Anda di halaman 1dari 67

TUGAS MAKALAH REMIDIAL KGK III

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK B

DEWANTARI KRIS WARDANI

10613028

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA

KEDIRI

2016

1
1. Ekstraksi Gigi
1.1. Definisi Ekstraksi Gigi
Ekstraksi gigi adalah proses pencabutan gigi dari dalam soket dari tulang
alveolar. Ekstraksi gigi dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu teknik
sederhana dan teknik pembedahan. Teknik sederhana dilakukan dengan
melepaskan gigi dari perlekatan jaringan lunak menggunakan elevator
kemudian menggoyangkan dan mengeluarkan gigi di dalam soket dari
tulang alveolar menggunakan tang ekstraksi (Howe, 1990)
1.2. Prinsip Ekstraksi Gigi
Dalam prakteknya, ekstraksi gigi harus mengikuti prinsip-pr insip yang
akan memudahkan dalam proses ekstraksi gigi dan memperkecil terjadinya
komplikasi ekstraksi gigi.
a. Asepsis
Untuk menghindarkan atau memperkecil bahaya inflamasi,
seharusnya bekerja secara asepsis, artinya melakukan pekerjaan dengan
menjauhkan segala kemungkinan kontaminasi dari kuman atau
menghindari organisme patogen. Asepsis secara praktis merupakan suatu
teknik yang digunakan untuk memberantas semua jenis organisme.
Tindakan sterilisasi dilakukan pada tim operator, alat-alat yang
dipergunakan, kamar operasi, pasien terutama pada daerah pembedahan
(Howe, 1990)
b. Pembedahan Atraumatik
Pada saat ekstraksi gigi harus diperhatikan untuk bekerja secara hati-
hati, tidak kasar, tidak ceroboh, dengan gerakan pasti, sehingga membuat
trauma sekecil mungkin. Tindakan yang kasar menyebabkan trauma
jaringan lunak, memudahkan terjadinya inflamasi dan memperlambat
penyembuhan. Peralatan yang digunakan haruslah tajam karena dengan
peralatan yang tumpul akan memperbesar terjadinya trauma (Howe,
1990)
c. Akses dan Lapangan Pandang Baik
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi akses dan lapangan pandang
yang baik selama proses ekstraksi gigi. Faktor-faktor tersebut adalah
posisi kursi, posisi kepala pasien, posisi operator, pencahayaan, retraksi

2
dan penyedotan darah atau saliva. Posisi kursi harus diatur untuk
mendapatkan akses terbaik dan kenyamanan bagi operator dan pasien.
Pada ekstraksi gigi maksila, posisi pasien lebih tinggi dari dataran siku
operator dengan posisi sandaran kursi lebih rendah sehingga pasien
duduk lebih menyandar dan lengkung maksila tegak lurus dengan lantai.
Sedangkan ekstraksi gigi pada mandibula, posisi pasien lebih rendah
dari dataran siku operator dengan posisi sandaran kursi tegak dan dataran
oklusal terendah sejajar dengan lantai. Pencahayaan harus diatur
sedemikian rupa agar daerah operasi dapat terlihat dengan jelas tanpa
bayangan hitam yang membuat gelap daerah operasi. Retraksi jaringan
juga dibutuhkan untuk mendapatkan lapangan pandang yang jelas.
Daerah operasi harus bersih dari saliva dan darah yang dapat
mengganggu penglihatan ke daerah tersebut sehingga dibutuhkan
penyedotan pada rongga mulut (Howe, 1990)
d. Tata Kerja Teratur
Bekerja sistematis agar dapat mencapai hasil semaksimal mungkin
dengan mengeluarkan tenaga sekecil mungkin. Penting untuk mengetahui
cara kerja yang berbeda untuk setiap pembedahan, sehingga dapat
menggunakan tekanan terkontrol sesuai dengan urutan tindakan (Howe,
1990)
1.3. Indikasi dan Kontraindikasi Pencabutan
a. Indikasi Pencabutan Gigi
Karies yang parah
Nekrosis pulpa
Penyakit periodontal yang parah
Alasan orthodontik
Gigi yang mengalami malposisi
Gigi yang retak
Pra-prostetik ekstraksi
Gigi impaksi
Supernumary gigi
Gigi yang terkait dengan lesi patologis
Terapi pra-radiasi
Gigi yang mengalami fraktur rahang
Estetik
Ekonomis (Peterson, 2003)

3
b. Kontraindikasi Pencabutan Gigi
Kontaindikasi sistemik
Kelainan jantung
Kelainan darah. Pasien yang mengidap kelainan darah seperti
leukemia, haemoragic purpura, hemophilia dan anemia
Diabetes melitus tidak terkontrol sangat mempengaruhi penyembuhan
luka.
Pasien dengan penyakit ginjal (nephritis) pada kasus ini bila dilakukan
ekstraksi gigi akan menyebabkan keadaan akut
Penyakit hepar (hepatitis).
Pasien dengan penyakit syphilis, karena pada saat itu daya tahan
terutama tubuh sangat rendah sehingga mudah terjadi infeksi dan
penyembuhan akan memakan waktu yang lama.
Alergi pada anastesi local
Rahang yang baru saja telah diradiasi, pada keadaan ini suplai darah
menurun sehingga rasa sakit hebat dan bisa fatal.
Toxic goiter
Kehamilan. pada trimester ke-dua karena obat-obatan pada saat itu
mempunyai efek rendah terhadap janin.
Psychosis dan neurosis pasien yang mempunyai mental yang tidak
stabil karena dapat berpengaruh pada saat dilakukan ekstraksi gigi
Terapi dengan antikoagulan.
Kontraindikasi lokal
Radang akut. Keradangan akut dengan cellulitis, terlebih dahulu
keradangannya harus dikontrol untuk mencegah penyebaran yang lebih
luas. Jadi tidak boleh langsung dicabut.
Infeksi akut. Pericoronitis akut, penyakit ini sering terjadi pada saat
M3 RB erupsi terlebih dahulu
Malignancy oral. Adanya keganasan (kanker, tumor dll), dikhawatirkan
pencabutan akan menyebabkan pertumbuhan lebih cepat dari
keganasan itu. Sehingga luka bekas ekstraksi gigi sulit sembuh. Jadi
keganasannya harus diatasi terlebih dahulu.
Gigi yang masih dapat dirawat/dipertahankan dengan perawatan
konservasi, endodontik dan sebagainya (Pederson, 1996)
1.4. Komplikasi pasca ekstraksi
1. Macam-macam komplikasi
a. Komplikasi local
Komplikasi lokal saat pencabutan gigi.

4
Komplikasi lokal setelah pencabutan gigi.
b. Komplikasi sistemik.
2. Jenis komplikasi yang dapat terjadi
a. Kegagalan dari :
Pemberian anastetikum.
Mencabut gigi dengan tang atau elevator.
b. Fraktur dari :
Mahkota gigi yang akan dicabut.
Akar gigi yang akan dicabut
Tulang alveolar.
Tuberositas maxilla.
Gigi sebelahnya/gigi antagonis.
Mandibula.
c. Dislokasi dari :
Gigi sebelahnya.
Sendi temporo mandibula.
d. Berpindah akar gigi :
Masuk ke jaringan lunak
Masuk ke dalam sinus maxillaris.
e. Perdarahan berlebihan :
Selama pencabutan gigi.
Setelah pencabutan gigi selesai.
f. Kerusakan dari :
Gusi
Bibir.
Saraf alveolaris inferior/cabangnya.
Saraf lingualis.
Lidah dan dasar mulut.
g. Rasa sakit pasca pencabutan gigi karena
Kerusakan dari jaringan keras dan jaringan lunak
Dry socket .
Osteomyelitis akut dari mandibula.
Arthritis traumatik dari senditemporo mandibula.
h. Pembengkakan pasca operasi :
Edema.
Hematoma.
Infeksi.
Trismus.
Terjadinya fistula oro antral.
Sinkop.
Terhentinya respirasi.
Terhentinya jantung.
Keadaan darurat akibat anastesi.
2. Anastesi

5
2.1. Definisi Anastesi

Anastesi (pembiusan) bersal dari bahasa yunani. An = tidak, tanpa dan


aesthtesos = persepsi, kemampuan merasa. Secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Latief,
dkk, 2001).

2.2. Anastesi Lokal


Anastesi lokal atau anastesi regional merupakan penggunaan obat
analgesik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls
nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara (reversible). Fungsi
motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya dan dalam keadaan
penderita tetap sadar. Tujuan anastesi adalah untuk menghalau, atau
menghilangkan rasa sakit dibagian tertentu, daripada harus melakukan
pembiusan total.
Syarat-syarat Anastesi lokal yang baik
a. Tidak mengiritasi jaringan
b. Toksisitas sistemisnya kecil
c. Tidak merusak jaringan saraf secara permanen
d. Efektif melalui penggunaan suntikan atau topikal pada mukosa
e. Mulai kerjanya harus sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka
waktu yang cukup lama.
f. Larut dan stabil dalam air serta stabil pada pemanasan.
g. Tidak menimbulkan alergi (Karakata, 1996).
Berdasarkan area yang teranestesi, anestesi lokal dapat dibedakan
menjadi :
a. Nerve Block
Larutan anestesi lokal disuntikkan pada atau disekitar batang
saraf utama, sehingga mampu menganestesi daerah yang luas yang
mendapat inervasi dari percabangan saraf utama tersebut. Teknik ini
sering digunakan di rongga mulut khususnya di rahang bawah.
Kerugian dari teknik ini adalah bahwa biasanya pembuluh darah
letaknya berdekatan dengan batang saraf, maka kemungkinan terjadi
penetrasi pembuluh darah cukup besar. Contoh : inferior alveolar
nerve block.
b. Field Block

6
Larutan anestesi lokal disuntikkan pada atau disekitar cabang
saraf terminal dengan tujuan untuk memblokir semua persarafan
sebelah distal dari tempat injeksi cairan anestesi. Efek anestesi
meliputi darah yang terbatas (tidak seluas pada teknik nerve block)
contoh : injeksi di sekitar apeks akar gigi rahang atas.
c. Lokal infiltrasi
Larutan anestesi lokal dituntikkan di sekitar ujung-ujung saraf
terminal sehingga efek anestesi hanya terbatas pada tempat difusi
cairan anestesi tepat pada area yang akan dilakukan instrumentasi.
Teknik ini terbatas hanya untuk anestesi jaringan lunak.
d. Topikal anesthesia
Teknik ini dilakukan dengan cara mengoleskan larutan anestesi
pada permukaan mukosa atau kulit dengan tujuan untuk meniadakan
stimulasi pada ujung-ujung saraf bebas (free nerve endings). Anestesi
topikal dapat digunakan pada tempat yang akan diinjeksi untuk
mengurangi rasa sakit akibat insersi jarum.

Beberapa cara pemberian anastesi lokal, khusus dibidang


kedokteran gigi yaitu :

a. Anestesi Topical

Anestesi topical digunakan hanya untuk menghilangkan rasa


sakit di permukaan saja karena hanya mengenai ujung-ujung serabut-
serabut saraf dan berlaku untuk beberapa menit saja. Anestesi topikal
juga dapat digunakan pada tempat yang akan diinjeksi untuk
mengurangi rasa sakit akibat insersi jarum. Teknik ini dilakukan
dengan cara mengoleskan larutan anestesi pada permukaan mukosa
atau kulit dengan tujuan untuk meniadakan stimulasi pada ujung-
ujung saraf bebas (free nerve endings).

b. Secara Fisis

Topikal anestesi secara fisis adalah mendapatkan anestesi


dengan pembekuan. Bahan anestesi yang digunakan adalah khoretil

7
yang berwujud zat cair, mempunyai titik didih sangat rendah dan cepat
menguap. Waktu menguap zat ini berasal dari panas sel-sel jaringan
dan syaraf-syaraf di sekitarnya, sehingga menyebabkan sel-sel syaraf
tersebut membeku. Akibatnya syaraf tidak dapat lagi menerima
rangsangan sakit sehingga rasa sakit tidak diteruskan ke pusat
(sentrum) dari permukaan. Hasil dari anestesi ini tidak dalam, hanya
kira-kira 5 mm dan cepat hilang.

c. Secara Khemis
Bahan yang biasanya digunakan pada topikal anestesi sacara
khemis adalah cocain 2%. Obat-obat lain yang dipergunakan seperti
Pantocain dan Benzocain. Pemakaian cocain dalam kedokteran gigi
sebagian besar digunakan secara anestesi tekanan (pressure
aneaesthesi).

2.3. Anestesi Infiltrasi


Infiltrasi anestesi diperoleh dengan memberikan suntikkan di bawah
mukosa pada ujung-ujung saraf terminal sehingga efek anestesi hanya
terbatas pada tempat difusi cairan anestesi tepat pada area yang akan
dilakukan instrumentasi.

Berdasarkan tempat insersi jarum, teknik injeksi anestesi lokal


dapat dibedakan menjadi :

a. Soft tissue anestesi

Submucosal injection

Istilah ini diterapkan bila larutan didepositkan tepat di balik


membran mukosa. Walupun cenderung tidak menimbulkan anastesi
pada pulpa gigi suntikan ini sering digunakan untuk menganastesi
saraf bukal panjang sebelum pencabutan molar bawah atau operasi
jaringan lunak (Howe, 1994).

8
Jarum diinsersikan dan cairan anestesi dideponir ke dalam
jaringan di bawah mukosa sehingga larutan anestesi mengadakan
difusi pada tempat tersebut.

Deep infiltrasi anestesi (Pleksus anesthesi)

Deep infiltrasi anestesi hanya dapat dilakukan bila tulang


kompakta atau seluruh struktur kompakta bagian bukal dan labial
tipis. Anestesi pun tidak dapat dilakukan bila adanya peradangan
karena anesthetikum tidak dapat merembes mencapai urat syaraf
yang lebih dalam, sebab diblokir oleh cairan yang terdapat di
radang.

Menurut cara penyuntikannya, Deep infiltrasi anestesi dibagi


menjadi 4, antara lain :

Paraperiosteal injection

Jarum diinsersikan sampai mendekati atau menyentuh periosteum,


dan setelah diinjeksikan larutan anestesi mengadakan difusi
menembus periosteum dan porositas tulang alveolar.

Interseptal injection

Teknik ini merupakan modifikasi dari teknik intraosseous,


dilakukan untuk mempermudah pelaksanaan injeksi intraosseous

9
dimana jarum disuntikkan ke dalam tulang alveolar bagian interseptal
diantara kedua gigi yang akan dianestesi. Teknik ini kadang-kadang
digunakan bila anestesi yang menyeluruh sulit diperoleh atau bila
dipasang gigi geligi tiruan imediat serta bila tekhnik supraperiosteal
tidak mungkin digunakan. Tekhnik ini hanya dapat digunakan setelah
diperoleh anestesi superficial.

Intraperiodontal injection

Jarum diinsersikan pada sulkus gingival dengen bevel


mengarah menjauhi gigi. Jarum kemudian didorong ke
membrane periodontal bersudut 30 terhadap sumbu panjang
gigi. Jarum ditahan dengan jari untuk mencegah pembengkokan
dan didorong ke penetrasi maksimal sehingga terletak antara
akar-akar gigi dan tulang interkrestal. Jarum diinjeksikan
langsung pada periodontal membran dari akar gigi yang
bersangkutan.

10
Pappilary Injection

Teknik ini sebenarnya termasuk teknik submukosa yang


dilakukan pada papila interdental yang melekat dengan
periosteum. Teknik ini diindikasikan terutama pada
gingivectomy, yang memerlukan baik efek anestesi maupun efek
hemostatis dari obat anestesi.

b. Bony tissue anestesi (Intraosseous injection)

Injeksi dilakukan ke dalam struktur tulang, setelah terlebih dahulu


dibuat suatu jalan masuk dengan bantuan bur. Suntikan ini larutan
didepositkan pada tulang medularis. Setelah suntikan supraperiosteal
diberikan dengan cara biasa, dibuat insisi kecil melalui
mukoperiosteum pada daerah suntikan yang sudah ditentukan untuk
mendapat jalan masuk bur dan reamer kecil pada perawatan
endodontic. Dewasa ini, tekhnik suntikan ini sudah sangat jarang
digunakan.

2.4. Anestesi Blok

a. Field Blok

Larutan anestesi lokal disuntikkan pada atau disekitar cabang saraf


terminal dengan tujuan untuk memblokir semua persarafan sebelah distal
dari tempat injeksi cairan anestesi. Efek anestesi meliputi darah yang

11
terbatas (tidak seluas pada teknik nerve block) contoh : injeksi di sekitar
apeks akar gigi rahang atas.

b. Nerve blok

Larutan anestesi lokal disuntikkan pada atau disekitar batang saraf


utama, sehingga mampu menganestesi daerah yang luas yang mendapat
inervasi dari percabangan saraf utama tersebut. Teknik ini sering digunakan
di rongga mulut khususnya di rahang bawah. Kerugian dari teknik ini adalah
bahwa biasanya pembuluh darah letaknya berdekatan dengan batang saraf,
maka kemungkinan terjadi penetrasi pembuluh darah cukup besar. Contoh :
inferior alveolar nerve block.

Teknik-teknik anastesi blok pada maksila :

a. Injeksi Zigomatik

Dasar pemikiran: N.alveolaris superior posterior bisa di blok


sebelum masuk ke maksila di atas molar ketiga. Titik suntikan terletak
pada lipatan mukosa tertinggi diatas akar distobukal molar kedua atas.
Arahkan jarum ke atas dan ke dalam dengan kedalaman kurang lebih
20 mm. ujung jarum harus tetap menempel pada periosteum untuk
menghindari masuknya jarum ke dalam plexus venosus pterygoideus.

b. Injeksi Infraorbital

Dasar pemikiran: injeksi ini diindikasikan apabila suatu


inflamasi atau infeksi merupakan kontraindikasi untuk injeksi
supraperiosteal, misalnya pada operasi untuk membuka antrum, atau
ekstrasi beberapa gigi sekaligus. Beberapa operator lebih menyukai
teknik ini daripada injeksi supraperiosteal untuk alveolektomi,
pngangkatan gigi impaksi atau kista. Biasanya tidak diindikasikan
untuk dentistry operatif.

12
Anestetikum dideponir ke dalam canalis infraorbitalis dengan
maksud agar cabang-cabang n.infraorbitalis berikut ini teranestesi,
yaitu: n. Aleveolaris superior medius dan anterior.

Pertama-tama tentukan letak foramen infraorbitale dengan cara


palpasi. Foramen ini terletak tepat dibawah crista infraorbitalis pada
garis vertikal yang menghubungkan pupil mata apabila pasien
memandang lurus ke depan. Tarik pipi, posisi jari yang mempalpasi
jangna dirubah dan tusukkan jarum dari seberang gigi premolar ke
dua, kira-kira 5 mm ke luar dari permukaan bukal. Arahkan jarum
sejajar dengan aksis panjang gigi premolar kedua sampai jarum
dirasakan masuk kedalam foramen infraorbitale di bawah jari yang
mempalpasi foramen ini. Kurang lebih 2 cc anestetikum dideponir
perlahan-lahan.

Beberapa operator menyukai pendekatan dari arah garis median,


dalam hal ini, bagian yang di tusuk adalah pada titik refleksi tertinggi
dari membran mukosa antara incisivus sentral dan lateral. Dengan cara
ini, jarum tidak perlu melalui otot-otot wajah.

Untuk memperkecil resiko masuknya jarum ke dalam orbita,


klinisi pemula sebaiknya mengukur dulu jarak dariforamen
infraorbitale ke ujung tonjol bukal gigi premolar ke dua atas.
Kemudian ukuran ini dipindahkan ke jarum. Apabila ditransfer pada
siringe jarak tersebut sampai pada titik perbatasan antara bagian yang
runcing dengan bagian yang bergigi. Pada waktu jarum diinsersikan
sejajar dengan aksis gigi premolar kedua, ujungnya akan terletak tepat
pada foramen infraorbitale jika garis batas tepat setinggi ujung bukal
bonjol gigi premolar kedua. Jika foramen diraba perlahan, pulsasi
pembuluh darah kadang bisa dirasakan.

c. Injeksi N. Nasopalatinus

13
Titik suntikan terletak sepanjang papilla incisivus yang berlokasi
pada garis tengah rahang, di posterior gigi insicivus sentral. Ujung
jarum diarahkan ke atas pada garis tengah menuju canalis palatina
anterior. Walaupun anestesi topikal bisa digunakan untuk membantu
mengurangi rasa sakit pada daerah titik suntikan, anestesi ini mutlak
harus digunakan untuk injeksi nasopalatinus. Di anjurkan juga untuk
melakukan anestesi permulaan pada jarigan yang akan dilalui jarum.

Injeksi ini menganestesi mukoperosteum sepertiga anterior


palatum yaitu dari kaninus satu ke kaninus yang lain. Meskipun
demikian bila diperlukan anestesi daerah kaninus, injeksi ini biasanya
lebih dapat diandalkan daripada injeksi palatuna sebagian pada daerah
kuspid dengan maksud menganestesi setiap cabang n.palatinus major
yang bersitumpang.

d. Injeksi Nervus Palatinus Major

Inervasi jaringan lunak duapertiga posterior palatum berasal dari


n. Palatinus major (n. Palatinus anterior) dan n. Palatinus medius. N.
Palatinus major keluar dari palatum durum melalui foramen palatina
major dan berjalan ke depan kurang lbih di pertengahan antara crista
alveolaris dan linea media (garis tengah rahang). Menginervasi
mukoperiosteum palatum sampai ke daerah caninus serta
beranastomosis dengan cabang-cabang n. Nasopalatinus. Untuk
ekstraksi atau prosedur operasi perlu dilakukan anestesi n.palatinus
major.

Tentukan titik tengah garis kayal yang ditarik antara tepi gingiva
molar ketiga atas di sepanjang akar palatalnya terhadap garis tengah

14
rahang. Injeksikan anestetikum sedikit mesial dari titik tersebut dari
sisi kontralateral.

Karena hanya bagian n.palatinus major yang keluar dari foramen


palatinum majus (foramen palatinum posterior) yang akan dianestesi,
jarum tidak perlu diteruskan sampai masuk ke foramen. Injeksi ke
foramen atau deponir anestetikum dalam jumlah besar pada orifisium
foramen akan menyebabkan teranestesinya n.palatinus medius
sehingga palatum molle menjadi keras. Keadaan ini akan
menyebabkan timbulnya gagging.

Injeksi ini menganestesi mukoperosteum palatum dari tuber


maxillae sampai ke regio kaninus dan dari garis tengah ke crista
gingiva pada sisi bersangkutan.

e. Injeksi Sebagian Nervus Palatinus

N. palatinus major bisa diblok pada sembarang titik di


perjalanannya dari foramen palatinum major ke arah depan. Jadi,
anestesi mukoperiosteum palatum didapatkan dari titik injeksi ke
depan, ke regio kaninus.

Injeksi ini biasanya hanya untuk ekstraksi gigi atau


pembedahan. Injeksi ini digunakan bersama dengan injeksi
supraperiosteal atau zigomatik.

Teknik-teknik anastesi blok pada mandibula :


a. Injeksi Mentalis

15
Nervus mentalis merupakan cabang dari N.Alveolaris Inferior
yang berupa cabang sensoris yang berjalan keluar melalui foramen
mentale untuk menginervasi kulit dagu, kulit dan membrana mukosa
labium oris inferior.
Teknik Anestesi Blok N.Mentalis: Tentukan letak apeks gigi-gigi
premolar bawah.

Tariklah pipi ke arah bukal dari gigi premolar. Masukkan jarum


ke dalam membrana mukosa di antara kedua gigi premolar kurang
lebih 10 mm eksternal dari permukaan bukal mandibula. Posisi
syringe membentuk sudut 45 derajat terhadap permukaan bukal
mandibula, mengarah ke apeks akar premolar kedua. Tusukkan jarum
tersebut sampai menyentuh tulang. Kurang lebih cc anestetikum
dideponir, ditunggu sebentar kemudian ujung jarum digerakkan tanpa
menarik jarum keluar, sampai terasa masuk ke dalam foramen, dan
deponirkan kembali cc anestetikum dengan hati-hati.

Selama pencarian foramen dengan jarum, jagalah agar jarum


tetap membentuk sudut 45o terhadap permukaan bukal mandibula
untuk menghindari melesetnya jarum ke balik periosteum dan untuk
memperbesar kemungkinan masuknya jarum ke foramen. Injeksi ini
dapat menganestesi gigi premolar dan kaninus untuk prosedur
operatif. Untuk menganestesi gigi insisivus, serabut saraf yang
bersitumpang dari sisi yang lain juga harus di blok. Untuk ekstraksi
harus dilakukan injeksi lingual.

b. Injeksi N. Bucalis
Teknik Injeksi N.Buccalis: Nervus buccal tidak dapat dianestesi
dengan menggunakan teknik anaestesi blok nervus alveolaris inferior.

16
Nervus buccal menginervasi jaringan dan buccal periosteum sampai
ke molar, jadi jika jaringan halus tersebut diberikan perawatan, maka
harus dilakukan injeksi nervus buccal. Injeksi tambahan tidak perlu
dilakukan ketika melakukan pengobatan untuk satu gigi. Jarum
panjang dengan ukuran 25 gauge digunakan (karena injeksi ini
biasanya dilakukan bersamaan dengan injeksi blok nervus alveolaris
inferior, jadi jarum yang sama dapat digunakan setelah anestetikum
terisi).

Jarum disuntikan pada membran mukosa bagian disto bucal


sampai pada molar terakhir dengan bevel menghadap ke arah tulang
setelah jaringan telah diolesi dengan antiseptik. Jika jaringan tertarik
kencang, pasien lebih merasa nyaman. Masukkan jarum 2 atau 4 mm
secara perlahan-lahan dan lakukan aspirasi.4 Setelah melakukan
aspirasi dan hasilnya negatif, maka depositkan anestetikum sebanyak
2 cc secara perlahan-lahan.
Masukkan jarum pada lipatan mukosa pada suatu titik tepat di
depan gigi molar pertama. Perlahan-lahan tusukkan jarum sejajar
dengan corpus mandibulae, dengan bevel mengarah ke bawah, ke
suatu titik sejauh molar ketiga, anestetikum dideponir perlahan-lahan
seperti pada waktu memasukkan jarum melalui jaringan.
Pasien harus berada dalam posisi semisupine. Operator yang
menggunakan tangan kanan berada dalam posisi searah dengan jarum
jam delapan sedangkan operator yang kidal berada pada posisi searah
dengan jarum jam empat. Injeksi ini menganestesi jaringan bukal pada
area molar bawah. Bersama dengan injeksi lingual, jika diindikasikan,
dapat melengkapi blok n.alveolaris inferior untuk ekstraksi semua gigi
pada sisi yang diinjeksi. In jeksi ini tidak selalu diindikasikan dalam
pembuatan preparasi kavitas kecuali jika kavitas bukal dibuat sampai
di bawah tepi gingival.
c. Injeksi N. Lingualis

17
N. lingualis terletak di anterior n. Alveolaris inferior antara m.
Pterygoideus medialis dan ramus mandibula. N. Lingualis berjalan ke
depan dan berhubungan erat dengan akar molar ketiga, masuk ke
dasar mulut, melinta antara m. Mylohyoideus dan m. Hyoglossus
untuk mensuplai duapertiga anterior lidah. Cabang-cabang n.
Lingualis menginervasi dasar mulut, dan mukoperiosteum lingual dan
dari mandibula.
Teknik: suntikan jarum pada mukoperiosteuml lingual setinggi
setengah panjang akar gigi yang dianestesi. Karena posisi gigi
insisivus, sulit untuk mencapai daerah ini dengan jarum yang lurus.
Untuk mengatasi masalah ini, bisa digunakan hub yang bengkok
atau jarum yang dibengkokan dengan cara menekannya antara ibu jari
dan jari lain. Deposisikan sedikit anestesi perlahan-lahan ke dalam
mukoperiosteum. Jangna menggunakan penekanan. Anestesi biasanya
timbul terlalu cepat.

2.5. Macam-macam Obat Anastesi Lokal


A. Golongan Ester :
1 Prokain

Prokain adalah ester aminobenzoat untuk infiltrasi, blok, spinal,


epidural, merupakan obat standart untuk perbandingan potensi dan
toksisitas terhadap jenis obat-obat anestetik local lain. Untuk infiltrasi:
larutan 0,25-0,5%, Blok Msaraf : 1-2%, Dosis 15 mg/kg BB dan lama
kerja 30-60 menit.Prokain disintesis dan diperkenalkan dengan nama
dagang novokain. Sebagai anestetik lokal, prokain pernah digunakan
untuk anestesi infiltrasi, anestesi blok saraf, anestesi spinal, anestesi
epidural, dan anestesi kaudal. Namun karena potensinya rendah, mula
kerja lambat, serta masa kerja pendek maka penggunaannya sekarang
hanya terbatas pada anestesi infiltrasi dan kadang- kadang untuk anestesi
blok saraf. Di dalam tubuh prokain akan dihidrolisis menjadi PABA yang
dapat menghambat kerja sulfonamik (Malamed SF, 1997)

18
Pemberian prokain dengan anestesi infiltrasi maximum dosis 400 mg
dengan durasi 30-50, dosis 800 mg, durasi 30-45,Pemberian dengan
anestesi epidural dosis 300-900, durasi 30-90, onset 5-15 mnt,Pemberian
dengan anestesi spinal : preparatic 10%, durasi 30-45 menit (Malamed
SF, 1997)

2 Kokain

Hanya dijumpai dalam bentuk topical semprot 4% untuk mukosa


jalan napas atas.Lama kerja 2-30 menit. Contoh: Fentanil.
Farmakodinamik: Kokain atau benzoilmetilekgonin didapat dari daun
erythroxylon coca. Efek kokain yang paling penting yaitu menghambat
hantaran saraf, bila digunakan secara lokal. Efek sistemik yang paling
mencolok yaitu rangsangan susunan saraf pusat. Efek anestetik lokal:
Efek lokal kokain yang terpenting yaitu kemampuannya untuk
memblokade konduksi saraf. Atas dasar efek ini, pada suatu masa kokain
pernah digunakan secara luas untuk tindakan di bidang oftalmologi,
tetapi kokain ini dapat menyebabkan terkelupasnya epitel kornea.

Maka penggunaan kokain sekarang sangat dibatasi untuk pemakaian


topikal, khususnya untuk anestesi saluran nafas atas. Kokain sering
menyebabkan keracunan akut. Diperkirakan besarnya dosis fatal adalah
1,2 gram. Sekarang ini, kokain dalam bentuk larutan kokain hidroklorida
digunakan terutama sebagai anestetik topikal, dapat diabsorbsi dari
segala tempat, termasuk selaput lendir. Pada pemberian oral kokain tidak
efektif karena di dalam usus sebagian besar mengalami hidrolisis
(Malamed SF, 1997)

19
3 Tetrakain

Tetrakain adalah derivat asam para-aminobenzoat. Pada pemberian


intravena, zat ini 10 kali lebih aktif dan lebih toksik daripada prokain.
Obat ini digunakan untuk segala macam anestesia, untuk pemakaian
topilak pada mata digunakan larutan tetrakain 0.5%, untuk hidung dan
tenggorok larutan 2%. Pada anestesia spinal, dosis total 10-20mg.
Tetrakain memerlukan dosis yang besar dan mula kerjanya lambat,
dimetabolisme lambat sehingga berpotensi toksik. Namun bila diperlukan
masa kerja yang panjang anestesia spinal, digunakan tetrakain (Malamed
SF, 1997)

4 Benzokain

Absorbsi lambat karena sukar larut dalam air sehingga relatif tidak
toksik. Benzokain dapat digunakan langsung pada luka dengan ulserasi
secara topikal dan menimbulkan anestesia yang cukup lama. Sediaannya
berupa salep dan supposutoria (Malamed SF, 1997)

B. Golongan Amida :
1 Lidokain

Lidokain (Xylocaine/Lignocaine) adalah obat anestesi lokal kuat


yang digunakan secara luas dengan pemberian topikal dan suntikan.
Lidokain disintesa sebagai anestesi lokal amida oleh Lofgren pada tahun
1943. Ia menimbulkan hambatan hantaran yang lebih cepat, lebih kuat,
lebih lama dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh prokain.

20
Tidak seperti prokain, lidokain lebih efektif digunakan secara topikal
dan merupakan obat anti disritmik jantung dengan efektifitas yang tinggi.
Untuk alasan ini, lidokain merupakan standar pembanding semua obat
anestesi lokal yang lain (Malamed SF, 1997)

Sebagai obat anestesi lokal lidokain dapat diberikan dosis 3-4


mg/kgBB. Dosis maksimalnya 4,5 mg/kgBB dan tidak boleh diulang
dalam waktu 2 jam. Lidokain menyebabkan penurunan tekanan
intrakranial (tergantung dosis) yang disebabkan oleh efek sekunder
peningkatan resistensi vaskuler otak dan penurunan aliran darah otak
(Malamed SF, 1997).

2 Mepivakain

Anestetik lokal golongan amida ini sifat farmakologiknya mirip


lidokain. Mepivakain ini digunakan untuk anestesia infiltrasi, blokade
saraf regional dan anestesia spinal. Sediaan untuk suntikan berupa larutan
1 ; 1,5 dan 2%. Mepivakain lebih toksik terhadap neonatus dan
karenanya tidak digunakan untuk anestesia obstetrik. Pada orang dewasa
indeks terapinya lebih tinggi daripada lidokain. Mula kerjanya hampir
sama dengan lidokain, tetapi lama kerjanya lebih panjang sekitar 20%.
Mepivakain tidak efektif sebagai anestetik topikal. Dosis maksimum
konsentrasi sekitar 1% - 2 % (Malamed SF, 1997)

21
3 Bupivakain
Struktur mirip dengan lidokain, kecuali gugus yang mengandung
amin dan butyl piperidin. Merupakan anestetik lokal yang mempunyai
masa kerja yang panjang, dengan efek blockade terhadap sensorik lebih
besar daripada motorik. Karena efek ini bupivakain lebih popular
digunakan untuk memperpanjang analgesia selama persalinan dan masa
pascapembedahan. Suatu penelitian menunjukan bahwa bupivakain dapat
mengurangi dosis penggunaan morfin dalam mengontrol nyeri pada
pascapembedahan Caesar. Pada dosis efektif yang sebanding, bupivakain
lebih kardiotoksik daripada lidokain. Lidokain dan bupivakain, keduanya
menghambat saluran Na+ jantung (cardiac Na+ channels) selama sistolik
(Malamed SF, 1997)

Namun bupivakain terdisosiasi jauh lebih lambat daripada lidokain


selama diastolic, sehingga ada fraksi yang cukup besar tetap terhambat
pada akhir diastolik. Manifestasi klinik berupa aritma ventrikuler yang
berat dan depresi miokard. Keadaan ini dapat terjadi pada pemberian
bupivakain dosis besar. Toksisitas jantung yang disebabkan oleh
bupivakain sulit diatasi dan bertambah berat dengan adanya asidosis,
hiperkarbia, dan hipoksemia. Ropivakain juga merupakan anestetik lokal
yang mempunyai masa kerja panjang, ddengan toksisitas terhadap

22
jantung lebih rendah daripada bupivakain pada dosis efektif yang
sebanding, namun sedikit kurang kuat dalam menimbulkan anestesia
dibandingkan bupivakain.Larutan bupivakain hidroklorida tersedia dalam
konsentrasi 0,25% untuk anestesia infiltrasi dan 0,5% untuk suntikan
paravertebral. Tanpa epinefrin, dosis maksimum untuk anestesia infiltrasi
adalah sekitar 2 mg/KgBB (Malamed SF, 1997)
Secara kimia dan farmakologis mirip lidokain. Toksisitas setaraf
dengan tetrakain. Untuk infiltrasi dan blok saraf perifer dipakai larutan
0,25-0,75%. Dosis maksimal 200mg. Duration 3-8 jam. Konsentrasi
efektif minimal 0,125%. Mula kerja lebih lambat dibanding lidokain.
Setelah suntikan kaudal, epidural atau infiltrasi, kadar plasma puncak
dicapai dalam 45 menit. Kemudian menurun perlahan-lahan dalam 3-8
jam. Untuk anesthesia spinal 0,5% volum antara 2-4 ml iso atau
hiperbarik. Untuk blok sensorik epidural 0,375% dan pembedahan 0,75%
(Malamed SF, 1997)
4 Prilokain
Walaupun merupakan devirat toluidin, agen anestesi lokal tipe amida
ini pada dasarnya mempunyai formula kimiawi dan farmakologi yang
mirip dengan lignokain dan mepivakain. Anestetik lokal golongan amida
ini efek farmakologiknya mirip lidokain, tetapi mula kerja dan masa
kerjanya lebih lama daripada lidokain. Prilokain juga menimbulkan
kantuk seperti lidokain. Sifat toksik yang unik ialah prilokain dapat
menimbulkan methemoglobinemia, hal ini disebabkan oleh kedua
metabolit prilokain yaitu orto-toluidin dan nitroso- toluidin (Malamed SF,
1997)
Walaupun methemoglobinemia ini mudah diatasi dengan
pemberian biru-metilen intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB larutan 1
% dalam waktu 5 menit; namun efek terapeutiknya hanya berlangsung
sebentar, sebab biru metilen sudah mengalami bersihan, sebelum semua
methemoglobin sempat diubah menjadi Hb (Malamed SF, 1997)
Anestetik ini digunakan untuk berbagai macam anestesia
disuntikan dengan sediaan berkadar 1,0; 2,0 dan 3,0%. Prilokain umumnya
dipasarkan dalam bentuk garam hidroklorida dengan nama

23
dagang Citanest dan dapat digunakan untuk mendapat anestesi infiltrasi
dan regional. Namun prilokain biasanya tidak dapat digunakan untuk
mendapat efek anestesi topikal.Prilokain biasanya menimbulkan aksi yang
lebih cepat daripada lignokain namun anastesi yang ditimbulkannya
tidaklah terlalu dalam. Prilokain juga kurang mempunyai efek vasodilator
bila dibanding dengan lignokain dan biasanya termetabolisme dengan
lebih cepat. Obat ini kurang toksik dibandingkan dengan lignokain tetapi
dosis total yang dipergunakan sebaiknya tidak lebih dari 400 mg.Salah
satu produk pemecahan prilokain adalah ortotoluidin yang dapat
menimbulkan metahaemoglobin (Malamed SF, 1997)
Metahaemoglobin yang cukup besar hanya dapat terjadi bila dosis
obat yang dipergunakan lebih dari 400 mg. metahaemoglobin 1 % terjadi
pada penggunaan dosis 400 mg, dan biasanya diperlukan tingkatan
metahaemoglobin lebih dari 20 % agar terjadi simtom seperti sianosis bibir
dan membrane mukosa atau kadang-kadang depresi respirasi (Malamed
SF, 1997)

3. Infeksi Odontogen
3.1. Definisi Infeksi Odontogen
Infeksi odontogenik adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang
merupakan flora normal dalam mulut, yaitu bakteri dalam plak, sulcus
gingival, dan mukosa mulut yang dapat menyebabkan karies, gingivitis, dan
periodontitis yang mencapai jaringan lebih dalam yaitu melalui nekrosis
pulpa dan poket periodontal dalam (Gordon,1996).
3.2. Etiologi Infeksi Odontogen
Penyebabnya adalah bakteri yang merupakan flora normal dalam
mulut, yaitu bakteri dalam plak, dalamsulkus gingiva, dan mukosa mulut.
Yang terutama ditemukan bakteri kokus aerob, kokus anaerob gram positif
dan batang anaerob gram negatif. Organisme penyebab infeksi odontogen
yang sering ditemukan pada pemeriksaan kultur adalah alpha-hemolytic
Streptococcus, Peptostreptococcus, Peptococcus, Eubacterium, Bacteroides
(Prevotella) melaninogenicus, and Fusobacterium. Bila infeksi odontogen
disebabkan bakteri aerob, biasanya organisme penyebabnya adalah species
Streptococcus. Bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan karies,

24
gingivitis, dan periodontitis.jika mencapai jaringan yang lebih dalam
melalui nekrosis pulpa dan poket periodontaldalam, maka akan terjadi
infeksi odontogen. Yang terpenting adalah infeksi ini disebabkan oleh
berbagai macam-macam bakteri, baik aerob maupun anaerob
(Roberto,2007).
Faktor yang berperan terjadinya infeksi
1. Virulensi dan quantity
Dirongga mulut terdapat bakteri yang bersifat komensalis. Apabila
lingkungan memungkinkan terjadinya invasi, baik oleh flora normal
maupun bakteri asing maka akan terjadi perubahan dan bakteri bersifat
patogen. Patogenitas bakteri biasannya berkaitan dengan 2 faktor yaitu
virulensi dan quantity. Virulensi berkaitan dengan kualitas dari bakteri
seperti daya invasi, toksisitas, enzim dan produk-produk lainnya. sedang
quantity adalah jumlah dari mikroorganisme yang dapat menginfeksi host
dan juga berkaitan dengan jumlah faktor-faktor yang bersifat virulen.
2. Pertahanan tubuh lokal
Pertahan tubuh lokal memiliki dua komponen. Pertama barier
anatomi, berupa kulit dan mukosa yang utuh, penahan masuknya bakteri
ke jaringan dibawahnya. Pembukaan pada barier anatomi ini dengan cara
insisi poket periodontal yang dalam, jaringan pulpa yang nekrosis akan
membuka jalan masuk bakteri ke jaringan dibawahnya. Gigi-gigi dan
mukosa yang sehat merupakan pertahanan tubuh lokal terhadap infeksi.
3. Pertahanan humoral
Mekanisme pertahanan humoral, terdapat pada plasma dan cairan
tubuh lainnya dan merupakan alat pertahanan terhadap bakteri. Dua
komponen utamannya adalah imunoglobulin dan komplemen.
Imunoglobulin adalah antibodi yang melawan bakteri yang menginvasi
dan diikuti proses fagositosis aktif dari leukosit. Imunoglobulin
diproduksi oleh plasma yang merupakan perkembangan dari limfosit B.
Komplemen adalah mekanisme pertahanan tubuh humoral lainnya,
merupakan sekelompok serum yang diproduksi dihepar dan harus
diaktifkan untuk dapat berfungsi. Fungsi dari komplemen adalah dalam
proses pengenalan bakteri, proses kemoktasis oleh polimorfonuklear

25
leukosit yang dari aliran darah ke daerah infeksi selain itu untuk proses
opsonisasi untuk membantu mematikan bakteri.
4. Pertahanan selular
Mekanisme pertahanan selular berupa sel fagosit dan limfosit. Sel
fagosit yang berperan dalam proses infeksi adalah leukosit
polimorfonuklear. Limfosit akan membentuk antibodi yang spesifik
seperti ig G.
3.3. Klasifikasi Infeksi Odontogen
Jalur masuk infeksi odontogen ada 3, yaitu, perikoronal, periapikal,
dan periodontal (Richard, dkk., 1981).
Jenis Infeksi Odontogen
1 Pericoronitis
Definisi
Pericoronitis didefinisikan sebagai infeksi yang terjadi di dalam
rongga mulut dan mengeluarkan simtom. Secara klinis, perikorontis
seperti abses periodontal namun begitu, etiologik nya berbeda.
(Topazian et. al.,2002) "Peri-" berarti "di sekitar." perkataan "-
coron-" bagian dari istilah mengacu pada "mahkota" dari gigi.
Akhiran "-itis" mengacu pada adanya infeksi. Jadi, kata perikoronitis
secara harfiah berarti "infeksi di sekitar bagian mahkota gigi."
(Peterson et. al.,2003)
Gambaran Klinis dan Diagnosa.
Perikoronitis dapat memberi efek terhadap molar ketiga kerana
kasus impaksi banyak terjadi pada molar ketiga dan ia terletak pada
pinggir anterior mandibular. Oleh karena itu, kasus impaksi molar
ketiga banyak terjadi pada usia dewasa muda. (Peterson et. al.,2003)
Perikoronitis akut mulanya terjadi sebagai kesakitan yang terjadi
secara local dan pembekakan gingiva. Kesakitan in dapat dirasai
pada bahagian muka, telinga atau sudut pada mandibular. Apabila
dilakukan diagnosa secara visual dan palpasi, terdapat pembekakan,
inflamasi, dan bahagian lunak pada jaringan lunak yang terletak
disekeliling koronal termasuk oklusal. (Topazian et. al.,2002)
Inspeksi menunjukkan terdapat akumulasi plak dan debris pada
porsi yang terdedah pada gigi yang terinfeksi dan juga gigi tetangga
karena jaringan lunak yang mengalami infeksi tersebut menghalang

26
sikat gigi untuk mencapai daerah tersebut. Pus dapat terlihat dibawah
margin jaringan perikoronal atau dapat dikeluarkan apabila
dilakukan palpasi. (Topazian et. al.,2002),
Etilogi
Etiologi perikoronitis secara umum adalah infeksi. Namun
begitu, mikroorganisme spesifik yang menyebabkan perikoronitis ini
masih belum diketahui. Tetapi terdapat penelitian yang menemukan
S.viridans, campuran flora oral, spirochetes dan sobakteri terlibat
didalam kasus ini. Terdapat penelitian lain juga menemukan
prevotella intermedia, Peptostreptococcus micros, F. nucleatum, A.
actinomycetemcomitans dan Veillonella di dalam poket lesi akut
perikoronal. (Topazian et. al.,2002)
Disamping itu, etiologi perikoronitis adalah trauma dari gigi
tetangga dalam terjadinya ekserbasi dan pembekakan jaringan.
Faktor lainnya adalah stress emosi, rokok, chronic fatigue, dan
infeksi pada saluran respiratori di bahagian atas. (Topazian et.
al.,2002)
2 Abses
Menurut (Angel, dkk., 2002), abses dibagi menjadi:
a. Abses periapikal
Abses periapikal sering juga disebut abses dento-alveolar,
terjadi di daerah periapikal gigi yang sudah mengalami kematian
dan terjadi keadaan eksaserbasi akut. Mungkin terjadi segera
setelah kerusakan jaringan pulpa atau setelah periode laten yang
tiba-tiba menjadi infeksi akut dengan gejala inflamasi,
pembengkakan dan demam. Mikroba penyebab infeksi umumnya
berasal dari pulpa, tetapi juga bisa berasal sistemik (bakteremia).

Gambar : Abses periapikal

27
Abses Apikalis Akut
Abses apikalis akut adalah proses inflamasi pada jaringan
periapikal gigi, yang disertai pembentukan eksudat. Abses
apikalis akut disebabkan masuknya bakteri, serta produknya
dari saluran akar gigi yang terinfeksi.(ingel) Abses apikalis
akut ditandai dengan nyeri yang spontan, adanya
pembentukan nanah, dan pembengkakan. Pembengkakan
biasanya terletak divestibulum bukal, lingual atau palatal
tergantung lokasi apeks gigi yang tekena. Abses apikialis akut
juga terkadang disertai dengan manifestasi sistemik seperti
meningkatnya suhu tubuh, dan malaise. Tes perkusi abses
apikalis akut akan mengahasilkan respon yang sangat sensitif,
tes palpasi akan merespon sensitif. Sedangkan tes vitalitas
tidak memberikan respon.

Abses Apikalis Kronis


Abses apikalis kronis merupakan keadaan yang timbul
akibat lesi yang berjalan lama yang kemudian mengadakan
drainase ke permukaan. Abses apikalis kronis disebabkan
oleh nekrosis pulpa yang meluas ke jaringan periapikal, dapat
juga disebabkan oleh abses akut yang sebelumnya terjadi.
Abses adalah kumpulan pus yang terbentuk dalam jaringan.
Pus ini merupakan suatu kumpulan sel-sel jaringan lokal
yang mati, sel-sel darah putih, organisme penyebab infeksi
atau benda asing dan racun yang dihasilkan oleh orgnisme
dan sel darah. Abses apikalis kronis merupakan reaksi
pertahanan yang bertujuan untuk mencegah infeksi menyebar
kebagian tubuh lainnya.
Abses apikalis kronis berkembang dan membesar tanpa
gejala yang subjektif, hanya dapat dideteksi dengan

28
pemeriksaan radiografis atau dengan adanya fistula didaerah
sekitar gigi yang terkena. Fistula merupakan ciri khas dari
abses apikalis kronis. Fistula merupakan saluran abnormal
yang terbentuk akibat drainasi abses. Abses apikalis kronis
pada tes palpasi dan perkusi tidak memberikan respon
nonsensitif, Sedangakn tes vitalitas tidak memberikan respon.
Gambaran radiografis abses apikalis kronis terlihat putusnya
lamina dura hingga kerusakan jaringan periradikuler dan
interradikuler.
b. Abses subperiosteal
Gejala klinis abses subperiosteal ditandai dengan selulitis
jaringan lunak mulut dan daerah maksilofasial. Pembengkakan
yang menyebar ke ekstra oral, warna kulit sedikit merah pada
daerah gigi penyebab. Penderita merasakan sakit yang hebat,
berdenyut dan dalam serta tidak terlokalisir. Pada rahang bawah
bila berasal dari gigi premolar atau molar pembengkakan dapat
meluas dari pipi sampai pinggir mandibula, tetapi masih dapat
diraba. Gigi penyebab sensitif pada sentuhan atau tekanan.

a b
c. Abses submukosa
Abses ini disebut juga abses spasium vestibular, merupaan
kelanjutan abses subperiosteal yang kemudian pus berkumpul dan
sampai dibawah mukosa setelah periosteum tertembus. Rasa sakit
mendadak berkurang, sedangkan pembengkakan bertambah besar.
Gejala lain yaitu masih terdapat pembengkakan ekstra oral
kadangkadang disertai demam.lipatan mukobukal terangkat, pada
palpasi lunak dan fluktuasi podotip. Bila abses berasal darigigi
insisivus atas maka sulkus nasolabial mendatar, terangatnya sayap

29
hidung dan kadang-kadang pembengkakan pelupuk mata bawah.
Kelenjar limfe submandibula membesar dan sakit pada palpasi.

a b
d. Abses fosa kanina
Fosa kanina sering merupakan tempat infeksi yang bersal dari
gigi rahang atas pada regio ini terdapat jaringan ikat dan lemak,
serta memudahkan terjadinya akumulasi cairan jaringan. Gejala
klinis ditandai dengan pembengkakan pada muka, kehilangan
sulkus nasolabialis dan edema pelupuk mata bawah sehingga
tampak tertutup. Bibir atas bengkak, seluruh muka terasa sakit
disertai kulit yang tegang berwarna merah.

a b

e. Abses spasium bukal


Spasium bukal berada diantara m. masseter ,m. pterigoidus
interna dan m. Businator. Berisi jaringan lemak yang meluas ke
atas ke dalam diantara otot pengunyah, menutupi fosa
retrozogomatik dan spasium infratemporal. Abses dapat berasal
dari gigi molar kedua atau ketiga rahang atas masuk ke dalam
spasium bukal.
Gejala klinis abses ini terbentuk di bawah mukosa bukaldan
menonjol ke arah rongga mulut. Pada perabaan tidak jelas ada
proses supuratif, fluktuasi negatif dan gigi penyebab kadang-
kadang tidak jelas. Masa infeksi/pus dapat turun ke spasium

30
terdekat lainnya. Pada pemeriksaan estraoral tampak
pembengkakan difus, tidak jelas pada perabaan.

f. Abses spasium infratemporal a


Abses ini jarang terjadi, tetapi bila terjadi sangat berbahaya
dan sering menimbulkan komplikasi yang fatal. Spasium
infratemporal terletak di bawah dataran horisontal arkus-
zigomatikus dan bagian lateral di batasi oleh ramus mandibula dan
bagian dalam oleh m.pterigoid interna. Bagian atas dibatasi oleh
m.pterigoid eksternus. Spasium ini dilalui a.maksilaris interna dan
n.mandibula, milohioid, lingual, businator, dan n.chorda timpani.
Berisi pleksus venus pterigoid dan juga berdekatan dengan pleksus
faringeal.

a b
g. Abses spasium submasseter
Spasium submasseter berjalan ke bawah dan ke depan diantara
insersi otot masseter bagian superfisialis dan bagian dalam.
Spasium ini berupa suatu celah sempit yang berjalan dari tepi
depan ramus antara origo m.masseter bagian tengah dan permukaan
tulang. Keatas dan belakang antara origo m.masseter bagian tengah
dan bagian dalam. Disebelah belakang dipisahkan dari parotis oleh
lapisan tipis lembar fibromuskular. Infeksi pada spasium ini berasal
dari gigi molar tiga rahang bawah, berjalan melalui permukaan
lateral ramus ke atas spasium ini.

31
Gejala klinis dapat berupa sakit berdenyut diregio ramus
mansibula bagian dalam, pembengkakan jaringan lunak muka
disertai trismus yang berjalan cepat, toksik dan delirium. Bagian
posterior ramus mempunyai daerah tegangan besar dan sakit pada
penekanan.

h. Abses spasium submandibula


Spasium ini terletak dibagian bawah m.mylohioid yang
memisahkannya dari spasium sublingual. Lokasi ini di bawah dan
medial bagian belakang mandibula. Dibatasi oleh m.hiooglosus dan
m.digastrikus dan bagian posterior oleh m.pterigoid eksternus.
Berisi kelenjar ludah submandibula yang meluas ke dalam spasium
sublingual. Juga berisi kelenjar limfe submaksila. Pada bagian luar
ditutup oleh fasia superfisial yang tipis dan ditembus oleh arteri
submaksilaris eksterna.
Infeksi pada spasium ini dapat berasal dari abses dentoalveolar,
abses periodontal dan perikoronitis yang berasal dari gigi premolar
atau molar mandibula.

i. Abses sublingual
Spasium sublingual dari garis median oleh fasia yang tebal ,
teletek diatas m.milohioid dan bagian medial dibatasi oleh
m.genioglosus dan lateral oleh permukaan lingual mandibula.

32
Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan daasarr mulut
dan lidah terangkat, bergerser ke sisi yang normal. Kelenjar
sublingual aan tampak menonjol karena terdesak oleh akumulasi
pus di bawahnya. Penderita akan mengalami kesulitan menelen dan
terasa sakit.

j. Abses spasium submental


Spasium ini terletak diantara m.milohioid dan m.plastima. di
depannya melintang m.digastrikus, berisi elenjar limfe submental.
Perjalanan abses kebelakang dapat meluas ke spasium mandibula
dan sebaliknya infesi dapat berasal dari spasium submandibula.
Gigi penyebab biasanya gigi anterior atau premolar.
Gejala klinis ditandai dengan selulitis pada regio submental.
Tahap akhir akan terjadi supuratif dan pada perabaan fluktuatif
positif. Pada npemeriksaan intra oral tidak tampak adanya
pembengkakan. Kadang-kadang gusi disekitar gigi penyebab lebih
merah dari jaringan sekitarnya. Pada tahap lanjut infeksi dapat
menyebar juga kearah spasium yang terdekat terutama kearah
belakang.

k. Abses spasium parafaringeal


Spasium parafaringeal berbentuk konus dengan dasar kepala
dan apeks bergabung dengan selubung karotid. Bagian luar dibatasi
oleh muskulus pterigoid interna dan sebelah dalam oleh muskulus
kostriktor. sebelah belakang oleh glandula parotis, muskulus
prevertebalis dan prosesus stiloideus serta struktur yang berasal
dari prosesus ini. Kebelakang dari spasium ini merupakan lokasi

33
arteri karotis, vena jugularis dan nervus vagus, serta sturktur saraf
spinal, glosofaringeal, simpatik, hipoglosal dan kenjar limfe.
Infeksi pada spasium ini mudah menyebar keatas melalui
berbagai foramina menuju bagian otak. Kejadian tersebut dapat
menimbulkan abses otak, meningitis atau trombosis sinus. Bila
infeksi berjalan ke bawah dapat melalui selubung karotis sampai
mediastinuim.

3.4. Tahapan Infeksi Odontogen


Infeksi odontogenik umumnya melewati tiga tahap sebelum mereka
menjalani resolusi (Li dkk., 2000):
1. Selama 1 sampai 3 hari - pembengkakan lunak, ringan, lembut, dan
adonannya konsisten.
2. Antara 5 sampai 7 hari tengahnya mulai melunak dan abses merusak
kulit atau mukosa sehingga membuatnya dapat di tekan. Pus mungkin
dapat dilihat lewat lapisan epitel, membuatnya berfluktuasi.
3. Akhirnya abses pecah, mungkin secara spontan atau setelah
pembedahan secara drainase. Selama fase pemecahan, regio yang
terlibat kokoh/tegas saat dipalpasi disebabkan oleh proses pemisahan
jaringan dan jaringan bakteri.

3.6.Mekanisme Infeksi Odontogen


Sumber Infeksi Odontogen
1. Periodontium: Jaringan untuk mengikat gigi didalam tulang alveolus.
Jalur periodontal merupakan jalur dari hasil inokulasi bakteri pada
periodontal poket. Pada serabut periodonsium yang mengalami kerusakan,
gigi akan goyang, dan kuman-kuman akan lebih mudah mencapai daerah
ujung akar gigi dan masuk saluran darah. Pyorhea (gejala keluarnya nanah
dari satu gusi yang berasal dari peradangan karena rusaknya
periodonsium) (Ariji et al., 2002).
2. Periapikal : Ujung dari akar gigi.
Penyebab yang berasal dari periapikal adalah yang paling sering
karies gigi atau gigi berlubang yang tidak dirawat atau dibiarkan saja lama
kelamaan dapat menyebabkan infeksi periapikal. Infeksi periapikal yang

34
kronis dapat menyebabkan terbentuknya granuloma, kista, dan abses (Ariji
et al., 2002).
Pulpa gigi yang nekrosis akibat karies profunda member jalan bagi
bakteri untuk masuk kedalam jaringan periapikal. Infeksi akan menyebar
kedaerah yang minimal resistensi (Ariji et al., 2002).
3. Perikoronal
Jalur ini sebagai hasil dari terperangkapnya sisa-sisa makanan di bawah
operkulum yang terjadi pada gigi yang tidak/ belum tumbuh sempurna
(Ariji et al., 2002).
Penyebaran Infeksi Odontogen
1. Transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen)
Gingiva, gigi, tulang penyangga, dan stroma jaringan lunak di
sekitarnya merupakan area yang kaya dengan suplai darah. Hal ini
meningkatkan kemungkinan masuknya organisme dan toksin dari daerah
yang terinfeksi ke dalam sirkulasi darah. Di lain pihak, infeksi dan
inflamasi juga akan semakin meningkatkan aliran darah yang selanjutnya
menyebabkan semakin banyaknya organisme dan toksin masuk ke dalam
pembuluh darah (Robertson, dkk, 1996).
2. Transmisi melalui aliran limfatik (limfogen)
Seperti halnya suplai darah, gingiva dan jaringan lunak pada mulut
kaya dengan aliran limfatik, sehingga infeksi pada rongga mulut dapat
dengan mudah menjalar ke kelenjar limfe regional. Pada rahang bawah,
terdapat anastomosis pembuluh darah dari kedua sisi melalui pembuluh
limfe bibir. Akan tetapi anastomosis tersebut tidak ditemukan pada rahang
bawah (Robertson, dkk, 1996).
Kelenjar getah bening regional yang terkena adalah sebagai berikut
(Robertson, dkk, 1996):

Sumber Infeksi Kelenjar Getah Bening


Regional
Gingiva bawah Submaksila
Jaringan subkutan bibir bawah Submaksila, submental,
servikal profunda
Jaringan submukosa bibir atas Submaksila
dan bawah

35
Gingiva dan palatum atas Servikal profunda
Pipi bagian anterior Parotis
Pipi bagian posterior Submaksila, fasial
(Robertson, dkk, 1996).

3. Peluasan langsung infeksi dalam jaringan


Hippocrates pada tahun 460 sebelum Masehi menyatakan bahwa
supurasi yang berasal dari gigi ketiga lebih sering terjadi daripada gigi-gigi
lain dan cairan yang disekresikan dari hidung dan nyeri juga berkaitan
dengan hal tersebut, dengan kata lain infeksi antrum. Supurasi peritonsilar,
faringeal, adenitis servikal akut, selulitis, dan angina Ludwig dapat
disebabkan oleh penyakit periodontal da infeksi perikoronal sekitar molar
ketiga. Parotitis, keterlibatan sinus kavernosus, noma, dan gangren juga
dapat disebabkan oleh infeksi gigi. Osteitis dan osteomyelitis seringkali
merupakan perluasan infeksi dari abses alveolar dan pocket periodontal.
Keterlibatan bifurkasio apikal pada molar rahang bawah melalui infeksi
periodontal merupakan faktor yang penting yang menyebabkan
osteomyelitis dan harus menjadi bahan pertimbangan ketika mengekstraksi
gigi yang terinfeksi (Robertson, dkk, 1996).
Perluasan langsung infeksi dapat terjadi melalui penjalaran
material septik atau organisme ke dalam tulang atau sepanjag bidang fasial
dan jaringan penyambung di daerah yang paling rentan. Tipe terakhir
tersebut merupakan selulitis sejati, di mana pus terakumulasi di jaringan
dan merusak jaringan ikat longgar, membentuk ruang (spaces),
menghasilkan tekanan, dan meluas terus hingga terhenti oleh barier
anatomik. Ruang tersebut bukanlah ruang anatomik, tetapi merupakan
ruang potensial yang normalnya terisi oleh jaringan ikat longgar. Ketika
terjadi infeksi, jaringan areolar hancur, membentuk ruang sejati, dan
menyebabkan infeksi berpenetrasi sepanjang bidang tersebut, karena fasia
yang meliputi ruang tersebut relatif padat (Robertson, dkk, 1996).

36
Perluasan langsung infeksi terjadi melalui tiga cara, yaitu (Robertson, dkk,
1996):
Perluasan di dalam tulang tanpa pointing
Area yang terkena terbatas hanya di dalam tulang,
menyebabkan osteomyelitis. Kondisi ini terjadi pada rahang atas atau yang
lebih sering pada rahang bawah. Di rahang atas, letak yang saling
berdekatan antara sinus maksila dan dasar hidung menyebabkan mudahnya
ketelibatan mereka dalam penyebaran infeksi melalui tulang.
Perluasan di dalam tulang dengan pointing
Ini merupakan tipe infeksi yang serupa dengan tipe di atas, tetapi
perluasan tidak terlokalisis melainkan melewati tulang menuju jaringan
lunak dan kemudian membentuk abses. Di rahang atas proses ini
membentuk abses bukal, palatal, atau infraorbital. Selanjutnya, abses
infraorbital dapat mengenai mata dan menyebabkan edema di mata. Di
rahag bawah, pointing dari infeksi menyebabkan abses bukal. Apabila
pointing terarah menuju lingual, dasar mulut dapat ikut terlibat atau pusa
terdorong ke posterior sehingga membentuk abses retromolar atau
peritonsilar.
Perluasan sepanjang bidang fasial
Menurut HJ Burman, fasia memegang peranan penting karena
fungsinya yang membungkus berbagai otot, kelenjar, pembuluh darah, dan
saraf, serta karena adanya ruang interfasial yang terisi oleh jaringan ikat
longgar, sehingga infeksi dapat menurun.

Di bawah ini adalah beberapa fasia dan area yang penting, sesuai dengan
klasifikasi dari Burman:
a) Lapisan superfisial dari fasia servikal profunda
b) Regio submandibula
c) Ruang (space) sublingual
d) Ruang submaksila
e) Ruang parafaringeal

37
Rute yang paling umum penyebaran peradangan adalah melalui
kontinuitas jarinan dan spasia jaringan. Disini, pertama nanah terbentuk di
tulang cancellous dan tersebar ke berbagai arah yang memiliki resistensi
jaringan paling buruk. Penyebaran pus ke arah bukal, lingual, atau palatal
tergantung pada posisi gigi dalam lengkung gigi, ketebalan tulang, dan
jarak perjalanan pus (Robertson, dkk, 1996).
Patogenesis Infeksi Odontogen
Infeksi odontogen biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu
adanya karies gigi yang sudah mendekati ruang pulpa, kemudian akan
berlanjut menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi kematian pulpa
(nekrosis pulpa). Infeksi odontogen dapat terjadi secara lokal maupun
meluas secara cepat. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa
menembus masuk ruang pulpa sampai apeks gigi. Foramen apikalis pada
pulpa tidak dapat mendrainase pulpa yang terinfeksi yang selanjutnya
proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau jaringan lain
yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut (Li dkk., 2000).
Penyebaran infeksi melalui foramen apikal, kemudian terjadi proses
inflamasi di sekitar periapikal di daerah membran periodontal berupa suatu
periodontitis apikalis. Rangsangan yang ringan dan kronis menyebabkan
membran periodontal di apikal mengadakan reaksi membentuk dinding
untuk mengisolasi penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap
iritasi tersebut dapat berupa periodontitis apikalis yang supuratif atau abses
dentoalveolar (Li dkk., 2000).

3.7.Penatalaksanaan Infeksi Odontogen


Prinsip Penatalaksanaan Infeksi Odontogenik
Insidiensi, kegawatan, setra kematian pada kasus infeksi
odontogenik menurun secara drastis 60 tahun belakangan semenjak
ditemukannya penicillin sebagai terapi pada infeksi odontogenik.
Kemudian, Dr. Guralnick mengaplikasikan prinsip-prinsip penting dari
jalan keluarnya infeksi yaitu melalui bedah agresif drainase yang
disebabkan oleh abses atau selulitis (Fragiskos, 2007).

38
Belakangan ini, Dr. Larry Peterson menjadikan prinsip
penatalaksanaan infeksi odontogenik menjadi 8 langkah yang apabila
diikuti dengan baik akan menjamin tingginya tingkat perawatan. 8
Prinsip tersebut adalah (Fragiskos, 2007):
1) Tentukan Keparahan Infeksi
Dalam menentukan keparahan infeksi dari penderita, dokter wajib
memeriksa secara detail riwayat serta fisik pasien untuk mengetahui
lokasi anatomis, progress infeksi serta apakah infeksi ini
membahayakan saluran napas (Fragiskos, 2007).
a. Lokasi Anatomis
Lokasi spasia leher dan kepala dapat menentukan derajat
keparahan dari infeksi. Misalnya; spasia bukal, infra orbital dan
periosteal dikategorikan dengan tingkat keparahan yang rendah
karena infeksi di spasia ini tidak mengganggu saluran nafas
(Fragiskos, 2007):
b. Progress Infeksi
Progres infeksi dapat kita dapatkan dari anamnesa onset
penyakit, serta tanda dan gejala yang dikeluhkan pasien.
c. Saluran Nafas
Kasus kematian karena infeksi odontogenik paling banyak
disebabkan oleh obstruksi saluran napas. Jadi, dokter harus
memperhatikan apabila infeksi odonogenik menyebabkan
gangguan saluran napas. Apabila terjadi obstruksi saluran napas
komplit, penanganan yang dapat dilakukan adalah dengan intubasi
endotrakeal, trakeatomi. Sedangkan apabila terjadi obstruksi
saluran nafas inkomplit, yang harus dilakukan adalah dengan
memosisikan pasien dengan posisi sniffing yaitu ke atas dengan
dagu diangkat (Peterson, 2004).
2) Evaluasi pertahanan host.
Dokter wajib mengetahui kondisi pasien apakah memiliki
penyakit/ kelainan sistemik atau tidak. Penyakit sistemik nantinya
akan mengganggu bahkan lebih membahayakan pasien, misalnya

39
diabetes, terapi kortikosteroid, translantasi organ, malnutrisi dan
penderita AIDS (Peterson, 2004).
3) Tentukan pengaturan perawatan.
Wajib diperhatikan perawatan pada pasien, apakah pasien
tersebut dapat dirawat jalan atau wajib dirawat di RS. Berikut ini
adalah tanda dan gejala yang mengindikasikan pasien dirawat di
rumah sakit (Peterson, 2004):
0
a. Teperatur > 38,8 C
b. Dehidrasi
c. Gangguan saluran pernafasan
d. Infeksi berat
e. Membutuhkan anestesi umum
f. Membutuhkan kontrol sistemik
4) Lakukan pembedahan.
Perawatan pada abses pada prinsipnya adalah insisi dan
drainase. Insisi adalah pembuatan jalan keluar nanah secara bedah
(dengan scapel). Drainase adalah tindakan eksplorasi pada fascial
space yang terlibat untuk mengeluarkan nanah dari dalam jaringan,
biasanya dengan menggunakan hemostat. untuk mempertahankan
drainase dari pus perlu dilakukan pemasangan drain, misalnya dengan
rubber drain atau penrose drain, untuk mencegah menutupnya luka
insisi sebelum drainase pus tuntas (Peterson, 2004).
Apabila belum terjadi drainase spontan, maka perawatan abses
vestibular adalah insisi dan drainase pada puncak fluktuasi dan
drainase dipertahankan dengan pemasangan drain (drain karet atau
kasa), pemberian antibiotik untuk mencegah penyebaran infeksi dan
analgesik sebagai penghilang sakit. Pencabutan dilakukan setelah
gejala akutnya mereda. Apabila sudah terjadi drainase spontan (sudah
ada fistula) maka dapat langsung dilakukan pencabutan gigi penyebab.
Pencabutan gigi yang terlibat (menjadi penyebab abses) biasanya
dilakukan sesudah pembengkakan sembuh dan keadaan umum
penderita membaik. Dalam keadaan abses yang akut tidak boleh
dilakukan pencabutan gigi karena manipulasi ekstraksi yang dilakukan

40
dapat menyebarkan radang sehingga mungkin terjadi osteomyelitis
(Peterson, 2004).
Ada beberapa tujuan dari tindakan insisi dan drainase, yaitu
mencegah terjadinya perluasan abses/infeksi ke jaringan lain,
mengurangi rasa sakit, menurunkan jumlah populasi mikroba beserta
toksinnya, memperbaiki vaskularisasi jaringan (karena pada daerah
abses vakularisasi jaringan biasanya jelek) sehingga tubuh lebih
mampu menanggulangi infeksi yang ada dan pemberian antibiotok
lebih efektif, dan mencegah terjadinya jaringan parut akibat drainase
spontan dari abses. Selain itu, drainase dapat juga dilakukan dengan
melakukan open bur dan ekstirpasi jarngan pulpa nekrotik, atau
dengan pencabutan gigi penyebab (Peterson, 2004).
Secara umum, pembedahan untuk inf odontogenik tidak sulit.
Pertama-tama dokter wajib mengetahui anatomi dari fasia-fasia yang
terdapat pada kepala dan leher. Jika sudah dapat dilakukan suatu insisi
kecil. Berikut ini lokasi insisi pada berbagai fasia (Peterson, 2004):

5) Dukungan Medis.
Perawatan medis suportif untuk pasien infeksi odontogenik
adalah dengan memperhatikan asupan nutrisi, memperhatikan hidrasi
dan mengontrol gejala demamnya (Peterson, 2004).
6) Pemberian anti biotik yang tepat.
Pemakaian antibiotik dalam perawatan medikasi lebih
diutamakan dengan tujuan untuk mencegah penyebaran infeksi.
Pemilihan antibiotik dilakukan berdasarkan bakteri penyebab infeksi.
Terdapat dua faktor mikrobiologi yang harus ada di dalam benak

41
dokter gigi pada saat memilih antibiotik. Pertama, antibiotik harus
efektif melawan organisme Streptococcus selama bakteri ini paling
banyak ditemukan. Kedua, antibiotik harus efektif melawan bakteri
anaerobik sprektrum luas (Peterson, 2004).
Penisilin masih menjadi drug of choice yang sensitif terhadap
organisme Streptococcus (aerobik dan anaerobik), namun sayangnya
antibiotik jenis ini mengalami resistensi (Peterson, 2004). Penisilin
dibagi menjadi penisilin alam dan semisintetik. Penisilin alam
memiliki beberapa kelemahan antara lain tidak tahan asam lambung,
inaktivasi oleh penisilinase, spektrum sempit dan sering menimbulkan
sensitivitasi pada penderita yang tidak tahan terhadap penisilin. Untuk
mengatasi hal tersebut, dapat digunakan penisilin semisintetik antara
lain amfisilin (sprektrum luas, tidak dirusak asam lambung, tetapi
dirusak oleh penisilinase) dan kloksisilin (efektif terhadap abses,
osteomielitis, tidak dirusak oleh asam lambung dan tahan terhadap
penisilinase) (Peterson, 2004).

Penggunaan penisilin di dalam klinik antara lain adalah


ampisilin dan amoksisilin. Absorbsi ampisilin oral seringkali tidak
cukup memuaskan sehingga perlu peningkatan dosis. Absorbsi
amoksisilin di saluran cerna jauh lebih baik daripada ampisilin.
Dengan dosis oral yang sama, amoksisilin mencapai kadar dalam
darah yang tingginya kira-kira 2 kali lebih tinggi daripada ampisilin,
sedangkan masa paruh eleminasi kedua obat ini hampir sama.
Penyerapan ampisilin terhambat oleh adanya makanan di lambung,
sedangkan amoksisilin tidak (Peterson, 2004). Namun, akhir-akhir ini
penggunaan metronidazole sangat populer dalam perawatan infeksi

42
odontogen. Metronidazole tidak memiliki aktivitas dalam melawan
bakteri aerob, tetapi efektif terhadap bakteri anaerob (Peterson, 2004).
Abses gigi sering kali dapat menimbulkan rasa nyeri. Nyeri gigi
yang muncul akibat keradangan salah satunya disebakan oleh adanya
infeksi dentoalveolar yaitu masuknya mikroorganisme patogen ke
dalam tubuh melalui jaringan dentoalveolar (Peterson, 2004). Untuk
mengatasi hal tersebut biasanya melalui pendekatan farmakologis
dengan pemberian obat analgesik untuk meredakan rasa nyeri dengan
efek analgesiknya kuat dan cepat dengan dosis optimal. Pasien dengan
nyeri akut memerlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan
cepat, efek samping dari obat lebih dapat ditolerir daripada nyerinya
(Peterson, 2004).
Obat anti inflamasi non steroid (non streroidal antiinflammatory
drugs/ NSAIDs) adalah golongan obat yang terutama bekerja perifer
dan memiliki aktivitas penghambat radang dengan mekanisme kerja
menghambat biosintesis prostaglandin melalui penghambatan aktivitas
enzim siklooksigenase (Peterson, 2004). Efek analgesik yang
ditimbulkan ini menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat
menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik
dan kimiawi. Prostaglandin dapat menimbulkan keadaan hiperalgesia
kemudian mediator kimiawi seperti bradikini dan histamin
merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata (Peterson, 2004).
Efek analgesik NSAIDs telah kelihatan dalam waktu satu jam
setelah pemberian per-oral. Sementara efek antiinflamasi telah tampak
dalam waktu satu-dua minggu pemberian, sedangkan efek
maksimalnya timbul bervariasi dari 1-4 minggu. Setelah
pemberiannya peroral, kadar puncaknya di dalam darah dicapai dalam
waktu 1-3 jam setelah pemberian, penyerapannya umumnya tidak
dipengaruhi oleh adanya makanan (Peterson, 2004).
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik; sebagai
antiinflamasi, asam mefenamat kurang efektif dibandingkan dengan
aspirin. Asam mefenamat terikat sangat kuat pada protein plasma.
Oleh karena itu, interaksi terhadap obat antikoagulan harus
diperhatikan. Efek samping pada saluran cerna sering timbul misalnya

43
dispepsia dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung. Dosis asam
mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari (Peterson, 2004).
7) Mengadministrasikan AB dengan benar.
Rute pemberian atau administrasi dari antibiotik haruslah tepat
guna mencapai target etiologi infeksi odontogenik tersebut. Misalnya
dengan pemberian oral atau intravena (Peterson, 2004).
8) Evaluasi Pasien secara Teratur.
Tindakan yang wajib dilakukan khususnya setelah tindakan
bedah insisi dan drainase adalah follow up pasien 2 hari setelah
tindakan. Dilihat apakah pembengkakan berkurang, gejala berkurang,
dan sebagainya. Apabila kondisi memburuk atau dapat dikatakan
perawatan gagal, kemungkinannya dikarenakan (Peterson, 2004):
a. Operasi tidak adekuat
b. Pertahanan tubuh yang lemah
c. Bagian tubuh yang asing
d. Masalah antibiotik

4. Lesi Rongga Mulut


4.1. Definisi Lesi
Lesi adalah suatu kelainan patologis pada jaringan yang menimbulkan
gejala/simtom. Menurut Harty dan Ogston (1995), lesion merupakan istilah
yang luas untuk menggambarkan zona jaringan yang fungsinya terganggu
akibat penyakit atau trauma.
4.2. Jenis-jenis Lesi
A. Lesi Primer
Lesi primer dapat terbentuk dari kulit yang sebelumnya normal, dan
meliputi perubahan-perubahan berbatas, datar, tidak dapat diraba terhadap
warna kulit, seperti makula dan bercak; massa padat yang dapat diraba,

44
menonjol, seperti papel/bintil, plak, nodul, tumor, dan wheal/gelegata; dan
tonjolan dangkal berbatas pada kulit yang terbentuk oleh cairan bebas
dalam rongga di dalam lapisan kulit, seperti vesikel, bula, dan pustula
(Goesoer, 2008).
a. Makula
Titik sampai bercak
Dari mm hingga cm
Warna :
Berasal dari vaskularisasi
Berasal dari pigmen merah
Berasal dari pigmen melanin

b. Papula
Lesi yang membenjol padat
Kurang dari 1cm diameternya
Permukaan papula : Erosi atau deskuamasi
Makula dan papula terasa gatal, rasa terbakar dan nyeri
c. Plak
Ukuran diameternya lebih besar dari 1 cm
Misalnya :
Leukoplakia (Lesi pra-ganas, lesi ini bisa menjadi ganas)

45
d. Nodula
Suatu massa yang padat
Membenjol yang tebal dan kurang dari 1 cm diameternya
Dapat hilang sendiri atau tidak, setelah iritasi kronis dihilangkan (misal
eksisi)
e. Vesikula
Suatu benjolan kulit berisi cairan dan berbatas jelas
Diameternya kurang dari 1cm
Misalnya : Cacar Air

f. Bula
Suatu benjolan kulit berisi cairan yang lebih besar dari 1 cm
diameternya
Dapat terbentuk karena adanya trauma mekanis atau gesekan
Misalnya : Pemphigus Vulgaris
g. Pustula
Suatu vesikel yang berisi eksudat purulen

h. Keratosis
Penebalan yang abnormal dari lapisan terluar epitel (stratum korneum)
Berwarna putih keabuan
Misalnya : Linea Alba bukalis, Leukoplakia, Lichen Planus
i. Wheals

46
Suatu papula atau plak yang bewarna merah muda , edema, dan berisi
serum
Edema kulit yang menjadi gelembung yang hanya muncul singkat dan
menimbulkan rasa gatal
Misalnya : Gigitan nyamuk dan urtikaria
j. Tumor
Massa padat, besar, meninggi dan berukuran lebih dari 1 sampai 2 cm
Tumor bisa ganas atau jinak
Misalnya : -Kanker payudara versus limfoma (tumor jinak yang
sebagian terbentuk sebagian besar dari jaringan adipose)
B. Lesi Sekunder
Lesi sekunder terbentuk dari perubahan-perubahan lesi primer, dan
meliputi lesi yang menyebabkan hilangnya permukaan kulit, seperti ulser
atau fisura, sebagaimana juga dengan lesi-lesi yang melibatkan material
muncul pada permukaan kulit, seperti krusta atau kerak (Goesoer, 2008).
1. Erosi

Hilangnya epitel di atas lapisan sel basal

Dapat sembuh tanpa jaringan parut

Misalnya : Kulit setelah mengala

2. Fisur

Retak linier pada kulit yang meluas melalui epidermis dan


memaparkan dermis

Dapat terjadi pada kulit kering dan inflamasi kronis

47
Suatu celah dalam epidermis

Misalnya : -Fissure tongue , -Geographic tongue

3. Sinus

Suatu saluran yang memanjang dan rongga supuratif , kista atau abses

Misalnya: Abses Periapikal

4. Skiatriks

Pembentukan jaringan baru yang berlebihan dalam proses


penyembuhan luka

Misalnya: Keloid

5. Deskuamasi

Pengelupasan lapisan epitel (stratum korneum) Bisa secara fisiologis


Pelepasan epitel sehingga kulit mengalami regenerasi

5. Kandidiasis Oral
5.1. Definisi Kandidiasis Oral
Kandidiasis oral merupakan salah satu penyakit pada rongga mulut
berupa lesi merah dan lesi putih yang disebabkan oleh jamur jenis Kandida
sp, dimana Kandida albikan merupakan jenis jamur yang menjadi
penyebab utama. Kandida albikan merupakan organisme komensal dan
merupakan bagian dari flora mulut, serta mampu menghasilkan infeksi-
infeksi oportunis dalam rongga mulut jika ada faktor-faktor predisposisi
yang mendukung (Springhouse, 2005)
5.2. Klasifikasi dan Gambaran Klinis

48
Gambaran klinis kandidiasis oral tergantung pada keterlibatan
lingkungan dan interaksi organisme dengan jaringan pada host. Adapun
kandidiasis oral dikelompokkan atas tiga, yaitu :
1 Kandidiasis Akut

a Kandidiasis Pseudomembranosus Akut


Kandidiasis pseudomembranosus akut yang disebut juga sebagai
thrush, pertama sekali dijelaskan kandidiasis ini tampak sebagai plak
mukosa yang putih, difus, bergumpal atau seperti beludru, terdiri dari
sel epitel deskuamasi, fibrin, dan hifa jamur, dapat dihapus
meninggalkan permukaan merah dan kasar (Simatupang,2009). Pada
umumnya dijumpai pada mukosa pipi, lidah, dan palatum lunak.
Penderita kandidiasis ini dapat mengeluhkan rasa terbakar pada
mulut.Kandidiasis seperti ini sering diderita oleh pasien dengan
sistem imun rendah, seperti HIV/AIDS, pada pasien yang
mengkonsumsi kortikosteroid, dan menerima kemoterapi.Diagnosa
dapat ditentukan dengan pemeriksaan klinis, kultur jamur, atau
pemeriksaan mikroskopis secara langsung dari kerokan jaringan
(Rosie,1997).

b Kandidiasis Atropik Akut


Kandidiasis jenis ini membuat daerah permukaan mukosa oral
mengelupas dan tampak sebagai bercak-bercak merah difus yang
rata (Rosie,1997). Infeksi ini terjadi karena pemakaian antibiotik
spektrum luas, terutama Tetrasiklin, yang mana obat tersebut dapat
mengganggu keseimbangan ekosistem oral antara Lactobacillus
acidophilus dan Kandida albikan. Antibiotik yang dikonsumsi oleh
pasien mengurangi populasi Lactobacillus dan memungkinkan
Kandida tumbuh subur.Pasien yang menderita Kandidiasis ini akan
mengeluhkan sakit seperti terbakar (Simatupang,2009).

49
2. Kandidiasis Kronik
a. Kandidiasis Atropik Kronik
Disebut juga denture stomatitis atau alergi gigi tiruan.
Mukosa palatum maupun mandibula yang tertutup basis gigi tiruan
akan menjadi merah, kondisi ini dikategorikan sebagai bentuk dari
infeksi Kandida.Kandidiasis ini hampir 60% diderita oleh pemakai
gigi tiruan terutama pada wanita tua yang sering memakai gigi tiruan
selagi tidur (Bagg et al,2006).

b. Kandidiasis Hiperplastik Kronik


Infeksi jamur timbul pada mukosa bukal atau tepi lateral lidah
berupa bintik-bintik putih yang tepinya menimbul tegas dengan
beberapa daerah merah. Kondisi ini dapat berkembang menjadi
displasia berat atau keganasan, dan kadang disebut sebagai Kandida
leukoplakia.Bintik-bintik putih tersebut tidak dapat dihapus,
sehingga diagnosa harus ditentukan dengan biopsi.Kandidiasis ini
paling sering diderita oleh perokok (Bagg et al,2006).

c. Median Rhomboid Glositis

50
Median Rhomboid Glositis adalah daerah simetris kronis di
anterior lidah ke papila sirkumvalata, tepatnya terletak pada
duapertiga anterior dan sepertiga posterior lidah.Gejala penyakit ini
asimptomatis dengan daerah tidak berpapila (Simatupang,2009).

3. Keilitis Angularis
Keilitis angularis merupakan infeksi Kandida albikan pada sudut
mulut, dapat bilateral maupun unilateral. Sudut mulut yang terkena
infeksi tampak merah dan pecah-pecah, dan terasa sakit ketika
membuka mulut. Keilitis angularis ini dapat terjadi pada penderita
defisiensi vitamin B12 dan anemia defisiensi besi (Farah,2010).

5.3. Etiologi
Kandida merupakan mikroflora normal dalam rongga mulut, dimana
mikroorganisme ini jumlahnya mencapai 40 60 % dari populasi. Jamur
ini dapat menjadi patogen dalam kondisi tertentu atau pada orang orang
yang mengalami penurunan sistem imun tubuh. Penyebab kandidiasis oral
umumnya adalah jamur Candida albicans. Dalam rongga mulut, Candida
albicans dapat melekat pada mukosa labial, mukosa bukal, dorsum lidah,
dan daerah palatum. Selain Candida albicans, ada 10 spesies Candida
yang juga ditemukan yaitu C.tropicalis, C.parapsilosis, C.krusei, C.kefyr,
C. glabrata, dan C.guilliermondii, C.pseudotropicalis, C.lusitaniae,
C.stellatoidea, dan C.dubliniensis (Simatupang,2009).
5.4. Faktor Predisposisi Oral Candidiasis

51
Terjadinya Kandidiasis di pengaruhi oleh beberapa faktor terutama:
pengguna protesa (Penggunaan protesa menyebabkan kurangnya
pembersihan oleh saliva dan pengelupasan epitel, hal ini mengakibatkan
perubahan pada mukosa), serostomia (sjogren syndrome) (Pada penderita
serostomia, penderita yang di obati oleh radio aktif, dan yang
menggunakan obat obatan sitotoksis mempunyai mekanisme
pembersihan dan di hubungkan dengan pertahanan host menurun, hal
ini mengakibatkan mukositis dan glositis), penggunaan radio therapy, obat
obatan sitotoksis, konsentrasi gula dalam darah (diabetes), penggunaan
antibiotik atau kortikosteroid (Penggunaan antibiotic dan kortikosteroid
akan menghambat pertumbuhan bakteri komensal sehingga
mengakibatkan pertumbuhan kandida yang lebih banyak.dan
menurunkan daya tahan tubuh,karena kortikosteroid mengakibatkan
penekanan sel mediated immune. (Jainkittivong, 2007), penyakit
keganasan (neoplasma) (Pada penderita yang mengalami kelainan darah
atau adanya pertumbuhan jaringan (keganasan), sistem fagositosinya
menurun, karena fungsi netrofil dan makrofag megalami kerusakan),
kehamilan, defisiensi nutrisi, penyakit kelainan darah, dan Penderita
Immuno supresi (AIDS) (Silverman S, 2001).
Secara umum, faktor predisposisi dibagi menjadi dua, yaitu faktor
yang mempengaruhi status imun hospes dan yang mempengaruhi
lingkungan mukosa oral. Faktor yang mempengaruhi status imun hospes
meliputi blood dyscrasia atau malignasi lanjut, usia tua atau bayi, terapi
radiasi atau kemoterapi, infeksi HIV atau gangguan defisiensi imun
lainnya, dan abnormalitas endokrin (diabetes melitus, hipotiroid, atau
hipoparatiroid, kehamilan, dan terapi kortikosteroid atau hipoadrenal.
Sedangkan faktor yang mempengaruhi lingkungan mukosa oral
meliputi xerostomia, terapi antibiotik, ill fitting denture, malnutrisi atau
malabsorbsi gastrointestinal, defisiensi vitamin dan mineral (zat besi dan
asam folat), saliva, asam atau diet karbohidrat tinggi, perokok berat, dan
displasia epitel oral.

52
Faktor predisposisi lokal untuk oral candidiasis
dan lesi lain yang berhubungan dengan
Candida.
Pemakaian gigi tiruan.
Merokok.
Berhubungan dengan atopik.
Inhalasi steroid.
Steroid topical.
Hyperkeratosis.
Tidak seimbangnya mikroflora mulut.
Kualitas dan kuantitas saliva.
Faktor predisposisi umum untuk oral
candidiasis.

Penyakit yang menekan sistem imun.


Status kesehatan yang terganggu.
Obat yang menekan sistem imun.
Kemoterapi.
Kelainan endokrin.
Kekurangan hematin.
Faktor-faktor predisposisi yang dihubungkan dengan
meningkatnya insidens kolonisasi dan infeksi kandida adalah :
1) Faktor mekanis : trauma (luka bakar, abrasi), oklusi lokal, lembab dan
atau malserasi, gigi palsu, bebat tertutup atau pakaian, kegemukan
2) Faktor nutrisi : avitaminosis, defisiensi besi (Kandidiasis mukokutane
kronis) , defisiensi folat, Vit B12 , malnutrisi generalis
3) Perubahan fisiologis : umur ekstrim (sangat muda/sangat tua),
kehamilan, KVV terjadi pada 50% wanita hamil terutama pada
trimester terakhir, menstruasi.
4) Penyakit sistemik : Downs Syndrome, Akrodermatitis
enteropatika, penyakit endokrin (Diabetes mellitus, penyakit
Cushing, hipoadrenalisme, hipotiroidisme, hipoparatiroidisme),
uremia, keganasan terutama hematologi (leukemia akut,
agranulositosis), Imunodefisiensi (Sindroma AID, sindroma
imunodefisiensi kombinasi berat, Sindroma Hiper immunoglobinemia
E, penyakit granulomatosus kronis, Sindroma Di George, Sindroma
Nezelof),

53
5) Penyebab iatrogenik : pemasangan kateter, dan pemberian IV,
radiasi sinar-X (Xerostomia), obat-obatan (oral parenteral
topikal - aerosol), antara lain : kortikosteroid dan imunosupresi
lain, antibiotik spektrum luas, metronidazol, trankuilaiser,
kontrasepsi oral (estrogen), kolkhisin, fenilbutason, histamine 2-
blocker.
5.5. Penatalaksanaan Kandidiasis
Kandidiasis pada rongga mulut umumnya ditanggulangi dengan
menggunakan obat antijamur,dengan memperhatikan factor
predisposisinya atau penyakit yang menyertainya, hal tersebut berpengaruh
terhadap keberhasilan pengobatan atau penyembuhan (Lewis, 1998).
Obat-obat antijamur diklasifikasikan menjadi beberapa golongan yaitu
(Lewis, 1998):
1) Antibiotik
a. Polyenes :amfotericin B, Nystatin, Hamycin, Nalamycin
b. Heterocyclicbenzofuran : griseofulvin
2) Antimetabolite: Flucytosine (5 Fe)
3) Azoles
a. Imidazole (topical): clotrimazol, Econazol, miconazol (sistemik) :
ketokonazole
b. Triazoles (sistemik) : Flukonazole, Itrakonazole
4) Allylamine Terbinafine
5) Antijamur lainnya : tolnaftate, benzoic acid, sodiumtiosulfat.
Dari beberapa golongan antijamur tersebut diatas, yang efektif
untuk kasus kasus pada rongga mulut, sering digunakan antara lain
amfotericine B, nystatin, miconazole, clotrimazole, ketokonazole,
itrakonazole dan flukonazole (Lewis, 1998).
Amfoterisin B dihasilkan oleh Streptomyces nodusum, mekanisme
kerja obat ini yaitu dengan cara merusak membran sel jamur. Efek
samping terhadap ginjal seringkali menimbulkan nefrositik. Sediaan
berupa lozenges (10 ml ) dapat digunakan sebanyak 4 kali /hari (Lewis,
1998).
Nystatin dihasilkan oleh streptomyces noursei,mekanisme kerja obat
ini dengan cara merusak membran sel yaitu terjadi perubahan
permeabilitas membran sel. Sediaan berupa suspensi oral 100.000 U / 5ml

54
dan bentuk cream 100.000 U/g, digunakan untuk kasus denture stomatitis
(Lewis, 1998).
Miconazole mekanisme kerjanya dengan cara menghambat enzim
cytochrome P 450 sel jamur, lanosterol 14 demethylase sehingga terjadi
kerusakan sintesa ergosterol dan selanjutnya terjadi ketidak normalan
membrane sel. Sediaan dalam bentuk gel oral (20 mg/ml), digunakan 4
kali /hari setengah sendok makan, ditaruh diatas lidah kemudian
dikumurkan dahulu sebelum ditelan (Lewis, 1998).
Clotrimazole, mekanisme kerja sama dengan miconazole, bentuk
sediaannya berupa troche 10 mg, sehari 3 4 kali (Lewis, 1998).
Ketokonazole (ktz) adalah antijamur broad spectrum.Mekanisme kerjanya
dengan cara menghambat cytochrome P450 sel jamur, sehingga terjadi
perubahan permeabilitas membran sel, Obat ini dimetabolisme di
hepar.Efek sampingnya berupa mual / muntah, sakit kepala,parestesia dan
rontok. Sediaan dalam bentuk tablet 200mg Dosis satu kali /hari
dikonsumsi pada waktu makan (Lewis, 1998).
Itrakonazole, efektif untuk pengobatan kandidiasis penderita
immunocompromised. Sediaan dalam bentuk tablet ,dosis 200mg/hari.
selama 3 hari.,bentuk suspensi (100-200 mg) / hari,selama 2 minggu.
(Greenberg, 2003) Efek samping obat berupa gatal-gatal,pusing, sakit
kepala, sakit di bagian perut (abdomen),dan hypokalemi (Lewis, 1998).
Flukonazole, dapat digunakan pada seluruh penderita kandidiasis
termasuk pada penderita immunosupresiv Efek samping mual,sakit di
bagian perut, sakit kepala,eritme pada kulit. Mekanisme kerjanya dengan
cara mempengaruhi Cytochrome P 450 sel jamur, sehingga terjadi
perubahan membran sel . Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan.
Sediaan dalam bentuk capsul 50,mg,100mg, 150mg dam 200mg Single
dose dan intra vena. Kontra indikasi pada wanita hamil dan menyusui
(Lewis, 1998).
Penatalaksanaan. Walaupun kandidiasis oral tergantung pada tipe
kandidiasis, penting untuk memencilkan setiap factor predisposisi. Terapi
dilakukan berdasarkan pada penggunaan zat polyene misalnya amfoterisin

55
atau nistatin, keduanya tersedia dalam berbagai formulasi untuk
penggunaan secara topical. Juga terdapat zat imidazole. Generasi baru dari
derivate imidazole diantaranya adalah fluconazole dan itaconazole,
keduanya ternyata sangat efektif.
Bahan-bahan antijamur yang digunakan untuk pengobatan kandidiasis oral
dan perioral
Obat Format
Amfoterisin Suspensi oral 100 mg/ml
Salep 3%
Tablet 100 mg
Nistatin Krem 100 000 unit/gram
Salep 100 000 unit/gram
Pastiles 100 000 unit/gram
Suspensi oral 100 000
unit/gram
Fluconazole Kapsul 50 mg dan 150 mg
Itraconazole Kapsul 100 mg

Kandidiasis oral sering dikelompokkann menjadi empat kelompok,


yaitu (Lewis, 1998):
1) Pseudomembran akut (trush)
Penatalaksanaan. Terapi polyenen secara topical harus membawa
kesembuhan dalam 7-10 hari. Pengobatan harus dilanjutkan selama 2
minggu setelah penyembuhan klinis yang dalam istilah klinis berarti
selama 4 minggu.

2) Atrofik akut
Penatalaksanaan. Terapi polyene secara topical harus diberikan
selama 4 minggu. Terapi antibiotic harus dihindari. Penderita dengan
terapi steroid secara inhalasi harus dianjurkan untuk berkumur-kumur
dengan air setelah terapi inhalasi untuk mengurangi jumlah steroid di
dalam rongga mulut.
3) Hiperplastik kronis
Penatalaksanaan. Terapi antijamur jangka panjang (sampai 3 bulan)
harus diberikan dalam bentuk polyene secara topical. Akhir-akhir ini
telah ditemukan bahan antijamur sistemik yang dapat menghasilkan
kesembuhan klinis dalam 2-3 minggu. Setiap defisiensi zat besi serta
penyakit yang mendasarinya harus disembuhkan.
4) Atrofik kronis

56
Penatalaksanaan. Pengobatan dilakukan dengan bahn polyene
antijamur secar topical, diberikan tiap 6 jam selama 4 minggu. Pada
kasus ini kebersihan geligi tiruan merupakan hal yang penting. Oleh
karena itu penderita dianjurkan untuk merendam gigi palsunya dalam
larutan hipoklorit semalaman untuk menghindari setiap kemungkinan
pertumbuhan jamur.

5.6. Diagnosa Banding Kandidiasis


1. leukoplakia
definisi : Lesi putih berbintik atau berupa plak. Kaku, melekat
pada mukosa tidak dapat di kerok. Merupakan lesi
prekanker, Dapat berkembang menjadi keganasan,
Predileksi : mukosa bukal, lidah, lantai dari mulut, gingiva, dan bibir
bagian bawah
Etiologi : Disebabkan tembakau, alkohol, gesekan lokal kronis,
candida albican, HPV
Pemeriksaan lab: dengan histopatological examination (Laskaris,
2006).

2. Hairy leukoplakia
Definisi : Lesi yang sering dijumpai pada HIV, dan kadang
juga pada orang dengan keadaan imunokompresif.
Bukan merupakan lesi prakanker
Etiologi : epstein-barr virus
Gambaran klinis : Ditemukan bilateral atau unilateral lidah dapat
menyebar hingga dorsum dan ventral.
Karakteristik berupa permukaan lesi yang
bergelombang dengan orientasi vertikal, namun

57
lembut dan datar. Berwarna putih asimptomatik,
tidak dapat dikerok.
Pemeriksaan lab : Histological examination, in situ hybridization,
poly-merase chain reaction (PCR) and electron
microscopy (Laskaris, 2006).
3. Liken planus
Definisi :Penyakit umum relatif keradangan kronis pada
oral mukosa dan kulit.
Etiologi : Penyebab belum diketahui, kemungkinan
autoimun Sel-T.
Gambaran klinis : Terdapat lesi pada kulit berupa lesi ungu bersudut
papula. pruritic di daerah fleksor extrimitas.
Tedapat juga lesi pada gland penis dan vagina. Plak
putih, dengan wickmans striae
Predileksi : mukos bukal, lidah, dan gingiva (Laskaris, 2006).

4. Lupus eritematosus
Definisi :Penyakit imunologikal kronis.
Etiologi : Automiun
Karakteristik lesi : atropic red area yang dikelilingi oleh garis yang
nyata putih yang meninggi
Laboratory tes : Histopathological examination, direct
immunofluo-rescence
(Laskaris, 2006).
5. White sponge nevus

58
Definisi : Cannon disease. Dapat ada saat kelahiran, masa
kecil.
Etiologi : genetik, diwariskan oleh autosomal yang
dominan
Gambaran klinis : Karakteristik lesi putih simetris, beralur banyak,
dan tekstur sponge.
Predileksi : dapat dimana saja di rongga mulut, dan di
vagina dan mukosa rektal (Laskaris, 2006).
6. Diskeratosis kongenita
Definisi : ZinsserEngmanCole syn-drome, kelainan yang
jarang di dapatkan
Etiologi : genetik, kemungkinan diwariskan dari gen
resesive dan karakter X.
Karakteristik : lesi putih melepuh dengan atropi epitel dan
leukoplakia (Laskaris, 2006).

7. Chemical and traumatic lesions


Definisi : Luka pada mukosa yang disebabkan oleh topikal
aplikasi agen
etiologi : kimia penyebab (etsa, varnish, dll)
Gambaran klinis : Mukosa yang terkena akan ditutupi membran
putih yang hampir nekrosis, lesi nyeri, epitel
mudah terkelupas, meninggalkan kemerahan, dan
permukaan yang berdarah (Laskaris, 2006).
8. Cinnamon contact stomatitis
Definisi : Merupakan reaksi relatif mukosa setelah kontak
dengan cinnamon. Perasa cinamon buatan
terutama dari permen karet, permen, pastagigi dll.

59
Karkteristik : eritema mukosa selalu berhubungan dengan
deskuamasi dan erosi, plak hiperkeratotik
berwarna putih. Rasa terbakar (Laskaris, 2006).

9. Acute athropic candidiasis (antibiotik sore mouth)


Definisi : kandidiasis yang bersifat eritematus (paling sering
di palatum dan permukaan dorsal lidah pada
penderita denga n pengobatan steroid), seringkali
menimbulkan rasa sakit,
faktor predisposisi : pengobatan antibiotik, pengobatan dengan sterois
serta infeksi virus HIV (Bakar, 2012).

6. SAR
6.1. Definisi Sar
Stomatitis aftosa rekuren (SAR) adalah suatu peradangan yang terjadi
pada mukosa mulut, biasanya berupa ulser putih kekuningan. Ulser ini dapat
berupa ulser tunggal maupun lebih dari satu. SAR dapat menyerang mukosa
mulut yang tidak berkeratin yaitu mukosa bukal, labial, lateral dan ventral
lidah, dasar mulut, palatum lunak dan mukosa orofaring.
6.2. Klasifikasi Sar
SAR diklasifikasikan berdasarkan karakteristik klinisnya, yaitu
(Cawson, 2002):
1) Stomatitis Apthous Recurrent minor Aptous minor mempunyai
keceenderungan terjadi pada mukosa bergerak yang terletak pada
jaringan kelenjar saliva minor. Sering terjadi pada mukosa bibir dan

60
pipi, dan jarang terjadi pada mukosa berkeratin seperti palatum durum
dan gusi cekat. Gejala prodormal terkadang muncul. Apthous minor
tampak sebagai ulkus oval, dangkal, berwarna kuning- kelabu, dengan
diameter sekitar 3-5 mm. Tidak ada bentuk vesicle yang terlihat pada
ulkus ini. Tepi eritematosus yang mencolok mengelilingi
pseudomembran fibrinosa. Rasa terbakar merupakan keluhan awal,
diikuti rasa sakit hebat beberapa hari. Kambuh dan pola terjadinya
bervariasi. Ulkus bisa tunggal maupun multiple, dan sembuh spontan
tanpa pembentukan jaringan parut dalam waktu 14 hari. Kebanyakan
penderita mengalami ulser multiple pada 1 periode dalam waktu 1
bulan.

Gambar: Stomatitis Apthous Recurrent minor

2) Stomatitis Apthous Recurrent mayor Aptous mayor merupakan bentuk


yang lebih besar dari aptous minor, dengan ukuran diameter lebih dari
1 cm, bersifat merusak, ulser lebih dalam, dan lebih sering timbul
kembali. Umumnya terjadi pada wanita dewasa muda yang mudah
cemas. Seringnya multiple, meliputi palatum lunak, fausea tonsil,
mukosa bibir, pipi, dan lidah, kadang-kadang meluas sampai ke gusi
cekat. Ulkus ini memiliki karakteristik, crateriform, asimetris dan
unilateral. Bagian tengahnya nekrotik dan cekung. Ulkus sembuh
beberapa minggu atau bulan, dan meninggalkan jaringan parut.

61
Gambar: Stomatitis Apthous Recurrent mayor

3) Stomatitis Apthous Recurrent herpetiform Ulkus herpetiform ini,


secara klinis mirip ulkus-ulkus pada herpes primer. Gambaran berupa
erosi kelabu yang jumlahnya banyak, berukuran sekepala jarum yang
membesar, bergabung dan menjadi tak jelas batasnya. Awalnya
berdiameter 1-2 cm dan timbul berkelompok 10-100 buah. Ulkus
dikelilingi daerah eritematosus dan mempunyai gejala sakit. Biasanya
terjadi hampir pada seluruh mukosa oral terutama pada ujung anterior
lidah, tepi-tepi lidah dan mukosa labial. Sembuh dalam waktu 14 hari.

Gambar: Stomatitis Apthous Recurrent herpetiform

6.3. Tahap Perkembangan Sar


Tahap perkembangan SAR dibagi kepada 4 tahap yaitu:
1. Tahap premonitori, terjadi pada 24 jam pertama perkembangan lesi
SAR. Pada waktu prodromal, pasien akan merasakan sensasi mulut
terbakar pada tempat dimana lesi akan muncul. Secara mikroskopis sel-
sel mononuklear akan menginfeksi epitelium, dan edema akan mulai
berkembang.
2. Tahap pre-ulserasi, terjadi pada 18-72 jam pertama perkembangan lesi
SAR. Pada tahap ini, makula dan papula akan berkembang dengan tepi
eritematus. Intensitas rasa nyeri akan meningkat sewaktu tahap pre-
ulserasi ini.
3. Tahap ulseratif akan berlanjut selama beberapa hari hingga 2 minggu.
Pada tahap ini papula-papula akan berulserasi dan ulser itu akan
diselaputi oleh lapisan fibromembranous yang akan diikuti oleh
intensitas nyeri yang berkurang.
4. Tahap penyembuhan, terjadi pada hari ke - 4 hingga 35. Ulser tersebut
akan ditutupi oleh epitelium. Penyembuhan luka terjadi dan sering tidak

62
meninggalkan jaringan parut dimana lesi SAR pernah muncul. Semua
lesi SAR menyembuh dan lesi baru berkembang

6.4. Pencegahan Stomatitis


Cara mencegah penyakit ini dengan mengetahui penyebabnya, apabila
kita mengetahui penyebabnya diharapkan kepada kita untuk menghindari
timbulnya sariawan ini diantaranya dengan :

1. Menjaga kebersihan mulut


2. Mengkonsumsi nutrisi yang cukup, terutama yang mengandung vitamin
B12, vitamin C dan zat besi.
3. Menghadapi stress dengan efektif.
4. Menghindari luka pada mulut saat menggosok gigi atau saat menggigit
makanan
5. Menghindari makanan yang terlalu panas atau terlalu dingin.
6. Menghindari makanan dan obat-obatan atau zat yang dapat
menimbulkan reaksi alergi pada rongga mulut.

Pada umumnya stomatitis dapat sembuh dengan sendirinya, kecuali


stomatitis yang disebabkan jamur karena harus diobati dengan obat anti
jamur. Biasanya butuh waktu penyembuhan sekitar seminggu. Jika tak
diobati, bisa berkelanjutan. Walaupun tidak sampai menyebar ke seluruh
tubuh dan hanya disekitar mulut, akan tetapi stomatitis yang diakibatkan
oleh jamur segera diobati. Sebab jika jamur ikut tertelan, sangat mungkin
terjadi diare. Pengobatan untuk menyembuhkan stomatitis secara umum
ada dua, yaitu :


Dengan menghilangkan penyebabnya seperti anemia, avitaminosis
(kekurangan vitamin dan mineral) dan infeksi berat.

Dengan menghindarkan penyebab seperti kebiasaan merokok, bumbu
masak yang merangsang, makan makanan panas, serta selalu menjaga
kebersihan gigi dan mulut.

Pengobatan secara local di mulut biasanya dengan memakai obat-


obatan yang diminum atau yang dikumur sehingga mengurangi keluhan
penderita. Ada sifat unik dari jaringa mulut yang memudahkan proses

63
penyembuhan stomatitis tetapi juga rentan untuk kambuh kembali yakni
banyaknya pembuluh darah. Sering terkena trauma/ perlukaan, dan
terdapat sel-sel yang daya regenerasinya cepat.

Dengan mengetahui penyebabnya, diharapkan kita dapat menghindari


timbulnya stomatitis ini, diantaranya dengan menjaga kebersihan rongga
mulut serta mengkonsumsi nutrisi yang cukup, terutama yang mengandung
vitamin B12 dan zat besi. Juga selain itu, menghindari stres. Namun bila
ternyata stomatitis timbul, maka dapat mencoba denga kumur-kumur air
garam dan pergi ke dokter gigi untuk meminta obat yang tepat. Hal
tersebut untuk menghindari kita dari mengkonsumsi obat yang salah.

Pengobatan sebaiknya diberika berdasarkan faktor penyebabnya.


Dengan tujuan menghindari efek samping dai obat tersebut, apakah obat
tersebut bersifat karsinogenik, atau merangsang kanker.

Apabila telah diberi obat dan berkumur dengan obat kumur, anak tidak
juga sembuh, maka harus dicari penyebab lain. Mungkin karena jumlah
kuman bertambah, dosis pemakaian obat kurang, atau akibat mengunyah
terjadi lagi trauma baru di lidah. Bisa juga lantaran daya tahan tubuh anak
memang randah atau karena kebersihan mulut dan gigi tidak terjaga.

Selain cara penanganan stomatitis yang telah dibahas diatas ada


beberapa bentuk penanganan lain yaitu sebagai berikut :

- Sebelum tidur, daerah yang mengalami stomatitis diolesi kenalog


(sejenis salep untuk sariawan) ditambah minum suplemen vitamin C
cair.

- Olesi bagian yang terkena stomatitis dengan madu, namun hati-hati


dalam mengkonsumsi madu, karena jika kelebihan madu dapat
menyebabkan panas dalam.

64
- Timbulnya sariawan bisa jadi karena pertanda akan sakit flu, oleh
karena itu disarankan mengkonsumsi vitamin C 1000mg agar tidak
terkena sakit flu.

- Gunakan pasta gigi yang dapat meringankan sariawan.

- Perbanyaklah minum jus tomat, karena dapat mengurangi pembesaran


dari stomatitis dan mengurangi gejala klinisnya.

- Minum the bunga teratai/chyrantenum, teh ini juga sangat efektif


untuk mengobati panas dalam.

- Hindari gejala stres dan kecapekan, karena dapat menimbulkan dan


memperparah gejala stomatitis.

- Gejala stomatitis dapat juga dihilangkan dengan berkumur air rebusan


daun saga.

- Minumlah air kacang hijau setiap pagi. Kacang hijaunya tidak direbus
tapi hanya diseduh dengan air panas sampai airnya warna hijau baru
diminum ditambah denga gula sedikit agar rasanya lebih enak.

- Gunakan obat-obatan yang dapat meredakan gejala stomatitis.

DAFTAR PUSTAKA

65
Greenberg MS, Glick M, 2003, Burkets oral medicine diagnosis and treatment ed
10th, BC Decker Inc, Philedelpia, 63-4.

Cawson, R.A. ; E.W. Odell. 2002. Essentials of Oral Pathology and Oral
Medicine. 7th ed. Churchill Livingstone : Edinburg.

Howe, G.L. 1999. Pencabutan Gigi Geligi. Jakarta: EGC

Peterson J. Larry. Oral and Maxillofacial Surgery. 4th ed, The C.V. Mosby
Company, St. Louis, 2003.

Pedersen, Gordon W. 1996. Alih Bahasa Purwanto, Basoeseno. Buku Ajar Praktis
Bedah Mulut. Penerbit Buku EGC : Jakarta.

Latief, S.A., Suryadi, K.A., Dachlan, M.R.2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi.


Jakarta: FKUI.

Malamed dan Stanley, F. 2004. Handbook of Local Anasthesia 5th ed. St. Louis :
Elsevier.

Gordon W. Paderson.1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta:EGC

Richard ,Topazian,, G, Morton H, Goldberg. 1994. Oral and Maxillofacial


Infections. Philadelphia: W.B Saunders Company

Ariji Y. et al. 2002. Odontogenic Infection Pathway to The Submandibular Space:


Imaging Assessment. Kedokteran Gigi, Tesis, Universitas Sumatera
Utara, Medan

Li dkk. 2000. Systemic Disease Caused by Oral Infection. Clinical Microbiology


Reviews.

Fragiskos.2007. Oral surgery. Verlay Berlin Heidelberg: Springer pp. 84-119

Springhouse. Professional Guide to Diseases. Oral thrush: introduction. 8ed. New


York. Lippincott Williams & Wilkins; 2005.

66
Rossie K, Guggenheimer J. Oral candidiasis: Clinical manifestations, diagnosis,
and treatment. University of Pittsburgh school of dental medicine and
pathology. Pittsburgh, PA. 1997.
Bagg J, MacFarlane WT, Poxton RI, Smith JA. Essential microbiology for dental
student. Oral fungal infection. United Kingdom. Oxford University Press.
2006. p.274-80

Simatupang MM. Candida Albicans. Medan. FK USU; 2009.


Farah CS, Lynch N, McCullough MJ. Oral fungal infections: an update for the
general practitioner. Aus Dent J 2010; 55: 48-54.
Silverman. S Jr at al, 2001, Essential of Oral Med, BC. Decker Inc, Hamilton,
London, h. 170 177
Lewis,Michael A.O, 1998. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut. Alih bahasa : Elly
Wiriawan. Jakarta: Widya Medika. (Lewis, 1998)
Laskaris. 2006. Pocket Atlas of Oral Diseases. London: Thieme

67

Anda mungkin juga menyukai