Anda di halaman 1dari 23

1

A. JUDUL

KAJIAN REKONSTITUSI DAN REGIMEN DOSIS ANTIBIOTIK PADA PASIEN


RAWAT INAP DI BANGSAL BEDAH RSUD PADANG PANJANG.

B. LATAR BELAKANG

Antibiotika, yang pertama kali ditemukan oleh Paul Ehlrich pada 1910,
sampai saat ini masih menjadi obat andalan dalam penanganan kasus-kasus penyakit
infeksi. Antibiotik sendiri merupakan suatu senyawa kimia yang dihasilkan oleh
berbagai jasad renik mikroorganisme seperti bakteri, jamur dan aktinomises yang
dapat berkhasiat untuk menghentikan pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme
lainnya (Subronto dan Tjahajati, 2001).

Penyakit infeksi di Indonesia masih termasuk dalam sepuluh penyakit


terbanyak. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat merupakan faktor penyebab yang
potensial yang dapat menyebabkan resistensi, beberapa contoh penggunaan antibiotik
yang tidak tepat antara lain; pengobatan infeksi yang tidak responsif, terapi demam
yang tidak diketahui penyebabnya, dosis yang tidak tepat, penggunaan antibiotik
tunggal yang tidak tepat, informasi bakteriologi yang tidak memadai (Dipiro, 2009).
Di rumah sakit, penggunaan antibiotik yang tidak perlu atau berlebihan mendorong
berkembangnya resistensi dan multipel resisten terhadap bakteri tertentu yang akan
menyebar melalui infeksi silang. Terdapat hubungan antara penggunaan (atau
kesalahan penggunaan) antibiotik dengan timbulnya resistensi bakteri penyebab
infeksi nosokomial. Setiap tahun di Uni Eropa saja, sekitar 25.000 pasien meninggal
karena infeksi bakteri yang resistensi diperoleh di rumah sakit. Infeksi dari bakteri
yang resisten adalah masalah serius dalam perawatan kesehatan. (KEMENKES,
2011)

Berdasarkan survey awal dari penulis, didapatkan untuk antibiotik profilaksi


di bangsal bedah RSUD Padang Panjang yang kebanyakan di resepkan oleh dokter
2

adalah Cefepime dan terkadang dokter juga meresepkan antibiotik lain seperti
Cefazolin, Cefoperazone, dan Ciprofloxacin dan prafelensi yang banyak timbul di
bangsal bedah RSUD Padang panjang adalah apendisitis.

Proses rekonsitutsi adalah proses pencampuran mediun pelarut atau pembawa


kedalam masa serbuk kering sehingga menghasilkan zat tersuspensi atau terlarut.
Proses rekonstitusi sediaan antibiotik yang tidak sesuai GPP (Good Preparation
Practices) dapat memicu ketidakefektifan terapi, bila berlangsung terus menerus
dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik
tertentu (Lucida, 2014). Penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan di beberapa
rumah sakit di sumatera barat menyatakan bahwa ditemukan ketidaktepatan prosedur
rekonstitusi injeksi antibiotik seperti jenis pelarut yang digunakan, volume pelarut,
teknis aseptis, teknik pencampuran dan ruangan rekonstitusi serta penyimpanan
setelah direkonstitusi.

Proses rekonstitusi dan pencampuran sediaan intravena di rumah sakit


biasanya dilakukan oleh perawat. Proses ini perlu diawasi oleh farmasis sesuai
Standar Kompetensi Apoteker Indonesia untuk memastikan bahwa pencampuran
sediaan steril di rumah sakit sesuai dengan Praktek Penyiapan Obat yang Baik (Good
Preparation Practices, GPP) sehingga terjamin sterilitas, kelarutan dan kestabilannya
(Lucida, 2014). Tetapi menurut peraturan menteri kesehatan republik indonesia
nomor 58 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit, proses
pencampuran obat suntik harus dilakukan oleh apoteker. Oleh karena itu, berdasarkan
penjelasan di atas penulis tertarik untuk mengevaluasi cara penyiapan dan
penyimpanan injeksi antibiotik pada pasien rawat inap Bangsal Bedah RSUD Padang
Panjang.
3

C. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan:

1. Apakah cara penyiapan dan penggunaan antibiotik di Bangsal Bedah RSUD


Padang Panjang telah sesuai dengan standar terapi?

2. Apakah regimen dosis dan cara pemberian antibiotik di bangsal bedah RSUD
Padang Panjang sudah sesuai standar terapi?

D. TUJUAN

Adapun tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui gambaran penggunaan


injeksi antibiotik untuk terapi infeksi di Bangsal Bedah Padang Panjang terkait cara
penyiapan dan dan regimen dosis antibiotik sebelum diberikan pada pasien.

E. LUARAN YANG DIHARAPKAN

1. Untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada


Fakultas Farmasi Andalas.

2. Bertambahnya wawasan untuk perawat dalam penggunaan dan rekonstitusi pada


bangsal beda di RSUD Padang Panjang.

3. Sebagai salah satu sumber informasi bagi Rumah Sakit dan Fakultas Farmasi
Universitas Andalas tentang cara pencegahan terjadinya resistensi penggunaan
injeksi antibiotik.
4

F. KEGUNAAN

1. Memberikan informasi Penyiapan dan penggunaan antibiotik yang baik untuk


mencegah terjadinya resistensi bakteri.

2. Sebagai sarana penambah ilmu pengetahuan bagi peneliti.

3. Memberikan informasi kepada pihak Rumah Sakit dan pihak Fakultas Farmasi
Universitas Andalas tentang salah satu cara pencegahan terjadinya resistensi
penggunaan antibiotik injeksi di RSUD Padang Panjang.

G. TINJAUAN PUSTAKA

G.1 Antibiotik

G.1.1 Definisi antibiotik

Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi,
yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotik
dewasa ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh. namun dalam praktek
sehari-hari anti mikroba sintetik yang tidak diturunkan dari produk mikroba
(misalnya sulfonamid dan kuinolon) juga sering digolongkan antibiotik (Setiabudy,
2007).

G.1.2 Penggunaan antibiotik di klinik

Rendahnya kesadaran masyarakat dalam penggunaan obat yang tidak rasional


perlu diwaspadai dampaknya, khususnya pada generasi muda mendatang. Apalagi
pemakaian antibiotika yang tidak berdasarkan ketentuan (petunjuk dokter)
menyebabkan tidak efektifnya obat tersebut sehingga kemampuan membunuh kuman
berkurang atau resisten. (KEMENKES, 2011)

Penggunaan antibiotik di klinik bertujuan untuk membasmi mikroba penyebab


infeksi. Penggunaan anbiobiotik ditentukan berdasarkan indikasi dengan
5

mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut: gambaran klinik penyakit infeksi,


yakni efek yang ditimbulkan dengan adanya mikroba dalam tubuh hospes, kemudian
efek terapi antimikroba pada penyakit infeksi diperoleh hanya sebagai akibat kerja
antimikroba terhadap biomekanisme mikroba, serta antimikroba dapat dikatakan
bukan merupakan obat penyembuh penyakit infeksi tetapi antimikroba hanyalah
menyingkatkan waktu yang diperlukan tubuh hospes untuk sembuh dari infeksi
(Setiabudy, 2007). Gejala klinik infeksi terjadi akibat gangguan langsung oleh
mikroba maupun oleh berbagai zat toksik yang dihasilkan oleh mikroba. Bila
mekanisme pertahanan tubuh berhasil menyingkirkan mikroba dan zat toksik yang
dihasilkan mikroba maka tidak perlu diberikan antibiotik (Setiabudy, 2007).

Antibiotika profilaksis adalah antibiotika yang diberikan dalam satu kali


sebelum operasi dengan tujuan menunkan resiko terjadinya infeksi daerah operasi
(IDO). Pada kenyataannya penggunaan antibiotika profikasis yang tidak sesuai sering
terjadi. Biasanya kesalahan berupa tidak tepatnya waktu pemberian, penggunaan
antibiotika profilaksis setelah 24 jam, ketidaktepatan dalam pemilihan antibiotika dan
ketidaktepatan dalam pemilihan antibiotika dan ketidak tepatan regimen dosis

Gejala demam yang merupakan salah satu gejala sistemik dari infeksi paling
umum tetapi tidak dapat dijadikan indikator utama dalam pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik berdasarkan adanya demam tidak bijaksana karena:

1. Demam dapat disebabkan oleh infeksi virus pemberian antibiotik untuk proses
penyembuahan tidak lazim.

2. Demam dapat juga terjadi sendirinya tanpa infeksi jadi pemberian antibiotik tidak
tepat dalam hal ini.

3. Pemberian antibiotik yang tidak pada tempatnya dapat merugikan pasien dan dapat
menimbulkan resistensi (Setiabudy, 2007).

G.1.3 Pemilihan antibiotik


6

Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada:

a. Informasi tentang spectrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan kuman
terhadap antibiotik.

b. Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi.

c. Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.

d. Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan aman.

(KEMENKES, 2011).

Untuk mengetahui kepekaan mikroba terhadap antibiotik secara pasti perlu


dilakukan pembiakan mikroorganisme penyebab infeksi, yang diikuti dengan uji
kepekaan. Bahan biologik dari hospes untuk pembiakan, diambil sebelum pemberian
antibiotik. Setelah pengambilan bahan tersebut, terutama dalam keadaan penyakit
infeksi berat, terapi dengan antibiotik dapat dimulai dengan memilih antibiotik yang
tepat berdasarkan gambaran klinik pasien. Dalam praktik sehari-hari tidak
memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan biakan pada setiap terapi penyakit
infeksi. Bila dapat diperkirakan kuman penyebab dan pola kepekaannya, dapat dipilih
antibiotik yang tepat. Bila dari hasil uji kepekaan ternyata pilihan antibiotik yang
pertama digunakan tepat serta gejala klinik jelas membaik dapat dilanjutkan terus
dengan menggunakan antibiotik tersebut. Apabila hasil uji sensitivitas menunjukkan
ada antibiotik yang lebih efektif, sedangkan dengan antibiotik yang digunakan
pertama gejala klinik penyakit menunjukkan perbaikan-perbaikan yang meyakinkan,
antibiotik yang digunakan pertama sebaiknya dilanjutkan. Tetapi bila hasil perbaikan
klinik kurang memuaskan, antibiotik yang diberikan semula seharusnya diganti
dengan yang lebih tepat, sesuai dengan hasil uji sensitivitas (Setiabudy, 2007).

Kondisi tubuh hospes juga perlu dipertimbangkan untuk memilih antibiotik


yang tepat, untuk pasien yang terinfeksi tetapi juga mengalami penyakit pada ginjal
maka dipilih antibiotik yang paling aman tetapi efek antibiotik yang maksimal.
7

Kemudian dalam menilai ongkos tidak cukup hanya memperhitungkan harga satuan
obat tetapi harus pula memperhatikan lama terapi yang diberikan .

Pada infeksi berat seringkali harus segera diberikan antibiotik sementara hasil
pemeriksaan mikrobiologik belum diperoleh. Pemilihan ini harus didasarkan pada
pengalaman empiris yang rasional berdasarkan perkiraan etiologi yang paling
mungkin serta antibiotik terbaik untuk infeksi tersebut. Memilih antibiotik yang
didasarkan pada luas spektrum kerjanya, tidak dibenarkan karena hasil terapi tidak
lebih unggul daripada hasil terapi dengan antibiotik berspektrum sempit, sedangkan
superinfeksi lebih sering terjadi dengan antibiotik berspektrum luas. Kecuali pada
pasien sepsis, antibiotik spektrum luas perlu diberikan sampai hasil culture and
sensitivity test keluar. Penyebab kegagalan terapi selain kepekaan mikroba terhadap
antibiotik adalah akibat dosis yang kurang, lama terapi yang tidak sesuai, kesalahan
dalam menetapkan etiologi, faktor farmakokinetik, pilihan antibiotik yang kurang
tepat dan faktor pasien (Setiabudy, 2007).

G.1.4 Konsep farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik

Keberhasilan pengobatan dengan natibiotik ditentukan oleh banyak faktor,


namun ada dua faktor yang sangat menentukan yaitu faktor farmakokinetik dan
farmakodinamik terhadap daya hambat atau daya bunuh mikroba penyebab infeksi.
Ada dua pola daya hambat atau daya bunuh mikroba yaitu:

1. Concentration dependent killing

Pada pola ini antimikroba menghasilkan daya bunuh maksimal terhadap


mikroba bila kadar awalnya relatif tinggi dalam darah, tetapi tidak perlu
mempertahan kadar tinggi selam mungkin. Antibiotik yang termasuk pada pola ini
adalah aminoglikosida, fluorokuinolon, dan ketolid. Untuk mendapatkan efektivitas
ini obat diberikan dengan dosis yang besar dan biasanya diberikan dengan rute
bolus/infus selama sampai 1 jam.
8

2. Time dependent killing

Pada pola ini antimikroba akan menghasilkan daya bunuh maksimal pada
konsentrasi dipertahankan dalam waktu yang lama diatas kadar hambat minimal
mikroba dalam darah. Yang termasuk dalam pola ini adalah antibiotik golongan
penisilin, sepalosporin, linezoid dan eritromisin. Untuk mendapatkan efektivitas
klinis yang maksimal obat ini diberikan secara infus berkelanjutan atau dapat juga
diberikan dengan infus berkala (intermittent infusion) tetapi dibagi dalam beberapa
kali pemberian perhari.

G.1.5 Penggolongan antibiotik

Berdasarkan struktur kimia, antibiotik digolongkan sebagai berikut :

1. Golongan makrolida, contohnya eritromisin, dll.

2. Golongan aminoglikosida, contohnya amikasin, gentamisin, dll.

3. Golongan florokinolon, contohnya vankomisin, kloramfenikol, doksisiklin,


ciprofloksasin, dll.

4. Golongan beta laktam, contohnya amoksisilin, ampisilin, seftriakson, sefotaksim,


imipenem, meropenem, dll (Di Piro, 2008).

G. 2. Antibiotik yang diresepkan

G. 2.1 Cefepime
9

(British Pharmacopoeia, 2009).

Cefepime merupakan antiobiotik Beta-Lactam golongan sefalosporin generasi


keempat. Berdasarkan aktivitas spektrum, dklasifikasikan sebagai sefalosporin
generasi keempat. Aktivitas spektrumnya lebih luas dibandingkan dengan
sefalosporin generasi pertama dan kedua dan lebih aktif dari pada sefalosproin
generasi ketiga terhadap enterobacteriaceae yang memproduksi diinduksi Beta-
laktamase. Bersifat Bakterisida.

Rekonstitusi

Rekonstitusi vial untuk infus IV dengan 0,9% natrium klorida, 5 atau 10%
dextrosa, (1/6) natrium M laktat, 5% dektrosa dan 0,9% natrium klorida, laktat ringer
dan 5% injeksi dektrosa. Rekonstitusi vial mengandung 500 mg, 1 g, atau 2 g
cefepime dengan 5, 10, atau 10 mL salah satu larutan IV ini masing-masing diberikan
larutan mengandung sekitar 100, atau 160 mg /ml , dan kemudian encerkan dengan
dosis yang tepat dalam larutan IV yang kompatibel. Kemudian untuk pemberian
lanjutan berikan infus IV setelah sekitar 30 menit

Untuk injeksi IM (Intra Muscular), rekonstitusi botol berisi 500 mg atau 1 g


cefepime dengan 1,3 ml atau 2,4 ml ,masing-masing bisa tambahkan Aqua Pro Injeksi
(API), 0,9% natrium klorida, dekstrosa 5%, 0,5% atau lidokain hidroklorida, atau API
bacteriostatik untuk injeksi (dengan paraben atau benzil alkohol) untuk larutan yang
memberikan dosis sekitar 280 mg/ ml. (AHFS, 2011)
10

Dosis

Produk yang tersedia sebagai cefepime hidroklorida, dosis dinyatakan dalam


cefepime, dihitung perbedaan anhidrat. Untuk Pasien Pediatric pemberian bisa
melalui IV atau IM. Untuk anak-anak 2 bulan sampai 16 tahun dengan berat kurang
dari 40 kg diberikan dengan dosis 50 mg/kg setiap 12 jam.

American Associated Pharmacies (AAP) merekomendasikan 100-150 mg/kg


sehari dalam 3 dosis terbagi untuk pengobatan dari infeksi yang ringan sampai infeksi
yang cukup berat. Sedangkan untuk dosis 150 mg/kg sehari dalam 3 dosis terbagi
untuk pengobatan infeksi berat pada anak-anak usia lebih dari 1 bulan.
Dosis untuk dewasa untuk Infeksi intra-abdomen, diberikan melalui IV
dengan dosis 2 g setiap 12 jam selama 7-10 hari, dan pada penyakit infeksi saluran
pernapasan pneumonia diberikan secara IV dengan dosis 1-2 g setiap 12 jam selama
10 hari. Sedangkan dosis untuk infeksi pada kulit diberikan secara IV dengan dosis
12 jam dan pada infeksi saluran kemih (ISK) diberikan melalui IV atau IM. (AHFS,
2011)

Pelarut yang compatible

Ada beberapa macam perlarut yang compatible oleh Cefepime. Diantaranya


adalah asam amino 4,25%, dekstrosa 25% dengan elektrolit, dekstrosa 5% dalam
injeksi ringer laktat, dextrose 5% natrium klorida 0,9%, dextrose 5 atau 10% dalam
air, normosol M di dekstrosa 5%, normosol R1, normosol R di dekstrosa 5%, natrium
klorida 0,9%. (AHFS, 2011)

Kontraindikasi

1. Pasien yang diketahui hipersensitivitas cefepime, sefalosporin lainnya, penisilin,


atau Beta-Laktam lainnya.

2. Penggunaan larutan yang mengandung dextrosa dapat kontraindikasi dengan


pasien dengan alergi terhadap produk jagung.
11

G. 2. 2 Cefazolin

(British Pharmacopoeia, 2009).

Cefazolin termasuk antibiotik Beta-Laktam golongan sefalosporin generasi


pertama. Obat pilihan untuk pengobatan profilaksis peioperatif untuk berbagai
prosedur, termasuk jantung, dada noncardiac, esofagus, saluran cerna, saluran
empedu, ginekologi dan obsteri, kepala dan leher, neurologis, ortopedi, dan bedah
vaskular.

Rekonstitusi dan dilusi

Pemberian bisa dilakukan melalui infusi IV atau infusi IM. Rekonstitusi vial
mengandung 500 mg atau 1 g cefazolin ditambahkan 2 atau 2,5 mL pelarut masing-
masingnya, yang dimana setiap larutan masing-masingnya mengandung API (Aqua
Pro Injeksi) sekitar 225 atau 330 mg / mL. Kemudian encerkan larutan dalam 50-100
mL larutan IV yang kompatibel. Rekonstitusi mengandung 1 atau 2 g cefazolin dan
50 mL injeksi dekstrosa dilakukan di ruang terpisah. Larutan injeksi premixed
(sebelum pencampuran) tersedia secara komersial (dengan keadaan beku) pada suhu
kamar (25 C) atau di bawah pendingin (5 C); tidak bisa mencair dengan cara
merendamnya dalam bak air atau dengan paparan radiasi gelombang mikro. Sebuah
endapan mungkin telah terbentuk di injeksi beku, tetapi harus larut dengan sedikit
atau tanpa agitasi setelah mencapai suhu kamar. Buang larutan injeksi jika larutan
mengembun atau mengandung endapan tidak larut atau jika segel wadah yang tidak
12

utuh atau kebocoran ditemukan. Jangan gunakan dalam koneksi seri dengan wadah
plastik lainnya, karena penggunaan tersebut bisa mengakibatkan emboli udara dari
udara sisa yang diambil dari wadah utama sebelum pemberian cairan dari wadah
sekunder selesai. (AHFS, 2011)

Dosis dan Rute Pemberian

Untuk pasien Pedeatric infeksi ringan sampai berat diberikan melalui IV atau
IM. Anak-anak dengan usia lebih dari 1 bulan usia diberikan dosis 25-50 mg/kg
sehari dalam 3 atau 4 dosis terbagi. Untuk Infeksi parah diberikan memalui IV dan
untuk anak-anak dengan usia diatas 1 bulan diberika dosis 50-100 mg/kg sehari
dalam 3 atau 4 dosis terbagi.

Untuk pasien dewasa infeksi ringan Disebabkan oleh Bakteri Gram-positif


diberikan melalui IV atau IM dengan dosis 250-500 mg setiap 8 jam. Sedangkan
untuk infeksi yang parah deberikan bisa melalui IV atau IM dengan dosis 500 mg-1 g
setiap 6-8 jam. Untuk Infeksi berat yang mengancam jiwa diberikan melalui IV atau
IM dengan dosis 1-1,5 g setiap 6 jam. Dosis sampai 12 g sehari.

Sedangkan untuk penggunaan Perioperatif Profilaksis bisa dilakukan melalui


IV atau IM. Produsen merekomendasikan 1 g diberikan 0,5-1 jam sebelum operasi;
0,5-1 g selama operasi untuk prosedur yang panjang (misalnya, 2 jam); dan 0,5-1 g
setiap 6-8 jam selama 24 jam pasca operasi. Produsen juga merekomendasikan bahwa
profilaksis dilanjutkan selama 3-5 hari setelah operasi di mana terjadinya infeksi
mungkin sangat dahsyat (misalnya, operasi jantung terbuka, artroplasti prostetik).

Kebanyakan dokter merekomendasikan 1-2 g diberikan dalam waktu 60 menit


dari sayatan awal dan jika operasi lebih daru 4 jam atau kehilangan darah besar
terjadi, dosis intraoperatif tambahan diberikan setiap 4-8 jam. Dosis pasca operasi
biasanya tidak perlu dan dapat meningkatkan risiko resistensi bakteri. (AHFS, 2011)

Pelarut yang compatible


13

Ada beberapa macam perlarut yang compatible oleh Cefazolin. Diantaranya


adalah asam amino 4,25%, dekstrosa 25%, dextrose 5% atau 10%, dekstrosa 5%
dalam injeksi ringer laktat, dekstrosa 5% dalam natrium klorida 0,2, 0,45, atau 0,9%,
ionosol B di dekstrosa 5% dalam air, normosol M di dekstrosa 5% dalam air, Plasma-
Lyte di dekstrosa 5% dalam air, injeksi ringer laktat, natrium bikarbonat 5%, natrium
klorida 0,9%. (AHFS, 2011)

Kontraindikasi

1. Pasien yang dikenal hipersensitivitas terhadap cefazolin atau sefalosporin


lainnya.

2. Pasien yang dikenal hipersensitif terhadap jagung atau produk jagung. (AHFS,
2011).

G. 2.3 Cefoperazone

(British Pharmacopoeia, 2009).

Cefoperazone adalah generasi ketiga cephalosporin antibiotik digunakan sama


dengan ceftazidime dalam perlakuan infeksi rentan, terutama yang disebabkan
Pseudomonas spp. Cefoperazone, diperkenalkan di India pada awal 1994. Sebuah
penelitian dilakukan di 1994-1995 untuk mengumpulkan data lokal pada efektivitas
14

dan keamanan, mengevaluasi pola asli kerentanan bakteri, dan menilai hubungan
kerentanan terhadap efikasi klinis.

Rekonstitusi

Penyiapan rekonstitusi Ceperazone dengan menggunakan Lidokain HCL 2%


dan untuk wadah menggunakan vial 1 gram. Langkah pertama untuk penyiapan air
sterilnya sebanyak 2 ml atau 2,8 ml. Langkah kedua untuk penyiapan Lidokain HCl
2% sebanyak 0,6 ml atau 1 ml dan konsentrasi Cefoperazone 333 mg/ml atau 250
mg/ml. Sedangkan untuk wadah vial 2 gram, langkah pertama untuk penyiapan air
sterilnya sebanyak 3,8 ml dan 5,4 ml. Untuk penyiapan Lidokain HCl 2% sebanyak
1,2 ml atau 1,8 ml dan konsentrasi Cefoperazone sebanyak 333 mg/ml atau 250
mg/ml. (Trissel, Lawrence A. 2009)

Dosis dan Rute Pemberian

Cefoperazone diberikan sebagai garam natrium dengan suntikan otot dalam


IV dengan infus intermiten atau berkelanjutan. Dosis umum adalah 2 sampai 4 g
sehari dalam 2 dosis terbagi. Pada infeksi berat, hingga 12 g sehari dalam 2 sampai 4
dosisterbagi dapat diberikan. Jika cefoperazone digunakan dengan aminoglikosida,
obat harus diberikan secara terpisah. Cefoperazone juga telah diberikan dengan beta-
Lacta-mase inhibitor sulbaktam. (British Pharmacopoeia, 2009).

Cefoperazone diberikan parenteral sebagai garam natrium. Dengan dosis


intramuskular setara dengan cefoperazone 1 atau 2 g, konsentrasi plasma puncak 65
dan 97 mikrogram / mL setelah 1 sampai 2 jam. Plasma paruh cefoperazone adalah
sekitar 2 jam.

Cefoperazone 82-93% terikat pada protein plasma, tergantung pada


konsentrasi. Cefoperazone tersebar luas di jaringan tubuh dan cairan, meskipun
penetrasi pada CSF (Celebral Spinal Fluid) umumnya sedikit. Melintasi plasenta, dan
konsentrasi rendah telah terdeteksi dalam ASI. Cefoperazone diekskresikan terutama
di empedu dimana dengan cepat mencapai konsentrasi tinggi. Eskresi kemih terutama
15

oleh filtrasi glomerulus. Sampai dengan 30% dari dosis diekskresikan tidak berubah
dalam urin dalam waktu 12 sampai 24 jam, proporsi ini dapat ditingkatkan pada
pasien dengan penyakit hati atau empedu. (British Pharmacopoeia, 2009).

Pelarut yang compatible

Ada beberapa macam perlarut yang compatible oleh cefoperazone.


Diantaranya adalah lidokain HCL 2%, NaCl 0,9%, dextrosa 5%. (KEMENKES RI.
2011)

Efek samping

Cefoperazone memiliki potensi untuk kolonisasi dan superinfeksi dengan


organisme resisten. Perubahan flora usus dapat lebih ditandai daripada dengan
sefotaksim karena ekskresi bilier besar cefoperazone, diare dapat terjadi lebih sering.
Cefoperazone berisi N-methylthiotetrazole, struktur yang terkait dengan
hypoprothrombinaemia. Hypoprothrombinaemia telah dilaporkan di pasien diobati
dengan cefoperazone. Waktu protrombin harus dipantau pada pasien berisiko
hypopro-hrombinaemia dan vitamin K yang digunakan jika diperlukan. (British
Pharmacopoeia, 2009)

G. 2.4 Ciprofloxacin
16

(British Pharmacopoeia, 2009).

Ciprofloxacin termasuk antibiotik golongan fluorokuinolon. Ciprofloxacin


biasanya digunakan untuk berbagai penyakit infeksi seperti endokarditis, infeksi pada
tulang, infeksi pada saluran pencernaan, meningitis dan infeksi pada CNS, Malaria,
infeksi saluran kemih, demam tipoid dan infeksi bakteri salmonella lainnya. (AHFS,
2011)

Rekonstitusi

Siapkan oral suspensi dengan mencampur mikrokapsul untuk suspensi dengan


pengencer yang disediakan oleh produsen yang compatible. Kocok kuat selama
sekitar 15 detik sebelum pemberian dosis masing-masing. Infus IV harus diberikan ke
dalam vena besar untuk meminimalkan ketidaknyamanan dan mengurangi risiko
iritasi vena (AHFS, 2011).

Larutan ciprofloxacin untuk infus IV yang mengandung 2 mg / mL di injeksi


dekstrosa 5% dapat diberikan tanpa pengenceran lebih lanjut. Pada paket sediaan
farmasi serbuk 1,2 g mengandung ciprofloxacin yang berisi 10 mg / mL harus
diencerkan sebelum digunakan. Paket massal farmasi dimaksudkan untuk digunakan
dalam program farmasi campuran dan harus digunakan hanya untuk persiapan
pencampuran untuk infus IV. (AHFS, 2011).

Pengenceran

Encerkan ciprofloxacin mengandung 10 mg / mL di 0,9% injeksi natrium


klorida atau 5% dextrose injeksi untuk memberikan larutan yang mengandung 1-2 mg
/ mL. Pada paket sediaan farmasi massal yang berisi 10 mg / mL harus diencerkan
17

dalam 0,9% injeksi natrium klorida atau 5% dextrose injeksi untuk memberikan
solusi yang mengandung 0,5-2 mg / mL. (AHFS, 2011).

Rute Pemberian

Injeksi IV

Untuk pemberian melalui rute IV umumnya dicadangkan untuk pasien yang


tidak dapat mentolerir atau tidak dapat meminum obat oral dan untuk pasien lain di
antaranya IV rute menawarkan keuntungan klinis. Pasien yang menerima IV
ciprofloxacin awalnya dapat beralih ke ciprofloxacin oral ketika klinis yang tepat.
Pasien yang menerima ciprofloxacin oral atau IV harus terhidrasi dengan baik dan
harus diinstruksikan untuk minum cairan bebas. (AHFS, 2011)

Dosis

Tersedia sebagai ciprofloxacin, hidroklorida ciprofloxacin, campuran


ciprofloxacin dan ciprofloxacin hidroklorida, dan sebagai ciprofloxacin laktat; dosis
dinyatakan dalam ciprofloxacin. Persiapan tablet extended-release (Cipro XR,
ProQuin XR) hanya digunakan untuk pengobatan infeksi saluran kemih tertentu
(UTI). Tablet extended-release tidak dipertukarkan dengan satu sama lain dan tidak
dipertukarkan dengan sediaan oral ciprofloxacin lainnya (tablet konvensional,
suspensi oral).

Berdasarkan parameter farmakokinetik (yaitu, AUC), regimen berikut


dianggap setara: tablet konvensional ciprofloxacin 250 mg setiap 12 jam denga
ciprofloxacin 200 mg IV setiap 12 jam; ciprofloxacin tablet konvensional 500 mg
setiap 12 jam dengan ciprofloxacin 400 mg IV setiap 12 jam; ciprofloxacin tablet
konvensional 750 mg setiap 12 jam dengan ciprofloxacin 400 mg IV setiap 8 jam.
(AHFS, 2011).

Pelarut yang compatible


18

Ada beberapa macam perlarut yang compatible oleh ciprofloxacin.


Diantaranya adalah dekstrosa 5% dalam elektrolit, dextrose 5% natrium klorida
0,225 atau 0,45%, dextrose 5 atau 10% dalam air, fruktosa 10% dalam air, injeksi
ringer laktat, natrium klorida 0,9%. (AHFS, 2011)

I. METODE PELAKSANAAN

I.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian ini akan dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan di Bangsal
Bedah RSUD Padang Panjang (Oktober 2015 - Desember 2015).

I.2. Prosedur Penelitian

I.2.1.Penetapan Kriteria Penderita


Penderita yang dipilih adalah pasien yang menerima injeksi antibiotik
sepalosporin generasi ketiga, di Bangsal Bedah RSUD Padang Panjang.

I.2.2. Penetapan Sampel yang Akan Dievaluasi

Sampel yang dipilih adalah rekam medik pasien yang menerima terapi
injeksi antibiotik sepalosporin generasi ketiga, di Bangsal Bedah RSUD
Padang Panjang.

I.2.3.Pengambilan Data

A. Data yang diambil adalah data rekam medik pasien, data laboratorium
pendukung catatan dokter/perawat di bangsal, serta pengamatan terhadap
respon klinis pasien di Bangsal Bedah RSUD Padang Panjang.
Data rekam medik:
a. Nama, umur, jenis kelamin, berat.
b. Keluhan pasien
c. Jenis obat dan dosis yang diterima pasien
19

d. Diagnosis riwayat penyakit pasien.


e. Waktu pemberian obat
Data laboratorium pendukung diantaranya adalah:
a. Suhu tubuh
b. Jumlah sel darah putih (leukosit)
c. Nilai serum kreatinin.

B. Mengamati perawat merekonstitusi injeksi kering, seperti:


a. pelarut yang digunakan
b. cara melarutkan
c. cara pemberian
d. cara penyimpanan injeksi yang sudah direkonstitusi
e. ruangan tempat merekonstitusi
f. waktu pemberian
C. Mengamati respon klinis pasien terhadap pengobatan yang diterima.
a. efektif atau tidaknya terapi, dapat dilihat dari gfafik suhu tubuh.
b. gejala efek samping obat,seperti:
Reaksi lokal sepeti panas dan reaksi hipersensitif.
c. gejala lain terkait adverse drug reaction yang dikeluhkan pasien,seperti:
reaksi alergi,reaksi toksik dan timbulnya super infeksi.

I.2.4. Penetapan Kriteria Obat


Obat yang dikaji adalah antibiotik injeksi yang diberikan kepada pasien rawat
inap di Bangsal Bedah RSUD Padang Panjang.

I.2.5. Analisis Data dan Penarikan Kesimpulan


I.2.5.1. Analisis Data
Data yang dikumpulkan diolah menggunakan statistik deskriptif. Data
disajikan dalam bentuk tabel dan diagram kemudian dianalisa.
Kemudian hasil yang diperoleh dibandingkan dengan standar yang
20

telah ditetapkan terlebih dahulu. Hasil perbandingan akan menunjukan


keberhasilan dan kerasionalan penggunaan obat yang ditinjau dari :
a. Kesesuaian pemilihan antibiotik dan regimen dosis yang diberikan
kepada pasien.
b. Kesesuaian pelarut yang digunakan.
c. Cara penyiapan dan pemberian obat yang tepat terhadap pasien.
d. Ruangan tempat melarutkan.
I.2.5.2. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan berdasarkan analisa regimen dosis terhadap
status penyakit pasien dan respon klinis pada pasien di bangsal Bedah
RSUD Padang Panjang serta cara penyiapan antibiotik injeksi yang
digunakan dibandingkan dengan literatur.

J. JADWAL KEGIATAN

No Bulan ke
21

Kegiatan

1 2 3 4 5 6

1 Persiapan / Pelaksanaan
Penelitian

2 Pengolahan Data

3 Penulisan Skripsi/makalah

Seminar

4 Persiapan Seminar Hasil

5 Penyempurnaan Skripsi dan


Persiapan Ujian Akhir

6 Ujian Akhir

DAFTAR PUSTAKA

American Society of Health-System Pharmacists Customer Service


Department.2011.AHFS Drug Information Essentials.American Society of
22

Health-System Pharmacists Customer Service Department, inc. 7272 Wisconsin


Avenue Bethesda.

Association Pharmacist American.2010. Drug Information Handbook 18th edition.


USA: Lexi-Comp.

BNF. 2009. British National Formulary. BMJ Group and Rps Publishing Volume 57.

Dipiro. 2008. Pharmacotherapy Handbook ed.7th. USA : McGrawHill.

Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Dasar Dispending Sediaan Steril.


Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Farmasi dan Alat
Kesehatan. Deparetemen Kesehatan RI.

Febiana,Tia. 2012. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Di Bangsal Anak


RSUP Dr. Kariadi Semarang Periode Agustus-Desember 2011.Diponegoro:
Uiversitas Diponegoro

KEMENKES RI. 2011. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi


Antibiotik.Jakarta: KEMENKES RI.

Lestari,Wulan.2010. Studi Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Sistem ATC/DDD


dan Kriteria Gyysens di Bangsal Penyakit Dalam RSUP DR.M.Djamil
Padang.Padang : Universitas Andalas.

Lucida, heny.2014. Kajian Kompatibilitas Sediaan Rekonstitusi Parenteral dan


Pencampuran Sediaan Intravena Pada Tiga Rumah Sakit Pemerintah di
Sumatera Barat. Padang :Universitas Andalas.

McEvoy & Gerald. 2008. AHFS Drugs Information. USA: American Societyof health
system pharmacists.

Michael T, Madigan. 2000. -lactam Antibiotiks.Brock Biology of Microorganism13 th


Edition.
23

Muhammad, AAW. 2014. Antibiotics 4thclass. University of technology Applied


Science Departement Biotechnology Division. New Zealand.

Rao, TV. MD. 2011. Learning Resources for Medical Microbiologist in Developing
World. Diagnostic Microbiology Laboratory

Regional Health Forum WHO South-East Asia, Antibiotiks, Volume 2, number 2.


Available from : http://www.searo.who.int/EN Update September 4th 2006,
Accassed January 30th 2009.

Selected Articles From Treatment Guidelines With Updates from The Medical Letter,
2005.Handbook of Antimicrobial Therapy 17th Edition.New York: The Medical
Letter, inc.1000 main street New Rochelle 10801-7537.

Setiabudy, Rianto. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen


Farmakologi dan Terapeutik FKUI.

The Department of Health.2009. British pharmacopoeia. London: The Department


Of Health, Social Services And Public Safety.

Trissel, Lawrence A. 2009. Handbook On Injectable Drugs ed 15th. American Society


Of Health System Pharmacists.

World Health Organization.The Rational Use Drugs. World Health Organization,


1987: 1-5.

Utami, E. R. 2012. Antibiotika, Resistensi, Dan Rasionalitas Terapi. Malang :


Fakultas Sains dan Tekhnologi UIN Maliki.

Anda mungkin juga menyukai