Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fungsi normal kandung kemih adalah mengisi dan mengeluarkan urin
secara terkoordinasi dan terkontrol. Aktifitas koordinasi ini diatur oleh sistem
saraf pusat dan perifer. Neurogenic bladder adalah penyakit yang menyerang
kandung kemih yang disebabkan oleh kerusakan ataupun penyakit pada sistem
saraf pusat atau pada sistem saraf perifer dan otonom. (Ginsberg, 2013).
Sedangkan, Inkontinensia urin adalah kondisi umum dan menjadi fokus kesehatan
global. Inkontinensia urin menyerang kedua jenis kelamin, meski pada
masyarakat menyerang dua kali lebih sering pada wanita, dan prevalensinya
meningkat seiring bertambahnya usia. (Chan, Lewis et.al, 2012).
Salah satu penelitian pertama mengenai prevalensi Neurogenic Bladder di
Asia adalah sebuah survai yang dilakukan oleh APCAB (Asia Pacific Continence
Advisory Board) yang mencakup 7875 laki-laki dan perempuan, dimana sekitar
70% adalah perempuan dari 11 negara termasuk 499 dari Indonesia didapatkan
bahwa prevalensi Neurogenic Bladder secara umum di Asia adalah sekitar 50,6%.
(Shenot, 2012).
Banyak penyebab dapat mendasari timbulnya Neurogenic Bladder
sehingga mutlak dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelum diagnosis ditegakkan.
Penyebab tersering adalah gangguan medulla spinalis, Selain itu kondisi lain yang
dapat menyebabkan neurogenic bladder adalah penyakit degenaratif neurologis
(multipel sklerosis, dan sklerosis lateral amiotropik), kelainan bawaan tulang
belakang (spina bifida).
Sebuah review dari studi internasional menyatakan bahwa inkontinensia
adalah keluhan umum di seluruh dunia. Prevalensi inkontinensia urin pada wanita
berkisar antara 3-55% bergantung pada batasan dan kelompok usia (Leduc &
Straus, 2004). Sebanyak 25-45% pada wanita dewasa dan 5-15% pada wanita
paruh baya dan lebih (Hunskaar et al. 2005).Di Amerika Serikat jumlah penderita
inkontinensia urin mencapai 13 juta dengan 85% diantaranya perempuan.Asia
Pacific Continence Advisory Board (APCAB) menyatakan prevalensi
inkontinensia urin pada wanita Asia sekitar 14,6% (Wahyuni, 2010).
Terapi yang cocok ditentukan dari diagnosis yang tepat dengan perawatan
medis yang baik dan perawatan bersama dengan bermacam pemeriksaan klinis,
meliputi urodinamik dan pemeriksaan radiologi terpilih.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana anatomi dan fisiologi kandung kemih?
2. Apa definisi dari Neurogenic Bladder dan Inkontinensia Urin?
3. Bagaimana etiologi dari Neurogenic Bladder dan Inkontinensia Urin?
4. Bagaimana patofisiologi dari Neurogenic Bladder dan Inkontinensia Urin?
5. Bagaimana manifestasi klinis Neurogenic Bladder dan Inkontinensia Urin?
6. Apa saja komplikasi dari Neurogenic Bladder dan Inkontinensia Urin ?
7. Apa saja pemeriksaan diagnostik pada Neurogenic Bladder dan Inkontinensia
Urin?
8. Bagaimana penatalaksanaan medis pada Neurogenic Bladder dan Inkontinensia
Urin?
9. Bagaimana prognosis pada kasus Neurogenic Bladder dan Inkontinensia Urin?
10. Bagaimana asuhan keperawatan pada Neurogenic Bladder dan Inkontinensia
Urin?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui konsep dan asuhan keperawatan pada pasien dengan
Neurogenic Bladder dan Inkontinensia Urin.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami anatomi dan fisiologi kandung kemih.
2. Mengetahui dan memahami tentang definisi dan etiologi Neurogenic Bladder
dan Inkontinensia Urin.
3. Mengetahui dan memahami tentang patofisiologi Neurogenic Bladder dan
Inkontinensia Urin.
4. Mengetahui dan memahami tentang manifestasi klinis Neurogenic Bladder dan
Inkontinensia Urin.
5. Mengetahui dan memahami tentang komplikasi pada kasus Neurogenic Bladder
dan Inkontinensia Urin.
6. Mengetahui dan memahami tentang pemeriksaan diagnostic pada kasus
Neurogenic Bladder dan Inkontinensia Urin.
7. Mengetahui dan memahami tentang penatalaksanaan medis pada kasus
Neurogenic Bladder dan Inkontinensia Urin.
8. Mengetahui dan memahami tentang prognosis Neurogenic Bladder dan
Inkontinensia Urin.
9. Mengetahui dan memahami tentang asuhan keperawatan pada kasus
Neurogenic Bladder dan Inkontinensia Urin.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang ingin dicapai dengan adanya makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Mahasiswa Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami definisi,
patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan medis pada pasien dengan
Neurogenic Bladder dan Inkontinensia Urin serta dapat menerapkan asuhan
keperawatan, khususnya untuk mahasiswa keperawatan.
2. Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan yang benar sebagai bekal
dalam persiapan praktik di rumah sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


1. Kandung Kemih (Bladder)
Kandung kemih merupakan otot, kantung berongga terletak tepat di
belakang tulang kemaluan. Kapasitas kandung kemih dewasa adalah
sekitar 300 sampai 600 mL urin. Pada masa kanak-kanak , kandung kemih
ditemukan dalam perut. Pada masa remaja dan sampai dewasa ,kandung
kemih mengasumsikanposisinya dalam panggul sejati (Smeltzer & Bare,
2004).

Gambar 1. Bladder

2. Struktur otot detrusor dan sfingter


Susunan sebagian besar otot polos kandung kemih sedemikian rupa
sehingga bila berkontraksi akan menyebabkan pengosongan kandung
kemih. Pengaturan serabut detrusor pada daerah leher kandung kemih
berbeda pada kedua jenis kelamin, pria mempunyai distribusi yang sirkuler
dan serabut-serabut tersebut membentuk suatu sfingter leher kandung
kemih yang efektif untuk mencegah terjadinya ejakulasi retrograd sfingter
interna yang ekivalen. Sfingter uretra (rhabdosfingter) terdiri dari serabut
otot luruk berbentuk sirkuler. Pada pria, rhabdosfingter terletak tepat di
distal dari prostat sementara pada wanita mengelilingi hampir seluruh
uretra. Rhabdosfingter secara anatomis berbeda dari otot-otot yang
membentuk dasar pelvis. Pemeriksaann EMG otot ini menunjukkan suatu
discharge tonik konstan yang akan menurun bila terjadi relaksasi sfingter
pada awal proses miksi (Japardi, 2002).
3. Persarafan dari kandung kemih dan sfingter
a. Persarafan parasimpatis (N.pelvikus)
Pengaturan fungsi motorik dari otot detrusor utama berasal dari
neuron preganglion parasimpatis dengan badan sel terletak pada
kolumna intermediolateral medula spinalis antara S2 dan S4. Neuron
preganglionik keluar dari medula spinalis bersama radiks spinal
anterior dan mengirim akson melalui N.pelvikus ke pleksus
parasimpatis pelvis. Ini merupakan suatu jaringan halus yang
menutupi kandung kemih dan rektum. Serabut postganglionik pendek
berjalan dari pleksus untuk menginervasi organ- organ pelvis. Tidak
terdapat perbedaan khusus postjunctional antara serabut
postganglionik danotot polos dari detrusor. Sebaliknya, serabut
postganglionik mempunyai jaringan difus sepanjang serabutnya yang
mengandung vesikel dimana asetilkolin dilepaskan. Meskipun pada
beberapa spesies transmiter nonkolinergik nonadrenergik juga
ditemukan, keberadaannya pada manusia diragukan (Japardi, 2002).
b. Persarafan simpatis (N.hipogastrik dan rantai simpatis sakral)
Kandung kemih menerima inervasi simpatis dari rantai
simpatis torakolumbal melalui a hipogastrik. Leher kandung kemih
menerima persarafan yang banyak dari sistem saraf simpatis dan pada
kucing dapat dilihat pengaturan parasimpatis oleh simpatis, sedangkan
peran sistim simpatis pada proses miksi manusia tidak jelas.
Simpatektomi lumbal saja tidak berpengaruh pada kontinens atau
miksi meskipun pada umumnya akan menimbulkan ejakulasi
retrograd. Leher kandung kemih pria banyak mengandung mervasi
noradrenergik dan aktivitas simpatis selama ejakulasi menyebabkan
penutupan dari leher kandung kemih untuk mencegah ejakulasi
retrograde (Japardi, 2002).
c. Persarafan somantik (N.pudendus)
Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian
dari traktus urinarius yang mendapat persarafan somatik. Onufrowicz
menggambarkan suatu nukleus pada kornu ventralis medula spinalis
pada S2, S3, dan S4. Nukleus ini yang umumnya dikenal sebagai
nukleus Onuf, mengandung badan sel dari motor neuron yang
menginnervasi baik sfingter anal dan uretra. Nukleus ini mempunyai
diameter yang lebih kecil daripada sel kornu anterior lain, tetapi suatu
penelitian mengenai sinaps motor neuron ini pada kucing
menunjukkan bahwa lebih bersifat skeletomotor dibandingkan
persarafan perineal parasimpatis preganglionik (Japardi, 2002).
Serabut motorik dari sel-sel ini berjalan dari radiks S2, S3 dan
S4 ke dalam N.pudendus dimana ketika melewati pelvis memberi
percabangan ke sfingter anal dan cabang perineal ke otot lurik sfingter
uretra. Secara elektromiografi, motor unit dari otot lurik sfingter sama
dengan serabut lurik otot tapi mempunyai amplitudo yang sedikit lebih
rendah (Japardi, 2002).
d. Persarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah
Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir
pada pleksus suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus.
Karena banyak dari serabut ini mengandung substansi P, ATP atau
calcitonin gene-related peptide dan pelepasannya dapat mengubah
eksitabilitas otot, serabut pleksus ini dapat digolongkan sebagai saraf
sensorik motorik daripada sensorik murni (Japardi, 2002).
Ketiga pasang saraf perifer (simpatis torakolumbal,
parasimpatis sacral dan pudendus) mengandung serabut saraf aferen.
Serabut aferen yang berjalan dalam n.pelvikus dan membawa sensasi
dari distensi kandung kemih tampaknya merupakan hal yang
terpenting pada fungsi kandung kemih yang normal. Akson aferen
terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak bermyelin dan serabut A
bermyelin kecil (Japardi, 2002).
Peran aferen hipogastrik tidak jelas tetapi serabut ini mungkin
menyampaikan beberapa sensasi dari distensi kandung kemih dan
nyeri. Aferen somatik pudendal menyalurkan sensasi dari aliran urine,
nyeri dan suhu dari uretra dan memproyeksikan ke daerah yang serupa
dalam medula spinalis sakral sebagai aferen kandung kemih. Hal ini
menggambarkan kemungkinan dari daerah-daerah penting pada
medulla spinalis sakral untuk intergrasi viserosomatik (Japardi, 2002).
Gambar 2. Bladder

Nathan dan Smith (1951) pada penelitian pasien yang telah


mengalami kordotomi anterolateral, menyimpulkan bahwa jaras
asending dari kandung kemih dan uretra berjalan di dalam traktus
spiotalamikus. Serabut spinobulber pada kolumna dorsalis mungkin
juga berperan pada transmisi dari informasi aferen (Japardi, 2002).

4. Hubungan dengan susunan saraf pusat


a. Pusat Miksi Pons
Pons merupakan pusat yang mengatur miksi melalui refleks
spinal-bulber-spinal atau long loop refleks. Demyelinisasi Groat
(1990) menyatakan bahwa pusat miksi pons merupakan titik
pengaturan (switch point) dimana refleks transpinal-bulber diatur
sedemikian rupa baik untuk pengaturan pengisian atau pengosongan
kandung kemih. Pusat miksi pons berperansebagai pusat pengaturan
yang mengatur refleks spinal dan menerima input dari daerah lain di
otak (Japardi, 2002).
b. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian
anteromedial dari lobus frontal dapat menimbulkan gangguan miksi
berupa urgensi, inkontinens, hilangnya sensibilitas kandung kemih
atau retensi urine. Pemeriksaan urodinamis menunjukkan adanya
kandung kemih yang hiperrefleksi (Japardi, 2002).
Gambar di bawah ini ini menggambarkan daerah kontrol
kortikal di frontal dan cingulate gyri serta daerah subkortikal
memberikan pengaruh penghambatan pada berkemih pada tingkat
pons dan memberikan rangsang yang berpengaruh pada sfingter
kemih eksternal. Hal ini memungkinkan adanya kontrol sukarela
berkemih sehingga biasanya evakuasi kandung kemih dapat ditunda
(Dorsher & McIntosh , 2011).

Gambar 3. Fisiologi mikturisi


(Dorsher & McIntosh , 2011)

5. Fisiologi pengaturan fungsi sfingter kandung kemih


a. Pengisian urine
Pada pengisian kandung kemih, distensi yang timbul ditandai
dengan adanya aktivitas sensor regang pada dinding kandung kemih.
Pada kandung kemih normal, tekanan intravesikal tidak meningkat
selama pengisian sebab terdapat inhibisi dari aktivitas detrusor dan
active compliance dari kandung kemih. Inhibisi dari aktivitas motorik
detrusor memerlukan jaras yang utuh antara pusat miksi pons dengan
medulla spinalis bagian sakral. Mekanisme active compliance kandung
kemih kurang diketahui namun proses ini juga memerlukan inervasi
yang utuh mengingat mekanisme ini hilang pada kerusakan radiks S2-
S4 (Japardi, 2002).
Selain akomodasi kandung kemih, kontinens selama pengisian
memerlukan fasilitasi aktifitas otot lurik dari sfingter uretra, sehingga
tekanan uretra lebih tinggi dibandingkan tekanan intravesikal dan
urine tidak mengalir keluar (Japardi, 2002).

b. Pengaliran urine
Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi
timbul dari distensi kandung kemih yang sinyalnya diperoleh dari
aferen yang bersifat sensitif terhadap regangan. Mekanisme normal
dari miksi volunteer tidak diketahui dengan jelas tetapi diperoleh dari
relaksasi oto lurik dari sfingter uretra dan lantai pelvis yang diikuti
dengan kontraksi kandung kemih. Inhibisi tonus simpatis pada leher
kandung kemih juga ditemukan sehingga tekanan intravesikal
diatas/melebihi tekanan intra uretral dan urine akan keluar.
Pengosongan kandung kemih yang lengkap tergantung adri refleks
yang menghambat aktifitas sfingter dan mempertahankan kontraksi
detrusor selama miksi (Japardi, 2002).
2.2 Definisi Neurogenic Bladder
David Ginsberg dalam jurnalnya yang berjudul The Epidemiology and
Pathophysiology of Neurogenic Bladder (2013) mengatakan bahwa neurogenic
bladder atau kandung kemih neurogenik merupakan penyakit yang menyerang
kandung kemih yang disebabkan oleh kerusakan ataupun penyakit pada sistem
saraf pusat atau pada sistem saraf perifer dan otonom.
Neurogenic bladder adalah disfungsi kandung kemih karena beberapa jenis
cedera pada sistem saraf yang menuju ke saluran kemih atau kandung kemih.
(Neighbors, 2014)
2.3 Etiologi Neurogenic Bladder
Sebuah trauma yang menyebabkan neurogenic bladder adalah cedera
tulang belakang yang berkelanjutan dalam kecelakaan kendaraan bermotor atau
kecelakaan menyelam. Penyebab trauma lainnya termasuk kasus serebrovaskular,
stroke, tumor, dan hernia lumbar disks. Diabetes, demensia, dan penyakit
parkinson adalah gangguan metabolisme yang sering menyebabkan neurogenic
bladder. (Neighbors, 2014)
2.4 Klasifikasi Neurogenic Bladder
Menurut Ginsberg (2013) pada neurogenic bladder sendiri terdapat
beberapa klasifikasi yang digunakan untuk mengelompokkan jenis- jenis
neurogenic bladder. Hal ini bisa berdasarkan penemuan urodinamik, kriteria
neurologis ataupun fungsi saluran kemih bagian bawah. Satu dari beberapa
klasifikasi sistem tersebut adalah berdasarkan lokasi lesi neurologis. Sistem ini
dijadikan panduan untuk terapi farmakologi dan intervensi lain. Dengan
menggunakan sistem ini maka neurogenic bladder diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Lesi diatas batang otak
b. Lesi sempurna pada suprasacral spinal cord
c. Trauma/ penyakit di sacral spinal cord
d. Gangguan pd refleks perifer (injury distal ke spinal cord)
Sementara itu, menurut Japardi (2002) pada gangguan kandung kemih
dapat terjadi pada bagian tingkatan lesi. Hal ini bergantung kepada jaras yang
terkena. Secara garis besar terdapat tiga jenis utama dari gangguan kandung
kemih yaitu:
a. Lesi suprapons
b. Lesi antara pusat miksi pons dansakral medula spinalis:
c. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)
Neurogenic Bladder ini juga dikelompokkan berdasarkan tipenya ke dalam
tiga kelompok besar oleh Saputra (2012) yakni:
a. Neurogenic bladder flasid
b. Neurogenic bladder spastik
c. Neurogenic bladder campuran
2.5 Manifestasi Klinis Neurogenic Bladder
Manifestasi klinis neurogenic bladder adalah retensi urin sebagian atau
total, inkontinensia, urgensi, nyeri suprapubik, atau sering buang air kecil.
Sementara menurut Japardi (2002) gejala-gejala disfungsi kandung kemih
neurogenik terdiri dari urgensi, frekuensi, retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi
detrusor merupakan keadaan yang mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan
inkontinens sehingga kurang dapat menilai lokasi kerusakan (localising value)
karena hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat kerusakan jaras dari
suprapons maupun suprasakral. Retensi urine dapat timbul sebagai akibat berbagai
keadaan patologis.
Berdasar tipenya sendiri, neurogenic bladder mempunyai beberapa
manifestasi klinis masing- masing. Berikut perbedaan manifestasi klinis pada
masing- masing tipe neurogenic bladder (Saputra, 2012):
a. Neurogenic bladder yang flasid
Pada tipe ini, manifestasi yang akan muncul diantaranya:
1) Inkontinensia overflow
2) Berkurangnya tonus sfingter ani
3) Distensi hebat kandung kemih yang disertai rasa penuh pada kandung kemih
b. Neurogenic bladder yang spastic
Manifestasi klinis yang akan muncul pada tipe ini adalah sebagai berikut:
1) Urinasi involunter atau urinasi yang kerapkali hanya sedikit tanpa rasa penuh
pada kandung kemih
2) Kemungkinan spasme spontan lengan dan tungkai
3) Peningkatan tonus sfingter ani
c. Neurogenic bladder campuran
Manifestasi klinis yang akan muncul pada tipe ini adalah sebagai berikut:
1) Tumpulnya persepsi akan kandung kemih yang penuh
2) Berkurangnya kemampuan untuk mengosongkan kandung kemih
3) Gejala urgensi yang tidak dapat dikembalikan.
2.6 Patofisiologi Neurogenic Bladder
Menurut Williams (2010) Lesi motor neuron atas (pada atau di atas T12)
menyebabkan kandung kemih neurogenik spastik, dengan kontraksi spontan otot
detrusor, peningkatan tekanan intravesika saat berkemih, hipertropi dinding
kandung kemih dengan trabekulasi, dan spasme sfingter. Pasien mungkin
mengalami volume urin sedikit, pengosongan lengkap, dan hilangnya kontrol
volunter berkemih. Retensi urin juga menentukan tingkat infeksi.
Lesi motor neuron bawah (pada atau di bawah S2 hingga S4)
mempengaruhi refleks spinal yang mengontrol miksi. Akibatnya adalah kandung
kemih neurogenik lemah dengan penurunan tekanan intravesikal, dan peningkatan
kapasitas kandung kemih, retensi residu urin, dan kontraksi detrusor memburuk.
Kandung kemih tidak kosong dengan spontan. Pasien mengalami kehilangan
kontrol volunter dan involunter berkemih. Lesi motor neuron bawah
menyebabkan inkontinensia overflow. Ketika neuron sensori terganggu, pasien
tidak dapat merasakan kebutuhan untuk buang air.
Gangguan saraf eferen pada korteks atau motor neuron atas, tingkat akibat
pada hilangnya kontrol volunter. Pusat yang lebih tinggi juga mengontrol miksi,
dan berkemih mungkin tidak lengkap. Gangguan neuron sensori menyebabkan
dribbling dan inkontinensia overflow. Perubahan sensasi kandung kemih sering
membuat gejala yang sulit untuk dibedakan.
Kontribusi retensi urin pada batu ginjal maupun infeksi. Kandung kemih
neurogenik dapat menyebabkan kerusakan fungsi ginjal jika tidak segera
didiagnosa dan diobati.
2.7 Komplikasi Neurogenic Bladder
Pada pasien dengan neurogenic bladder juga memungkinkan untuk
meningkatkan resiko terkena infeksi saluran kemih (ISK) dan gangguan
saluran keluar kandung kemih (bladder outlet obstruction). Pada pasien
dengan neurogenic bladder, jika mereka tidak diobati secara optimal maka juga
bisa menyebabkan sepsis dan gagal ginjal. (Ginsberg D:2013)
2.8 Prognosis Neurogenic Bladder
Salah satu penelitian pertama mengenai prevalensi Neurogenic Bladder di
Asia adalah sebuah survai yang dilakukan oleh APCAB (Asia Pacific
Continence Advisory Board) yang mencakup 7875 laki-laki dan perempuan,
dimana sekitar 70% adalah perempuan dari 11 negara termasuk 499 dari
Indonesia didapatkan bahwa prevalensi Neurogenic Bladder secara umum di
Asia adalah sekitar 50,6%.1 Neurogenic bladder akan meningkat jumlahnya pada
kondisi neurologis tertentu. Sebagai contoh, di Amerika neurogenic bladder ini
telah ditemukan pada 40%- 90% pasien dengan multiple sclerosis, 37% - 72%
pada pasien dengan parkinson dan 15% pada pasien dengan stroke.
Prognosis baik jika segera ditangani dan tidak sampai terjadi gagal ginjal.
Pengobatan yang tepat dapat membantu mencegah disfungsi permanen dan
kerusakan ginjal. (Patrick J. Shenot, MD,2012)

2.9 Penatalaksanaan Neurogenic Bladder


Dasar dari penatalaksanaan dari disfungsi
kandung kemih adalah untuk mempertahankan fungsi gunjal
dan mengurangi gejala.
a. Penatalaksanaan gangguan pengosongan kandung
kemih dapat dilakukan dengan cara
1) Stimulasi kontraksi detrusor, suprapubic tapping atau
stimulasi perianal
2) Kompresi eksternal dan penekanan abdomen, credes
manoeuvre
3) Clean intermittent self-catheterisation
4) Indwelling urethral catheter
b. Penatalaksanaan hiperrefleksia detrusor
1) Bladder retraining (bladder drill)
2) Pengobatan oral, Propantheline, imipramine, oxybutinin
c. Penatalaksanaa operatif
Tindakan operatif berguna pada penderita
usia muda dengan kelainan neurologis kongenital atau
cedera medula spinalis.
Pengobatan betujuan untuk memungkinkan baldder benar-benar kosong
dan secara reguler, mencegah infeksi, mengontrol inkontinensia, melindungi
fungsi ginjal. Kateterisasi atau teknik untuk memicu buang air kecil dapat
membantu mencegah urin dari sisa terlalu lama di kandung kemih. Sebagai
contoh, beberapa orang dengan kandung kemih spastik dapat memicu buang air
kecil dengan menekan perut mereka lebih rendah atau menggaruk paha mereka .
Ketika urin tetap dalam kandung kemih terlalu lama , orang tersebut berada pada
risiko infeksi saluran kemih. Memasukkan kateter ke dalam kandung kemih
secara berkala biasanya lebih aman daripada meninggalkan kateter secara terus
menerus.
Jika penyebabnya adalah cedera saraf, maka dipasang kateter melalui uretra
untuk mengosongkan kandung kemih, baik secara berkesinambungan
maupun untuk sementara waktu. Kateter dipasang sesegera mungkin agar otot
kandung kemih tidak mengalami kerusakan karena peregangan yang berlebihan
dan untuk mencegah infeksi kandung kemih. Pemasangan kateter secara
permanen lebih sedikit menimbulkan masalah pada wanita dibandingkan dengan
pria. Pada pria, kateter bisa menyebabkan peradangan uretra dan jaringan di
sekitarnya.
1. Terapi Non Farmakologi
Salah satu terapi non farmakologis yang efektif adalah bladder training.
Bladder trining adalah latihan yang dilakukan untuk mengembalikan tonus otot
kandung kemih agar fungsinya kembali normal.Bladder training adalah salah
satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami
gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik. Tujuan dari
bladder training adalah untuk melatih kandung kemih dan mengembalikan pola
normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air
kemih.
Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises
(latihan pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), Delay
urination (menunda berkemih), dan scheduled bathroom trips (jadwal
berkemih). Latihan kegel (kegel execises) merupakan aktifitas fisik yang
tersusun dalam suatu program yang dilakukan secara berulang-ulang guna
meningkatkan kebugaran tubuh. Latihan kegel dapat meningkatkan mobilitas
kandung kemih dan bermanfaat dalam menurunkan gangguan pemenuhan
kebutuhan eliminasi urin. Latihan otot dasar panggul dapat membantu
memperkuat otot dasar panggul untuk memperkuat penutupan uretra dan secara
refleks menghambat kontraksi kandung kemih. Bladder training dapat dilakukan
dengan latihan menahan kencing (menunda untuk berkemih). Pada pasien yang
terpasang kateter, Bladder training dapat dilakukan dengan mengklem aliran
urin ke urin bag. Bladder training dilakukan sebelum kateterisasi
diberhentikan. Tindakan ini dapat dilakukan dengan menjepit kateter urin dengan
klem kemudian jepitannya dilepas setiap beberapa jam sekali. Kateter di klem
selama 20 menit dan kemudian dilepas. Tindakan menjepit kateter ini
memungkinkan kandung kemih. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval
berkemih yang normal dengan berbagai teknik distraksi atau teknik relaksasi
sehingga frekuensi berkemih dapat berkurang, hanya 6-7 kali per hari atau 3-4
jam sekali.
Langkah-langkah bladder training :
1) Klem selang kateter sesuai dengan program selama 1 jam
yang memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot
destrusor berkontraksi, supaya meningkatkan volume urin
residual.
2) Anjurkan klien minum (200-250 cc).
3) Tanyakan pada klien apakah terasa ingin berkemih setelah 1
jam.10
4) Buka klem dan biarkan urin mengalir keluar.10
5) Lihat kemampuan berkemih klien.10
2. Terapi Farmakologi
a. Anti kolinergik
Anti kolinergik efektif dalam mengobati inkontinensia karena
mereka menghambat kontraksi kandung kemihin volunter dan
memperbaiki fungsi penampungan air kemih oleh kandung
kemih. Misalnya, Hiosiamin ( Levbid) 0.125 mg,Dicyclomine
hydrochloride (Bentyl) 10-20 mg.
b. Anti spasmodik
Anti spasmodik melepaskan otot polos kandung
kemih. Obatantispasmodiktelah dilaporkan untuk
meningkatkan kapasitas kandung kemih dan efektif
mengurangi atau menghilangkan inkontinensia. Misalnya
Oksibutinin (ditropanXL) 5-15 mg, Tolterodin (detrol) 2 mg.
c. Obat Betanekol klorida (urecholine)
Adalah suatu obat kolinergik yang bekerja langsung,
bekerja pada reseptor muskarinik (kolonergik) dan terutama di
pakai untuk meningkatkan berkemih. dan mengobat retensi
urin. Merupaka agonis kolinergik yang digunakan untuk
meningkatkan kontraksi detrusorObat ini membantu
menstimulasi kontraksi bladder pada pasien yang menyimpan
urin. Betanekol klorida 10-50 mg 3-4 kali dalam sehari.
3. Terapi Operatif
Pembedahan bisa dilakukan pada kasus tertentu yang jarang.
Pembedahan dilakukan untuk membuat jalan lain untuk mengeluarkan
urin, memasang alat untuk menstimulasi otot kandung kemih.
2.10 Pemeriksaan Diagnostik Neurogenic Bladder
1. Pemeriksaan Urodinamika
a. Merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui
fungsi kandungan kemih dengan mengevaluasi kerja
kandung kemih untuk penyimpanan urin, pengosongan
kandung kemih dan kecepatan aliran urin keluar darikandung
kemih pada saat buang air kecil. Pemeriksaan
urodinamika dapat berupa Cystometrography,
Postvoid residual urine, uroflometri, serta
elektromielografi sfingter.
b. Cystometrography
Cara pemeriksaannya dengan memasukan kateter berisi
transduser untuk mengukur tekanan ke dalam kandungan
kemih dan rektum dan kateter tersebut dihubungkan dengan
komputer. Kemudian memasukan cairan steril ke dalam
kandungan kemih. Selama fase pengisian tersebut komputer
akan memberikan informasi mengenai tekanan kandung
kemih, dan rektum, refleks kandungan kemih dan kapasitas
kandungan kemih.

(Sumber : Google)
c. Postvoid residual urine
Adalah sebuah tes diagnostik yang mengukur berapa
banyak urin di kandung kemih yang tersisa setelah buang
air kecil. Pemeriksaan residu urine setelah berkemih (PVR)
adalah pemeriksaan dasar untuk inkontinensia urine untuk
mengetahui kemampuan vesika urinaria dalam
mengosongkan seluruh isinya.
Abnormal : 50-100ml / >20% volume BAK.
(Sumber : http://orbhealthcare.com/)
d. Uroflometri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama
proses miksi secara elektronik.Pemeriksaan ini ditujukan
untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian
bawah yang tidak invasive. Hasilbiasanya
diberikandalam mililiter per detik(mL / detik).

(Gambar.Sumber: http://multipard.com/)
e. Elektromielografi
Membantu memastikan adanya kegiatan berkemih yang
terkoordinasi atau tidak. Kegagalan relaksasi uretra selama
kontraksi kandung kemih menghasilkan disinergia detrusor
sfingter (kegiatan berkemih yang tidak terkoordinasi) yang
dapat didiagnosis secara akurat saat terjadi lesi pada korda
spinalis.
2. Cystoscopy
Membantu memastikan adanya kegiatan berkemih yang terkoordinasi
atau tidak. Kegagalan relaksasi uretra selama kontraksi kandung
kemih menghasilkan disinergia detrusor sfingter (kegiatan berkemih
yang tidak terkoordinasi) yang dapat didiagnosis secara akurat saat
terjadi lesi pada korda spinalis. Fungsi sistoskopi dalam
pemeriksaan disfungsi kandung kemih neurogenik
memungkinkan adanya penemuan massa kandung kemih seperti
kanker dan batu pada kandung kemih yang tidak dapat terdiagnosa
dengan hanya pemeriksaan urodinamik saja. Pemeriksaan ini
diindikasikan untuk pasien yang mengeluhkan gejala berkemih iritatif
persisten atau hematuria. Pemeriksa dapat mendiagnosa berbagai
macam penyebab pasti dari overaktivitas kandung kemih seperti
sistitis, batu dan tumor secara mudah.

(Sumber Gambar : http://healthncare.info/)

3. Pemeriksaan Imaging berupa pemeriksaan X-ray, USG, CT-Scan


serta MRI. Untuk mendeteksi kelainan neurologis dapat dilakukan
pemeriksaan ini

(Sumber: Google)
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
NEUROGENIC BLADDER
3.1 Pengkajian
Pada pengkajian dilakukan anamnesa (wawancara) dan
pemeriksaan fisik secara langsung guna memperoleh data yang akurat.
Data tersebut digunakan sebagai acuan dalam membuat rencana asuhan
keperawatan (Nursalam, 2008).
a. Identitas klien, meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,
bahasa, pekerjaan, kebangsaan, alamat, pendidikan, tanggal MRS, dan
diagnose medis (Nursalam, 2008).
b. Keluhan utama
Klien biasanya mengeluh sulit berkemih (Unbound Medicine, 2013).
c. Riwayat kesehatan sekarang
Klien mengalami perubahan berat badan. Tanyakan juga kepada klien
mengenai frekuensi berkemih, pola berkemih, warna dan jumlah
pengeluaran urin per hari (Unbound Medicine, 2013).
d. Riwayat penyakit sebelumnya
1. Klien memiliki riwayat merokok, penggunaan alkohol, asupan
kafein, dan terpapar zat nefrotoksik,
2. Pembedahan. (Morton, 2008)
e. Riwayat penyakit keluarga
Perawat perlu menanyakan apakah penyakit ini pernah dialami oleh
anggota keluarga lain. Adakah anggota keluarga yang pernah
mengalami penyakit infeksi saluran kemih lainnya.
f. Pengkajian psikososial
Klien merasa cemas dengan kondisi yang dialaminya serta malu
akan bau urin dan kurangnya kontrol berkemih. Pasien merasa
alternatif satu-satunya adalah kateterisasi urin. Klien juga mungkin
takut akan terjadinya disfungsi seksual (Unbound Medicine, 2013).
g. Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan Smeltzer (2004), perawat dapat melakukan
pemeriksaan fisik secara per system (Review of System), yakni:
1. B1 (Breath)
Pada pasien dengan masalah disfungsi perkemihan biasanya
pada sistem pernapasan tidak ditemukan kelainan.
2. B2 (Blood)
Pada sistem peredaran darah biasanya juga tidak ditemukan
kelainan.
3. B3 (Brain)
Kaji tingkat kesadaran klien dengan GCS.
GCS : E= 4 V=5 M= 6 Total nilai: 15
4. B4 (Bladder)
Pada pasien dengan masalah disfungsi perkemihan biasanya
mengalami perubahan dalam proses berkemih, meliputi frekuensi
berkemih, disuria, enuresis, poliuria, oliguria, dan hematuria.
5. B5 (Bowel)
Perubahan pada bising usus, distensi abdomen, mual, dan
muntah. Perubahan pada pola defekasi misal terdapat darah
pada feses, diare, nyeri pada defekasi.
6. B6 (Bone)
Perawat mengkaji kondisi kulit untuk mengetahui status
hidrasi klien, meliputi turgor kulit dan mukosa mulut. Kaji
adanya nyeri, kelemahan/ keletihan, serta keterbatasan partisipasi
pada latihan.
3.2 Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih
b. Inkontinensia urine aliran berlebih berhubungan dengan kandung
kemih kronis yang terlalu penuh ditandai dengan hilangnya sensasi
kandung kemih
c. Inkontinensia urine aliran berlebih berhubungan dengan sfingter
detrusor (DSD)
3.3 Intervensi
a. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih
Tujuan : pasien tidak merasa nyeri
Kriteria Hasil :
a. RR 12x/ menit
b. Skala nyeri : 0
c. Klien nampak tenang
d. Tidak ada distensi kandung kemih

Intervensi Rasional

1. Kaji tingkat nyeri Memberikan informasi

tentang efektivitas intervensi.

2. Plester selang drainase di Untuk mencegah penarikan


paha dan perut
kandung kemih, dan erosi

skrotal penis.

3. Pertahankan tirah baring Meningkatkan pola

berkemih normal.

4. Berikan analgesik sesuai Analgesik memblokir jalan nyeri


dengan program
terapi .

b. Inkontinensia urine aliran berlebih berhubungan dengan


kandung kemih kronis yang terlalu penuh ditandai dengan
hilangnya sensasi kandung kemih
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan dalam waktu 2x 24 jam
klien akan mencapai keadaan kekeringan yang secara pribadi
memuaskan
Kriteria Hasil:
a. mengosongkan kandung kemih menggunakan Crede atau
valsava manuver dengan urin sisa kurang dari 50 ml, jika
diindikasikan
b. kekosongan sendiri

Intervensi Rasional

A. Mengajarkan metode klien Di banyak klien, manuver Crede


untuk mengosongkan dapat membantu untuk
kandung kemih: mengosongkan
a. Crede 's manuver:
1. menempatkan tangan kandung kemih tersebut. manuver ini
(datar atau terlebih) tepat tidak pantas, namun, jika sfingter
di bawah daerah pusar, kemih kronis dikontrak. dalam hal
satu tangan di atas yang ini, menekan kandung kemih dapat
lain memaksa urine sampai ureter serta
2. tekan keras ke bawah
melalui uretra. refluks urin ke dalam
dan menuju lengkungan
panggul pelvis ginjal dapat menyebabkan
3. tunggu beberapa
infeksi ginja
menit, kemudian ulangi
lagi untuk memastikan
pengosongan lengkap

b. Valsava maneuver (bantalan): Valsava manuver


1. belajar maju pada
thights mengkontraksi otot perut yang
2. kontrak otot perut, manual kompres kandung kemih
jika mungkin, dan
ketegangan atau
mengejan sambil
menahan nafas terus
sampai aliran urin
berhenti, tunggu satu
menit kemudian
3. ulangi terus sampai
tidak ada lagi urine
dikeluarkan
c. membersihkan intermiten CISC mencegah overdistentions,
diri katerisasi (CISC),
digunakan sendiri atau dalam membantu menjaga otot detrusor,

kombinasi dengan metode dan memastikan kandung kemih

di atas. lengkap mengosongkan CISC, dapat


(Lihat risiko tinggi digunakan pada awalnya untuk
keperawatan diagnosis untuk menentukan sisa urin berikut dalam
ketidak efektifan maneuver Crede atau penyadapan.
penatalaksanaan program sebagai sisa decreasess urine, kateter
terapeutik pada rencana dapat meruncing. CISC mungkin
perawatan ini untuk poin rekondisi refleks berkemih di
pengajaran spesifik) beberapa klien.

d. Cystometogram baseline membahas tes diagnostik CMG


(SMG) dapat dibenarkan untuk membantu merencanakan dan
mengevaluasi program kandung
kemih

c. Inkontinensia urine aliran berlebih berhubungan dengan


sfingter detrusor (DSD)
Tujuan: mengacu pada tujuan untuk inkontinensia urine aliran
berlebih yang berkaitan dengan urine aliran kandung kemih
kronis dengan hilangnya sensasi kandung kemih distensi

Intervensi Rasional

Berkonsultasi dengan physican untuk DSD adalah assosiated dengan jumlah


obat obatan yg merigankan dsd besar sisa urin

Mengelola vitamin c dan cranberry Urin asam menghalangi pertumbuhan


tablet seperti yang diperintahkan bakteri yang terlibat dalam cystis

Memonitor residual urine (tidak lebih Monitor hati mendeteksi masalah awal
dari 50 ml) yang memungkinkan intervensi yang
cepat untuk mencegah statis urin

Menguji sample urin terkontaminasi Bakteri menghitung lebih dari 10 urine


bakteri menujukan infeksi, ketika piuria hadir,
beberapa dokter mungkin tidak ingin
memperlakukan sampai klien mengalami
gejala
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS PADA PASIEN DENGAN
NEUROGENIC BLADDER

Ny. S usia 55 tahun datang ke RSUA pada tanggal 21 Maret 2017 pukul 10.00
WIB. Ny.S mengeluhkan sejak peristiwa setelah jatuh dari pohon jambu merasa
sakit di daerah suprapubic jika ditekan dan ketika kencing, sebelum dipasang
kateter Ny.S mengeluhkan sering berkemih dengan jumlah sedikit-sedikir.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dari simpilis pubis ke umbilicus dihasilkan
bladder terpalpasi dan suara perkusi dullness. Hasil dari pemeriksaan radiologi
Ny.S mengalami spinal cord injuri pada sacrum 2 dan hasil USG menujukan
adanya distensi bladder. Pemeriksaan TTV pasien menunjukan suhu 38 C, RR
22x/menit, TD 110/70, nadi 90x/menit. Dari hasil lab urin belum menunjukan
adanya tanda infeksi, pH urin 6, RBCs 3, WBCs 3

1. Identitas
a. Nama : Ny.S
b. Jenis kelamin : perempuan
c. Umur : 55 tahun
d. Agama : islam
e. Pendidikan : SMP
2. Riwayat kesehatan
a. Alasan masuk RS:
Sejak peristiwa setelah jatuh dari pohon jambu merasa sakit di daerah
suprapubic jika ditekan dan ketika kencing, Ny.S mengeluhkan sering
berkemih dengan jumlah sedikit-sedikir
b. Keluhan utama
Tidak bisa tuntas dalam berkemih dan merasa sakit di perut bagian
bawah ketika kencing dan ditekan
c. Riwayat penyakit sekarang
NB karena injury pada sakrum 2
d. Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada
e. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada yg mengalami seperti Ny.s
f. Pekerjaan : Petani
g. Alamat : Gresik
h. Tanggal masuk : 21 Maret 2017
i. Jam : 10.00 WIB

3. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum:
Suhu 38 C
Nadi 90x/menit
RR 22x/menit
b. Perkusi
Suara dullness di daerah suprapubic ke umbilicus
c. Palpasi
Kandung kemih terpalpasi
B1 (breathing)
RR 22x/menit
B2(blood)
TD 110/70
B3 (Brain)
GCS : E= 4 V=5 M= 6
Injuri spinal cord di S2
B4 (Bladder)
Kandung kemih penuh, sering berkemih, distensi bladder. Jumlah
urin =400 ml/ hari
B5 (Bowel)
Tidak ada masalah
B6(Bone)
Tidak ada masalah
4. Pemeriksaan penunjang
USG : distensi bladder; MRI: injuri spinal cord
5. Pemeriksaan Laboratorium
pH urin 6; RBCs (Red Blood Cells) 3; WBCs
(White Blood Cells) 3.
Nilai normal (Morton & Fontaine, 2013) :
pH = 4,5-7,5
RBCs = 0-3
WBCs = 0-4

Analisa data
Data etiologi MK

Data Subjektif: Spastic Neurogenic nyeri


Bladder
Pasien mengatakan

nyeri ketika kandung


kemih ditekan Gangguan eliminasi urin

Data Objektif:

distensi abdomen, Volume urin penuh

suara dullness di

suprapubic Distensi kandung kemih

P : nyeri kandung
kemih
Nyeri
Q:-

R : di akndung kemih

S:7

T : ketika ditekan

Data Subjektif: lesi lower motor neuron (sakrum Resiko infeksi


2)
Pasien mengatakan
badanya panas

Spastic neurogenic bladder

Data Objektif:

Hilangnya kesadaran dan


kontrol syaraf
0
Suhu : 38 C, RR= 22/

menit, terpasang kateter,


pH urin 6; RBCs (Red Gangguan eliminasi urin
Blood Cells) 3; WBCs
(White Blood Cells) 3.
Jumlah urin = 400 ml/ hari Diinsersi kateter

Resiko infeksi

Diagnosa dan intervensi:

1. Nyeri b.d distensi kandung kemih


Tujuan: pasien tidak merasa nyeri
Kriteria hasil:
a. RR 12x/menit
b. Skala nyeri 0
c. Klien tampak tenang
d. Tidak ada distensi kandung kemih
Intervensi
a. Kaji tingkat nyeri
Rasional: memberikan informasi tentang efektivitas intervensi
b. Plester selang drainase di paha dan perut
Rasional: untuk mencegah penarikan kandung kemih
c. Pertahankan tirah baring
Rasional: mungkin diperlukan pada awal retensi akut namun
ambulasi dini dapat meningkatkan pola berkemih normal.
d. Berikan analgesik sesuai dengan program terapi
Rasioanl: analgesik memblokir jalan nyeri
2. Resiko infeksi b.d insersi kateter
Tujuan: tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil:
a. Suhu 36 c
b. RR 12-20x/menit
c. Urin bersih
d. Leukosit dan bakteri dalam kultur urin negatif

Intervensi (elsevier, 2012)

1. Kaji dan laporkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih (misalnya
urin keruh, frekuensi, rasa terbakar aat buang air kecil, menggigil, suhu
tinggi, urinalisis ada bakteri dan leukosit urin)
2. Terapkan langkah-langkah untuk mencegah infeksi saluran kemih:
a. Mempertahankan asupan cairan minimal 2500ml/ hari kecuali
kontraindikasi untuk mempromosikan pembentukan urin dan
berkemih berikutnya, mengirigasi patogen dari uretra dan kandung
kemih
b. Intruksikan pada klien untuk menyeka dari depan ke belakang
setelah buang air kecil atau buang air besar
c. Bantu klien dengan perawatan perineum secara rutin dan
setelah setiap buang air besar mempertahankan teknik steril
selama kateterisasi urin dan irigasi
d. Pertahankan kepatenan kateter
e. Lakukan perawatan kateter sesering diperlukan untuk mencegah
akumulasi lendir di sekitar meatus
f. Pertahankan sistem drainase tertutup untuk mengurangi risiko
pengenalan patogen ke dalam saluran kemih
g. Simpan koleksi urin wadah di bawah permukaan kandung
kemih setiap saat untuk mencegah refluks atau stasis urin

Jika tanda-tanda dan gejala infeksi saluran kemih terjadi,


kolaborasi manajemen dengan antimikroba
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Inkontinensia Urin

Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan otot sfingter eksternal yang


bersifat sementara atau permanen untuk mengontrol aliran urine dari kandung
kemih. (Kozier, 2009)
Inkontinensia urin secara umum adalah kegagalan kontrol secara volunter
vesika urinaria dan sfingter uretra sehingga terjadi pengeluaran urin secara
involunter yang konstan/frekuen meskipun pasien berusaha sekuat mungkin
menahannya, urin bisa menetes dan terjadi seketika.
2.2 Klasifikasi Inkontinensia Urin
Klasifikasi inkontinensia urin oleh International Continence Society
(Brooker, 2009)
1. Inkontinensia Urgensi (Grace &Borley , 2006)
Ketidakstabilan otot detrusor idiopatik menyebabkan peningkatan
tekanan intravesika dan kebocoran urin.
2. Inkontinensia Stress
Inkontinensia stres didefinisikan sebagai pengeluaran urin saat terjadi
peningkatan tekanan intra abdomen tanpa disertai kontraksi detrusor atau
kandung kemih yang terlalu distensi. Secara klinis, kondisi ini muncul sebagai
pengeluaran urin involunter saat batuk, bersin, tertawa atau melakukan
aktivitas fisik. Kondisi ini terjadi pada sekitar 85% wanita yang mengalami
inkontinensia (Cardozo, 1991 dalam Brooker, 2009)
3. Inkontinensia Kombinasi
Orang seringkali mengeluh gejala kombinasi inkontinensia stres dan
urgensi yang disebut inkontinensia kombinasi. Inkontinensia kombinasi
terutama sering dialami oleh wanita pasca menopause. Aspek terpenting
pada jenis inkontinensia ini adalah mengidentifikasi gejala yang paling
mengganggu yang selanjutnya dijadikan target pengobatan.
4. Inkontinensia Overflow
Istilah ini digunakan untuk mendeskripsikan pengeluaran urin
involunter akibat distensi berlebihan kandung kemih. Urin menetes keluar
dalam jumlah sedikit disertai pengosongan bladder yang tidak komplit.
Kondisi ini dapat disebabkan berbagai kondisi termasuk obstruksi saluran
keluar kandung kemih atau obstruksi uretra yang paling sering terjadi pada
pria yang mengalami hiperplasia prostat. Jenis inkontinensia ini lebih jarang
terjadi pada wanita tetapi dapat terjadi sebagai komplikasi setelah
pembedahan untuk mengoreksi inkontinensia atau akibat prolaps organ
panggul berat.
Otot detrusor yang tidak aktif atau tidak kontraktil juga dapat
menyebabkan distensi dan aliran berlebihan. Penyebabnya meliputi
gangguan neurologis seperti stroke atau sklerosis multipel, diabetes, dan
efek samping pengobatan. Kondisi ini idiopatik pada beberapa individu.

2.3 Etiologi Inkontinensia Urin


Penyebab Inkontinensi urin ada beberapa macam berdasarkan jenisnya.
1. Inkontinensia urgensi. Pengeluaran urin involunter yang disebabkan
oleh dorongan dan keinginan mendadak untuk berkemih. Hal ini berkaitan
dengan kontraksi detrusor seca involunter. Penyebab gangguan neurologik
serta infeksi saluran kemih.
2. Inkontinensia stres. Pengeluaran urin involunter selama batuk, bersin,
tertawa, atau peningkatan tekanan intraabdomen lainnya. Inkontinensia stres
biasanya disebabkan saluran keluar kandung kemih inkompeten akibat
kelemahan otot dasar panggul yang menyangga dan insufisiensi sfingter
uretra. Wanita yang mengalami kondisi ini biasanya disebabkan oleh
kelahiran, sedangkan pada pria, kondisi ini dapat terjadi setelah pembedahan
prostat.
3. Inkontinensia overflow. Pengeluaran urin involunter akibat distensi
kandung kemih yang berlebihan. Bisa terdapat penetesan urin yang sering
atau berupa inkontinensia dorongan atau tekanan. Dapat diserta dengan
kandung kemih, obat-obatan, impaksi feses, nefropati diabetic, atau defisiensi
vitamin B12
4. Inkontinensia fungsional. Imobilitas, deficit kognitif, paraplegia, atau
daya kembang kandung kemih yang buruk.

Faktor-faktor yang ada hubungan


Penyebab Kesadaran Kemampuan Busur Respon akibatnya
inkontinensia urin kebutuhan korteks untuk refleks kandung
untuk menahan kemih
berkemih berkemih terhadap
pengisian
Cerebral clouding terganggu Terganggu Bekerja Normal Berkemih tidak
terkendali akibat
respon reflek.
Infeksi Bekerja Bekerja tapi Mendapat Meningkat Berkemih karena
terkalahkan stimulus respon reflek yang
oleh respon tidak kuat (terpaksa).
reflek yang normal
kuat
Gangguan jalur Berkurang Terganggu Bekerja Meningkat Berkemih karena
dari sel saraf pusat respon reflek.
(lesi korteks)
Lesi neuron atas Rusak Rusak Bekerja, Meningkat Berkemih
tapi tidak karenarespon
tepat reflek.
Lesi motor neuron Rusak Rusak Rusak Rusak Distensi atau
bawah atau atau pengosongan tidak
terganggu terganggu sempurna.
Kerusakan bekerja Ada, tapi bekerja normal Hilang kendali
jaringan berfungsi berkemih karena
karena otot-otot
respon otot terganggu.
jelek

Secara umum, faktor resiko berkembangnya inkontinensia urin adalah


sebagai berikut:
1. Wanita
Wanita akan cenderung lebih sering mengalami stress penyebab inkontinensia.
Kehamilan, proses melahirkan, dan menopause. Namun pria dengan kondisi
prostat akan meningkat resikonya untuk mengalami inkontinensia urin.
2. Bertambahnya usia
Otot kandung kemih & uretra kehilangan sebagian kekuatan nya seiring dengan
bertambahnya usia. Perubahan usia mengurangi kapasitas kandung kemih dan
meningkatkan resiko proses berkemih yang tidak terkontrol.
3. Kelebihan berat badan (Overweight)
Seseorang dengan berat badan berlebih akan meningkatkan tekanan pada
kandung kemih dan otot-otot yang ada di sekitarnya, melemahkan otot-otot
tersebut dan membuat urin keluar (bocor) dengan adanya rangsangan stress
(contoh: stress yang disebabkan karena batuk atau bersin).
4. Merokok
Batuk kronis disertai merokok dapat memunculkan inkontinensia atau bahkan
inkontinensia yang lebih parah yang disebabkan oleh penyebab lain. Batuk
yang terus menerus menimbulkan stress pada sfingter urin, menyebabkan stress
inkontinensia. Perokok juga beresiko tinggi mengalami kandung kemih yang
bekerja berlebihan.
5. Infeksi
Infeksi traktus urinarius yang simptomatik sering menjadi penyebab timbulnya
keadaan inkontinensia (Isselbacher et al.,1999). Gejala yang berkaitan dengan
infeksi traktur urinarius meliputi sering kencing, rasa panas waktu kencing,
disuria, dan mungkin demam. Apabila pengosongan terjadi scara spontan tanpa
disertai berbagai sensasi atau kerja spesifik, kemungkinan kandung kemih
neurogenik perlu dipertimbangkan. (Taber, 1994)
6. Penyakit lainya.
Penyakit ginjal atau diabetes melitus dapat meningkatkan resiko inkontinensia
karena perubahan fungsi ginjal dan distribusi persyarafan.

2.4 Patofisiologi Inkontinensia Urin


Inkontinensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi
suprapons dan suprasakral. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter
yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinensia dan ketidakmampuan dari
kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan overflow. Ada
beberapa pembagian inkontinensia urine, tetapi pada umumnya dibagi dalam 4
kelompok :

1. Inkontinensia stress terjadi akibat kebocoran urin terjadi ketika tekanan


infraabdomen melebihi tekanan uretra (misalnya batuk, mengedan, atau
mengangkat beban) biasanya pada gejala inkompetensi uretra.
2. Inkontinensia urgensi terjadi akibat ketidakstabilan otot detrusor idiopatik
menyebabkan peningkatan tekanan intravesika dan kebocoran urin
3. Hiperfleksia detrusor terjadi akibat hilangnya kontrol kortika
menyebabkan kandung kemih yang tidak dihambat dengan kontraksi
detrusor yang tidak stabil. Kandung kemih terisi, refleks sakralis dimulai
dan kandung kemih melakukan pengosongan secara spontan.
4. Inkontinensia overflow terjadi akibat kerusakan pada serat eferen dari
refleks sakralis menyebabkan atonia kandung kemih. Kandung kemih
terisi oleh urin dan menjadi sangat membesar dengan menetesnya urin
yang konstan, misalnya distensi kandung kemih kronis akibat obstruksi.
Biasanya hal ini dijumpai pada Gangguan saraf akibat penyakit diabetes,
cedera pada sumsum tulang, atau saluran kencing yang tersumbat.
Gejalanya berupa rasa tidak puas setelah kencing (merasa urine masih
tersisa di dalam kandung kemih), urine yang keluar sedikit dan
pancarannya lemah. Pengobatannya diarahkan pada sumber penyebabnya.

2.5 Manifestasi Klinis Inkontinensia Urin


a. Inkontinensia stress : Keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan
sebagainya. Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stress.
b. Inkontinensia urgensi : ketidak mampuan menahan keluarnya urin dengan
gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.
c. Enuresis nocturnal : 10% anak usian 5 tahun dan 5% anak usia 10 tahun
mengompol selama tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua
merupakan sesuatu yang abnormal dan menunjukan adanya kandung
kemih yang tidak stabil.
d. Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi(pancara
lemah, menetes), trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi
abdominoperineal), fistula (menetes terus menerus), penyakit neurologis
(disfungsi seksual atau usus besar) atau penyakit sistemik (misalnya
diabetes) dapat menunjukan penyakit yang mendasari.
e. Ketidak nyamanan daerah pubis.
f. Distensi vesika urinaria
g. Ketidak sanggupan untuk berkemih.
h. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine (20-50 ml)
i. Ketidak seimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya.
j. Meningkatkan keresahan dan keinginanan berkemih.
k. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.
l. Tidak merasakan urine keluar.
m. Kandung kemih terasa penuh walaupun telah buang air kecil.
2.6 Prognosis Inkontinensia Urin
a. Inkontinensia stress : pengobatan tidak begitu efektif. Pengobatan yang
efektif adalah dengan latihan otot (latihan Kegel) dan tindakan bedah.
Perbaikan dengan terapi alfa agonis hanya sebesar 17%-74%, tetapi
perbaikan dengan latihan Kegel bisa mencapai 87%-88%.
b. Inkontinensia urgensi: dari studi, menunjukkan bahwa latihan kandung
kemih memberikan perbaikan yang cukup signifikan (75%) dibandingkan
dengan penggunaan obat antikolinergik (44%). Pilihan terapi bedah sangat
terbatas dan memiliki tingkat morbiditas yang tinggi.
c. Inkontinensia overflow : terapi medikasi dan bedah sangat efektif untuk
mengurangi gejala inkontinensia.
d. Inkontinensia campuran: latihan kandung kemih dan latihan panggul
memberikan hasil yang lebih memuaskan dibandingkan penggunaan obat-
obata antikolinergik.
2.7 Penatalaksanaan Inkontinensia Urin
1. Inkontinensia Urgensi
a. Terapi medikamentosa: modifikasi asupan cairan, hindari kafein, obati
setiap penyebab (infeksi, tumor, batu); latihan berkemih,
antikolinergik/relaksan otot polos (oksibutinin, tolterdin)
b. Terapi pembedahan: sistoskopi dan distensi kandung kemih, sitoplasti
augmentasi.
2. Inkontinensia stress
a. Terapi medikamentosa : latihan otot-otot dasar panggul, esterogen
untuk vaginitis atrofik
b. Terapi pembedahan : uretropeksi retropubik atau endoskopik,
perbaikan vagina, sfingter buatan.
3. Inkontinensia overflow
a. Jika terdapat obstruksi obati penyebab obstruksi, misalnya TURP
b. Jika tidak terdapat obstruksi; drainase jangka pendek dengan kateter
untuk memungkinkan otot detrusor pulih dari peregangan berlebihan,
kemudian penggunaan stimulan otot detrusor jangka pendek
(bethanekol; distigmin). Jika semuanya gagal, katerisasi intermiten
yang dilakukan sendiri ( inkontinensia overflow neurogenik)
4. Inkontinensia Kombinasi
Karena merupakan inkontinensia campuran, maka penatalaksanaan dapat
sama dengan penatalaksanaan inkontinensia stress dan inkontinensia
urgensi.
2.8 Pemeriksaan Diagnostik Inkontinensia Urin

Tes diagnostik pada inkontinensia urin (Menurut Ouslander). Tes


diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang
potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan
menentukan tipe inkontinensia.
1. Mengukur sisa urine setelah berkemih
Dilakukan dengan cara : Setelah buang air kecil, pasang kateter,
urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan
ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung
kemih tidak adekuat. Urinalisis, dilakukan terhadap spesimen urine yang
bersih untuk mendeteksi adanya factor yang berperan terhadap terjadinya
inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan
proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal
didiagnosis belum jelas.
2. Tes lanjutan tersebut adalah :
a) Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen,
creatinin, kalsium glukosa sitologi. Tes urodinamik adalah untuk
mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah
b) Tes tekanan urethra adalah mengukur tekanan di dalam urethra saat
istirahat dan saat dinamis
3. Imaging
adalah tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.
Pemeriksaan penunjang Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa
menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urine pasca berkemih perlu
diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat
dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urine. Merembesnya urin
pada saatdilakukan penekanan dapat juga dilakukan.
Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih
penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk
ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya
urin sering kali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain
saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi
kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
4. Laboratorium Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum
dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang
menyebabkan poliuri.
5. Catatan berkemih (voiding record)
Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih.
Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat
mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, dan gejala
berkaitan dengan inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut
dilakukan selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk
memantau respon terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi
terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor-faktor yang memicu
terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.
6. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa
dalam urine.
7. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan
obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran
ketika pasien berkemih.
8. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih
dengan mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas
intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
9. Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran
ketika pasien berkemih :
a. Urografi ekskretorik
Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi
struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.
b. Kateterisasi residu pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung
kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien
berkemih.
10. Sistometrogram dan elektromiogram.
Dilakukan untuk mengevaluasi otot detrusor, spingter dan otot
perineum.
11. USG kandung kemih, sistoskopi dan IVP.
Dilakukan untuk mengkaji struktur dan fungsi saluran kemih.
2.9 Komplikasi Inkontinensia Urin

Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan Inkontinensia Urin adalah :


1. Hipovolemia
2. Iritasi
3. Infeksi
4. Retensi urine
5. Penurunan fungsi kognitif
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN URINARY INCONTINENCE
3.1 Pengkajian
a. Identitas Klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada
lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi
tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan
saat ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang
mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan
cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan
berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa
ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi
ketidakmampuan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa
sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah
terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran
kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit
serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau
keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
1. Pemeriksaan Fisik
A) Keadaan Umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena
respon dari terjadinya inkontinensia.
a. Inspeksi: Adanya kemerahan, iritasi / lecet dan bengkak pada daerah
perineal. Adanya benjolan atau tumor spinal cord Adanya obesitas atau
kurang gerak.
b. Palpasi: Adanya distensi kandung kemih atau nyeri tekan Teraba
benjolan tumor daerah spinal cord
c. Perkusi: Terdengar suara redup pada daerah kandung kemih
B) Pemeriksaan Sistem :
a. B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena
suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada
perkusi.
b. B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
c. B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d. B4 (bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau
menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam
kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada
bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus
uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria
akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti
rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu
kencing.
e. B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan
palpasi pada ginjal.
f. B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan
ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
g. Pemeriksaan Radiografi
1) IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan
ureter.
2) VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan
fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat),
mengkaji PVR (Post Voiding Residual).
3) Kultur Urine
- Steril.
- Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml).
- Organisme.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien inkontinensia adalah sebagai
berikut :
a. Inkonteninsia berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan struktur
dasar penyokongnya.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu
yang lama.
c. Kerusakan Integritas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh
urine
d. Gangguan Citra tubuh berhubungan dengan keadaan yang memalukan
akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine
e. Defisiensi pengetahuan yang berhubungan dengan ketidakcukupan
pengetahuan tenttang penyebab inkontinensia, penatalaksaan, progam
latihan pemulihan kandung kemih, tanda dan gejala komplikasi, serta
sumber komonitas

Hari/Tgl No Rencana Perawatan T


Dx Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Hasil

1 Setelah diberikan asuhan Kaji kebiasaan Untuk dapat mengkaji intervensi


keperawatanselama 2x24pola berkemih danyang diberikan selanjutnya
jam gunakan catatan
diharapkaninkontinensia berkemih sehari, untuk dapat mengetahui
teratasi dengan kriteria Pertahankan perkembangan dari terapi-terapi yang
hasil catatan hariansudah diberikan
Klien akan bisauntuk mengkaji posisi litotomi dapat membantu
melaporkan suatuefektifitas mencegah kebocoran
pengurangan /program yang
penghilangan direncanakan.
inkonteninsia Intruksikan klien
Klien dapat menjelaskanbatuk dalam posisi
penyebab inkonteninsialitotomi, jika tidak
dan rasionalada kebocoran, untuk mencegah terjadinya
penatalaksanaan. ulangi dengandehidrasi
posisi klien
membentuk sudut
45, lanjutkan Kolaborasi dapat mempercepat
dengan klienpenyembuhan pasien.
berdiri jika tidak
ada kebocoran
yang lebih dulu.
Pantau masukan
dan pengeluaran,
pastikan klien
mendapat
masukan cairan
2000 ml, kecuali
harus dibatasi
Kolaborasi
dengan dokter
dalam mengkaji
efek medikasi dan
tentukan
kemungkinan
perubahan obat,
dosis / jadwal
pemberian obat
untuk menurunkan
frekuensi
inkonteninsia.

2 Setelahdiberikan tindakan Berikan Untuk mencegah kontaminasi


asuhankeperawatan perawatan perinealuretra
selama 2.x24dengan air sabun
jam diharapkan risikosetiap shift. Jika
infeksi dapat dihindari pasien
dengan kriteria hasil: inkontinensia, cuci
Klien bebas dari tandadaerah perineal Kateter memberikan jalan pada
dan gejala infeksi sesegera mungkin. bakteri untuk memasuki kandung
Mendeskripsikan proses Jika di pasangkemih dan naik ke saluran
penularan penyakit, faktorkateter indwelling,perkemihan
yang mempengaruhiberikan perawatan
penularan sertakateter 2x sehari
penatalaksanaanya (merupakan
Menunjukkan bagian dari waktu
kemampuan untukmandi pagi dan Untuk mencegah terjadinya
mencegah timbulnyapada waktu akankontaminasi silang
infeksi tidur) dan setelah
Jumlah leukosit dalambuang air besar.
batas normal Ikuti
Menunjukkan perilakukewaspadaan
hidup umum (cuci
tangan sebelum
dan sesudah
kontak langsung,
pemakaian sarung
tangan), bila Untuk mencegah stasis urine
kontak dengan
cairan tubuh atau
darah yang terjadi
(memberikan
perawatan
perianal,
pengososngan
kantung drainse
urine,
penampungan
spesimen urine).
Pertahankan Asam urine menghalangi
teknik asepsis bilatumbuhnya kuman. Karena jumlah
melakukan sari buah berri diperlukan untuk
kateterisasi, bilamencapai dan memelihara keasaman
mengambil contohurine. Peningkatan masukan cairan
urine dari katetersari buah dapat berpengaruh dalam
indwelling. pengobatan infeksi saluran kemih.
Kecuali
dikontraindikasika
n, ubah posisi
pasien setiap 2jam
dan anjurkan
masukan
sekurang-
kurangnya 2400
ml / hari. Bantu
melakukan
ambulasi sesuai
dengan kebutuhan.
Lakukan
tindakan untuk
memelihara asam
urine. Tingkatkan
masukan sari buah
beri. Berikan obat-
obat, untuk
meningkatkan
asam urine.

3 Setelah dilakukan Yakinkan Memberikan informasi tentang


Tindakan keperawatan apakah konselingtingkat pengetahuan pasien / orang
Selama 2x24 jamdilakukan dan atauterdekat tentang situasi individu dan
diharapkan gangguan perlu diversiPasien menerimanya(contoh;
Body image urinaria, inkontinensia tak sembuh, infeksi)
Pasien teratasi dengan diskusikan pada Memberikan kesempatan menerima
Kriteria hasil: saat pertama. isu / salah konsep. Membantu pasien /
Body image positif orang terdekat menyadari bahwa
Mampu perasaan yang dialami tidak biasa dan
Mengidentifikasi bahwa perasaan bersalah pada mereka
Kekuatan personal tidak perlu / membantu. Pasien perlu
Mendiskripsikan Dorong pasien /mengenali perasaan sebelum mereka
Secara faktual orang terdekatdapat menerimanya secara efektif.
Perubahan fungsi untuk mengatakan Dugaan masalah pada penyesuaian
Tubuh perasaan. Akuiyang memerlukan evaluasi lanjut dan
Mempertahankan kenormalan terapi lebih efektif. Dapat
10. Interaksi sosial perasaan marah,menunjukkan respon kedukaan
depresi, danterhadap kehilangan bagian / fungsi
kedudukan karenatubuh dan kawatir terhadap
kehilangan. penerimaan orang lain, juga rasa takut
Diskusikan akan ketidakmampuan yang akan
peningkatan dandatang / kehilangan selanjutnya pada
penurunan tiaphidup karena kanker.
hari yang dapat Meskipun integrasi stoma ke dalam
terjadi setelahcitra tubuh memerlukan waktu
pulang. berbulan-bulan / tahunan, melihat
stoma dan mendengar komentar
Perhatikan (dibuat dengan cara normal, nyata)
perilaku menarikdapat membantu pasien dalam
diri, peningkatanpenerimaan ini. Menyentuh stoma
ketergantungan, meyakinkan klien / orang terdekat
manipulasi ataubahwa stoma tidak rapuh dan sedikit
tidak terlibat padagerakan stoma secara nyata
asuhan. menunjukkan peristaltic normal.
Kemandirian dalam perawatan
memperbaiki harga diri.

Membantu pasien / orang terdekat


menerima perubahan tubuh dan
menerima akan diri sendiri. Marah
Berikan paling sering ditunjukkan pada situasi
kesempatan untukdan kurang kontrol terhadap apa yang
pasien / orangterjadi (tidak terduga), bukan pada
terdekat untukpemberi asuhan.
memandang dan Meningkatkan rasa kontrol dan
menyentuh stoma,memberikan pesan bahwa pasien
gunakan dapat mengatasinya, meningkatkan
kesempatan untukharga diri.
memberikan tanda Pasien mengalami ansietas
positif diantisipasi, takut gagal dalam
penyembuhan, hubungan seksual setelah
penampilan, pembedahan, biasanya karena
normal, dsb. pengabaian, kurang pengetahuan.
Pembedahan yang mengangkat
kandung kemih dan prostat (diangkat
dengan kandung kemih) dapat
mengganggu syaraf parasimpatis yang
mengontrol ereksi pria, meskipun
teknik terbaru ada yang digunakan
Berikan pada kasus individu untuk
kesempatan padamempertahankan syaraf ini.
klien untuk
menerima
keadaannya
melalui partisipasi
dalam perawatan
diri.

Pertahankan
pendekatan
positif, selama
aktivitas
perawatan,
menghindari
ekspresi menghina
atau reaksi
mendadak. Jangan
menerima ekspresi
kemarahan pasien
secara pribadi.

Rencanakan /
jadwalkan
aktivitas asuhan
dengan orang lain.

Diskusikan
fungsi seksual dan
implan penis, bila
ada dan alternatif
cara pemuasan
seksual.

4 Setelahdiberikan tindakanMandiri
asuhankeperawatan
selama 2x24 Pantau Untuk mengidentifikasi kemajuan
jam diharapkan kerusakanpenampilan kulitatau penyimpangan dari hasil yang
integritas kulit dapatperiostomal setiapdiharapkan.
teratasi 8 jam.
dengan kriteria hasil: Peningkatan berat urine dapat
Perfusi jaringan baik Ganti wafermerusak segel periostomal,
Integritas kulit yangstomehesif setiapmemungkinkan kebocoran urine.
baik bisa dipertahankanminggu atau bilaPemajanan menetap pada kulit
(sensasi, elastisitas,bocor terdeteksi.periostomal terhadap asam urine
temperatur, hidrasi,Yakinkan kulitdapat menyebabkan kerusakan kulit
pigmentasi) bersih dan keringdan peningkatan resiko infeksi.
Mampu melindungisebelum Mempertahankan insisi bersih,
kulit dan mempertahankanmemasang wafermeningkatkan sirkulasi atau
kelembapan kulit danyang baru. Potongpenyembuhan. Catatan:memanjat
perawatan alami lubang wafer kira-keluar dari bak mandi memerlukan
Menunjukkan kira setengah incipenggunaan lengan dengan otot
pemahaman dalam proseslebih besar darpektoral, yang dapat menimbulkan
perbaikan kulit dandiameter stomastres yang tak perlu pada sternotomi.
mencegah terjadinyauntuk menjamin
cedera berulang ketepatan ukuran
Kulit periostomal tetapkantung yang
utuh. benar-benar
menutupi kulit
periostomal. Membantu untuk mempertahankan
Kosongkan volume sirkulasi yang baik untuk
kantung urostomiperfusi jaringan dan memenuhi
bila telahkebutuhan energi seluler untuk
seperempat memudahkan proses regenerasi atau
sampai setengahpenyembuhan jaringan.
penuh.
Ajarkan pasien
untuk meningkata
n nutrisi dan
masukan cairan
adekuat.

5 Setelah diberikan asuhan Kaji ulang Nutrisi adekuat perlu untuk


keperawatan selama 2x24rencana diet/meningkatkan penyembuhan /
jam diharapkan pasienpembatasan. regenerasi jaringan dan kepatuhan
mengerti tentang penyakitTermasuk lembarpada pembatasan dapat mencegah
yang diderita dengandaftar makanankomplikasi
dengan kriteria hasil : yang dibatasi Mengetahui sejauh mana
Pasien dan keluarga Kaji tingkatpengetahuan yang dimiki pasien dan
menyatakan pemahamanpengetahuan keluarga dan kebenaran informasi
tentang penyakit, kondisi,pasien danyang didapat.
prognosis dan programkeluarga Penyediaan informasi yang baik
pengobatan. memudahkan keluarga untuk
Pasien dan keluarga mendapat informasi tentang kondisi
mampu melaksanakan Sediakan bagipasien
prosedur yang dijelaskankeluarga informasi Penjelasan yang tepat tentang
secara benar tentang kemajuankondisi yang sedang dialami dapat
Pasien dan keluargapasien denganmembantu menambah wawasan
mampu menjelaskancara yang tepat pasien dan keluarga
kembali apa yang Perubahan dapat menunjukan
dijelaskan perawat/tim Berikan gangguan fungsi ginjal/ kebutuhan
kesehatan lainnya gambaran dandialysis
penjelasan proses
penyakit dengan Obat yang terkonsentrasi/
tepat dikeluarkan oleh ginjal dapat
menyebabkan reaksi toksik kumulatif
dan/ atau kerusakan permanen pada
ginjal
Dorong pasien
untuk Fungsi ginjal dapat lambat sampai
mengobservasi gagal akut( sampai 12 bulan) dan
karakteristik urinedefisit dapat menetap, memerlukan
dan jumlah/perubahan dalam terapi untuk
frekuensi menghindari kekambuhan/ komplikasi
pengeluaran Menambah pemahaman keluarga
Diskusikan/ kajitentang medikasi yang diberikan
ulang
pengguanaan obat.
Dorong pasien
untuk
mendiskusikan
semua
obat( termasuk
obat dijual bebas)
dengan dokter
Tekankan
perlunya
perawatan
evaluasi,
pemeriksaan
laboratorium

Kolaborasi
dengan dokter
dalam penjelasan
pengobatan yang
akan dilakukan
kepada pasien
EVALUASI
1. DX 1: pasien mampu menjelaskan tentang inkontinensia dan mampu
melaporkan jika terjadi pengurangan inkontinensia urine
2. DX 2: pasien mampu Berkemih dengan urine jernih, ketidak nyamanan
berkurang ,urinalisis dalam batas normal, dan urine menunjukkan tidak
adanya bakteri
3. DX 3: Kerusakan Integitas kulit dapat teratasi
4. DX 4: gangguan citra tubuh dapat teratasi, pasien dan keluarga mampu
menerima keadaannya sekarang dan tidak terjadi komplik antara dirinya
dengan lingkungan dan tidak terjadi depresi
5. DX 5: pasien mampu Mengungkapkan pemahaman tentang kondisinya
saat ini, Keluhan pasien berkurang tentang cemas atau gugup dan Ekspresi
wajah rileks.
BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
URINARY INCONTINENCE
4.1 Kasus

Ny. M berusia 58 tahun diantar oleh anaknya ke Rumah Sakit Universitas


Airlangga karena ibunya tidak dapat menahan kencing saat mereka sedang
menonton tv bersama, hal ini dilakukan sang anak karena kasihan melihat ibunya
yang sering kencing. Saat di rumah sakit Ny. M mengatakan bahwa sudah 2
minggu lebih sering kencing bahkan terkadang saat batuk pun keluar air kecing
dan akhir akhir ini sering kencing setiap 3 jam sekali namun urin yang
dikeluarkan sedikit. Ny. M mengeluhkan tidak tuntas saat berkemih dan merasa
masih ada urin yang tersisa. Oleh karena kondisi tersebut Ny. M tidak nyaman
serta merasakan gatal di area genitalianya dan saat berkemih merasa seperti
terbakar. Ny. M juga merasa malu saat bertemu dengan orang orang di sekitar
rumahnya terlebih jika ada acara di lingkungan rumahnya karena harus sering
buang air kecil dan merasa bau badannya pesing. Anak Ny. M mengatakan bahwa
Ny. M pernah di rawat di rumah sakit dengan keluhan tidak bisa buang air kecil
sekitar 5 tahun yang lalu. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan BB : 75 kg, TB
: 160 cm, TD : 150/110 mmHg, RR : 25x/menit, T : 37C, N : 94x/menit.

4.2 Pengkajian
4.2.1Anamnesa
1. Identitas klien
Nama : Ny. M
Umur : 58 Th
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jl, Mulyorejo utara No. 58
Status Perkawinan: Menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pensiun Guru
MRS : 18 Maret 2017
2. Penanggung jawab

Nama : Ratih P

Umur : 28 tahun

Alamat : Jl, Mulyorejo utara No. 58

Pekerjaan : Pegawai bank

3. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Ny. M mengeluhkan bahwa sudah 2 minggu lebih sering kencing
bahkan terkadang saat batuk pun keluar air kecing dan akhir akhir ini
sering kencing setiap 3 jam sekali namun urin yang dikeluarkan sedikit
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Ny. M berusia 58 tahun diantar oleh anaknya ke Rumah Sakit
Universitas Airlangga karena ibunya tidak dapat menahan kencing dan
Ny. M mengatakan bahwa sudah 2 minggu lebih sering kencing bahkan
terkadang saat batuk pun keluar air kecing dan akhir akhir ini sering
kencing setiap 3 jam sekali namun urin yang dikeluarkan sedikit dan Ny.
M tidak tuntas saat berkemih dan merasa masih ada urin yang tersisa.
Ny. M juga tidak nyaman serta merasakan gatal di area genitalianya dan
saat berkemih merasa seperti terbakar
c. Riwayat Kesehatan yang lalu
Anak Ny. M mengatakan bahwa Ny. M pernah di rawat di rumah sakit
dengan keluhan tidak bisa buang air kecil sekitar 5 tahun yang lalu.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Ny. M mengatakan bahwa keluarganya tidak pernah mengalami
penyakit yang sama sebelumnya, namun dari Ayah Ny. B memiliki
penyakit Gagal ginjal.
e. Perilaku yang mempengaruhi kesehatan
Anak Ny. M mengatakan bahwa ibunya suka sekali makanan yang asin
dan jarang melakukan olahraga ketika masih menjadi guru sampai
sekarang
4.3 Observasi dan Pemeriksaan Fisik
a) Pemeriksaan Umum
Pasien tanpak lemah dan tanda tanda vital terjadi peningkatan
karena respon dari terjadinya inkontinesia.
1. Inspeksi : Daerah perineal
a.
Kemerahan : ya
b.
Bengkak : tidak
c.
Adanya benjolan atau tumor spinal cord: tidak
d.
Adanya obesitas : ya , IMT : 29,29 Kg/m2.
IMT = (BB/TB)2 = (75/1,6)2 = 29,29 Kg/m2. Sehingga
bisa disimpulkan bahwa Ny. M termasuk kategori
Gemuk
2. Palpasi :
a. Adanya distensi kandung kemih : ya
b. Adanya nyeri tekan : ya
c. Teraba benjolan tumor daerah spinal cord : tidak
d. Reflek patella : (-)
3. Perkusi : Terdengar suara redup pada daerah kandung kemih
b) Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breath) : Pernafasan klien normal dan tidak ditemukan
masalah.
2) B2 (Blood) : Denyut jantung meningkat (94x/menit), TD
meningkat (150/110 mmHg)
3) B3 (Brain) : kesadaran klien compos mentis
4) B4 (Bladder) : setiap ada peningkatan tekanan intra abdomen
urine klien ingin berkemih begitu juga saat klien batuk juga ingin
berkemih
Urin :
Jumlah : produksi urin 30 ml
Warna : urin klien berwarna kuning pekat
Bau : bau menyengat
Kandung kemih
Membesar : tidak
Nyeri tekan : ya
Gangguan
Anuria : tidak
Oliguria : tidak
Retensi : tidak
Nokturia : tidak
Inkontinensia : ada
5) B5 (Bowel) : adanya nyeri tekan abdomen ada adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal
6) B6 (Bone) : klien mengatakan adanya nyeri pada
persendiannya.

4.4 Analisa Data

Data Etiologi Masalah keperawatan


DS : Inkontinensia urgensi Inkontinensia urine stress
Klien mengatakan sering kencing
dan tidak dapat menahan Otot detrusor tidak stabil
kencingnya bahkan saat batuk
pun keluar air kecing dan akhir Reaksi otot berlebihan
akhir ini sering kencing setiap 3
jam sekali. Sering kencing dan tidak dapat
DO: menahan kencing
Klien tampak tidak nyaman
dengan kondisinya. Inkontinensia urine
Klien berkemih setiap 3 jam
sekali dan produksi urine 30 ml
DS : Otot sfingter uretra melemah Nyeri akut
- Ny. M mengeluhkan tidak tuntas
saat berkemih dan merasa masih Inkoordinasi otot detrusor uretra
ada urin yang tersisa.
- Ny. M merasa tidak nyaman
Kegagalan Pengeluaran urin
serta merasakan gatal di area
genitalianya dan saat berkemih
Retensi
merasa seperti terbakar.
DO:
Distensi Kandung kemih
- pada pemeriksaan palpasi
daerah kandung kemih, adanya
Nyeri
nyeri tekan
DS: Otot sfingter uretra melemah Gangguan integritas kulit
- Ny. M merasa tidak nyaman
serta merasakan gatal di area
Kandung kemih bocor
genitalianya
DO:
Sering kencing Batuk
- terdapat kemerahan pada daerah
perineal
- area perineal lembab karena
Rembesan urin
sering berkemih

Mengenai area genitalia

Urin yang bersifat asam


mengiritasi kulit

Gangguan Integritas Kulit


DS : Peningkatan frekwensi berkemih Resiko gangguan konsep
Ny. M juga merasa malu saat
diri: harga diri rendah
bertemu dengan orang orang di
Sering berkemih dan tidak dapat
sekitar rumahnya terlebih jika ada
menahannya
acara di lingkungan rumahnya
karena harus sering buang air
Mengganggu aktivitas sosial
kecil dan merasa bau badannya
pesing. Kurangnya pengetahuan tentang
DO : -
keadaan

Cemas dan tidak percaya diri

Gangguan konsep diri

4.5 Diagnosa Keperawatan


1. Inkontinensia urine stress berhubungan dengan perubahan degeneratif otot
otot pelvis (00017)
2. Nyeri akut berhubungan dengan distensi kandung kemih, dysuria (00132)
3. Gangguan intregitas kulit berhubungan dengan kelembaban area perineal
(00046)
4. Resiko gangguan konsep diri: harga diri rendah berhubungan dengan
ketidakpercayaan diri perubahan tubuh (00120)
4.6 Intervensi Keperawatan

Domain : 3. Elimination and exchange


Class : 1. Urinary function
00017 Stress urinary incontinence
Diagnosa : Inkontinensia urine stress berhubungan dengan perubahan degeneratif otot otot
pelvis
NOC NIC
Domain : II Physiologic Health Domain : 1 Physiological: Basic
Class : F - Elimination Class : B Elimination Management
Urinary Elimination (0503) Urinary Incontinence Care (0610)
Tujuan : 1. Identifikasi penyebab multifaktorial
Setelah dilakukan tindakan inkontinensia
keperawatan selama 2 x 24 jam, 2. Kaji kebiasaan pola berkemih dan
proses berkemih klien berkurang, gunakan catatan berkemih sehari.
dengan Kriteria Hasil : 3. Pertahankan catatan harian untuk
1. Pola eliminasi klien kembali mengkaji efektifitas program yang
normal. direncanakan.
2. Bau urine yang dikeluarkan tidak 4. Pantau masukan dan pengeluaran,
menyengat. pastikan klien mendapat masukan
3. Jumlah urin yang dikeluarkan cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi
dalam batas normal. 5. Kolaborasi dengan dokter dalam
4. Asupan cairan klien terpenuhi mengkaji efek medikasi dan tentukan
dengan baik. kemungkinan perubahan obat, dosis /
5. Warna urin yang dikeluarkan klien jadwal pemberian obat untuk
normal menurunkan frekuensi inkonteninsia.
6. Ajarkan klien untuk mengidentifikasi
otot dinding pelvis dan kekuatannya
dengan latihan.
Domain : 12. Comfort.
Class : 1. Physical comfort.
00132 Acute Pain
Diagnosa : Nyeri akut berhubungan dengan distensi kandung kemih, disuria
NOC NIC
Domain : IV Health Knowledge & Domain : 1 Physiological: Basic
Behaviour Class : E Physical Comfort Promotion
Class : Q Health Behaviour Pain Management (1400)
Pain Control (1605) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
Tujuan : komperehensif untuk menentukan
Setelah dilakukan tindakan lokasi, karakteristik, onset/durasi,
keperawatan selama 1 x 24 jam, frekuensi, kualitas, intensitas atau
klientidak mengalami nyeri dengan, beratnya nyeri dan faktor pencetus.
Kriteria Hasil : 2. Observasi reaksi non verbal dan
1. Klien menjelaskan faktor ketidaknyamanan.
predisposisi nyeri dan 3. Ajarkan teknik non farmakologi seperti
menyebutkan onset nyerinya napas dalam, relaksasi, distraksi,
2. Klien mampu mengontrol nyeri kompres hangat atau dingin.
(tahu penyebab nyeri, mampu 4. Tingkatkan istirahat klien
menggunakan tehnik 5. Berikan analgesik untuk mengurangi
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri sesuai anjuran dokter.
nyeri, dan mencari bantuan) 6. Berikan informasi tentang nyeri seperti
3. Klien mampu mengenali nyeri penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
(skala, intensitas, frekuensi dan berkurang, dan antisipasi
tanda nyeri) ketidaknyamanan dari prosedur.
4. Klien melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
Domain : 11. Safety/Protection
Class : 2. Physical injury
00046 Impaired skin integrity
Diagnosa : Gangguan intregitas kulit berhubungan dengan kelembaban area perineal
NOC NIC
Domain : IV Health Knowledge & Domain : 2 Physiological: Complex -
Behaviour cont
Class : Q Health Behaviour Class : L Skin / Wound Management
Tissue Integrity: Skin & Mucous Pressure Management (3500)
Membranes (1101) 1. Anjurkan klien untuk menggunakan
Tujuan : pakaian yang longgar
Setelah dilakukan tindakan 2. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih
keperawatan selama 1 x 24 jam, dan kering
gangguan integritas kulit klien teratasi 3. Mobilisasi klien akan adanya kemerahan
dengan, Kriteria Hasil : 4. Oleskan lotion atau minyak baby oil
1. Integritas kulit klien yang baik bisa pada daerah yang tertekan
dipertahankan (sensasi, elastisitas, 5. Ajarkan pada keluarga tentang luka dan
temperatur, hidrasi, pigmentasi). perawatan luka
2. Tidak ada luka/lesi pada kulit klien 6. Berikan posisi yang mengurangi tekanan
3. Klien menunjukkan pemahaman pada luka
dalam proses perbaikan kulit dan 7. Monitor aktivitas dan mobilitas klien
mencegah terjadinya iritasi
berulang
4. Klien mampu melindungi kulit dan
mempertahankan kelembaban kulit
dan perawatan alami
Domain : 6. Self-perception
Class : 2. Self-esteem
00120 Situational low self-esteem
Diagnosa : Resiko gangguan konsep diri: harga diri rendah berhubungan dengan
ketidakpercayaan diri perubahan tubuh
NOC NIC
Domain : III Psychosocial Health Domain : 3 Behavioral Contd
Class : M Psychological Well - Class : R. Coping Assistance
Being Self Esteem Enhancement (5400)
Self Esteem (1205) 1. Monitor pernyataan klien terkait harga
Tujuan : dirinya
Setelah dilakukan tindakan 2. Kaji perubahan perubahan terbaru
keperawatan selama 2 x 24 jam, risiko pada klien yang dapat mempengaruhi
harga diri rendah klien teratasi harga diri rendah.
dengan, Kriteria Hasil : 3. Tunjukkan rasa percaya terhadap
1. Klien mampu menerima perubahan kemampuan klien untuk mengatasi
diri situasi
2. Klien mampu berkomuikasi 4. Dukung peningkatan tanggung jawab
terbuka diri jika diperlukan
3. Klien mampu memelihara 5. Kaji alasan untuk mengkritik atau
perawatan dan kebersihan diri menyalahkan diri sendiri
4. Deskripsi keberhasilan dalam 6. Dukung klien untuk semua aktifitasnya
kelompok sosial klien
5. Klien mampu mendeskripsikan diri
sendiri

4.7 Evaluasi
1. DX 1: Klien mampu menjelaskan tentang inkontinensia dan mampu
melaporkan jika terjadi pengurangan inkontinensia urine
2. DX 2: Klien mampu berkemih dengan urine jernih, ketidak nyamanan
berkurang ,urinalisis dalam batas normal.
3. DX 3: gangguan Integitas kulit pada klien dapat teratasi
4. DX 4: risiko gangguan konsep diri dapat teratasi, klien dan keluarga
mampu menerima keadaannya sekarang dan tidak terjadi komplik antara
dirinya dengan lingkungan dan tidak terjadi depresi

Anda mungkin juga menyukai