PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan makalah ini adalah:
BAB II
1
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Tetanus adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh
clostridium tetani yang menghasilkan exotoksin.( Suryadi, SKp), dalam
buku Asuhan Keperawatan Pada Anak.
2.2 Patofisiologi
2
Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti,
luka tertusuk paku, pecahan kaca, atau kaleng, luka tembak, luka bakar,
luka yang kotor dan pada bayi dapat melalui tali pusat. Organisme multipel
membentuk dua toksin yaitu tetanospasmin yang merupakan toksin kuat
dan atau neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme
otot, dan mempengaruhi sistem saraf pusat. Kemudian tetanolysin yang
tampaknya tidak significance. Exosotoksin yang dihasilkan akan mencapai
pada sistem saraf pusat dengan melewati akson neuron atau sistem
vaskular. Kuman ini menjadi terikat pada sel saraf atau jaringan saraf dan
tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun toksin yang
bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh arititoksin.
Hipotesa cara absorbsi dan bekerjanya toksin, adalah pertama toksin
diabsorbi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawa ke
kornu anterior susunan saraf pusat. Kedua toksin diabsorbsi oleh susunan
limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk ke dalam
susunan saraf pusat. Toksin bereaksi pada myoneural junction yang
menghasilkan otot-otot menjadi kering dan mudah sekali terserang. Masa
inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari. Kasus yang sering
terjadi adalah 14 hari. Sedangkan untuk neonatus biasanya 5 sampai 14
hari.
2.2.1 Etiologi
3
2.2.2 Manifestasi Klinis
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot
mastikatoris
2. Kaku kuduk sampai opistotonus (karenan ketegangan otot-otot
trunki)
3. Ketegangan pada otot dinding perut
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin yang
terdapat dikornu anterior
5. Risus sardonikus karen spasme otot-otot muka (alis tertarik
keatas) sudut mulut tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan
kuat pada gigi.
6. Kesukaran menelan, gelisah, iritable, mudah dan sensitif pada
rangsangan eksternal, nyeri kepala, nyeri anggota badan sering
merupakan gejala dini
7. Laringospasme dan tetani predisposisi untuk respiratori arrst,
atelektatis dan pneumonia. Demam biasanya tidak ada atau ada
tapi ringan. Bila ada demam kemungkinan prognosis buruk.
8. Tenderness pada otot-otot leher dan rahang.
2.2.3 Komplikasi
1. Spasme otot faring faring yang menyebabkan terkumpulnya
air didalam rongga mulut dan keadaan ini memungkinkan
terjadinya aspirasi serta dapat menyebabkan pneumonia
aspirasi.
2. Asfiksia
3. Atelektasis karena obstruksi sekret
4. Fraktur kompresi
4
1. Darah
- Glukosa darah: hipoglikemia merupakan predisposisi kejang.
- BUN: peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan
merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
- Elektrolit (K, Na): ketidakseimbangan elektroit merupakan
predisposisi kejang kalium (normal 3,80-5,00 meq/dl).
2. Skull Ray: untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan
adanya lesi.
3. EEG: teknik untuk menekan aktifitas listrik otak melalui
tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktifitas kejang,
hasil biasanya normal
4. Pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot yang khas
terutama pada rahang
5. Pemeriksaan darah, kalsium dan posfat
5
2.2.5 PATWAY
6
2.3 Penatalaksanaan
2.3.1 Penatalaksanaan Terapeutik
1. Di rawat di ruangan perawatan intensif
2. Pemberian ATS 20.000 U secara IM didahului oleh uji kulit dan
mata.
3. Anti kejang dan penenang (venobarbital bila kejang hebat,
diazepam, largaktil)
4. Antibiotik (PP 50.000 U/kgbb/hari)
5. Diet tinggi kalori dan protein
6. Perawatan isolasi
7. Pemberian oksigen
8. Pemasangan NGT bila perlu
9. Intubasi dan trakeostomi bila indikasi
10. Pemberian terapi intravena bila indikasi
7
2.4 Pencegahan
Hal terpenting untuk pencegahan tetanus pada bayi adalah
perawatan tali pusat. Tali pusat harus dipotong secara steril, dan tidak
boleh memberikan atau membubuhkan ramuan apapun pada puntung tali
pusat. Kebiasaan sebagian dukun bayi untuk memberikan serbuk jamu
atau serbuk kopi pada puntung tali pusat adalah sangat berbahaya dan
sangat sering menyebabkan kematian. Oleh karena itu, pendekatan untuk
pencegahan tetanus pada bayi baru lahir ini diintensifkan dengan cara
memberi kursus kepada para dukun bayi agar merawat tali pusat secara
steril, dan tidak mengolesinya dengan ramuan-ramuan yang justru menjadi
tempat berkembangnya kuman tetanus.
Pemberian toksoid tetanus pada ibu hamil dimaksudkan untuk
mencegah tetanus pada bayi yang akan lahir. Pada anak besar yang dapat
menjadi tempat infeksi adalah congekan(infeksi telinga yang bernanah),
yang tidak diobati dengan baik, karena itu jangan anggap enteng
congekan. Ia dapat merupakan sumber infeksi yang sangat berbahaya.
Karena kuman tetanus tidak hidup pada suasana dengan oksigen yang
cukup, maka luka yang dapat menjadi sumber infeksi adalah luka yang
dalam, terutama yang kotor. Luka bakar yang luar dan yang tidak diobati
dengan memadai juga merupakan tempat berkembang biaknya kuman
tetanus.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
8
3.1 Pengkajian
1. Biodata/Identitas
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan untuk
mengenal masalah klien, agar dapat memberi arah kepada tindakan
keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan, yaitu
pengumpulan data, pengelompokkan data dan perumusan diagnosis
keperawatan (Marilynn E. Doenges et al, 1998).
1.1.1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register,
diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Biasaya didapatkan suhu badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat
kesadaran (Muttaqin, Arif. 2011)
3. Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit yang diderita sekarang:
-Tahap awal
Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah
(Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang
meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa
9
dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah,
sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus),
karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut. Selain itu, otot-otot perut pun
menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan tersebut akan semakin
meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang.
(Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka.
Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi
lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan.
Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena
berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatub erat, dan gerakan dari
langit-langit mulut menjadi terbatas.
Tahap ketiga
(selekta,kapita. 2010)
10
urine output tidak ada/oliguria)
System pencernaan : konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus.
System integument dan muskuloskletal : nyeri kesemutan pada
tempat luka, berkeringatan (hiperhidrasi), pada awalnya didahului
trismus, spasme otot muka dengan peningkatan kontraksi alis mata,
risus sardonicus, otot kaku dan kesulitan menelan.
Apabila hal ini berlanjut terus maka akan terjadi status konvulsi
dan kejang umum. ( Marlyn Doengoes, Nursing care Plan, 1993)
Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat trauma kepala, luka tusuk, luka kotor, adanya benda
asing dalam luka yang menyembuh, luka yang tertutup debu, luka
gores yang ringan kemudian menjadi bernanah, gigi berlubang dengan
benda yang kotor, dan caries gigi, menunjang berkembang biaknya
kuman yang menghasilkan endotoksin atau OMP yang dibersihkan
dengan kain yang kotor.
Adanya imunisasi yang tidak adekuat.
Riwayat kesehatan keluarga
11
yang sakit, penggunaan obat-obatan pertolongan pertama.
Pola nutrisi
Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi ditanyakan bagaimana
kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh klien.
Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak? Bagaimana selera
makan anak? Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari?
Pola Eliminasi:
BAK: ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis
ditanyakan bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah?
Serta ditanyakan apakah disertai nyeri saat kencing.
2. Pemeriksaan Khusus
Sistem pernafasan: dyspnea asfiksia dan sianosis akibat kontraksi otot
pernafasan.
Sistem kardiovascular: disritmia, takicardi, hipertensi dan perdarahan,
suhu tubuh awalnya 38 - 40C atau febris sampai ke terminal 43 -
44C.
Sistem neurologis: irritability (awal), kelemahan, konvulsi (akhir),
kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak.
12
Sistem perkemihan: retensi urin (distensi kandung kemih dan urin
output tidak ada/oliguria)
Sistem pencernaan: konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus.
Sistem integumen dan muskuloskletal: nyeri kesemutan pada tempat
luka, berkeringatan (hiperhidrasi), pada awalnya didahului trismus,
spasme otot muka dengan peningkatan kontraksi alis mata, risus
sardonicus, otot kaku dan kesulitan menelan.
Apabila hal ini berlanjut terus maka akan terjadi status konvulsi dan
kejang umum. (Marlyn Doengoes, Nursing care Plan, 1993)
3. Pemeriksaan Fisik
Pada klien tetanus biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari
normal 38-40 C berhubungan dengan proses inflamasi dan toksin tetanus
yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Bila disertai
peningkatan frekuensi pernapasan sering berhubungan dengan peningkatan
laju metabolisme umum. Tekanan darah biasanya normal.
B1 (Breathing)
B2 (Blood)
B3 (Brain)
13
gaya bicara, observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik pada
tahap lanjut akan mengalami perubahan
Sistem Motorik
Pemeriksaan Refleks
Sistem Sensorik
Adanya perasaan raba dan nyeri normal, suhu normal, tidak ada perasaan
abnormal di permukaan tubuh.
B4 (Bladder)
B5 (Bowel)
B6 (Bone)
14
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
Diagnosis keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan adanya sekret
dalam trachea, kemampuan batuk menurun, ditandai dengan sesak napas,
RR meningkat, retraksi ICS, ronkhi, sianosis, dyspnea, batuk tidak efektif
disertai dengan sputum, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan:
AGD abnormal (asidosis respiratorik)
2. Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) yang berhubungan dengan proses
inflamasi dan efek toksin (bakterimia) di jaringan otak ditandai dengan
demam, suhu tubuh meningkat menjadi 38-40 C, hiperhidrasi, sel darah
putih lebih dari 10.000/mm3
3. Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan (trismus) ditandai dengan intake kurang, makan
dan minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung,
dan berat badan menurun disertai hasil pemeriksaan protein atau albumin
kurang dari 3,5 mg%
15
4. Resiko cedera yang berhubungan dengan adanya kejang,
5. Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit ditandai dengan klien
merasa cemas
Intervensi Rasional
16
meningkatan batuk lebih efektif, dan
secara anatomi posisi kepala ekstensi
merupakan cara untuk meluruskan
rongga pernafasan sehingga proses
respirasi tetap berjalan lancar dengan
menyingkirkan pembuntuan jalan
nafas.
Pemeriksaan fisik:
-Ajarkan cara batuk efektif . -Klien berada pada resiko tinggi bila
tidak dapat batuk efektif untuk
membersihkan jalan nafas dan
mengalami kesulitan dalam menelan,
yang dapat menyebabkan aspirasi
saliva, dan mencetuskan gagal nafas
akut. ----Terapi fisik dada membant
17
meningkatkan batuk lebih efektif
18
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam perawatan suhu tubuh menurun
Intervensi Rasional
19
jaringan otak dan anti mikroba dapat
mengurangi inflamasi sekunder dari
toksin.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji kemampuan klien dalam Dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan
menelan,batuk, dan adanya sekret. dari otot pengunyah sehingga klien
mengalami kesuliatan menelan dan kadang
timbul reflex balik atau teresedak.
Timbang berat badan sesuai indikasi. Untuk mengevaluasi efektivitas dari asupan
maknan.
20
Beri makan dengan cara meninggikan Menurunkan risiko regurgitasi atau aspirasi.
kepala.
Intervensi Rasionalisasi
21
dengan menggunakan bantalan
pada pagar tempat tidur
Intervensi Rasionalisasi
-Selama serangan kejang, jaga -Pada saat terjadi kejang, pakaian klien
privasi klien dapat tersingkap, sehingga perlu dijaga
privasinya
22
disediakan pengisap, gunakan ( jika
perlu untuk membersihkan sekret)
Intervensi Rasionalisasi
Tingkat kontrol sensasi klien. Kontrol sensai klien (dan dalam menurunkan
ketakutan) dengan cara memberikan informasi
tentang keadaan klien, menekankan pada
penghargaan terhadap sumber-sumber koping
(pertahanan diri), yang positif, membantu
latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan
23
dan memberikan respons balik yang positif.
24
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh toksin kuman
Clostridium tetani yang menginfeksi atau mengkontaminasi pada luka tusuk/
traumatik yang ditandai dengan gejala kekauan dan kejang otot. Tetanus yang
sering terjadi adalah tetanus neonatorum.
Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti, luka tertusuk
paku, pecahan kaca, atau kaleng, luka tembak, luka bakar, luka yang kotor dan
pada bayi dapat melalui tali pusat. Organisme multipel membentuk dua toksin
yaitu tetanospasmin yang merupakan toksin kuat dan atau neurotropik yang
dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot, dan mempengaruhi sistem
saraf pusat.
4.2 Saran
25
1. Diharapkan kepada mahasiswa dapat menambah wawasan dan
pengetahuan khususnya dengan masalah keperawatan tentang penyakit
Tetanus Neonatrium dan juga dapat menerapkannya dalam kehidupan
sehari hari.
2. Bagi perawat yang akan memberikan asuhan keperawatan pada bayi
dengan penyakit tetanus neonatrium harus lebih memperhatikan dan tahu
pada bagian bagian mana saja dari asuhan keperawatan pada bayi yang
perlu di tekankan.
26
DAFTAR PUSTAKA
Sastroasmoro, Sudigdo. 2007. Membina Tumbuh Kembang Bayi dan Balita. Jakarta: Badan
Penerbit Ilmu Kedokteran Anak.
Supartini, Yupi. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
Suriadi. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: EGC
27