Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

IMPLEMENTASI ISLAM DALAM REALITAS KEHIDUPAN

PANDANGAN ISLAM MENGENAI DAGING SAPI GELONGGONG SERTA


KANDUNGAN GIZINYA

Tugas Individu Islam dan IPTEKS

Nama : Linda Ayu Permatasari

NIM : J310150142

PROGRAM STUDI ILMU GIZI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2017
ABSTRAK

JUDUL : PANDANGAN ISLAM MENGENAI DAGING SAPI

GELONGGONG SERTA KANDUNGAN GIZINYA

PENULIS : Linda Ayu Permatasari

Menjelang hari raya besar keagamaan, penjualan daging sapi


gelonggong semakin marak. Pada saat-saat inilah penjual daging
melakukan kecurangan dengan menjual daging sapi yang telah
digelonggong. Sapi gelonggong sendiri adalah sapi yang diberi minum
sebanyak-banyaknya agar beratnya mengalami pertambahan. Daging
sapi gelonggong menurut pandangan Islam termasuk kategori makanan
haram. Hal itu dikarenakan daging sapi gelonggong sudah menjadi
bangkai karena sapi dipaksa minum banyak hingga mati. Dari segi jual
beli, penjualan daging sapi gelonggongan termasuk penipuan. Dari segi
kesehatan, daging sapi gelonggongan sangat berbahaya jika dikonsumsi
karena zat gizi proteinnya telah hilang dan ditempati oleh berbagai
bakteri, virus, dll.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah telah mewajibkan manusia untuk berbuat baik. Oleh
karena itu, jika kita menyembelih maka sembelihlah dengan yang
baik dan hendaklah menajamkan pisau dan memberi kelapangan
bagi hewan yang akan disembelih. Dalam hal ini Islam telah
memberikan aturan dan tata cara menyembelih (Aziz, 2008).
Islam menganjurkan agar hewan yang akan disembelih
diperlakukan dengan baik dan disenangkan hatinya. Kalau perlu diberi
makan dahulu, tidak disiksa, dan dimandikan supaya bersih. Aturan ini
berlaku untuk semua hewan yang akan disembelih, baik sapi, kambing,
domba, unta maupun hewan-hewan halal lainnya. Oleh karena itu
Islam melarang perlakuan buruk terhadap binatang sembelihan.
Misalnya saja disiksa sebelum disembelih, tidak diberi makan atau
dipukul. Perlakuan buruk itu selain menyiksa binatang tersebut juga
bisa menyebabkan menjadi stres. Secara ilmiah, ketika hewan yang
akan disembelih mengalami stres, maka darah tidak akan keluar
dengan tuntas dan mutu daging yang dihasilkan juga kurang bagus
(Woro, 2016).
Islam memerintahkan untuk berlaku baik dalam menyembelih,
dimana alat yang digunakan harus benar-benar tajam dan tidak
menyiksa hewan sebelum disembelih dan juga harus menyebut
nama Allah (Qardhawi, 2011). Penyembelihan hewan harus sesuai
dengan tuntunan Islam. Jika tidak, maka akan berdampak kepada
daging yang akan dikonsumsi oleh masyarakat tentang kehalalan
makanan tersebut.
Daging sapi merupakan makanan yang lazim dimakan di
setiap negara, karena sama-sama kita ketahui bahwa di dalam
daging sapi banyak terkandung segala macam kebaikan bagi tubuh.
Tapi apa jadinya bila yang kita konsumsi merupakan daging
gelonggongan.
Berdasarkan masalah di atas, penulis ingin mengetahui lebih
dalam pandangan Islam mengenai daging sapi yang diberi minum
sebanyak-banyaknya sebelum disembelih dan bagaimana
kandungan gizinya. Maka hal inilah yang akan dibahas dalam
makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan Islam mengenai kasus daging sapi
gelonggong?
2. Bagaimana kandungan gizi pada daging sapi gelonggong?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pandangan Islam mengenai kasus daging sapi
gelonggong.
2. Untuk mengetahui kandungan gizi yang terdapat pada daging
sapi gelonggong.

D. Manfaat
Memberikan pemahaman kepada khalayak mengenai daging sapi
gelonggong apakah layak dikonsumsi atau tidak serta mengetahui
pandangan Islam mengenai daging sapi gelonggong itu sendiri.
BAB II

LANDASAN TEORI

Secara garis besar, hewan yang dimakan ini dibagi menjadi dua
yakni ada hewan yang boleh atau halal dikonsumsi dan ada hewan yang
tidak boleh atau haram dikonsumsi. Hewan yang boleh dikonsumsi ada
yang boleh dikonsumsi (halal dimakan) tanpa harus disembelih misalnya
jenis ikan dan belalang, tetapi ada yang harus disembelih dengan tata
cara tertentu untuk mencapai kehalalannya dimakan. Apabila hewan-
hewan jenis ini mati dengan sendirinya misalnya karena sakit atau semula
hidup tetapi dimatikan dengan tata cara tertentu yang tidak sesuai
dengan tuntunan Islam, maka hewan tersebut berubah statusnya menjadi
bangkai yang tidak diperkenankan dikonsumsi (Nurjannah, 2006).
Istilah gelonggongan (diambil dari bahasa Jawa, glonggong) yang
dikaitkan dengan produk daging (biasanya sapi), dipakai untuk daging
yang dijual setelah melalui proses yang tidak wajar. Sapi atau hewan
potong lainnya diminumkan air (secara paksa) dalam jumlah besar
dengan maksud meningkatkan berat daging, hal ini dilakukan beberapa
jam sebelum penyembelihan. Hasilnya setelah hewan dipotong bobot
dagingnya akan lebih tinggi dan dengan demikian harga jualnya lebih
tinggi. Dalam waktu singkat, namun cukup lama untuk penjualan, bobot
daging akan menyusut secara drastis setelah airnya keluar (Woro, 2016).

Ada dua jenis daging sapi gelonggongan, antara lain adalah a)


daging yang berasal dari sapi gelonggongan dimana penggelonggongan
dilakukan sebelum sapi mati, b) daging yang berasal dari daging
gelonggong dimana penggelonggongan dilakukan setelah sapi mati. Baik
dilakukan sebelum atau sesudah sapi mati, dagingnya sama-sama
mengandung air yang banyak (Handayani, 2013).

Daging gelonggongan memiliki ciri yang sangat mirip dengan daging PSE (pale, soft
and exudates). Daging jenis ini akan sangat sukar untuk diolah. Hal ini karena daya ikat air
dari daging ini sangat rendah. Banyak protein daging yang hilang pada daging ini. Pada
pengolahan protein berfungsi sebagai rangka bangun atau biasa disebut dengan matrik.
Apabila matrik atau rangka bangun ini kurang atau bahkan tidak ada maka makanan itu tidak
akan jadi secara baik. Selain tidak mengandung protein lagi, daging gelonggongan akan
mudah ditempati oleh bakteri, virus, mikroba, dan hewan bersel satu seperti protozoa, yang
apabila masih tetap dikonsumsi akan menimbulkan banyak penyakit (Handayani, 2013).
Proses gelonggong dilakukan dengan memasukkan air melalui mulut sapi dengan
selang dan arus air yang cukup tinggi. Dengan demikian sapi dipaksa untuk minum sebanyak-
banyaknya. Kadang sapi tersebut dipaksa bertumpu pada kaki belakang, sementara dua kaki
depannya diangkat pada tempat yang lebih tinggi. Dengan demikian posisi sapi menjadi
seperti berdiri dengan dua kaki belakang. Dalam posisi ini proses pemasukan air berlangsung
lebih cepat dan lebih banyak bakso (Kementerian Agama, 2010).
Secara kasat mata dapat dilihat bahwa daging hasil gelonggongan tersebut lebih
lembek, teksturnya lebih lunak dan becek atau berair. Sedangkan daging biasa memiliki
tekstur yang lebih kenyal dan kering, tanpa ada air yang tersimpan di dalam daging tersebut
(Kementerian Agama, 2010).
BAB III
HASIL PENEMUAN

Praktek penggelonggongan sapi kembali marak di Boyolali, Jawa


Tengah. Ini diketahui setelah petugas gabungan dari Polres dan
Pemerintah Kabupaten Boyolali melakukan razia di sejumlah wilayah.
Hasilnya diketahui praktek tersebut masih terjadi di Desa Semampir
Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali. Petugas mendapati beberapa sapi
yang sudah digelonggong atau dipaksa minum air sebanyak-banyaknya.

Para pelaku memanfaatkan momentum Hari Natal dan Tahun Baru.


Petugas gabungan segera melakukan razia setelah muncul keluhan dari
warga daerah lain tentang masih maraknya peredaran daging sapi basah
atau sapi gelonggong. Keluhan itu datang dari Pemalang, Temanggung
dan Sukoharjo. Selain merugikan pembeli, praktek ini termasuk melanggar
pidana penganiayaan hewan.
BAB IV

ANALISIS HASIL

A. Pandangan Islam Mengenai Daging Sapi Gelonggong

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengategorikan daging


gelonggongan ke dalam makanan haram di perjualbelikan dan haram
dimakan, selain salah satu penipuan terhadap konsumen juga di
dalam penyembelihannya menyiksa sapi terlebih dahulu. Selain itu,
ada kekhawatiran daging sapi gelonggongan dapat berubah menjadi
bangkai, karena bisa saja hewan gelonggongan telah mati sebelum
disembelih. Karena sapi memiliki tenggorokan yang bentuknya
seperti jalan simpang, bila sapi digelonggong ada kemungkinan
airnya masuk ke paru-paru dan dapat mengakibatkan hewan tersebut
mati. Selain itu, air yang terlampau banyak dan dilakukan dengan
jalan paksa di masukan ke dalam tubuh hewan yang akan disembelih,
dapat membuat lambung hewan pecah yang nantinya juga dapat
mengakibatkan kematian. Jadi membunuh terlebih dahulu dan
menjadi bangkai, yang sudah jelas bila bangkai itu haram
(Handayani, 2013).
Keharaman daging gelonggongan telah ditetapkan dalam
Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah Nomor :
03/Musda/VII/MUI/Jateng/II/2006. Bagi Pedagang yang menjual daging
gelonggongan bisa dijerat dengan UU Nomor 8/1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Pelaku diberikan sanksi pidana maksimal 5
tahun penjara, dan denda sampai Rp 2 miliar. Para pelaku
penyembelihan, distributor, dan penjual daging gelonggongan juga
bisa dijerat dengan Undang-undang Kesehatan Nomor : 6 Tahun 1967
(An-Najah, 2014).
Dari segi kesehatan, mengonsumsi daging gelonggongan bisa
berakibat buruk bagi kesehatan. Dari segi hukum penjualan, jual beli
daging gelonggongan termasuk jual beli yang diharamkan di dalam
syariat, karena termasuk bentuk penipuan dalam jual beli. Oleh
karenanya, menjual menjual daging gelonggongan hukumnya haram
(An-Najah, 2014). Hal ini berdasarkan firman Allah sebagai berikut:









"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu" (Qs. An-Nisa: 29).

Orang-orang jahiliah dahulu suka memotong kelasa unta (bahasa Jawa, punuk)
dan jembel kambing dalam keadaan hidup. Cara semacam itu adalah menyiksa
binatang. Oleh karena itu Rasulullah s.a.w. kemudian menghalangi maksud mereka dan
mengharamkan memanfaatkan binatang dengan cara semacam itu. Maka kata Nabi:
"Daging yang dipotong dari binatang dalam keadaan hidup, berarti bangkai."
(Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi dan Hakim) (Handayani, 2013). Sama seperti sapi
yang digelonggong, cara tersebut juga menyiksa sapi terlebih dahulu sebelum
disembelih, maka haram hukumnya karena telah menjadi bangkai.

B. Kandungan Gizi Pada Daging Sapi Gelonggong

Dilihat dari segi kualitas, daging gelonggongan sudah tidak


mengandung protein lagi, karena sudah membusuk. Memakannya
menyebabkan mual, muntah, diare sampai keracunan yang berefek
pada kematian. Daging gelonggongan sangat mudah sekali ditempati
bakteri, virus dan hewan bersel satu seperti protozoa, jika kita
memakannya sangat rentan menimbulkan berbagai macam penyakit.
Daging gelonggongan sangat rentan terkena penyakit sapi gila.
Penyakit sapi gila dapat menular kepada manusia. Pemberian air
minum kepada sapi secara berlebihan akan melemahkan daya tahan
sapi. Ini menyebabkan kuman yang masuk melalui air akan diserap
darah dan daging. Ini lebih berbahaya jika air yang digunakan
tercampur insektisida. Daging dari sapi yang stres karena
diminumkan air dalam jumlah yang berlebihan akan menularkan
pengaruh buruk pada perilaku konsumennya (An-Najah, 2014).
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Islam menghendaki umatnya untuk memakan makanan yang halal dan baik. Yang
halal dan baik ini haruslah makanan yang bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda
lain yang mengganggu, merugikan, serta membahayakan kesehatan manusia. Sedangkan
ketika kita memakan daging gelonggongan keadaan daging tidaklah lagi baik untuk
dikonsumsi. Selain kekhawatiran sebelum disembelih daging tersebut sudah menjadi
bangkai, sehingga daging gelonggongan haram hukumnya.

Ajaran Islam memandang daging sapi gelonggong sebagai


makanan yang haram, dikarenakan adanya penipuan terhadap
konsumen juga daging yang dikonsumsi menjadi tidak layak karena
dikhawatirkan tertular penyakit. Keharaman daging gelonggongan
telah ditetapkan dalam Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI
) Jawa Tengah Nomor: 03/Musda/VII/MUI/Jateng/II/2006.
DAFTAR PUSTAKA

An-Najah, Ahmad Zain. 2014. Hukum Daging Gelonggongan. Diakses pada


tanggal 16 Januari 2016. http://www.ahmadzain.com/read/karya-
tulis/461/hukum-daging-gelonggongan/
Aziz, Abdul. 2008. Ensiklopedia Etika Islam. Jakarta : Maghfirah Pustaka
Nurjannah. 2006. Makanan Halal dan Penyembelihan Secara Islami (Suatu
Bimbingan Bagi Masyarakat Muslim). UIN Sunan Kalijaga : Jurnal
Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama Vol. VII, No.2, Desember 2006
Kementerian Agama. 2010. Pedoman dan Tata Cara Pemotongan Hewan Secara Halal.
Jakarta : Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah
Qardhawi, Yusuf. 2011. Halal dan Haram. Jakarta : Robbani Press
Woro, Dicky Widyas. 2016. Tinjauan Yuridis Penyidikan Tindak Pidana
Penggelonggongan Sapi (Studi Di Polres Boyolali). Universitas
Slamet Riyadi : Jurnal Karya Ilmiah Mahasiswa Progdi Ilmu Hukum
Fak. Hukum Vol. 2, No. 2

Anda mungkin juga menyukai