan Pengeluaran Daerah.
(2) Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada
pengeluaran atas beban APBD, jika anggaran untuk mendanai
pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia.
(3) Semua Pengeluaran Daerah, termasuk subsidi, hibah, dan bantuan
keuangan lainnya yang sesuai dengan program Pemerintah Daerah
didanai melalui APBD.
(4) Keterlambatan pembayaran atas tagihan yang berkaitan dengan
pelaksanaan APBD dapat mengakibatkan pengenaan denda dan/atau
bunga.
(5) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan dan kemampuan Keuangan Daerah.
(6) Dalam hal APBD diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber
pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah
tentang APBD.
(7) Dalam hal APBD diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus
tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
Pasal 68
Tahun anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN, yang meliputi
masa 1 (satu) tahun mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31
Desember.
Bagian Kedua
Perencanaan
Pasal 69
(1) Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah
Daerah menyusun RKPD yang mengacu pada Rencana Kerja
Pemerintah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan
pembangunan nasional.
(2) RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar
penyusunan rancangan APBD.
(3) RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijabarkan dalam RKA
SKPD.
(4) Ketentuan mengenai pokok-pokok penyusunan RKA SKPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan RKA SKPD diatur
dengan Peraturan Daerah.
Pasal 70
(1) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan
anggaran pembiayaan.
(2) Anggaran pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal
dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Lain-lain
Pendapatan.
(3) Anggaran belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan
jenis belanja.
(4) Anggaran pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.
Pasal 71
(1) Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun
anggaran berikutnya sejalan dengan RKPD kepada DPRD selambatlambatnya
bulan Juni tahun berjalan.
(2) DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan Pemerintah
Daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran
berikutnya.
(3) Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati,
Pemerintah Daerah dan DPRD membahas prioritas dan plafon
anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap SKPD.
Pasal 72
(1) Kepala SKPD selaku pengguna anggaran menyusun RKA SKPD
tahun berikutnya.
(2) Renja SKPD disusun dengan pendekatan prestasi kerja yang akan
dicapai.
(3) RKA SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan
prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang
sudah disusun.
(4) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam
pembicaraan pendahuluan RAPBD.
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada
pejabat pengelola Keuangan Daerah sebagai bahan penyusunan
rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tahun berikutnya.
Pasal 73
(1) Kepala Daerah mengajukan rancangan Peraturan Daerah tentang
APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya
kepada DPRD.
(2) DPRD bersama dengan Pemerintah Daerah membahas Rancangan
APBD yang disampaikan dalam rangka mendapatkan persetujuan.
(3) Rancangan APBD yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan
Kepala Daerah dituangkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan
Pasal 74
Semua Penerimaan Daerah wajib disetor seluruhnya tepat waktu ke
Rekening Kas Umum Daerah.
Pasal 75
(1) Pengeluaran atas beban APBD dalam satu tahun anggaran hanya
dapat dilaksanakan setelah APBD tahun anggaran yang bersangkutan
ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
(2) Dalam hal Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak disetujui DPRD, untuk membiayai keperluan setiap bulan
Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran setinggitingginya
sebesar realisasi APBD tahun anggaran sebelumnya.
(3) Kepala SKPD menyusun dokumen pelaksanaan anggaran untuk
SKPD yang dipimpinnya berdasarkan alokasi anggaran yang
ditetapkan oleh Kepala Daerah.
(4) Pengguna anggaran melaksanakan kegiatan sebagaimana tersebut
dalam dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan.
(5) Pengguna anggaran berhak untuk menguji, membebankan pada mata
anggaran yang disediakan, dan memerintahkan pembayaran tagihan
atas beban APBD.
(6) Pembayaran atas tagihan yang dibebankan APBD dilakukan oleh
bendahara umum Daerah.
(7) Pembayaran atas tagihan yang dibebankan APBD tidak boleh
dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima.
Pasal 76
(1) Daerah dapat membentuk Dana Cadangan guna mendanai kebutuhan
yang tidak dapat dibebankan dalam satu tahun anggaran yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(2) Dana Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
bersumber dari penyisihan atas penerimaan APBD kecuali dari DAK,
Pinjaman Daerah, dan penerimaan lain yang penggunaan-nya dibatasi
untuk pengeluaran tertentu.
(3) Penggunaan Dana Cadangan dalam satu tahun anggaran menjadi
penerimaan pembiayaan APBD dalam tahun anggaran yang
bersangkutan.
Pasal 77
(1) Dana Cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1)
ditempatkan dalam rekening tersendiri dalam Rekening Kas Umum
Daerah.
(2) Dalam hal Dana Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
belum digunakan sesuai dengan peruntukannya, dana tersebut dapat
ditempatkan dalam portofolio yang memberikan hasil tetap dengan
risiko rendah.
Pasal 78
(1) Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain
atas dasar prinsip saling menguntungkan.
(2) Kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) Anggaran yang timbul akibat dari kerja sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dicantumkan dalam APBD.
Pasal 79
(1) Dalam keadaan darurat, Pemerintah Daerah dapat melakukan belanja
dari APBD yang belum tersedia anggarannya.
(2) Belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya diusulkan
dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam
Laporan Realisasi Anggaran.
Pasal 80
(1) Perubahan APBD ditetapkan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan
sebelum berakhirnya tahun anggaran.
(2) Perubahan APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa.
(3) Keadaan luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
keadaan yang menyebabkan estimasi penerimaan dan/atau
pengeluaran dalam APBD mengalami kenaikan atau penurunan lebih
besar dari 50% (lima puluh persen).
Bagian Keempat
Pertanggungjawaban
Pasal 81
(1) Pemerintah Daerah menyampaikan rancangan Peraturan Daerah
tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD
berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa
Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun
anggaran.
(2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setidaktidaknya
meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas,
dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri laporan keuangan
Perusahaan Daerah.
(3) Bentuk dan isi Laporan Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disusun dan
disajikan sesuai dengan Standar Akuntasi Pemerintahan.
Pasal 82
Pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Daerah dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Keuangan Negara
dan Perbendaharaan Negara.
Bagian Kelima
Pengendalian
Pasal 83
(1) Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal jumlah kumulatif
defisit APBN dan APBD.
(2) Jumlah kumulatif defisit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
melebihi 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto tahun
bersangkutan.
(3) Menteri Keuangan menetapkan kriteria defisit APBD dan batas
maksimal defisit APBD masing-masing Daerah setiap tahun anggaran.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dapat dikenakan sanksi berupa penundaan atas penyaluran Dana
Perimbangan.
Pasal 84
Dalam hal APBD diperkirakan defisit, pembiayaan defisit bersumber dari:
a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA);
b. Dana Cadangan;
c. Penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
d. Pinjaman Daerah.
Bagian Keenam
Pengawasan dan Pemeriksaan
Pasal 85
(1) Pengawasan Dana Desentralisasi dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pemeriksaan Dana Desentralisasi dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang pemeriksaan pengelolaan
dan tanggung jawab Keuangan Negara.
Pasal 86
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Keuangan Daerah diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X
DANA DEKONSENTRASI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 87
(1) Pendanaan dalam rangka Dekonsentrasi dilaksanakan setelah adanya
pelimpahan wewenang Pemerintah melalui kementerian
negara/lembaga kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah di
Daerah.
(2) Pelaksanaan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didanai oleh Pemerintah.
(3) Pendanaan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disesuaikan dengan wewenang yang dilimpahkan.
(4) Kegiatan Dekonsentrasi di Daerah dilaksanakan oleh SKPD yang
ditetapkan oleh gubernur.
(5) Gubernur memberitahukan rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga yang berkaitan dengan kegiatan Dekonsentrasi di
Daerah kepada DPRD.
(6) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
diberitahukan kepada DPRD pada saat pembahasan RAPBD.
(7) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dialokasikan untuk
kegiatan yang bersifat nonfisik.
Bagian Kedua
Penganggaran Dana Dekonsentrasi
Pasal 88
Dana Dekonsentrasi merupakan bagian anggaran kementerian
negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja dan anggaran
kementerian negara/lembaga.
Bagian Ketiga
Penyaluran Dana Dekonsentrasi
Pasal 89
(1) Dana Dekonsentrasi disalurkan melalui Rekening Kas Umum Negara.
(2) Pada setiap awal tahun anggaran gubernur menetapkan Satuan Kerja
Perangkat Daerah sebagai pelaksana kegiatan Dekonsentrasi.
(3) Dalam hal terdapat sisa anggaran lebih atas pelaksanaan
Dekonsentrasi, sisa tersebut merupakan penerimaan kembali APBN.
(4) Dalam hal terdapat saldo kas atas pelaksanaan Dekonsentrasi, saldo
tersebut harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara.
(5) Dalam hal pelaksanaan Dekonsentrasi menghasilkan penerimaan,
maka penerimaan tersebut merupakan penerimaan APBN dan disetor
ke Rekening Kas Umum Negara sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Bagian Keempat
Pertanggungjawaban dan Pelaporan
Dana Dekonsentrasi
Pasal 90
(1) Penatausahaan keuangan dalam pelaksanaan Dekonsentrasi
dilakukan secara terpisah dari penatausahaan keuangan dalam
pelaksanaan Tugas Pembantuan dan Desentralisasi.
(2) SKPD menyelenggarakan penatausahaan uang/barang dalam rangka
Dekonsentrasi secara tertib sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(3) SKPD menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi
kepada gubernur.
(4) Gubernur menyampaikan laporan pertanggungjawaban seluruh
pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi kepada menteri negara/
pimpinan lembaga yang memberikan pelimpahan wewenang.
(5) Menteri negara/pimpinan lembaga menyampaikan laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi secara
nasional kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Bagian Kelima
Status Barang dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi
Pasal 91
(1) Semua barang yang diperoleh dari Dana Dekonsentrasi menjadi
barang milik Negara.
(2) Barang milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dihibahkan kepada Daerah.
(3) Barang milik Negara yang dihibahkan kepada Daerah sebagai-mana
dimaksud pada ayat (2) wajib dikelola dan ditatausahakan oleh
Daerah.
(4) Barang milik Negara yang tidak dihibahkan kepada Daerah wajib
dikelola dan ditatausahakan oleh kementerian negara/lembaga yang
memberikan pelimpahan wewenang.
Pasal 92
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penganggaran, penyaluran,
pelaporan, pertanggungjawaban, dan penghibahan barang milik Negara
yang diperoleh atas pelaksanaan Dana Dekonsentrasi diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Pengawasan dan Pemeriksaan
Pasal 93
(1) Pengawasan Dana Dekonsentrasi dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pemeriksaan Dana Dekonsentrasi dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

BAB XI
DANA TUGAS PEMBANTUAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 94
(1) Pendanaan dalam rangka Tugas Pembantuan dilaksanakan setelah
adanya penugasan Pemerintah melalui kementerian negara/lembaga
kepada Kepala Daerah.
(2) Pelaksanaan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didanai oleh Pemerintah.
(3) Pendanaan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disesuaikan dengan penugasan yang diberikan.
(4) Kegiatan Tugas Pembantuan di Daerah dilaksanakan oleh SKPD yang
ditetapkan oleh gubernur, bupati, atau walikota.
(5) Kepala Daerah memberitahukan rencana kerja dan anggaran
kementerian negara/lembaga yang berkaitan dengan kegiatan Tugas
Pembantuan kepada DPRD.
(6) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diberitahukan kepada DPRD pada saat pembahasan RAPBD.
(7) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dialokasikan untuk
kegiatan yang bersifat fisik.
Bagian Kedua
Penganggaran Dana Tugas Pembantuan
Pasal 95
Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian anggaran kementerian
negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja dan anggaran
kementerian negara/lembaga.
Bagian Ketiga
Penyaluran Dana Tugas Pembantuan
Pasal 96
(1) Dana Tugas Pembantuan disalurkan melalui Rekening Kas Umum
Negara.
(2) Pada setiap awal tahun anggaran Kepala Daerah menetapkan Satuan
Kerja Perangkat Daerah sebagai pelaksana kegiatan Tugas
Pembantuan.
(3) Dalam hal terdapat sisa anggaran lebih atas pelaksanaan Tugas
Pembantuan, sisa tersebut merupakan penerimaan kembali APBN.
(4) Dalam hal terdapat saldo kas atas pelaksanaan Tugas Pembantuan,
saldo tersebut harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara.
(5) Dalam hal pelaksanaan Tugas Pembantuan menghasilkan
penerimaan, maka penerimaan tersebut merupakan penerimaan
APBN yang harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara sesuai
ketentuan yang berlaku.
Bagian Keempat
Pertanggungjawaban dan Pelaporan Pelaksanaan
Tugas Pembantuan
Pasal 97
(1) Penatausahaan keuangan dalam pelaksanaan Tugas Pembantuan
dilakukan secara terpisah dari penatausahaan keuangan dalam
pelaksanaan Dekonsentrasi dan Desentralisasi.
(2) SKPD menyelenggarakan penatausahaan uang/barang dalam rangka
Tugas Pembantuan secara tertib sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(3) SKPD menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan Tugas
Pembantuan kepada Gubernur, bupati, atau walikota.
(4) Kepala Daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban seluruh
pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan kepada menteri
negara/pimpinan lembaga yang menugaskan.
(5) Menteri negara/pimpinan lembaga menyampaikan laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan
secara nasional kepada Presiden sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Bagian Kelima
Status Barang dalam Pelaksanaan
Tugas Pembantuan
Pasal 98
(1) Semua barang yang diperoleh dari Dana Tugas Pembantuan menjadi
barang milik Negara.
(2) Barang milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dihibahkan kepada Daerah.
(3) Barang milik Negara yang dihibahkan kepada Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikelola dan ditatausahakan oleh Daerah.
(4) Barang milik Negara yang tidak dihibahkan kepada Daerah wajib
dikelola dan ditatausahakan oleh kementerian negara/lembaga yang
memberikan penugasan.
Pasal 99
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penganggaran, penyaluran
pelaporan, pertanggungjawaban, dan penghibahan barang milik Negara
yang diperoleh atas pelaksanaan Dana Tugas Pembantuan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Enam
Pengawasan dan Pemeriksaan
Pasal 100
(1) Pengawasan Dana Tugas Pembantuan dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pemeriksaan Dana Tugas Pembantuan dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

BAB XII
SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH
Pasal 101
(1) Pemerintah menyelenggarakan Sistem Informasi Keuangan Daerah
secara nasional, dengan tujuan :
a. merumuskan kebijakan dan pengendalian fiskal nasional;
b. menyajikan informasi Keuangan Daerah secara nasional;
c. merumuskan kebijakan Keuangan Daerah, seperti Dana
Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan pengendalian defisit
anggaran; dan
d. melakukan pemantauan, pengendalian dan evaluasi pendanaan
Desentralisasi, Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan, Pinjaman
Daerah, dan defisit anggaran Daerah.
(2) Sistem Informasi Keuangan Daerah secara nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah.
Pasal 102
(1) Daerah menyampaikan informasi Keuangan Daerah yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada Pemerintah.
(2) Daerah menyelenggarakan Sistem Informasi Keuangan Daerah.
(3) Informasi yang berkaitan dengan Sistem Informasi Keuangan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup:
a. APBD dan laporan realisasi APBD provinsi, kabupaten, dan kota;
b. neraca Daerah;
c. laporan arus kas;
d. catatan atas laporan Keuangan Daerah;
e. Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan;
f. laporan keuangan Perusahaan Daerah; dan
g. data yang berkaitan dengan kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal
Daerah.
(4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b, huruf
c, dan huruf d disampaikan kepada Pemerintah sesuai dengan
Standar Akuntansi Pemerintahan.
(5) Menteri Keuangan memberikan sanksi berupa penundaan penyaluran
Dana Perimbangan kepada Daerah yang tidak menyampaikan
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 103
Informasi yang dimuat dalam Sistem Informasi Keuangan Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 merupakan data terbuka yang
dapat diketahui, diakses, dan diperoleh masyarakat.
Pasal 104
Penyelenggaraan Sistem Informasi Keuangan Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 101, Pasal 102, dan Pasal 103, diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 105
(1) Peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Daerah masih
tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan peraturan pelaksanaan
yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Peraturan pelaksanaan sebagai tindak lanjut Undang-Undang ini
sudah selesai selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-
Undang ini diundangkan.
Pasal 106
(1) Pelaksanaan tambahan Dana Bagi Hasil sektor minyak bumi dan gas
bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e dan huruf f serta
Pasal 20 dilaksanakan mulai tahun anggaran 2009.
(2) Sejak berlakunya Undang-Undang ini sampai dengan tahun anggaran
2008 penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari
wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak
dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
dibagi dengan imbangan:
a. 85% (delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah; dan
b. 15% (lima belas persen) untuk Daerah.
(3) Sejak berlakunya Undang-Undang ini sampai dengan tahun anggaran
2008 penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari
wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak
dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
dibagi dengan imbangan:
a. 70% (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah; dan
b. 30% (tiga puluh persen) untuk daerah.
Pasal 107
(1) Sejak berlakunya Undang-Undang ini sampai dengan tahun anggaran
2007 DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25,5% (dua puluh lima
setengah persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang
ditetapkan dalam APBN.
(2) Ketentuan mengenai alokasi DAU sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini dilaksanakan sepenuhnya mulai tahun anggaran 2008.
Pasal 108
(1) Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan yang merupakan
bagian dari anggaran kementerian negara/lembaga yang digunakan
untuk melaksanakan urusan yang menurut peraturan perundangundangan
menjadi urusan Daerah, secara bertahap dialihkan menjadi
Dana Alokasi Khusus.
(2) Pengalihan secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 109
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, maka:
1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor
72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848) dinyatakan tidak berlaku.
2. Ketentuan yang mengatur tentang Dana Bagi Hasil sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua dinyatakan tetap
berlaku selama tidak diatur lain.
Pasal 110
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO

UNDANG-UNDANG TENTANG DESA.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
3. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama
lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Desa.
4. Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain
adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang
anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan
keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.
5. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah
musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa,
dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan
Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.
6. Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUM Desa, adalah
badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh
Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha
lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
7. Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama
Badan Permusyawaratan Desa.
8. Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan
kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
9. Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
10. Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat
dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.
11. Aset Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli
Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa atau perolehan hak lainnya yang sah.

12. Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan


kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan
pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran,
serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program,
kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan
prioritas kebutuhan masyarakat Desa.
13. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
14. Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
15. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
16. Menteri adalah menteri yang menangani Desa.

Pasal 2
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa
berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal
Ika.
Pasal 3
Pengaturan Desa berasaskan:
a. rekognisi;
b. subsidiaritas;
c. keberagaman;
d. kebersamaan;
e. kegotongroyongan;
f. kekeluargaan;
g. musyawarah;
h. demokrasi;
i. kemandirian;
j. partisipasi;
k. kesetaraan;
l. pemberdayaan; dan
m. keberlanjutan.

Pasal 4
Pengaturan Desa bertujuan:
a. memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada
dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
b. memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam
sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia;
c. melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat
Desa;
d. mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk
pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
e. membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif,
terbuka, serta bertanggung jawab;
f. meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna
mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
g. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna
mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial
sebagai bagian dari ketahanan nasional;
h. memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi
kesenjangan pembangunan nasional; dan
i. memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.

BAB II
KEDUDUKAN DAN JENIS DESA
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 5
Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota.
Bagian Kedua
Jenis Desa
Pasal 6
(1) Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat.
(2) Penyebutan Desa atau Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat.

BAB III
PENATAAN DESA
Pasal 7
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa.

(2) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil


evaluasi tingkat perkembangan Pemerintahan Desa sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan:
a. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa;
c. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik;
d. meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa; dan
e. meningkatkan daya saing Desa.
(4) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pembentukan;
b. penghapusan;
c. penggabungan;
d. perubahan status; dan
e. penetapan Desa.

Pasal 8
(1) Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4)
huruf a merupakan tindakan mengadakan Desa baru di luar Desa yang
ada.
(2) Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan
prakarsa masyarakat Desa, asal usul, adat istiadat, kondisi sosial budaya
masyarakat Desa, serta kemampuan dan potensi Desa.
(3) Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi syarat:
a. batas usia Desa induk paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak
pembentukan;
b. jumlah penduduk, yaitu:
1) wilayah Jawa paling sedikit 6.000 (enam ribu) jiwa atau 1.200 (seribu
dua ratus) kepala keluarga;
2) wilayah Bali paling sedikit 5.000 (lima ribu) jiwa atau 1.000 (seribu)
kepala keluarga;
3) wilayah Sumatera paling sedikit 4.000 (empat ribu) jiwa atau 800
(delapan ratus) kepala keluarga;
4) wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara paling sedikit 3.000 (tiga
ribu) jiwa atau 600 (enam ratus) kepala keluarga;
5) wilayah Nusa Tenggara Barat paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus)
jiwa atau 500 (lima ratus) kepala keluarga;
6) wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara,
Gorontalo, dan Kalimantan Selatan paling sedikit 2.000 (dua ribu) jiwa
atau 400 (empat ratus) kepala keluarga;
7) wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan
Kalimantan Utara paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) jiwa atau 300
(tiga ratus) kepala keluarga;
8) wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara paling
sedikit 1.000 (seribu) jiwa atau 200 (dua ratus) kepala keluarga; dan
9) wilayah Papua dan Papua Barat paling sedikit 500 (lima ratus) jiwa
atau 100 (seratus) kepala keluarga.
c. wilayah kerja yang memiliki akses transportasi antarwilayah;
d. sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan hidup
bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat Desa;
e. memiliki potensi yang meliputi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung;
f. batas wilayah Desa yang dinyatakan dalam bentuk peta Desa yang telah
ditetapkan dalam peraturan Bupati/Walikota;
g. sarana dan prasarana bagi Pemerintahan Desa dan pelayanan publik;
dan
h. tersedianya dana operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan
lainnya bagi perangkat Pemerintah Desa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam wilayah Desa dibentuk dusun atau yang disebut dengan nama
lain yang disesuaikan dengan asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial
budaya masyarakat Desa.
(5) Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui Desa persiapan.
(6) Desa persiapan merupakan bagian dari wilayah Desa induk.
(7) Desa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat
ditingkatkan statusnya menjadi Desa dalam jangka waktu 1 (satu) sampai
3 (tiga) tahun.
(8) Peningkatan status sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan
berdasarkan hasil evaluasi.

Pasal 9
Desa dapat dihapus karena bencana alam dan/atau kepentingan program
nasional yang strategis.
Pasal 10
Dua Desa atau lebih yang berbatasan dapat digabung menjadi Desa baru
berdasarkan kesepakatan Desa yang bersangkutan dengan
memperhatikan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 11
(1) Desa dapat berubah status menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa
Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa melalui Musyawarah
Desa dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat Desa.
(2) Seluruh barang milik Desa dan sumber pendapatan Desa yang
berubah menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
kekayaan/aset Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang digunakan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kelurahan tersebut
dan pendanaan kelurahan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 12
(1) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengubah status
kelurahan menjadi Desa berdasarkan prakarsa masyarakat dan
memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Kelurahan yang berubah status menjadi Desa, sarana dan prasarana
menjadi milik Desa dan dikelola oleh Desa yang bersangkutan untuk
kepentingan masyarakat Desa.
(3) Pendanaan perubahan status kelurahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota.

Pasal 13
Pemerintah dapat memprakarsai pembentukan Desa di kawasan yang
bersifat khusus dan strategis bagi kepentingan nasional.
Pasal 14
Pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status
Desa menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, dan Pasal 11 atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
Pasal 15
(1) Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan,
penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi
kelurahan atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 yang telah mendapatkan persetujuan bersama Bupati/Walikota
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diajukan kepada Gubernur.
(2) Gubernur melakukan evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang
pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status
Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan urgensi, kepentingan nasional,
kepentingan daerah, kepentingan masyarakat Desa, dan/atau peraturan
perundang-undangan.

Pasal 16
(1) Gubernur menyatakan persetujuan terhadap Rancangan Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 paling lama 20 (dua
puluh) hari setelah menerima Rancangan Peraturan Daerah.
(2) Dalam hal Gubernur memberikan persetujuan atas Rancangan
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota melakukan penyempurnaan dan penetapan
menjadi Peraturan Daerah paling lama 20 (dua puluh) hari.
(3) Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan terhadap
Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Rancangan Peraturan Daerah tersebut tidak dapat disahkan dan tidak
dapat diajukan kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah penolakan
oleh Gubernur.
(4) Dalam hal Gubernur tidak memberikan persetujuan atau tidak
memberikan penolakan terhadap Rancangan Peraturan Daerah yang
dimaksud dalam Pasal 15 dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bupati/Walikota dapat mengesahkan Rancangan Peraturan
Daerah tersebut serta sekretaris daerah mengundangkannya dalam
Lembaran Daerah.
(5) Dalam hal Bupati/Walikota tidak menetapkan Rancangan Peraturan
Daerah yang telah disetujui oleh Gubernur, Rancangan Peraturan Daerah
tersebut dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari setelah tanggal
persetujuan Gubernur dinyatakan berlaku dengan sendirinya.

Pasal 17
(1) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang pembentukan,
penghapusan, penggabungan, dan perubahan status Desa menjadi
kelurahan atau kelurahan menjadi Desa diundangkan setelah mendapat
nomor registrasi dari Gubernur dan kode Desa dari Menteri.
(2) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disertai lampiran peta batas wilayah Desa.

BAB IV
KEWENANGAN DESA
Pasal 18
Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.
Pasal 19
Kewenangan Desa meliputi:
a. kewenangan berdasarkan hak asal usul;
b. kewenangan lokal berskala Desa;
c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan
lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan
huruf b diatur dan diurus oleh Desa.
Pasal 21
Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan
tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c
dan huruf d diurus oleh Desa.
Pasal 22
(1) Penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa
meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa.
(2) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai biaya.

BAB V
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA
Pasal 23
Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa.
Pasal 24
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan asas:
a. kepastian hukum;
b. tertib penyelenggaraan pemerintahan;
c. tertib kepentingan umum;
d. keterbukaan;
e. proporsionalitas;
f. profesionalitas;
g. akuntabilitas;
h. efektivitas dan efisiensi;
i. kearifan lokal;
j. keberagaman; dan
k. partisipatif.

Bagian Kesatu
Pemerintah Desa
Pasal 25
Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah Kepala
Desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh
perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain.
Bagian Kedua
Kepala Desa
Pasal 26
(1) Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa,
melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa,
dan pemberdayaan masyarakat Desa.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Desa berwenang:
a. memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa;
c. memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa;
d. menetapkan Peraturan Desa;
e. menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
f. membina kehidupan masyarakat Desa;
g. membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
h. membina dan meningkatkan perekonomian Desa serta
mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk
sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa;
i. mengembangkan sumber pendapatan Desa;
j. mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara
guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
k. mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa;
l. memanfaatkan teknologi tepat guna;
m. mengoordinasikan Pembangunan Desa secara partisipatif;
n. mewakili Desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa
hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
o. melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Desa berhak:
a. mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa;
b. mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa;
c. menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan
lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan;
d. mendapatkan pelindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan;
dan
e. memberikan mandat pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada
perangkat Desa.
(4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Desa berkewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
b. meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
c. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
d. menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan;
e. melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender;
f. melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel,
transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi,
korupsi, dan nepotisme;
g. menjalin kerja sama dan koordinasi dengan seluruh pemangku
kepentingan di Desa;
h. menyelenggarakan administrasi Pemerintahan Desa yang baik;
i. mengelola Keuangan dan Aset Desa;
j. melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa;
k. menyelesaikan perselisihan masyarakat di Desa;
l. mengembangkan perekonomian masyarakat Desa;
m. membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat Desa;
n. memberdayakan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di Desa;
o. mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan
lingkungan hidup; dan
p. memberikan informasi kepada masyarakat Desa.
Pasal 27
Dalam melaksanakan tugas, kewenangan, hak, dan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Kepala Desa wajib:
a. menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap
akhir tahun anggaran kepada Bupati/Walikota;
b. menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada
akhir masa jabatan kepada Bupati/Walikota;
c. memberikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara
tertulis kepada Badan Permusyawaratan Desa setiap akhir tahun
anggaran; dan
d. memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan
pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat Desa setiap akhir tahun
anggaran.

Pasal 28
(1) Kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 27 dikenai sanksi
administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
(2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan
dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.

Pasal 29
Kepala Desa dilarang:
a. merugikan kepentingan umum;
b. membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota
keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu;
c. menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
d. melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan
masyarakat tertentu;
e. melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
f. melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang,
dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau
tindakan yang akan dilakukannya;
g. menjadi pengurus partai politik;
h. menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang;
i. merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan
Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam
peraturan perundangan-undangan;
j. ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum
dan/atau pemilihan kepala daerah;
k. melanggar sumpah/janji jabatan; dan
l. meninggalkan tugas selama 30 (tiga puluh) hari kerja berturut-turut
tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 30
(1) Kepala Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau
teguran tertulis.
(2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan
dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
Bagian Ketiga
Pemilihan Kepala Desa
Pasal 31
(1) Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara serentak di seluruh
wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan
pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara serentak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Kepala Desa
serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 32
(1) Badan Permusyawaratan Desa memberitahukan kepada Kepala Desa
mengenai akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara tertulis 6
(enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir.
(2) Badan Permusyawaratan Desa membentuk panitia pemilihan Kepala
Desa.
(3) Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bersifat mandiri dan tidak memihak.
(4) Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
terdiri atas unsur perangkat Desa, lembaga kemasyarakatan, dan tokoh
masyarakat Desa.

Pasal 33
Calon Kepala Desa wajib memenuhi persyaratan:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
d. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau
sederajat;
e. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun pada saat mendaftar;
f. bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa;
g. terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat
paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran;
h. tidak sedang menjalani hukuman pidana penjara;
i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
atau lebih, kecuali 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara
dan mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang
bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan
berulang-ulang;
j. tidak sedang dicabut hak pilihnya sesuai dengan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
k. berbadan sehat;
l. tidak pernah sebagai Kepala Desa selama 3 (tiga) kali masa jabatan; dan
m. syarat lain yang diatur dalam Peraturan Daerah.

Pasal 34
(1) Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa.
(2) Pemilihan Kepala Desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil.
(3) Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan,
pemungutan suara, dan penetapan.
(4) Dalam melaksanakan pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), dibentuk panitia pemilihan Kepala Desa.
(5) Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertugas
mengadakan penjaringan dan penyaringan bakal calon berdasarkan
persyaratan yang ditentukan, melaksanakan pemungutan suara,
menetapkan calon Kepala Desa terpilih, dan melaporkan pelaksanaan
pemilihan Kepala Desa.
(6) Biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 35
Penduduk Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) yang
pada hari pemungutan suara pemilihan Kepala Desa sudah berumur 17
(tujuh belas) tahun atau sudah/pernah menikah ditetapkan sebagai
pemilih.
Pasal 36
(1) Bakal calon Kepala Desa yang telah memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ditetapkan sebagai calon Kepala
Desa oleh panitia pemilihan Kepala Desa.
(2) Calon Kepala Desa yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diumumkan kepada masyarakat Desa di tempat umum sesuai
dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa.
(3) Calon Kepala Desa dapat melakukan kampanye sesuai dengan kondisi
sosial budaya masyarakat Desa dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 37
(1) Calon Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang
memperoleh suara terbanyak.
(2) Panitia pemilihan Kepala Desa menetapkan calon Kepala Desa terpilih.
(3) Panitia pemilihan Kepala Desa menyampaikan nama calon Kepala
Desa terpilih kepada Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh)
hari setelah penetapan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
(4) Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah
menerima laporan panitia pemilihan menyampaikan nama calon Kepala
Desa terpilih kepada Bupati/Walikota.
(5) Bupati/Walikota mengesahkan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) menjadi Kepala Desa paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari panitia
pemilihan Kepala Desa dalam bentuk keputusan Bupati/Walikota.
(6) Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa,
Bupati/Walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Pasal 38
(1) Calon Kepala Desa terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat
yang ditunjuk paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah penerbitan
keputusan Bupati/Walikota.
(2) Sebelum memangku jabatannya, Kepala Desa terpilih
bersumpah/berjanji.
(3) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai berikut:

Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan


memenuhi kewajiban saya selaku Kepala Desa dengan sebaik-baiknya,
sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam
mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara; dan
bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan segala
peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya yang berlaku
bagi Desa, daerah, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 39
(1) Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak
tanggal pelantikan.
(2) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat
paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak
secara berturut-turut.

Bagian Keempat
Pemberhentian Kepala Desa
Pasal 40
(1) Kepala Desa berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; atau
c. diberhentikan.
(2) Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c karena:
a. berakhir masa jabatannya;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Kepala Desa; atau
d. melanggar larangan sebagai Kepala Desa.
(3) Pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian Kepala Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 41
Kepala Desa diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah
dinyatakan sebagai terdakwa yang diancam dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun berdasarkan register perkara di pengadilan.
Pasal 42
Kepala Desa diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah
ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi, terorisme,
makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.
Pasal 43
Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 dan Pasal 42 diberhentikan oleh Bupati/Walikota setelah
dinyatakan sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 44
(1) Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 dan Pasal 42 setelah melalui proses peradilan ternyata
terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
penetapan putusan pengadilan diterima oleh Kepala Desa,
Bupati/Walikota merehabilitasi dan mengaktifkan kembali Kepala Desa
yang bersangkutan sebagai Kepala Desa sampai dengan akhir masa
jabatannya.
(2) Apabila Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) telah berakhir masa jabatannya, Bupati/Walikota
harus merehabilitasi nama baik Kepala Desa yang bersangkutan.

Pasal 45
Dalam hal Kepala Desa diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 dan Pasal 42, sekretaris Desa melaksanakan tugas dan
kewajiban Kepala Desa sampai dengan adanya putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 46
(1) Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 tidak lebih dari 1 (satu) tahun,
Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota sebagai penjabat Kepala Desa sampai dengan terpilihnya
Kepala Desa.
(2) Penjabat Kepala Desa melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan
hak Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.

Pasal 47
(1) Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 lebih dari 1 (satu) tahun,
Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota sebagai penjabat Kepala Desa.
(2) Penjabat Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak Kepala Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan ditetapkannya
Kepala Desa.
(3) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih melalui
Musyawarah Desa yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 33.
(4) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan
paling lama 6 (enam) bulan sejak Kepala Desa diberhentikan.
(5) Kepala Desa yang dipilih melalui Musyawarah Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) melaksanakan tugas Kepala Desa sampai habis
sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Musyawarah Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Perangkat Desa
Pasal 48
Perangkat Desa terdiri atas:
a. sekretariat Desa;
b. pelaksana kewilayahan; dan
c. pelaksana teknis.

Pasal 49
(1) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 bertugas
membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
(2) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh
Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama
Bupati/Walikota.
(3) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, perangkat Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Kepala
Desa.

Pasal 50
(1) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diangkat dari
warga Desa yang memenuhi persyaratan:
a. berpendidikan paling rendah sekolah menengah umum atau yang
sederajat;
b. berusia 20 (dua puluh) tahun sampai dengan 42 (empat puluh dua)
tahun;
c. terdaftar sebagai penduduk Desa dan bertempat tinggal di Desa paling
kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; dan
d. syarat lain yang ditentukan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perangkat Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 ayat (1) diatur dalam
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 51
Perangkat Desa dilarang:
a. merugikan kepentingan umum;
b. membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota
keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu;
c. menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
d. melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan
masyarakat tertentu;
e. melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
f. melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang,
dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau
tindakan yang akan dilakukannya;
g. menjadi pengurus partai politik;
h. menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang;
i. merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan
Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam
peraturan perundangan-undangan;
j. ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum
dan/atau pemilihan kepala daerah;
k. melanggar sumpah/janji jabatan; dan
l. meninggalkan tugas selama 60 (enam puluh) hari kerja berturut-turut
tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 52
(1) Perangkat Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan
dan/atau teguran tertulis.
(2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan
dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.

Pasal 53
(1) Perangkat Desa berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; atau
c. diberhentikan.
(2) Perangkat Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c karena:
a. usia telah genap 60 (enam puluh) tahun;
b. berhalangan tetap;

c. tidak . .

c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai perangkat Desa; atau


d. melanggar larangan sebagai perangkat Desa.
(3) Pemberhentian perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas
nama Bupati/Walikota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian perangkat Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Musyawarah Desa
Pasal 54
(1) Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti
oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur
masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
(2) Hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. penataan Desa;
b. perencanaan Desa;
c. kerja sama Desa;
d. rencana investasi yang masuk ke Desa;
e. pembentukan BUM Desa;
f. penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan
g. kejadian luar biasa.
(3) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
paling kurang sekali dalam 1 (satu) tahun.
(4) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Bagian Ketujuh
Badan Permusyawaratan Desa
Pasal 55
Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi:
a. membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama
Kepala Desa;
b. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan
c. melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.

Pasal 56
(1) Anggota Badan Permusyawaratan Desa merupakan wakil dari
penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya
dilakukan secara demokratis.
(2) Masa keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa selama 6 (enam)
tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji.
(3) Anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dipilih untuk masa keanggotaan paling banyak 3 (tiga) kali
secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Pasal 57
Persyaratan calon anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
c. berusia paling rendah 20 (dua puluh) tahun atau sudah/pernah
menikah;
d. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau
sederajat;

e. bukan sebagai perangkat Pemerintah Desa;


f. bersedia dicalonkan menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa;
dan
g. wakil penduduk Desa yang dipilih secara demokratis.

Pasal 58
(1) Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan
jumlah gasal, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (sembilan)
orang, dengan memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan
kemampuan Keuangan Desa.
(2) Peresmian anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota.
(3) Anggota Badan Permusyawaratan Desa sebelum memangku
jabatannya bersumpah/berjanji secara bersama-sama di hadapan
masyarakat dan dipandu oleh Bupati/ Walikota atau pejabat yang
ditunjuk.
(4) Susunan kata sumpah/janji anggota Badan Permusyawaratan Desa
sebagai berikut:

Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan


memenuhi kewajiban saya selaku anggota Badan Permusyawaratan Desa
dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya
akan selalu taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila
sebagai dasar negara, dan bahwa saya akan menegakkan kehidupan
demokrasi dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 serta melaksanakan segala peraturan perundang-undangan dengan
selurus-lurusnya yang berlaku bagi Desa, daerah, dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pasal 59
(1) Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa terdiri atas 1 (satu) orang
ketua, 1 (satu) orang wakil ketua, dan 1 (satu) orang sekretaris.
(2) Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota Badan Permusyawaratan Desa
secara langsung dalam rapat Badan Permusyawaratan Desa yang
diadakan secara khusus.
(3) Rapat pemilihan pimpinan Badan Permusyawaratan Desa untuk
pertama kali dipimpin oleh anggota tertua dan dibantu oleh anggota
termuda.

Pasal 60
Badan Permusyawaratan Desa menyusun peraturan tata tertib Badan
Permusyawaratan Desa.
Pasal 61
Badan Permusyawaratan Desa berhak:
a. mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan
Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa;
b. menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa; dan
Pasal 61
Badan Permusyawaratan Desa berhak:
a. mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan
Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa;
b. menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa; dan
c. mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Pasal 62
Anggota Badan Permusyawaratan Desa berhak:
a. mengajukan usul rancangan Peraturan Desa;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan/atau pendapat;
d. memilih dan dipilih; dan
e. mendapat tunjangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Pasal 63
Anggota Badan Permusyawaratan Desa wajib:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
b. melaksanakan kehidupan demokrasi yang berkeadilan gender dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
c. menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat Desa;
d. mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi,
kelompok, dan/atau golongan;
e. menghormati nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat Desa;
dan
f. menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga
kemasyarakatan Desa.

Pasal 64
Anggota Badan Permusyawaratan Desa dilarang:
a. merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat
Desa, dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat Desa;
b. melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, menerima uang, barang,
dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau
tindakan yang akan dilakukannya;
c. menyalahgunakan wewenang;
d. melanggar sumpah/janji jabatan;
e. merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan perangkat Desa;
f. merangkap sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam
peraturan perundangan-undangan;
g. sebagai pelaksana proyek Desa;
h. menjadi pengurus partai politik; dan/atau
i. menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang.

Pasal 65
(1) Mekanisme musyawarah Badan Permusyawaratan Desa sebagai
berikut:
a. musyawarah Badan Permusyawaratan Desa dipimpin oleh pimpinan
Badan Permusyawaratan Desa;
b. musyawarah Badan Permusyawaratan Desa dinyatakan sah apabila
dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota Badan
Permusyawaratan Desa;
c. pengambilan keputusan dilakukan dengan cara musyawarah guna
mencapai mufakat;
d. apabila musyawarah mufakat tidak tercapai, pengambilan keputusan
dilakukan dengan cara pemungutan suara;
e. pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam huruf d dinyatakan
sah apabila disetujui oleh paling sedikit (satu perdua) ditambah 1 (satu)
dari jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa yang hadir; dan
f. hasil musyawarah Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan
keputusan Badan Permusyawaratan Desa dan dilampiri notulen
musyawarah yang dibuat oleh sekretaris Badan Permusyawaratan Desa.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Permusyawaratan Desa diatur
dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Bagian Kedelapan
Penghasilan Pemerintah Desa
Pasal 66
(1) Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap setiap
bulan.
(2) Penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bersumber dari dana perimbangan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh
Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala
Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
(4) Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala
Desa dan perangkat Desa memperoleh jaminan kesehatan dan dapat
memperoleh penerimaan lainnya yang sah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran penghasilan tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) serta penerimaan lainnya yang sah sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN DESA DAN MASYARAKAT DESA
Pasal 67
(1) Desa berhak:
a. mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak
asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat Desa;
b. menetapkan dan mengelola kelembagaan Desa; dan
c. mendapatkan sumber pendapatan.
(2) Desa berkewajiban:
a. melindungi dan menjaga persatuan, kesatuan, serta kerukunan
masyarakat Desa dalam rangka kerukunan nasional dan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Desa;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mengembangkan pemberdayaan masyarakat Desa; dan
e. memberikan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Desa.

Pasal 68
(1) Masyarakat Desa berhak:
a. meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa serta
mengawasi kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa;
b. memperoleh pelayanan yang sama dan adil;
c. menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara
bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa;
d. memilih, dipilih, dan/atau ditetapkan menjadi:
1. Kepala Desa;
2. perangkat Desa;
3. anggota Badan Permusyawaratan Desa; atau
4. anggota lembaga kemasyarakatan Desa.
e. mendapatkan pengayoman dan perlindungan dari gangguan
ketenteraman dan ketertiban di Desa.
(2) Masyarakat Desa berkewajiban:
a. membangun diri dan memelihara lingkungan Desa;
b. mendorong terciptanya kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa yang baik;
c. mendorong terciptanya situasi yang aman, nyaman, dan tenteram di
Desa;
d. memelihara dan mengembangkan nilai permusyawaratan,
permufakatan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan di Desa; dan
e. berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di Desa.
BAB VII
PERATURAN DESA
Pasal 69
(1) Jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, peraturan
bersama Kepala Desa, dan peraturan Kepala Desa.
(2) Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
(3) Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan
disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
(4) Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa harus
mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi
Peraturan Desa.
(5) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan oleh
Bupati/Walikota paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak
diterimanya rancangan peraturan tersebut oleh Bupati/Walikota.
(6) Dalam hal Bupati/Walikota telah memberikan hasil evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Desa wajib memperbaikinya.
(7) Kepala Desa diberi waktu paling lama 20 (dua puluh) hari sejak
diterimanya hasil evaluasi untuk melakukan koreksi.
(8) Dalam hal Bupati/Walikota tidak memberikan hasil evaluasi dalam
batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Peraturan Desa
tersebut berlaku dengan sendirinya.
(9) Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat
Desa.
(10) Masyarakat Desa berhak memberikan masukan terhadap Rancangan
Peraturan Desa.
(11) Peraturan Desa dan peraturan Kepala Desa diundangkan dalam
Lembaran Desa dan Berita Desa oleh sekretaris Desa.
(12) Dalam pelaksanaan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Kepala Desa menetapkan Peraturan Kepala Desa sebagai aturan
pelaksanaannya.
Pasal 70
(1) Peraturan bersama Kepala Desa merupakan peraturan yang
ditetapkan oleh Kepala Desa dari 2 (dua) Desa atau lebih yang melakukan
kerja sama antar-Desa.
(2) Peraturan bersama Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perpaduan kepentingan Desa masing-masing dalam kerja
sama antar-Desa.

BAB VIII
KEUANGAN DESA DAN ASET DESA
Bagian Kesatu
Keuangan Desa
Pasal 71
(1) Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat
dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.
(2) Hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan
pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan Keuangan Desa.

Pasal 72
(1) Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2)
bersumber dari:
a. pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan
partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa;
b. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c. bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
d. alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan
yang diterima Kabupaten/Kota;
e. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;
f. hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
g. lain-lain pendapatan Desa yang sah.
(2) Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang
berbasis Desa secara merata dan berkeadilan.
(3) Bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit 10% (sepuluh
perseratus) dari pajak dan retribusi daerah.
(4) Alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling
sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima
Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah
dikurangi Dana Alokasi Khusus.
(5) Dalam rangka pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan
sebagian kewenangan kepada perangkat Desa yang ditunjuk.
(6) Bagi Kabupaten/Kota yang tidak memberikan alokasi dana Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah dapat melakukan
penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan
setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang seharusnya disalurkan ke
Desa.

Pasal 73
(1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa terdiri atas bagian
pendapatan, belanja, dan pembiayaan Desa.
(2) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa diajukan oleh
Kepala Desa dan dimusyawarahkan bersama Badan Permusyawaratan
Desa.
(3) Sesuai dengan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Kepala Desa menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
setiap tahun dengan Peraturan Desa.

Pasal 74
(1) Belanja Desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan yang disepakati dalam Musyawarah Desa dan sesuai
dengan prioritas Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah.
(2) Kebutuhan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi, tetapi tidak terbatas pada kebutuhan primer, pelayanan dasar,
lingkungan, dan kegiatan pemberdayaan masyarakat Desa.

Pasal 75
(1) Kepala Desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan Keuangan Desa.
(2) Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Kepala Desa menguasakan sebagian kekuasaannya kepada perangkat
Desa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Keuangan Desa diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Aset Desa
Pasal 76
(1) Aset Desa dapat berupa tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar Desa,
pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan,
pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa,
pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa.
(2) Aset lainnya milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara
lain:
a. kekayaan Desa yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
b. kekayaan Desa yang diperoleh dari hibah dan sumbangan atau yang
sejenis;
c. kekayaan Desa yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari
perjanjian/kontrak dan lain-lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
d. hasil kerja sama Desa; dan
e. kekayaan Desa yang berasal dari perolehan lainnya yang sah.
(3) Kekayaan milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah berskala lokal
Desa yang ada di Desa dapat dihibahkan kepemilikannya kepada Desa.
(4) Kekayaan milik Desa yang berupa tanah disertifikatkan atas nama
Pemerintah Desa.
(5) Kekayaan milik Desa yang telah diambil alih oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dikembalikan kepada Desa, kecuali yang sudah
digunakan untuk fasilitas umum.
(6) Bangunan milik Desa harus dilengkapi dengan bukti status
kepemilikan dan ditatausahakan secara tertib.

Pasal 77
(1) Pengelolaan kekayaan milik Desa dilaksanakan berdasarkan asas
kepentingan umum, fungsional, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi,
efektivitas, akuntabilitas, dan kepastian nilai ekonomi.
(2) Pengelolaan kekayaan milik Desa dilakukan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat Desa serta meningkatkan
pendapatan Desa.

(3) Pengelolaan kekayaan milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibahas oleh Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa
berdasarkan tata cara pengelolaan kekayaan milik Desa yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

BAB IX
PEMBANGUNAN DESA DAN PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN
Bagian Kesatu
Pembangunan Desa
Pasal 78
(1) Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan
kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana
dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
(2) Pembangunan Desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan.
(3) Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna
mewujudkan pengarusutamaan perdamaian dan keadilan sosial.

Paragraf 1
Perencanaan
Pasal 79
(1) Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai
dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan
pembangunan Kabupaten/Kota.
(2) Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun secara berjangka meliputi:
a. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6
(enam) tahun; dan
b. Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana
Kerja Pemerintah Desa, merupakan penjabaran dari Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1 (satu)
tahun.
(3) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja
Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Desa.
(4) Peraturan Desa tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan satu-satunya
dokumen perencanaan di Desa.
(5) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja
Pemerintah Desa merupakan pedoman dalam penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(6) Program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang berskala lokal
Desa dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanaannya kepada
Desa.
(7) Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan salah satu sumber masukan dalam perencanaan
pembangunan Kabupaten/Kota.

Pasal 80
(1) Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
79 diselenggarakan dengan mengikutsertakan masyarakat Desa.
(2) Dalam menyusun perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Desa wajib menyelenggarakan
musyawarah perencanaan Pembangunan Desa.

(3) Musyawarah perencanaan Pembangunan Desa menetapkan prioritas,


program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa,
dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
(4) Prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dirumuskan berdasarkan penilaian
terhadap kebutuhan masyarakat Desa yang meliputi:
a. peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan dasar;
b. pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan
berdasarkan kemampuan teknis dan sumber daya lokal yang tersedia;
c. pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif;
d. pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan
ekonomi; dan
e. peningkatan kualitas ketertiban dan ketenteraman masyarakat Desa
berdasarkan kebutuhan masyarakat Desa.

Paragraf 2
Pelaksanaan
Pasal 81
(1) Pembangunan Desa dilaksanakan sesuai dengan Rencana Kerja
Pemerintah Desa.
(2) Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dengan melibatkan seluruh
masyarakat Desa dengan semangat gotong royong.
(3) Pelaksanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam
Desa.
(4) Pembangunan lokal berskala Desa dilaksanakan sendiri oleh Desa.
(5) Pelaksanaan program sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan
kepada Pemerintah Desa untuk diintegrasikan dengan Pembangunan
Desa.

Paragraf 3
Pemantauan dan Pengawasan Pembangunan Desa
Pasal 82
(1) Masyarakat Desa berhak mendapatkan informasi mengenai rencana
dan pelaksanaan Pembangunan Desa.
(2) Masyarakat Desa berhak melakukan pemantauan terhadap
pelaksanaan Pembangunan Desa.
(3) Masyarakat Desa melaporkan hasil pemantauan dan berbagai keluhan
terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa kepada Pemerintah Desa dan
Badan Permusyawaratan Desa.
(4) Pemerintah Desa wajib menginformasikan perencanaan dan
pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, Rencana
Kerja Pemerintah Desa, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
kepada masyarakat Desa melalui layanan informasi kepada umum dan
melaporkannya dalam Musyawarah Desa paling sedikit 1 (satu) tahun
sekali.
(5) Masyarakat Desa berpartisipasi dalam Musyawarah Desa untuk
menanggapi laporan pelaksanaan Pembangunan Desa.

Bagian Kedua
Pembangunan Kawasan Perdesaan
Pasal 83
(1) Pembangunan Kawasan Perdesaan merupakan perpaduan
pembangunan antar-Desa dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota.

(2) Pembangunan Kawasan Perdesaan dilaksanakan dalam upaya


mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan
pemberdayaan masyarakat Desa di Kawasan Perdesaan melalui
pendekatan pembangunan partisipatif.
(3) Pembangunan Kawasan Perdesaan meliputi:
a. penggunaan dan pemanfaatan wilayah Desa dalam rangka penetapan
kawasan pembangunan sesuai dengan tata ruang Kabupaten/Kota;
b. pelayanan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat perdesaan;
c. pembangunan infrastruktur, peningkatan ekonomi perdesaan, dan
pengembangan teknologi tepat guna; dan
d. pemberdayaan masyarakat Desa untuk meningkatkan akses terhadap
pelayanan dan kegiatan ekonomi.
(4) Rancangan pembangunan Kawasan Perdesaan dibahas bersama oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa.
(5) Rencana pembangunan Kawasan Perdesaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) ditetapkan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah.

Pasal 84
(1) Pembangunan Kawasan Perdesaan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan/atau pihak
ketiga yang terkait dengan pemanfaatan Aset Desa dan tata ruang Desa
wajib melibatkan Pemerintah Desa.
(2) Perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan Aset
Desa untuk pembangunan Kawasan Perdesaan merujuk pada hasil
Musyawarah Desa.

(3) Pengaturan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan


pembangunan Kawasan Perdesaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.

Pasal 85
(1) Pembangunan Kawasan Perdesaan dilakukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
melalui satuan kerja perangkat daerah, Pemerintah Desa, dan/atau BUM
Desa dengan mengikutsertakan masyarakat Desa.
(2) Pembangunan Kawasan Perdesaan yang dilakukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan
pihak ketiga wajib mendayagunakan potensi sumber daya alam dan
sumber daya manusia serta mengikutsertakan Pemerintah Desa dan
masyarakat Desa.
(3) Pembangunan Kawasan Perdesaan yang berskala lokal Desa wajib
diserahkan pelaksanaannya kepada Desa dan/atau kerja sama antar-
Desa.

Bagian Ketiga
Sistem Informasi
Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Pasal 86
(1) Desa berhak mendapatkan akses informasi melalui sistem informasi
Desa yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan sistem
informasi Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan.
(3) Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi
fasilitas perangkat keras dan perangkat lunak, jaringan, serta sumber
daya manusia.

(4) Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi
data Desa, data Pembangunan Desa, Kawasan Perdesaan, serta informasi
lain yang berkaitan dengan Pembangunan Desa dan pembangunan
Kawasan Perdesaan.
(5) Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola
oleh Pemerintah Desa dan dapat diakses oleh masyarakat Desa dan
semua pemangku kepentingan.
(6) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menyediakan informasi
perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota untuk Desa.

BAB X
BADAN USAHA MILIK DESA
Pasal 87
(1) Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUM
Desa.
(2) BUM Desa dikelola dengan semangat kekeluargaan dan
kegotongroyongan.
(3) BUM Desa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau
pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 88
(1) Pendirian BUM Desa disepakati melalui Musyawarah Desa.
(2) Pendirian BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Desa.
Pasal 89
Hasil usaha BUM Desa dimanfaatkan untuk:
a. pengembangan usaha; dan
b. Pembangunan Desa, pemberdayaan masyarakat Desa, dan pemberian
bantuan untuk masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial, dan
kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa.

Pasal 90
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa mendorong perkembangan BUM
Desa dengan:
a. memberikan hibah dan/atau akses permodalan;
b. melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar; dan
c. memprioritaskan BUM Desa dalam pengelolaan sumber daya alam di
Desa.

BAB XI
KERJA SAMA DESA
Pasal 91
Desa dapat mengadakan kerja sama dengan Desa lain dan/atau kerja
sama dengan pihak ketiga.
Bagian Kesatu
Kerja Sama antar-Desa
Pasal 92
(1) Kerja sama antar-Desa meliputi:
a. pengembangan usaha bersama yang dimiliki oleh Desa untuk mencapai
nilai ekonomi yang berdaya saing;
b. kegiatan kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan, dan
pemberdayaan masyarakat antar-Desa; dan/atau
c. bidang keamanan dan ketertiban.
(2) Kerja sama antar-Desa dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala
Desa melalui kesepakatan musyawarah antar-Desa.
(3) Kerja sama antar-Desa dilaksanakan oleh badan kerja sama antar-
Desa yang dibentuk melalui Peraturan Bersama Kepala Desa.
(4) Musyawarah antar-Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
membahas hal yang berkaitan dengan:
a. pembentukan lembaga antar-Desa;
b. pelaksanaan program Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang dapat
dilaksanakan melalui skema kerja sama antar-Desa;
c. perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan program pembangunan
antar-Desa;
d. pengalokasian anggaran untuk Pembangunan Desa, antar-Desa, dan
Kawasan Perdesaan;
e. masukan terhadap program Pemerintah Daerah tempat Desa tersebut
berada; dan
f. kegiatan lainnya yang dapat diselenggarakan melalui kerja sama antar-
Desa.
(5) Dalam melaksanakan pembangunan antar-Desa, badan kerja sama
antar-Desa dapat membentuk kelompok/lembaga sesuai dengan
kebutuhan.
(6) Dalam pelayanan usaha antar-Desa dapat dibentuk BUM Desa yang
merupakan milik 2 (dua) Desa atau lebih.

Bagian Kedua
Kerja Sama dengan Pihak Ketiga
Pasal 93
(1) Kerja sama Desa dengan pihak ketiga dilakukan untuk mempercepat
dan meningkatkan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa.
(2) Kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimusyawarahkan dalam Musyawarah Desa.
BAB XII
LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN LEMBAGA ADAT DESA
Bagian Kesatu
Lembaga Kemasyarakatan Desa
Pasal 94
(1) Desa mendayagunakan lembaga kemasyarakatan Desa yang ada dalam
membantu pelaksanaan fungsi penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa.
(2) Lembaga kemasyarakatan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan wadah partisipasi masyarakat Desa sebagai mitra Pemerintah
Desa.
(3) Lembaga kemasyarakatan Desa bertugas melakukan pemberdayaan
masyarakat Desa, ikut serta merencanakan dan melaksanakan
pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa.
(4) Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan
lembaga non-Pemerintah wajib memberdayakan dan mendayagunakan
lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di Desa.

Bagian Kedua
Lembaga Adat Desa
Pasal 95
(1) Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dapat membentuk lembaga
adat Desa.
(2) Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
lembaga yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian
dari susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa
masyarakat Desa.

(3) Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas
membantu Pemerintah Desa dan sebagai mitra dalam memberdayakan,
melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat sebagai wujud
pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat Desa.

BAB XIII
KETENTUAN KHUSUS DESA ADAT
Bagian Kesatu
Penataan Desa Adat
Pasal 96
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat
dan ditetapkan menjadi Desa Adat.
Pasal 97
(1) Penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96
memenuhi syarat:
a. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara
nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang
bersifat fungsional;
b. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya
dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
c. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai
dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang
masih hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memiliki
wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur
adanya:
a. masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam
kelompok;
b. pranata pemerintahan adat;
c. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau
d. perangkat norma hukum adat.
(3) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dipandang sesuai dengan
perkembangan masyarakat apabila:
a. keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku
sebagai pencerminan perkembangan nilai yang dianggap ideal dalam
masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum
maupun bersifat sektoral; dan
b. substansi hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga
kesatuan masyarakat yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas
serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.
(4) Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sesuai dengan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat
hukum adat tersebut tidak mengganggu keberadaan Negara Kesatuan
Republik lndonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum
yang:
a. tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik
lndonesia; dan
b. substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 98
(1) Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Pembentukan Desa Adat setelah penetapan Desa Adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan faktor
penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, serta pemberdayaan masyarakat Desa
dan sarana prasarana pendukung.

Pasal 99
(1) Penggabungan Desa Adat dapat dilakukan atas prakarsa dan
kesepakatan antar-Desa Adat.
(2) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memfasilitasi pelaksanaan
penggabungan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 100
(1) Status Desa dapat diubah menjadi Desa Adat, kelurahan dapat diubah
menjadi Desa Adat, Desa Adat dapat diubah menjadi Desa, dan Desa Adat
dapat diubah menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa masyarakat yang
bersangkutan melalui Musyawarah Desa dan disetujui oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Dalam hal Desa diubah menjadi Desa Adat, kekayaan Desa beralih
status menjadi kekayaan Desa Adat, dalam hal kelurahan berubah
menjadi Desa Adat, kekayaan kelurahan beralih status menjadi kekayaan
Desa Adat, dalam hal Desa Adat berubah menjadi Desa, kekayaan Desa
Adat beralih status menjadi kekayaan Desa, dan dalam hal Desa Adat
berubah menjadi kelurahan, kekayaan Desa Adat beralih status menjadi
kekayaan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 101
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa Adat.
(2) Penataan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dalam Peraturan Daerah.
(3) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai
lampiran peta batas wilayah.

Pasal 102
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2)
berpedoman pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal
8, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17.
Bagian Kedua
Kewenangan Desa Adat
Pasal 103
Kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi:
a. pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli;
b. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
c. pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;
d. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di
Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia
dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
e. penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat
berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan
g. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial
budaya masyarakat Desa Adat.
Pasal 104
Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan
berskala lokal Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a
dan huruf b serta Pasal 103 diatur dan diurus oleh Desa Adat dengan
memperhatikan prinsip keberagaman.
Pasal 105
Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan
tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c
dan huruf d diurus oleh Desa Adat.
Pasal 106
(1) Penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa
Adat meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat, pelaksanaan
Pembangunan Desa Adat, pembinaan kemasyarakatan Desa Adat, dan
pemberdayaan masyarakat Desa Adat.
(2) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan biaya.

Bagian Ketiga
Pemerintahan Desa Adat
Pasal 107
Pengaturan dan penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dilaksanakan
sesuai dengan hak asal usul dan hukum adat yang berlaku di Desa Adat
yang masih hidup serta sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
tidak bertentangan dengan asas penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Adat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 108
Pemerintahan Desa Adat menyelenggarakan fungsi permusyawaratan dan
Musyawarah Desa Adat sesuai dengan susunan asli Desa Adat atau
dibentuk baru sesuai dengan prakarsa masyarakat Desa Adat.
Pasal 109
Susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan Kepala Desa
Adat berdasarkan hukum adat ditetapkan dalam peraturan daerah
Provinsi.
Bagian Keempat
Peraturan Desa Adat
Pasal 110
Peraturan Desa Adat disesuaikan dengan hukum adat dan norma adat
istiadat yang berlaku di Desa Adat sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 111
(1) Ketentuan khusus tentang Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 96 sampai dengan Pasal 110 hanya berlaku untuk Desa Adat.
(2) Ketentuan tentang Desa berlaku juga untuk Desa Adat sepanjang tidak
diatur dalam ketentuan khusus tentang Desa Adat.

BAB XIV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 112
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota membina dan mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan
Desa.
(2) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dapat mendelegasikan pembinaan dan pengawasan
kepada perangkat daerah.
(3) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota memberdayakan masyarakat Desa dengan:
a. menerapkan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
teknologi tepat guna, dan temuan baru untuk kemajuan ekonomi dan
pertanian masyarakat Desa;
b. meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat Desa melalui
pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan; dan
c. mengakui dan memfungsikan institusi asli dan/atau yang sudah ada di
masyarakat Desa.
(4) Pemberdayaan masyarakat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan dengan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan,
dan pemantauan Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan.

Pasal 113
Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) meliputi:
a. memberikan pedoman dan standar pelaksanaan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa;
b. memberikan pedoman tentang dukungan pendanaan dari Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
kepada Desa;
c. memberikan penghargaan, pembimbingan, dan pembinaan kepada
lembaga masyarakat Desa;
d. memberikan pedoman penyusunan perencanaan pembangunan
partisipatif;
e. memberikan pedoman standar jabatan bagi perangkat Desa;
f. memberikan bimbingan, supervisi, dan konsultasi penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan lembaga
kemasyarakatan;
g. memberikan penghargaan atas prestasi yang dilaksanakan dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan
lembaga kemasyarakatan Desa;
h. menetapkan bantuan keuangan langsung kepada Desa;
i. melakukan pendidikan dan pelatihan tertentu kepada aparatur
Pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan Desa;
j. melakukan penelitian tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa di
Desa tertentu;
k. mendorong percepatan pembangunan perdesaan;
l. memfasilitasi dan melakukan penelitian dalam rangka penentuan
kesatuan masyarakat hukum adat sebagai Desa; dan
m. menyusun dan memfasilitasi petunjuk teknis bagi BUM Desa dan
lembaga kerja sama Desa.

Pasal 114
Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) meliputi:
a. melakukan pembinaan terhadap Kabupaten/Kota dalam rangka
penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang mengatur Desa;
b. melakukan pembinaan Kabupaten/Kota dalam rangka pemberian
alokasi dana Desa;
c. melakukan pembinaan peningkatan kapasitas Kepala Desa dan
perangkat Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan lembaga
kemasyarakatan;
d. melakukan pembinaan manajemen Pemerintahan Desa;

e. melakukan pembinaan upaya percepatan Pembangunan Desa melalui


bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan teknis;
f. melakukan bimbingan teknis bidang tertentu yang tidak mungkin
dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
g. melakukan inventarisasi kewenangan Provinsi yang dilaksanakan oleh
Desa;
h. melakukan pembinaan dan pengawasan atas penetapan Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota dalam
pembiayaan Desa;
i. melakukan pembinaan terhadap Kabupaten/Kota dalam rangka
penataan wilayah Desa;
j. membantu Pemerintah dalam rangka penentuan kesatuan masyarakat
hukum adat sebagai Desa; dan
k. membina dan mengawasi penetapan pengaturan BUM Desa
Kabupaten/Kota dan lembaga kerja sama antar-Desa.

Pasal 115
Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1)
meliputi:
a. memberikan pedoman pelaksanaan penugasan urusan
Kabupaten/Kota yang dilaksanakan oleh Desa;
b. memberikan pedoman penyusunan Peraturan Desa dan Peraturan
Kepala Desa;
c. memberikan pedoman penyusunan perencanaan pembangunan
partisipatif;
d. melakukan fasilitasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
e. melakukan evaluasi dan pengawasan Peraturan Desa;

f. menetapkan pembiayaan alokasi dana perimbangan untuk Desa;


g. mengawasi pengelolaan Keuangan Desa dan pendayagunaan Aset Desa;
h. melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa;
i. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi Pemerintah Desa,
Badan Permusyawaratan Desa, lembaga kemasyarakatan, dan lembaga
adat;
j. memberikan penghargaan atas prestasi yang dilaksanakan dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa,
lembaga kemasyarakatan, dan lembaga adat;
k. melakukan upaya percepatan pembangunan perdesaan;
l. melakukan upaya percepatan Pembangunan Desa melalui bantuan
keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan teknis;
m. melakukan peningkatan kapasitas BUM Desa dan lembaga kerja sama
antar-Desa; dan
n. memberikan sanksi atas penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala
Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 116
(1) Desa yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku tetap
diakui sebagai Desa.
(2) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan Peraturan Daerah
tentang penetapan Desa dan Desa Adat di wilayahnya.

(3) Penetapan Desa dan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(4) Paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Desa
melakukan inventarisasi Aset Desa.

Pasal 117
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang sudah ada wajib
menyesuaikannya dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 118
(1) Masa jabatan Kepala Desa yang ada pada saat ini tetap berlaku sampai
habis masa jabatannya.
(2) Periodisasi masa jabatan Kepala Desa mengikuti ketentuan Undang-
Undang ini.
(3) Anggota Badan Permusyawaratan Desa yang ada pada saat ini tetap
menjalankan tugas sampai habis masa keanggotaanya.
(4) Periodisasi keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa mengikuti
ketentuan Undang-Undang ini.
(5) Perangkat Desa yang tidak berstatus pegawai negeri sipil tetap
melaksanakan tugas sampai habis masa tugasnya.
(6) Perangkat Desa yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil
melaksanakan tugasnya sampai ditetapkan penempatannya yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 119
Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara
langsung dengan Desa wajib mendasarkan dan menyesuaikan
pengaturannya dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 120
(1) Semua peraturan pelaksanaan tentang Desa yang selama ini ada tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
(2) Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang
ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diundangkan.

Pasal 121
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pasal 200 sampai dengan
Pasal 216 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 122
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN

www.hukumonline.com
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 38 TAHUN 2014
TENTANG
KEPERAWATAN
BAB I
www.hukumonline.com
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok, atau
masyarakat,
baik dalam keadaan sakit maupun sehat.
2. Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi Keperawatan, baik di dalam
maupun di luar
negeri yang diakui oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
3. Pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan
bagian integral dari
pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat Keperawatan ditujukan kepada
individu,
keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit.
4. Praktik Keperawatan adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh Perawat dalam bentuk
Asuhan
Keperawatan.
5. Asuhan Keperawatan adalah rangkaian interaksi Perawat dengan Klien dan lingkungannya
untuk
mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian Klien dalam merawat dirinya.
6. Uji Kompetensi adalah proses pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan perilaku peserta
didik pada
perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi Keperawatan.
7. Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi Perawat yang
telah lulus Uji
Kompetensi untuk melakukan Praktik Keperawatan.
8. Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik Keperawatan yang
diperoleh
lulusan pendidikan profesi.
9. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap Perawat yang telah memiliki Sertifikat
Kompetensi atau
Sertifikat Profesi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta telah diakui secara
hukum untuk
menjalankan Praktik Keperawatan.
10. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh Konsil
Keperawatan kepada Perawat yang telah diregistrasi.
11. Surat Izin Praktik Perawat yang selanjutnya disingkat SIPP adalah bukti tertulis yang
diberikan oleh
Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Perawat sebagai pemberian kewenangan untuk
menjalankan
Praktik Keperawatan.
12. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah alat dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan
upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang
dilakukan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
13. Perawat Warga Negara Asing adalah Perawat yang bukan berstatus Warga Negara
Indonesia.
14. Klien adalah perseorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat yang menggunakan jasa
Pelayanan
Keperawatan.
15. Organisasi Profesi Perawat adalah wadah yang menghimpun Perawat secara nasional dan
berbadan
hukum sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
16. Kolegium Keperawatan adalah badan yang dibentuk oleh Organisasi Profesi Perawat untuk
setiap cabang
disiplin ilmu Keperawatan yang bertugas mengampu dan meningkatkan mutu pendidikan
cabang disiplin
ilmu tersebut.
17. Konsil Keperawatan adalah lembaga yang melakukan tugas secara independen.
18. Institusi Pendidikan adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan
Keperawatan.
19. Wahana Pendidikan Keperawatan yang selanjutnya disebut wahana pendidikan adalah
fasilitas, selain
perguruan tinggi, yang digunakan sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan Keperawatan.
20. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik
Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
21. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, dan Wali Kota serta perangkat daerah
sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan.
22. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
Pasal 2
Praktik Keperawatan berasaskan:
a. perikemanusiaan;
b. nilai ilmiah;
c. etika dan profesionalitas;
d. manfaat;
e. keadilan;
f. pelindungan; dan
g. kesehatan dan keselamatan Klien.
Pasal 3
Pengaturan Keperawatan bertujuan:
a. meningkatkan mutu Perawat;
b. meningkatkan mutu Pelayanan Keperawatan;
c. memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada Perawat dan Klien; dan
d. meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

BAB II
JENIS PERAWAT
Pasal 4
(1) Jenis Perawat terdiri atas:
a. Perawat profesi; dan
b. Perawat vokasi.
(2) Perawat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. ners; dan
b. ners spesialis.
3 / 32
www.hukumonline.com
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis Perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.

BAB III
PENDIDIKAN TINGGI KEPERAWATAN
Pasal 5
Pendidikan tinggi Keperawatan terdiri atas:
a. pendidikan vokasi;
b. pendidikan akademik; dan
c. pendidikan profesi.
Pasal 6
(1) Pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a merupakan program
diploma
Keperawatan.
(2) Pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a paling rendah adalah
program Diploma
Tiga Keperawatan.
Pasal 7
Pendidikan akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b terdiri atas:
a. program sarjana Keperawatan;
b. program magister Keperawatan; dan
c. program doktor Keperawatan.
Pasal 8
Pendidikan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c terdiri atas:
a. program profesi Keperawatan; dan
b. program spesialis Keperawatan.
Pasal 9
(1) Pendidikan Tinggi Keperawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diselenggarakan
oleh perguruan
tinggi yang memiliki izin penyelenggaraan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
(2) Perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk universitas, institut,
sekolah
tinggi, politeknik, atau akademi.
(3) Perguruan tinggi dalam menyelenggarakan Pendidikan Tinggi Keperawatan sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) harus menyediakan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagai Wahana Pendidikan serta
berkoordinasi dengan Organisasi Profesi Perawat.
(4) Penyediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
dilakukan
melalui:
a. kepemilikan; atau
b. kerja sama.
(5) Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan rumah
sakit dan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama yang memenuhi persyaratan, termasuk jejaring
dan
komunitas di dalam wilayah binaannya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagai
Wahana Pendidikan
diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pendidikan
setelah berkoordinasi dengan Menteri.
Pasal 10
(1) Perguruan tinggi Keperawatan diselenggarakan oleh Pemerintah atau masyarakat sesuai
dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Perguruan tinggi Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan
tridarma perguruan
tinggi.

Pasal 11
(1) Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Keperawatan harus memenuhi Standar
Nasional Pendidikan
Keperawatan.
(2) Standar Nasional Pendidikan Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu
pada Standar
Nasional Pendidikan Tinggi.
(3) Standar Nasional Pendidikan Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
secara
bersama oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan,
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, asosiasi
institusi
pendidikan, dan Organisasi Profesi Perawat.
(4) Standar Nasional Pendidikan Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
Pasal 12
(1) Dalam rangka menjamin mutu lulusan, penyelenggara pendidikan tinggi Keperawatan
hanya dapat
menerima mahasiswa sesuai dengan kuota nasional.
(2) Ketentuan mengenai kuota nasional penerimaan mahasiswa diatur dengan Peraturan
Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan setelah berkoordinasi dengan
Menteri.
Pasal 13
(1) Institusi Pendidikan tinggi Keperawatan wajib memiliki dosen dan tenaga kependidikan.
(2) Dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari:
a. perguruan tinggi; dan
b. Wahana Pendidikan Keperawatan.
(3) Dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh pejabat yang
berwenang
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(4) Dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan
ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 14
(1) Dosen pada Wahana Pendidikan Keperawatan memberikan pendidikan serta melakukan
penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat dan pelayanan kesehatan.
(2) Dosen pada Wahana Pendidikan Keperawatan memiliki kesetaraan, pengakuan, dan angka
kredit yang
memperhitungkan kegiatan pelayanan kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesetaraan, pengakuan, dan angka kredit dosen pada
Wahana
Pendidikan Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 15
(1) Tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dapat berasal dari
pegawai negeri
dan/atau nonpegawai negeri.
(2) Tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan
sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 16
(1) Mahasiswa Keperawatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi harus mengikuti
Uji Kompetensi
secara nasional.
(2) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh perguruan
tinggi bekerja
sama dengan Organisasi Profesi Perawat, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang
terakreditasi.
(3) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan untuk mencapai standar
kompetensi
lulusan yang memenuhi standar kompetensi kerja.
(4) Standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun oleh Organisasi
Profesi Perawat
dan Konsil Keperawatan dan ditetapkan oleh Menteri.
(5) Mahasiswa pendidikan vokasi Keperawatan yang lulus Uji Kompetensi diberi Sertifikat
Kompetensi yang
diterbitkan oleh perguruan tinggi.
(6) Mahasiswa pendidikan profesi Keperawatan yang lulus Uji Kompetensi diberi Sertifikat
Profesi yang
diterbitkan oleh perguruan tinggi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Uji Kompetensi diatur dengan
Peraturan Menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.

BAB IV
REGISTRASI, IZIN PRAKTIK, DAN REGISTRASI ULANG
Bagian Kesatu
.hukumonline.com
Umum
Pasal 17
Untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu
pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh Perawat, Menteri dan Konsil Keperawatan bertugas melakukan
pembinaan dan
pengawasan mutu Perawat sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Bagian Kedua
Registrasi
Pasal 18
(1) Perawat yang menjalankan Praktik Keperawatan wajib memiliki STR.
(2) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Konsil Keperawatan setelah
memenuhi
persyaratan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. memiliki ijazah pendidikan tinggi Keperawatan;
b. memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji profesi; dan
e. membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
(4) STR berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi ulang setiap 5 (lima) tahun.
(5) Persyaratan untuk Registrasi ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
a. memiliki STR lama;
b. memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi;
e. telah mengabdikan diri sebagai tenaga profesi atau vokasi di bidangnya; dan
f. memenuhi kecukupan dalam kegiatan pelayanan, pendidikan, pelatihan, dan/atau kegiatan
ilmiah
lainnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf e
dan huruf f
diatur oleh Konsil Keperawatan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Registrasi dan Registrasi ulang diatur dalam
peraturan konsil
keperawatan.

Bagian Ketiga
Izin Praktik
www.hukumonline.com
Pasal 19
(1) Perawat yang menjalankan Praktik Keperawatan wajib memiliki izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIPP.
(3) SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Pemerintah Daerah
kabupaten/kota atas
rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat Perawat
menjalankan
praktiknya.
(4) Untuk mendapatkan SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Perawat harus
melampirkan:
a. salinan STR yang masih berlaku;
b. rekomendasi dari Organisasi Profesi Perawat; dan
c. surat pernyataan memiliki tempat praktik atau surat keterangan dari pimpinan Fasilitas
Pelayanan
Kesehatan.
(5) SIPP masih berlaku apabila:
a. STR masih berlaku; dan
b. Perawat berpraktik di tempat sebagaimana tercantum dalam SIPP.
Pasal 20
(1) SIPP hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.
(2) SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Perawat paling banyak untuk
2 (dua)
tempat.
Pasal 21
Perawat yang menjalankan praktik mandiri harus memasang papan nama Praktik
Keperawatan.
Pasal 22
SIPP tidak berlaku apabila:
a. dicabut berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
b. habis masa berlakunya;
c. atas permintaan Perawat; atau
d. Perawat meninggal dunia.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan diatur dalam Peraturan Menteri
Pasal 24
(1) Perawat Warga Negara Asing yang akan menjalankan praktik di Indonesia harus mengikuti
evaluasi
kompetensi.
(2) Evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. penilaian kelengkapan administratif; dan
b. penilaian kemampuan untuk melakukan praktik.
(3) Kelengkapan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling sedikit
terdiri atas:
a. penilaian keabsahan ijasah oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang
pendidikan;
b. surat keterangan sehat fisik dan mental; dan
c. surat pernyataan untuk mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
(4) Penilaian kemampuan untuk melakukan praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b dinyatakan
dengan surat keterangan telah mengikuti program evaluasi kompetensi dan Sertifikat
Kompetensi.
(5) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perawat Warga Negara Asing harus
memenuhi
persyaratan lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 25
(1) Perawat Warga Negara Asing yang sudah mengikuti proses evaluasi kompetensi
dan yang akan
melakukan praktik di Indonesia harus memiliki STR Sementara dan SIPP.
(2) STR sementara bagi Perawat Warga Negara Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku selama
1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang hanya untuk 1 (satu) tahun berikutnya.
(3) Perawat Warga Negara Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan Praktik
Keperawatan di
Indonesia berdasarkan atas permintaan pengguna Perawat Warga Negara Asing.
(4) Praktik Perawat Warga Negara Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditujukan untuk
meningkatkan
kapasitas Perawat Indonesia.
(5) SIPP bagi Perawat Warga Negara Asing berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang hanya
untuk 1 (satu) tahun berikutnya.
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan dan praktik Perawat Warga Negara Asing
diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
(1) Perawat warga negara Indonesia lulusan luar negeri yang akan melakukan Praktik
Keperawatan di
Indonesia harus mengikuti proses evaluasi kompetensi.
(2) Proses evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. penilaian kelengkapan administratif; dan
b. penilaian kemampuan untuk melakukan Praktik Keperawatan.
(3) Kelengkapan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling sedikit
terdiri atas:
a. penilaian keabsahan ijasah oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang pendidikan;
b. surat keterangan sehat fisik dan mental; dan
c. surat pernyataan untuk mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
(4) Penilaian kemampuan untuk melakukan praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b dilakukan
melalui Uji Kompetensi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(5) Perawat warga negara Indonesia lulusan luar negeri yang telah lulus Uji Kompetensi dan
akan melakukan
Praktik Keperawatan di Indonesia memperoleh STR.
(6) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan oleh Konsil Keperawatan sesuai
dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
(7) Perawat warga negara Indonesia lulusan luar negeri yang akan melakukan Praktik
Keperawatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memiliki SIPP sesuai dengan ketentuan undang-
undang ini.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara proses evaluasi kompetensi bagi Perawat warga
negara
Indonesia lulusan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.

BAB V
PRAKTIK KEPERAWATAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 28
(1) Praktik Keperawatan dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan tempat lainnya
sesuai dengan
Klien sasarannya.
(2) Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Praktik Keperawatan mandiri; dan
b. Praktik Keperawatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(3) Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada kode
etik, standar
pelayanan, standar profesi, dan standar prosedur operasional.
(4) Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada prinsip
kebutuhan pelayanan
kesehatan dan/atau Keperawatan masyarakat dalam suatu wilayah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebutuhan pelayanan kesehatan dan/atau Keperawatan
dalam suatu
wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang
Pasal 29
(1) Dalam menyelenggarakan Praktik Keperawatan, Perawat bertugas sebagai:
a. pemberi Asuhan Keperawatan;
b. penyuluh dan konselor bagi Klien;
c. pengelola Pelayanan Keperawatan;
d. peneliti Keperawatan;
e. pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang; dan/atau
f. pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.
(2) Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara bersama ataupun
sendiri-sendiri.
(3) Pelaksanaan tugas Perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan
secara
bertanggung jawab dan akuntabel.
Pasal 30
(1) Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang upaya
kesehatan perorangan,
Perawat berwenang:
a. melakukan pengkajian Keperawatan secara holistik;
b. menetapkan diagnosis Keperawatan;
c. merencanakan tindakan Keperawatan;
d. melaksanakan tindakan Keperawatan;
e. mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan;
f. melakukan rujukan;
g. memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai dengan kompetensi;
h. memberikan konsultasi Keperawatan dan berkolaborasi dengan dokter;
i. melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling; dan
j. melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada Klien sesuai dengan resep tenaga
medis atau
obat bebas dan obat bebas terbatas.
(2) Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang upaya
kesehatan masyarakat,
Perawat berwenang:
a. melakukan pengkajian Keperawatan kesehatan masyarakat di tingkat keluarga dan
kelompok
masyarakat;
b. menetapkan permasalahan Keperawatan kesehatan masyarakat;
c. membantu penemuan kasus penyakit;
d. merencanakan tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat;
e. melaksanakan tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat;
f. melakukan rujukan kasus;
g. mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat;
h. melakukan pemberdayaan masyarakat;
i. melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat;
j. menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan masyarakat;
k. melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling; .com
l. mengelola kasus; dan
m. melakukan penatalaksanaan Keperawatan komplementer dan alternatif.
Pasal 31
(1) Dalam menjalankan tugas sebagai penyuluh dan konselor bagi Klien, Perawat berwenang:
a. melakukan pengkajian Keperawatan secara holistik di tingkat individu dan keluarga serta di
tingkat
kelompok masyarakat;
b. melakukan pemberdayaan masyarakat;
c. melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat;
d. menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan masyarakat; dan
e. melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling.
(2) Dalam menjalankan tugasnya sebagai pengelola Pelayanan Keperawatan, Perawat
berwenang:
a. melakukan pengkajian dan menetapkan permasalahan;
b. merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi Pelayanan Keperawatan; dan
c. mengelola kasus.
(3) Dalam menjalankan tugasnya sebagai peneliti Keperawatan, Perawat berwenang:
a. melakukan penelitian sesuai dengan standar dan etika;
b. menggunakan sumber daya pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan atas izin pimpinan; dan
c. menggunakan pasien sebagai subjek penelitian sesuai dengan etika profesi dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 32
(1) Pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (1)
huruf e hanya dapat diberikan secara tertulis oleh tenaga medis kepada Perawat untuk
melakukan
sesuatu tindakan medis dan melakukan evaluasi pelaksanaannya.
(2) Pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara
delegatif atau
mandat.
(3) Pelimpahan wewenang secara delegatif untuk melakukan sesuatu tindakan medis diberikan
oleh tenaga
medis kepada Perawat dengan disertai pelimpahan tanggung jawab.
(4) Pelimpahan wewenang secara delegatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat
diberikan
kepada Perawat profesi atau Perawat vokasi terlatih yang memiliki kompetensi yang
diperlukan.
(5) Pelimpahan wewenang secara mandat diberikan oleh tenaga medis kepada Perawat untuk
melakukan
sesuatu tindakan medis di bawah pengawasan.
(6) Tanggung jawab atas tindakan medis pada pelimpahan wewenang mandat sebagaimana
dimaksud pada
ayat (5) berada pada pemberi pelimpahan wewenang.
(7) Dalam melaksanakan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1),
Perawat berwenang:
a. melakukan tindakan medis yang sesuai dengan kompetensinya atas pelimpahan wewenang
12 / 32
www.hukumonline.com
delegatif tenaga medis;
b. melakukan tindakan medis di bawah pengawasan atas pelimpahan wewenang mandat; dan
c. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan program Pemerintah.
Pasal 33
(1) Pelaksanaan tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (1)
huruf f merupakan penugasan Pemerintah yang dilaksanakan pada keadaan tidak adanya
tenaga medis
dan/atau tenaga kefarmasian di suatu wilayah tempat Perawat bertugas.
(2) Keadaan tidak adanya tenaga medis dan/atau tenaga kefarmasian di suatu wilayah tempat
Perawat
bertugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala Satuan Kerja Perangkat
Daerah
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan setempat.
(3) Pelaksanaan tugas pada keadaan keterbatasan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
dilaksanakan dengan memperhatikan kompetensi Perawat.
(4) Dalam melaksanakan tugas pada keadaan keterbatasan tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1),
Perawat berwenang:
a. melakukan pengobatan untuk penyakit umum dalam hal tidak terdapat tenaga medis;
b. merujuk pasien sesuai dengan ketentuan pada sistem rujukan; dan
c. melakukan pelayanan kefarmasian secara terbatas dalam hal tidak terdapat tenaga
kefarmasian.
Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan wewenang Perawat diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 35
(1) Dalam keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama, Perawat dapat melakukan
tindakan
medis dan pemberian obat sesuai dengan kompetensinya.
(2) Pertolongan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk
menyelamatkan nyawa Klien
dan mencegah kecacatan lebih lanjut.
(3) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan yang
mengancam nyawa
atau kecacatan Klien.
(4) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Perawat sesuai
dengan hasil
evaluasi berdasarkan keilmuannya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan
Peraturan Menteri.

BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Perawat
Pasal 36
Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan berhak:
a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar
pelayanan,
standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
b. memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur dari Klien dan/atau keluarganya.
c. menerima imbalan jasa atas Pelayanan Keperawatan yang telah diberikan;
d. menolak keinginan Klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode etik, standar
pelayanan, standar
profesi, standar prosedur operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
e. memperoleh fasilitas kerja sesuai dengan standar.
Pasal 37
Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan berkewajiban:
a. melengkapi sarana dan prasarana Pelayanan Keperawatan sesuai dengan standar
Pelayanan
Keperawatan dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
b. memberikan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan
Keperawatan, standar
profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
c. merujuk Klien yang tidak dapat ditangani kepada Perawat atau tenaga kesehatan lain yang
lebih tepat
sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya;
d. mendokumentasikan Asuhan Keperawatan sesuai dengan standar;
e. memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti mengenai
tindakan
Keperawatan kepada Klien dan/atau keluarganya sesuai dengan batas kewenangannya;
f. melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang sesuai
dengan
kompetensi Perawat; dan
g. melaksanakan penugasan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Klien
Pasal 38
Dalam Praktik Keperawatan, Klien berhak:
a. mendapatkan informasi secara, benar, jelas, dan jujur tentang tindakan Keperawatan yang
akan
dilakukan;
b. meminta pendapat Perawat lain dan/atau tenaga kesehatan lainnya;
c. mendapatkan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan
Keperawatan,
standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
d. memberi persetujuan atau penolakan tindakan Keperawatan yang akan diterimanya; dan
e. memperoleh keterjagaan kerahasiaan kondisi kesehatannya.
Pasal 39
(1) Pengungkapan rahasia kesehatan Klien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf e
dilakukan atas
dasar:
a. kepentingan kesehatan Klien;
b. pemenuhan permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum;
c. persetujuan Klien sendiri;
d. kepentingan pendidikan dan penelitian; dan
e. ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kesehatan Klien diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 40
Dalam Praktik Keperawatan, Klien berkewajiban:
a. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b. mematuhi nasihat dan petunjuk Perawat;
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

BAB VII
ORGANISASI PROFESI PERAWAT
Pasal 41
(1) Organisasi Profesi Perawat dibentuk sebagai satu wadah yang menghimpun Perawat
secara nasional dan
berbadan hukum.
(2) Organisasi Profesi Perawat bertujuan untuk:
a. meningkatkan dan/atau mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat, dan
etika
profesi Perawat; dan
b. mempersatukan dan memberdayakan Perawat dalam rangka menunjang pembangunan
kesehatan.
Pasal 42
Organisasi Profesi Perawat berfungsi sebagai pemersatu, pembina, pengembang, dan
pengawas Keperawatan
di Indonesia.

Pasal 43
Organisasi Profesi Perawat berlokasi di ibukota negara Republik Indonesia dan dapat
membentuk perwakilan di daerah.

BAB VIII
KOLEGIUM KEPERAWATAN
Pasal 44
(1) Kolegium Keperawatan merupakan badan otonom di dalam Organisasi Profesi Perawat.
(2) Kolegium Keperawatan bertanggung jawab kepada Organisasi Profesi Perawat.
Pasal 45
Kolegium Keperawatan berfungsi mengembangkan cabang disiplin ilmu Keperawatan dan
standar pendidikan
tinggi bagi Perawat profesi.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai Kolegium Keperawatan diatur oleh Organisasi Profesi
Perawat.

BAB IX
KONSIL KEPERAWATAN
Pasal 47
(1) Untuk meningkatkan mutu Praktik Keperawatan dan untuk memberikan pelindungan serta
kepastian
hukum kepada Perawat dan masyarakat, dibentuk Konsil Keperawatan.
(2) Konsil Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari Konsil
Tenaga
Kesehatan Indonesia.
Pasal 48
Konsil Keperawatan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 47 berkedudukan di ibukota negara
Republik Indonesia.
Pasal 49
(1) Konsil Keperawatan mempunyai fungsi pengaturan, penetapan, dan pembinaan Perawat
dalam
menjalankan Praktik Keperawatan.
(2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Konsil Keperawatan
memiliki tugas:
a. melakukan Registrasi Perawat;
b. melakukan pembinaan Perawat dalam menjalankan Praktik Keperawatan;
c. menyusun standar pendidikan tinggi Keperawatan;
d. menyusun standar praktik dan standar kompetensi Perawat; dan
e. menegakkan disiplin Praktik Keperawatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi dan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Konsil Keperawatan.
Pasal 50
Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Konsil Keperawatan
mempunyai wewenang:
a. menyetujui atau menolak permohonan Registrasi Perawat, termasuk Perawat Warga Negara
Asing;
b. menerbitkan atau mencabut STR;
c. menyelidiki dan menangani masalah yang berkaitan dengan pelanggaran disiplin profesi
Perawat;
d. menetapkan dan memberikan sanksi disiplin profesi Perawat; dan
e. memberikan pertimbangan pendirian atau penutupan Institusi Pendidikan Keperawatan.
Pasal 51
Pendanaan untuk pelaksanaan kegiatan Konsil Keperawatan dibebankan kepada anggaran
pendapatan dan
belanja negara dan sumber lain yang tidak mengikat sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.

Pasal 52
(1) Keanggotaan Konsil Keperawatan terdiri atas unsur Pemerintah, Organisasi Profesi
Keperawatan,
Kolegium Keperawatan, asosiasi Institusi Pendidikan Keperawatan, asosiasi Fasilitas
Pelayanan
Kesehatan, dan tokoh masyarakat.
(2) Jumlah anggota Konsil Keperawatan paling banyak 9 (sembilan) orang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, pengangkatan, pemberhentian, dan
keanggotaan
Konsil Keperawatan diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB X
PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PENGAWASAN
Pasal 53
(1) Pengembangan Praktik Keperawatan dilakukan melalui pendidikan formal dan pendidikan
nonformal atau
pendidikan berkelanjutan.
(2) Pengembangan Praktik Keperawatan bertujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan
keprofesionalan Perawat.
(3) Pendidikan nonformal atau pendidikan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditempuh
setelah menyelesaikan pendidikan Keperawatan.
(4) Dalam hal meningkatkan keprofesionalan Perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan dalam
memenuhi kebutuhan pelayanan, pemilik atau pengelola Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus
memfasilitasi Perawat untuk mengikuti pendidikan berkelanjutan.
(5) Pendidikan nonformal atau pendidikan berkelanjutan dapat diselenggarakan oleh
Pemerintah, Pemerintah
Daerah, Organisasi Profesi Perawat, atau lembaga lain yang terakreditasi sesuai dengan
ketentuan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
(6) Pendidikan nonformal atau pendidikan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan
sesuai dengan kebutuhan Praktik Keperawatan yang didasarkan pada standar pelayanan,
standar profesi,
dan standar prosedur operasional.
Pasal 54
Pendidikan Keperawatan dibina oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang
pendidikan dan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang
kesehatan.
Pasal 55
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Konsil Keperawatan, dan Organisasi Profesi membina dan
mengawasi Praktik
Keperawatan sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing.
Pasal 56
Pembinaan dan pengawasan Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55
diarahkan untuk:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Keperawatan;
b. melindungi masyarakat atas tindakan Perawat yang tidak sesuai dengan standar; dan
c. memberikan kepastian hukum bagi Perawat dan masyarakat.
Pasal 57
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan Praktik Keperawatan yang
dilakukan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Konsil Keperawatan, dan Organisasi Profesi sebagaimana
dimaksud pada
Pasal 55 diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 58
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1), Pasal 21, Pasal 24 ayat (1), dan
Pasal 27 ayat
(1) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. teguran lisan;
b. peringatan tertulis;
c. denda administratif; dan/atau
d. pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 59
STR dan SIPP yang telah dimiliki oleh Perawat sebelum Undang-Undang ini diundangkan
dinyatakan tetap
berlaku sampai jangka waktu STR dan SIPP berakhir.
Pasal 60
Selama Konsil Keperawatan belum terbentuk, permohonan untuk memperoleh STR yang
masih dalam proses
diselesaikan dengan prosedur yang berlaku sebelum Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 61
Perawat lulusan sekolah perawat kesehatan yang telah melakukan Praktik Keperawatan
sebelum Undang-
Undang ini diundangkan masih diberikan kewenangan melakukan Praktik Keperawatan untuk
jangka waktu 6
(enam) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 62
Institusi Pendidikan Keperawatan yang telah ada sebelum Undang-Undang ini diundangkan
harus
menyesuaikan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 paling lama 3 (tiga) tahun
setelah Undang-
Undang ini diundangkan.
Pasal 63
Konsil Keperawatan dibentuk paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal 64
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang
mengatur mengenai
Keperawatan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti
berdasarkan
Undang-Undang ini.
Pasal 65
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun
terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 66
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 17 Oktober 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 17 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 307
UNDANG-UNDANG NO. 40 TH 2004
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2004
TENTANG
SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin
seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
2. Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program
jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggaraan jaminan sosial.
3. Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib
yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi
yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.
4. Tabungan wajib adalah simpanan yang bersifat wajib bagi peserta program
jaminan sosial.
5. Bantuan iuran adalah iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin dan
orang mampu sebagai peserta program jaminan sosial.
6. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial.
7. Dana Jaminan Sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan
himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh Badan
Penyelenggaraan Jaminan Sosial untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan
pembiayaan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial.
8. Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6
(enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.
9. Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau anggota
keluarganya.
10. Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta, pemberi
kerja, dan/atau Pemerintah.
11. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau
imbalan dalam bentuk lain.
12. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau
badanbadan
lainnya yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah
atau imbalan dalam bentuk lainnya.
13. Gaji atau upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja ditetapkan dan dibayar
menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,
termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan /atau
jasa yang telah atau akan dilakukan.
14. Kecelakaan kerja adalah kecelakaaan yang terjadi dalam hubungan kerja,
termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat
kerja atau sebaliknya, dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
15. Cacat adalah keadaan berkurangnya atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya
anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan
berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk menjalankan pekerjaannya.
16. Cacat total tetap adalah cacat yang mengakibatkan ketidakmampuan seseorang
untuk melakukan pekerjaan.

BAB III
ASAS, TUJUAN, DAN PRINSIP PENYELENGGARAAN
Pasal 2
Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas
manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 3
Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya
kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.
Pasal 4
Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan pada prinsip :
a. kegotong-royongan;
b. nirlaba;
c. keterbukaan;
d. kehati-hatian;
e. akuntabilitas;
f. portabilitas;
g. kepesertaan bersifat wajib;
h. dan amanat , dan
i. hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk
pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

BAB III
BADAN PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL
Pasal 5
1. Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial harus dibentuk dengan Undang-Undang.
2. Sejak berlakunya Undang-Undang ini, badan penyelenggara jaminan sosial yang
ada dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menurut Undang-
Undang ini.
3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah:
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK);
b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri
(TASPEN);
c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ASABRI); dan
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES);
4. Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain dimaksud pada
ayat (3), dapat dibentuk yang baru dengan Undang-Undang.

BAB IV
DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL
Pasal 6
Untuk penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional dengan Undang-Undang ini
dibentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional.
Pasal 7
1. Dewan Jaminan Sosial Nasional bertanggung jawab kepada Presiden.
2. Dewan Jaminan Sosial nasional berfungsi merumuskan kebijakan umum dan
sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional.
3. Dewan Jaminan Sosial Nasional bertugas :
a. melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan
jaminan sosial;
b. mengusulkan kebijakan investasi dana Jaminan Sosial nasional ; dan
c. mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan
tersedianya anggaran operasional kepada Pemerintah.
4. Dewan Jaminan Sosial Nasional berwenang melakukan monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan program jaminan sosial.
Pasal 8
1. Dewan Jaminan Sosial Nasional beranggotakan 15 (lima belas) orang, yang terdiri
dari unsur Pemerintah, tokoh dan / atau ahli yang memahami bidang jaminan sosial,
organisasi pemberi kerja, dan organisasi pekerja.
2. Dewan Jaminan Sosial Nasional dipimpin oleh Ketua merangkap anggota dan
anggota lainnya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
3. Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berasal dari unsur Pemerintah.
4. Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Jaminan Sosial Nasional dibantu oleh
Sekretariat Dewan yang dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat dan
diberhentikan oleh Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional .
5. Masa jabatan anggotan Dewan Jaminan Sosial Nasional adalah 5 (lima) tahun, dan
dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.
6. Untuk dapat diangkat menjadi anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Warga Negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berkelakuan baik;
e. berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 60
(enam puluh) tahun pada saat menjadi anggota;
f. lulusan pendidikan paling rendah jenjang strata 1 (satu);
g. memiliki keahlian di bidang jaminan sosial;
h. memiliki kepedulian terhadap bidang jaminan sosial; dan
i. tidak pernah dipidana berdasarkan keputusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 9
Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Jaminan Sosial Nasional dapat meminta
masukkan dan bantuan tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 10
Susunan organisasi dan tata kerja Dewan Jaminan Sosial Nasional sebagaimana
dimaksud dalam Paal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan
Peraturan
Presiden.
Pasal 11
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional dapat berhenti atau diberhentikan sebelum
berakhir masa jabatan karena :
a. meninggal dunia;
b. berhalangan tetap;
c. mengundurkan diri;
d. tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6).
Pasal 12
1. Untuk pertama kali, Ketua dan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional
diusulkan oleh Menteri yang bidang tugasnya meliputi kesejahteraan sosial.
2. Tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan
Jaminan Sosial Nasional diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.

BAB V
KEPESERTAAN DAN IURAN
Pasal 13
1. Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjaannya
sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan
program jaminan sosial yang diikuti.
2. Pentahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Presiden.
Pasal 14
1. Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta
kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
2. Penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fakir miskin
dan orang tidak mampu.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat(2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Wajib memberikan nomor idntitas tunggal
kepada setiap peserta dan anggota keluarganya.
2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan informasi tentang hak
dan kewajiban kepada peserta untuk mengikuti ketentuan yang berlaku.
Pasal 16
Setiap peserta berhak memperoleh manfaat dan informasi tentang pelaksanaan program
jaminan sosial yang diikuti.
Pasal 17
1. Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan
persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.
2. Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran
yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.
3. Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan
untuk setiap jenis program secara berkala sesuai degan perkembangan sosial,
ekonomi dan kebutuhandasar hidup yang layak.
4. Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu
dibayar oleh Pemerintah.
5. Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayar oleh
Pemerintah untuk program jaminan kesehatan.
6. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
PROGRAM JAMINAN SOSIAL
Bagian Kesatu
Jenis Program Jaminan Sosial
Pasal 18
Jenis program jaminan sosial meliputi :
a. jaminan kesehatan;
b. jaminan kecelakaan kerja;
c. jaminan hari tua;
d. jaminan pensiun; dan
e. jaminan kematian.

Bagian Kedua
Jaminan Kesehatan
Pasal 19
1. Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi
sosial dan prinsip ekuitas.
2. Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan.
Pasal 20
1. Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau
iurannya dibayar oleh Pemerintah.
2. Anggota keluarga peserta berhak menerima manfaat jaminan kesehatan.
3. Setiap peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain menjadi
tanggungannya dengan penambahan iuran.
Pasal 21
1. Kepesertaan jaminan kesehatan tetap berlaku paling lama 6 (enam) bulan sejak
seorang peserta mengalami pemutusan hubungan kerja.
2. Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 6 (enam) bulan belum
memperoleh pekerjaaan dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh Pemerintah.
3. Peserta yang mengalami cacat total tetap dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh
Pemerintah.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Presiden.
Pasal 22
1. Manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan
kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif,
termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan.
2. Untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan,
peserta dikenakan urun biaya.
3. Ketentuan mengenai pelayanan kesehatan dan urun biaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Pasal 23
1. Manfaat jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 diberikan
pada fasilitas kesehatan milik Pemerintah atau swasta yang menjalin kerjasama
dengan Badan Penelenggara Jaminan Sosial.
2. Dalam keadaan darurat, pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
diberikan pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
3. Dalam hal di suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi
syarat guna memenuhi kebutuhan medik sejumlah peserta, Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial wajib memberikan Kompensasi.
4. Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan
di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Presiden.
Pasal 24
1. Besarnya pembayaran kepada fasilitas kesehatan untuk setiap wilayah ditetapkan
berdasarkan kesepakatan antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan asosiasi
fasilitas kesehatan di wilayah tersebut.
2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib membayar fasilitas kesehatan atas
pelayanan yang diberikan kepada peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak
permintaan pembayaran diterima.
3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengembangkan sistem pelayanan
kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan,
kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
Pasal 25
Daftar dan harga tertinggi obat-obatan, serta bahan medis habis pakai yang dijamin
oleh
Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundangundangan.
Pasal 26
Jenis-jenis pelayanan yang tidak dijamin Badan Penyelenggara Jaminan Sosial akan
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Pasal 27
1. Besarnya jaminan kesehatan untuk peserta penerima upah ditentukan berdasarkan
persentase dari upah sampai batas tertentu, yang secara bertahap ditanggung
bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.
2. Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk peserta yang tidak menerima upah
ditentukan berdasarkan nominal yang ditinjau secara berkala.
3. Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk penerima bantuan iuran ditentukan
berdasarkan nominal yang ditetapkan secara berkala.
4. Batas upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditinjau secara berkala.
5. Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta
batas upah sebagaimana pada ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Presiden.
Pasal 28
1. Pekerja yang memiliki anggota keluarga lebih dari 5 (lima) orang dan ingin
mengikutsertakan anggota keluarga yang wajib membayar tambahan iuran.
2. Tambahan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Presiden.

Bagian Ketiga
Jaminan kecelakaan Kerja
Pasal 29
1. Jaminan kecelakaan kerja diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip
asuransi sosial.
2. Jaminan kecelakaan kerja adalah seseorang yang telah membayar iuran.

Pasal 30
Peserta jaminan kecelakaan kerja adalah seseorang yang telah membayar iuran.
Pasal 31
1. Peserta yang mengalami kecelakaan kerja berhak mendapatkan manfaat berupa
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya dan mendapatkan
manfaat berupa uang tunai apabila terjadi cacat total tetap atau meninggal dunia.
2. Manfaat jaminan kecelakaan kerja yang berupa uang tunai diberikan sekaligus
kepada ahli waris pekerja yang meninggal dunia atau pekerja yang cacat sesuai
dengan tingkat kecacatan.
3. Untuk jenis-jenis pelayanan tertentu atau kecelakaan tertentu, pemberi kerja
dikenakan urun biaya.
Pasal 32
1. Manfaat jaminan kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)
iberikan pada fasilitas kesehatan milik Pemerintah atau swasta yang memenuhi
syarat dan menjalin kerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
2. Dalam keadaan darurat, pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diberkan pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
3. Dalam hal kecelakaan kerja terjadi disuatu daerah yang belum tersedia fasilitas
kesehatan yang memenuhi syarat, maka guna memenuhi kebutuhan medis bagi
peserta, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan kompensasi.
4. Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas perawatan
di rumah sakit diberikan kelas standar.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya manfaat uang tunai, hak ahli waris,
kompensasi, dan pelayanan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
1. Besarnya iuran jaminan kecelakaan kerja adalah sebesar persentase tertentu dari
upah atau penghasilan yang ditanggung seluruhnya oleh pemberi kerja.
2. Besarnya iuran jaminan kecelakaan kerja untuk peserta yang tidak menerima upah
adalah jumlah nominal yang ditetapkan secara berkala oleh Pemerintah.
3. Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bervariasi untuk setiap
kelompok pekerja sesuai dengan risiko lingkungan kerja.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Jaminan Hari Tua
Pasal 35
1. Jaminan hari tua diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi
sosial atau tabungan wajib.
2. Jaminan hari tua diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar peserta
menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total
tetap, atau meninggal dunia.
Pasal 36
Peserta jaminan hari tua adalah peserta yang telah membayar iuran.
Pasal 37
1. Manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai dibayarkan sekaligus pada saat
peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total
tetap.
2. Besarnya manfaat jaminan hari tua ditentukan berdasarkan seluruh akumulasi
iuran yang telah disetorkan ditambah hasil pengembangannya.
3. Pembayaran manfaat jaminan hari tua dapat diberikan sebagian sampai batas
tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 (sepuluh) tahun.
4. Apabila peserta meninggal dunia, ahli warisnya yang sah berhak menerima
manfaat jaminan hari tua.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 38
1. Besarnya iuran jaminan hari tua untuk peserta penerima upah ditetapkan
berdasarkan persentase tertentu dari upah atau penghasilan tertentu yang
ditanggung bersama oleh pemberi kerja dan pekerja
2. Besarnya iuran jaminan hari tua untuk peserta yang tidak menerima upah
ditetapkan berdasarkan jumlah nominal yang ditetapkan berdasarkan jumlah
nominal yang ditetapkan secara berkala.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Jaminan Pensiun
Pasal 39
1. Jaminan pensiun diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi
sosial atau tabungan wajib.
2. Jaminan pensiun diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang
layak pada saat peserta kehilangan atau berkurang penghasilannya karena
memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap.
3. Jaminan pensiun diselenggarakan berdasarkan manfaat pasti.
4. Usia pensiun ditetapkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 40
Peserta jaminan pensiun adalah pekerja yang telah membayar iuran.
Pasal 41
1. Manfaat jaminan pensiun berwujud uang tunai yang diterima setiap bulan sebagai:
a. Pensiun hari tua, diterima peserta setelah pensiun sampai meninggal
dunia;
b. Pensiun cacat, diterima peserta yang cacat akibat kecelakaan atau akibat
penyakit sampai meninggal dunia;
c. Pensiun janda/duda,diterima janda/duda ahli waris peserta sampai
meninggal dunia atau menikah lagi;
d. Pensiun anak, diterima anak ahli waris peserta sampai mencapai 23 (dua
puluh tiga) tahun, bekerja, atau menikah; atau
e. Pensiun orang tua, diterima orang tua ahli waris peserta lajang sampai
batas waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Setiap peserta atau ahli warisnya berhak mendapatkan pembayaran uang pensiun
berkala setiap bulan setelah memenuhi masa iuran minimal 15 (lima belas) tahun,
kecuali ditetapkan lain oleh peraturan perundang-undangan.
3. Manfaat jaminan pensiun dibayarkan kepada peserta yang telah mencapai usia
pensiun sesuai formula yang ditetapkan.
4. Apabila peserta meninggal dunia masa iur 15 (lima belas) tahun ahli warisnya
tetap berhak ,mendapatkan manfaat jaminan pensiun.
5. Apabila peserta mencapai usia pensiun sebelum memenuhi masa iur (lima belas)
tahun, peserta tersebut berhak mendapatkan seluruh akumulasi iurannya ditambah
hasil pengembangannya.
6. Hak ahli waris atas manfaat pensiun anak berakhir apabila anak tersebut menikah,
bekerja tetap, atau mencapai usia 23 (dua puluh tiga) tahun.
7. Manfaat pensiun cacat dibayarkan kepada peserta yang mengalami cacat total
tetap meskipun peserta tersebut belum memasuki usia pensiun.
8. Ketentuan mengenai manfaat pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Pasal 42
1. Besarnya iuran jaminan pensiun untuk peserta penerima upah ditentukan
berdasarkan persentase tertentu dari upah atau penghasilan atau suatu jumlah
nominal tertentu yang ditanggung bersama antara pemberi kerja dan pekerja.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Jaminan Kematian
Pasal 43
1. Jaminan kematian diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi
sosial.
2. Jaminan kematian diselenggarakan dengan tujuan untuk memberikan santunan
kematian yang dibayarkan kepada ahli waris peserta yang meninggal dunia.
Pasal 44
Peserta jaminan kematian adalah setiap orang yang telah membayar iuran.
Pasal 45
1. Manfaat jaminan kematian berupa uang tunai dibayarkan paling lambat 3 (tiga)
hari kerja setelah klaim diterima dan disetujui Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial.
2. Besarnya manfaat jaminan kematian ditetapkan berdasarkan suatu jumlah nominal
tertentu.
3. Ketentuan mengenai manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 46
1. Iuran jaminan kematian ditanggung oleh pemberi kerja.
2. Besarnya iuran jaminan kematian bagi peserta penerima upah ditentukan
berdasarkan persentase tertentu dari upah atau penghasilan.
3. Besarnya iuran jaminan kematian bagi peserta bukan penerima upah ditentukan
berdasarkan jumlah nominal tertentu dibayar oleh peserta.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VII
PENGELOLAAN DANA JAMINAN SOSIAL
Pasal 47
1. Dana Jaminan Sosial wajib dikelola dan dikembangkan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial secara optimal dengan mempertimbangkan aspek
likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.
2. Tata cara pengelolaan dan pengembangan Dana Jaminan Sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya
tingkat kesehatan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Pasal 49
1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengelola pembukuan sesuai dengan
standar akuntasi yang berlaku.
2. Subsidi silang antar program dengan membayarkan manfaat suatu program dari
dana prgram lain yang tidak diperkenankan.
3. Pesera berhak setiap saat memperoleh infromasi tentang akumulasi iuran dan hasil
pengembangannya serta manfaat dari jenis program jaminan hari tua, jaminan
pensiun, dan jaminan kematian.
4. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan informasi skumulasi
iuran berikut hasil pengembangannya kepada setiap peserta jaminan hari tua
sekurang-kurangnya sekali alam satu tahun.
Pasal 50
1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib membentuk cadangan teknis sesuai
dengan standar praktek aktuaria yang lazim dan berlaku umum.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 51
Pengawasan terhadap pengelolaan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
dilakukan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundangan-
undangan.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52
1. Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku :
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36
Tahun 1995 tentang Penetapan Badan penyelenggara Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 59), berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja ( Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3468);
b. Perusahaan perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai
Negeri (TASPEN) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26
tahun 1981 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan
dan Asuransi Pegawai Negeri Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 38),
berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang pensiun
Pegawai dan pensiun Janda/Duda Pegawai (Lembaran Negara Nomor
2906), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun1974 Nomor
55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3014) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3890), dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang
Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3200);
c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ASABRI) yang dibentuk dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 68 Tahun 1991 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan
Umum (Perum) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
menjadi Perusahaan perseroan (persero) (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1991 Nomor 88);
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES)
yang dibentuk denganPeraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992 tentang
Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Husada Bhakti menjadi
Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 16);
tetap berlaku sepanjang belum disesuaikan dengan Undang-Undang ini.
2. Semua ketentuan yang mengatur mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan Undang-Undang ini
paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 53
Undang-Undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd

PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN


TINGGI TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI
RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI NOMOR 26
TAHUN 2015 TENTANG REGISTRASI PENDIDIK PADA
PERGURUAN TINGGI.
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 26 Tahun 2015
Registrasi Pendidik pada Perguruan Tinggi, sebagai berikut:
1. Mengubah ketentuan Pasal 1 angka 5, sehingga Pasal 1
berbunyi:
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan
tugas utama mentransformasikan, mengembangkan,
dan menyebarluaskan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
melalui Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada
Masyarakat.
2. Dosen Tetap adalah dosen yang bekerja penuh waktu
yang berstatus sebagai tenaga pendidik tetap pada
satuan pendidikan tinggi tertentu.
3. Dosen Tidak Tetap adalah dosen yang bekerja paruh
waktu yang berstatus sebagai tenaga pendidik tidak
tetap pada satuan pendidikan tinggi tertentu.
4. Dosen dengan perjanjian kerja adalah dosen yang
direkrut dengan perjanjian kerja minimal 2 (dua) tahun
dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan.
5. Instruktur adalah pendidik yang menekankan
pembinaan pada penguasaan aspek ketrampilan di
perguruan tinggi.
6. Tutor adalah pendidik yang diangkat untuk membantu
dosen dan berfungsi memfasilitasi belajar mahasiswa
dalam sistem pendidikan tinggi.
7. Praktisi adalah seseorang professional yang
mempraktekkan keahlian tertentu sesuai dengan
bidang ilmunya.
8. Operator adalah orang yang bertanggung jawab secara
teknis dalam proses pengusulan dan validasi berkas
registrasi pendidik.
9. Purna Tugas adalah seseorang yang sudah
menyelesaikan masa tugas formal di tempat kerjanya.
10. Pemohon adalah pemimpin perguruan tinggi.
11. Nomor Induk Dosen Nasional, yang selanjutnya
disingkat dengan NIDN adalah nomor induk yang
diterbitkan oleh Kementerian untuk dosen yang bekerja
penuh waktu dan tidak sedang menjadi pegawai pada
satuan adminstrasi pangkal/instansi yang lain.
12. Nomor Induk Dosen Khusus yang selanjutnya disingkat
dengan NIDK adalah nomor induk yang diterbitkan oleh
Kementerian untuk dosen/instruktur yang bekerja
paruh waktu atau dosen yang bekerja penuh waktu
tetapi satuan administrasi pangkalnya di instansi lain
dan diangkat perguruan tinggi berdasarkan perjanjian
kerja.
13. Nomor Urut Pendidik yang selanjutnya disingkat
dengan NUP adalah nomor urut yang diterbitkan oleh
Kementerian untuk Dosen, Instruktur, dan Tutor yang
tidak memenuhi syarat diberikan NIDN atau NIDK.
14. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Sumber
Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi.
15. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Sumber
Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi.
16. Kementerian adalah Kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
Pendidikan Tinggi.
17. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Pendidikan Tinggi.
2. Mengubah ketentuan Pasal 4, sehingga Pasal 4 berbunyi:
Pasal 4
Persyaratan untuk memperoleh NIDN sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1):
a. warga negara Indonesia;
b. telah diangkat sebagai Dosen Tetap perguruan tinggi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
c. memiliki kualifikasi akademik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
d. aktif melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi;
e. berusia paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun
pada saat diangkat sebagai Dosen Tetap;
f. sehat jasmani dan rohani; dan
g. tidak menyalahgunakan narkotika.
3. Mengubah ketentuan Pasal 6, sehingga Pasal 6 berbunyi:
Pasal 6
(1) NIDK diberikan kepada Dosen yang diangkat
perguruan tinggi berdasarkan perjanjian kerja setelah
memenuhi persyaratan.
(2) Dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berasal dari Pegawai Negeri Sipil, Tentara Nasional
Indonesia, Polisi Republik Indonesia, perekayasa,
peneliti, praktisi, atau dosen purna tugas.
(3) Dosen yang memiliki NIDK diperhitungkan dalam
nisbah dosen terhadap mahasiswa.
(4) NIDK diberikan kepada Dosen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) selain dosen purna tugas
berlaku sampai dengan dosen tersebut mencapai
usia:
a. 70 (tujuh puluh) tahun untuk Profesor; dan
b. 65 (enam puluh lima) tahun untuk dosen selain
Profesor.
(5) NIDK bagi Profesor sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf a dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5
(lima) tahun dan dapat diperpanjang lagi paling
banyak 2 (dua) kali masing-masing untuk jangka
waktu 2 (dua) tahun.
(6) NIDK bagi Dosen selain Profesor sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf b dapat diperpanjang
untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
(7) Dosen yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil,
Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik
Indonesia, perekayasa, peneliti, dan praktisi
sebagimana dimaksud pada ayat (2) dapat
memperoleh NIDK pertama kali setelah 2 (dua) tahun
bekerja di institusinya.
(8) NIDK bagi dosen purna tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diberikan dalam rentang usia:
a. 70 (tujuh puluh) - 78 (tujuh puluh delapan) tahun
bagi dosen purna tugas dengan jabatan akademik
terakhir profesor; dan
b. 65 (enam puluh lima) - 69 (enam puluh sembilan)
tahun bagi dosen purna tugas dengan jabatan
akademik terakhir selain profesor.
(9) NIDK bagi Dosen purna tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) berlaku sampai dengan usia:
a. 79 (tujuh puluh sembilan) tahun bagi dosen
dengan jabatan akademik terakhir profesor;
b. 70 (tujuh puluh) tahun bagi dosen dengan jabatan
akademik terakhir selain profesor.
(10) Perpanjangan NIDK sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), dan ayat (6) dilakukan dengan melampirkan:
a. perjanjian kerja dengan perguruan tinggi; dan
b. surat keterangan sehat jasmani dan rohani dari
rumah sakit.
(11) Dalam hal Dosen pindah perguruan tinggi, NIDK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berlaku.
-8-
4. Mengubah ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a, sehingga
Pasal 7 berbunyi:
Pasal 7
(1) Persyaratan untuk memperoleh NIDK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1):
a. telah diangkat sebagai Dosen oleh perguruan tinggi
berdasarkan perjanjian kerja;
b. memiliki kualifikasi akademik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. sehat jasmani dan rohani; dan
d. tidak menyalahgunakan narkotika.
(2) Dosen yang berkewarganegaraan asing dapat
memperoleh NIDK sesuai dengan persyaratan.
(3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), bagi Dosen yang berkewarganegaraan asing
berlaku persyaratan khusus sebagai berikut:
a. memiliki izin kerja di Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. memiliki jabatan akademik paling rendah associate
professor; dan
c. paling sedikit memiliki 3 (tiga) publikasi
internasional dalam jurnal internasional bereputasi.
5. Diantara Pasal 8 dengan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) Pasal,
yaitu Pasal 8A, sehingga Pasal 8A berbunyi:
Pasal 8A
Pembiayaan Dosen NIDK menjadi tanggung jawab
perguruan tinggi pengguna.
6. Mengubah ketentuan Pasal 11, sehingga Pasal 11 berbunyi:
Pasal 11
Persyaratan Memperoleh NIDN, NIDK, dan NUP, Kualifikasi
dan Komposisi NIDN dan NIDK, Tata Cara dan Proses
Registrasi, serta Nomor Registrasi Pendidik di Perguruan
Tinggi tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
7. Diantara Bab IV dengan Bab V disisipkan 1 (satu) Bab, yaitu
Bab IVA dan diantara Pasal 12 dengan Pasal 13 disisipkan 2
(dua) pasal, yaitu Pasal 12A dan Pasal 12B, sehingga Bab
IVA dan Pasal 12A serta Pasal 12B berbunyi:

BAB IVA
HAK DOSEN YANG MEMILIKI NIDN, NIDK, DAN NUP
Pasal 12A
(1) Hak Dosen yang memiliki NIDN, yaitu:
a. memperoleh gaji dan tunjangan;
b. mengusulkan jabatan akademik;
c. mengusulkan atau diusulkan untuk menempati
jabatan struktural/ tugas tambahan;
d. mengajukan beasiswa;
e. mengajukan sertifikasi dosen;
f. mengikuti pembinaan/peningkatan kompetensi;
g. dihitung sebagai rasio dosen terhadap mahasiswa;
dan
h. dihitung dalam pembukaan dan pelaksanaan
program studi.
(2) Hak Dosen yang memiliki NIDK, yaitu:
a. untuk dosen PTN berhak:
1. memperoleh honor dan/atau tunjangan sesuai
Perjanjian Kerja;
2. mengusulkan jabatan akademik;
3. mengusulkan atau diusulkan untuk menempati
jabatan struktural/tugas tambahan;
4. mengikuti pembinaan/peningkatan kompetensi;
dan
5. dihitung sebagai rasio dosen terhadap
mahasiswa.
b. untuk dosen PTS berhak:
1. memperoleh honor dan/atau tunjangan;
2. mengusulkan jabatan akademik;
3. mengusulkan atau diusulkan untuk menempati
jabatan struktural/tugas tambahan;
4. mengajukan beasiswa;
5. mengikuti pembinaan/peningkatan kompetensi;
dan
6. dihitung sebagai rasio dosen terhadap
mahasiswa.
(3) Hak Dosen yang memiliki NUP, yaitu:
a. memperoleh honor dan/atau tunjangan; dan
b. mengikuti pembinaan/peningkatan kompetensi.
Pasal 12B
(1) Pembiayaan bagi Dosen PNS atau PPPK yang memiliki
NIDN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A ayat (1)
huruf a sampai dengan huruf f dibiayai dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Penerimaan
Negara Bukan Pajak pada perguruan tinggi pengguna.
(2) Pembiayaan bagi Dosen yang diangkat pemimpin PTS/
ketua yayasan yang memiliki NIDN sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12A ayat (1) huruf a sampai
dengan huruf c dibiayai dari perguruan tinggi/yayasan
pengguna.
(3) Pembiayaan bagi Dosen yang diangkat pemimpin PTS/
ketua yayasan yang memiliki NIDN sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12A ayat (1) huruf d sampai
dengan huruf f dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
(4) Pembiayaan bagi Dosen PTN yang memiliki NIDK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A ayat (2) huruf
a angka 1 sampai dengan angka 4 dari masing-masing
perguruan tinggi pengguna melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara/Bantuan Operasional
Perguruan Tinggi Negeri/Block Grant/Penerimaan
Negara Bukan Pajak atau sumber lain yang sah.
(5) Pembiayaan bagi Dosen PTS yang memiliki NIDK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A ayat (2) huruf
b angka 1 sampai dengan angka dari masing-masing
perguruan tinggi pengguna.
(6) Pembiayaan bagi Dosen PTS yang memiliki NIDK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A ayat (2) huruf
b angka 5 dapat dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
(7) Pembiayaan bagi Dosen NUP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12A ayat (3) dibiayai dari masing-masing
perguruan tinggi pengguna.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi,
TTD.
Ani Nurdiani Azizah
NIP. 195812011985032001u
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2016
MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN
PENDIDIKAN TINGGI
REPUBLIK INDONESIA,
TTD.
MOHAMAD NASIR
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Januari 2016
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD.
WIDODO EKATJAHJANA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 35 TAHUN 2009
TENTANG
NARKOTIKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis,
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang
ini.
2. Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau
bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan
Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana
terlampir dalam Undang-Undang ini.
3. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan,
mengolah, membuat, dan menghasilkan Narkotika secara
langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau nonekstraksi
dari sumber alami atau sintetis kimia atau
gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah
bentuk Narkotika.
4. Impor adalah kegiatan memasukkan Narkotika dan
Prekursor Narkotika ke dalam Daerah Pabean.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
5. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Narkotika dan
Prekursor Narkotika dari Daerah Pabean.
6. Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika
adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang
ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika.
7. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan untuk
mengimpor Narkotika dan Prekursor Narkotika.
8. Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan untuk
mengekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika.
9. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan memindahkan Narkotika dari satu tempat ke
tempat lain dengan cara, moda, atau sarana angkutan apa
pun.
10. Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk
badan hukum yang memiliki izin untuk melakukan
kegiatan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran
sediaan farmasi, termasuk Narkotika dan alat kesehatan.
11. Industri Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan
hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan
produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk
Narkotika.
12. Transito Narkotika adalah pengangkutan Narkotika dari
suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di
wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat kantor
pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan.
13. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan
ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun
psikis.
14. Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai
oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara
terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar
menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya
dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba,
menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
15. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan
Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
16. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan
pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu
dari ketergantungan Narkotika.
17. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan
pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun
sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
18. Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau
lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk
melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta
melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi,
memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi
kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan suatu
tindak pidana Narkotika.
19. Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan
penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap
pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan
komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat
komunikasi elektronik lainnya.
20. Kejahatan Terorganisasi adalah kejahatan yang dilakukan
oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 3
(tiga) orang atau lebih yang telah ada untuk suatu waktu
tertentu dan bertindak bersama dengan tujuan melakukan
suatu tindak pidana Narkotika.
21. Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang
dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
22. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.

BAB II
DASAR, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Undang-Undang tentang Narkotika berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Undang-Undang tentang Narkotika diselenggarakan
berasaskan:
a. keadilan;
b. pengayoman;
c. kemanusiaan;
d. ketertiban;
e. perlindungan;
f. keamanan;
g. nilai-nilai ilmiah; dan
h. kepastian hukum.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 4
Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan:
a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa
Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;
c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika; dan
d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial
bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.

BAB III
RUANG LINGKUP
Pasal 5
Pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini meliputi
segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan
dengan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 6
(1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
digolongkan ke dalam:
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
(2) Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 7
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pasal 8
(1) Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat
digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia
diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah
mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

BAB IV
PENGADAAN
Bagian Kesatu
Rencana Kebutuhan Tahunan
Pasal 9
(1) Menteri menjamin ketersediaan Narkotika untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Untuk keperluan ketersediaan Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disusun rencana kebutuhan
tahunan Narkotika.
(3) Rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan data
pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi
tahunan yang diaudit secara komprehensif dan menjadi
pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan
Narkotika secara nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana
kebutuhan tahunan Narkotika diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 10
(1) Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari
impor, produksi dalam negeri, dan/atau sumber lain
dengan berpedoman pada rencana kebutuhan tahunan
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana
kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 dan kebutuhan Narkotika dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Bagian Kedua
Produksi
Pasal 11
(1) Menteri memberi izin khusus untuk memproduksi
Narkotika kepada Industri Farmasi tertentu yang telah
memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan setelah dilakukan audit oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
(2) Menteri melakukan pengendalian terhadap produksi
Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(3) Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan
pengawasan terhadap bahan baku, proses produksi, dan
hasil akhir dari produksi Narkotika sesuai dengan
rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin
dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 12
(1) Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau
digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah
yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Pengawasan produksi Narkotika Golongan I untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan dalam
produksi dengan jumlah yang sangat terbatas untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

Bagian Ketiga
Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pasal 13
(1) Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga
pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan
pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah
ataupun swasta dapat memperoleh, menanam,
menyimpan, dan menggunakan Narkotika untuk
kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah
mendapatkan izin Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
untuk mendapatkan izin dan penggunaan Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Penyimpanan dan Pelaporan
Pasal 14
(1) Narkotika yang berada dalam penguasaan Industri
Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan
sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat
kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan
lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus.
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah
sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,
dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat,
menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala
mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika
yang berada dalam penguasaannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan
secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ketentuan
mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenai sanksi administratif oleh Menteri atas
rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan berupa:
a. teguran;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
b. peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin.

BAB V
IMPOR DAN EKSPOR
Bagian Kesatu
Izin Khusus dan Surat Persetujuan Impor
Pasal 15
(1) Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan
pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki
izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk melaksanakan impor
Narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin
kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin
sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk melaksanakan impor
Narkotika.
Pasal 16
(1) Importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan
Impor dari Menteri untuk setiap kali melakukan impor
Narkotika.
(2) Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil audit
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap
rencana kebutuhan dan realisasi produksi dan/atau
penggunaan Narkotika.
(3) Surat Persetujuan Impor Narkotika Golongan I dalam
jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
(4) Surat Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada pemerintah negara
pengekspor.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 17
Pelaksanaan impor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan
pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut
dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di negara pengekspor.
Bagian Kedua
Izin Khusus dan Surat Persetujuan Ekspor
Pasal 18
(1) Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan
pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki
izin sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk melaksanakan ekspor
Narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin
kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin
sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk melaksanakan ekspor
Narkotika.
Pasal 19
(1) Eksportir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan
Ekspor dari Menteri untuk setiap kali melakukan ekspor
Narkotika.
(2) Untuk memperoleh Surat Persetujuan Ekspor Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon harus
melampirkan surat persetujuan dari negara pengimpor.
Pasal 20
Pelaksanaan ekspor Narkotika dilakukan atas dasar
persetujuan pemerintah negara pengimpor dan persetujuan
tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara
pengimpor.
Pasal 21
Impor dan ekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika hanya
dilakukan melalui kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk
perdagangan luar negeri.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
memperoleh Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan
Ekspor diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Pengangkutan
Pasal 23
Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang
pengangkutan barang tetap berlaku bagi pengangkutan
Narkotika, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini
atau diatur kemudian berdasarkan ketentuan Undang-Undang
ini.
Pasal 24
(1) Setiap pengangkutan impor Narkotika wajib dilengkapi
dengan dokumen atau surat persetujuan ekspor Narkotika
yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
di negara pengekspor dan Surat Persetujuan
Impor Narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri.
(2) Setiap pengangkutan ekspor Narkotika wajib dilengkapi
dengan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang
dikeluarkan oleh Menteri dan dokumen atau surat
persetujuan impor Narkotika yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara
pengimpor.
Pasal 25
Penanggung jawab pengangkut impor Narkotika yang
memasuki wilayah Negara Republik Indonesia wajib membawa
dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat Persetujuan
Impor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau surat
persetujuan ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara
pengekspor.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 26
(1) Eksportir Narkotika wajib memberikan Surat Persetujuan
Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau Surat
Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara
pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas
perusahaan pengangkutan ekspor.
(2) Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan
pengangkutan ekspor wajib memberikan Surat
Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen
atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
(3) Penanggung jawab pengangkut ekspor Narkotika wajib
membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat
Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen
atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
negara pengimpor.
Pasal 27
(1) Narkotika yang diangkut harus disimpan pada
kesempatan pertama dalam kemasan khusus atau di
tempat yang aman di dalam kapal dengan disegel oleh
nakhoda dengan disaksikan oleh pengirim.
(2) Nakhoda membuat berita acara tentang muatan Narkotika
yang diangkut.
(3) Nakhoda dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua
puluh empat) jam setelah tiba di pelabuhan tujuan wajib
melaporkan Narkotika yang dimuat dalam kapalnya
kepada kepala kantor pabean setempat.
(4) Pembongkaran muatan Narkotika dilakukan dalam
kesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikan
oleh pejabat bea dan cukai.
(5) Nakhoda yang mengetahui adanya Narkotika tanpa
dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor atau Surat
Persetujuan Impor di dalam kapal wajib membuat berita
acara, melakukan tindakan pengamanan, dan pada
persinggahan pelabuhan pertama segera melaporkan dan
menyerahkan Narkotika tersebut kepada pihak yang
berwenang.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 28
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 berlaku pula
bagi kapten penerbang untuk pengangkutan udara.
Bagian Keempat
Transito
Pasal 29
(1) Transito Narkotika harus dilengkapi dengan dokumen
atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang sah dari
pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau Surat
Persetujuan Impor Narkotika yang sah dari pemerintah
negara pengimpor sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor
dan pengimpor.
(2) Dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari
pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau Surat
Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang:
a. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor
Narkotika;
b. jenis, bentuk, dan jumlah Narkotika; dan
c. negara tujuan ekspor Narkotika.
Pasal 30
Setiap terjadi perubahan negara tujuan ekspor Narkotika pada
Transito Narkotika hanya dapat dilakukan setelah adanya
persetujuan dari:
a. pemerintah negara pengekspor Narkotika;
b. pemerintah negara pengimpor Narkotika; dan
c. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor Narkotika.
Pasal 31
Pengemasan kembali Narkotika pada Transito Narkotika hanya
dapat dilakukan terhadap kemasan asli Narkotika yang
mengalami kerusakan dan harus dilakukan di bawah tanggung
jawab pengawasan pejabat Bea dan Cukai dan petugas Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan Transito Narkotika
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Bagian Kelima
Pemeriksaan
Pasal 33
Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapan
dokumen impor, ekspor, dan/atau Transito Narkotika.
Pasal 34
(1) Importir Narkotika dalam memeriksa Narkotika yang
diimpornya disaksikan oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri
paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal diterimanya
impor Narkotika di perusahaan.
(2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Menteri menyampaikan hasil penerimaan impor
Narkotika kepada pemerintah negara pengekspor.

BAB VI
PEREDARAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 35
Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam
rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun
pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 36
(1) Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan
setelah mendapatkan izin edar dari Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
perizinan peredaran Narkotika dalam bentuk obat jadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(3) Untuk mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika
dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat
dan Makanan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pendaftaran Narkotika dalam bentuk obat jadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 37
Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan
baku, baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk
produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 38
Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan
dokumen yang sah.
Bagian Kedua
Penyaluran
Pasal 39
(1) Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi,
pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin khusus
penyaluran Narkotika dari Menteri.
Pasal 40
(1) Industri Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan
Narkotika kepada:
a. pedagang besar farmasi tertentu;
b. apotek;
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah
tertentu; dan
d. rumah sakit.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat
menyalurkan Narkotika kepada:
a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya;
b. apotek;
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah
tertentu;
d. rumah sakit; dan
e. lembaga ilmu pengetahuan;
(3) Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu
hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
a. rumah sakit pemerintah;
b. pusat kesehatan masyarakat; dan
c. balai pengobatan pemerintah tertentu.
Pasal 41
Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang
besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan
tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penyaluran Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Penyerahan
Pasal 43
(1) Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
a. apotek;
b. rumah sakit;
c. pusat kesehatan masyarakat;
d. balai pengobatan; dan
e. dokter.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
a. rumah sakit;
b. pusat kesehatan masyarakat;
c. apotek lainnya;
d. balai pengobatan;
e. dokter; dan
f. pasien.
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan
balai pengobatan hanya dapat menyerahkan Narkotika
kepada pasien berdasarkan resep dokter.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat
dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan
Narkotika melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan
memberikan Narkotika melalui suntikan; atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada
apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu
yang diserahkan oleh dokter sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.
Pasal 44
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penyerahan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VII
LABEL DAN PUBLIKASI
Pasal 45
(1) Industri Farmasi wajib mencantumkan label pada
kemasan Narkotika, baik dalam bentuk obat jadi maupun
bahan baku Narkotika.
(2) Label pada kemasan Narkotika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi
tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan
pada kemasan atau dimasukkan ke dalam kemasan,
ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah,
dan/atau kemasannya.
(3) Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label pada
kemasan Narkotika harus lengkap dan tidak
menyesatkan.
Pasal 46
Narkotika hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah
kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 47
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pencantuman label dan publikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 dan Pasal 46 diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VIII
PREKURSOR NARKOTIKA
Bagian Kesatu
Tujuan Pengaturan
Pasal 48
Pengaturan prekursor dalam Undang-Undang ini bertujuan:
a. melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan
Prekursor Narkotika;
b. mencegah dan memberantas peredaran gelap Prekursor
Narkotika; dan
c. mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan
Prekursor Narkotika.
Bagian Kedua
Penggolongan dan Jenis Prekursor Narkotika
Pasal 49
(1) Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 digolongkan ke dalam Prekursor Tabel I dan Prekursor
Tabel II dalam Lampiran Undang-Undang ini.
(2) Penggolongan Prekursor Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan merupakan bagian tak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Prekursor
Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan
menteri terkait.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Bagian Ketiga
Rencana Kebutuhan Tahunan
Pasal 50
(1) Pemerintah menyusun rencana kebutuhan tahunan
Prekursor Narkotika untuk kepentingan industri farmasi,
industri nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Rencana kebutuhan tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun berdasarkan jumlah persediaan,
perkiraan kebutuhan, dan penggunaan Prekursor
Narkotika secara nasional.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penyusunan rencana kebutuhan tahunan Prekursor
Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi
dengan menteri terkait.
Bagian Keempat
Pengadaan
Pasal 51
(1) Pengadaan Prekursor Narkotika dilakukan melalui
produksi dan impor.
(2) Pengadaan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk tujuan
industri farmasi, industri nonfarmasi, dan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pasal 52
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara produksi, impor,
ekspor, peredaran, pencatatan dan pelaporan, serta
pengawasan Prekursor Narkotika diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
BAB IX
PENGOBATAN DAN REHABILITASI
Bagian Kesatu
Pengobatan
Pasal 53
(1) Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi
medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II
atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan
tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
memiliki, menyimpan, dan/atau membawa Narkotika
untuk dirinya sendiri.
(3) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika yang
dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan
diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua
Rehabilitasi
Pasal 54
Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika
wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 55
(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum
cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan
masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial.
(2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib
melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada
pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau
lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang
ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56
(1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah
sakit yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh
instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan
rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat
persetujuan Menteri.
Pasal 57
Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis,
penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh
instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan
keagamaan dan tradisional.
Pasal 58
Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan
baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.
Pasal 59
(1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 dan Pasal 57 diatur dengan Peraturan Menteri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 diatur dengan peraturan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
BAB X
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 60
(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala
kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
upaya:
a. memenuhi ketersediaan Narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
b. mencegah penyalahgunaan Narkotika;
c. mencegah generasi muda dan anak usia sekolah
dalam penyalahgunaan Narkotika, termasuk dengan
memasukkan pendidikan yang berkaitan dengan
Narkotika dalam kurikulum sekolah dasar sampai
lanjutan atas;
d. mendorong dan menunjang kegiatan penelitian
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang Narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan; dan
e. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis
bagi Pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan
oleh pemerintah maupun masyarakat.
Pasal 61
(1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap segala
kegiatan yang berkaitan dengan Narkotika.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
b. alat-alat potensial yang dapat disalahgunakan untuk
melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
c. evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu produk
sebelum diedarkan;
d. produksi;
e. impor dan ekspor;
f. peredaran;
g. pelabelan;
h. informasi; dan
i. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pasal 62
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 dan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 63
Pemerintah mengupayakan kerja sama dengan negara lain
dan/atau badan internasional secara bilateral dan multilateral,
baik regional maupun internasional dalam rangka pembinaan
dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika sesuai
dengan kepentingan nasional.
BAB XI
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
Bagian Kesatu
Kedudukan dan Tempat Kedudukan
Pasal 64
(1) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk
Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat
BNN.
(2) BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan
di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada
Presiden.
Pasal 65
(1) BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah
kerja meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
(2) BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
(3) BNN provinsi berkedudukan di ibukota provinsi dan BNN
kabupaten/kota berkedudukan di ibukota
kabupaten/kota.
Pasal 66
BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 65 ayat (3) merupakan instansi vertikal.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 67
(1) BNN dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh
seorang sekretaris utama dan beberapa deputi.
(2) Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membidangi
urusan:
a. bidang pencegahan;
b. bidang pemberantasan;
c. bidang rehabilitasi;
d. bidang hukum dan kerja sama; dan
e. bidang pemberdayaan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi dan
tata kerja BNN diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Kedua
Pengangkatan dan Pemberhentian

Pasal 68
(1) Kepala BNN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(2) Syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian
Kepala BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Presiden.
Pasal 69
Untuk dapat diusulkan menjadi Kepala BNN, seorang calon
harus memenuhi syarat:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berijazah paling rendah strata 1 (satu);
e. berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun dalam
penegakan hukum dan paling singkat 2 (dua) tahun dalam
pemberantasan Narkotika;
f. berusia paling tinggi 56 (lima puluh enam) tahun;
g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan
memiliki reputasi yang baik;
h. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
i. tidak menjadi pengurus partai politik; dan
j. bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan
lain selama menjabat kepala BNN.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Bagian Ketiga
Tugas dan Wewenang
Pasal 70
BNN mempunyai tugas:
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional
mengenai pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;
e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan
masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik
regional maupun internasional, guna mencegah dan
memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
h. mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan
terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas
dan wewenang.
Pasal 71
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN
berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 72
(1) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
dilaksanakan oleh penyidik BNN.
(2) Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pengangkatan dan pemberhentian penyidik BNN
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Kepala BNN.
BAB XII
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 73
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
Undang ini.
Pasal 74
(1) Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika, termasuk perkara yang
didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke
pengadilan guna penyelesaian secepatnya.
(2) Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan
tindak pidana Prekursor Narkotika pada tingkat banding,
tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan eksekusi pidana
mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus
dipercepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 75
Dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik BNN
berwenang:
a. melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta
keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
c. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai
saksi;
d. menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
e. memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti
tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
f. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
g. menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
h. melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiksi
nasional;
i. melakukan penyadapan yang terkait dengan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang
cukup;
j. melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan
penyerahan di bawah pengawasan;
k. memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
l. melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam
dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh
lainnya;
m. mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
n. melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang,
dan tanaman;
o. membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui
pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga
mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
p. melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor
Narkotika yang disita;
q. melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang
bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika;
r. meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
s. menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti
adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 76
(1) Pelaksanaan kewenangan penangkapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 huruf g dilakukan paling lama 3
x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak surat
penangkapan diterima penyidik.
(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh
empat) jam.
Pasal 77
(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf
i dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang
cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung
sejak surat penyadapan diterima penyidik.
(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dilaksanakan atas izin tertulis dari ketua pengadilan.
(3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
(4) Tata cara penyadapan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 78
(1) Dalam keadaan mendesak dan Penyidik harus melakukan
penyadapan, penyadapan dapat dilakukan tanpa izin
tertulis dari ketua pengadilan negeri lebih dahulu.
(2) Dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh
empat) jam Penyidik wajib meminta izin tertulis kepada
ketua pengadilan negeri mengenai penyadapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 79
Teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di
bawah pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75
huruf j dilakukan oleh Penyidik atas perintah tertulis dari
pimpinan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 80
Penyidik BNN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, juga
berwenang:
a. mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan
barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada
jaksa penuntut umum;
b. memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga
keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga
dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain
yang terkait;
c. untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga
keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka
yang sedang diperiksa;
d. untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
e. meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang
untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka
kepada instansi terkait;
g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan,
transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau
mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang
dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga
berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya
dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; dan
h. meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak
hukum negara lain untuk melakukan pencarian,
penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.
Pasal 81
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik
BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 82
(1) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor
Narkotika.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) di lingkungan kementerian atau
lembaga pemerintah nonkementerian yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang Narkotika dan Prekursor
Narkotika berwenang:
a. memeriksa kebenaran laporan serta keterangan
tentang adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika
dan Prekursor Narkotika;
b. memeriksa orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau
badan hukum sehubungan dengan penyalahgunaan
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. memeriksa bahan bukti atau barang bukti perkara
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
e. menyita bahan bukti atau barang bukti perkara
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
f. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang
adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
g. meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
dan
h. menangkap orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 83
Penyidik dapat melakukan kerja sama untuk mencegah dan
memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 84
Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan secara
tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu
pula sebaliknya.
Pasal 85
Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan
Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik pegawai negeri
sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-
Undang tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 86
(1) Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana.
(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu; dan
b. data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan
atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di
atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun
yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada:
1. tulisan, suara, dan/atau gambar;
2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau
3. huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi
yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang
yang mampu membaca atau memahaminya.
Pasal 87
(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau
penyidik BNN yang melakukan penyitaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika, atau yang diduga Narkotika dan
Prekursor Narkotika, atau yang mengandung Narkotika
dan Prekursor Narkotika wajib melakukan penyegelan dan
membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan
dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
b. keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal,
bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai
Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap penyidik yang
melakukan penyitaan.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memberitahukan penyitaan yang dilakukannya kepada
kepala kejaksaan negeri setempat dalam waktu paling
lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak
dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan
kepada ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 88
(1) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang melakukan
penyitaan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika
wajib membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan
barang sitaan tersebut beserta berita acaranya kepada
penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga
kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan
tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala
kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri
setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
(2) Penyerahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari jika berkaitan dengan daerah yang sulit
terjangkau karena faktor geografis atau transportasi.
Pasal 89
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan
Pasal 88 bertanggung jawab atas penyimpanan dan
pengamanan barang sitaan yang berada di bawah
penguasaannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penyimpanan, pengamanan, dan pengawasan Narkotika
dan Prekursor Narkotika yang disita sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 90
(1) Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia, penyidik BNN, dan penyidik
pegawai negeri sipil menyisihkan sebagian kecil barang
sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk dijadikan
sampel guna pengujian di laboratorium tertentu dan
dilaksanakan dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali
dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pengambilan dan pengujian sampel di laboratorium
tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 91
(1) Kepala kejaksaan negeri setempat setelah menerima
pemberitahuan tentang penyitaan barang Narkotika dan
Prekursor Narkotika dari penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia atau penyidik BNN, dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari wajib menetapkan status barang
sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika tersebut untuk
kepentingan pembuktian perkara, kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
kepentingan pendidikan dan pelatihan, dan/atau
dimusnahkan.
(2) Barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang
berada dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik
yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib
dimusnahkan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari
terhitung sejak menerima penetapan pemusnahan dari
kepala kejaksaan negeri setempat.
(3) Penyidik wajib membuat berita acara pemusnahan dalam
waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam
sejak pemusnahan tersebut dilakukan dan menyerahkan
berita acara tersebut kepada penyidik BNN atau penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan
tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala
kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri
setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
(4) Dalam keadaan tertentu, batas waktu pemusnahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang 1
(satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(5) Pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 75
huruf k.
(6) Barang sitaan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi diserahkan kepada Menteri dan
untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan diserahkan
kepada Kepala BNN dan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam waktu paling lama 5 (lima) hari
terhitung sejak menerima penetapan dari kepala kejaksaan
negeri setempat.
(7) Kepala BNN dan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
menyampaikan laporan kepada Menteri mengenai
penggunaan barang sitaan untuk kepentingan pendidikan
dan pelatihan.
Pasal 92
(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
penyidik BNN wajib memusnahkan tanaman Narkotika
yang ditemukan dalam waktu paling lama 2 x 24 (dua kali
dua puluh empat) jam sejak saat ditemukan, setelah
disisihkan sebagian kecil untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan dapat
disisihkan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta untuk kepentingan
pendidikan dan pelatihan.
(2) Untuk tanaman Narkotika yang karena jumlahnya dan
daerah yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau
transportasi, pemusnahan dilakukan dalam waktu paling
lama 14 (empat belas) hari.
(3) Pemusnahan dan penyisihan sebagian tanaman Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan,
dan tahun ditemukan dan dilakukan pemusnahan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai
tanaman Narkotika; dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan
pejabat atau pihak terkait lainnya yang menyaksikan
pemusnahan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(4) Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak
dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disimpan oleh penyidik untuk kepentingan pembuktian.
(5) Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak
dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disimpan oleh Menteri dan Badan Pengawas Obat dan
Makanan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(6) Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak
dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disimpan oleh BNN untuk kepentingan pendidikan dan
pelatihan.
Pasal 93
Selain untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
90, Pasal 91, dan Pasal 92 sebagian kecil Narkotika atau
tanaman Narkotika yang disita dapat dikirimkan ke negara lain
yang diduga sebagai asal Narkotika atau tanaman Narkotika
tersebut untuk pemeriksaan laboratorium guna pengungkapan
asal Narkotika atau tanaman Narkotika dan jaringan
peredarannya berdasarkan perjanjian antarnegara atau
berdasarkan asas timbal balik.
Pasal 94
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penyerahan dan pemusnahan barang sitaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 95
Proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tidak menunda atau menghalangi penyerahan
barang sitaan menurut ketentuan batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 90 dan Pasal 91.
Pasal 96
(1) Apabila berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap terbukti bahwa barang
sitaan yang telah dimusnahkan menurut ketentuan Pasal
91 diperoleh atau dimiliki secara sah, kepada pemilik
barang yang bersangkutan diberikan ganti rugi oleh
Pemerintah.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Besaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh pengadilan.
Pasal 97
Untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan, tersangka atau terdakwa wajib memberikan
keterangan tentang seluruh harta kekayaan dan harta benda
istri, suami, anak, dan setiap orang atau korporasi yang
diketahuinya atau yang diduga mempunyai hubungan dengan
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang
dilakukan tersangka atau terdakwa.
Pasal 98
Hakim berwenang meminta terdakwa membuktikan bahwa
seluruh harta kekayaan dan harta benda istri, suami, anak,
dan setiap orang atau korporasi bukan berasal dari hasil tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan
terdakwa.
Pasal 99
(1) Di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang
bersangkutan dengan perkara tindak pidana Narkotika
dan Prekursor Narkotika yang sedang dalam pemeriksaan,
dilarang menyebutkan nama dan alamat pelapor atau hal
yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya
identitas pelapor.
(2) Sebelum sidang dibuka, hakim mengingatkan saksi dan
orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk tidak
melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 100
(1) Saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang
memeriksa perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika beserta keluarganya wajib diberi perlindungan
oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa,
dan/atau hartanya, baik sebelum, selama maupun
sesudah proses pemeriksaan perkara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perlindungan
oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 101
(1) Narkotika, Prekursor Narkotika, dan alat atau barang yang
digunakan di dalam tindak pidana Narkotika dan
Prekursor Narkotika atau yang menyangkut Narkotika dan
Prekursor Narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas
untuk negara.
(2) Dalam hal alat atau barang yang dirampas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah milik pihak ketiga yang
beritikad baik, pemilik dapat mengajukan keberatan
terhadap perampasan tersebut kepada pengadilan yang
bersangkutan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari
setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.
(3) Seluruh harta kekayaan atau harta benda yang
merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan
untuk kepentingan:
a. pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika; dan
b. upaya rehabilitasi medis dan sosial.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan
harta kekayaan atau aset yang diperoleh dari hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 102
Perampasan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101
dapat dilakukan atas permintaan negara lain berdasarkan
perjanjian antarnegara.
Pasal 103
(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan
menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti
bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan
menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak
terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi
Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

BAB XIII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 104
Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya
untuk berperan serta membantu pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 105
Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 106
Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika diwujudkan dalam bentuk:
a. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
b. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada
penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung
jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani
perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
d. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya
yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN;
e. memperoleh perlindungan hukum pada saat yang
bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir
dalam proses peradilan.
Pasal 107
Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang
atau BNN jika mengetahui adanya penyalahgunaan atau
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 108
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 104, Pasal 105, dan Pasal 106 dapat dibentuk dalam
suatu wadah yang dikoordinasi oleh BNN.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Kepala BNN.

BAB XIV
PENGHARGAAN
Pasal 109
Pemerintah memberikan penghargaan kepada penegak hukum
dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan,
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 110
Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
109 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 111
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai,
atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk
tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu)
kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
Pasal 112
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,
atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 113
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk
tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi
5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
Pasal 114
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk
tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi
5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana
mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 115
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut,
atau mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya
melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang
pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 116
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain
atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 117
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,
menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram,
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 118
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 119
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 120
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut,
atau mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram
maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 121
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang lain
atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
Pasal 122
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,
menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram,
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 123
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 124
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 125
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut,
atau mentransito Narkotika Golongan III sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram
maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 126
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menggunakan Narkotika Golongan III tehadap orang lain
atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan Narkotika tehadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan III untuk digunakan orang
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
1/3 (sepertiga).
Pasal 127
(1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan
Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban
penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 128
(1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup
umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)
yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah
dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana.
(3) Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani
rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di
rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang
ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana.
(4) Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi
standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 129
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap orang
yang tanpa hak atau melawan hukum:
a. memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
b. memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
c. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan
Narkotika;
d. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
Pasal 130
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115,
Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120,
Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125,
Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi, selain
pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana
denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Pasal 131
Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal
112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117,
Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal
123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal
128 ayat (1), dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 132
(1) Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal
113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal
118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal
123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129,
pelakunya dipidana dengan pidana penjara yang sama
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal-Pasal tersebut.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal
116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal
121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal
126, dan Pasal 129 dilakukan secara terorganisasi, pidana
penjara dan pidana denda maksimumnya ditambah 1/3
(sepertiga).
(3) Pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara 20 (dua puluh) tahun.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 133
(1) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan
sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan,
memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman,
memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat,
atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115,
Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120,
Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125,
Pasal 126, dan Pasal 129 dipidana dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling
banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan
sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan,
memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman,
memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat,
atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk
menggunakan Narkotika, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 134
(1) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan
sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(2) Keluarga dari Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan
Pecandu Narkotika tersebut dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 135
Pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 136
Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasil-hasil yang
diperoleh dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana
Prekursor Narkotika, baik berupa aset dalam bentuk benda
bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud serta barang-barang atau peralatan yang digunakan
untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan tindak pidana
Prekursor Narkotika dirampas untuk negara.
Pasal 137
Setiap orang yang:
a. menempatkan, membayarkan atau membelanjakan,
menitipkan, menukarkan, menyembunyikan atau
menyamarkan, menginvestasikan, menyimpan,
menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentransfer uang,
harta, dan benda atau aset baik dalam bentuk benda
bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud yang berasal dari tindak pidana Narkotika
dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
b. menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan,
penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran
investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta
atau uang, benda atau aset baik dalam bentuk benda
bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana
Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 138
Setiap orang yang menghalang-halangi atau mempersulit
penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak
pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika
di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 139
Nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum
tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 atau Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal 140
(1) Penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan hukum
tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 88 dan Pasal 89 dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal
90, Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dikenai pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 141
Kepala kejaksaan negeri yang secara melawan hukum tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
91 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 142
Petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau
secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban
melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut
umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Pasal 143
Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam
pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 144
(1) Setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun
melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal
114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal
119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal
124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128
ayat (1), dan Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah
dengan 1/3 (sepertiga).
(2) Ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pelaku tindak
pidana yang dijatuhi dengan pidana mati, pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 145
Setiap orang yang melakukan tindak pidana Narkotika
dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114,
Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal
120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125,
Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129
di luar wilayah Negara Republik Indonesia diberlakukan juga
ketentuan Undang-Undang ini.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 146
(1) Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak
pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor
Narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini, dilakukan pengusiran
keluar wilayah Negara Republik Indonesia.
(2) Warga negara asing yang telah diusir sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang masuk kembali ke
wilayah Negara Republik Indonesia.
(3) Warga negara asing yang pernah melakukan tindak
pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor
Narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah
Negara Republik Indonesia.
Pasal 147
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi:
a. pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik
pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika
Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan;
b. pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam,
membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika
bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan;
c. pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi
Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan; atau
d. pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan
Narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan
Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

Pasal 148
Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak
pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika,
pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar.

BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 149
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan
Narkotika Nasional, Badan Narkotika provinsi, dan Badan
Narkotika kabupaten/kota, dinyatakan sebagai BNN, BNN
provinsi, dan BNN kabupaten/kota berdasarkan Undang-
Undang ini;
b. Kepala Pelaksana Harian BNN untuk pertama kali
ditetapkan sebagai Kepala BNN berdasarkan Undang-
Undang ini;
c. Pejabat dan pegawai di lingkungan Badan Narkotika
Nasional yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden
Nomor 83 Tahun 2007 adalah pejabat dan pegawai BNN
berdasarkan Undang-Undang ini;
d. dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-
Undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata
kerja Badan Narkotika Nasional yang dibentuk
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007
harus sudah disesuaikan dengan Undang-Undang ini;
e. dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-
Undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata
kerja BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota yang
dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83
Tahun 2007 harus sudah disesuaikan dengan Undang-
Undang ini.
Pasal 150
Program dan kegiatan Badan Narkotika Nasional yang
dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun
2007 yang telah dilaksanakan tetapi belum selesai, masih tetap
dapat dijalankan sampai dengan selesainya program dan
kegiatan dimaksud termasuk dukungan anggarannya.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 151
Seluruh aset Badan Narkotika Nasional yang dibentuk
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007, baik
yang berada di BNN provinsi, maupun di BNN kabupaten/kota
dinyatakan sebagai aset BNN berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 152
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3698) pada saat Undang-Undang ini
diundangkan, masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru
berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 153
Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3698); dan
b. Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan
Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan
I menurut Undang-Undang ini,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 154
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah
ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang
ini diundangkan.
Pasal 155
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 36 TAHUN 2014
TENTANG
TENAGA KESEHATAN
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
2. Asisten Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan bidang kesehatan di bawah
jenjang
Diploma Tiga.
3. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun
rehabilitatif yang
dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
4. Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan
secara terpadu,
terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat
dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan
pemulihan
kesehatan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
5. Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang Tenaga Kesehatan berdasarkan
ilmu
pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional untuk dapat menjalankan praktik.
6. Uji Kompetensi adalah proses pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan perilaku peserta
didik pada
perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi bidang Kesehatan.
7. Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap Kompetensi Tenaga
Kesehatan untuk
dapat menjalankan praktik di seluruh Indonesia setelah lulus uji Kompetensi.
8. Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik profesi yang
diperoleh lulusan
pendidikan profesi.
9. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap Tenaga Kesehatan yang telah memiliki
Sertifikat Kompetensi
atau Sertifikat Profesi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lain serta mempunyai
pengakuan secara
hukum untuk menjalankan praktik.www.hukumonline.com
10. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh konsil
masing-masing Tenaga Kesehatan kepada Tenaga Kesehatan yang telah diregistrasi.
11. Surat Izin Praktik yang selanjutnya disingkat SIP adalah bukti tertulis yang diberikan oleh
pemerintah
daerah kabupaten/kota kepada Tenaga Kesehatan sebagai pemberian kewenangan untuk
menjalankan
praktik.
12. Standar Profesi adalah batasan kemampuan minimal berupa pengetahuan, keterampilan,
dan perilaku
profesional yang harus dikuasai dan dimiliki oleh seorang individu untuk dapat melakukan
kegiatan
profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi bidang
kesehatan.
13. Standar Pelayanan Profesi adalah pedoman yang diikuti oleh Tenaga Kesehatan dalam
melakukan
pelayanan kesehatan.
14. Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang
dibakukan untuk
menyelesaikan proses kerja rutin tertentu dengan memberikan langkah yang benar dan terbaik
berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi
pelayanan yang
dibuat oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan berdasarkan Standar Profesi.
15. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia adalah lembaga yang melaksanakan tugas secara
independen yang
terdiri atas konsil masing-masing tenaga kesehatan.
16. Organisasi Profesi adalah wadah untuk berhimpun tenaga kesehatan yang seprofesi.
17. Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan adalah badan yang dibentuk oleh Organisasi
Profesi untuk
setiap cabang disiplin ilmu kesehatan yang bertugas mengampu dan meningkatkan mutu
pendidikan
cabang disiplin ilmu tersebut.
18. Penerima Pelayanan Kesehatan adalah setiap orang yang melakukan konsultasi tentang
kesehatan untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak
langsung kepada
tenaga kesehatan.
19. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik
Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
20. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, dan Walikota serta perangkat daerah sebagai
unsur
penyelenggara pemerintahan.
21. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
Pasal 2
Undang-Undang ini berasaskan:
a. Perikemanusiaan;
b. manfaat;
c. pemerataan;
d. etika dan profesionalitas;
e. penghormatan terhadap hak dan kewajiban;
f. keadilan;
g. pengabdian;
h. norma agama; dan
i. pelindungan.
.com
Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan untuk:
a. memenuhi kebutuhan masyarakat akan Tenaga Kesehatan;
b. mendayagunakan Tenaga Kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
c. memberikan pelindungan kepada masyarakat dalam menerima penyelenggaraan Upaya
Kesehatan;
d. mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Upaya Kesehatan yang
diberikan oleh
Tenaga Kesehatan; dan
e. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan Tenaga Kesehatan.

BAB II
TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 4
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap:
a. pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan peningkatan mutu Tenaga Kesehatan;
b. perencanaan, pengadaan, dan pendayagunaan Tenaga Kesehatan sesuai dengan
kebutuhan; dan
c. pelindungan kepada Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik.
Pasal 5
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, Pemerintah berwenang untuk:
a. menetapkan kebijakan Tenaga Kesehatan skala nasional selaras dengan kebijakan
pembangunan
nasional;
b. merencanakan kebutuhan Tenaga Kesehatan;
c. melakukan pengadaan Tenaga Kesehatan;
d. mendayagunakan Tenaga Kesehatan;
e. membina, mengawasi, dan meningkatkan mutu Tenaga Kesehatan melalui pelaksanaan
kegiatan
sertifikasi Kompetensi dan pelaksanaan Registrasi Tenaga Kesehatan;
f. melaksanakan kerja sama, baik dalam negeri maupun luar negeri di bidang Tenaga
Kesehatan; dan
g. menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan Tenaga Kesehatan yang akan melakukan
pekerjaan atau
praktik di luar negeri dan Tenaga Kesehatan warga negara asing yang akan melakukan
pekerjaan atau
praktik di Indonesia.
Pasal 6
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pemerintah daerah provinsi berwenang untuk:
a. menetapkan kebijakan Tenaga Kesehatan selaras dengan kebijakan pembangunan
nasional;.com
b. melaksanakan kebijakan Tenaga Kesehatan;
c. merencanakan kebutuhan Tenaga Kesehatan;
d. melakukan pengadaan Tenaga Kesehatan;
e. melakukan pendayagunaan melalui pemerataan, pemanfaatan dan pengembangan;
f. membina, mengawasi, dan meningkatkan mutu Tenaga Kesehatan melalui pembinaan dan
pengawasan
pelaksanaan praktik Tenaga Kesehatan; dan
g. melaksanakan kerja sama dalam negeri di bidang Tenaga Kesehatan.
Pasal 7
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pemerintah daerah kabupaten/kota berwenang
untuk:
a. menetapkan kebijakan Tenaga Kesehatan selaras dengan kebijakan nasional dan provinsi;
b. melaksanakan kebijakan Tenaga Kesehatan;
c. merencanakan kebutuhan Tenaga Kesehatan;
d. melakukan pengadaan Tenaga Kesehatan;
e. melakukan pendayagunaan melalui pemerataan, pemanfaatan, dan pengembangan;
f. membina, mengawasi, dan meningkatkan mutu Tenaga Kesehatan melalui pelaksanaan
kegiatan
perizinan Tenaga Kesehatan; dan
g. melaksanakan kerja sama dalam negeri di bidang Tenaga Kesehatan.

BAB III
KUALIFIKASI DAN PENGELOMPOKAN TENAGA KESEHATAN
Pasal 8
Tenaga di bidang kesehatan terdiri atas:
a. Tenaga Kesehatan; dan
b. Asisten Tenaga Kesehatan.
Pasal 9
(1) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a harus memiliki kualifikasi
minimum
Diploma Tiga, kecuali tenaga medis.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi minimum Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 10
(1) Asisten Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b harus memiliki
kualifikasi
minimum pendidikan menengah di bidang kesehatan..hukumonline.com
(2) Asisten Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat bekerja di
bawah supervisi
Tenaga Kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Asisten Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 11
(1) Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam:
a. tenaga medis;
b. tenaga psikologi klinis;
c. tenaga keperawatan;
d. tenaga kebidanan;
e. tenaga kefarmasian;
f. tenaga kesehatan masyarakat;
g. tenaga kesehatan lingkungan;
h. tenaga gizi;
i. tenaga keterapian fisik;
j. tenaga keteknisian medis;
k. tenaga teknik biomedika;
l. tenaga kesehatan tradisional; dan
m. tenaga kesehatan lain.
(2) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga medis sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) huruf a terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.
(3) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga psikologi klinis
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b adalah psikologi klinis.
(4) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keperawatan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c terdiri atas berbagai jenis perawat.
(5) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kebidanan sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) huruf d adalah bidan.
(6) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) huruf e terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.
(7) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan masyarakat
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf f terdiri atas epidemiolog kesehatan, tenaga promosi kesehatan
dan ilmu
perilaku, pembimbing kesehatan kerja, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga
biostatistik
dan kependudukan, serta tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga.
(8) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan lingkungan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf g terdiri atas tenaga sanitasi lingkungan, entomolog kesehatan,
dan
mikrobiolog kesehatan.
(9) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga gizi sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) huruf h terdiri atas nutrisionis dan dietisien.
(10) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keterapian fisik
sebagaimana dimaksud.hukumonline.com
pada ayat (1) huruf i terdiri atas fisioterapis, okupasi terapis, terapis wicara, dan akupunktur.
(11) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keteknisian medis
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf j terdiri atas perekam medis dan informasi kesehatan, teknik
kardiovaskuler,
teknisi pelayanan darah, refraksionis optisien/optometris, teknisi gigi, penata anestesi, terapis
gigi dan
mulut, dan audiologis.
(12) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga teknik biomedika
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf k terdiri atas radiografer, elektromedis, ahli teknologi
laboratorium medik,
fisikawan medik, radioterapis, dan ortotik prostetik.
(13) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok Tenaga Kesehatan tradisional
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf l terdiri atas tenaga kesehatan tradisional ramuan dan tenaga
kesehatan
tradisional keterampilan.
(14) Tenaga Kesehatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 12
Dalam memenuhi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan serta
kebutuhan
pelayanan kesehatan, Menteri dapat menetapkan jenis Tenaga Kesehatan lain dalam setiap
kelompok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.

BAB IV
PERENCANAAN, PENGADAAN, DAN PENDAYAGUNAAN
Bagian Kesatu
Perencanaan
Pasal 13
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhi kebutuhan Tenaga Kesehatan, baik
dalam jumlah, jenis,
maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pembangunan
kesehatan.
Pasal 14
(1) Menteri menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan Tenaga Kesehatan dalam
rangka memenuhi
kebutuhan Tenaga Kesehatan secara nasional.
(2) Perencanaan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara
berjenjang
berdasarkan ketersediaan Tenaga Kesehatan dan kebutuhan penyelenggaraan pembangunan
dan Upaya
Kesehatan.
(3) Ketersediaan dan kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui
pemetaan Tenaga
Kesehatan.
Pasal 15
Menteri dalam menyusun perencanaan Tenaga Kesehatan harus memperhatikan faktor:
a. jenis, kualifikasi, jumlah, pengadaan, dan distribusi Tenaga Kesehatan;
b. penyelenggaraan Upaya Kesehatan;
c. ketersediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
d. kemampuan pembiayaan;
e. kondisi geografis dan sosial budaya; dan
f. kebutuhan masyarakat.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Kedua
Pengadaan
Pasal 17
(1) Pengadaan Tenaga Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dan
pendayagunaan Tenaga
Kesehatan.
(2) Pengadaan Tenaga Kesehatan dilakukan melalui pendidikan tinggi bidang kesehatan.
(3) Pendidikan tinggi bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diarahkan untuk
menghasilkan
Tenaga Kesehatan yang bermutu sesuai dengan Standar Profesi dan Standar Pelayanan
Profesi.
(4) Pendidikan tinggi bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselenggarakan
dengan
memperhatikan:
a. keseimbangan antara kebutuhan penyelenggaraan Upaya Kesehatan dan dinamika
kesempatan
kerja, baik di dalam negeri maupun di luar negeri;
b. keseimbangan antara kemampuan produksi Tenaga Kesehatan dan sumber daya yang
tersedia;
dan
c. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(5) Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh
Pemerintah
dan/atau masyarakat sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 18
(1) Pendidikan tinggi bidang kesehatan diselenggarakan berdasarkan izin sesuai dengan
ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapatkan rekomendasi dari
Menteri.
(3) Pembinaan teknis pendidikan tinggi bidang kesehatan dilakukan oleh Menteri.
(4) Pembinaan akademik pendidikan tinggi bidang kesehatan dilakukan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
(5) Dalam penyusunan kurikulum pendidikan Tenaga Kesehatan, penyelenggara pendidikan
tinggi bidang
kesehatan harus mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang ditetapkan oleh
menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dan berkoordinasi dengan
Menteri.
(6) Penyelenggaraan pendidikan tinggi bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 19
(1) Dalam rangka penjaminan mutu lulusan, penyelenggara pendidikan tinggi bidang
kesehatan hanya dapat
menerima mahasiswa sesuai dengan kuota nasional.
(2) Ketentuan mengenai kuota nasional penerimaan mahasiswa diatur dengan Peraturan
Menteri yang
menyelenggarakan urusan bidang pendidikan setelah berkoordinasi dengan Menteri.
Pasal 20
(1) Penyelenggaraan pendidikan tinggi bidang kesehatan harus memenuhi Standar Nasional
Pendidikan
Tenaga Kesehatan.
(2) Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengacu pada
Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
(3) Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun secara
bersama oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan,
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, asosiasi
institusi
pendidikan, dan Organisasi Profesi.
(4) Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
Pasal 21
(1) Mahasiswa bidang kesehatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi harus
mengikuti Uji
Kompetensi secara nasional.
(2) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Perguruan
Tinggi bekerja
sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang
terakreditasi.
(3) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan untuk mencapai standar
kompetensi
lulusan yang memenuhi standar kompetensi kerja.
(4) Standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun oleh Organisasi
Profesi dan
konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dan ditetapkan oleh Menteri.
(5) Mahasiswa pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang lulus Uji
Kompetensi
memperoleh Sertifikat Kompetensi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi.
(6) Mahasiswa pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang lulus Uji
Kompetensi
memperoleh Sertifikat Profesi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Uji Kompetensi diatur dengan
Peraturan Menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.

Bagian Ketigahukumonline.com
Pendayagunaan
Pasal 22
(1) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/atau
masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan
Perundang-Undangan.
(2) Pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pendayagunaan Tenaga
Kesehatan di
dalam negeri dan luar negeri.
(3) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan
memperhatikan aspek pemerataan, pemanfaatan, dan pengembangan.
Pasal 23
(1) Dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan pelayanan
kesehatan
kepada masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan penempatan
Tenaga
Kesehatan setelah melalui proses seleksi.
(2) Penempatan Tenaga Kesehatan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
a. pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil;
b. pengangkatan sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja; atau
c. penugasan khusus.
(3) Selain penempatan Tenaga Kesehatan dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah
dapat menempatkan Tenaga Kesehatan melalui pengangkatan sebagai anggota TNI/POLRI.
(4) Pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian
kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta penempatan melalui
pengangkatan
sebagai anggota TNI/POLRI dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
Undangan.
(5) Penempatan Tenaga Kesehatan melalui penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c
dilakukan dengan penempatan dokter pascainternsip, residen senior, pascapendidikan
spesialis dengan
ikatan dinas, dan tenaga kesehatan lainnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dengan penugasan khusus sebagaimana
dimaksud pada
ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 24
(1) Penempatan Tenaga Kesehatan dilakukan dengan tetap memperhatikan pemanfaatan dan
pengembangan Tenaga Kesehatan.
(2) Penempatan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
seleksi.
Pasal 25
(1) Pemerintah dalam memeratakan penyebaran Tenaga Kesehatan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat
dapat mewajibkan Tenaga Kesehatan lulusan dari perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh
Pemerintah untuk mengikuti seleksi penempatan.
(2) Selain Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seleksi penempatan
dapat diikuti oleh
Tenaga Kesehatan lulusan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 26
(1) Tenaga Kesehatan yang telah ditempatkan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib
melaksanakan tugas
sesuai dengan Kompetensi dan kewenangannya.
(2) Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau
kepala daerah
yang membawahi Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus mempertimbangkan pemenuhan
kebutuhan
sandang, pangan, papan, dan lokasi, serta keamanan dan keselamatan kerja Tenaga
Kesehatan sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
Pasal 27
(1) Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat
dipindahtugaskan
antarprovinsi, antarkabupaten, atau antarkota karena alasan kebutuhan fasilitas pelayanan
kesehatan
dan/atau promosi.
(2) Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan serta
daerah
bermasalah kesehatan memperoleh hak kenaikan pangkat istimewa dan pelindungan dalam
pelaksanaan
tugas.
(3) Dalam hal terjadi kekosongan Tenaga Kesehatan, Pemerintah atau Pemerintah Daerah
wajib
menyediakan Tenaga Kesehatan pengganti untuk menjamin keberlanjutan pelayanan
kesehatan pada
fasilitas pelayanan kesehatan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahtugasan Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) dan Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan serta
daerah
bermasalah kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 28
(1) Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat memberlakukan ketentuan wajib kerja kepada
Tenaga
Kesehatan yang memenuhi kualifikasi akademik dan Kompetensi untuk melaksanakan tugas
sebagai
Tenaga Kesehatan di daerah khusus di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan tunjangan khusus kepada Tenaga
Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah di daerah
khusus berhak
mendapatkan fasilitas tempat tinggal atau rumah dinas yang disediakan oleh Pemerintah
Daerah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan sebagai Tenaga Kesehatan dalam keadaan
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon
Tenaga
Kesehatan untuk memenuhi kepentingan pembangunan kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
(1) Pengembangan Tenaga Kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu dan karier Tenaga
Kesehatan.
(2) Pengembangan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
pendidikan
dan pelatihan serta kesinambungan dalam menjalankan praktik.
(3) Dalam rangka pengembangan Tenaga Kesehatan, kepala daerah dan pimpinan Fasilitas
Pelayanan
Kesehatan bertanggung jawab atas pemberian kesempatan yang sama kepada Tenaga
Kesehatan
dengan mempertimbangkan penilaian kinerja.
Pasal 31
(1) Pelatihan Tenaga Kesehatan dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/atau
masyarakat.
(2) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi program pelatihan dan
tenaga pelatih
yang sesuai dengan Standar Profesi dan standar kompetensi serta diselenggarakan oleh
institusi
penyelenggara pelatihan yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara pelatihan Tenaga Kesehatan, program dan
tenaga pelatih
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
(1) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia ke luar negeri dapat
dilakukan dengan
mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan Tenaga Kesehatan di Indonesia dan
peluang kerja
bagi Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia di luar negeri.
(2) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia ke luar negeri sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB V
KONSIL TENAGA KESEHATAN INDONESIA
Pasal 34
(1) Untuk meningkatkan mutu Praktik Tenaga Kesehatan serta untuk memberikan pelindungan
dan kepastian
hukum kepada Tenaga Kesehatan dan masyarakat, dibentuk Konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia.
(2) Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
konsil masingmasing
Tenaga Kesehatan.
(3) Konsil masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk
Konsil
Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang
Praktik
Kedokteran.
(4) Konsil masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam
melaksanakan
tugasnya bersifat independen.
(5) Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung
jawab kepada
Presiden melalui Menteri.
Pasal 35
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
Pasal 36
(1) Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia mempunyai fungsi sebagai koordinator konsil masing-
masing Tenaga
Kesehatan.
(2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia
memiliki tugas:
a. memfasilitasi dukungan pelaksanaan tugas konsil masing-masing Tenaga Kesehatan;
b. melakukan evaluasi tugas konsil masing-masing Tenaga Kesehatan; dan
c. membina dan mengawasi konsil masing-masing Tenaga Kesehatan.
(3) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia
memiliki wewenang menetapkan perencanaan kegiatan untuk konsil masing-masing Tenaga
Kesehatan.
Pasal 37
(1) Konsil masing-masing tenaga kesehatan mempunyai fungsi pengaturan, penetapan dan
pembinaan
tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik Tenaga Kesehatan untuk meningkatkan mutu
pelayanan
kesehatan.
(2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), konsil masing-masing
Tenaga
Kesehatan memiliki tugas:
a. melakukan Registrasi Tenaga Kesehatan;
b. melakukan pembinaan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik Tenaga Kesehatan;
c. menyusun Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan;
d. menyusun standar praktik dan standar kompetensi Tenaga Kesehatan; dan
e. menegakkan disiplin praktik Tenaga Kesehatan.
Pasal 38
Dalam menjalankan tugasnya, konsil masing-masing Tenaga Kesehatan mempunyai
wewenang:
a. menyetujui atau menolak permohonan Registrasi Tenaga Kesehatan;
b. menerbitkan atau mencabut STR;
c. menyelidiki dan menangani masalah yang berkaitan dengan pelanggaran disiplin profesi
Tenaga
Kesehatan;.hukumonline.com
d. menetapkan dan memberikan sanksi disiplin profesi Tenaga Kesehatan; dan
e. memberikan pertimbangan pendirian atau penutupan institusi pendidikan Tenaga
Kesehatan.
Pasal 39
Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang, Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
dibantu sekretariat
yang dipimpin oleh seorang sekretaris.
Pasal 40
(1) Keanggotaan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia merupakan pimpinan konsil masing-
masing Tenaga
Kesehatan.
(2) Keanggotaan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan terdiri atas unsur:
a. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan;
b. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan;
c. Organisasi Profesi;
d. Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan;
e. asosiasi institusi pendidikan Tenaga Kesehatan;
f. asosiasi fasilitas pelayanan kesehatan; dan
g. tokoh masyarakat.
Pasal 41
Pendanaan untuk pelaksanaan kegiatan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dibebankan
kepada anggaran
pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang tidak mengikat sesuai dengan ketentuan
Peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 42
Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang Konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, pengangkatan, pemberhentian, serta
keanggotaan Konsil
Tenaga Kesehatan Indonesia dan sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia diatur
dengan Peraturan
Presiden.

BAB VI
REGISTRASI DAN PERIZINAN TENAGA KESEHATAN
Bagian Kesatu
Registrasi
Pasal 44
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik wajib memiliki STR.
(2) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh konsil masing-masing Tenaga
Kesehatan
setelah memenuhi persyaratan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. memiliki ijazah pendidikan di bidang kesehatan;
b. memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji profesi; dan
e. membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
(4) STR berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi ulang setelah memenuhi
persyaratan.
(5) Persyaratan untuk Registrasi ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
a. memiliki STR lama;
b. memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi;
e. telah mengabdikan diri sebagai tenaga profesi atau vokasi di bidangnya; dan
f. memenuhi kecukupan dalam kegiatan pelayanan, pendidikan, pelatihan, dan/atau kegiatan
ilmiah
lainnya.
Pasal 45
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Registrasi dan Registrasi ulang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
44 diatur dengan Peraturan Konsil masing-masing Tenaga Kesehatan.

Bagian Kedua
Perizinan
Pasal 46
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik di bidang pelayanan kesehatan wajib
memiliki izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIP.
(3) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota atas
rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat Tenaga Kesehatan
menjalankan praktiknya.
(4) Untuk mendapatkan SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Tenaga Kesehatan harus
memiliki:
a. STR yang masih berlaku;
b. Rekomendasi dari Organisasi Profesi; dan
c. tempat praktik.
(5) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing berlaku hanya untuk 1 (satu)
tempat.
(6) SIP masih berlaku sepanjang:
a. STR masih berlaku; dan
b. tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 47
Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik mandiri harus memasang papan nama praktik.

Bagian Ketiga
Pembinaan Praktik
Pasal 48
(1) Untuk terselenggaranya praktik tenaga kesehatan yang bermutu dan pelindungan kepada
masyarakat,
perlu dilakukan pembinaan praktik terhadap tenaga kesehatan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri bersama-sama
dengan
Pemerintah Daerah, konsil masing-masing Tenaga Kesehatan, dan Organisasi Profesi sesuai
dengan
kewenangannya.

Bagian Keempat
Penegakan Disiplin Tenaga Kesehatan
Pasal 49
(1) Untuk menegakkan disiplin Tenaga Kesehatan dalam penyelenggaraan praktik, konsil
masing-masing
Tenaga Kesehatan menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran
disiplin
Tenaga Kesehatan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), konsil masing-masing
Tenaga
Kesehatan dapat memberikan sanksi disiplin berupa:
a. pemberian peringatan tertulis;
b. rekomendasi pencabutan STR atau SIP; dan/atau
c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kesehatan.
(3) Tenaga Kesehatan dapat mengajukan keberatan atas putusan sanksi disiplin sebagaimana
dimaksud
pada ayat (2) kepada Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi disiplin sebagaimana
dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VII
ORGANISASI PROFESI
Pasal 50
(1) Tenaga Kesehatan harus membentuk Organisasi Profesi sebagai wadah untuk
meningkatkan dan/atau
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat, dan etika profesi Tenaga
Kesehatan.
(2) Setiap jenis Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi.
(3) Pembentukan Organisasi Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 51
(1) Untuk mengembangkan cabang disiplin ilmu dan standar pendidikan Tenaga Kesehatan,
setiap
Organisasi Profesi dapat membentuk Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan.
(2) Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan badan
otonom di dalam Organisasi Profesi.
(3) Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab
kepada Organisasi Profesi.

BAB VIII
TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA INDONESIA LULUSAN LUAR NEGERI DAN TENAGA
KESEHATAN WARGA NEGARA ASING
Bagian Kesatu
Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri
Pasal 52
(1) Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia lulusan luar negeri yang akan melakukan
praktik di
Indonesia harus mengikuti proses evaluasi kompetensi.
(2) Proses evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. penilaian kelengkapan administratif; dan
b. penilaian kemampuan untuk melakukan praktik.
(3) Kelengkapan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling sedikit
terdiri atas:
a. penilaian keabsahan ijazah oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang
pendidikan;
b. surat keterangan sehat fisik dan mental; dan
c. surat pernyataan untuk mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
(4) Penilaian kemampuan untuk melakukan praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b dilakukan
melalui uji kompetensi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(5) Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia lulusan luar negeri yang telah lulus Uji
Kompetensi dan yang
akan melakukan praktik di Indonesia memperoleh STR.
(6) Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia lulusan luar negeri yang akan melakukan
praktik
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memiliki SIP sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang ini.
(7) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan oleh konsil masing-masing Tenaga
Kesehatan
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara proses evaluasi kompetensi bagi Tenaga
Kesehatan Warga
Negara Indonesia lulusan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan
Menteri.

Bagian Kedua
Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing
Pasal 53
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat mendayagunakan Tenaga Kesehatan warga negara
asing sesuai
dengan persyaratan.
(2) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan
dengan mempertimbangkan:
a. alih teknologi dan ilmu pengetahuan; dan
b. ketersediaan Tenaga Kesehatan setempat.
Pasal 54
(1) Tenaga Kesehatan warga negara asing yang akan menjalankan praktik di Indonesia harus
mengikuti
evaluasi kompetensi.
(2) Evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. penilaian kelengkapan administratif; dan
b. penilaian kemampuan untuk melakukan praktik.
(3) Kelengkapan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling sedikit
terdiri atas:
a. penilaian keabsahan ijazah oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang pendidikan;
b. surat keterangan sehat fisik dan mental; dan
c. surat pernyataan untuk mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
(4) Penilaian kemampuan untuk melakukan praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b dinyatakan
dengan surat keterangan yang menyatakan telah mengikuti program evaluasi kompetensi dan
Sertifikat
Kompetensi.
(5) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tenaga Kesehatan warga negara
asing harus
memenuhi persyaratan lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
18 / 28
www.hukumonline.com
Pasal 55
(1) Tenaga Kesehatan warga negara asing yang telah mengikuti proses evaluasi kompetensi
dan yang akan
melakukan praktik di Indonesia harus memiliki STR Sementara dan SIP.
(2) STR sementara bagi Tenaga Kesehatan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang hanya untuk 1 (satu) tahun berikutnya.
(3) Tenaga Kesehatan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan
Praktik di
Indonesia berdasarkan atas permintaan pengguna Tenaga Kesehatan warga negara asing.
(4) SIP bagi Tenaga Kesehatan warga negara asing berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang
hanya untuk 1 (satu) tahun berikutnya.
Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan dan praktik Tenaga Kesehatan warga negara
asing diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX
HAK DAN KEWAJIBAN TENAGA KESEHATAN
Pasal 57
Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak:
a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar
Profesi, Standar
Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional;
b. memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau
keluarganya;
c. menerima imbalan jasa;
d. memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang sesuai
dengan harkat
dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai agama;
e. mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya;
f. menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang bertentangan
dengan Standar
Profesi, kode etik, standar pelayanan, Standar Prosedur Operasional, atau ketentuan
Peraturan
Perundang-undangan; dan
g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 58
(1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib:
a. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan
Profesi,
Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima
Pelayanan
Kesehatan;
b. memperoleh persetujuan dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau keluarganya atas
tindakan
yang akan diberikan;
c. menjaga kerahasiaan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;
d. membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang pemeriksaan, asuhan, dan
tindakan
yang dilakukan; dan
e. merujuk Penerima Pelayanan Kesehatan ke Tenaga Kesehatan lain yang mempunyai
Kompetensi
dan kewenangan yang sesuai.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf d hanya berlaku bagi
Tenaga
Kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perseorangan.
Pasal 59
(1) Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib
memberikan
pertolongan pertama kepada Penerima Pelayanan Kesehatan dalam keadaan gawat darurat
dan/atau
pada bencana untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan.
(2) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak Penerima
Pelayanan
Kesehatan dan/atau dilarang meminta uang muka terlebih dahulu.

BAB X
PENYELENGGARAAN KEPROFESIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 60
Tenaga Kesehatan bertanggung jawab untuk:
a. mengabdikan diri sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki;
b. meningkatkan Kompetensi;
c. bersikap dan berperilaku sesuai dengan etika profesi;
d. mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau kelompok; dan
e. melakukan kendali mutu pelayanan dan kendali biaya dalam menyelenggarakan upaya
kesehatan.
Pasal 61
Dalam menjalankan praktik, Tenaga Kesehatan yang memberikan pelayanan langsung kepada
Penerima
Pelayanan Kesehatan harus melaksanakan upaya terbaik untuk kepentingan Penerima
Pelayanan Kesehatan
dengan tidak menjanjikan hasil.

Bagian Kedua
Kewenangan
Pasal 62
(1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik harus dilakukan sesuai dengan kewenangan
yang
didasarkan pada Kompetensi yang dimilikinya.
(2) Jenis Tenaga Kesehatan tertentu yang memiliki lebih dari satu jenjang pendidikan memiliki
kewenangan
profesi sesuai dengan lingkup dan tingkat Kompetensi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 63
(1) Dalam keadaan tertentu Tenaga Kesehatan dapat memberikan pelayanan di luar
kewenangannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai menjalankan keprofesian di luar kewenangan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 64
Setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan dilarang melakukan praktik seolah-olah sebagai
Tenaga Kesehatan
yang telah memiliki izin.

Bagian Ketiga
Pelimpahan Tindakan
Pasal 65
(1) Dalam melakukan pelayanan kesehatan, Tenaga Kesehatan dapat menerima pelimpahan
tindakan medis
dari tenaga medis.
(2) Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, tenaga teknis kefarmasian dapat menerima
pelimpahan
pekerjaan kefarmasian dari tenaga apoteker.
(3) Pelimpahan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan
ketentuan:
a. tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam kemampuan dan keterampilan yang telah
dimiliki oleh
penerima pelimpahan;
b. pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap di bawah pengawasan pemberi pelimpahan;
c. pemberi pelimpahan tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilimpahkan sepanjang
pelaksanaan tindakan sesuai dengan pelimpahan yang diberikan; dan
d. tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk pengambilan keputusan sebagai dasar
pelaksanaan
tindakan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelimpahan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat
Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional
.com
Pasal 66
(1) Setiap Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berkewajiban untuk mematuhi
Standar Profesi,
Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional.
(2) Standar Profesi dan Standar Pelayanan Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk masingmasing
jenis Tenaga Kesehatan ditetapkan oleh organisasi profesi bidang kesehatan dan disahkan
oleh
Menteri.
(3) Standar Pelayanan Profesi yang berlaku universal ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(4) Standar Prosedur Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi,
dan Standar
Prosedur Operasional diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 67
(1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik dapat melakukan penelitian dan
pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan.
(2) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk
menghasilkan
informasi kesehatan, teknologi, produk teknologi, dan teknologi informasi kesehatan untuk
mendukung
pembangunan kesehatan.
(3) Penelitian dan pengembangan kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundangundangan.

Bagian Kelima
Persetujuan Tindakan Tenaga Kesehatan
Pasal 68
(1) Setiap tindakan pelayanan kesehatan perseorangan yang dilakukan oleh Tenaga
Kesehatan harus
mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat penjelasan
secara cukup
dan patut.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. tata cara tindakan pelayanan;
b. tujuan tindakan pelayanan yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan, baik secara tertulis
maupun lisan.
(5) Setiap tindakan Tenaga Kesehatan yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan
persetujuan
tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 69
(1) Pelayanan kesehatan masyarakat harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan tidak
melanggar
hak asasi manusia.
(2) Pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang merupakan
program
Pemerintah tidak memerlukan persetujuan tindakan.
(3) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap harus diinformasikan
kepada
masyarakat Penerima Pelayanan Kesehatan tersebut.

Bagian Keenam
Rekam Medis
Pasal 70
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan perseorangan wajib
membuat rekam
medis Penerima Pelayanan Kesehatan.
(2) Rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
segera
dilengkapi setelah Penerima Pelayanan Kesehatan selesai menerima pelayanan kesehatan.
(3) Setiap rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan harus dibubuhi nama, waktu, dan
tanda tangan atau
paraf Tenaga Kesehatan yang memberikan pelayanan atau tindakan.
(4) Rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
disimpan dan
dijaga kerahasiaannya oleh Tenaga Kesehatan dan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Pasal 71
(1) Rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70
merupakan milik
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(2) Dalam hal dibutuhkan, Penerima Pelayanan Kesehatan dapat meminta resume rekam
medis kepada
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Pasal 72
Ketentuan lebih lanjut mengenai rekam medis diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh
Rahasia Kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan
Pasal 73
(1) Setiap Tenaga Kesehatan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan wajib menyimpan
rahasia
kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan.
(2) Rahasia kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan dapat dibuka hanya untuk kepentingan
kesehatan
Penerima Pelayanan Kesehatan, pemenuhan permintaan aparatur penegak hukum bagi
kepentingan
penegakan hukum, permintaan Penerima Pelayanan Kesehatan sendiri, atau pemenuhan
ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang rahasia kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedelapan
Pelindungan bagi Tenaga Kesehatan dan Penerima Pelayanan Kesehatan
Pasal 74
Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang mengizinkan Tenaga Kesehatan yang tidak
memiliki STR dan
izin untuk menjalankan praktik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Pasal 75
Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak mendapatkan pelindungan hukum
sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 76
Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam meningkatkan dan menjaga mutu pemberian
pelayanan
kesehatan dapat membentuk komite atau panitia atau tim untuk kelompok Tenaga Kesehatan
di lingkungan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

BAB XI
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 77
Setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian Tenaga
Kesehatan dapat
meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 78
Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya yang
menyebabkan
kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang timbul akibat kelalaian
tersebut harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 79
Penyelesaian perselisihan antara Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

BAB XII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 80
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Tenaga
Kesehatan
dengan melibatkan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dan Organisasi Profesi sesuai
dengan
kewenangannya.
Pasal 81
(1) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 diarahkan untuk:
a. meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Tenaga Kesehatan;
b. melindungi Penerima Pelayanan Kesehatan dan masyarakat atas tindakan yang dilakukan
Tenaga
Kesehatan; dan
c. memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan Tenaga Kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 82
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 47, Pasal 52 ayat (1),
Pasal 54 ayat
(1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 62 ayat (1), Pasal 66 ayat (1), Pasal 68 ayat (1),
Pasal 70
ayat (1), Pasal 70 ayat (2), Pasal 70 ayat (3) dan Pasal 73 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat
(2), Pasal 53
ayat (1), Pasal 70 ayat (4), dan Pasal 74 dikenai sanksi administratif.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai
dengan
kewenangannya memberikan sanksi administratif kepada Tenaga Kesehatan dan Fasilitas
Pelayanan
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
a. teguran lisan;
b. peringatan tertulis;
c. denda administratif; dan/atau
d. pencabutan izin.
(5) Tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap Tenaga Kesehatan dan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
25 / 28
www.hukumonline.com
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 83
Setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan melakukan praktik seolah-olah sebagai Tenaga
Kesehatan yang
telah memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima)
tahun.
Pasal 84
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima
Pelayanan
Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap
Tenaga
Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 85
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang dengan sengaja menjalankan praktik tanpa memiliki STR
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
(2) Setiap Tenaga Kesehatan warga negara asing yang dengan sengaja memberikan
pelayanan kesehatan
tanpa memiliki STR Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dipidana
dengan pidana
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 86
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
(2) Setiap Tenaga Kesehatan warga negara asing yang dengan sengaja memberikan
pelayanan kesehatan
tanpa memiliki SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dipidana dengan pidana
denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 87
(1) Bukti Registrasi dan perizinan Tenaga Kesehatan yang telah dimiliki oleh Tenaga
Kesehatan, pada saat
berlakunya Undang-Undang ini, dinyatakan masih tetap berlaku sampai habis masa
berlakunya.
(2) Tenaga Kesehatan yang belum memiliki bukti Registrasi dan perizinan wajib menyesuaikan
dengan
ketentuan Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal 88
(1) Tenaga Kesehatan lulusan pendidikan di bawah Diploma Tiga yang telah melakukan praktik
sebelum
ditetapkan Undang-Undang ini, tetap diberikan kewenangan untuk menjalankan praktik
sebagai Tenaga
Kesehatan untuk jangka waktu 6 (enam) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperoleh dengan mengajukan
permohonan
mendapatkan STR Tenaga Kesehatan.
Pasal 89
Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia dan Komite Farmasi Nasional sebagaimana diatur dalam
peraturan
perundang-undangan tetap melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya sampai
terbentuknya Konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia.
Pasal 90
(1) Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi menjadi bagian dari Konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia
setelah Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia terbentuk sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang ini.
(2) Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang
Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan
Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4431) tetap melaksanakan fungsi, tugas, dan
wewenangnya sampai
dengan terbentuknya Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.
(3) Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) tetap melaksanakan fungsi dan
tugasnya
sampai dengan terbentuknya sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia

BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 91
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai
Tenaga Kesehatan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 92
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996
tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3637) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 93
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 harus dibentuk
paling lama 2 (dua)
tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 94
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Pasal 4 ayat (2), Pasal 17, Pasal 20 ayat (4), dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan
b. Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) menjadi sekretariat Konsil
Tenaga
Kesehatan Indonesia setelah terbentuknya Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.
Pasal 95
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun
terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 96
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 17 Oktober 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 17 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2011
TENTANG
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS
adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
jaminan sosial.
2. Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya yang layak.

3. Dana Jaminan Sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta yang
merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang
dikelola oleh BPJS untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan
pembiayaan operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial.

4. Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling
singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.

5. Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta


dan/atau anggota keluarganya.

6. Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh Peserta,
pemberi kerja, dan/atau Pemerintah.

7. Bantuan Iuran adalah Iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir
miskin dan orang tidak mampu sebagai Peserta program Jaminan Sosial.

8. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah,
atau imbalan dalam bentuk lain.

9. Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum,


atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau
penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan
membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya.
10. Gaji atau Upah adalah hak Pekerja yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari Pemberi Kerja kepada Pekerja
yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan
bagi Pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang
telah atau akan dilakukan.
11. Dewan Jaminan Sosial Nasional yang selanjutnya disingkat DJSN
adalah dewan yang berfungsi untuk membantu Presiden dalam
perumusan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan sistem
jaminan sosial nasional.
12. Dewan Pengawas adalah organ BPJS yang bertugas melakukan
pengawasan atas pelaksanaan pengurusan BPJS oleh direksi dan
memberikan nasihat kepada direksi dalam penyelenggaraan program
Jaminan Sosial.
13. Direksi adalah organ BPJS yang berwenang dan bertanggung jawab
penuh atas pengurusan BPJS untuk kepentingan BPJS, sesuai dengan
asas, tujuan, dan prinsip BPJS, serta mewakili BPJS, baik di dalam
maupun di luar pengadilan, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
ini.
14. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah
Presiden Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 2
BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan
asas:
a. kemanusiaan;
b. manfaat; dan
c. keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 3
BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian
jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap
Peserta dan/atau anggota keluarganya.
Pasal 4
BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan
prinsip:
a. kegotongroyongan;
b. nirlaba;
c. keterbukaan;
d. kehati-hatian;
e. akuntabilitas;
f. portabilitas;
g. kepesertaan bersifat wajib;
h. dana amanat; dan
i. hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya
untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan
Peserta.

BAB II
PEMBENTUKAN DAN RUANG LINGKUP
Bagian Kesatu
Pembentukan
Pasal 5
(1) Berdasarkan Undang-Undang ini dibentuk BPJS.

(2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:


a. BPJS Kesehatan; dan
b. BPJS Ketenagakerjaan.
Bagian Kedua
Ruang Lingkup
Pasal 6
(1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf
a menyelenggarakan program jaminan kesehatan.

(2) BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)


huruf b menyelenggarakan program:

a. jaminan kecelakaan kerja;

b. jaminan hari tua;

c. jaminan pensiun; dan

d. jaminan kematian.

BAB III
STATUS DAN TEMPAT KEDUDUKAN
Bagian Kesatu
Status
Pasal 7
(1) BPJS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalah badan hukum
publik berdasarkan Undang-Undang ini.

(2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab


kepada Presiden.

Bagian Kedua
Tempat Kedudukan
Pasal 8
(1) BPJS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berkedudukan dan
berkantor pusat di ibu kota Negara Republik Indonesia.

(2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mempunyai kantor
perwakilan di provinsi dan kantor cabang di kabupaten/kota.

BAB IV
FUNGSI, TUGAS, WEWENANG, HAK, DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Fungsi
Pasal 9
(1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf
a berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan.

(2) BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)


huruf b berfungsi menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja,
program jaminan kematian, program jaminan pensiun, dan jaminan hari
tua.

Bagian Kedua
Tugas
Pasal 10
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,
BPJS bertugas untuk:
a. melakukan dan/atau menerima pendaftaran Peserta;

b. memungut dan mengumpulkan Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja;

c. menerima Bantuan Iuran dari Pemerintah;

d. mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan Peserta;

e. mengumpulkan dan mengelola data Peserta program Jaminan Sosial;

f. membayarkan Manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan


sesuai dengan ketentuan program Jaminan Sosial; dan

g. memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program Jaminan


Sosial kepada Peserta dan masyarakat.

Bagian Ketiga
Wewenang
Pasal 11
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
BPJS berwenang untuk:
a. menagih pembayaran Iuran;

b. menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek


dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas,
solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai;

c. melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan


Pemberi Kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional;

d. membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar


pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang
ditetapkan oleh Pemerintah;

e. membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas


kesehatan;
f. mengenakan sanksi administratif kepada Peserta atau Pemberi Kerja
yang tidak memenuhi kewajibannya;
g. melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang berwenang mengenai
ketidakpatuhannya dalam membayar Iuran atau dalam memenuhi
kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
h. melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka
penyelenggaraan program Jaminan Sosial.

Bagian Keempat
Hak
Pasal 12
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11, BPJS berhak untuk:
a. memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program yang
bersumber dari Dana Jaminan Sosial dan/atau sumber lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program
Jaminan Sosial dari DJSN setiap 6 (enam) bulan.

Bagian Kelima
Kewajiban
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
BPJS berkewajiban untuk:
a. memberikan nomor identitas tunggal kepada Peserta;

b. mengembangkan aset Dana Jaminan Sosial dan aset BPJS untuk


sebesar-besarnya kepentingan Peserta;

c. memberikan informasi melalui media massa cetak dan elektronik


mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil
pengembangannya;

d. memberikan Manfaat kepada seluruh Peserta sesuai dengan Undang-


Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;

e. memberikan informasi kepada Peserta mengenai hak dan kewajiban


untuk mengikuti ketentuan yang berlaku;

f. memberikan informasi kepada Peserta mengenai prosedur untuk


mendapatkan hak dan memenuhi kewajibannya;
g. memberikan informasi kepada Peserta mengenai saldo jaminan hari
tua dan pengembangannya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun;

h. memberikan informasi kepada Peserta mengenai besar hak pensiun 1


(satu) kali dalam 1 (satu) tahun;

i. membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktik aktuaria


yang lazim dan berlaku umum;

j. melakukan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang


berlaku dalam penyelenggaraan Jaminan Sosial; dan

k. melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi keuangan,


secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden dengan tembusan
kepada DJSN.
BAB V
PENDAFTARAN PESERTA DAN PEMBAYARAN IURAN
Bagian Kesatu
Pendaftaran Peserta
Pasal 14
Setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam)
bulan di Indonesia, wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial.
Pasal 15
(1) Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan
Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program
Jaminan Sosial yang diikuti.

(2) Pemberi Kerja, dalam melakukan pendaftaran sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), wajib memberikan data dirinya dan Pekerjanya
berikut anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.

(3) Penahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan


Peraturan Presiden.

Pasal 16
(1) Setiap orang, selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan penerima Bantuan
Iuran, yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program Jaminan
Sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai
Peserta kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial yang
diikuti.

(2) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan
data mengenai dirinya dan anggota keluarganya secara lengkap dan
benar kepada BPJS.

Pasal 17
(1) Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2),
dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat


berupa:

a. teguran tertulis;

b. denda; dan/atau

c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu.

(3) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
huruf b dilakukan oleh BPJS.
(4) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
dilakukan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah atas permintaan
BPJS.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi


administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18
(1) Pemerintah mendaftarkan penerima Bantuan Iuran dan anggota
keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS.

(2) Penerima Bantuan Iuran wajib memberikan data mengenai diri


sendiri dan anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada
Pemerintah untuk disampaikan kepada BPJS.

Bagian Kedua
Pembayaran Iuran
Pasal 19
(1) Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta
dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS.

(2) Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi
tanggung jawabnya kepada BPJS.

(3) Peserta yang bukan Pekerja dan bukan penerima Bantuan Iuran
wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya
kepada BPJS.

(4) Pemerintah membayar dan menyetor Iuran untuk penerima Bantuan


Iuran kepada BPJS.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai:

a. besaran dan tata cara pembayaran Iuran program jaminan kesehatan


diatur dalam Peraturan Presiden; dan

b. besaran dan tata cara pembayaran Iuran selain program jaminan


kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VI
ORGAN BPJS
Bagian Kesatu
Struktur
Pasal 20
Organ BPJS terdiri atas Dewan Pengawas dan Direksi.
Bagian Kedua
Dewan Pengawas
Pasal 21
(1) Dewan Pengawas terdiri atas 7 (tujuh) orang profesional.

(2) Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 2
(dua) orang unsur Pemerintah, 2 (dua) orang unsur Pekerja, dan 2 (dua)
orang unsur Pemberi Kerja, serta 1 (satu) orang unsur tokoh
masyarakat.

(3) Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

(4) Salah seorang dari anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) ditetapkan sebagai ketua Dewan Pengawas oleh Presiden.

(5) Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diusulkan untuk
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 22
(1) Dewan Pengawas berfungsi melakukan pengawasan atas pelaksanaan
tugas BPJS.

(2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


Dewan Pengawas bertugas untuk:

a. melakukan pengawasan atas kebijakan pengelolaan BPJS dan kinerja


Direksi;

b. melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengelolaan dan


pengembangan Dana Jaminan Sosial oleh Direksi;

c. memberikan saran, nasihat, dan pertimbangan kepada Direksi


mengenai kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan BPJS; dan

d. menyampaikan laporan pengawasan penyelenggaraan Jaminan Sosial


sebagai bagian dari laporan BPJS kepada Presiden dengan tembusan
kepada DJSN.

(3) Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2),


Dewan Pengawas berwenang untuk:

a. menetapkan rencana kerja anggaran tahunan BPJS;

b. mendapatkan dan/atau meminta laporan dari Direksi;

c. mengakses data dan informasi mengenai penyelenggaraan BPJS;

d. melakukan penelaahan terhadap data dan informasi mengenai


penyelenggaraan BPJS; dan

e. memberikan saran dan rekomendasi kepada Presiden mengenai


kinerja Direksi.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan


wewenang Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Dewan Pengawas.

Bagian Ketiga
Direksi
Pasal 23
(1) Direksi terdiri atas paling sedikit 5 (lima) orang anggota yang berasal
dari unsur profesional.

(2) Anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden.
(3) Presiden menetapkan salah seorang dari anggota Direksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai direktur utama.

(4) Anggota Direksi diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan
dapat diusulkan untuk diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan berikutnya.

Pasal 24
(1) Direksi berfungsi melaksanakan penyelenggaraan kegiatan
operasional BPJS yang menjamin Peserta untuk mendapatkan Manfaat
sesuai dengan haknya.

(2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


Direksi bertugas untuk:

a. melaksanakan pengelolaan BPJS yang meliputi perencanaan,


pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi;

b. mewakili BPJS di dalam dan di luar pengadilan; dan

c. menjamin tersedianya fasilitas dan akses bagi Dewan Pengawas untuk


melaksanakan fungsinya.

(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2),


Direksi berwenang untuk:

a. melaksanakan wewenang BPJS;

b. menetapkan struktur organisasi beserta tugas pokok dan fungsi, tata


kerja organisasi, dan sistem kepegawaian;

c. menyelenggarakan manajemen kepegawaian BPJS termasuk


mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan pegawai BPJS serta
menetapkan penghasilan pegawai BPJS;

d. mengusulkan kepada Presiden penghasilan bagi Dewan Pengawas dan


Direksi;

e. menetapkan ketentuan dan tata cara pengadaan barang dan jasa


dalam rangka penyelenggaraan tugas BPJS dengan memperhatikan
prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas;

f. melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS paling banyak


Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dengan persetujuan
Dewan Pengawas;

g. melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih dari


Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) sampai dengan
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan
Presiden; dan

h. melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih dari


Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan


wewenang Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Direksi.
BAB VII
PERSYARATAN, TATA CARA PEMILIHAN DAN PENETAPAN,
DAN PEMBERHENTIAN ANGGOTA DEWAN PENGAWAS
DAN ANGGOTA DIREKSI
Bagian Kesatu
Persyaratan Anggota Dewan Pengawas
dan Anggota Direksi
Paragraf 1
Persyaratan Umum
Pasal 25
(1) Untuk dapat diangkat sebagai anggota Dewan Pengawas atau anggota
Direksi, calon yang bersangkutan harus memenuhi syarat sebagai
berikut:

a. warga negara Indonesia;


b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. sehat jasmani dan rohani;


d. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;

e. memiliki kualifikasi dan kompetensi yang sesuai untuk pengelolaan


program Jaminan Sosial;
f. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 60
(enam puluh) tahun pada saat dicalonkan menjadi anggota;

g. tidak menjadi anggota atau menjabat sebagai pengurus partai politik;


h. tidak sedang menjadi tersangka atau terdakwa dalam proses
peradilan;
i. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih; dan/atau

j. tidak pernah menjadi anggota direksi, komisaris, atau dewan


pengawas pada suatu badan hukum yang dinyatakan pailit karena
kesalahan yang bersangkutan.
(2) Selama menjabat, anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi
tidak boleh merangkap jabatan di pemerintahan atau badan hukum
lainnya.

Paragraf 2
Persyaratan Khusus
Pasal 26
Selain harus memiliki persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25, calon anggota Dewan Pengawas harus memenuhi persyaratan
khusus, yaitu memiliki kompetensi dan pengalaman di bidang
manajemen, khususnya di bidang pengawasan paling sedikit 5 (lima)
tahun.
Pasal 27
Selain harus memiliki persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25, calon anggota Direksi harus memenuhi persyaratan khusus, yaitu
memiliki kompetensi yang terkait untuk jabatan direksi yang
bersangkutan dan memiliki pengalaman manajerial paling sedikit 5
(lima) tahun.
Bagian Kedua
Tata Cara Pemilihan dan Penetapan
Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi
Pasal 28
(1) Untuk memilih dan menetapkan anggota Dewan Pengawas dan
anggota Direksi, Presiden membentuk panitia seleksi yang bertugas
melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

(2) Keanggotaan panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


terdiri atas 2 (dua) orang unsur Pemerintah dan 5 (lima) orang unsur
masyarakat.

(3) Keanggotaan panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 29
(1) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
mengumumkan penerimaan pendaftaran calon anggota Dewan Pengawas
dan calon anggota Direksi paling lama 5 (lima) hari kerja setelah
ditetapkan.

(2) Pendaftaran dan seleksi calon anggota Dewan Pengawas dan calon
anggota Direksi dilakukan dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja secara
terus-menerus.

(3) Panitia seleksi mengumumkan nama calon anggota Dewan Pengawas


dan nama calon anggota Direksi kepada masyarakat untuk
mendapatkan tanggapan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah
pendaftaran ditutup.
(4) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada
panitia seleksi paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak
tanggal diumumkan.

(5) Panitia seleksi menentukan nama calon anggota Dewan Pengawas


dan nama calon anggota Direksi yang akan disampaikan kepada
Presiden sebanyak 2 (dua) kali jumlah jabatan yang diperlukan paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditutupnya masa
penyampaian tanggapan dari masyarakat.

Pasal 30
(1) Presiden memilih dan menetapkan anggota Dewan Pengawas yang
berasal dari unsur Pemerintah dan anggota Direksi berdasarkan usul
dari panitia seleksi.

(2) Presiden mengajukan nama calon anggota Dewan Pengawas yang


berasal dari unsur Pekerja, unsur Pemberi Kerja, dan unsur tokoh
masyarakat kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
sebanyak 2 (dua) kali jumlah jabatan yang diperlukan, paling lama 10
(sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya daftar nama
calon dari panitia seleksi.

(3) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memilih anggota


Dewan Pengawas yang berasal dari unsur Pekerja, unsur Pemberi Kerja,
dan unsur tokoh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
penerimaan usulan dari Presiden.

(4) Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia


menyampaikan nama calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
kepada Presiden paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal
berakhirnya pemilihan.

(5) Presiden menetapkan calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat


(4) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
penerimaan surat dari pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.

(6) Penetapan anggota Dewan Pengawas dari unsur pemerintah dan


anggota Direksi dilakukan bersama-sama dengan penetapan anggota
Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan dan penetapan
Dewan Pengawas dan Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28,
Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Pemberhentian
Pasal 32
Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi berhenti dari jabatannya
karena:
a. meninggal dunia;

b. masa jabatan berakhir; atau

c. diberhentikan.
Pasal 33
(1) Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi dapat diberhentikan
sementara karena:
a. sakit terus-menerus lebih dari 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat
menjalankan tugasnya;

b. ditetapkan menjadi tersangka; atau

c. dikenai sanksi administratif pemberhentian sementara.


(2) Dalam hal anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi
diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden
menunjuk pejabat sementara dengan mempertimbangkan usulan dari
DJSN.

(3) Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dikembalikan pada jabatannya apabila telah
dinyatakan sehat kembali untuk melaksanakan tugas atau apabila
statusnya sebagai tersangka dicabut, atau sanksi administratif
pemberhentian sementaranya dicabut.

(4) Pengembalian jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)


dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak dinyatakan
sehat atau statusnya sebagai tersangka dicabut atau sanksi
administratif pemberhentian sementaranya dicabut.

(5) Pemberhentian sementara anggota Dewan Pengawas atau anggota


Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengembalian jabatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Presiden.
Pasal 34
Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi diberhentikan dari
jabatannya karena:
a. sakit terus-menerus selama 6 (enam) bulan sehingga tidak dapat
menjalankan tugasnya;

b. tidak menjalankan tugasnya sebagai anggota Dewan Pengawas atau


anggota Direksi secara terus-menerus lebih dari 3 (tiga) bulan karena
alasan selain sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c. merugikan BPJS dan kepentingan Peserta Jaminan Sosial karena


kesalahan kebijakan yang diambil;

d. menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana;

e. melakukan perbuatan tercela;

f. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai anggota Dewan Pengawas


atau anggota Direksi; dan/atau

g. mengundurkan diri secara tertulis atas permintaan sendiri.

Pasal 35
Dalam hal anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi berhenti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf a atau diberhentikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Presiden mengangkat anggota
Dewan Pengawas atau anggota Direksi pengganti untuk meneruskan sisa
masa jabatan yang digantikan.
Pasal 36
(1) Dalam hal terjadi kekosongan jabatan anggota Dewan Pengawas
dan/atau anggota Direksi, Presiden membentuk panitia seleksi untuk
memilih calon anggota pengganti antarwaktu.

(2) Prosedur pemilihan dan penetapan calon anggota pengganti


antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29,
Pasal 30, dan Pasal 31.

(3) Dalam hal sisa masa jabatan yang kosong sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kurang dari 18 (delapan belas) bulan, Presiden menetapkan
anggota pengganti antarwaktu berdasarkan usulan DJSN.

(4) DJSN mengajukan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)


berdasarkan peringkat hasil seleksi.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan dan penetapan
calon anggota pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB VIII
PERTANGGUNGJAWABAN
Pasal 37
(1) BPJS wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan
tugasnya dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik kepada
Presiden dengan tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni
tahun berikutnya.

(2) Periode laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai dari 1 Januari sampai
dengan 31 Desember.

(3) Bentuk dan isi laporan pengelolaan program sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) diusulkan oleh BPJS setelah berkonsultasi dengan DJSN.

(4) Laporan keuangan BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang
berlaku.

(5) Laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipublikasikan dalam bentuk
ringkasan eksekutif melalui media massa elektronik dan melalui paling
sedikit 2 (dua) media massa cetak yang memiliki peredaran luas secara
nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya.

(6) Bentuk dan isi publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
ditetapkan oleh Direksi setelah mendapat persetujuan dari Dewan
Pengawas.

(7) Ketentuan mengenai bentuk dan isi laporan pengelolaan program


sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 38
(1) Direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian
finansial yang ditimbulkan atas kesalahan pengelolaan Dana Jaminan
Sosial.

(2) Pada akhir masa jabatan, Dewan Pengawas dan Direksi wajib
menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya kepada
Presiden dengan tembusan kepada DJSN.
BAB IX
PENGAWASAN
Pasal 39
(1) Pengawasan terhadap BPJS dilakukan secara eksternal dan internal.

(2) Pengawasan internal BPJS dilakukan oleh organ pengawas BPJS,


yang terdiri atas:
a. Dewan Pengawas; dan
b. satuan pengawas internal.
(3) Pengawasan eksternal BPJS dilakukan oleh:
a. DJSN; dan
b. lembaga pengawas independen.

BAB X
ASET
Bagian Kesatu
Pemisahan Aset
Pasal 40
(1) BPJS mengelola:
a. aset BPJS; dan
b. aset Dana Jaminan Sosial.
(2) BPJS wajib memisahkan aset BPJS dan aset Dana Jaminan Sosial.

(3) Aset Dana Jaminan Sosial bukan merupakan aset BPJS.

(4) BPJS wajib menyimpan dan mengadministrasikan Dana Jaminan


Sosial pada bank kustodian yang merupakan badan usaha milik negara.
Bagian Kedua
Aset BPJS
Pasal 41
(1) Aset BPJS bersumber dari:
a. modal awal dari Pemerintah, yang merupakan kekayaan negara yang
dipisahkan dan tidak terbagi atas saham;

b. hasil pengalihan aset Badan Usaha Milik Negara yang


menyelenggarakan program jaminan sosial;

c. hasil pengembangan aset BPJS;

d. dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial; dan/atau

e. sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(2) Aset BPJS dapat digunakan untuk:
a. biaya operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial;

b. biaya pengadaan barang dan jasa yang digunakan untuk mendukung


operasional penyelenggaraan Jaminan Sosial;

c. biaya untuk peningkatan kapasitas pelayanan; dan

d. investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan peraturan


perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber dan penggunaan aset BPJS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 42
Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a
untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan masing-
masing paling banyak Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Bagian Ketiga
Aset Dana Jaminan Sosial
Pasal 43
(1) Aset Dana Jaminan Sosial bersumber dari:
a. Iuran Jaminan Sosial termasuk Bantuan Iuran;

b. hasil pengembangan Dana Jaminan Sosial;

c. hasil pengalihan aset program jaminan sosial yang menjadi hak


Peserta dari Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan program
jaminan sosial; dan

d. sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(2) Aset Dana Jaminan Sosial digunakan untuk:
a. pembayaran Manfaat atau pembiayaan layanan Jaminan Sosial;

b. dana operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial; dan


c. investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber dan penggunaan aset Dana
Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Biaya Operasional
Pasal 44
(1) Biaya operasional BPJS terdiri atas biaya personel dan biaya non
personel.

(2) Personel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Dewan
Pengawas, Direksi, dan karyawan.

(3) Biaya personel mencakup Gaji atau Upah dan manfaat tambahan
lainnya.

(4) Dewan Pengawas, Direksi, dan karyawan memperoleh Gaji atau Upah
dan manfaat tambahan lainnya yang sesuai dengan wewenang dan/atau
tanggung jawabnya dalam menjalankan tugas di dalam BPJS.

(5) Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya sebagaimana


dimaksud pada ayat (4) memperhatikan tingkat kewajaran yang berlaku.

(6) Dewan Pengawas, Direksi, dan karyawan dapat memperoleh insentif


sesuai dengan kinerja BPJS yang dibayarkan dari hasil pengembangan.

(7) Ketentuan mengenai Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya
serta insentif bagi karyawan ditetapkan dengan peraturan Direksi.

(8) Ketentuan mengenai Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya
serta insentif bagi anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi diatur
dengan Peraturan Presiden.
Pasal 45
(1) Dana operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1)
huruf d ditentukan berdasarkan persentase dari Iuran yang diterima
dan/atau dari dana hasil pengembangan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persentase dana operasional


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

BAB XI
PEMBUBARAN BPJS
Pasal 46
BPJS hanya dapat dibubarkan dengan Undang-Undang.
Pasal 47
BPJS tidak dapat dipailitkan berdasarkan ketentuan perundangan-
undangan mengenai kepailitan.

BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Kesatu
Penyelesaian Pengaduan
Pasal 48
(1) BPJS wajib membentuk unit pengendali mutu pelayanan dan
penanganan pengaduan Peserta.

(2) BPJS wajib menangani pengaduan paling lama 5 (lima) hari kerja
sejak diterimanya pengaduan.

(3) Ketentuan mengenai unit pengendali mutu dan penanganan


pengaduan Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan BPJS.

Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi
Pasal 49
(1) Pihak yang merasa dirugikan yang pengaduannya belum dapat
diselesaikan oleh unit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1),
penyelesaian sengketanya dapat dilakukan melalui mekanisme mediasi.

(2) Mekanisme mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan


melalui bantuan mediator yang disepakati oleh kedua belah pihak secara
tertulis.

(3) Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan paling lama 30 (tiga


puluh) hari kerja sejak penandatangan kesepakatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) oleh kedua belah pihak.
(4) Penyelesaian sengketa melalui mekanisme mediasi, setelah ada
kesepakatan kedua belah pihak secara tertulis, bersifat final dan
mengikat.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian sengketa


melalui mediasi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Pasal 50
Dalam hal pengaduan tidak dapat diselesaikan oleh unit pengendali
mutu pelayanan dan penanganan pengaduan Peserta melalui mekanisme
mediasi tidak dapat terlaksana, penyelesaiannya dapat diajukan ke
pengadilan negeri di wilayah tempat tinggal pemohon.

BAB XIII
HUBUNGAN DENGAN LEMBAGA LAIN
Pasal 51
(1) Dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan program
Jaminan Sosial, BPJS bekerja sama dengan lembaga Pemerintah.

(2) Dalam menjalankan tugasnya, BPJS dapat bekerja sama dengan


organisasi atau lembaga lain di dalam negeri atau di luar negeri.

(3) BPJS dapat bertindak mewakili Negara Republik Indonesia sebagai


anggota organisasi atau anggota lembaga internasional apabila terdapat
ketentuan bahwa anggota dari organisasi atau lembaga internasional
tersebut mengharuskan atas nama negara.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara hubungan antarlembaga


diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIV
LARANGAN
Pasal 52
Anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi dilarang:
a. memiliki hubungan keluarga sampai derajat ketiga antaranggota
Dewan Pengawas, antaranggota Direksi, dan antara anggota Dewan
Pengawas dan anggota Direksi;

b. memiliki bisnis yang mempunyai keterkaitan dengan penyelenggaraan


Jaminan Sosial;
c. melakukan perbuatan tercela;

d. merangkap jabatan sebagai anggota partai politik, pengurus


organisasi masyarakat atau organisasi sosial atau lembaga swadaya
masyarakat yang terkait dengan program Jaminan Sosial, pejabat
struktural dan fungsional pada lembaga pemerintahan, pejabat di badan
usaha dan badan hukum lainnya;
e. membuat atau mengambil keputusan yang mengandung unsur
benturan kepentingan;

f. mendirikan atau memiliki seluruh atau sebagian badan usaha yang


terkait dengan program Jaminan Sosial;
g. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan
dihapuskannya suatu laporan dalam buku catatan atau dalam laporan,
dokumen atau laporan kegiatan usaha, atau laporan transaksi BPJS
dan/atau Dana Jaminan Sosial;

h. menyalahgunakan dan/atau menggelapkan aset BPJS dan/atau Dana


Jaminan Sosial;
i. melakukan subsidi silang antarprogram;

j. menempatkan investasi aset BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial


pada jenis investasi yang tidak terdaftar pada Peraturan Pemerintah;

k. menanamkan investasi kecuali surat berharga tertentu dan/atau


investasi peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan
sosial;
l. membuat atau menyebabkan adanya suatu laporan palsu dalam buku
catatan atau dalam laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan
usaha, atau laporan transaksi BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial;
dan/atau

m. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau


menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam
laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan
transaksi atau merusak catatan pembukuan BPJS dan/atau Dana
Jaminan Sosial.

Pasal 53
(1) Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi yang melanggar
ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dikenai sanksi
administratif.

(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan oleh Presiden atau pejabat yang ditunjuk.

(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:


a. peringatan tertulis;

b. pemberhentian sementara; dan/atau

c. pemberhentian tetap.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi


administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 54
Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi yang melanggar larangan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf g, huruf h,
huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, atau huruf m dipidana dengan pidana
penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 55
Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

BAB XVI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 56
(1) Presiden sewaktu-waktu dapat meminta laporan keuangan dan
laporan kinerja BPJS sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan
kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan penyelenggaraan Jaminan
Sosial nasional.
(2) Dalam hal terdapat kebijakan fiskal dan moneter yang mempengaruhi
tingkat solvabilitas BPJS, Pemerintah dapat mengambil kebijakan
khusus untuk menjamin kelangsungan program Jaminan Sosial.
(3) Dalam hal terjadi krisis keuangan dan kondisi tertentu yang
memberatkan perekonomian, Pemerintah dapat melakukan tindakan
khusus untuk menjaga kesehatan keuangan dan kesinambungan
penyelenggaraan program Jaminan Sosial.

BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 57
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Perusahaan Perseroan (Persero) PT Asuransi Kesehatan Indonesia
atau disingkat PT Askes (Persero) yang dibentuk dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992 tentang Pengalihan Bentuk
Perusahaan Umum (Perum) Husada Bhakti menjadi Perusahaan
Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 16) diakui keberadaannya dan tetap melaksanakan program
jaminan kesehatan, termasuk menerima pendaftaran peserta baru,
sampai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan;

b. Kementerian Kesehatan tetap melaksanakan kegiatan operasional


penyelenggaraan program jaminan kesehatan masyarakat, termasuk
penambahan peserta baru, sampai dengan beroperasinya BPJS
Kesehatan;

c. Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian


Republik Indonesia tetap melaksanakan kegiatan operasional
penyelenggaraan program layanan kesehatan bagi pesertanya, termasuk
penambahan peserta baru, sampai dengan beroperasinya BPJS
Kesehatan, kecuali untuk pelayanan kesehatan tertentu berkaitan
dengan kegiatan operasionalnya, yang ditetapkan dengan Peraturan
Presiden;

d. Perusahaan Perseroan (Persero) PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja atau


disingkat PT Jamsostek (Persero) yang dibentuk dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan
Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 59), berdasarkan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468) tetap melaksanakan
kegiatan operasional penyelenggaraan:

1. program jaminan pemeliharaan kesehatan termasuk penambahan


peserta baru sampai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan; dan

2. program jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan


hari tua bagi pesertanya, termasuk penambahan peserta baru sampai
dengan berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan.

e. Perusahaan Perseroan (Persero) PT ASABRI atau disingkat PT ASABRI


(Persero) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun
1991 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Asuransi
Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi Perusahaan
Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991
Nomor 88), berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1966 tentang
Pemberian Pensiun, Tunjangan bersifat Pensiun, dan Tunjangan Kepada
Militer Sukarela (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966
Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2812), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai
dan Pensiun Janda/Duda Pegawai (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1969 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2906), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890), Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988
Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3369),
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1968 tentang Pemberian Pensiun
Kepada Warakawuri, Tunjangan Kepada Anak Yatim/Piatu, dan Anak
Yatim-Piatu Militer Sukarela (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1968 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2863), dan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun
1991 tentang Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 87, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3455) tetap melaksanakan
kegiatan operasional penyelenggaraan program Asuransi Sosial Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun bagi
pesertanya, termasuk penambahan peserta baru, sampai dengan
dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan.
f. Perusahaan Perseroan (Persero) PT DANA TABUNGAN DAN ASURANSI
PEGAWAI NEGERI atau disingkat PT TASPEN (Persero) yang dibentuk
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengalihan
Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri
Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 38), berdasarkan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda
Pegawai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2906), Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890), dan Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai
Negeri
Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 37,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3200) tetap
melaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraan program tabungan
hari tua dan program pembayaran pensiun bagi pesertanya, termasuk
penambahan peserta baru sampai dengan dialihkan ke BPJS
Ketenagakerjaan.

BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 58
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini Dewan Komisaris dan Direksi
PT Askes (Persero) sampai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan
ditugasi untuk:
a. menyiapkan operasional BPJS Kesehatan untuk program jaminan
kesehatan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal
28 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4456).
b. menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan
kewajiban PT Askes (Persero) ke BPJS Kesehatan.

Pasal 59
Untuk pertama kali, Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero)
diangkat menjadi Dewan Pengawas dan Direksi BPJS Kesehatan untuk
jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak BPJS Kesehatan mulai
beroperasi.
Pasal 60
(1) BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program
jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014.

(2) Sejak beroperasinya BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1):
a. Kementerian Kesehatan tidak lagi menyelenggarakan program jaminan
kesehatan masyarakat;

b. Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian


Republik Indonesia tidak lagi menyelenggarakan program pelayanan
kesehatan bagi pesertanya, kecuali untuk pelayanan kesehatan tertentu
berkaitan dengan kegiatan operasionalnya, yang ditetapkan dengan
Peraturan Presiden; dan

c. PT Jamsostek (Persero) tidak lagi menyelenggarakan program jaminan


pemeliharaan kesehatan.
(3) Pada saat BPJS Kesehatan mulai beroperasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1):
a. PT Askes (Persero) dinyatakan bubar tanpa likuidasi dan semua aset
dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Askes (Persero)
menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJS
Kesehatan;

b. semua pegawai PT Askes (Persero) menjadi pegawai BPJS Kesehatan;


dan
c. Menteri Badan Usaha Milik Negara selaku Rapat Umum Pemegang
Saham mengesahkan laporan posisi keuangan penutup PT Askes
(Persero) setelah dilakukan audit oleh kantor akuntan publik dan
Menteri Keuangan mengesahkan laporan posisi keuangan pembuka
BPJS Kesehatan dan laporan posisi keuangan pembuka dana jaminan
kesehatan.

Pasal 61
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, Dewan Komisaris dan Direksi
PT Jamsostek (Persero) sampai dengan berubahnya PT Jamsostek
(Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan ditugasi untuk:
a. menyiapkan pengalihan program jaminan pemeliharaan kesehatan
kepada BPJS Kesehatan;

b. menyiapkan operasional BPJS Ketenagakerjaan untuk program


jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan
jaminan kematian;
c. menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban
program jaminan pemeliharaan kesehatan PT Jamsostek (Persero) terkait
penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan kesehatan ke BPJS
Kesehatan; dan

d. menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan


kewajiban PT Jamsostek (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan.

Pasal 62
(1) PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada
tanggal 1 Januari 2014.
(2) Pada saat PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS
Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. PT Jamsostek (Persero) dinyatakan bubar tanpa likuidasi dan semua
aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Jamsostek
(Persero) menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum
BPJS Ketenagakerjaan;

b. semua pegawai PT Jamsostek (Persero) beralih menjadi pegawai BPJS


Ketenagakerjaan;

c. Menteri Badan Usaha Milik Negara selaku Rapat Umum Pemegang


Saham mengesahkan laporan posisi keuangan penutup PT Jamsostek
(Persero) setelah dilakukan audit oleh kantor akuntan publik dan
Menteri Keuangan mengesahkan posisi laporan keuangan pembukaan
BPJS Ketenagakerjaan dan laporan posisi keuangan pembukaan dana
jaminan ketenagakerjaan; dan

d. BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan


kecelakaan kerja, program jaminan hari tua, dan program jaminan
kematian yang selama ini diselenggarakan oleh PT Jamsostek (Persero),
termasuk menerima peserta baru, sampai dengan beroperasinya BPJS
Ketenagakerjaan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 29 sampai dengan
Pasal 38 dan Pasal 43 sampai dengan Pasal 46 Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456), paling lambat 1 Juli
2015.
Pasal 63
Untuk pertama kali, Dewan Komisaris dan Direksi PT Jamsostek
(Persero) diangkat menjadi anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi
BPJS Ketenagakerjaan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun
sejak BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi.
Pasal 64
BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi menyelenggarakan program
jaminan kecelakaan kerja, program jaminan hari tua, program jaminan
pensiun, dan program jaminan kematian bagi Peserta, selain peserta
program yang dikelola PT TASPEN (Persero) dan PT ASABRI (Persero),
sesuai dengan ketentuan Pasal 29 sampai dengan Pasal 46 Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456), paling
lambat tanggal 1 Juli 2015.
Pasal 65
(1) PT ASABRI (Persero) menyelesaikan pengalihan program Asuransi
Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program
pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun
2029.

(2) PT TASPEN (Persero) menyelesaikan pengalihan program tabungan


hari tua dan program pembayaran pensiun dari PT TASPEN (Persero) ke
BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029.
Pasal 66
Ketentuan mengenai tata cara pengalihan program Asuransi Sosial
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran
pensiun dari PT ASABRI (Persero) dan pengalihan program tabungan
hari tua dan program pembayaran pensiun dari PT TASPEN (Persero) ke
BPJS Ketenagakerjaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 67
Ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4756) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4297) tidak berlaku untuk pembubaran PT
Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 ayat (3) huruf a dan Pasal 62 ayat (2) huruf a.
Pasal 68
Pada saat berubahnya PT Jamsostek (Persero) menjadi BPJS
Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1),
berdasarkan Undang-Undang ini:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan
Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 59) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi; dan

b. Ketentuan Pasal 8 sampai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 3


Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3468) dinyatakan tetap berlaku sampai
dengan beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64.

Pasal 69
Pada saat mulai beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3468) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 70
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling
lama:
a. 1 (satu) tahun untuk peraturan yang mendukung beroperasinya BPJS
Kesehatan; dan
b. 2 (dua) tahun untuk peraturan yang mendukung beroperasinya BPJS
Ketenagakerjaan

terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.


Pasal 71
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN

Anda mungkin juga menyukai