Perubahan Nutrisi
Perubahan Nutrisi
PENDAHULUAN
Penyakit
Selain perubahan nomal seiring penuaan yang dapat menyebabkan
gangguan nutrisi, populasi lansia lebih sering mengalami penyakit kronis.
Penanganan yang dianjurkan untuk penyakit kronis dapat membatasi jenis
makanan dan kemampuan merasakan makanan. Sebagai contoh, diabetes
(penurunan asupan karbohidrat), gagal jantung kronik (penuasupan natrium),
gagal ginjal (penurunan asupan kalium, natrium, dan protein), dan penyakit hati
(penurunan asupan protein).
Medikasi
Masalah nutrisi akibat penggunaan obat timbul akibat penggunasalahan
obat resep,lpemberian resep yang tidak tepat, pilifarmasi, dan interaksi obat
makanan atau obat-alkohol (White, 1994). Obat dapat mengaruhi ingesti atau
absorbsi zat gizi dalam berbagai cara. Obat yang diresepkan untuk penyakit
kronik dapat menyebabkan interaksi obat zat gizi dan dapat memicu kurang gizi.
Interaksi obat-obat zat gizi meliputi (1) penurunan absorbsi obat, (2) peningkatan
absorbsi obat,m dan (3) penurunan kandungan gizi akibat reaksi efek simpang
obat. Dengan demikian, penilaian status gizi penting bagi pasien lansia yang
menerima satu atau lebih obat yang dapat berinteraksi dengan asupan atau
absorpsi zat gizi. Ham (1194) merekomendasikan plastic bag tes, yang berisi
setiap obat di rumah, yang dibawa oleh lansia atau keluarga. Hasil uji ini dapat
dijadikan data dasar yang baik untuk mengkaji obat yang mungkin menyebabkan
anoreksia atau interaksi makanan obat.
Hambatan Fungsi
Fungsi Fisik. Di manapun, hambatan fungsi dapat membuat individu
lansia bergantung pada orang lain untuk makan atau mengatur pembatasan pilihan
makanan. Salah satu penelitian menemukan hubungan antara indeks massa tubuh
(IMT) dan risiko hambatan fungsi. Perubahan IMT (baik tinggi atau rendah)
dihubungkan dengan peningkatan risiko hambatan fungsi (Galanos, Piepen,
CornoniHuntley, Bales, & Filiembaum, 1994), meskipun arah hubungan tersebut
tidak jelas. Keputusan tentang kapan dan apa yang dikonsumsi harus dibuat untuk
lansia yang bergantung, sehingga menurunkan rasa kendali dan pilihan lansia
tersebut.
Hambatan kemampuan motorik dan penglihatan juga dapat membuat
lansia tidak dapat mengolah makanan. Pada penelitian terbaru, ditemukan bahwa
4% individu yang berusia 60 hingga 69 tahun tidak mampu mengolah makanan
mereka atau berjalan-jalan di sekitar ruangan; dan seluruh subjek yang berusia 80
tahun, 23% tidak mampu mengolah makanan mereka dan 17% tidak mampu
berjalan (Marwick, 1977). Jumlah individu yang memiliki dan mampu
mengendarai mobil berkurang setiap tahun pada individu yang berusia di atas 65
tahun, dan transportasi umum dapat tidak tersedia. Kebanyakan toko kelontong
sekarang hanya dapat dijangkau dengan mengendarai mobil karena toko
kelontong di sekitar tempat tinggal lansia sudah banyak yang tutup. Meskipun ada
toko kelontong yang mudah dijangkau, harga barang di toko tersebut biasanya
sangat mahal dan pilihan buah, sayur, dan daging segar sangat terbatas.
Gangguan sensori dapat menimbulkan situasi isolasi sosial. Penurunan
fungsi penglihatan dan penderigaran biasa terjadi pada lansia. Penurunan fungsi
penglihatan dan pendengaran, jika disertai penurunan bertahap pada fungsi perasa
dan pembau, dapat mengakibatkan penurunan asupan makanan dan kurang gizi.
Ambang deteksi dan pengenalan terhadap rasa dan bau meningkat seiring
penuaan. Dengan kata lain, lansia hanya dapat mendeteksi dan mengenali rasa dan
bau tertentu jika rasa dan bau tersebut lebih kuat. Berbagai penyakit dan obat yang
biasa dikonsumsi lansia yang memengaruhi indra perasa dan pembau, yaitu
hipertensi, kanker, gagal ginjal kronis, diabetes melitus, diuretik, agens
antiinflamasi, vasodilator, simpatomimetik, dan agens hipoglikemik (Schiffman,
1994).
Fungsi Kognitif. Gangguan kognitif dapat mengganggu status gizi dalam
berbagai cara, termasuk ketidakmampuan memperoleh dan mengelola makanan,
penilaian yang buruk terhadap pemilihan makanan, atau tidak makan. Individu
yang mengalami demensia terutama berisiko mengalami kurang gizi karena
mengalami kesulitan dalam membuat keputusan dan beradaptasi dengan
lingkungan yang baru (contoh, saat di panti wreda). Depresi Juga dapat
disebabkan penurunan asupan makanan, yang berhubungan dengan kemampuan
lansia untuk mengatur, memilih, dan memperoleh zat gizi yang cukup (Ham,
1994). Sebaliknya, kurang gizi dapat menyebabkan atau memicu masalah
kognitif. Lansia yang memiliki kadar vitamin B12 dan C, folat dan riboflavin
yang rendah terbukti memiliki skor yang lebih rendah pada uji memori dan
pemikiran abstrak nonverbal (Goodwin, Goodwin, & Garry 1983).
Fungsi Sosial. Hidup sendiri merupakan faktor risiko penting terhadap
status gizi buruk. Lansia yang tinggal sendiri tetap memiliki banyak pilihan
makanan, tetapi cenderung mengonsumsi lebih sedikit kalori (Davis, Randall,
Forthofer, Lee Margen, 1985). Lansia dapat mengalami perubahan peran dan
peningkatan rasa kesepian karena kekehilangan pasangan atau teman. Penelitian
Roll (1994) menemukan bahwa pria dan wanita muda makan 50% lebih banyak
saat makan dengan teman-temannya; namun, makan dengan orang asing tidak
meningkatkan asupan makanan. Peneliti menyimpulkan bahwa pemanfaatan
sosialisasi sebagai sarana meningkatkan asupan nutrisi bergantung pada jenis
interaksi sosial. Pemanfaatan sosialis, terutama pengaruh berbagai jenis sosialisasi
saat makan, harus diuji dengan individu lansia.
Sensus pada tahun 1990 di Amerika menemukan bahwa sekitar 25%
individu yang berusia lebih dari 60 tahun hidup sendiri (Hin- Hogan, & Eggebeen,
1996), sebuah statistik yang cenderung berkaitan dengan status gizi buruk. Munro
(1985) menemukan bahwa pria yang berusia 65 hingga 69 tahun hidup mandiri
selama rata-rata 9,3 tahun dan dilanjutkan dengan hidup berganti selama 3,8
tahun. Wanita dalam kelompok usia sahidup mandiri rata-rata selama 10,6 tahun,
tetapi hidup bergantung lebih lama, yaitu rata-rata selama 8,9 tahun. Hidup sendiri
dapat memengaruhi kebiasaan memasak dan makan. Karena waktu makan
bersama meliputi aktivitas sosial dan aktivitas makan, lansia yang hidup sendiri
dapat kurang motivasi untuk masak dan makan.
Masalah Finasial
Terdapat hubungan yang konsisten antara pendapatan rendah dengan
asupan nutrisi yang buruk. Lansia. berpendapatan rendah sering kali harus
memilih antara makanan, kegunaan, obat, dan perawat medis, serta tempat tinggal,
juga cara memanfaatkan sumber yang terbatas (White, 1994). Hubungan
pendapatan rendah dan status gizi buruk didukung oleh bukti kurangnya variasi
makanan, kelompok makanan atau vitamin, dan mineral tertentu yang tidak
adekuat, konsumsi lemak kolesterol yang berlebihan, dan asupan kalori tidak
adekuat (White, 1994).
Sektiar 20% lansia mengalami keterbatasan asupan nutrisi karena
kemiskinan. Pendapatan total setelahpensiun berkurang 50% dari pendapatan
semula, dan banyak lansia yang hiduyp dengan pendapatan pas-pasan, yang tidak
dapat mengikuti laju inflasi. Lansia menganggarkan rata-rata 50% lebih banyak
untuk makanan, dengan p erincian untuk membeli makanan dalam jumlah yang
sedikit, makan di restoran, dan membeli makanan lezat. Mereka juga terpaksa
membeli makanan berkualitas rendah. Faktor di atas membuat mereka berisiko
terhadap kekurangan asupan makanan.
Program pemerintah dan program bantuan komunitas, food stamp, Meals
on Wheels, makan bersama dan bantuan berbelanja teresdia di berbagai
komunitas. Walaupun tersedia, program tersebut tidak selalu dimanfaatkan.
Tempat tinggal yang kumuh yang merupakan dampak pendapatan rendah tidak
dilengkapi dengan fasilitas penyimpanan makanan dan tidak memiliki area
pengolahan makanan yang adekuat. Perawatan kesehatan juga dapat dipengaruhi
oleh pendapatan rendah, terutama perawatan gigi. Akibatnya, lansia menjadi
ompong, tidak mampu membeli gigi palsu, dan tidak mampu merawat gigi palsu
dengan baik. Jika lansia tidak dapat mengunyah dengan efektif, diet protein serta
buah dan sayur segar kemungkinan menjadi tidak adekuat.
Pengkajian
Program multidisipliner Nutrition Screening Initiative (1992) dijalankan
oleh Amerian Academy of dan National Council on The Aging, Inc., bekerja sama
dengan lebih dari 25 organisasi kedokteran, organisasi kesehatan, dan organisasi
penanganan lansia nasional. Program yang didanai oleh Ross Products, Abbot
Laboratories ini bertujuan menyatukan upaya para ahli gizi, dokter, dan ahli
geriatrik dalam menekankan pentingya skrining dan intervensi nutrisi sebagai
komponen layanan kesehatan rutin bagi lansia (White, 1996). Indikator mayor dan
minor status gizi buruk pada lansia djidentifikasi melalui program in
Perbandingan indikator ini dengan batasan karakteristik NANDA tertera dalam
Kotak 13-1.
Beberapa perubahan yang biasanya terjadi sering penuaan, seperti
penurunan massa otot tanpa lemak, kulit kering, dan rambut rontok, dapat
menyerupai tanda kurang gizi; hal ini membuat pengkajian kurang gizi
menantang. Bentuk umum kurang gizi pada lansia adalah kurang energi-protein
(KEP) (Ham, 1994). KEP melibatkan asupan kaloni dan protein yang tidak
memadai dan terjadi akibat asupan diet tinggi karbohidrat dan rendah protein.
Tanda-tanda KEP meliputi penurunan berat badan, kulit kering, pucat, terkelupas,
dan kehilangan massa otot. Penurunan albumin serum dapat terjadi akibat KEP
jangka panjang (Ebersole & Hess, 1998). KEP meningkatkan lama rawat map di
rumah sakit dan dapat meningkatkan mortalitas. Saat terjadi KEP, mekanisme
pertahanan tubuh terganggu.
Pengkajian nutrisi harus menjadi komponen integral layanan kesehatan
bagi lansia. Pengkajian status gizi dapat dipersulit oleh perubahan normal yang
terjadi seining penuaan dan oleh kurangnya standar interpretasi pengukuran.
Pengkajian mencakup penilaian kondisi klinis, asupan diet dan status energi,
antroprometrik, dan nilai biokimia.
Asupan Nutrisi
Kebutuhan nutrisi berbeda-beda, bergantung pada usia dan status
kesehatan lansia. Kebutuhan nutrisi pada lansia sehat sama dengan kebutuhan pad
individu dewasa muda dan dewasa menengah. Kebutuhan nutrisi pada
lansia yang sakit akut meningkat karena stres akibat penyakit. Lansia sakit kronis
biasanya memiliki asupan yang lebih rendah tetapi kebutuhan lansia terhadap zat
gizi tertentu meningkat (Guigoz, Vellas, & Carry, 1994). Perbedaan ini belum
dijelaskan dalam standar yang ada. Kebutuhan nutrisi pada lansia berusia 51 tahun
mungkin berbeda dengan kebutuhan pada lansia berusia 95 tahun. Berdasarkan
konsensus, karena terjadi perubahan metabolisme dan aktivitas seiring penuaan,
asupan kalori harus dikurangi 5% per dekade sejak usia lansia 55 tahun sampai 75
tahun, dengan pengurangan lanjut sebesar 7%, pada lansia yang berusia di atas 75
tahun (Karkeck & Worthington Roberts, 1993; Kart, Mestress, & Mestress, 1978).
Rentang kebutuhan kalori untuk l ansia pria, yaitu 2000 sampai 2800 kalori dan
untuk lansia wanita, yaitu 1200 sampai 2200 kalori.
National Research Council (1989) menerbitkan Recommended Dietary
Allowance (RDA). RDA menetapkan tingkat minimum asupan zat gizi penting
yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi individu sehat. Versi terbaru
RDA menyediakan ifnormasi yang lebih spesifik untuk lansia dibandingkan RDA
terdahulu. Untuk idnividu dewasa berusia lebih dari 50 tahun dengan aktivitas
ringan sampai sedang, 2300 kalori direkomendasikan untuk pria dan 1900 kalori
direkomendasikan untuk wanita. Variasi normal 20% berterima, sebagaimana
pada individu dewasa muda. Kebutuhan untuk individu berusia lebih dari 75 tahun
cenderung lebih sedikit karena penyusutan ukuran tubuh, penggunaan energi
residu, dan aktivitas.
Tidak ada bukti bahwa kebutuhan nutrisi menurun seiring pertambahan
usia (Kart et al., 1978). Namun, bukti terkini menunjukkan bahwa asupan zat gizi
aktual tidak menurun seiring penuaan (Marwick, 1997). Hal ini menunjukkan
bahwa seiring penuaan, makanan yang diberikari harus lebih berkualtias untuk
memenuhi kebutuhan zat gizi. Penelitian terbaru terhadap pasien kurang gizi yang
dirawat inap menunjukkan keberhasilan dalam ningkatkan asupan zat gizi sambil
mempertahankan ukuran porsi normal menggunakan makanan kaya energi (Olin
et al., 1996).
Penetapan standar kebutuhan harian tidak menjamin kepatuhan terhadap
standar kebutuhan ini. Asupan makanan yang tidak adekuat atau tidak tepat dan
kegagalan mengonsumsi zat gizi sesuai RDA dapat disebabkan oleh berbagai
faktor termasuk budaya, etnik, atau agama, yang mengakibatkan pembatasan pola
makan, modifikasi diet yang sangat dibatasi terkait penyakit kronis, kepercayaan
kesehatan yang salah, kemiskinan, tidak ada bantuan untuk berbelanja, dan makan
sendiri. Variasi diet juga berkurang seiring pertambahan usia (Rolls, 1994). Sayur,
buah, roti, dan sereal merupakan makanan yang kurang digemari oleh individu
semua usia di Amerika Serikat. Makanan yang lebih umum dikonsumsi oleh
lansia di Amerika Serikat adalah roti tawar putih, kopi, susu murni, gula, kentang,
teh, jus jeruk, telur, mentega, dan daging panggang, meskipun kini lansia mulai
beralih ke makanan rendah lemak (Briley, 1994).
Diagnosis Keperawatan
Perubahan Nutrisi: Kurang dan Kebutuhan Tubuh didefinisikan sebagai
ketidakcukupan asupan zat gizi individu dalam memenuhi kebutuhan metabolik
(NANDA, 1999, hlm. 9). Etiologi dan batasan karakteristik yang berhubungan
dengan diagnosis yang saat ini diterima untuk dilakukan uji klinis oleh
NANDAtercantum dalam Kotak 13-2 (NANDA, 1999). Tanpa memerhatikan
prevalensi dan signifikansi diagnosis ini bagi semua kelompok usia, hanya
terdapat dua penelitian yang berkaitan dengan diagnosis in Dalam penelitian
pertama, dilakukan survei terhadap 101perawat yang menjadi anggota kelompok
pendukung nutrisi (Murphy, 1989). Perawat tersebut diminta untuk meninjau
daftar 18 etiologi dan 32 batasan karakteristik diagnosis tersebut. Dan daftar
tersebut, perawat menilai delapan etiologi dan hanya dua batasan karakteristik
yang cukup atau sangat mencirikan diagnosis tersebut (Kotak 3). Perawat
tersebut mencatat enam batasan karaktenistik NANDA yang tidak relevan, yaitu:
salah konsepsi, kurang/salah informasi, konjuhgtiva dan membran mukosa pucat,
kapiler rapuh, kram abdomen, dan kurang nafsu makan.
Pada penelitian kedua, etiologi dan batasan karakteristik divalidasi dengan
melibatkan 50 pasien kanker dan dua fasilitas pengobatan (Chiang, Ku, & Lo,
1994). Delapan poin diseleksi sebagai etiologi utama, dan 14 batasan karakteristik
divenifikasi. Hasil penelitian ini dibandingkan dengan temuan Murphy (1989)
(lihat Kotak 3). Penelitian kedua ini memvalidasi etiologi dan batasan
karakteristik yang terdapat pada pasien. Namun, karena beberapa faktor tersebut
hanya dapat dikaji pada pasien kanken, penelitian harus dilakukan kembali dengan
sampel kelompok pasien lain.
Studi Kasus
C. Wright, 71 tahun, kulit putih, dibhawa ke fasilitas perawatan setempat
setelah pulang dari rumah sakit. Tinggi badan Ny. Wright 160 cm dan berat badan
48 kg, setelah mengalami penurunan berat badan sebanyak 3 kg selama dirawat
inap. Ia mampu berjalan jarak pendek tanpa bantuan, tetapi mengalami kelemahan
lengan dan tungkai kanan. Ia menghabiskan banyak waktu dengan duduk di kursi.
Ia memiliki tonus otot yang buruk dan seluruh giginya telah diganti dengan gigi
palsu. Saat dibawah ke fasilitas perawatan setempat, kadar albumin serum Ny.
Wright 3,2 g/dl dan hemoglobin 10 g/dl. (nilai normal albumin> 3,5 g/dl dan
hemoglobin nromal pada wanita 11 sampai 15 (Roe, 1990). Asupan makanannya
kurang dari 1000 kalori per hari. Dari pengkajian fisik, perawat mencatat adanya
kerusakan kulit di area koksigis.
Ny. Wright mengatakan bahwa ia kurang nafsu makan, merasa tidak
perlu makan banyak, dan merasa lemah. Ia juga mengatakan bahwa ia
mengalami penurunan berat badan sebesar 9 kg dalam setahun terakhir. Dari
riwayat dan wawancara, perawat menyimpulkan bahwa Ny. Wright mengalami
stroke hemisfer kiri yang dipersulit dengan pneumonia, sebelum masuk ke
fasilitas perawatan tersebut. Ta telah menjanda selama 2 tahun dan hidup sendiri,
sejak suaminya meninggal. Sesekali, putra dan putri Ny. Wright mengunjunginya.
Dari data di atas, perawat menegakkan diagnosis: Perubahan Nutrisi:
Kurang dari Kebutuhan Tubuh, yang berhubungan dengan isolasi sosial,
anoreksia, stres emosi, dan ketidakmampuan untuk menyiapkan dan mendapatkan
makanan, dibuktikan oleh nafsu makan buruk, berat badan turun,
hipoalbuminemia, dan tonus otot buruk.
Ny. Wright benisiko karena status gizi saat mi buruk. Penununan benat
badan dan pengukuran ketebalan lipatan kulit menunjukkan simpanan lemak dan
kondisi otot buruk. Kulit di sekitar koksigis rusak, dan kondisi Ny. Wright
dipersulit oleh pneumonia. Sepeninggal suami, ia jarang memasak, merasa tidak
perlu atau tidak ingin memasak makanan lengkap, dan kehilangan kebersamaan
saat makan bersama suami. Tanpa suami di sisinya, ia menjadi jarang melakukan
aktivitas sosiaL Kanena penurunan tingkat aktivitas mi, ia merasa penlu
mengunangi porsi makan guna menghindari kenaikan berat badan.
Hasil Yang Diharapkan
Jika diagnosis Perubahan Nutrisi: Kurang dan Kebutuhan Tubuh
ditegakkan, hasil dipilih untuk mengukur perkembangan dan dampak intervensi.
Hasil NOC yang sesuai pada kiasifikasi terbaru mencakup Status Gizi; Status
Gizi: Nilai Biokimia; Status Gizi: Massa Tubuh; Status Gizi: Energi; Status Gizi:
Asupan Makanan dan Cairan; Status Gizi: Asupan Zat Gizi; Kesehatan Mulut;
Perawatan Diri: Makan; dan Pengetahuan: Diet (Iowa Outcomes Project, 2000).
Pemilihan hasil yang tepat, dan indikator setiap basil, bergantung pada kebutuhan
individu dan karakteristik pasien yang sedang ditangani. Judul hasil dan indikator
NOC inklusif dan komprehensif.
Pengkajian dan evaluasi sistematis yang kontinu penting untuk
menentukan respons terhadap intervensi. Tujuan intervensi keperawatan adalah
meningkatkan jumlah makanan yang diasup, memperbaiki kualitas zat gizi yang
dikonsumsi, mencapai nutrisi yang adekuat sesuai dengan kebutuhan yang
teridentifikasi, dan meningkatkan pemahaman klien tentang kebutuhan nutrisi.
Intervensi Keperawatan
Rencana untuk memastikan asupan zat gizi yang adekuat harus
disesuaikan untuk setiap individu, sesuai kebutuhan masing-masing iridividu dan
hasil spesifik yang dipilih. Terdapat beragam intervensi untuk Perubahan Nutrisi:
Kurang dan Kebutuhan Tubuh, bergantung pada tahap kurang gizi yang dialami
pasien, termasuk Penyuluhan: Program Diet, Konseling Nutrisi, Manajemen
Nutrisi, Pemantauan Nutrisi, dan Terapi Nutrisi. Intervensi lain termasuk
Perujukan, Peningkatan Sosialisasi, Pemeliharaan Kesehatan Mulut, Peningka tan
Kesehatan Mulut, dan Pemulihan Kesehatan Mulut.
Tingkat risiko pasien membantu menentukan judul NIC yang akan
digunakan. Oleb karena itu, penyusun taksonomi NIC mungkin ingin
mempertimbangkan kembali tindakan yang tercantum dalam judul mi. Pada
kebanyakan kasus, lebih dan satu intervensi NIC tepat untuk digunakan.
Perujukan
Perujukan adalah pengaturan Iayanan oleh instansi atau penyedia layanan
lain dan merupakan intervensi NIC yang tepat bagi lansia yang berisiko atau
mengalami gangguan nutrisi (Iowa Interventioi: Project, 2000, hlm. 551).
Perujukan dapat dibuat untuk terapi okupasi atau terapi fisik guna mengevaluasi
kebutuhan peralatan khusus atau latihar. fisik tertentu untuk meningkatkan
kemampuan dar. keinginan pasien untuk makan. Kemampuan untuk mengunyah
dan menelan dengan benar sangat penting untuk memulai pencernaari. Lansia
yang mengalami masalah kesehatan mulut, yang dapat mengganggu status gizi,
mungkin perlu dirujuk ke dokter gigi, walaupun intervensi NIC Pemeliharaan
Kesehatan Mulut, Peningkatan Kesehatan Mulut, atau Pemulihan Kesehatan
Mulut tepat bagi lansia. (Pembahasan lebih perinci mengenai intervensi tersebu:
tidak tercakup dalam lingkup bab in. Masalah gigi, pemasangan dan penggunaan
gigi palsu, dan kesulitan otot untuk menelan dapat memengaruhi pencernaan dan
harus dikoreksi agar pasien dapat makan. Individu yang ompong atau terpasang
gigi palsu yang tidak pas dapat memiliki pilihan jenis makanan yang terbatas dan
mengalami gangguar. makan. Ketidakmampuan mengunyah dapat menurunkan
jumlah asupan protein (Hogstel & Robinson, 1989). Seorang terapis wicara dapat
membanft mengatasi kesulitan pada kasus disfagia.
Bagi lansia yang tidak mampu membeli atau menyajikan diet yang adekuat
karena kemiskinan perujukan dapat dilakukan ke program bantuan keuangan
untuk mengatasi masalah nutrisi, seperti Food Stamp Program, makan bersama,
pengiriman makanan ke rumah, atau bank makanan setempat. Bagi lansia yang
mengalami keterbatasan fungsi perujukan ke layanan manajemen kasus, bantuar.
kesehatan dalam rumah atau bantuan petugas manajemen rumah tangga dan
layanan tugas rumah tangga, dan tempat penitipan lansia tepat dilakukan.
Peningkatan Sosialisasi
Perbaikan ruangan makan dan sosialisasi pada waktu makan dapat
meningkatkan asupan nutrisi. Membuat ruang makan menjadi lebih indah dan
menyenangkan dapat meningkatkan keinginan individu untuk makan (Ham, 1994;
Irwin, 1987). Membuat waktu makan menjadi waktu untuk saling berdiskusi dan
bertukar ide yang menyenangkan, dapat juga meningkatkan keinginan untuk
makan. Waktu makan biasanya merupakan waktu bagi keluarga untuk saling
berbagi dan bersosialisasi. Saat keluarga tidak ada, sosialisasi yang lain
dibutuhkan untuk mengembalikan makna makan bersama. Sosialisasi yang
dihadirkan oleh individu yang mengantar Meals on Wheels bahkan dapat memberi
pengalaman sosialisasi positif bagi lansia di rumah. Program makan bersama,
layanan penitipan lansia, dan pusat penduduk lansia aktif, juga dapat dijadikan
sarana bersosialisasi bagi lansia yang terisolasi.
Terapi Nutrisi
Terapi nutrisi yaitu pemberian makanan dan cairan untuk mendukung
proses metabolik pasien kurang gizi atau berisiko kurang gizi (Iowa Intervention
Project, 2000, hIm. 475). Terapi Nutrisi ditujukan bagi individu yang tidak
mampu memenuhi kebutuhan nutrisi dengan mengonsumsi diet seimbang. Seperti
terlihat pada Kotak 13-2, intervensi yang tepat mencakup tindakan pemantauan
dan penyuluhan serta mendorong atau menyediakan nutrisi adekuat. Terapi Nutrisi
dapat terjadi pada beberapa tingkat, termasuk (1) modifikasi kandungan dan
densitas gizi, (2) modifikasi konsistensi dan penggunaan suplemen nutrisi, (3)
pemberian makan enteral, dan (4) pemberiah makan parenteral (Nutrition
Screening Initiative, 1992).
Beberapa pendekatan dapat dilakukan untuk memodifikasi kandungan dan
densitas gizi pada makanan: mendorong penggantian makanan bergizi rendah,
seperti buncis, kentang, atau roti tawar dengan makanan kaya nutrisi, seperti
brokoli, ubi, dan roti gandum yang telah diperkaya; mencoba makan dalam porsi
kecil enam kali sehari, bukan makan dua atau tiga kali sehari dalam porsi besar;
atau menambahkan suplemen vitamin dan mineral. Konsistensi makanan dapat
dimodifikasi dengan makanan lunak, sup kental, atau diet cair. Penting untuk
menentukan jenis kesulitan mengunyah atau menelan saat menentukan cara
mengubah konsistensi makanan. Suplemen yang dijual bebas juga dapat
digunakan untuk individu yang mengalami kesulitan mengunyah dan menelan.
Jika mungkin, asupan oral adalah metode pemberian makan yang lebih
dipilih. Namun, apabila asupan oral terbukti tidak adekuat, pemberian makan
enteral perlu dilakukan. Larutan makanan enteral merupakan nutrisi yang lengkap,
dan tidak seperti makanan parenteral, makanan enteral dapat mempertahankan
intgritas struktur dan fungsi usus halus. Pemberian makan enteral adalah metode
yang digunakan untuk memberi dukungan suplemen nutrisi jika individu tidak
mampu mengunyah dan mencerna makanan agar mendapat asupan makanan dan
cairan yang adekuat. Slang nasogastrik atau slang gastrotomi atau jejuostomi
dapat menjadi jalur pemberian makan enteral. Cataldi-Betcher, Seltzer, Slocum,
dan Jones (1983) menemukan tiga jenis komplikasi pada pasien yang mendapat
makanan enteral: 6,2% mengalami komplikasi gastrointestinal termasuk diare dan
pengosongan lambung yang tidak adekuat, 3,5% mengalami komplikasi mekanis,
dan 2% mengalami komplikasi metabolik termasuk ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit (Seltzer, Slocum, Cataldi Betcher, Seltzer, & Goldberger, 1984). Saat
dilakukan pemberian makan enteral, toleransi pasien terhadap metode pemberian
makan dan manfaat nutrisi yang diperoleh pasien perlu dievaluasi.
Pada beberapa k ondisi, nutrisi perenteral sangat penting. Nutrisi
perenteral total dapat digunakan pada individu yang mengalami gizi buruk jika
metode lain tidak dapat mengoreksi masalah (Starker et.al., 1985).
Tabel 1. Hasil Keperawatan dan Indikator Pilihan untuk Ny. Wright
Hasil yang
Indikator pilihan Rasional
diharapkan
Status gizi : Asupan kalori Asupan 1000 kalori saat ini tidak
Asupan zat gizi adekuatu berdasarkan RDA
Asupan protein Kadar albumin serum rendah, tonus
otot buruk, ulkus dekubitus
kemungkinan berkembang
Status Gizi : Asupan zat besi Hemoglobin rendah
Nilai Biokimia
Albumin serum Kadar albumin serum subnormal,
mengindikasikan gizi buruk kronis
Status gizi : Hemoglobin Hemoglobin normal rendah
massa tubuh
Berat badan Penurunan berat badan sebesar 9 kg
dalam setahun terakhir, termasuk
kehilangan berat badan kronis
maupun akut
Indeks massa tubuh Indeks massa tubuh di bawah
rentang normal
Status gizi : Stamina Riwayat stroke, kelemahan otot,
energi penurunan tingkat aktivitas, merasa
lemah
Kekuatan genggaman
Pengetahuan : Mendeskripsikan diet yang
Diet dianjurkan
Menjelaskan rasional dari Melaporkan anoreksia dan
diet yang diprogramkan kebutuhan membatasi makan
karena penurunan tingkat aktivitas
Menjelaskan keuntungan Isolasi sosial yang berhubungan
mematuhi diet yang dengan k ehilangan dan hidup
direkomendasikan sendiri
Mengembangkan strategi
untuk mengubah kebiasaan
diet
Studi Kasus
Hasil yang dipilih untuk Ny. Wright, yaitu: Status Gizi: Asupan Gizi;
Status Gizi: Energi; Status Gizi: Massa Tubuh; Status Gizi: Nilai Biokimia: dan
Pengetahuan: Diet. Hanya indikator pilihari yang ditetapkan untuk masing-masing
hasil. Hasil tersebut tertera pada Tabel 13-1. Status Gizi tidak dipilih sebagai hasil
karena sangat luas dan indikator teridentifikasi sebagai hasil status gizi lain. Status
gizi: asupan makanan dan cairan tidak dipilih karena menggambarkan metode
asupan. Kesehatan mulut tidak dipilih, karena walaupun emngenakan gigi palsu,
Ny. Wright tidak menunjukkan tanda masalah mulut. Perawat diri : makan tidak
dipilih karena Ny. Wright secara fisik dapat makan sendiri.
Kolaborasi antara perawat dan ahli gizi dapat menghasilkan rencana nutrisi
bagi Ny. Wright. Pendidikan kesehatan tentang nutrisi diberikan kepada Ny.
Wright dan putra-putrinya. Peningkatan asupan nutrisi dikatikan dengan
peningkatan kontak sosial bagi Ny. Wright. Ia dimotivasi untuk makan bersama
dua pasien l ain yang ia kehendaki. Karena Ny. Writht suka sarapan kuantitas
makanan yang diberikan pada waktu sarapan dapat ditingkatkan. Untuk
menignkatkan nafsu makan dan kontak sosial, Ny. Wright dirujuk ke ahli terapi
aktivitas guna merencanakan aktivitas rekreasi. Rujukan juga dilakukan untuk
terapi fisik guna menentukan apakah defisit akibat stroke yang dialami Ny. Wright
memengaruyhi kemampuan makan. Pemberian suplement tidak dianjurkan karena
Ny. Wright tidak mengalami gizi buruk, responsif terhadap pendidikan eksehatan
yang diberikan, dan mampu makan secara mandiri tanpa kesulitan. Dalam
beberapa bulan, kondisi Ny. Wriht membaik. Mobilitas dan beberapa kesulitan
menelan yang terdeteksi oleh ahli terapi fisik sudah teratasi. Ia menikmati aktvitas
rekrasi harian. Ia terkadang masih depresi karena kematian suaminya, tetapi saat
ini ia masih berada dalam periode berduka. Ia makan banyak saat sarapan, tetapi
makan dalam porsi lebih kecil saat makan siang dan makan malam, dan sesekali
memakan kudapan di antara waktu makan. Ny. Wright dapat menyebutkan
pemahaman tentang pentingnya nutrisi seimbang dan hubungannya dengan status
kesehatan fisik dan jiwanya. Berat badan Ny. Wright naik 5 kg. selain itu, tonus
otot Ny. Wright juga membaik.
BAB II
PENUTUP
Kesimpulan
Literatur tentang pengkajian kurang gizi bnayak ditemukan, tetapi standar
kebutuhan nutrisi berdasarkan usia masih perlu diidentifikasi. Penelitian berskala
relatif kecil tentang judul diagnosis keperawatan telah dilakukan. Namun,
validitas faktor yang berhubungan dan batasan karakteristik yang disetujui masih
dipertanyakan. Faktor yang berhubungan yang disetujui NANDA masih samar,
dan penyertaan faktor risiko ke dalam batasan karakteristik, seperti: bukti kurang
makanan dan kurang informasi, membuat penetapan kategori judul semakin
membingungkan. Berdasarkan tinjauan literatur dan penelitian Nutrition
Screening Initiative, indikator yang direkomendasikan sebagai batasan
karakeristik, antara lain indikator kesehatan mulut yang buruk, seperti mulut
kering atau seriawan; kulit kering; lemak subkutan tipis; penyembuhan luka lama;
kurang nafsu makan atau mudah kenyang; asupan tidak memadai berdasarkan
RDA (meskipun mi dapat ditetapkan sebagai faktor yang berhubungan);
penurunan massa dan kekuatan otot; IMT kurang dan 24; penurunan berat badan
lebih dan 5 kg; tebal otot trisep dan lingkar lengan atas abnormal; dan
hipoalbuminemia. Faktor risiko meliputi penyakit, medikasi, penggunaan alkohol,
masalah kesehatan mulut, hambatan fungsi, dan masalah keuangan. Perawat juga
perlu mengetahui perubahan normal seiring penuaan, sehingga tandatanda yang
berhubungan dengan kurang gizi dapat dibedakan dan tidak dianggap sebagai
bagian penuaan. Dengan demikian, kurang gizi dapat dikenali secara dini dan
intervensi yang tepat dapat segera dilakukan.
F
DAFTAR PUSTAKA
Buzina-Suboticanec, K., Buzina, R., Stavljenic, A., Farley, T., Haller, J., Bergman-
Markovic, B., & Gorajscan, M. (1998). Ageing, nutritional status and
immune response. International Journal for Vitamin & Nutrition
Research, 68(2), 133-141.
Cataldi-Betcher, E., Seltzer, M., Slocum, B., & Jones, K. (1983). Complications
occurring during enteral nutrition support: A prospective study. Journal
of Parenteral and Enteral Nutrition, 7, 546-552.