Anda di halaman 1dari 37

BAB II

DASAR TEORI

A. Pengertian Demensia

Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat
mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Penderita demensia seringkali menunjukkan
beberapa gangguan dan perubahan pada tingkah laku harian (behavioral
symptom) yang mengganggu (disruptive) ataupun tidak menganggu (non-
disruptive) (Volicer, L., Hurley, A.C., Mahoney, E. 1998). Grayson (2004)
menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan
kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu
sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku.

Disebutkan dalam sebuah literatur bahwa penyakit yang dapat menyebabkan


timbulnya gejala demensia ada sejumlah tujuh puluh lima. Beberapa penyakit
dapat disembuhkan sementara sebagian besar tidak dapat disembuhkan (Mace,
N.L. & Rabins, P.V. 2006). Sebagian besar peneliti dalam risetnya sepakat bahwa
penyebab utama dari gejala demensia adalah penyakit Alzheimer, penyakit
vascular (pembuluh darah), demensia Lewy body, demensia frontotemporal dan
sepuluh persen diantaranya disebabkan oleh penyakit lain.

Lima puluh sampai enam puluh persen penyebab demensia adalah penyakit
Alzheimer. Alzhaimer adalah kondisi dimana sel syaraf pada otak mati sehingga
membuat signal dari otak tidak dapat di transmisikan sebagaimana mestinya
(Grayson, C. 2004). Penderita Alzheimer mengalami gangguan memori,
kemampuan membuat keputusan dan juga penurunan proses berpikir.

Demensia ialah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah


mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena
gangguan otak organik, diikuti keruntuhan perilaku dan kepribadian,
dimanifestasikan dalam bentuk gangguan fungsi kognitif seperti memori,
orientasi, rasa hati dan pembentukan pikiran konseptual. Biasanya kondisi ini
tidak reversibel, sebaliknya progresif.1 Demensia merupakan kerusakan progresif
fungsi-fungsi kognitif tanpa disertai gangguan kesadaran. Demensia adalah
Sindrom penyakit akibat kelainan otak bersifat kronik / progresif serta terdapat
gangguan fungsi luhur (Kortikal yang multiple) yaitu ; daya ingat , daya fikir ,
daya orientasi , daya pemahaman , berhitung , kemampuan belajar, berbahasa ,
kemampuan menilai.

Kesadaran tidak berkabut , Biasanya disertai hendaya fungsi kognitif , dan ada
kalanya diawali oleh kemerosotan (detetioration) dalam pengendalian emosi,
perilaku sosial atau motivasi sindrom ini terjadi pada penyakit Alzheimer, pada
penyakit kardiovaskular, dan pada kondisi lain yang secara primer atau sekunder
mengenai otak.
B. Epidemiologi

Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi


demensia sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia. Pada
kelompok usia diatas 65 tahun prevalensi demensia sedang hingga berat
mencapai 5 persen, sedangkan pada kelompok usia diatas 85 tahun
prevalensinya mencapai 20 hingga 40 persen.

Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50 hingga 60 persen diantaranya


menderita jenis demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe
Alzheimer (Alzheimers diseases). Prevalensi demensia tipe Alzheimer meningkat
seiring bertambahnya usia. Untuk seseorang yang berusia 65 tahun
prevalensinya adalah 0,6 persen pada pria dan 0,8 persen pada wanita. Pada
usia 90 tahun, prevalensinya mencapai 21 persen. Pasien dengan demensia tipe
Alzheimer membutuhkan lebih dari 50 persen perawatan rumah (nursing home
bed).

Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demensia vaskuler,
yang secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskuler. Hipertensi
merupakan factor predisposisi bagi seseorang untuk menderita demensia.
Demensia vaskuler meliputi 15 hingga 30 persen dari seluruh kasus demensia.
Demensia vaskuler paling sering ditemui pada seseorang yang berusia antara 60
hingga 70 tahun dan lebih sering pada laki-laki daripada wanita. Sekitar 10
hingga 15 persen pasien menderita kedua jenis demensia tersebut.

Penyebab demensia paling sering lainnya, masing-masing mencerminkan 1


hingga 5 persen kasus adalah trauma kepala, demensia yang berhubungan
dengan alkohol, dan berbagai jenis demensia yang berhubungan dengan
gangguan pergerakan, misalnya penyakit Huntington dan penyakit Parkinson.
Karena demensia adalah suatu sindrom yang umum, dan mempunyai banyak
penyebab, dokter harus melakukan pemeriksaan klinis dengan cermat pada
seorang pasien dengan demensia untuk menegakkan penyebab demensia pada
pasien tertentu.

C. Gejalah penyakit Demensia pada lansia

Hal yang menarik dari gejala penderita demensia adalah adannya perubahan
kepribadian dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari.
Penderita yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Lansia dengan usia enam
puluh lima tahun keatas. Lansia penderita demensia tidak memperlihatkan
gejala yang menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana Lansia pada
umumnya mengalami proses penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal
dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat nama cucu mereka
atau lupa meletakkan suatu barang. Mereka sering kali menutup-nutupi hal
tersebut dan meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia
mereka. Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orang-orang terdekat yang
tinggal bersama, mereka merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat yang
semakin menjadi, namun sekali lagi keluarga merasa bahwa mungkin Lansia
kelelahan dan perlu lebih banyak istirahat. Mereka belum mencurigai adanya
sebuah masalah besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang
tua mereka.

Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada Lansia,
mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi seperti ini
dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain dan biasanya akan memperparah
kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin saja Lansia menjadi sangat ketakutan
bahkan sampai berhalusinasi. Di sinilah keluarga membawa Lansia penderita
demensia ke rumah sakit di mana demensia bukanlah menjadi hal utama fokus
pemeriksaan.

Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim kesehatan.
Tidak semua tenaga kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat mengkaji dan
mengenali gejala demensia. Mengkaji dan mendiagnosa demensia bukanlah hal
yang mudah dan cepat, perlu waktu yang panjang sebelum memastikan
seseorang positif menderita demensia. Setidaknya ada lima jenis pemeriksaan
penting yang harus dilakukan, mulai dari pengkajian latar belakang individu,
pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf, pengkajian status mental dan sebagai
penunjang perlu dilakukan juga tes laboratorium.

Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan tingkah laku yang semakin
mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali bagi keluarga memahami dengan baik
perubahan tingkah laku yang dialami oleh Lansia penderita demensia.
Pemahaman perubahan tingkah laku pada demensia dapat memunculkan sikap
empati yang sangat dibutuhkan oleh para anggota keluarga yang harus dengan
sabar merawat mereka. Perubahan tingkah laku (Behavioral symptom) yang
dapat terjadi pada Lansia penderita demensia di antaranya adalah delusi,
halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas, disorientasi spasial,
ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak dapat melakukan
aktivitas sehari-hari secara mandiri, melawan, marah, agitasi, apatis, dan kabur
dari tempat tinggal (Volicer, L., Hurley, A.C., Mahoney, E. 1998).

Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia diatas 65
tahun adalah (1) penyakit Alzheimer, (2) demensia vaskuler, dan (3) campuran
antara keduanya. Penyebab lain yang mencapai kira-kira 10 persen diantaranya
adalah demensia jisim Lewy (Lewy body dementia), penyakit Pick, demensia
frontotemporal, hidrosefalus tekanan normal, demensia alkoholik, demensia
infeksiosa (misalnya human immunodeficiency virus (HIV) atau sifilis) dan
penyakit Parkinson. Banyak jenis demensia yang melalui evaluasi dan
penatalaksanaan klinis berhubungan dengan penyebab yang reversibel seperti
kelaianan metabolik (misalnya hipotiroidisme), defisiensi nutrisi (misalnya
defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat),atau sindrom demensia akibat
depresi. dapat dilihat kemungkinan penyebab demensia :

D. Kemungkinan penyebab demensia.


Demensia Degeneratif

Penyakit Alzheimer

Demensia
frontotemporal

(misalnya; Penyakit Pick)

Penyakit
Parkinson

Demensia
Jisim Lewy

Ferokalsinosis
serebral idiopatik

(penyakit Fahr)

Kelumphan
supranuklear yang

progresif

Lain-lain

Penyakit
Huntington

Penyakit
Wilson

Leukodistrofi
metakromatik

Neuroakantosistosis

Kelainan Psikiatrik

Pseudodemensia
pada depresi

Penurunan
fungsi kognitif pada

skizofrenia lanjut

Fisiologis

Hidrosefalus
tekanan normal

Kelainan Metabolik

Defisiensi
vitamin (misalnya

vitamin B12, folat)

Endokrinopati
(e.g.,

hipotiroidisme)

Gangguan
metabolisme kronik

(contoh : uremia)
Tumor

Tumor
primer maupun metastase

(misalnya meningioma atau tumor

metastasis dari tumor payudara

atau tumor paru)

Trauma

Dementia
pugilistica,

posttraumatic dementia

Subdural
hematoma

Infeksi

Penyakit
Prion (misalnya

penyakit Creutzfeldt-Jakob,

bovine spongiform encephalitis,

(Sindrom Gerstmann-

Straussler)

Acquired
immune deficiency

syndrome (AIDS)

Sifilis

Kelainan jantung, vaskuler dan

anoksia

Infark
serebri (infark tunggak

mauapun mulitpel atau infark

lakunar)

Penyakit
Binswanger

(subcortical arteriosclerotic

encephalopathy)

Insufisiensi
hemodinamik

(hipoperfusi atau hipoksia)


Penyakit demielinisasi

Sklerosis
multipel

Obat-obatan dan toksin

Alkohol

Logam
berat

Radiasi

Pseudodemensia
akibat

pengobatan (misalnya

penggunaan antikolinergik)

Karbon
monoksida

E. Macam Macam Demensia:

Demensia Tipe Alzheimer

Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang selanjutnya


diberi nama dengan namanya dalam tahun 1907, saat ia menggambarkan
seorang wanita berusia 51 tahun dengan perjalanan demensia progresif selama
4,5 tahun. Diagnosis akhir Alzheimer didasarkan pada pemeriksaan
neuropatologi otak; meskipun demikian, demensia Alzheimer biasanya
didiagnosis dalam lingkungan klinis setelah penyebab demensia lain telah
disingkirkan dari pertimbangan diagnostik.

Gambar.2.2 Penyakit Alzheimer. Tampak secara jelas plak senilis disebelah kiri.
Beberapa serabut neuron tampak kusut disebelah kanan. Menjadi catatan
tentang adanya kekacauan hantaran listrik pada sistem kortikal.

Gambar.2.3 Sel otak pada Penyakit Alzheimer dibandingkan dengan sel otak
normal.

Faktor Genetik

Walaupun penyebab demensia tipe Alzheimer masih belum diketahui, telah


terjadi kemajuan dalam molekular dari deposit amiloid yang merupakan tanda
utama neuropatologi gangguan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa 40 % dari
pasien demensia mempunyai riwayat keluarga menderita demensia tipe
Alzheimer, jadi setidaknya pada beberapa kasus, faktor genetic dianggap
berperan dalam perkembangan demensia tipe Alzheimer tersebut. Dukungan
tambahan tentang peranan genetik adalah bahwa terdapat angka persesuaian
untuk kembar monozigotik, dimana angka kejadian demensia tipe Alzheimer
lebih tinggi daripada angka kejadian pada kembar dizigotik. Dalam beberapa
kasus yang telah tercatat dengan baik, gangguan ditransmisikan dalam keluarga
melalui satu gen autosomal dominan, walau transmisi tersebut jarang terjadi.

Protein prekursor amiloid

Gen untuk protein prekusor amiloid terletak pada lengan panjang kromosom 21.
Melalui proses penyambungan diferensial, dihasilkan empat bentuk protein
prekusor amiloid. Protein beta/ A4, yang merupakan konstituen utama dari plak
senilis, adalah suatu peptida dengan 42-asam amino yang merupakan hasil
pemecahan dari protein prekusor amiloid. Pada kasus sindrom Down (trisomi
kromosom 21) ditemukan tiga cetakan gen protein prekusor amiloid, dan pada
kelainan dengan mutasi yang terjadi pada kodon 717 dalam gen protein prekusor
amiloid, suatu proses patologis yang menghasilkan deposit protein beta/A4 yang
berlebihan. Bagaimana proses yang terjadi pada protein prekusor amiloid dalam
perannya sebagai penyebab utama penyakit Alzheimer masih belum diketahui,
akan tetapi banyak kelompok studi yang meneliti baik proses metabolisme yang
normal dari protein prekusor amiloid maupun proses metabolisme yang terjadi
pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer untuk menjawab pertanyaan
tersebut.

Gen E4 multipel

Sebuah penelitian menunjukkan peran gen E4 dalam perjalanan penyakit


Alzheimer. Individu yang memiliki satu kopi gen tersebut memiliki kemungkinan
tiga kali lebih besar daripada individu yang tidak memiliki gen E4 tersebut, dan
individu yang memiliki dua kopi gen E4 memiliki kemungkinan delapan kali lebih
besar daripada yang tidak memiliki gen tersebut. Pemeriksaan diagnostik
terhadap gen ini tidal direkomendasikan untuk saat ini, karena gen tersebut
ditemukan juga pada individu tanpa demensia dan juga belum tentu ditemukan
pada seluruh penderita demensia.

Neuropatologi

Penelitian neuroanatomi otak klasik pada pasien dengan penyakit Alzheimer


menunjukkan adanya atrofi dengan pendataran sulkus kortikalis dan pelebaran
ventrikel serebri. Gambaran mikroskopis klasik dan patognomonik dari demensia
tipe Alzheimer adalah plak senilis, kekusutan serabut neuron, neuronal loss
(biasanya ditemukan pada korteks dan hipokampus), dan degenerasi
granulovaskuler pada sel saraf. Kekusutan serabut neuron (neurofibrillary
tangles) terdiri dari elemen sitoskletal dan protein primer terfosforilasi, meskipun
jenis protein sitoskletal lainnya dapat juga terjadi. Kekusutan serabut neuron
tersebut tidak khas ditemukan pada penyakit Alzheimer, fenomena tersebut juga
ditemukan pada sindrom Down, demensia pugilistika (punch-drunk syndrome)
kompleks Parkinson-demensia Guam, penyakit Hallervon-Spatz, dan otak yang
normal pada seseorang dengan usia lanjut. Kekusutan serabut neuron biasanya
ditemukan di daerah korteks, hipokampus, substansia nigra, dan lokus
sereleus.Plak senilis (disebut juga plak amiloid), lebih kuat mendukung untuk
diagnosis penyakit Alzheimer meskipun plak senilis tersebut juga ditemukan
pada sindrom Down dan dalam beberapa kasus ditemukan pada proses penuaan
yang normal.

Neurotransmiter

Neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi dari demensia


Alzheimer adalah asetilkolin dan norepinefrin. Keduanya dihipotesis menjadi
hipoaktif pada penyakit Alzheimer. Beberapa penelitian melaporkan pada
penyakit Alzheimer ditemukannya suatu degenerasi spesifik pada neuron
kolinergik pada nukleus basalis meynert. Data lain yang mendukung adanya
deficit kolinergik pada Alzheimer adalah ditemukan konsentrasi asetilkolin dan
asetilkolintransferase menurun.

Penyebab potensial lainnya

Teori kausatif lainnya telah diajukan untuk menjelaskan perkembangan penyakit


Alzheimer. Satu teori adalah bahwa kelainan dalam pengaturan metabolisme
fosfolipid membrane menyebabkan membran yang kurang cairan yaitu, lebih
kaku dibandingkan dengan membrane yang normal. Penelitian melalui
spektroskopik resonansi molekular (Molecular Resonance Spectroscopic; MRS)
mendapatkan kadar alumunium yang tinggi dalam beberapa otak pasien dengan
penyakit Alzheimer.

Familial Multipel System Taupathy dengan presenile demensia

Baru-baru ini ditemukan demensia tipe baru, yaitu Familial Multipel System
Taupathy, biasanya ditemukan bersamaan dengan kelainan otak yang lain
ditemukan pada orang dengan penyakit Alzheimer. Gen bawaan yang menjadi
pencetus adalah kromosom 17. Gejala penyakit berupa gangguan pada memori
jangka pendek dan kesulitan mempertahankan keseimbangan dan pada saat
berjalan. Onset penyakit ini biasanya sekitar 40 50 detik, dan orang dengan
penyakit ini hidup rata-rata 11 tahun setelah terjadinya gejala. Seorang pasien
dengan penyakit Alzheimer memiliki protein pada sel neuron dan glial seperti
pada Familial Multipel System Taupathy dimana protein ini membunuh sel-sel
otak. Kelainan ini tidak berhubungan dengan plaq senile pada pasien dengan
penyakit Alzheimer.

Demensia vaskuler

Penyebabnya adalah penyakit vaskuler serebral yang multipel yang


menimbulkan gejalaberpola demensia. Ditemukan umumnya pada laki-laki,
khususnya dengan riwayat hipertensi dan faktor resiko kardiovaskuler lainnya.
Gangguan terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil dan
sedang yang mengalami infark dan menghasilkan lesi parenkhim multiple yang
menyebar luas pada otak (gambar 2.2). Penyebab infark berupa oklusi pembuluh
darah oleh plaq arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat lain( misalnya
katup jantung).

Penyakit Binswanger

Dikenal juga sebagai ensefalopati arteriosklerotik subkortikal, ditandai dengan


ditemukannya infark-infark kecil pada subtansia alba yang juga mengenai daerah
korteks serebri (Gambar 2.4). Dulu dianggap penyakit yang jarang terjadi tapi
dengan pencitraan yang canggih dan kuat seperti resonansi magnetik (Magnetic
Resonance Imaging; MRI) membuat penemuan kasus ini menjadi lebih sering.

Penyakit Pick

Penyakit Pick ditandai atrofi yang lebih banyak dalam daerah frontotemporal.
Daerah tersebut mengalami kehilangan neuronal, gliosis dan adanya badan Pick
neuronal, yang merupakan massa elemen sitoskeletal. Badan Pick ditemukan
pada beberapa specimen postmortem tetapi tidak diperlukan untuk diagnosis.
Penyebab dari penyakit Pick tidak diketahui.

Penyakit Pick berjumlah kira-kira 5% dari semua demensia ireversibel. Penyakit


ini paling sering pada laki-laki, khususnya yang memiliki keluarga derajat
pertama dengan penyakit ini. Penyakit Pick sukar dibedakan dengan demensia
Alzheimer. Walaupun stadium awal penyakit lebih sering ditandai oleh perubahan
kepribadian dan perilaku, dengan fungsi kognitif lain yang relative bertahan.
Gambaran sindrom Kluver-Bucy (contohnya: hiperseksualitas, flaksiditas,
hiperoralitas) lebih sering ditemukan pada penyakit Pick daripada pada penyakit
Alzheimer.

Penyakit Jisim lewy (Lewy body diseases)

Penyakit Jisim Lewy adalah suatudemensia yang secara klinis mirip dengan
penyakit Alzheimer dan sering ditandai oleh adanya halusinasi, gambaran
Parkinsonisme, dan gejala ekstrapiramidal. Inklusi Jisim Lewy ditemukan di
daerah korteks serebri. Insiden yang sesungguhnya tidak diketahui. Pasien
dengan penyakit Jisim Lewy ini menunjukkan efek yang menyimpang (adverse
effect) ketika diberi pengobatan dengan antipsikotik.

Penyakit Huntington

Penyakit Huntington secara klasik dikaitkan dengan perkembangan demensia.


Demensia pada penyakit ini terlihat sebagai demensia tipe subkortikal yang
ditandai dengan abnormalitas motorik yang lebih menonjol dan gangguan
kemampuan berbahasa yang lebih ringan dibandingkan demensia tipe kortikal.
Demensia pada penyakit Huntington menunjukkan perlambatan psikomotor dan
kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan yang kompleks, akan tetapi memori,
bahasa, dan tilikan relatif utuh pada stadium awal dan pertengahan penyakit.
Dalam perkembangannya, demensia menjadi lengkap dan gambaran klinis yang
membedakannya dengan demensia tipe Alzheimer adalah tingginya insiden
depresi dan psikosis, selain gangguan pergerakan berupa gambaran koreoatetoid
klasik.
Penyakit Parkinson

Sebagaimana pada penyakit Huntington, Parkinsonisme merupakan penyakit


pada ganglia basalis yang biasanya dikaitkan dengan demensia dan depresi.
Diperkirakan 20 hingga 30 persen pasien dengan penyakit Parkinson mengalami
gangguan kemampuan kognitif. Gerakan lambat pada pasien dengan penyakit
Parkinson sejajar dengan perlambatan berpikir pada beberapa pasien, suatu
gambaran yang sering disebut oleh para klinis sebagai bradifrenia.

F. Perubahan Psikiatrik dan Neurologis

1. Kepribadian

Perubahan kepribadian pada seseorang yang menderita demensia biasanya akan


mengganggu bagi keluarganya. Ciri kepribadiaan sebelum sakit mungkin dapat
menonjol selama 13 perkembangan demensia. Pasien dengan demensia juga
menjadi tertutup serta menjadi kurang perhatian dibandingkan sebelumnya.
Seseorang dengan demensia yang memiliki waham paranoid umumnya lebih
cenderung memusuhi anggota keluarganya dan pengasuhnya. Pasien yang
mengalami kelainan pada lobus fraontalis dan temporalis biasanya mengalami
perubahan kepribadian dan mungkin lebih iritabel dan eksplosif.

2. Halusinasi dan Waham

Diperkirakan sekitar 20 hingga 30 persen dengan demensia (terutama pasien


dengan demensia tipe Alzheimer) memiliki halusinasi, dan 30 hingga 40 persen
memiliki waham, terutama waham paranoid yang bersifat tidak sistematis,
meskipun waham yang sistematis juga dilaporkan pada pasien tersebut. Agresi
fisik dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya lazim ditemukan pada pasien dengan
demensia yang juga memiliki gejala-gejala psikotik.

3. Mood

Pada pasien dengan gejala psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan
kecemasan merupakan gejala utama yang ditemukan pada 40 hingga 50 persen
pasien dengan demensia, meskipun sindrom depresif secara utuh hanya tampak
pada 10 hingga 20 persen pasien. Pasien dengan demensia juga dapat
menujukkan perubahan emosi yang ekstrem tanpa provokasi yang nyata
(misalnya tertawa dan menangis yang patologis).
4. Perubahan Kognitif

Pada pasien demensia yang disertai afasia lazim ditemukan adanya apraksia dan
agnosia dimana gejala-gejala tersebut masuk dalam kriteria DSM IV. Tanda-tanda
neurologis lainnya yang dikaitkan dengan demensia adalah bangkitan yaitu
ditemukan kira-kira pada 10 persen pasien dengan demensia tipe Alzheimer
serta 20 persen pada pasien dengan demensia vaskuler.

Refleks primitif seperti refleks menggenggam, refleks moncong (snout), refleks


mengisap, reflex tonus kaki serta refleks palmomental dapat ditemukan melalui
pemeriksaan neurologis pada 5 hingga 10 persen pasien. Untuk menilai fugsi
kognitif pada pasien demensia dapat digunakan The Mini Mental State Exam
(MMSE).

Pasien dengan demensia vaskuler mungkin mempunyai gejala-gejala neurologis


tambahan seperti sakit kepala, pusing, kepala terasa ringan, kelemahan, tanda
defisit neurologis fokal terutama yang terkait dengan penyakit serebro-vaskuler,
pseudobulber palsy, disartria, dan disfagia yang lebih menonjol dibandingkan
dengan gejala-gejala diatas pada jenis-jenis demensia lainnya.

5. Reaksi Katastrofik

Pasien dengan demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan yang oleh


Kurt Goldstein disebut perilaku abstrak. Pasien mengalami kesulitan untuk
memahami suatu konsep dan menjelaskan perbedaan konsep-konsep tersebut.
Lebih jauh lagi, kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah, berpikir
logis, dan kemampuan menilai suara juga terganggu.

Goldstein juga menggambarkan reaksi katastrofik berupa agitasi terhadap


kesadaran subyektif dari defisit intelektual dalam kondisi yang penuh tekanan.
Pasien biasanya mengkompensasi defek yang dialami dengan cara menghindari
kegagalan dalam kemampuan intelektualnya, misalnya dengan cara bercanda
atau dengan mengalihkan pembicaraannya dengan pemeriksa.

Buruknya penilaian dan kemampuan mengendalikan impuls adalah lazim,


biasanya ditemukan pada demensia yang secara primer mengenai daerah lobus
frontalis. Contoh dari kelainan ini adalah penggunaan kata-kata yang kasar,
bercanda dengan tidak wajar, ketidakpedulian terhadap penampilan dan
kebersihan diri, serta sikap acuh tak acuh dalam hubungan sosialnya.

6. Sindrom Sundowner

Sindrom sundowner ditandai dengan keadaan mengantuk, bingung, ataksia dan


terjatuh secara tiba-tiba. Gejala-gejala tersebut muncul pada pasien yang
berumur lebih tua yang mengalami sedasi yang berlebihan dan penderita
demensia yang bereaksi secara berlebihan terhadap obat-obat psikoaktif bahkan
dengan dosis yang kecli sekalipun. Sindrom tersebut juga muncul pada pasien
demensia saat sitmulus eksternal seperti cahaya dan isyarat interpersonal
dihilangkan.
G. Klasifikasi penyakit Demensia :

Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit,


kerusakan struktur otak,sifat klinisnya dan menurut Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III).1,3

(a) Menurut Umur:1

Demensia senilis (>65th)

Demensia prasenilis (<65th)

(b) Menurut perjalanan penyakit:

Reversibel

Ireversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma,


Defisiensi vitamin B,

Hipotiroidism, intoksikasi Pb)

(c) Menurut kerusakan struktur otak

Tipe Alzheimer

Tipe non-Alzheimer

Demensia vaskular

Demensia Jisim Lewy (Lewy Body dementia)

Demensia Lobus frontal-temporal

Demensia terkait dengan HIV-AIDS

Morbus Parkinson

Morbus Huntington

Morbus Pick

Morbus Jakob-Creutzfeldt

Sindrom Gerstmann-Strussler-Scheinker

Prion disease

Palsi Supranuklear progresif

Multiple sklerosis
Neurosifilis

Tipe campuran

Menurut sifat klinis:

Demensia proprius

Pseudo-demensia

Berdasarkan PPDGJ III demensia termasuk dalam F00-F03 yang merupakan


gangguan mental organik dengan klasifikasinya sebagai berikut ;

F 00 Demensia pada penyakit Alzheimer

F00.0 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini

F00.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan Onset Lambat

F00.2 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan, tipe tidak khas atau tipe
campuran

F00.9 Demensia pada penyakit Alzheimer YTT (Yang Tidak Tergolongkan)

F 01 Demensia Vaskular

F01.0 Demensia Vaskular Onset akut

F01.1 Demensia Vaskular Multi-Infark

F01.2 Demensia Vaskular Sub Kortikal

F01.3 Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal

F01.8 Demensia Vaskular lainnya

F01.9 Demensia Vaskular YTT

F02 Demensia pada penyakit lain

F02.0 Demensia pada penyakit PICK

F02.1 Demensia pada penyakit Creutzfeldt-Jakob

F02.2 Demensia pada penyakit Huntington

F02.3 Demensia pada penyakit Parkinson

F02.4 Demensia pada penyakit HIV

F02.8 Demensia pada penyakit lain YDT YDK (Yang Di-Tentukan-Yang Di-
Klasifikasikan ditempat lain)

F03 Demensia YTT


Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada F00-F03
sebagai berikut :

1. X0 Tanpa gejala tambahan

2. X1 Gejala lain, terutama waham

3. X2 Halusinasi

4. X3 Depresi

5. X4 Campuran lain

H. Diagnosis dan Keluhan Utama

Diagnosis demensia ditetapkan dalam DSM-IV-TR, untuk demensia tipe


Alzheimers (tabel 2.2) , Demensia vaskuler (tabel 2.3), Demensia karena kondisi
medis lainnya (tabel 2.4), Demensia menetap akibat zat (tabel 2.5), Demensia
karena penyebab multipel (tabel 2.6), Dan demensia yang tidak ditentukan
(NOS; not otherwise specified) (tabel 2.7).

Diagnosis demensia berdasarkan pemeriksaan klinis, termasuk pemeriksaan


status mental, dan melalui informasi dari pasien, keluarga, teman dan teman
sekerja. Keluhan terhadap peerubahan sifat pasien dengan usia lebih tua dari 40
tahun membuat kita harus mempertimbangan dengan cermat untuk
mendiagnosis dimensia.

I. Perjalanan penyakit dan Prognosis

Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang
dimulai pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5
atau 10 tahun, yang sering berakhir dengan kematian. Usia awitan dan
kecepatan perburukan bervariasi diantara jenis-jenis demensia dan kategori
diagnostik masing-masing individu. Usia harapan hidup pada pasien dengan
demensia tipe Alzheimer adalah sekitar 8 tahun, dengan rentang 1 hingga 20
tahun. Data penelitian menunjukkan bahwa penderita demensia dengan awitan
yang dini atau dengan riwayat keluarga menderita demensia memiliki
kemungkinan perjalanan penyakit yang lebih cepat. Dari suatu penelitian terbaru
terhadap 821 penderita penyakit Alzheimer, rata-rata angka harapan hidup
adalah 3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis, pasien harus menjalani
pemeriksaan medis dan neurologis lengkap, karena 10 hingga 15 persen pasien
dengan demensia potensial mengalami perbaikan (reversible) jika terapi yang
diberikan telah dimulai sebelum kerusakan otak yang permanen terjadi.

Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa tanda yang
samar yang mungkin diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh orang-
orang yang paling dekat dengan pasien. Awitan yang bertahap biasanya
merupakan gejala-gejala yang paling sering dikaitkan dengan demensia tipe
Alzheimer, demensia vaskuler, endokrinopati, tumor otak, dan gangguan
metabolisme. Sebaliknya, awitan pada demensia akibat trauma, serangan
jantung dengan hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat terjadi secara mendadak.
Meskipun gejala-gejala pada fase awal tidak jelas, akan tetapi dalam
perkembangannya dapat menjadi nyata dan keluarga pasien biasanya akan
membawa pasien untuk pergi berobat. Individu dengan demensia dapat menjadi
sensitif terhadap penggunaan benzodiazepin atau alkohol, dimana penggunaan
zat-zat tersebut dapat memicu agitasi, sifat agresif, atau perilaku psikotik. Pada
stadium terminal dari demensia pasien dapat menjadi ibarat cangkang kosong
dalam diri mereka sendiri, pasien mengalami disorientasi, inkoheren, amnestik,
dan inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.

Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh karena
perbaikan bagian-bagian otak (self-healing), gejala-gejala pada demensia dapat
berlangsung lambat untuk beberapa waktu atau dapat juga berkurang sedikit.
Regresi gejala dapat terjadi pada demensia yang reversibel (misalnya demensia
akibat hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan normal, dan tumor otak) setelah
dilakukan terapi. Perjalanan penyakit pada demensia bervariasi dari progresi
yang stabil (biasanya terlihat pada demensia tipe Alzheimer) hingga demensia
dengan perburukan (biasanya terlihat pada demensia vaskuler) menjadi
demensia yang stabil (seperti terlihat pada demensia yang terkait dengan
trauma kepala).

J. Faktor Psikosial

Derajat keparahan dan perjalanan penyakit demensia dapat dipengaruhi oleh


factor psikososial. Semakin tinggi intelegensia dan pendidikan pasien sebelum
sakit maka semakin tinggi juga kemampuan untuk mengkompensasi deficit
intelektual. Pasien dengan awitan demensia yang cepat (rapid onset)
menggunakan pertahanan diri yang lebih sedikit daripada pasien yang
mengalami awitan yang bertahap. Kecemasan dan depresi dapat memperkuat
dan memperburuk gejala. Pseudodemensia dapat terjadi pada individu yang
mengalami depresi dan mengeluhkan gangguan memori, akan tetapi pada
kenyataannya ia mengalami gangguan depresi. Ketika depresinya berhasil
ditanggulangi, maka defek kognitifnya akan menghilang.

K. Diagnosis Banding
1. Demensia Tipe Alzheimer lawan Demensia vaskuler

Secara klasik, demensia vaskuler dibedakan dengan demensia tipe Alzheimer


dengan adanya perburukan penurunan status mental yang menyertai penyakit
serebrovaskuler seiring berjalannya waktu. Meskipun hal tersebut adalah khas,
kemerosotan yang bertahap tersebut tidak secara nyata ditemui pada seluruh
kasus. Gejala neurologis fokal lebih sering ditemui pada demensia vaskuler
daripada demensia tipe Alzheimer, dimana hal tersebut merupakan patokan
adanya faktor risiko penyakit serebrovaskuler.

2. Demensia Vaskuler lawan Transient Ishemic Attacks

Transient ischemic attacks (TIA) adalah suatu episode singkat dari disfungsi
neurologis fokal yang terjadi selama kurang dari 24 jam (biasanya 5 hingga 15
menit). Meskipun berbagai mekanisme dapat mungkin terjadi, episode TIA
biasanya disebabkan oleh mikroemboli dari lesi arteri intrakranial yang
mengakibatkan terjadinya iskemia otak sementara, dan gejala tersebut biasanya
menghilang tanpa perubahan patologis jaringan parenkim. Sekitar sepertiga
pasien dengan TIA yang tidak mendapatkan terapi mengalami infark serebri di
kemudian hari, dengan demikian pengenalan adanya TIA merupakan strategi
klinis penting untuk mencegah infark serebri. Dokter harus membedakan antara
episode TIA yang mengenai sistem vertebrobasiler dan sistem karotis. Secara
umum, gejala penyakit sistem vertebrobasiler mencerminkan adanya gangguan
fungsional baik pada batang otak maupun lobus oksipital, sedangkan distribusi
system karotis mencerminkan gejala-gejala gangguan penglihatan unilateral
atau kelainan hemisferik.

Terapi antikoagulan, dengan obat-obat antipletelet agregasi seperti aspirin dan


bedah reksonstruksi vaskuler ekstra dan intrakranial efektif untuk menurunkan
risiko infark serebri pada pasien dengan TIA.

3. Delirium

Membedakan antara delirium dan demensia dapat lebih sulit daripada yang
ditunjukkan oleh klasifikasi berdasarkan DSM IV. Secara umum, delirium
dibedakan dengan demensia oleh awitan yang cepat, durasi yang singkat,
fluktuasi gangguan kognitif dalam perjalanannya, eksaserbasi gejala yang
bersifat nokturnal, gangguan siklus tidur yang bermakna, dan gangguan
perhatian dan persepsi yang menonjol.

L. Tingkah Laku Lansia Yang Mengalami Demensia

Pada suatu waktu Lansia dengan demensia dapat terbangun dari tidur malamnya
dan panik karena tidak mengetahui berada di mana, berteriak-teriak dan sulit
untuk ditenangkan. Untuk mangatasi hal ini keluarga perlu membuat Lansia
rileks dan aman. Yakinkan bahwa mereka berada di tempat yang aman dan
bersama dengan orang-orang yang menyayanginya. Duduklah bersama dalam
jarak yang dekat, genggam tangan Lansia, tunjukkan sikap dewasa dan
menenangkan. Berikan minuman hangat untuk menenangkan dan bantu lansia
untuk tidur kembali.

Lansia dengan demensia melakukan sesuatu yang kadang mereka sendiri tidak
memahaminya. Tindakan tersebut dapat saja membahayakan dirinya sendiri
maupun orang lain. Mereka dapat saja menyalakan kompor dan
meninggalkannya begitu saja. Mereka juga merasa mampu mengemudikan
kendaraan dan tersesat atau mungkin mengalami kecelakaan. Memakai pakaian
yang tidak sesuai kondisi atau menggunakan pakaian berlapis-lapis pada suhu
yang panas.

Seperti layaknya anak kecil terkadang Lansia dengan demensia bertanya


sesuatu yang sama berulang kali walaupun sudah kita jawab, tapi terus saja
pertanyaan yang sama disampaikan. Menciptakan lingkungan yang aman seperti
tidak menaruh benda tajam sembarang tempat, menaruh kunci kendaraan
ditempat yang tidak diketahui oleh Lansia, memberikan pengaman tambahan
pada pintu dan jendela untuk menghindari Lansia kabur adalah hal yang dapat
dilakukan keluarga yang merawat Lansia dengan demensia di rumahnya.

M. Peran Keluarga Terhadap anggota Yang Mengalami Demensia

Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam perawatan lansia penderita
demensia yang tinggal di rumah. Hidup bersama dengan penderita demensia
bukan hal yang mudah, tapi perlu kesiapan khusus baik secara mental maupun
lingkungan sekitar. Pada tahap awal demensia penderita dapat secara aktif
dilibatkan dalam proses perawatan dirinya. Membuat catatan kegiatan sehari-
hari dan minum obat secara teratur. Ini sangat membantu dalam menekan laju
kemunduran kognitif yang akan dialami penderita demensia.

Keluarga tidak berarti harus membantu semua kebutuhan harian Lansia,


sehingga Lansia cenderung diam dan bergantung pada lingkungan. Seluruh
anggota keluargapun diharapkan aktif dalam membantu Lansia agar dapat
seoptimal mungkin melakukan aktifitas sehari-harinya secara mandiri dengan
aman. Melakukan aktivitas sehari-hari secara rutin sebagaimana pada umumnya
Lansia tanpa demensia dapat mengurangi depresi yang dialami Lansia penderita
demensia.

Merawat penderita dengan demensia memang penuh dengan dilema, walaupun


setiap hari selama hampir 24 jam kita mengurus mereka, mungkin mereka tidak
akan pernah mengenal dan mengingat siapa kita, bahkan tidak ada ucapan
terima kasih setelah apa yang kita lakukan untuk mereka. Kesabaran adalah
sebuah tuntutan dalam merawat anggota keluarga yang menderita demensia.
Tanamkanlah dalam hati bahwa penderita demensia tidak mengetahui apa yang
terjadi pada dirinya. Merekapun berusaha dengan keras untuk melawan gejala
yang muncul akibat demensia. Saling menguatkan sesama anggota keluarga dan
selalu meluangkan waktu untuk diri sendiri beristirahat dan bersosialisasi dengan
teman-teman lain dapat menghindarkan stress yang dapat dialami oleh anggota
keluarga yang merawat Lansia dengan demensia.

N. Penatalaksanaan

Langkah pertama dalam menangani kasus demensia adalah melakukan verifikasi


diagnosis. Diagnosis yang akurat sangat penting mengingat progresifitas
penyakit dapat dihambat atau bahkan disembuhkan jika terapi yang tepat dapat
diberikan. Tindakan pengukuran untuk pencegahan adalah penting terutama
pada demensia vaskuler. Pengukuran tersebut dapat berupa pengaturan diet,
olahraga, dan pengontrolan terhadap diabetes dan hipertensi. Obat-obatan yang
diberikan dapat berupa antihipertensi, antikoagulan, atau antiplatelet.
Pengontrolan terhadap tekanan darah harus dilakukan sehingga tekanan darah
pasien dapat dijaga agar berada dalam batas normal, hal ini didukung oleh fakta
adanya perbaikan fungsi kognitif pada pasien demensia vaskuler. Tekanan darah
yang berada dibawah nilai normal menunjukkan perburukan fungsi kognitif,
secara lebih lanjut, pada pasien dengan demensia vaskuler. Pilihan obat
antihipertensi dalam hal ini adalah sangat penting mengingat antagonis reseptor
b-2 dapat memperburuk kerusakan fungsi kognitif. Angiotensin-converting
enzyme (ACE) inhibitor dan diuretik telah dibuktikan tidak berhubungan dengan
perburukan fungsi kognitif dan diperkirakan hal itu disebabkan oleh efek
penurunan tekanan darah tanpa mempengaruhi aliran darah otak. Tindakan
bedah untuk mengeluarkan plak karotis dapat mencegah kejadian vaskuler
berikutnya.

pada pasien-pasien yang telah diseleksi secara hati-hati. Pendekatan terapi


secara umum pada pasien dengan demensia bertujuan untuk memberikan
perawatan medis suportif, dukungan emosional untuk pasien dan keluarganya,
serta terapi farmakologis untuk gejala-gejala yang spesifik, termasuk perilaku
yang merugikan.

1. Terapi Psikososial

Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan
demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori
jangka pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada
kebanyakan kasus demensia, dan banyak pasien biasanya mengalami distres
akibat memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi fungsi memorinya
disamping memikirkan penyakit yang sedang dialaminya. Identitas pasien
menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit
dan semakin sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi
mulai dari depresi hingga kecemasan yang berat dan teror katastrofik yang
berakar dari kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya (sense of self)
menghilang.

Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan


edukatif sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari
penyakit yang dideritanya. Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam
kesedihannya dan penerimaan akan perburukan disabilitas serta perhatian akan
masalah-masalah harga dirinya. Banyak fungsi yang masih utuh dapat
dimaksimalkan dengan membantu pasien mengidentifikasi aktivitas yang masih
dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan psikodinamik terhadap defek fungsi ego
dan keterbatasan fungsi kognitif juga dapat bermanfaat. Dokter dapat
membantu pasien untuk menemukan cara berdamai dengan defek fungsi ego,
seperti menyimpan kalender untuk pasien dengan masalah orientasi, membuat
jadwal untuk membantu menata struktur aktivitasnya, serta membuat catatan
untuk masalah-masalah daya ingat. Intervensi psikodinamik dengan melibatkan
keluarga pasien dapat sangat membantu. Hal tersebut membantu pasien untuk
melawan perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan karena ia
merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya.

2. Farmakoterapi

Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan,


antidepresi untuk depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan
halusinasi, akan tetapi dokter juga harus mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang
mungkin terjadi pada pasien usia lanjut (misalnya kegembiraan paradoksikal,
kebingungan, dan peningkatan efek sedasi). Secara umum, obatobatan dengan
aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan.

Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase


yang digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang pada
penyakit Alzheimer.

Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin


sehingga meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya
menimbulkan perbaikan memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk
seseorang dengan kehilangan memori ringan hingga sedang yang memiliki
neuron kolinergik basal yang masih baik melalui penguatan neurotransmisi
kolinergik.

Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang
digunakan karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis
yang tersedia mengenai rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya
menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek samping neuropsikiatrik yang
lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan tersebut dapat
mencegah degenerasi neuron progresif.
Menurut Witjaksana Roan terapi farmakologi pada pasien demensia berupa1:

Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg

Antipsikotika atipik:

Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg

Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75

Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg

Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg

Abilify 1 x 10 - 15 mg

Anxiolitika

o Clobazam 1 x 10 mg

o Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg

o Bromazepam 1,5 mg - 6 mg

o Buspirone HCI 10 - 30 mg

o Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg

o Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)

Antidepresiva

o Amitriptyline 25 - 50 mg

o Tofranil 25 - 30 mg

o Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)

o SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram
1 x 10 - 20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.

o Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)

Mood stabilizers

o Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg

o Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg

o Topamate 1 x 50 mg

o Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg

o Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg

o Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
o Priadel 2 - 3 x 400 mg

Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak
berguna lagi, namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD
(Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia):

Nootropika:

o Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg

o Piracetam(Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg

o Sabeluzole (Reminyl)

Ca-antagonist:

o Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg)

o Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m.

o Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg

o Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infuse

o Pantoyl-GABA

Acetylcholinesterase inhibitors

o Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik

o Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5 mg


1x/hari

o Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg

o Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg

o Memantine 2 x 5 - 10 mg

3. Terapi dengan Menggunakan Pendekatan Lain

Obat-obatan lain telah diuji untuk meningkatkan aktivitas kognitif termasuk


penguat metabolisme serebral umum, penghambat kanal kalsium, dan agen
serotonergik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa slegilin (suatu
penghambat monoamine oksidase tipe B), dapat memperlambat perkembangan
penyakit ini. 2,5 Terapi pengganti Estrogen dapat menginduksi risiko penurunan
fungsi kognitif pada wanita pasca menopause, walau demikian masih diperlukan
penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Terapi komplemen dan alternatif
menggunakan ginkgo biloba dan fitoterapi lainnya bertujuan untuk melihat efek
positif terhadap fungsi kognisi. Laporan mengenai penggunaan obat
antiinflamasi nonsteroid (OAINS) memiliki efek lebih rendah terhadap
perkembangan penyakit
Alzheimer. Vitamin E tidak menunjukkan manfaat dalam pencegahan penyakit.

4. Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia (BPSD)

Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia (BPSD) penting untuk


diperhatikan karena merupakan satu akibat yang merepotkan bagi pengasuh dan
membuat payah bagi sang pasien karena ulahnya yang amat mengganggu1:

A. Behavioural

Gangguan perilaku

Agitasi

Hiperaktif

Keluyuran

Perilaku yang tak adekuat

Abulia kognitif

Agresi

Verbal, teriak

Fisik

B. Gangguan nafsu makan

Gangguan ritme diurnal

Tidur/bangun

Perilaku tak sopan (sosial)

Perilaku seksual tak sopan

Deviasi seksual

Piromania

C. Psychological

Gangguan afektif

Anxietas

lritabilitas
Gejala depresif.

Depresi berat

D. Labilitas emosional

Apati

Sindrom waham & salah-identifikasi

Orang menyembunyikan dan mencuri barangnya

paranoid, curiga

Rumah lama dianggap bukan rumahnya

Pasangan / pengasuh

Palsu

Tak setia

Menelantarkan pasien

Cemburu patologik

Keluarga/kenalan yang mati masih hidup

Halusinasi

Visual

Auditorik.Olfaktoriik. Raba (haptik)

BAB III

PEMBAHASAN

1. Demensia

Istilah demensia itu berasal dari bahasa asing emence yang pertama kali dipakai
oleh Pinel (1745 - 1826). Pikun sebagaimana orang awam mengatakan
merupakan gejala lupa yang terjadi pada orang lanjut usia. Pikun ini termasuk
gangguan otak yang kronis. Biasanya (tetapi tidak selalu) berkembang secara
perlahan-lahan, dimulai dengan gejala depresi yang ringan atau kecemasan yang
kadang-kadang disertai dengan gejala kebingungan, kemudian menjadi parah
diiringi dengan hilangnya kemampuan intelektual yang umum atau demensia.
Jadi istilah pikun yang dipakai oleh kebanyakan orang, terminologI ilmiahnya
adalah demensia. (Schaei & Willis, 1991). Jabaran demensia sekarang adalah
"kehilangan kemampuan kognisi yang sedemikian berat hingga mengganggu
fungsi sosial dan pekerjaan". (dalam Kusumoputro, 2006).

Sedangkan Cummings dan Benson (1992) menggunakan istilah senescence


yang menandakan perubahan proses menua yang masih dalam taraf normal dan
istilah senility untuk gangguan intelektual yang terjadi pada lanjut usia tetapi
belum mengalami dementia (Besdin,1987). Sejak lama istilah perubahan dan
gangguan intelektual tersebut dipergunakan tanpa ada jabaran yang rinci.
Hampir semua orang lansia yang mengalami kemunduran fungsi mentalnya
secara mudah disebut sebagai telah mengalami demensia. Dalam kenyataan
belum tentu lansia sudah mengalami demensia dan mungkin hanya baru dalam
taraf predemensia. Istilah predemensia belum begitu dikenal oleh masyarakat
(Kuntjoro, 2002).

Keadaan demensia pada usia lanjut terjadi tidak secara tiba-tiba, tetapi secara
berangsur-angsur melalui sebuah rangkaian kesatuan dimulai dari Senescence
berkembang menjadi senility yang disebut sebagai kondisi pre-demensia dan
selanjutnya baru menjadi dementia. Pengenalan demensia masa kini
dipusatkan pada pengenalan dini melalui rangkaian kesatuan tersebut yaitu
mulai dari kondisi senescence yang dikenal sebagai benign senescent
forgetfulness (BSF), dan age-associated memory impairment (AAMI),
berlanjut menjadi kondisi Senility yang antara lain dikenal sebagai cognitively
impaired not demented (CIND), dan mild cognitive impairment ( MCI).
Akhirnya barulah disusul fase dementia (Kuntjoro, 2002).

Ditambahkan oleh Kusumoputro (2006) orang yang mengalami demensia selain


mengalami kelemahan kognisi secara bertahap, juga akan mengalami
kemunduran aktivitas hidup sehari-hari (activity of daily living/ADL) Ini pun
terjadi secara bertahap dan dapat diamati. Awalnya, kemunduran aktivitas hidup
sehari-hari ini berujud sebagai ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas hidup
yang kompleks (complex activity of daily living) seperti tidak mampu mengatur
keuangan, melakukan korespondensi, bepergian dengan kendaraan umum,
melakukan hobi, memasak, menata boga, mengatur obat-obatan, menggunakan
telepon, dan sebagainya. Lambat laun penyandang tersebut tidak mampu
melakukan aktivitas hidup sehari-hari yang dasar (basic activity of daily living)
berupa ketidakmampuan untuk berpakaian, menyisir, mandi, toileting, makan,
dan aktivitas hidup sehari-hari yang dasar (basic ADL). Jadi proses demensia
terjadi secara bertingkat dalam tahapan-tahapan yang dapat diamati dan
dikenali kalau saja orang dekatnya waspada.

Akibat proses penuaan, mau tidak mau terjadi kemunduran kemampuan otak.
Diantara kemampuan yang menurun secara linier atau seiring dengan proses
penuaan adalah (dalam Kuntjoro, 2002):

a. Daya Ingat (memori), berupa penurunan kemampuan penamaan (naming)


dan kecepatan mencari kembali informasi yang telah tersimpan dalam pusat
memori (speed of information retrieval from memory).
b. Intelegensia Dasar (Fluid intelligence) yang berarti penurunan fungsi otak
bagian kanan yang antara lain berupa kesulitan dalam komunikasi non verbal,
pemecahan masalah, mengenal wajah orang, kesulitan dalam pemusatan
perhatian dan konsentrasi (dalam Flavel, 1997). Dari penelitian Finkel dan
Pederson (2000), ditemukan bahwa ada hubungan antara bertambahnya umur
dengan kecepatan untuk melakukan persepsi. Kemampuan mempersepsi
(Perceptual speed) disini dicontohkan seperti melakakuan identifikasi suatu objek
atau mengingat suatu digit symbol. Kemampuan persepsi ini penting karena
akan mempengaruhi kemampuan kognitif seseorang. Biasanya akan mengalami
penurunan seiring bertambahnya usia.

2. Gejala Penyakit Demensia Pada Lansia

Hal yang menarik dari gejala penderita demensia adalah adannya perubahan
kepribadian dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari.
Penderita yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Lansia dengan usia enam
puluh lima tahun keatas. Lansia penderita demensia tidak memperlihatkan
gejala yang menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana Lansia pada
umumnya mengalami proses penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal
dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat nama cucu mereka
atau lupa meletakkan suatu barang.

Mereka sering kali menutup-nutupi hal tersebut dan meyakinkan diri sendiri
bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia mereka. Kejanggalan berikutnya
mulai dirasakan oleh orang-orang terdekat yang tinggal bersama, mereka
merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat yang semakin menjadi, namun
sekali lagi keluarga merasa bahwa mungkin Lansia kelelahan dan perlu lebih
banyak istirahat. Mereka belum mencurigai adanya sebuah masalah besar di
balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua mereka.

Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada Lansia,
mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi seperti ini
dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain dan biasanya akan memperparah
kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin saja Lansia menjadi sangat ketakutan
bahkan sampai berhalusinasi. Di sinilah keluarga membawa Lansia penderita
demensia ke rumah sakit di mana demensia bukanlah menjadi hal utama fokus
pemeriksaan.

Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim kesehatan.
Tidak semua tenaga kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat mengkaji dan
mengenali gejala demensia. Mengkaji dan mendiagnosa demensia bukanlah hal
yang mudah dan cepat, perlu waktu yang panjang sebelum memastikan
seseorang positif menderita demensia. Setidaknya ada lima jenis pemeriksaan
penting yang harus dilakukan, mulai dari pengkajian latar belakang individu,
pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf, pengkajian status mental dan sebagai
penunjang perlu dilakukan juga tes laboratorium.
Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan tingkah laku yang semakin
mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali bagi keluarga memahami dengan baik
perubahan tingkah laku yang dialami oleh Lansia penderita demensia.
Pemahaman perubahan tingkah laku pada demensia dapat memunculkan sikap
empati yang sangat dibutuhkan oleh para anggota keluarga yang harus dengan
sabar merawat mereka. Perubahan tingkah laku (Behavioral symptom) yang
dapat terjadi pada Lansia penderita demensia di antaranya adalah delusi,
halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas, disorientasi spasial,
ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak dapat melakukan
aktivitas sehari-hari secara mandiri, melawan, marah, agitasi, apatis, dan kabur
dari tempat tinggal (Volicer, L., Hurley, A.C., Mahoney, E. 1998).

3. Tingkah Laku Lansia Yang Mengalami Demensia

Pada suatu waktu Lansia dengan demensia dapat terbangun dari tidur malamnya
dan panik karena tidak mengetahui berada di mana, berteriak-teriak dan sulit
untuk ditenangkan. Untuk mangatasi hal ini keluarga perlu membuat Lansia
rileks dan aman. Yakinkan bahwa mereka berada di tempat yang aman dan
bersama dengan orang-orang yang menyayanginya. Duduklah bersama dalam
jarak yang dekat, genggam tangan Lansia, tunjukkan sikap dewasa dan
menenangkan. Berikan minuman hangat untuk menenangkan dan bantu lansia
untuk tidur kembali.

Lansia dengan demensia melakukan sesuatu yang kadang mereka sendiri tidak
memahaminya. Tindakan tersebut dapat saja membahayakan dirinya sendiri
maupun orang lain. Mereka dapat saja menyalakan kompor dan
meninggalkannya begitu saja. Mereka juga merasa mampu mengemudikan
kendaraan dan tersesat atau mungkin mengalami kecelakaan. Memakai pakaian
yang tidak sesuai kondisi atau menggunakan pakaian berlapis-lapis pada suhu
yang panas.

Seperti layaknya anak kecil terkadang Lansia dengan demensia bertanya


sesuatu yang sama berulang kali walaupun sudah kita jawab, tapi terus saja
pertanyaan yang sama disampaikan. Menciptakan lingkungan yang aman seperti
tidak menaruh benda tajam sembarang tempat, menaruh kunci kendaraan
ditempat yang tidak diketahui oleh Lansia, memberikan pengaman tambahan
pada pintu dan jendela untuk menghindari Lansia kabur adalah hal yang dapat
dilakukan keluarga yang merawat Lansia dengan demensia di rumahnya.

4. Peran Keluarga Terhadap anggota Yang Mengalami Demensia

Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam perawatan lansia penderita
demensia yang tinggal di rumah. Hidup bersama dengan penderita demensia
bukan hal yang mudah, tapi perlu kesiapan khusus baik secara mental maupun
lingkungan sekitar. Pada tahap awal demensia penderita dapat secara aktif
dilibatkan dalam proses perawatan dirinya. Membuat catatan kegiatan sehari-
hari dan minum obat secara teratur. Ini sangat membantu dalam menekan laju
kemunduran kognitif yang akan dialami penderita demensia.

Keluarga tidak berarti harus membantu semua kebutuhan harian Lansia,


sehingga Lansia cenderung diam dan bergantung pada lingkungan. Seluruh
anggota keluargapun diharapkan aktif dalam membantu Lansia agar dapat
seoptimal mungkin melakukan aktifitas sehari-harinya secara mandiri dengan
aman. Melakukan aktivitas sehari-hari secara rutin sebagaimana pada umumnya
Lansia tanpa demensia dapat mengurangi depresi yang dialami Lansia penderita
demensia.

Merawat penderita dengan demensia memang penuh dengan dilema, walaupun


setiap hari selama hampir 24 jam kita mengurus mereka, mungkin mereka tidak
akan pernah mengenal dan mengingat siapa kita, bahkan tidak ada ucapan
terima kasih setelah apa yang kita lakukan untuk mereka. Kesabaran adalah
sebuah tuntutan dalam merawat anggota keluarga yang menderita demensia.
Tanamkanlah dalam hati bahwa penderita demensia tidak mengetahui apa yang
terjadi pada dirinya. Merekapun berusaha dengan keras untuk melawan gejala
yang muncul akibat demensia. Saling menguatkan sesama anggota keluarga dan
selalu meluangkan waktu untuk diri sendiri beristirahat dan bersosialisasi dengan
teman-teman lain dapat menghindarkan stress yang dapat dialami oleh anggota
keluarga yang merawat Lansia dengan demensia.

5. Penatalaksanaan Penyakit Demensia

Langkah pertama dalam menangani kasus demensia adalah melakukan verifikasi


diagnosis. Diagnosis yang akurat sangat penting mengingat progresifitas
penyakit dapat dihambat atau bahkan disembuhkan jika terapi yang tepat dapat
diberikan. Tindakan pengukuran untuk pencegahan adalah penting terutama
pada demensia vaskuler. Pengukuran tersebut dapat berupa pengaturan diet,
olahraga, dan pengontrolan terhadap diabetes dan hipertensi. Obat-obatan yang
diberikan dapat berupa antihipertensi, antikoagulan, atau antiplatelet.
Pengontrolan terhadap tekanan darah harus dilakukan sehingga tekanan darah
pasien dapat dijaga agar berada dalam batas normal, hal ini didukung oleh fakta
adanya perbaikan fungsi kognitif pada pasien demensiavaskuler. Tekanan darah
yang berada dibawah nilai normal menunjukkan perburukan fungsi kognitif,
secara lebih lanjut, pada pasien dengan demensia vaskuler. Pilihan obat
antihipertensi dalam hal ini adalah sangat penting mengingat antagonis reseptor
b-2 dapat memperburuk kerusakan fungsi kognitif. Angiotensin-converting
enzyme (ACE) inhibitor dan diuretik telah dibuktikan tidak berhubungan dengan
perburukan fungsi kognitif dan diperkirakan hal itu disebabkan oleh efek
penurunan tekanan darah tanpa mempengaruhi aliran darah otak. Tindakan
bedah untuk mengeluarkan plak karotis dapat mencegah kejadian vaskuler
berikutnya pada pasien-pasien yang telah diseleksi secara hati-hati. Pendekatan
terapi secara umum pada pasien dengan demensia bertujuan untuk memberikan
perawatan medis suportif, dukungan emosional untuk pasien dan keluarganya,
serta terapi farmakologis untuk gejala-gejala yang spesifik, termasuk perilaku
yang merugikan.

1. Terapi Psikososial

Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan
demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori
jangka pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada
kebanyakan kasus demensia, dan banyak pasien biasanya mengalami distres
akibat memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi fungsi memorinya
disamping memikirkan penyakit yang sedang dialaminya. Identitas pasien
menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit
dan semakin sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi
mulai dari depresi hingga kecemasan yang berat dan teror katastrofik yang
berakar dari kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya (sense of self)
menghilang.

Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan


edukatif sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari
penyakit yang dideritanya.

Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan penerimaan


akan perburukandisabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga dirinya.
Banyak fungsi yang masih utuh dapat dimaksimalkan dengan membantu pasien
mengidentifikasi aktivitas yang masih dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan
psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan fungsi kognitif juga
dapat bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien untuk menemukan cara
berdamai dengan defek fungsi ego, seperti menyimpan kalender untuk pasien
dengan masalah orientasi, membuat jadwal untuk membantu menata struktur
aktivitasnya, serta membuat catatan untuk masalah-masalah daya ingat.

Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat


membantu. Hal tersebut membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah,
kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan karena ia merasa perlahan-lahan
dijauhi oleh keluarganya.

2. Farmakoterapi

Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan,


antidepresi untuk depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan
halusinasi, akan tetapi dokter juga harus mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang
mungkin terjadi pada pasien usia lanjut (misalnya kegembiraan paradoksikal,
kebingungan, dan peningkatan efek sedasi). Secara umum, obatobatan dengan
aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan.

Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase


yang digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang pada
penyakit Alzheimer. Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari
neurotransmitter asetilkolin sehingga meningkatkan potensi neurotransmitter
kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan perbaikan memori. Obat-obatan
tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan kehilangan memori ringan
hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih baik melalui
penguatan neurotransmisi kolinergik.

Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang
digunakan karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis
yang tersedia mengenai rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya
menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek samping neuropsikiatrik yang
lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan tersebut dapat
mencegah degenerasi neuron progresif.

Menurut Witjaksana Roan terapi farmakologi pada pasien demensia berupa1:

Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg

Antipsikotika atipik:

Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg

Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75

Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg

Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg

Abilify 1 x 10 - 15 mg

Anxiolitika

o Clobazam 1 x 10 mg

o Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg

o Bromazepam 1,5 mg - 6 mg

o Buspirone HCI 10 - 30 mg

o Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg

o Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)

Antidepresiva

o Amitriptyline 25 - 50 mg

o Tofranil 25 - 30 mg

o Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)

o SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram
1
o x 10 - 20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.

o Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)

Mood stabilizers

o Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg

o Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg

o Topamate 1 x 50 mg

o Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg

o Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg

o Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg

o Priadel 2 - 3 x 400 mg

Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak
berguna lagi, namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD
(Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia):

Nootropika:

o Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg

o Piracetam(Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg

o Sabeluzole (Reminyl)

Ca-antagonist:

o Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg)

o Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m.

o Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg

o Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infuse

o Pantoyl-GABA

Acetylcholinesterase inhibitors

o Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik

o Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5 mg


1x/hari

o Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg

o Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg


o Memantine 2 x 5 - 10 mg

3. Terapi dengan Menggunakan Pendekatan Lain

Obat-obatan lain telah diuji untuk meningkatkan aktivitas kognitif termasuk


penguat metabolisme serebral umum, penghambat kanal kalsium, dan agen
serotonergik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa slegilin (suatu
penghambat monoamine oksidase tipe B), dapat memperlambat perkembangan
penyakit ini.

Terapi pengganti Estrogen dapat menginduksi risiko penurunan fungsi kognitif


pada wanita pasca menopause, walau demikian masih diperlukan penelitian
lebih lanjut mengenai hal tersebut. Terapi komplemen dan alternatif
menggunakan ginkgo biloba dan fitoterapi lainnya bertujuan untuk melihat efek
positif terhadap fungsi kognisi. Laporan mengenai penggunaan obat
antiinflamasi nonsteroid (OAINS) memiliki efek lebih rendah terhadap
perkembangan penyakit

Alzheimer. Vitamin E tidak menunjukkan manfaat dalam pencegahan penyakit.

4. Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia (BPSD)

Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia (BPSD) penting untuk


diperhatikan karena merupakan satu akibat yang merepotkan bagi pengasuh dan
membuat payah bagi sang pasien karena ulahnya yang amat mengganggu1:

a. Behavioural

Gangguan perilaku

Agitasi

Hiperaktif

Keluyuran

Perilaku yang tak adekuat

Abulia kognitif

Agresi

Verbal, teriak

Fisik

b. Gangguan nafsu makan

Gangguan ritme diurnal

Tidur/bangun
Perilaku tak sopan (sosial)

Perilaku seksual tak sopan

Deviasi seksual

Piromania

c. Psychological

Gangguan afektif

Anxietas

lritabilitas

Gejala depresif.

Depresi berat

d. Labilitas emosional

Apati

Sindrom waham & salah-identifikasi

Orang menyembunyikan dan mencuri barangnya

paranoid, curiga

Rumah lama dianggap bukan rumahnya

Pasangan / pengasuh

Palsu

Tak setia

Menelantarkan pasien

Cemburu patologik

Keluarga/kenalan yang mati masih hidup

Halusinasi

Visual

Auditorik

Olfaktoriik

Raba (haptik)

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa


disertai gangguan

2. kesadaran

3. Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia

4. Demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer


(Alzheimers diseases)

5. Perubahan psikiatrik dan neurologis pada pasien demensia meliputi


kepribadian, halusinasi dan waham,mood, perubahan kognitif, reaksi Katastrofik,
Sindrom Sundowner

6. Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit,


kerusakan struktur otak, sifat klinisnya dan menurut Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III

7. Diagnosis demensia ditetapkan dalam DSM-IV-TR dan Pedoman


Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III

8. Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang
dimulai pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5
atau 10 tahun, yang sering berakhir dengan kematian

9. Diagnosis Banding meliputi Demensia tipe Alzheimer lawan demensia


vaskuler, demensia vaskuler lawan transient ishemic attacks , delirium, depresi,
skizofrenia, proses penuaan yang normal, gangguan lainnya (retardasi mental,
gangguan ,depresi berat)

10. Penatalaksanaan pasien demensia meliputi

11. Terapi pada demensia meliputi psikososial, farmakoterapi, terapi dengan


menggunakan pendekatan lain, Behavioural And Psychological Symptoms Of
Dementia (BPSD)

B. Saran

Demensia adalah suatu kelainan organik yang dalam penegakkan diagnosisnya


membutuhkan ketelitian baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang dan harus diingat penatalaksanaan pada pasien demensia bukan
hanya farmakologi tetapi bersifat holistic yang juga mencakup psikososial dan
Behavioural And Psychological Symptoms Of Dementia (BPSD)
DAFTAR PUSTAKA

1. Roan Witjaksana. Delirium dan Demensia. Diakses dari : http://www.

2. idijakbar.com/prosiding/delirium.htm. 7 Oktober 2008.

3. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Delirium, dementia,


amnestic and

4. cognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral


Sciences/Clinical

5. Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.Direktorat


Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman

6. Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta:


Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993. 49-67
Dementia.

7. Diakses dari : http://www.medicinenet.com/dementia/ article. htm. 7


Oktober 2008 Maslim R.Buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa rujukan ringkas dari
PPDGJ III.2001. Jakarta; PT Nuh Jaya. 20- 26 Memory Disoders.

8. Diakses dari : http://www.gabehavioral.com/Memory%20Disorders.htm. 7


Oktober 2008 Information about dementia.

9. Diakses dari http://www.umsl.edu/~homecare/dementia.htm. 7 Oktober


2008 Dementia. Diakses dari :
10. http://www.geriatricsandaging.ca/fmi/xsl/article.xsl?-
lay=Article&Name=Dementia:%20Biological%20and%20Clinical%20Advances--

11. Part%20I&-find. 7 Oktober 2008 Smith, David S. Field Guide to Bedside


Diagnosis, 2nd Edition. 2007 Lippincott Williams & Wilkins

12. Maramis WF. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi ke-8. Surabaya: Airlangga
University Press. 2005.193

13. Duke, L.M. & Kaszniak, A.W. (2000). Executive Control Functions in
Degenerative Dementias: A Comparative Review. Neuropsychology Review, 10,
(2).

14. Flavel, J.H. (1997). Cognitive Development. New Jersey: Prentice Hall Inc.

15. Finkel, D. & Pederson, N.L. (2000). Contribution of Age, Genes, and
Environment to the Relationship Between Perceptual Speed and Cognitive Ability.
Psychology and Aging, 15, (1), 56-64.

16. Fox, K., Hinton, W.L. & Lefkoff, S. (1999). Take Up The Caregivers Burden:
Stories of Care for Urban African American Elders with Dementia. Culture,
Medicine and Psychiatry, 23, 501529.

17. Freund, B., Gravenstein, S., Ferris, B., Burke, B.L. & Shaheen, E. (2005).
Drawing clocks and driving cars : use of brief tests of cognition to screen driving
competency in older adults, J Gen Intern Med, 20, 240244.

18. Graves, A.B. (1996). Prevalence of dementia and its subtypes in the
japanese american population of king county, washington state, the kame
project. American Journal of Epidemiology by The Johns Hopkins University
School of Hygiene and Public Health, 144 (8).

19. Greider, K. & Neimark, J.M (1996), Making Our Minds Last a Lifetime - anti
Aging Research, Psychology Today, Nov-Des, 1996.
20. Henderson, M., Scot, S. & Hotopf, M., (2007). Use of the clock-drawing test
in a hospice population, Palliative Medicine 2007; 21: 559565 .

21. Hendrie, H.C. (1995). Prevalence of Alzheimers Disease and Dementia in


Two Communities: Nigerian Africans and African Americans, American Journal of
Psychiatri, Vol. 152 : 1482-1492.

22. Kuntjoro, Z.S. (2002). Pengenalan Dini Demensia (Predemensia).,(diambil


tgl 20 Oktober 2007), www.e-psikologi.com/usia/170602.htm

23. Kusumoputro, (2007). Kelemahan Kognisi Ringan sebagai Awal Pikun


Alzheimer pada Lanjut Usia, (diambil tgl 20 Oktober 2007)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/01/opini/401780.htm

24. Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta:


Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993. 49-67
Dementia.

25. Diakses dari : http://www.medicinenet.com/dementia/ article. htm. 7


Oktober 2008 Maslim R.Buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa rujukan ringkas dari
PPDGJ III.2001. Jakarta; PT Nuh Jaya. 20- 26 Memory Disoders.

26. Diakses dari : http://www.gabehavioral.com/Memory%20Disorders.htm. 7


Oktober 2008 Information about dementia.

27. Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism Vol. 84, No. 6. Mc-Cracken,
dkk. (1997).

28. Prevalence of Dementia and Depression among Elderly People in Black and
Etnick Minorities, Departement of Psychiatry, University of Liverpool. Monnot, M.,
Brosey, M. & Ross, E. (2005). Screening For Dementia: Family Caregiver
Questionnaires Reliably Predict Dementia, JABFP JulyAugust 2005 Vol. 18 No. 4
Santrock, J.W. (1999). Life-Span Development, Seventh Edition, Boston: McGraw-
Hill Schaie K.W. & Willis, S.L. (1991). Adult Development and Aging, New York:
HarperCollins Publishers .
29. Shah, A. (2004) Crosss-Cultural Issues and Cognitive Impairment,
http://www.rcpsych.ac.uk/pdf/Dementia%20%20Culture.pdf. Shah, J. (2001). Only
Time Will Tell: Clock Drawing As An Early Indicator Of Neurological Dysfunction,
P&S Medical Review, Vo. 7 No. 2 .

30. Shirdev, E.B. & Levey, D.A. (2004). Cross-Cultural Psychology, Critical
Thinking and Contemporary Application, Boston: Pearson Education,Inc

31. Shulman, K.I., Gold, D.P., Cohen, C.A. & Zucchero, C.A. (1993). Clock
drawing and dementia in the community: a longitudinal study. Int J Geriatry
Psychiatry. 1993;8:487-496. Rees, G., Chye, A.P. & Lee, S.H. (2006).

32. Demensian di Kawasan Asia Pasifik: Sudah Wabah, Ringkasan Eksekutif


Laporan, Access Economics Pty Limited Wibowo, A.S. (2007). Manajemen
Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskuler.
http://abgnet.blogspot.com/2007/09/manajemen-demensia-alzheimer-dan.html
(diambil tanggal 30 April 2008)

Anda mungkin juga menyukai