DASAR TEORI
A. Pengertian Demensia
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat
mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Penderita demensia seringkali menunjukkan
beberapa gangguan dan perubahan pada tingkah laku harian (behavioral
symptom) yang mengganggu (disruptive) ataupun tidak menganggu (non-
disruptive) (Volicer, L., Hurley, A.C., Mahoney, E. 1998). Grayson (2004)
menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan
kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu
sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku.
Lima puluh sampai enam puluh persen penyebab demensia adalah penyakit
Alzheimer. Alzhaimer adalah kondisi dimana sel syaraf pada otak mati sehingga
membuat signal dari otak tidak dapat di transmisikan sebagaimana mestinya
(Grayson, C. 2004). Penderita Alzheimer mengalami gangguan memori,
kemampuan membuat keputusan dan juga penurunan proses berpikir.
Kesadaran tidak berkabut , Biasanya disertai hendaya fungsi kognitif , dan ada
kalanya diawali oleh kemerosotan (detetioration) dalam pengendalian emosi,
perilaku sosial atau motivasi sindrom ini terjadi pada penyakit Alzheimer, pada
penyakit kardiovaskular, dan pada kondisi lain yang secara primer atau sekunder
mengenai otak.
B. Epidemiologi
Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demensia vaskuler,
yang secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskuler. Hipertensi
merupakan factor predisposisi bagi seseorang untuk menderita demensia.
Demensia vaskuler meliputi 15 hingga 30 persen dari seluruh kasus demensia.
Demensia vaskuler paling sering ditemui pada seseorang yang berusia antara 60
hingga 70 tahun dan lebih sering pada laki-laki daripada wanita. Sekitar 10
hingga 15 persen pasien menderita kedua jenis demensia tersebut.
Hal yang menarik dari gejala penderita demensia adalah adannya perubahan
kepribadian dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari.
Penderita yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Lansia dengan usia enam
puluh lima tahun keatas. Lansia penderita demensia tidak memperlihatkan
gejala yang menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana Lansia pada
umumnya mengalami proses penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal
dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat nama cucu mereka
atau lupa meletakkan suatu barang. Mereka sering kali menutup-nutupi hal
tersebut dan meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia
mereka. Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orang-orang terdekat yang
tinggal bersama, mereka merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat yang
semakin menjadi, namun sekali lagi keluarga merasa bahwa mungkin Lansia
kelelahan dan perlu lebih banyak istirahat. Mereka belum mencurigai adanya
sebuah masalah besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang
tua mereka.
Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada Lansia,
mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi seperti ini
dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain dan biasanya akan memperparah
kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin saja Lansia menjadi sangat ketakutan
bahkan sampai berhalusinasi. Di sinilah keluarga membawa Lansia penderita
demensia ke rumah sakit di mana demensia bukanlah menjadi hal utama fokus
pemeriksaan.
Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim kesehatan.
Tidak semua tenaga kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat mengkaji dan
mengenali gejala demensia. Mengkaji dan mendiagnosa demensia bukanlah hal
yang mudah dan cepat, perlu waktu yang panjang sebelum memastikan
seseorang positif menderita demensia. Setidaknya ada lima jenis pemeriksaan
penting yang harus dilakukan, mulai dari pengkajian latar belakang individu,
pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf, pengkajian status mental dan sebagai
penunjang perlu dilakukan juga tes laboratorium.
Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan tingkah laku yang semakin
mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali bagi keluarga memahami dengan baik
perubahan tingkah laku yang dialami oleh Lansia penderita demensia.
Pemahaman perubahan tingkah laku pada demensia dapat memunculkan sikap
empati yang sangat dibutuhkan oleh para anggota keluarga yang harus dengan
sabar merawat mereka. Perubahan tingkah laku (Behavioral symptom) yang
dapat terjadi pada Lansia penderita demensia di antaranya adalah delusi,
halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas, disorientasi spasial,
ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak dapat melakukan
aktivitas sehari-hari secara mandiri, melawan, marah, agitasi, apatis, dan kabur
dari tempat tinggal (Volicer, L., Hurley, A.C., Mahoney, E. 1998).
Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia diatas 65
tahun adalah (1) penyakit Alzheimer, (2) demensia vaskuler, dan (3) campuran
antara keduanya. Penyebab lain yang mencapai kira-kira 10 persen diantaranya
adalah demensia jisim Lewy (Lewy body dementia), penyakit Pick, demensia
frontotemporal, hidrosefalus tekanan normal, demensia alkoholik, demensia
infeksiosa (misalnya human immunodeficiency virus (HIV) atau sifilis) dan
penyakit Parkinson. Banyak jenis demensia yang melalui evaluasi dan
penatalaksanaan klinis berhubungan dengan penyebab yang reversibel seperti
kelaianan metabolik (misalnya hipotiroidisme), defisiensi nutrisi (misalnya
defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat),atau sindrom demensia akibat
depresi. dapat dilihat kemungkinan penyebab demensia :
Penyakit Alzheimer
Demensia
frontotemporal
Penyakit
Parkinson
Demensia
Jisim Lewy
Ferokalsinosis
serebral idiopatik
(penyakit Fahr)
Kelumphan
supranuklear yang
progresif
Lain-lain
Penyakit
Huntington
Penyakit
Wilson
Leukodistrofi
metakromatik
Neuroakantosistosis
Kelainan Psikiatrik
Pseudodemensia
pada depresi
Penurunan
fungsi kognitif pada
skizofrenia lanjut
Fisiologis
Hidrosefalus
tekanan normal
Kelainan Metabolik
Defisiensi
vitamin (misalnya
Endokrinopati
(e.g.,
hipotiroidisme)
Gangguan
metabolisme kronik
(contoh : uremia)
Tumor
Tumor
primer maupun metastase
Trauma
Dementia
pugilistica,
posttraumatic dementia
Subdural
hematoma
Infeksi
Penyakit
Prion (misalnya
penyakit Creutzfeldt-Jakob,
(Sindrom Gerstmann-
Straussler)
Acquired
immune deficiency
syndrome (AIDS)
Sifilis
anoksia
Infark
serebri (infark tunggak
lakunar)
Penyakit
Binswanger
(subcortical arteriosclerotic
encephalopathy)
Insufisiensi
hemodinamik
Sklerosis
multipel
Alkohol
Logam
berat
Radiasi
Pseudodemensia
akibat
pengobatan (misalnya
penggunaan antikolinergik)
Karbon
monoksida
Gambar.2.2 Penyakit Alzheimer. Tampak secara jelas plak senilis disebelah kiri.
Beberapa serabut neuron tampak kusut disebelah kanan. Menjadi catatan
tentang adanya kekacauan hantaran listrik pada sistem kortikal.
Gambar.2.3 Sel otak pada Penyakit Alzheimer dibandingkan dengan sel otak
normal.
Faktor Genetik
Gen untuk protein prekusor amiloid terletak pada lengan panjang kromosom 21.
Melalui proses penyambungan diferensial, dihasilkan empat bentuk protein
prekusor amiloid. Protein beta/ A4, yang merupakan konstituen utama dari plak
senilis, adalah suatu peptida dengan 42-asam amino yang merupakan hasil
pemecahan dari protein prekusor amiloid. Pada kasus sindrom Down (trisomi
kromosom 21) ditemukan tiga cetakan gen protein prekusor amiloid, dan pada
kelainan dengan mutasi yang terjadi pada kodon 717 dalam gen protein prekusor
amiloid, suatu proses patologis yang menghasilkan deposit protein beta/A4 yang
berlebihan. Bagaimana proses yang terjadi pada protein prekusor amiloid dalam
perannya sebagai penyebab utama penyakit Alzheimer masih belum diketahui,
akan tetapi banyak kelompok studi yang meneliti baik proses metabolisme yang
normal dari protein prekusor amiloid maupun proses metabolisme yang terjadi
pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer untuk menjawab pertanyaan
tersebut.
Gen E4 multipel
Neuropatologi
Neurotransmiter
Baru-baru ini ditemukan demensia tipe baru, yaitu Familial Multipel System
Taupathy, biasanya ditemukan bersamaan dengan kelainan otak yang lain
ditemukan pada orang dengan penyakit Alzheimer. Gen bawaan yang menjadi
pencetus adalah kromosom 17. Gejala penyakit berupa gangguan pada memori
jangka pendek dan kesulitan mempertahankan keseimbangan dan pada saat
berjalan. Onset penyakit ini biasanya sekitar 40 50 detik, dan orang dengan
penyakit ini hidup rata-rata 11 tahun setelah terjadinya gejala. Seorang pasien
dengan penyakit Alzheimer memiliki protein pada sel neuron dan glial seperti
pada Familial Multipel System Taupathy dimana protein ini membunuh sel-sel
otak. Kelainan ini tidak berhubungan dengan plaq senile pada pasien dengan
penyakit Alzheimer.
Demensia vaskuler
Penyakit Binswanger
Penyakit Pick
Penyakit Pick ditandai atrofi yang lebih banyak dalam daerah frontotemporal.
Daerah tersebut mengalami kehilangan neuronal, gliosis dan adanya badan Pick
neuronal, yang merupakan massa elemen sitoskeletal. Badan Pick ditemukan
pada beberapa specimen postmortem tetapi tidak diperlukan untuk diagnosis.
Penyebab dari penyakit Pick tidak diketahui.
Penyakit Jisim Lewy adalah suatudemensia yang secara klinis mirip dengan
penyakit Alzheimer dan sering ditandai oleh adanya halusinasi, gambaran
Parkinsonisme, dan gejala ekstrapiramidal. Inklusi Jisim Lewy ditemukan di
daerah korteks serebri. Insiden yang sesungguhnya tidak diketahui. Pasien
dengan penyakit Jisim Lewy ini menunjukkan efek yang menyimpang (adverse
effect) ketika diberi pengobatan dengan antipsikotik.
Penyakit Huntington
1. Kepribadian
3. Mood
Pada pasien dengan gejala psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan
kecemasan merupakan gejala utama yang ditemukan pada 40 hingga 50 persen
pasien dengan demensia, meskipun sindrom depresif secara utuh hanya tampak
pada 10 hingga 20 persen pasien. Pasien dengan demensia juga dapat
menujukkan perubahan emosi yang ekstrem tanpa provokasi yang nyata
(misalnya tertawa dan menangis yang patologis).
4. Perubahan Kognitif
Pada pasien demensia yang disertai afasia lazim ditemukan adanya apraksia dan
agnosia dimana gejala-gejala tersebut masuk dalam kriteria DSM IV. Tanda-tanda
neurologis lainnya yang dikaitkan dengan demensia adalah bangkitan yaitu
ditemukan kira-kira pada 10 persen pasien dengan demensia tipe Alzheimer
serta 20 persen pada pasien dengan demensia vaskuler.
5. Reaksi Katastrofik
6. Sindrom Sundowner
Reversibel
Tipe Alzheimer
Tipe non-Alzheimer
Demensia vaskular
Morbus Parkinson
Morbus Huntington
Morbus Pick
Morbus Jakob-Creutzfeldt
Sindrom Gerstmann-Strussler-Scheinker
Prion disease
Multiple sklerosis
Neurosifilis
Tipe campuran
Demensia proprius
Pseudo-demensia
F00.2 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan, tipe tidak khas atau tipe
campuran
F 01 Demensia Vaskular
F02.8 Demensia pada penyakit lain YDT YDK (Yang Di-Tentukan-Yang Di-
Klasifikasikan ditempat lain)
3. X2 Halusinasi
4. X3 Depresi
5. X4 Campuran lain
Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang
dimulai pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5
atau 10 tahun, yang sering berakhir dengan kematian. Usia awitan dan
kecepatan perburukan bervariasi diantara jenis-jenis demensia dan kategori
diagnostik masing-masing individu. Usia harapan hidup pada pasien dengan
demensia tipe Alzheimer adalah sekitar 8 tahun, dengan rentang 1 hingga 20
tahun. Data penelitian menunjukkan bahwa penderita demensia dengan awitan
yang dini atau dengan riwayat keluarga menderita demensia memiliki
kemungkinan perjalanan penyakit yang lebih cepat. Dari suatu penelitian terbaru
terhadap 821 penderita penyakit Alzheimer, rata-rata angka harapan hidup
adalah 3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis, pasien harus menjalani
pemeriksaan medis dan neurologis lengkap, karena 10 hingga 15 persen pasien
dengan demensia potensial mengalami perbaikan (reversible) jika terapi yang
diberikan telah dimulai sebelum kerusakan otak yang permanen terjadi.
Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa tanda yang
samar yang mungkin diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh orang-
orang yang paling dekat dengan pasien. Awitan yang bertahap biasanya
merupakan gejala-gejala yang paling sering dikaitkan dengan demensia tipe
Alzheimer, demensia vaskuler, endokrinopati, tumor otak, dan gangguan
metabolisme. Sebaliknya, awitan pada demensia akibat trauma, serangan
jantung dengan hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat terjadi secara mendadak.
Meskipun gejala-gejala pada fase awal tidak jelas, akan tetapi dalam
perkembangannya dapat menjadi nyata dan keluarga pasien biasanya akan
membawa pasien untuk pergi berobat. Individu dengan demensia dapat menjadi
sensitif terhadap penggunaan benzodiazepin atau alkohol, dimana penggunaan
zat-zat tersebut dapat memicu agitasi, sifat agresif, atau perilaku psikotik. Pada
stadium terminal dari demensia pasien dapat menjadi ibarat cangkang kosong
dalam diri mereka sendiri, pasien mengalami disorientasi, inkoheren, amnestik,
dan inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh karena
perbaikan bagian-bagian otak (self-healing), gejala-gejala pada demensia dapat
berlangsung lambat untuk beberapa waktu atau dapat juga berkurang sedikit.
Regresi gejala dapat terjadi pada demensia yang reversibel (misalnya demensia
akibat hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan normal, dan tumor otak) setelah
dilakukan terapi. Perjalanan penyakit pada demensia bervariasi dari progresi
yang stabil (biasanya terlihat pada demensia tipe Alzheimer) hingga demensia
dengan perburukan (biasanya terlihat pada demensia vaskuler) menjadi
demensia yang stabil (seperti terlihat pada demensia yang terkait dengan
trauma kepala).
J. Faktor Psikosial
K. Diagnosis Banding
1. Demensia Tipe Alzheimer lawan Demensia vaskuler
Transient ischemic attacks (TIA) adalah suatu episode singkat dari disfungsi
neurologis fokal yang terjadi selama kurang dari 24 jam (biasanya 5 hingga 15
menit). Meskipun berbagai mekanisme dapat mungkin terjadi, episode TIA
biasanya disebabkan oleh mikroemboli dari lesi arteri intrakranial yang
mengakibatkan terjadinya iskemia otak sementara, dan gejala tersebut biasanya
menghilang tanpa perubahan patologis jaringan parenkim. Sekitar sepertiga
pasien dengan TIA yang tidak mendapatkan terapi mengalami infark serebri di
kemudian hari, dengan demikian pengenalan adanya TIA merupakan strategi
klinis penting untuk mencegah infark serebri. Dokter harus membedakan antara
episode TIA yang mengenai sistem vertebrobasiler dan sistem karotis. Secara
umum, gejala penyakit sistem vertebrobasiler mencerminkan adanya gangguan
fungsional baik pada batang otak maupun lobus oksipital, sedangkan distribusi
system karotis mencerminkan gejala-gejala gangguan penglihatan unilateral
atau kelainan hemisferik.
3. Delirium
Membedakan antara delirium dan demensia dapat lebih sulit daripada yang
ditunjukkan oleh klasifikasi berdasarkan DSM IV. Secara umum, delirium
dibedakan dengan demensia oleh awitan yang cepat, durasi yang singkat,
fluktuasi gangguan kognitif dalam perjalanannya, eksaserbasi gejala yang
bersifat nokturnal, gangguan siklus tidur yang bermakna, dan gangguan
perhatian dan persepsi yang menonjol.
Pada suatu waktu Lansia dengan demensia dapat terbangun dari tidur malamnya
dan panik karena tidak mengetahui berada di mana, berteriak-teriak dan sulit
untuk ditenangkan. Untuk mangatasi hal ini keluarga perlu membuat Lansia
rileks dan aman. Yakinkan bahwa mereka berada di tempat yang aman dan
bersama dengan orang-orang yang menyayanginya. Duduklah bersama dalam
jarak yang dekat, genggam tangan Lansia, tunjukkan sikap dewasa dan
menenangkan. Berikan minuman hangat untuk menenangkan dan bantu lansia
untuk tidur kembali.
Lansia dengan demensia melakukan sesuatu yang kadang mereka sendiri tidak
memahaminya. Tindakan tersebut dapat saja membahayakan dirinya sendiri
maupun orang lain. Mereka dapat saja menyalakan kompor dan
meninggalkannya begitu saja. Mereka juga merasa mampu mengemudikan
kendaraan dan tersesat atau mungkin mengalami kecelakaan. Memakai pakaian
yang tidak sesuai kondisi atau menggunakan pakaian berlapis-lapis pada suhu
yang panas.
Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam perawatan lansia penderita
demensia yang tinggal di rumah. Hidup bersama dengan penderita demensia
bukan hal yang mudah, tapi perlu kesiapan khusus baik secara mental maupun
lingkungan sekitar. Pada tahap awal demensia penderita dapat secara aktif
dilibatkan dalam proses perawatan dirinya. Membuat catatan kegiatan sehari-
hari dan minum obat secara teratur. Ini sangat membantu dalam menekan laju
kemunduran kognitif yang akan dialami penderita demensia.
N. Penatalaksanaan
1. Terapi Psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan
demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori
jangka pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada
kebanyakan kasus demensia, dan banyak pasien biasanya mengalami distres
akibat memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi fungsi memorinya
disamping memikirkan penyakit yang sedang dialaminya. Identitas pasien
menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit
dan semakin sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi
mulai dari depresi hingga kecemasan yang berat dan teror katastrofik yang
berakar dari kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya (sense of self)
menghilang.
2. Farmakoterapi
Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang
digunakan karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis
yang tersedia mengenai rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya
menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek samping neuropsikiatrik yang
lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan tersebut dapat
mencegah degenerasi neuron progresif.
Menurut Witjaksana Roan terapi farmakologi pada pasien demensia berupa1:
Antipsikotika atipik:
Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
Abilify 1 x 10 - 15 mg
Anxiolitika
o Clobazam 1 x 10 mg
o Bromazepam 1,5 mg - 6 mg
o Buspirone HCI 10 - 30 mg
Antidepresiva
o Amitriptyline 25 - 50 mg
o Tofranil 25 - 30 mg
o SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram
1 x 10 - 20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
Mood stabilizers
o Topamate 1 x 50 mg
o Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
o Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
o Priadel 2 - 3 x 400 mg
Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak
berguna lagi, namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD
(Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia):
Nootropika:
o Sabeluzole (Reminyl)
Ca-antagonist:
o Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg
o Pantoyl-GABA
Acetylcholinesterase inhibitors
o Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg
o Memantine 2 x 5 - 10 mg
A. Behavioural
Gangguan perilaku
Agitasi
Hiperaktif
Keluyuran
Abulia kognitif
Agresi
Verbal, teriak
Fisik
Tidur/bangun
Deviasi seksual
Piromania
C. Psychological
Gangguan afektif
Anxietas
lritabilitas
Gejala depresif.
Depresi berat
D. Labilitas emosional
Apati
paranoid, curiga
Pasangan / pengasuh
Palsu
Tak setia
Menelantarkan pasien
Cemburu patologik
Halusinasi
Visual
BAB III
PEMBAHASAN
1. Demensia
Istilah demensia itu berasal dari bahasa asing emence yang pertama kali dipakai
oleh Pinel (1745 - 1826). Pikun sebagaimana orang awam mengatakan
merupakan gejala lupa yang terjadi pada orang lanjut usia. Pikun ini termasuk
gangguan otak yang kronis. Biasanya (tetapi tidak selalu) berkembang secara
perlahan-lahan, dimulai dengan gejala depresi yang ringan atau kecemasan yang
kadang-kadang disertai dengan gejala kebingungan, kemudian menjadi parah
diiringi dengan hilangnya kemampuan intelektual yang umum atau demensia.
Jadi istilah pikun yang dipakai oleh kebanyakan orang, terminologI ilmiahnya
adalah demensia. (Schaei & Willis, 1991). Jabaran demensia sekarang adalah
"kehilangan kemampuan kognisi yang sedemikian berat hingga mengganggu
fungsi sosial dan pekerjaan". (dalam Kusumoputro, 2006).
Keadaan demensia pada usia lanjut terjadi tidak secara tiba-tiba, tetapi secara
berangsur-angsur melalui sebuah rangkaian kesatuan dimulai dari Senescence
berkembang menjadi senility yang disebut sebagai kondisi pre-demensia dan
selanjutnya baru menjadi dementia. Pengenalan demensia masa kini
dipusatkan pada pengenalan dini melalui rangkaian kesatuan tersebut yaitu
mulai dari kondisi senescence yang dikenal sebagai benign senescent
forgetfulness (BSF), dan age-associated memory impairment (AAMI),
berlanjut menjadi kondisi Senility yang antara lain dikenal sebagai cognitively
impaired not demented (CIND), dan mild cognitive impairment ( MCI).
Akhirnya barulah disusul fase dementia (Kuntjoro, 2002).
Akibat proses penuaan, mau tidak mau terjadi kemunduran kemampuan otak.
Diantara kemampuan yang menurun secara linier atau seiring dengan proses
penuaan adalah (dalam Kuntjoro, 2002):
Hal yang menarik dari gejala penderita demensia adalah adannya perubahan
kepribadian dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari.
Penderita yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Lansia dengan usia enam
puluh lima tahun keatas. Lansia penderita demensia tidak memperlihatkan
gejala yang menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana Lansia pada
umumnya mengalami proses penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal
dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat nama cucu mereka
atau lupa meletakkan suatu barang.
Mereka sering kali menutup-nutupi hal tersebut dan meyakinkan diri sendiri
bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia mereka. Kejanggalan berikutnya
mulai dirasakan oleh orang-orang terdekat yang tinggal bersama, mereka
merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat yang semakin menjadi, namun
sekali lagi keluarga merasa bahwa mungkin Lansia kelelahan dan perlu lebih
banyak istirahat. Mereka belum mencurigai adanya sebuah masalah besar di
balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua mereka.
Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada Lansia,
mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi seperti ini
dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain dan biasanya akan memperparah
kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin saja Lansia menjadi sangat ketakutan
bahkan sampai berhalusinasi. Di sinilah keluarga membawa Lansia penderita
demensia ke rumah sakit di mana demensia bukanlah menjadi hal utama fokus
pemeriksaan.
Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim kesehatan.
Tidak semua tenaga kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat mengkaji dan
mengenali gejala demensia. Mengkaji dan mendiagnosa demensia bukanlah hal
yang mudah dan cepat, perlu waktu yang panjang sebelum memastikan
seseorang positif menderita demensia. Setidaknya ada lima jenis pemeriksaan
penting yang harus dilakukan, mulai dari pengkajian latar belakang individu,
pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf, pengkajian status mental dan sebagai
penunjang perlu dilakukan juga tes laboratorium.
Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan tingkah laku yang semakin
mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali bagi keluarga memahami dengan baik
perubahan tingkah laku yang dialami oleh Lansia penderita demensia.
Pemahaman perubahan tingkah laku pada demensia dapat memunculkan sikap
empati yang sangat dibutuhkan oleh para anggota keluarga yang harus dengan
sabar merawat mereka. Perubahan tingkah laku (Behavioral symptom) yang
dapat terjadi pada Lansia penderita demensia di antaranya adalah delusi,
halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas, disorientasi spasial,
ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak dapat melakukan
aktivitas sehari-hari secara mandiri, melawan, marah, agitasi, apatis, dan kabur
dari tempat tinggal (Volicer, L., Hurley, A.C., Mahoney, E. 1998).
Pada suatu waktu Lansia dengan demensia dapat terbangun dari tidur malamnya
dan panik karena tidak mengetahui berada di mana, berteriak-teriak dan sulit
untuk ditenangkan. Untuk mangatasi hal ini keluarga perlu membuat Lansia
rileks dan aman. Yakinkan bahwa mereka berada di tempat yang aman dan
bersama dengan orang-orang yang menyayanginya. Duduklah bersama dalam
jarak yang dekat, genggam tangan Lansia, tunjukkan sikap dewasa dan
menenangkan. Berikan minuman hangat untuk menenangkan dan bantu lansia
untuk tidur kembali.
Lansia dengan demensia melakukan sesuatu yang kadang mereka sendiri tidak
memahaminya. Tindakan tersebut dapat saja membahayakan dirinya sendiri
maupun orang lain. Mereka dapat saja menyalakan kompor dan
meninggalkannya begitu saja. Mereka juga merasa mampu mengemudikan
kendaraan dan tersesat atau mungkin mengalami kecelakaan. Memakai pakaian
yang tidak sesuai kondisi atau menggunakan pakaian berlapis-lapis pada suhu
yang panas.
Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam perawatan lansia penderita
demensia yang tinggal di rumah. Hidup bersama dengan penderita demensia
bukan hal yang mudah, tapi perlu kesiapan khusus baik secara mental maupun
lingkungan sekitar. Pada tahap awal demensia penderita dapat secara aktif
dilibatkan dalam proses perawatan dirinya. Membuat catatan kegiatan sehari-
hari dan minum obat secara teratur. Ini sangat membantu dalam menekan laju
kemunduran kognitif yang akan dialami penderita demensia.
1. Terapi Psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan
demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori
jangka pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada
kebanyakan kasus demensia, dan banyak pasien biasanya mengalami distres
akibat memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi fungsi memorinya
disamping memikirkan penyakit yang sedang dialaminya. Identitas pasien
menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit
dan semakin sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi
mulai dari depresi hingga kecemasan yang berat dan teror katastrofik yang
berakar dari kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya (sense of self)
menghilang.
2. Farmakoterapi
Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang
digunakan karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis
yang tersedia mengenai rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya
menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek samping neuropsikiatrik yang
lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan tersebut dapat
mencegah degenerasi neuron progresif.
Antipsikotika atipik:
Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
Abilify 1 x 10 - 15 mg
Anxiolitika
o Clobazam 1 x 10 mg
o Bromazepam 1,5 mg - 6 mg
o Buspirone HCI 10 - 30 mg
Antidepresiva
o Amitriptyline 25 - 50 mg
o Tofranil 25 - 30 mg
o SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram
1
o x 10 - 20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
Mood stabilizers
o Topamate 1 x 50 mg
o Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
o Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
o Priadel 2 - 3 x 400 mg
Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak
berguna lagi, namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD
(Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia):
Nootropika:
o Sabeluzole (Reminyl)
Ca-antagonist:
o Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg
o Pantoyl-GABA
Acetylcholinesterase inhibitors
o Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg
a. Behavioural
Gangguan perilaku
Agitasi
Hiperaktif
Keluyuran
Abulia kognitif
Agresi
Verbal, teriak
Fisik
Tidur/bangun
Perilaku tak sopan (sosial)
Deviasi seksual
Piromania
c. Psychological
Gangguan afektif
Anxietas
lritabilitas
Gejala depresif.
Depresi berat
d. Labilitas emosional
Apati
paranoid, curiga
Pasangan / pengasuh
Palsu
Tak setia
Menelantarkan pasien
Cemburu patologik
Halusinasi
Visual
Auditorik
Olfaktoriik
Raba (haptik)
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
2. kesadaran
8. Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang
dimulai pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5
atau 10 tahun, yang sering berakhir dengan kematian
B. Saran
12. Maramis WF. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi ke-8. Surabaya: Airlangga
University Press. 2005.193
13. Duke, L.M. & Kaszniak, A.W. (2000). Executive Control Functions in
Degenerative Dementias: A Comparative Review. Neuropsychology Review, 10,
(2).
14. Flavel, J.H. (1997). Cognitive Development. New Jersey: Prentice Hall Inc.
15. Finkel, D. & Pederson, N.L. (2000). Contribution of Age, Genes, and
Environment to the Relationship Between Perceptual Speed and Cognitive Ability.
Psychology and Aging, 15, (1), 56-64.
16. Fox, K., Hinton, W.L. & Lefkoff, S. (1999). Take Up The Caregivers Burden:
Stories of Care for Urban African American Elders with Dementia. Culture,
Medicine and Psychiatry, 23, 501529.
17. Freund, B., Gravenstein, S., Ferris, B., Burke, B.L. & Shaheen, E. (2005).
Drawing clocks and driving cars : use of brief tests of cognition to screen driving
competency in older adults, J Gen Intern Med, 20, 240244.
18. Graves, A.B. (1996). Prevalence of dementia and its subtypes in the
japanese american population of king county, washington state, the kame
project. American Journal of Epidemiology by The Johns Hopkins University
School of Hygiene and Public Health, 144 (8).
19. Greider, K. & Neimark, J.M (1996), Making Our Minds Last a Lifetime - anti
Aging Research, Psychology Today, Nov-Des, 1996.
20. Henderson, M., Scot, S. & Hotopf, M., (2007). Use of the clock-drawing test
in a hospice population, Palliative Medicine 2007; 21: 559565 .
27. Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism Vol. 84, No. 6. Mc-Cracken,
dkk. (1997).
28. Prevalence of Dementia and Depression among Elderly People in Black and
Etnick Minorities, Departement of Psychiatry, University of Liverpool. Monnot, M.,
Brosey, M. & Ross, E. (2005). Screening For Dementia: Family Caregiver
Questionnaires Reliably Predict Dementia, JABFP JulyAugust 2005 Vol. 18 No. 4
Santrock, J.W. (1999). Life-Span Development, Seventh Edition, Boston: McGraw-
Hill Schaie K.W. & Willis, S.L. (1991). Adult Development and Aging, New York:
HarperCollins Publishers .
29. Shah, A. (2004) Crosss-Cultural Issues and Cognitive Impairment,
http://www.rcpsych.ac.uk/pdf/Dementia%20%20Culture.pdf. Shah, J. (2001). Only
Time Will Tell: Clock Drawing As An Early Indicator Of Neurological Dysfunction,
P&S Medical Review, Vo. 7 No. 2 .
30. Shirdev, E.B. & Levey, D.A. (2004). Cross-Cultural Psychology, Critical
Thinking and Contemporary Application, Boston: Pearson Education,Inc
31. Shulman, K.I., Gold, D.P., Cohen, C.A. & Zucchero, C.A. (1993). Clock
drawing and dementia in the community: a longitudinal study. Int J Geriatry
Psychiatry. 1993;8:487-496. Rees, G., Chye, A.P. & Lee, S.H. (2006).