Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Makanan berkualitas dengan kandungan gizi seimbang harus tersedia dan


mudah diperoleh dengan jenis dan jumlah yang tepat. Lansia harus mampu dan
mau makan. Makanan juga harus diabsorbsi untuk memelihara struktur dan fungsi
tubuh. Lansia dapat mengalami masalah pada salah satu atau beberapa tahap di
atas.
Kurang gizi merupakan penyebab mortalitas yang dapat dicegah dan
dikoreksi pada lansia dan dihubungkan dengan berbagai hasil kesehatan yang
buruk, termasuk gangguan respons imun, gangguan kognitif, dan penurunan
kualitas hidup.
Faktor risiko yang telah diidentifikasi dalam literatur untuk perubahan
nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh mencakup penyakit, medikasi, penggunaan
alkohol, masalah kesehatan mulut hambatan fungsi (termasuk fisik, kognitif, dan
fungsi sosial), dan keterbatasan finansial
Survei National Healthand Nutrition Examination Survey (NHANES III)
melibatkan individu berusia lebih dan 74 tahun untuk pertama kalinya dalam
sejarah survei tersebut (Marwick, 1997). Temuan dan NHANES III bagi lansia
adalah:
a. Median asupan kalori harian di bawah angka yang direkomendasikan.
b. Asupan lemak melebihi batas yang direkomendasikan, yaitu 30% kalori.
c. Asupan kolesterol di bawah kadar yang direkomendasikan.
d. Konsumsi folat dan vitamin B12 lebih tinggi dari yang direkomendasikan,
tetapi konsumsi kalsium lebih rendah dan yang direkomendasikan.
e. Asupan zat gizi menurun seiring pertambahan usia.
BAB II
PEMBAHASAN
PERUBAHAN NUTRISI: KURANG DARI KEBUTUHAN TUBUH

Ilmu pengetahuan tentang nutrisi berhubungan dengan kesehatan,


kesejahteraan, serta penyakit pencernaan, absorpsi, dan penggunaan makanan dan
zat gizi (Ebersole & Hess, 1998; Karkeck & Worthington-Roberts, 1993).
Kemampuan untuk memperoleh dan mempertahankan nutrisi yang tepat
bergantung pada beberapa faktor pengaruh.
Makanan berkualitas dengan kandungan gizi seimbang harus tersedia dan
mudah diperoleh dengan jenis dan jumlah yang tepat. Lansia harus mampu dan
mau makan. Makanan juga harus diabsorbsi untuk memelihara struktur dan fungsi
tubuh. Lansia dapat mengalami masalah pada salah satu atau beberapa tahap di
atas.
Survei National Healthand Nutrition Examination Survey (NHANES III)
melibatkan individu berusia lebih dan 74 tahun untuk pertama kalinya dalam
sejarah survei tersebut (Marwick, 1997). Temuan dan NHANES III bagi lansia
adalah:
f. Median asupan kalori harian di bawah angka yang direkomendasikan.
g. Asupan lemak melebihi batas yang direkomendasikan, yaitu 30% kalori.
h. Asupan kolesterol di bawah kadar yang direkomendasikan.
i. Konsumsi folat dan vitamin B12 lebih tinggi dari yang direkomendasikan,
tetapi konsumsi kalsium lebih rendah dan yang direkomendasikan.
j. Asupan zat gizi menurun seiring pertambahan usia.
Kurang gizi merupakan penyebab mortalitas yang dapat dicegah dan
dikoreksi pada lansia (Sullivan, Walls, & Bopp, 1995) dan dihubungkan dengan
berbagai hasil kesehatan yang buruk (Covinsky, Martin, Beyth, Justice, Sehgal, &
Landefeld, 1999), termasuk gangguan respons imun (Buzina-Suboticanec et al.,
1988; Mazari, & Lesour, 1998), gangguan kognitif (Incalzi et al., 1996; Ortega et
al., 1997), dan penurunan kualitas hidup.
Faktor Risiko
Faktor risiko adalah karakteristik atau kejadian yang meningkatkan
kecenderungan hasil. Karena kehe terogenan populasi lansia, usia kronologis tidak
terlalu bermakna dalam menentukan faktor risiko perubahan nutrisi, dibandingkan
dengan pengelompokan fungsional (White, 1994). Saat menentukan faktor risiko
yang penting untuk perubahan nutrisi, White (1994) menganjurkan
pengelompokan berikut lansia mandiri yang tinggal di masyarakat, lansia
bergantung yang tinggal di masyarakat, dan lansia yang tinggal di panti wreda.
Satu kategori tambahan yang dapat disertakan adalah lansi yang dirawat inap
akibat serangan akut, yang memiliki kebutuhan unik terkait faktor risiko dan
intervensi. Klasifika risiko lain dapat dibuat berdasarkan intervensi yang
dibutuhkan: lansia sehat yang saat ini tidak berisiko, tetapi membutuhkan
konseling nutrisi dan intervensi pencegahan melalui penyuluhan; lansia berisiko
yang saat ini tidak mengalami masalah nutrisi, tetapi berpotensi mengalami
perubahan nutrisi dan membutuhkan pengkajian nutrisi dan intervensi
pemantauan, lansia yang mengalami perubahan nutrisi dan membutuhkan terapi
nutrisi. Faktor yang berhubungan didefinisikan oleh NANDA sebagai
ketidakmampuan mencerna makanan atau mengabsorbsi zat gizi karena faktor
biologis, psikologis, atau ekonomi (NANDA, 1999, hlm. 10). Lebih spesifik lagi,
faktor risiko yang telah diidentifikasi dalam literatur untuk perubahan nutrisi;
kurang dari kebutuhan tubuh mencakup penyakit, medikasi, penggunaan alkohol,
masalah kesehatan mulut hambatan fungsi (termasuk fisik, kognitif, dan fungsi
sosial), dan keterbatasan finansial (Marwick, 1997).

Penyakit
Selain perubahan nomal seiring penuaan yang dapat menyebabkan
gangguan nutrisi, populasi lansia lebih sering mengalami penyakit kronis.
Penanganan yang dianjurkan untuk penyakit kronis dapat membatasi jenis
makanan dan kemampuan merasakan makanan. Sebagai contoh, diabetes
(penurunan asupan karbohidrat), gagal jantung kronik (penuasupan natrium),
gagal ginjal (penurunan asupan kalium, natrium, dan protein), dan penyakit hati
(penurunan asupan protein).
Medikasi
Masalah nutrisi akibat penggunaan obat timbul akibat penggunasalahan
obat resep,lpemberian resep yang tidak tepat, pilifarmasi, dan interaksi obat
makanan atau obat-alkohol (White, 1994). Obat dapat mengaruhi ingesti atau
absorbsi zat gizi dalam berbagai cara. Obat yang diresepkan untuk penyakit
kronik dapat menyebabkan interaksi obat zat gizi dan dapat memicu kurang gizi.
Interaksi obat-obat zat gizi meliputi (1) penurunan absorbsi obat, (2) peningkatan
absorbsi obat,m dan (3) penurunan kandungan gizi akibat reaksi efek simpang
obat. Dengan demikian, penilaian status gizi penting bagi pasien lansia yang
menerima satu atau lebih obat yang dapat berinteraksi dengan asupan atau
absorpsi zat gizi. Ham (1194) merekomendasikan plastic bag tes, yang berisi
setiap obat di rumah, yang dibawa oleh lansia atau keluarga. Hasil uji ini dapat
dijadikan data dasar yang baik untuk mengkaji obat yang mungkin menyebabkan
anoreksia atau interaksi makanan obat.

Penggunaan dan Penyalahgunaan Alkohol


Alkoholisme atau penyaiahgunaan alkohol sering kali disertai status gizi
buruk. Sekitar 3 miliar mdividu berusia iebih dan 65 tahun di Amerika Serikat
diperkirakan menyalahgunakan alkohol (Krach, 1998). Pada lansia dengan awitan
alkoholisme baru, kesepian dan depresi merupakan faktor penyebab (White,
1994). Penyalahgunaan alkohol menyebabkan masalah nutrisi ketika lansia
mengganti konsumsi makanan bergizi dengan alkohol. Konsumsi alkohol
meningkatkan kebutuhan gizi pada lansia, sebagai akibat peningkatan efek
metabolik aikohol (White, 1994). Penyalahgunaan alkohol juga mengakibatkan
defisiensi beberapa vitamin (Klein & Iber, 1991). Penyalahgunaan alkohol dapat
tersembunyi dan sulit dikaji. Kuesioner, seperti CAGE (Mayfield, McLeod, &
Hail, 1974) dapat membantu mengidentifikasi masalah penyalahgunaan alkohol.
Pendidikan keluarga juga diperlukan karena anggota keluarga terkadang
menyediakan aikohol untuk lansia.
Masalah Kesehatan Mulut
Kondisi gigi yang buruk karena ompong atau pemasangan gigi palsu yang
kurang pas dapat menyebabkan kesulitan mengunyah. Gerakan mengunyah
mandibula lansia tidak sama, bahkan pada iansia yang memiliki gigi bagus
(Nagao, 1992). Hampir setengah individu yang berusia lebih dan 75 tahun di
Amerika Serikat dan hampir sepertiga individu yang berusia antara 65 dan 74
tahun sudah ompong; sedangkan hanya 12% individu berusia 45 hingga 55 tahun
yang sudah ompong (Dwyer, 1994).

Hambatan Fungsi
Fungsi Fisik. Di manapun, hambatan fungsi dapat membuat individu
lansia bergantung pada orang lain untuk makan atau mengatur pembatasan pilihan
makanan. Salah satu penelitian menemukan hubungan antara indeks massa tubuh
(IMT) dan risiko hambatan fungsi. Perubahan IMT (baik tinggi atau rendah)
dihubungkan dengan peningkatan risiko hambatan fungsi (Galanos, Piepen,
CornoniHuntley, Bales, & Filiembaum, 1994), meskipun arah hubungan tersebut
tidak jelas. Keputusan tentang kapan dan apa yang dikonsumsi harus dibuat untuk
lansia yang bergantung, sehingga menurunkan rasa kendali dan pilihan lansia
tersebut.
Hambatan kemampuan motorik dan penglihatan juga dapat membuat
lansia tidak dapat mengolah makanan. Pada penelitian terbaru, ditemukan bahwa
4% individu yang berusia 60 hingga 69 tahun tidak mampu mengolah makanan
mereka atau berjalan-jalan di sekitar ruangan; dan seluruh subjek yang berusia 80
tahun, 23% tidak mampu mengolah makanan mereka dan 17% tidak mampu
berjalan (Marwick, 1977). Jumlah individu yang memiliki dan mampu
mengendarai mobil berkurang setiap tahun pada individu yang berusia di atas 65
tahun, dan transportasi umum dapat tidak tersedia. Kebanyakan toko kelontong
sekarang hanya dapat dijangkau dengan mengendarai mobil karena toko
kelontong di sekitar tempat tinggal lansia sudah banyak yang tutup. Meskipun ada
toko kelontong yang mudah dijangkau, harga barang di toko tersebut biasanya
sangat mahal dan pilihan buah, sayur, dan daging segar sangat terbatas.
Gangguan sensori dapat menimbulkan situasi isolasi sosial. Penurunan
fungsi penglihatan dan penderigaran biasa terjadi pada lansia. Penurunan fungsi
penglihatan dan pendengaran, jika disertai penurunan bertahap pada fungsi perasa
dan pembau, dapat mengakibatkan penurunan asupan makanan dan kurang gizi.
Ambang deteksi dan pengenalan terhadap rasa dan bau meningkat seiring
penuaan. Dengan kata lain, lansia hanya dapat mendeteksi dan mengenali rasa dan
bau tertentu jika rasa dan bau tersebut lebih kuat. Berbagai penyakit dan obat yang
biasa dikonsumsi lansia yang memengaruhi indra perasa dan pembau, yaitu
hipertensi, kanker, gagal ginjal kronis, diabetes melitus, diuretik, agens
antiinflamasi, vasodilator, simpatomimetik, dan agens hipoglikemik (Schiffman,
1994).
Fungsi Kognitif. Gangguan kognitif dapat mengganggu status gizi dalam
berbagai cara, termasuk ketidakmampuan memperoleh dan mengelola makanan,
penilaian yang buruk terhadap pemilihan makanan, atau tidak makan. Individu
yang mengalami demensia terutama berisiko mengalami kurang gizi karena
mengalami kesulitan dalam membuat keputusan dan beradaptasi dengan
lingkungan yang baru (contoh, saat di panti wreda). Depresi Juga dapat
disebabkan penurunan asupan makanan, yang berhubungan dengan kemampuan
lansia untuk mengatur, memilih, dan memperoleh zat gizi yang cukup (Ham,
1994). Sebaliknya, kurang gizi dapat menyebabkan atau memicu masalah
kognitif. Lansia yang memiliki kadar vitamin B12 dan C, folat dan riboflavin
yang rendah terbukti memiliki skor yang lebih rendah pada uji memori dan
pemikiran abstrak nonverbal (Goodwin, Goodwin, & Garry 1983).
Fungsi Sosial. Hidup sendiri merupakan faktor risiko penting terhadap
status gizi buruk. Lansia yang tinggal sendiri tetap memiliki banyak pilihan
makanan, tetapi cenderung mengonsumsi lebih sedikit kalori (Davis, Randall,
Forthofer, Lee Margen, 1985). Lansia dapat mengalami perubahan peran dan
peningkatan rasa kesepian karena kekehilangan pasangan atau teman. Penelitian
Roll (1994) menemukan bahwa pria dan wanita muda makan 50% lebih banyak
saat makan dengan teman-temannya; namun, makan dengan orang asing tidak
meningkatkan asupan makanan. Peneliti menyimpulkan bahwa pemanfaatan
sosialisasi sebagai sarana meningkatkan asupan nutrisi bergantung pada jenis
interaksi sosial. Pemanfaatan sosialis, terutama pengaruh berbagai jenis sosialisasi
saat makan, harus diuji dengan individu lansia.
Sensus pada tahun 1990 di Amerika menemukan bahwa sekitar 25%
individu yang berusia lebih dari 60 tahun hidup sendiri (Hin- Hogan, & Eggebeen,
1996), sebuah statistik yang cenderung berkaitan dengan status gizi buruk. Munro
(1985) menemukan bahwa pria yang berusia 65 hingga 69 tahun hidup mandiri
selama rata-rata 9,3 tahun dan dilanjutkan dengan hidup berganti selama 3,8
tahun. Wanita dalam kelompok usia sahidup mandiri rata-rata selama 10,6 tahun,
tetapi hidup bergantung lebih lama, yaitu rata-rata selama 8,9 tahun. Hidup sendiri
dapat memengaruhi kebiasaan memasak dan makan. Karena waktu makan
bersama meliputi aktivitas sosial dan aktivitas makan, lansia yang hidup sendiri
dapat kurang motivasi untuk masak dan makan.

Masalah Finasial
Terdapat hubungan yang konsisten antara pendapatan rendah dengan
asupan nutrisi yang buruk. Lansia. berpendapatan rendah sering kali harus
memilih antara makanan, kegunaan, obat, dan perawat medis, serta tempat tinggal,
juga cara memanfaatkan sumber yang terbatas (White, 1994). Hubungan
pendapatan rendah dan status gizi buruk didukung oleh bukti kurangnya variasi
makanan, kelompok makanan atau vitamin, dan mineral tertentu yang tidak
adekuat, konsumsi lemak kolesterol yang berlebihan, dan asupan kalori tidak
adekuat (White, 1994).
Sektiar 20% lansia mengalami keterbatasan asupan nutrisi karena
kemiskinan. Pendapatan total setelahpensiun berkurang 50% dari pendapatan
semula, dan banyak lansia yang hiduyp dengan pendapatan pas-pasan, yang tidak
dapat mengikuti laju inflasi. Lansia menganggarkan rata-rata 50% lebih banyak
untuk makanan, dengan p erincian untuk membeli makanan dalam jumlah yang
sedikit, makan di restoran, dan membeli makanan lezat. Mereka juga terpaksa
membeli makanan berkualitas rendah. Faktor di atas membuat mereka berisiko
terhadap kekurangan asupan makanan.
Program pemerintah dan program bantuan komunitas, food stamp, Meals
on Wheels, makan bersama dan bantuan berbelanja teresdia di berbagai
komunitas. Walaupun tersedia, program tersebut tidak selalu dimanfaatkan.
Tempat tinggal yang kumuh yang merupakan dampak pendapatan rendah tidak
dilengkapi dengan fasilitas penyimpanan makanan dan tidak memiliki area
pengolahan makanan yang adekuat. Perawatan kesehatan juga dapat dipengaruhi
oleh pendapatan rendah, terutama perawatan gigi. Akibatnya, lansia menjadi
ompong, tidak mampu membeli gigi palsu, dan tidak mampu merawat gigi palsu
dengan baik. Jika lansia tidak dapat mengunyah dengan efektif, diet protein serta
buah dan sayur segar kemungkinan menjadi tidak adekuat.

Pengkajian
Program multidisipliner Nutrition Screening Initiative (1992) dijalankan
oleh Amerian Academy of dan National Council on The Aging, Inc., bekerja sama
dengan lebih dari 25 organisasi kedokteran, organisasi kesehatan, dan organisasi
penanganan lansia nasional. Program yang didanai oleh Ross Products, Abbot
Laboratories ini bertujuan menyatukan upaya para ahli gizi, dokter, dan ahli
geriatrik dalam menekankan pentingya skrining dan intervensi nutrisi sebagai
komponen layanan kesehatan rutin bagi lansia (White, 1996). Indikator mayor dan
minor status gizi buruk pada lansia djidentifikasi melalui program in
Perbandingan indikator ini dengan batasan karakteristik NANDA tertera dalam
Kotak 13-1.
Beberapa perubahan yang biasanya terjadi sering penuaan, seperti
penurunan massa otot tanpa lemak, kulit kering, dan rambut rontok, dapat
menyerupai tanda kurang gizi; hal ini membuat pengkajian kurang gizi
menantang. Bentuk umum kurang gizi pada lansia adalah kurang energi-protein
(KEP) (Ham, 1994). KEP melibatkan asupan kaloni dan protein yang tidak
memadai dan terjadi akibat asupan diet tinggi karbohidrat dan rendah protein.
Tanda-tanda KEP meliputi penurunan berat badan, kulit kering, pucat, terkelupas,
dan kehilangan massa otot. Penurunan albumin serum dapat terjadi akibat KEP
jangka panjang (Ebersole & Hess, 1998). KEP meningkatkan lama rawat map di
rumah sakit dan dapat meningkatkan mortalitas. Saat terjadi KEP, mekanisme
pertahanan tubuh terganggu.
Pengkajian nutrisi harus menjadi komponen integral layanan kesehatan
bagi lansia. Pengkajian status gizi dapat dipersulit oleh perubahan normal yang
terjadi seining penuaan dan oleh kurangnya standar interpretasi pengukuran.
Pengkajian mencakup penilaian kondisi klinis, asupan diet dan status energi,
antroprometrik, dan nilai biokimia.

Penilaian Kondisi Klinis


Penilaian kondisi klinis meliputi riwayat, wawancara, dan pengkajian
tanda-tanda klinis, serta adanya etiologi yang telah dibahas sebelumnya. Riwayat
dan wawancara mencakup mengumpulkan informasi tentang sikap dan minat
dalam hidup, aktivitas kehidupan sehari-hari, niwayat diet termasuk semua
masalah dengan asupan dan pencernaan makanan, kebiasaan defekasi dan
mikturisi, serta riwayat medikasi yang detail. Pengkajian fisik berfokus pada
tanda-tanda yang mengindikasikan kurang gizi. Teijadinya keilosis (radang bibir)
dan/atau stomatitis angular dapat terjadi akibat defisiensi vitamin B. Mulut kering
dapat menjadi tanda dehidrasi, demikian pula perubahan turgor kulit. Lapisan
lemak subkutan yang menipis dan kulit yang kendur merupakan tanda penurunan
berat badan. Memar dan penyembuhan luka yang lama dapat mengindikasikan
status gizi buruk. Edema menupakan tanda hipoproteinemia (Ham, 1994). Lansia
harus dikaji terhadap seriawan, gigi busuk, gigi palsu yang tidak pas, disfagia, dan
kebersihan mulut yang buruk, yang dapat mengganggu asupan makanan. Masalah
lain yang dapat memengaruhi asupan makanan, seperti kesulitan bernapas pada
pasien yang mengalami penyakit pernapasan kronis juga harus diperhatikan.
Lansia yang sudah lama mengalami gangguan makan biasanya mudah merasa
kenyang (Ham, 1994), yang dapat membuat asupan makanan semakin berkurang
dan memperburuk masalah kurang gizi yang sedang dialami.
Tabel 1. Indikator Mayor dan Minor Status Gizi Buruk pada Lansia
Perubahan Nutrisi: Kurang Indikator Nutrition Screening a. Penyembuhan
dan Kebutuhan Tubuh Initiative Nutrition Screening luka lambat
b. Penurunan
Batasan karakteristik Initiative, 1992)
masse otat dan/
a. Penurunan beret badan Indikator Mayor
atau lemak
walaupun asupan makanan a. Penurunan beret badan
b. Kekurangan beret badan subkutan
adekuat atau c. Retensi cairan
b. Berat badan 20% atau c. kelebihan berat badan d. Penurunan zat
d. Kadar albumin serum
lebih di bawah beret badan besi, asam
rendah
ideal askarbat, den
e. Perubahan status fungsi
c. Menyatakan bahwa asupan
f. Asupan nutrisi yang tidak zink
makanan tidak adekuat
sesuai
berdasarkan RDA g. Lingkar lengan atas di
d. Kelemahan otot yang
bawah
penting untuk menelan h. persentil ke-ID
i. Lipatan kulit trisep di
atau mengunyah
e. Menyetakan atau tampak bawah
j. persentil ke-lO atau di
kurang makanan
f. Menolak mekan etes
g. Melaporkan gangguan k. persentil ke-95
l. Obesitas -
sensesi rasa
m. Gangguan terkait nutrisi:
h. Cepat kenyang
i. Nyeri abdomen dengan Osteoporosis
atau tanpa patologi Osteomalasia
j. Luke dan radeng rongga
Defisiensi folat
mulut
Defisiensi vitamin B
k. Kerapuhan kapiler
l. Kram abdomen
m. Diare dan/atau steatorea
Indikator Minor
n. Bising usus hiperaktif
o. Kurang minat terhadap a. Alkoholisme
b. Gangguan kognitif
makanan
c. Insufisiensi ginjal kronis
p. Persepsi ketidakmampuan
d. Berbagai obat yang
mencerna makanan
diberikan dalam satu
q. Konjungtiva dan membran
waktu
mukosa pucat
e. Sindrom malabsorpsi
r. Tonus otot buruk
f. Anoreksia, mual, disfagia
s. Rambut rontok
g. Perubahan pole defekasi
t. Kurang informasi, salah
h. Keletihan, apati,
informasi
kehilangan memori
u. Salah konsepsi
i. Status kesehatan gigi dan
mulut buruk, dehidrasi

Asupan Nutrisi
Kebutuhan nutrisi berbeda-beda, bergantung pada usia dan status
kesehatan lansia. Kebutuhan nutrisi pada lansia sehat sama dengan kebutuhan pad
individu dewasa muda dan dewasa menengah. Kebutuhan nutrisi pada
lansia yang sakit akut meningkat karena stres akibat penyakit. Lansia sakit kronis
biasanya memiliki asupan yang lebih rendah tetapi kebutuhan lansia terhadap zat
gizi tertentu meningkat (Guigoz, Vellas, & Carry, 1994). Perbedaan ini belum
dijelaskan dalam standar yang ada. Kebutuhan nutrisi pada lansia berusia 51 tahun
mungkin berbeda dengan kebutuhan pada lansia berusia 95 tahun. Berdasarkan
konsensus, karena terjadi perubahan metabolisme dan aktivitas seiring penuaan,
asupan kalori harus dikurangi 5% per dekade sejak usia lansia 55 tahun sampai 75
tahun, dengan pengurangan lanjut sebesar 7%, pada lansia yang berusia di atas 75
tahun (Karkeck & Worthington Roberts, 1993; Kart, Mestress, & Mestress, 1978).
Rentang kebutuhan kalori untuk l ansia pria, yaitu 2000 sampai 2800 kalori dan
untuk lansia wanita, yaitu 1200 sampai 2200 kalori.
National Research Council (1989) menerbitkan Recommended Dietary
Allowance (RDA). RDA menetapkan tingkat minimum asupan zat gizi penting
yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi individu sehat. Versi terbaru
RDA menyediakan ifnormasi yang lebih spesifik untuk lansia dibandingkan RDA
terdahulu. Untuk idnividu dewasa berusia lebih dari 50 tahun dengan aktivitas
ringan sampai sedang, 2300 kalori direkomendasikan untuk pria dan 1900 kalori
direkomendasikan untuk wanita. Variasi normal 20% berterima, sebagaimana
pada individu dewasa muda. Kebutuhan untuk individu berusia lebih dari 75 tahun
cenderung lebih sedikit karena penyusutan ukuran tubuh, penggunaan energi
residu, dan aktivitas.
Tidak ada bukti bahwa kebutuhan nutrisi menurun seiring pertambahan
usia (Kart et al., 1978). Namun, bukti terkini menunjukkan bahwa asupan zat gizi
aktual tidak menurun seiring penuaan (Marwick, 1997). Hal ini menunjukkan
bahwa seiring penuaan, makanan yang diberikari harus lebih berkualtias untuk
memenuhi kebutuhan zat gizi. Penelitian terbaru terhadap pasien kurang gizi yang
dirawat inap menunjukkan keberhasilan dalam ningkatkan asupan zat gizi sambil
mempertahankan ukuran porsi normal menggunakan makanan kaya energi (Olin
et al., 1996).
Penetapan standar kebutuhan harian tidak menjamin kepatuhan terhadap
standar kebutuhan ini. Asupan makanan yang tidak adekuat atau tidak tepat dan
kegagalan mengonsumsi zat gizi sesuai RDA dapat disebabkan oleh berbagai
faktor termasuk budaya, etnik, atau agama, yang mengakibatkan pembatasan pola
makan, modifikasi diet yang sangat dibatasi terkait penyakit kronis, kepercayaan
kesehatan yang salah, kemiskinan, tidak ada bantuan untuk berbelanja, dan makan
sendiri. Variasi diet juga berkurang seiring pertambahan usia (Rolls, 1994). Sayur,
buah, roti, dan sereal merupakan makanan yang kurang digemari oleh individu
semua usia di Amerika Serikat. Makanan yang lebih umum dikonsumsi oleh
lansia di Amerika Serikat adalah roti tawar putih, kopi, susu murni, gula, kentang,
teh, jus jeruk, telur, mentega, dan daging panggang, meskipun kini lansia mulai
beralih ke makanan rendah lemak (Briley, 1994).

Pengukuran Penyembuhan, Imunitas, dan Kekuatan


Kebutuhan nutrisi berubah jika terdapat penyakit, cedera, atau
pembedahan. Kurang gizi dapat tercermin melalui penyembuhan yang lambat,
penurunan imunitas, dan kehilangan kekuatan. Kegagalan penyembuhan luka,
terutama jika tidak terdapat diabetes atau gangguan sirkulasi, menandakan
pentingnya evaluasi status gizi.
Kurang gizi dapat memengaruhi fungsi imun. Uji kulit dengan antigen
umum digunakan sebagai bagian pengkajian secara keseluruhan, tetapi tidak dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis kurang gizi (Charney, 1995). Hitung
limfosit total adalah penanda fungsi imun dan risiko masalah nutrisi, tetapi
sebagaimana uji kulit, harus dilakukan sebagai bagian protokol pengkajian yang
lebih luas (Charney, 1995).
Perubahan struktural dan metabolik pada otot rangka terbukti terjadi akibat
pembatasan kalori dan protein, yang mengakibatkan penurunan kekuatan dan
massa otot (Ham, 1994). Beberapa penelitian menemukan kekuatan genggaman
sebagai prediktor morbiditas dan mortalitas pascabedah yang lebih sensitif
dibandingkan parameter pengkajian yang biasa digunakan, yaitu penurunan berat
badan, lingkar lengan, atau kadar albumin (Charney, 1995). Satu penelitian
terhadap kekuatan otot dan mpbilitas adalah uji Get up and Go (Mathias,.
Nayak, & Issacs, 1986; Tinetti, Williams, & Mayewski, 1986). Uji ini dilakukan
dengan meminta lansia bangun dan kursi, berjalan maju tanpa bantuan,
berkeliling, membungkuk, dan mengambil sesuatu dan lantai, kembali ke kursi,
berputar dan duduk. Kemudian, lansia dikaji terhadap rasa ketidakstabilan atau
limbun
Pengukuran Antropometrik
Pengukuran yang biasa digunakan termasuk tinggi badan, berat badan,
tebal trisep, dan lingkar lengan atas. Tinggi badan harus diukur sebagai ketinggian
aktual, bukan berdasarkan keterangan dan lansia. Selain menandakan gangguan
nutrisi, penurunan tinggi badan dapat mengindikasikan osteoporesis. Pada
individu yang mengalami kifosis atau kontraktur fleksi pada tungkai, terdapat
rumus untuk menghitung tinggi badan dan tinggi lutut (Roe, 1990). Berat badan
aktual tetap harus diukur. Akan tetapi, jika tidak dilakukan pengukuran aktual,
tinggi badanjuga dapat diperkirakan dengan memerhatikan apakah baju yang
dikenakan menjadi lebih kekecilan atau kebesaran (Ham, 1994). Perubahan tinggi
badan adalah tanda umum kurang gizi, dan riwayat penurunan tinggi badan dapat
menjadi indikator penting kurang gizi pada lansia. Penurunan berat badan yang
tidak diharapkan sampai 5 kg atau lebih dianggap signifikan (Ham, 1994).
Semakin besar dan semakin barn perubahan berat badan yang tidak disadari,
semakin tinggi risiko bagi lansia (AThite, 1994). Dehidrasi juga dapat
mempersulit pengkajian hasil nutrisi karena penurunan atau pertambahan berat
badan dapat mencerminkan perubahan status cairan, yaitu edema dan dehidrasi.
Saat in tersedia beberapa indeks tinggi badan dan berat badan termasuk
IMT (BB[kgj/TB2[mj) dan rasio pinggang terhadap pinggul. IMT rendah
merupakan indikator status gizi buruk. Individu berusia 65 tahun ke atas
diharapkan memiliki IMT 24 hingga 29. IMT kurang dan 24 merupakan tanda
penting kurang gizi, sedangkan IMT lebih dan 27 merupakan risiko utama untuk
obesitas (Ham, 1994). Namun, rasio pinggang terhadap pinggul dapat menjadi
prediktor mortalitas yang lebih sensitif pada wanita. Wanita yang berisiko paling
tinggi terhadap mortalitas adalah wanita yang memiliki IMT rendah, tetapi rasio
pinggang terhadap pinggul tinggi. Pola ini sama pada wanita perokok maupun
nonperokok (Folsom et al., 1993).
Menurut Chernoff, Mitchell, dan Lipschitz (1984), beberapa perubahan
tinggi dan komposisi tubuh pada lansia dapat dihubungkan dengan penuaan.
Perubahan ini sama dengan perubahan yang tampak pada kasus kurang gizi pada
individu sema usia. Dengan demikian, sulit untuk menginterpretasikan nilai
abnormal yang tampak pada lansia. Pengukuran antropometrik tubuh sening kali
menjadi bagian pengkajian nutrisi. Pengukuran ini meliputi tebal trisep dan
lingkar lengan, yang mengindikasikan pengukuran cadangan lemak dan protein.
Standar untuk pengukuran ini dirancang untuk individu dewasa muda. Apabila
standar sudah tersedia untuk lansia, pengukuran ini dapat membantu
mempertajam prediktor kurang gizi pada lansia. Lansia mengalami penurunan
massa otot tanpa lemak dar perubahan persentase cadangan lemak sehingga
pengukuran ini tidak dapat dijadikan predikto terbaik kurang gizi; namun,
penelitian lanjutari perlu dilakukan. Nutrition Screening Initiative
merekomendasikan tebal trisep sebagai ukurar. lemak subkutan dan lingkar lengan
atas sebagai ukuran massa otot (Ham, 1994). Pengukuran ini merupakan
pengukuran baku sederhana yang memerlukan kaliper trisep dan meteran yang
fleksibel.

Nilai Laboratorium dan Nilai Biokimia


Uji laboratonium yang sering dilakukan dalan-. pengkajian nutrisi
mencakup albumin serum, kapasitas pengikat zat besi total, transferin serum
hitung limfosit, dan kreatinin urine 24jam. Transfenir. serum merupakan prediktor
lemah kurang gizi pada lansia karena lansia mengalami penurunan kadar
transferin yang dapat dihubungkan dengan cadangan zat besi jaringan yang lebih
tinggi, bukan kurang gizi. Anemia dan hitung limfosit abnormal sering ditemukan
pada lansia gizi baik sehingga merupakan prediktor yang lemah. Kreatinin urine
dipengaruhi oleh disfungsi ginjal dan hati, yang biasa terjadi pada lansia. Kadar
albumin serum hanya sedikit terganggu oleh penuaan, sehingga hipoalbuminemia
dapat menjadi prediktor terbaik kurang gizi pada lansia (Chernoff et al., 1984;
Ham, 1994; Mitchell & Lipschitz, 1982; Seltzer et al., 1979), terutama jika
diinterpretasi bersama dengan tanda klinis dan perubahan berat badan.

Instrumen Pengkajian Nutrisi


Pengkajian nutrisi bertujuan membantu mengidentifikasi masalah,
sehingga rencana untuk memperbaiki dan mempertahankan status gizi dapat
dikembangkan. Berbagai parameter diajukan untuk disentakan ke dalam
pengkajian. Area yang paling umum disertakan adalah riwayat diet, ukuran
antropometnik, nilai labonatorium dan pengkajian imunologik, serta manifestasi
klinis. Tiga instrumen pengkajian yang dapat digunakan diulas di sini.
Wolmnsky et al. (1990) mengembangkan Nutritional Risk Index (NRI)
untuk menskrining individu yang benisiko terhadap gangguan nutrisi. NRI berisi
16 pertanyaan pilihan untuk menggali lima dimensi risiko nutrisi, yaitu mekanika
asupan makanan, program pembatasan diet, morbiditas yang memengaruhi asupan
nutrisi, ketidaknyamanan yang berhubungan dengan asupan makanan, dan
perubahan signifikan dalam kebiasaan diet. NEI dirancang sebagai alat ukur yang
ringkas, mudah dihitung, dan dapat diisi melalui percakapan via telepon.
Perlengkapan psikometrik NRI telah diuji pada banyak lansia (lebih dari 1200)
yang tinggal di komunitas di St. Louis dan Houston serta pada lansia rawat jalan
di St. Louis Veterans Affairs Medical Center. Penyusun NRI menyatakan bahwa
NRI berguna sebagai alat skrining pendeteksi lansia yang berisiko terhadpa
gangguan nutrisi dan yang membutuhkan standar klinis dan pengkajian
laboratorium terhadap status gizi yang lebih detail.
Mini-nutritional assessment (MNA) (Guigoz et.al 1994) dikembangkan
agara dapat disertakan sebagai bagian pengkajian fungsional geriatrik, karena
pengkajian nutrisi jarang disertakan ke dalam pengkajian tersebut. Hasil
pengkajian menggunakan MNA menunjukkan status gizi lansia, yaitu (1) gizi baik
atau adekuat, (2) ambangan atau berisiko terhadap kurang gizi, atau (3) gizi buruk.
MNA merupakan pengkajian singkat yang dapat dilakukan dalam 20 menit atau
kurang dan mencakup pengukuran antropometrik serta pertanyaan seputar gaya
hidup, medikasi, mobhilitas, asupan makanan, otonomi pemberian makan,d an
persepsi tentang kesehatan. Jika perlu (dan tersedia di tatanan), penilaian biologis,
seperti kadar albumin dan hitung limfosit dapat disertakan ke dalam penilaian.
MNA telah divalidasi pada lebihd ari 700 lansia di Prancis dan Amerika Serikat
dan tersedia dalam bahasa Inggris dan Prancis. Kelompok uji terdiri atas lansia
yang sangat lemah hingga sehat. MNA terdiri atas 18 poin yangmencakup faktor
risiko (misalnya, penggunaan lebih dari 3 obat reszep per hati) dan batasan
karakteristik (misalnya, penurunan berat badan dan lingkar lengan atas) kurang
gizi).
Nutrition Screning Initiative mengembangkan metode pengkajian tiga
tingkat. Ketiga tingkat tersebut adalah skrining MANDIRI, pengkajian risiko yang
diisi sendiri oleh individu, dan skrining tingkat satu dan dua, yang diisi oleh
tenaga kesehatan profesional. Skrining MANDIRI merupakan daftar tilik yang
mudah digunakan dan menyoroti sembilan faktor risiko status gizi buruk. Skor
total dapat memberi petunjuk kepada pasien, pemberi asuhan, atau tenaga
kesehatan profesional tentang keterbatasan status gizi. Skrining Tingkat Satu,
yang dirancang untuk digunakan oleh tenaga kesehatan profesional, bertujuan
mengidentifikasi lansia yang dapat diberikan intervensi preventif, seperti
penginiman makanan ke rumah atau pendidikan kesehatan tentang nutrisi (Grindel
& Costello, 1996). Skrining Tingkat Dua mengumpulkan informasi diagnostik
yang detail, seperti perubahan berat badan dan data laboratonium, dan biasanya
dilakukan di rumah sakit, klinik rawat jalan, atau tempat praktik dokter.

Diagnosis Keperawatan
Perubahan Nutrisi: Kurang dan Kebutuhan Tubuh didefinisikan sebagai
ketidakcukupan asupan zat gizi individu dalam memenuhi kebutuhan metabolik
(NANDA, 1999, hlm. 9). Etiologi dan batasan karakteristik yang berhubungan
dengan diagnosis yang saat ini diterima untuk dilakukan uji klinis oleh
NANDAtercantum dalam Kotak 13-2 (NANDA, 1999). Tanpa memerhatikan
prevalensi dan signifikansi diagnosis ini bagi semua kelompok usia, hanya
terdapat dua penelitian yang berkaitan dengan diagnosis in Dalam penelitian
pertama, dilakukan survei terhadap 101perawat yang menjadi anggota kelompok
pendukung nutrisi (Murphy, 1989). Perawat tersebut diminta untuk meninjau
daftar 18 etiologi dan 32 batasan karakteristik diagnosis tersebut. Dan daftar
tersebut, perawat menilai delapan etiologi dan hanya dua batasan karakteristik
yang cukup atau sangat mencirikan diagnosis tersebut (Kotak 3). Perawat
tersebut mencatat enam batasan karaktenistik NANDA yang tidak relevan, yaitu:
salah konsepsi, kurang/salah informasi, konjuhgtiva dan membran mukosa pucat,
kapiler rapuh, kram abdomen, dan kurang nafsu makan.
Pada penelitian kedua, etiologi dan batasan karakteristik divalidasi dengan
melibatkan 50 pasien kanker dan dua fasilitas pengobatan (Chiang, Ku, & Lo,
1994). Delapan poin diseleksi sebagai etiologi utama, dan 14 batasan karakteristik
divenifikasi. Hasil penelitian ini dibandingkan dengan temuan Murphy (1989)
(lihat Kotak 3). Penelitian kedua ini memvalidasi etiologi dan batasan
karakteristik yang terdapat pada pasien. Namun, karena beberapa faktor tersebut
hanya dapat dikaji pada pasien kanken, penelitian harus dilakukan kembali dengan
sampel kelompok pasien lain.

Kotak 2. Hasil yang diharapkan dan intervensi keperawatan yang dianjurkan


Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
Diagnosis Keperawatan a. Pantau ketepatan program diet untuk
Perubahan Nutrisi: Kurang den memenuhi kebutuhan gizi harian,
Kebutuhan Tubuh jika perlu
b. Tentukan dengan kolaborasi dengan
Batasan Karakteristik
ahli gizi, jika perlu
a. Penurunan berat bedan walaupun
c. Jumlah kebutuhan kalori dan nutrisi
asupan makanan adekuat d. Tentukan pemilihan makanan dengan
b. Berat badan 20% atau lebih di
mempertimbangkan faktor budaya
bawah berat badan ideal
dan agama
c. Menyatakan bahwa asupan
e. Kaji kebutuhan pemberian makan
makanan tidak adekuat berdasarkan
melalui NOT
RDA f. Pilih gandum, susu, dan es krim
d. Kelemehan otot yang penting untuk
sebagai suplemen nutrisi
menelan atau mengunyah g. Dorong pasien untuk memilih
e. Menyataken atau tampak kurang
makanan semilunak jika produksi
makanan
saliva yang sedikit mengganggu
f. Menolak makan
g. Melaporkan gangguan sensasi rasa proses menelan
h. Cepat kenyang h. Motivasi pasien untuk mengonsumsi
i. Nyeri abdomen dengan atau tanpa
makanan tinggi kalsium, jika perlu
patologi i. Motivasi klien untuk mengonsumsi
j. Luka dan radang rongga mulut
makanan dan minuman tinggi
k. Kerapuhan kapiler
l. Kram abdomen kalium, jika perlu paskan bahwa diet
m. Diare dan/atau steatorea
mencakup makanan tinggi serat
n. Bising usus hiperaktif
o. Kurang minat terhadap makanan untuk mencegah konstipasi
p. Persepsi ketidakmampuan j. Beri makanan dan minuman tinggi
mencerna makanan protein, tinggi kalori, bergizi tinggi,
q. Konjungtiva dan membran mukosa
serta siap dikonsumsi, jika perlu
pucat k. Bantu pasien untuk memilih
r. Tonus otot buruk
makanan yang lunak, lembut, den
s. Rambut rontok
t. Kurang informasi, salah informasi tanpa asam, sesuai kebutuhan
u. Salah konsepsi l. Beri makanan peneteral, jika perlu
m. Hentikan pemberian makan melalul
slang jika pasien sudah dapat
Faktor yang berhubungan/etiologi
menoleransi asupan per oral
Ketidakmampuan menelan atau
n. Beri cairan hiperalimentasi, jika
mencerna makanan atau mengabsorbsi
diperlukan
zat gizi karena faktor biologik, o. Pastikan ketersediaan diet terapeutik
psikologik, atau ekonomi progresif
p. Beri zat gizi sesual kebutuhan dalam
program diet
Hasil yang Diharapkan
q. Motivasi pasien untuk membawa
Status Gizi
makanan rumah ke institusi
Indikator
perawatan
Asupan zat gizi r. Anjurkan untuk mencoba membatasi
Asupan makanan dan ceiran makanan yang mengandung laktosa,
Energi jika perlu
s. Tawarkan rempah dan bumbu herbal
Masse tubuh
sebagai pengganti garam
Berat badan
t. Modifikasi lingkungan untuk
Nilai biokimia
menciptakan atmosfer yang
menyenangkan dan membuat relaks
CATAT : Beberapa hasil Status Gizi di u. Sajikan makanan dalam bentuk yang
atas dapat digunakan sebagai menarik dan menyenangkan baik
hasil yang lebih spesifik dari segi warna, bentuk, dan variasi
v. Lakukan perawatan mulut sebelum
berdasarkan kebutuhan zat
makan, jika perlu
gizi yang harus dipenuhi
w. Bantu klien mengubah posisi duduk
(Status Gizi: Massa Tubuh;
sebelum makan
Status Gizi: Asupan Zat Gizi; x. Ajarkan pasien dan keluarga tentang
Pengendalian Berat Badan) program diet
y. Rujuk pasien untuk menjalani
pendidikan dan perancanan diet, jika
Intervensi Keperawatan
perlu
Tetapi Nutrisi
z. Beri pasien dan keluarga contoh
Tindakan
Pantau asupan makanan atau cairan dan tertulis program diet
hitung asupan kalori harian, jika perlu

Kotak 1.3 Perbandingan Antara faktor yagn berhubungan/Etiologi dan Batasan


Karakteristik
Perubahan nutrisi : Kurang dari Kebutuhan Tubuh
Batasan karaktertitik a. Berat badan di bawah a. Anoreksia
b. Disfagia
Murphy (1989) berat badan ideal
c. Kelaparan
b. Gelisah
a. Berat badan 20% atau
c. Gangguan tidur
lebih dibawah berat
badan ideal
b. Kadar albumin serum
rendah
Chiang, Ku % Lo Faktor yang Chiang, Ku, & Lo
(1994) berhubungan/etiologi (1994)
a. Lingkar lengan atas Murphy (1989) a. Anoreksia
b. Gangguan indra
terlalu kecil a. Ketidakmampuan
b. Keletihan perasa dan pencium
menelan atau
c. Laporan bahwa c. Penurunan sekresi
mencerna makanan
asupan makanan tidak salvia
karena faktor biologis d. Gangguan emosi
adekuat
b. Status hipermetabolik/ e. Nyeri
d. Ketebalan otot trisep
f. Kesulitan menelan
katabolik
tipis g. Mual atau muntah
c. Gangguan penyerapan
e. Penurunan berat banda h. Merasa atau kurang
d. Ketidakmampuan
f. Atrofi
istirahat
g. Apatis menelan atau
h. Reaksi lambat
mencerna makanan
i. Kulit kering
j. Depresi atau mengabsorbsi zat
k. Hemoglobinr endah
gizi karena faktor
psikoligik
e. Mual dan muntah

Studi Kasus
C. Wright, 71 tahun, kulit putih, dibhawa ke fasilitas perawatan setempat
setelah pulang dari rumah sakit. Tinggi badan Ny. Wright 160 cm dan berat badan
48 kg, setelah mengalami penurunan berat badan sebanyak 3 kg selama dirawat
inap. Ia mampu berjalan jarak pendek tanpa bantuan, tetapi mengalami kelemahan
lengan dan tungkai kanan. Ia menghabiskan banyak waktu dengan duduk di kursi.
Ia memiliki tonus otot yang buruk dan seluruh giginya telah diganti dengan gigi
palsu. Saat dibawah ke fasilitas perawatan setempat, kadar albumin serum Ny.
Wright 3,2 g/dl dan hemoglobin 10 g/dl. (nilai normal albumin> 3,5 g/dl dan
hemoglobin nromal pada wanita 11 sampai 15 (Roe, 1990). Asupan makanannya
kurang dari 1000 kalori per hari. Dari pengkajian fisik, perawat mencatat adanya
kerusakan kulit di area koksigis.
Ny. Wright mengatakan bahwa ia kurang nafsu makan, merasa tidak
perlu makan banyak, dan merasa lemah. Ia juga mengatakan bahwa ia
mengalami penurunan berat badan sebesar 9 kg dalam setahun terakhir. Dari
riwayat dan wawancara, perawat menyimpulkan bahwa Ny. Wright mengalami
stroke hemisfer kiri yang dipersulit dengan pneumonia, sebelum masuk ke
fasilitas perawatan tersebut. Ta telah menjanda selama 2 tahun dan hidup sendiri,
sejak suaminya meninggal. Sesekali, putra dan putri Ny. Wright mengunjunginya.
Dari data di atas, perawat menegakkan diagnosis: Perubahan Nutrisi:
Kurang dari Kebutuhan Tubuh, yang berhubungan dengan isolasi sosial,
anoreksia, stres emosi, dan ketidakmampuan untuk menyiapkan dan mendapatkan
makanan, dibuktikan oleh nafsu makan buruk, berat badan turun,
hipoalbuminemia, dan tonus otot buruk.
Ny. Wright benisiko karena status gizi saat mi buruk. Penununan benat
badan dan pengukuran ketebalan lipatan kulit menunjukkan simpanan lemak dan
kondisi otot buruk. Kulit di sekitar koksigis rusak, dan kondisi Ny. Wright
dipersulit oleh pneumonia. Sepeninggal suami, ia jarang memasak, merasa tidak
perlu atau tidak ingin memasak makanan lengkap, dan kehilangan kebersamaan
saat makan bersama suami. Tanpa suami di sisinya, ia menjadi jarang melakukan
aktivitas sosiaL Kanena penurunan tingkat aktivitas mi, ia merasa penlu
mengunangi porsi makan guna menghindari kenaikan berat badan.
Hasil Yang Diharapkan
Jika diagnosis Perubahan Nutrisi: Kurang dan Kebutuhan Tubuh
ditegakkan, hasil dipilih untuk mengukur perkembangan dan dampak intervensi.
Hasil NOC yang sesuai pada kiasifikasi terbaru mencakup Status Gizi; Status
Gizi: Nilai Biokimia; Status Gizi: Massa Tubuh; Status Gizi: Energi; Status Gizi:
Asupan Makanan dan Cairan; Status Gizi: Asupan Zat Gizi; Kesehatan Mulut;
Perawatan Diri: Makan; dan Pengetahuan: Diet (Iowa Outcomes Project, 2000).
Pemilihan hasil yang tepat, dan indikator setiap basil, bergantung pada kebutuhan
individu dan karakteristik pasien yang sedang ditangani. Judul hasil dan indikator
NOC inklusif dan komprehensif.
Pengkajian dan evaluasi sistematis yang kontinu penting untuk
menentukan respons terhadap intervensi. Tujuan intervensi keperawatan adalah
meningkatkan jumlah makanan yang diasup, memperbaiki kualitas zat gizi yang
dikonsumsi, mencapai nutrisi yang adekuat sesuai dengan kebutuhan yang
teridentifikasi, dan meningkatkan pemahaman klien tentang kebutuhan nutrisi.

Intervensi Keperawatan
Rencana untuk memastikan asupan zat gizi yang adekuat harus
disesuaikan untuk setiap individu, sesuai kebutuhan masing-masing iridividu dan
hasil spesifik yang dipilih. Terdapat beragam intervensi untuk Perubahan Nutrisi:
Kurang dan Kebutuhan Tubuh, bergantung pada tahap kurang gizi yang dialami
pasien, termasuk Penyuluhan: Program Diet, Konseling Nutrisi, Manajemen
Nutrisi, Pemantauan Nutrisi, dan Terapi Nutrisi. Intervensi lain termasuk
Perujukan, Peningkatan Sosialisasi, Pemeliharaan Kesehatan Mulut, Peningka tan
Kesehatan Mulut, dan Pemulihan Kesehatan Mulut.
Tingkat risiko pasien membantu menentukan judul NIC yang akan
digunakan. Oleb karena itu, penyusun taksonomi NIC mungkin ingin
mempertimbangkan kembali tindakan yang tercantum dalam judul mi. Pada
kebanyakan kasus, lebih dan satu intervensi NIC tepat untuk digunakan.

Perujukan
Perujukan adalah pengaturan Iayanan oleh instansi atau penyedia layanan
lain dan merupakan intervensi NIC yang tepat bagi lansia yang berisiko atau
mengalami gangguan nutrisi (Iowa Interventioi: Project, 2000, hlm. 551).
Perujukan dapat dibuat untuk terapi okupasi atau terapi fisik guna mengevaluasi
kebutuhan peralatan khusus atau latihar. fisik tertentu untuk meningkatkan
kemampuan dar. keinginan pasien untuk makan. Kemampuan untuk mengunyah
dan menelan dengan benar sangat penting untuk memulai pencernaari. Lansia
yang mengalami masalah kesehatan mulut, yang dapat mengganggu status gizi,
mungkin perlu dirujuk ke dokter gigi, walaupun intervensi NIC Pemeliharaan
Kesehatan Mulut, Peningkatan Kesehatan Mulut, atau Pemulihan Kesehatan
Mulut tepat bagi lansia. (Pembahasan lebih perinci mengenai intervensi tersebu:
tidak tercakup dalam lingkup bab in. Masalah gigi, pemasangan dan penggunaan
gigi palsu, dan kesulitan otot untuk menelan dapat memengaruhi pencernaan dan
harus dikoreksi agar pasien dapat makan. Individu yang ompong atau terpasang
gigi palsu yang tidak pas dapat memiliki pilihan jenis makanan yang terbatas dan
mengalami gangguar. makan. Ketidakmampuan mengunyah dapat menurunkan
jumlah asupan protein (Hogstel & Robinson, 1989). Seorang terapis wicara dapat
membanft mengatasi kesulitan pada kasus disfagia.
Bagi lansia yang tidak mampu membeli atau menyajikan diet yang adekuat
karena kemiskinan perujukan dapat dilakukan ke program bantuan keuangan
untuk mengatasi masalah nutrisi, seperti Food Stamp Program, makan bersama,
pengiriman makanan ke rumah, atau bank makanan setempat. Bagi lansia yang
mengalami keterbatasan fungsi perujukan ke layanan manajemen kasus, bantuar.
kesehatan dalam rumah atau bantuan petugas manajemen rumah tangga dan
layanan tugas rumah tangga, dan tempat penitipan lansia tepat dilakukan.

Peningkatan Sosialisasi
Perbaikan ruangan makan dan sosialisasi pada waktu makan dapat
meningkatkan asupan nutrisi. Membuat ruang makan menjadi lebih indah dan
menyenangkan dapat meningkatkan keinginan individu untuk makan (Ham, 1994;
Irwin, 1987). Membuat waktu makan menjadi waktu untuk saling berdiskusi dan
bertukar ide yang menyenangkan, dapat juga meningkatkan keinginan untuk
makan. Waktu makan biasanya merupakan waktu bagi keluarga untuk saling
berbagi dan bersosialisasi. Saat keluarga tidak ada, sosialisasi yang lain
dibutuhkan untuk mengembalikan makna makan bersama. Sosialisasi yang
dihadirkan oleh individu yang mengantar Meals on Wheels bahkan dapat memberi
pengalaman sosialisasi positif bagi lansia di rumah. Program makan bersama,
layanan penitipan lansia, dan pusat penduduk lansia aktif, juga dapat dijadikan
sarana bersosialisasi bagi lansia yang terisolasi.

Pendidikan Kesehatan Tentang Nutrisi


Perawat dpaat memberi pengaruh langsung terhadap status gizi, tetapi
pendekatan tim untuk mengatasi masalah nutrisi cukup optimal dan usaha
kolaborasi antara perawat dengan ahli gizi perlu dilakukan. Dugdale, Chandler,
dan Baghurst (1979) menemukan bahwa dokter dan perawat secara umum lebih
mengetahui tentang dasar teoretis nturisi dibanding aspek praktik nutrisi. Agar
pendidikan kesehatan p asien bermanfaat, perawat harus menggabungkan
pengetahuan tentang teori nutrisi dengan penerapan praktis pada setiap individu.
Prinsip pembelajaran orang dewasa dipakai untuk merancang intervensi
pendidikan kesehatan.
Upaya harus diarahkan untuk membantu individu mengganti kebiasaan
makan yang buruk dengan kebiasaan makan yang konstruktif. Pendidikan
kesehatan juga harus meliputi aktivitas dan l atihan fisik untuk membangkitkan
selera makan. Pasien harus mendapat masukan untuk mencapai tujuan bersama
yang menguntungkan. Mengetahui jenis makanan yang penting bagi pasien sangat
bermafnaat, terutama dalam populasi etnik tertentu. Makanan yang disukai atau
tidak disukai harus diidentifikasi sehinggan menjadi panduan dalam menyajikan
makanan yagn nantinya benar-benar dikonsumsi oleh lansia dan membantu
mengidentifikasi kebutuhan suplemen nutrisi. Anggota keluarga juga harus
diikutsertakan dalam proses pendapat memengaruhi respons pasien terhadap
pendidikan kesehatan. Anggota keluarga yang berpengetahuan dapat menajdi
sumber penting dalam membantu menentukan kebutuhan suplement nutrisi.

Terapi Nutrisi
Terapi nutrisi yaitu pemberian makanan dan cairan untuk mendukung
proses metabolik pasien kurang gizi atau berisiko kurang gizi (Iowa Intervention
Project, 2000, hIm. 475). Terapi Nutrisi ditujukan bagi individu yang tidak
mampu memenuhi kebutuhan nutrisi dengan mengonsumsi diet seimbang. Seperti
terlihat pada Kotak 13-2, intervensi yang tepat mencakup tindakan pemantauan
dan penyuluhan serta mendorong atau menyediakan nutrisi adekuat. Terapi Nutrisi
dapat terjadi pada beberapa tingkat, termasuk (1) modifikasi kandungan dan
densitas gizi, (2) modifikasi konsistensi dan penggunaan suplemen nutrisi, (3)
pemberian makan enteral, dan (4) pemberiah makan parenteral (Nutrition
Screening Initiative, 1992).
Beberapa pendekatan dapat dilakukan untuk memodifikasi kandungan dan
densitas gizi pada makanan: mendorong penggantian makanan bergizi rendah,
seperti buncis, kentang, atau roti tawar dengan makanan kaya nutrisi, seperti
brokoli, ubi, dan roti gandum yang telah diperkaya; mencoba makan dalam porsi
kecil enam kali sehari, bukan makan dua atau tiga kali sehari dalam porsi besar;
atau menambahkan suplemen vitamin dan mineral. Konsistensi makanan dapat
dimodifikasi dengan makanan lunak, sup kental, atau diet cair. Penting untuk
menentukan jenis kesulitan mengunyah atau menelan saat menentukan cara
mengubah konsistensi makanan. Suplemen yang dijual bebas juga dapat
digunakan untuk individu yang mengalami kesulitan mengunyah dan menelan.
Jika mungkin, asupan oral adalah metode pemberian makan yang lebih
dipilih. Namun, apabila asupan oral terbukti tidak adekuat, pemberian makan
enteral perlu dilakukan. Larutan makanan enteral merupakan nutrisi yang lengkap,
dan tidak seperti makanan parenteral, makanan enteral dapat mempertahankan
intgritas struktur dan fungsi usus halus. Pemberian makan enteral adalah metode
yang digunakan untuk memberi dukungan suplemen nutrisi jika individu tidak
mampu mengunyah dan mencerna makanan agar mendapat asupan makanan dan
cairan yang adekuat. Slang nasogastrik atau slang gastrotomi atau jejuostomi
dapat menjadi jalur pemberian makan enteral. Cataldi-Betcher, Seltzer, Slocum,
dan Jones (1983) menemukan tiga jenis komplikasi pada pasien yang mendapat
makanan enteral: 6,2% mengalami komplikasi gastrointestinal termasuk diare dan
pengosongan lambung yang tidak adekuat, 3,5% mengalami komplikasi mekanis,
dan 2% mengalami komplikasi metabolik termasuk ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit (Seltzer, Slocum, Cataldi Betcher, Seltzer, & Goldberger, 1984). Saat
dilakukan pemberian makan enteral, toleransi pasien terhadap metode pemberian
makan dan manfaat nutrisi yang diperoleh pasien perlu dievaluasi.
Pada beberapa k ondisi, nutrisi perenteral sangat penting. Nutrisi
perenteral total dapat digunakan pada individu yang mengalami gizi buruk jika
metode lain tidak dapat mengoreksi masalah (Starker et.al., 1985).
Tabel 1. Hasil Keperawatan dan Indikator Pilihan untuk Ny. Wright
Hasil yang
Indikator pilihan Rasional
diharapkan
Status gizi : Asupan kalori Asupan 1000 kalori saat ini tidak
Asupan zat gizi adekuatu berdasarkan RDA
Asupan protein Kadar albumin serum rendah, tonus
otot buruk, ulkus dekubitus
kemungkinan berkembang
Status Gizi : Asupan zat besi Hemoglobin rendah
Nilai Biokimia
Albumin serum Kadar albumin serum subnormal,
mengindikasikan gizi buruk kronis
Status gizi : Hemoglobin Hemoglobin normal rendah
massa tubuh
Berat badan Penurunan berat badan sebesar 9 kg
dalam setahun terakhir, termasuk
kehilangan berat badan kronis
maupun akut
Indeks massa tubuh Indeks massa tubuh di bawah
rentang normal
Status gizi : Stamina Riwayat stroke, kelemahan otot,
energi penurunan tingkat aktivitas, merasa
lemah
Kekuatan genggaman
Pengetahuan : Mendeskripsikan diet yang
Diet dianjurkan
Menjelaskan rasional dari Melaporkan anoreksia dan
diet yang diprogramkan kebutuhan membatasi makan
karena penurunan tingkat aktivitas
Menjelaskan keuntungan Isolasi sosial yang berhubungan
mematuhi diet yang dengan k ehilangan dan hidup
direkomendasikan sendiri
Mengembangkan strategi
untuk mengubah kebiasaan
diet

Studi Kasus
Hasil yang dipilih untuk Ny. Wright, yaitu: Status Gizi: Asupan Gizi;
Status Gizi: Energi; Status Gizi: Massa Tubuh; Status Gizi: Nilai Biokimia: dan
Pengetahuan: Diet. Hanya indikator pilihari yang ditetapkan untuk masing-masing
hasil. Hasil tersebut tertera pada Tabel 13-1. Status Gizi tidak dipilih sebagai hasil
karena sangat luas dan indikator teridentifikasi sebagai hasil status gizi lain. Status
gizi: asupan makanan dan cairan tidak dipilih karena menggambarkan metode
asupan. Kesehatan mulut tidak dipilih, karena walaupun emngenakan gigi palsu,
Ny. Wright tidak menunjukkan tanda masalah mulut. Perawat diri : makan tidak
dipilih karena Ny. Wright secara fisik dapat makan sendiri.
Kolaborasi antara perawat dan ahli gizi dapat menghasilkan rencana nutrisi
bagi Ny. Wright. Pendidikan kesehatan tentang nutrisi diberikan kepada Ny.
Wright dan putra-putrinya. Peningkatan asupan nutrisi dikatikan dengan
peningkatan kontak sosial bagi Ny. Wright. Ia dimotivasi untuk makan bersama
dua pasien l ain yang ia kehendaki. Karena Ny. Writht suka sarapan kuantitas
makanan yang diberikan pada waktu sarapan dapat ditingkatkan. Untuk
menignkatkan nafsu makan dan kontak sosial, Ny. Wright dirujuk ke ahli terapi
aktivitas guna merencanakan aktivitas rekreasi. Rujukan juga dilakukan untuk
terapi fisik guna menentukan apakah defisit akibat stroke yang dialami Ny. Wright
memengaruyhi kemampuan makan. Pemberian suplement tidak dianjurkan karena
Ny. Wright tidak mengalami gizi buruk, responsif terhadap pendidikan eksehatan
yang diberikan, dan mampu makan secara mandiri tanpa kesulitan. Dalam
beberapa bulan, kondisi Ny. Wriht membaik. Mobilitas dan beberapa kesulitan
menelan yang terdeteksi oleh ahli terapi fisik sudah teratasi. Ia menikmati aktvitas
rekrasi harian. Ia terkadang masih depresi karena kematian suaminya, tetapi saat
ini ia masih berada dalam periode berduka. Ia makan banyak saat sarapan, tetapi
makan dalam porsi lebih kecil saat makan siang dan makan malam, dan sesekali
memakan kudapan di antara waktu makan. Ny. Wright dapat menyebutkan
pemahaman tentang pentingnya nutrisi seimbang dan hubungannya dengan status
kesehatan fisik dan jiwanya. Berat badan Ny. Wright naik 5 kg. selain itu, tonus
otot Ny. Wright juga membaik.
BAB II
PENUTUP

Kesimpulan
Literatur tentang pengkajian kurang gizi bnayak ditemukan, tetapi standar
kebutuhan nutrisi berdasarkan usia masih perlu diidentifikasi. Penelitian berskala
relatif kecil tentang judul diagnosis keperawatan telah dilakukan. Namun,
validitas faktor yang berhubungan dan batasan karakteristik yang disetujui masih
dipertanyakan. Faktor yang berhubungan yang disetujui NANDA masih samar,
dan penyertaan faktor risiko ke dalam batasan karakteristik, seperti: bukti kurang
makanan dan kurang informasi, membuat penetapan kategori judul semakin
membingungkan. Berdasarkan tinjauan literatur dan penelitian Nutrition
Screening Initiative, indikator yang direkomendasikan sebagai batasan
karakeristik, antara lain indikator kesehatan mulut yang buruk, seperti mulut
kering atau seriawan; kulit kering; lemak subkutan tipis; penyembuhan luka lama;
kurang nafsu makan atau mudah kenyang; asupan tidak memadai berdasarkan
RDA (meskipun mi dapat ditetapkan sebagai faktor yang berhubungan);
penurunan massa dan kekuatan otot; IMT kurang dan 24; penurunan berat badan
lebih dan 5 kg; tebal otot trisep dan lingkar lengan atas abnormal; dan
hipoalbuminemia. Faktor risiko meliputi penyakit, medikasi, penggunaan alkohol,
masalah kesehatan mulut, hambatan fungsi, dan masalah keuangan. Perawat juga
perlu mengetahui perubahan normal seiring penuaan, sehingga tandatanda yang
berhubungan dengan kurang gizi dapat dibedakan dan tidak dianggap sebagai
bagian penuaan. Dengan demikian, kurang gizi dapat dikenali secara dini dan
intervensi yang tepat dapat segera dilakukan.

F
DAFTAR PUSTAKA

Briley, M. E. (1994). Food preferences of the elderly. Nutrition Reviews, 52(8),


S21-S23.

Buzina-Suboticanec, K., Buzina, R., Stavljenic, A., Farley, T., Haller, J., Bergman-
Markovic, B., & Gorajscan, M. (1998). Ageing, nutritional status and
immune response. International Journal for Vitamin & Nutrition
Research, 68(2), 133-141.

Cataldi-Betcher, E., Seltzer, M., Slocum, B., & Jones, K. (1983). Complications
occurring during enteral nutrition support: A prospective study. Journal
of Parenteral and Enteral Nutrition, 7, 546-552.

Charney, P. (1995). Nutrition assessment in the 1990s: Where are we now?


Nutrition in Clinical Practice, 10, 131-139.

Chernoff, R., Mitchell, C. 0., & Lipschitz, D. A. (1984). Assessment of the


nutritional status of the geriatric patient. Geriatric Medicine Today, 3,
129-141.

Anda mungkin juga menyukai