Anda di halaman 1dari 19

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tujuan Percobaan


1. Mengetahui apakah ekstak bit merah (Beta vulgaris L) dapat dimanfaatkan
sebagai zat warna pada sediaan lipstik
2. Mengetahui stabilitas fisik dari sediaan lipstik yang dihasilkan

2.2 Tanaman Bit Merah


2.2.1 Deskripsi Bit Merah

Gambar 1 Buah bit (Beta vulgaris L)

Bit berasal dari sebagian wilayah Mediterania dan Afrika Utara dengan
penyebaran ke arah timur hingga wilayah barat India dan kearah barat sampai
Kepulauan Kanari dan pantai barat Eropa yang meliputi Kepulauan Inggris dan
Denmark. Bit merah (Beta vulgaris) merupakan tanaman tunggang tumbuh menjadi
umbi. Daunnya tumbuh terkumpul pada leher akar tunggal ( pangkal umbi) dan
berwarna kemerahan. Umbi ini berbentuk bulat atau menyerupai gasing. Akan
tetapi, ada pula umbi bit berbentuk lonjong. Ujung umbi bit terdapat akar.
Bunganya tersusun dalam rankaian bunga yang bertangkai panjang banyak.
Tanaman ini sulit berbunga di Indonesia, bit banyak digemari karena rasanya enak,
sedikit manis dan lunak. Bit merah ( Beta vulgaris ) merupakan sumber vitamin C,
2

selain itu, bit juga banyak mengandung vitamin B dan sedikit vitamin A sehingga
baik untuk kesehatan tubuh. Oleh karena Bit Merah ( Beta vulgaris ) kaya akan
karbohidrat sebangi sumber energi serta besi yang membantu darah mengangkut
oksigen ke otak. Bit berwarna merah karena mengandung gabungan warna unggu
betasianin dan pigmen kuning betasianin, bit pun dianjurkan dimakan dalam jumlah
yang banyak bagi penderita darah rendah. Betakaroten dan bersifat antioksidan
tinggi. Bit merah yang tumbuh di indonesia merupakan spesies persilangan dari
Beta vurgaris var, maritime ( bit laut) dengan Beta patula. Bit merah memiliki
famili Chenopodiaceae, genus Beta, dan spesies Beta Vulgaris L

2.2.2 Kandungan Bit Merah

Bit merupakan sejenis sayuran yang memiliki kandungan karbohidrat


dengan kadar kalori yang rendah dengan warna yang spesifik, yaitu merah
keunguan yang pekat. Warna merah keunguan pada bit disebabkan adanya
gabungan pigmen antara pigmen ungu betasianin dan pigmen kuning betasianin.
Bit mempunyai kandungan gizi diantaranya protein, lemak, kalsium, fosfor, besi,
Vitamin A, Vitamin B, Vitamin C, vitamin B6, asam folat, potassium, mangan,
nitrat, air serta kandungan terbesarnya yaitu pati dan serat. Kandungan pati pada
bit sebesar 35,81% dan serat 2,14% dari 100g berat bahan. Selain itu bit merah
memiliki senyawa betalanin merupakan golongan antioksidan. betalain dibagi
menjadi dua kelompok yaitu betasianin dengan warna pigmen merah keunguan
(max 534-555 nm) dan betaxantin dengan warna pigmen kuning (max 480 nm).

2.3 Kosmetika

Kosmetik berasal dari bahasa Yunani yaitu kosmein yang berarti berhias.
Dahulu bahan-bahan yang dipakai untuk usaha mempercantik diri berasaral dari
bahan-bahan yang alami. Sekarang kosmetik dibuat manusia tidak hanya dari alam
tetapi juga sintetis yang bermaksud untuk meningkatkan kecantikan
(Wasitaatmadja, 1997). Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan
untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir
dan organ genital bagian luar) atau gigi dan membran mukosa mulut terutama untuk
membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau
3

badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik. (Permenkes,
2010).

2.3.1 Kosmetika Dekoratif


Terdapat jenis kosmetik dekoratif yang bertujuan semata-mata untuk
mengubah penampilan, yaitu agar tampak lebih cantik dan noda-noda atau kelainan
pada kulit dapat tertutupi. Kosmetik dekoratif tidak perlu menambah kesehatan
kulit. Kosmetik ini dianggap memadai jika tidak merusak kulit atau sedikit mungkin
merusak kulit. Pemakaian kosmetik dekoratif lebih untuk alasan psikologis
daripada kesehatan kulit. Adapun persyaratan kosmetik dekoratif, yaitu warna yang
menarik, bau yang harum menyenangkan, tidak lengket, dan tidak merusak kulit,
rambut, bibir, kuku dan lainnya (Tranggono dan Latifah, 2007).
2.3.2 Zat Warna Dalam Kosmetika Dekoratif
Menurut tranggono dan latifah, kosmetika dekoratif dibagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu :
A. Zat Warna Alam yang Larut
Dampak zat warna alam ini pada kulit lebih baik dibandingkan zat warna
sintetis, tetapi kekuatan pewarnaannya relatif lemah, tak tahan cahaya, dan
relatif mahal. Misalnya alkalain, zat warna merah yang dieksrak dari kulit akar
alkana (Radix alcannae); carmine, zat warna merah yang diperoleh dari
serangga Coccus cacti yang dikeringkan; klorofil daun-daun hijau; henna, yang
diekstrak dari daun Lawsonia inermis; carotene, zat warna kuning (Tranggono
dan Latifah, 2007).

B. Zat Warna Sintetis yang Larut


Zat warna sintesis pertama kali disintesis dari anilin, sekarang benzene,
toluene, anthracene, dan hasil isolasi dari coal-tar lain yang berfungsi sebagai
produk awal bagi kebanyakan zat warna dalam kelompok ini sehingga sering
disebut sebagai zat warna dari coal tar yang berhasil diciptakan, tetapi hanya
sebagian yang dipakai dalam kosmetik (Tranggono dan Latifah, 2007).
C. Pigmen-Pigmen Alam
Pigmen alam adalah pigmen warna pada tanah yang memang terdapat
secara alamiah, misalnya aluminium silikat, yang warnanya tergantung pada
4

kandungan besi oksida atau mangan oksidanya (misalnya kuning oker, coklat,
merah bata, coklat tua). Zat warna ini murni, sama sekali tidak berbahaya,
penting untuk mewarnai bedak-krim dan make-up sticks (Tranggono dan
Latifah, 2007)
D. Pigmen-Pigmen Sintetis
Dewasa ini, besi oksida sintetis dan oker sintetis sering menggantikan zat
warna alam. Warnanya lebih intens dan lebih terang. Pilihan warnanya antara
lain kuning, coklat sampai merah, dan macam-macam violet. Pigmen sintetis
putih seperti zinc oxide dan titanium oxide termasuk dalam kelompok zat
pewarna kosmetik yang terpenting. Zinc oxide tidak hanya memainkan suatu
peran besar dalam pewarnaan kosmetik dekoratif, tetapi juga dalam preparat
kosmetik dan farmasi lainnya. Sejumlah senyawa cobalt digunakan sebagai
pigmen sintetis warna biru, khususnya warna cobalt dan ultramarine. Cobalt
hijau adalah pigmen hijau yang kebiru-biruan (Tranggono dan Latifah, 2007).
E. Lakes Alam dan Sintetis
Lakes dibuat dengan mempresipitasikan satu atau lebih zat warna yang larut
air di dalam satu atau lebih substrat yang tidak larut dan mengikatnya
sedemikian rupa (biasanya dengan reaksi kimia) sehingga produk akhirnya
menjadi bahan pewarna yang hampir tidak larut dalam air, minyak, atau pelarut
lain. Kebanyakan lakes dewasa ini dibuat dari zat warna sintetis, kecuali
Florentine lake yang diperoleh dari presipitasi carmine dan brasilin (zat warna
dari sayuran) di dalam aluminum hidroksida. Lakes yang dibuat dari zat-zat
warna asal coal-tar merupakan zat pewarna terpenting di dalam bedak, lipstik,
dan make-up warna lainnya (Tranggono dan Latifah, 2007).

2.4 Bibir

Bibir terdiri atas dua lipatan daging yang membentuk gerbang mulut. Di sebelah
luar ditutupi oleh kulit dan di sebelah dalam ditutupi oleh selaput lendir (mukosa).
Otot orbikularis oris untuk menutup bibir; levator anguli oris untuk mengangkat,
dan depresor anguli oris untuk menekan ujung mulut (Pearce, 2006). Pada bibir,
stratum corneum sangat tipis dan dermis tidak mengandung kelenjar keringat
maupun kelenjar minyak, sehingga bibir mudah kering dan pecah pecah terutama
5

jika dalam udara yang dingin dan kering. Hanya air liur yang merupakan pembasah
alami untuk bibir (Tranggono, dan Latifah, 2007).

Karena ketipisan stratum corneum inilah, bibir menunjukkan sifat lebih peka
dibandingkan dengan kulit lainnya. Karena itu, hendaknya berhati-hati dalam
memilih bahan yang digunakan untuk sediaan pewarna bibir, terutama dalam hal
memilih lemak, pigmen dan pengawet yang digunakan untuk maksud pembuatan
sediaan itu (Depkes RI, 1985).

Kulit bibir mengandung lebih sedikit melanosit (sel yang memproduksi pigmen
melanin, yang memberikan kulit warna). Karena itu, pembuluh darah muncul
melalui kulit bibir, yang memberikan warna merah bibir. Dengan warna kulit lebih
gelap efek ini kurang menonjol, seperti dalam kasus ini kulit bibir mengandung
lebih banyak melanin sehingga secara visual lebih gelap (Draelos, 2010).

2.4.1 Pewarna Bibir (Lipstik)

Pewarna bibir merupakan sediaan kosmetika yang digunakan untuk


mewarnai bibir dengan sentuhan artistik sehingga dapat meningkatkan estetika
dalam tata rias wajah. Pewarna bibir terdapat dalam berbagai bentuk, seperti cairan,
krayon, dan krim. Pewarna bibir dalam bentuk cairan dan krim umumnya
memberikan selaput yang tidak tahan lama dan mudah terhapus dari bibir sehingga
tidak begitu digemari orang, terutama jika dibandingkan dengan pewarna bibir
dalam bentuk krayon. Pewarna bibir bentuk krayon lebih dikenal dengan nama
lipstik (Wasitaatmadja, 1997).

Lipstik merupakan pewarna bibir yang dikemas dalam bentuk batang padat
(stick) yang dibentuk dari minyak, lilin dan lemak. Fungsinya adalah untuk
memberikan warna bibir menjadi merah semerah delima, yang dianggap akan
memberikan ekspresi wajah sehat dan menarik (Ditjen POM, 1985).

2.4.2 Komponen Utama Sediaan Lipstik


6

Adapun komponen utama dalam sediaan lipstik terdiri dari lilin, minyak,
lemak dan zat warna (Tranggono dan Latifah, 2007).

A. Lilin
Lilin digunakan untuk memberi struktur batang yang kuat pada lipstik dan
menjaganya tetap padat walau keadaan hangat. Lilin yang biasa digunakan
antara lain carnauba wax, paraffin wax, ozokerite, beeswax, candellila wax,
spermaceti dan ceresine (Tranggono dan Latifah, 2007).
B. Minyak
Minyak yang digunakan dalam sediaan lipstik harus memberikan
kelembutan, kilauan dan berfungsi sebagai medium pendispersi zat warna.
Minyak yang sering digunakan antara lain minyak jarak, tetrahydrofufuryl
alkohol, isopropyl myristate, butyl stearat dan paraffin oil (Tranggono dan
Latifah, 2007).
C. Lemak
Lemak yang biasa digunakan adalah campuran lemak padat yang berfungsi
untuk membentuk lapisan film pada bibir, memberi tekstur yang lembut,
meningkatkan kekuatan lipstik, mengikat antara fase minyak dan fase lilin dan
dapat mengurangi efek berkeringat dan pecah pada lipstik. Lemak padat yang
biasa digunakan dalam basis lipstik adalah lemak coklat, lanolin, lesitin dan
minyak tumbuhan yang sudah dihidrogenasi (Tranggono dan Latifah, 2007).
D. Zat warna
Zat warna dalam lipstik dibedakan atas dua jenis yaitu staining dye dan
pigmen. Stanining dye merupakan zat warna yang larut atau terdipersi dalam
basisnya, sedangkan pigmen adalah zat warna yang tidak larut tetapi tersuspensi
dalam basisnya (Tranggono dan Latifah, 2007).
2.4.3 Zat Tambahan dalam Sediaan Lipstik

Zat tambahan dalam lipstik adalah zat yang ditambahkan dalam formula
lipstik untuk menghasilkan lipstik yang baik yaitu dengan cara menutupi
kekurangan yang ada tetapi dengan syarat zat tersebut harus inert, tidak toksik, tidak
menimbulkan alergi, stabil dan dapat bercampur dengan bahan-bahan lain dalam
7

formula lipstik. Zat tambahan yang biasa digunakan dalam sediaan lipstik antara
lain :

A. Antioksidan
Antioksidan digunakan untuk melindungi minyak dan bahan tak jenuh lain
yang rawan terhadap reaksi oksidasi. BHA, BHT dan vitamin E adalah
antioksidan yang paling sering digunakan. Antioksidan yang digunakan harus
memenuhi syarat (Wasitaatmadja, 1997):

1. Tidak berbau agar tidak mengganggu wangi parfum dalam kosmetika

2. Tidak berwarna

3. Tidak toksik

4. Tidak berubah meskipun disimpan lama

B. Pengawet
Kemungkinan bakteri atau jamur untuk tumbuh di dalam sediaan lipstik
sebenarnya sangat kecil karena lipstik tidak mengandung air. Akan tetapi ketika
lipstik diaplikasikan pada bibir kemungkinan terjadi kontaminasi pada
permukaan lipstik sehingga terjadi pertumbuhan mikroorganisme. Oleh karena
itu perlu ditambahkan pengawet di dalam formula lipstik. Pengawet yang sering
digunakan yaitu metil paraben dan propil paraben (Tranggono dan Latifah,
2007).
C. Parfum
Parfum digunakan untuk memeberikan bau yang menyenangkan, menutupi
bau dari lemak yang digunakan sebagai basis dan dapat menutupi bau yang
mungkin timbul selama penyimpanan dan penggunaan lipstik (Tranggono dan
Latifah, 2007).
2.5 Betasianin

Betasianin merupakan pigmen berwarna merah atau merah-violet dari


kelompok pigmen betalain. Pigmen betasianin hanya dapat dijumpai pada tanaman
beberapa famili anggota ordo Caryophyllales, termasuk Amaranthaceae, dan bersifat
mutual eksklusif dengan pigmen antosianin (Retno, 2010).
8

Sifat ini berarti bahwa pigmen betasianin dan antosianin tidak pernah dijumpai
bersamasama pada satu tanaman. Oleh karena itu pigmen betasianin sangat
signifikan dalam penentuan taksonomi tanaman tingkat tinggi. Betasianin adalah
salah satu pewarna alami penting yang banyak digunakan dalam sistem pangan.
Walaupun pigmen betasianin telah digunakan untuk pewarna alami sejak dahulu oleh
masyarakat, tetapi pengembangannya tidak secepat antosianin. Hal ini karena
keterbatasan tanaman yang mengandung pigmen betasianin. Sampai saat ini pigmen
betasianin yang telah diproduksi dalam skala besar hanya berasal dari Beta
vulgarisL. sedangkan dari sumber tanaman yang lain, seperti Amaranthus dan
Celosia masih aktif dieksplorasi untuk diteliti. Betasianin dari akar bit (Beta
vulgarisL.) telah diketahui memiliki efek antiradikal dan aktivitas antioksidan yang
tinggi sehingga mewakili kelas baru yaitu dietary cationizedantioxidant (Sari, et al
2016).

Betasianin dapat digunakan sebagai pewarna alami dalam bentuk ekstrat, akan
tetapi penggunaan pelarut air dalam proses pemekatan dengan panas dapat
mengakibatkan kerusakan karena titik didih air cukup tinggi (100oC) sedangkan
stabilitas betasianin semakin menurun pada pemanasan suhu 70 dan 80oC (Havlikova
et al., 1983).

2.6 Ekstrak dan Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang sesuai, diluar pengaruh cahaya
matahari langsung. Ekstraksi adalah pemisahan bahan aktif sebagai obat dari
jaringan tumbuhan ataupun hewan menggunakan pelarut yang sesuai melalui
prosedur yang telah ditetapkan. Selama proses ekstraksi, pelarut akan berdifusi
sampai ke material padat dari tumbuhan dan akan melarutkan senyawa dengan
polaritas yang sesuai dengan pelarutnya (Tiwari et al., 2011).

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibagi menjadi dua cara,
yaitu cara panas dan cara dingin (DepKes RI, 1995).

1. Ekstraksi Cara Dingin


9

a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
kamar. Keuntungan ekstraksi dengan cara maserasi adalah pengerjaan dan
peralatan yang digunakan sederhana, sedangkan kerugiannya yakni cara
pengerjaannya lama, membutuhkan pelarut yang banyak dan penyarian kurang
sempurna (Anonim, 2000). Metode ini paling cocok digunakan untuk senyawa
yang termolabil (Tiwari et al., 2011).
b. Perkolasi
perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi
penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses
perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap perendaman, tahap
perkolasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penampungan ekstrak) secara
terus menerus samp.i diperoleh ekstrak (perkolat). Ini adalah prosedur yang
paling sering digunakan untuk mengekstrak bahan aktif dalam penyusunan
tincture dan ekstrak cairan (Tiwari et al., 2011).

2. Ekstraksi Cara Panas

a. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi mengunakan pelarut yang selalu baru, dengan
menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah
pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (DepKes RI, 2000).
b. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif
konstan dengan adanya pendingin balik (DepKes RI, 2000).
c. Infusa
Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90oC selama 15
menit. Infusa adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperatur
penangas air dimana bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih,
temperatur yang digunakan (96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit)
(DepKes RI, 2000).
10

d. Dekok
Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur. Metode ini
digunakan untuk ekstraksi konstituen yang larut dalam air dan konstituen yang
stabil terhadap panas dengan cara direbus dalam air selama 15 menit (Tiwari
et al., 2011).
e. Digesti
Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinyu pada temperatur lebih
tinggi dari temperatur ruang (umumnya 25-30oC). Ini adalah jenis ekstraksi
maserasi di mana suhu sedang digunakan selama proses ekstraksi (Tiwari et
al., 2011).
2.7 Komposisi Bahan Lipstik
2.7.1 Cera alba

Cera alba dibuat dengan cara memutihkan malam yang diperoleh dari
sarang lebah Apis mellifera L. atau spesies Apis lain. Cera alba berupa zat padat
berwarna bening atau putih kekuningan dan memiliki bau khas lemah. Cera alba
praktis tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol (95%) dingin dan larut
dalam kloroform, eter hangat, minyak lemak dan minyak atsiri. Cera alba memiliki
titik lebur antara 62o- 64oC. Ketika cera alba dipanaskan di atas 150oC, terjadi
proses esterifikasi yang ditandai dengan penurunan bilangan asam. Cera alba
inkompatibel dengan agen pengoksidasi (Rowe et al., 2009). Cera alba dalam
formulasi ini sebagai agen pemberi struktur batang.

2.7.2 Carnauba wax

Carnauba wax diperoleh dari tunas daun dan daun kelapa carnauba Brasil,
Copernicia cerifera. Daun kemudian dikeringkan dan diparut, dan lilin ini
dihilangkan dengan penambahan air panas. Carnauba wax berupa serpihan
berbentuk tidak teratur berwarna kuning pucat. Memiliki karakteristik bau hambar
dan praktis tidak ada rasa. Hal ini menyebabkan bebas dari tengik. Titik lebur
carnauba wax tinggi yaitu 85oC. Carnauba wax larut dalam kloroform hangat dan
toluena hangat, sedikit larut dalam etanol (95%) mendidih, dan praktis tidak larut
dalam air (Rowe et al., 2009). Carnauba wax dalam formulasi ini agen pemberi
struktur batang dan meningkatkan titik lebur sediaan lipstik.
11

2.7.3 Vaselin flavum

Vaselin flavum merupakan campuran hidrokarbon setengah padat yang


diperoleh dari minyak mineral. Vaselin flavum memiliki massa lunak, lengket,
bening, kuning muda sampai kuning dan sifat ini tetap setelah zat dileburkan
bahkan dibiarkan hingga dingin tanpa diaduk. Vaselin flavum tidak berbau, hampir
tidak berasa dan dapat berfluoresensi lemah. Vaselin flavum praktis tidak larut
dalam air dan etanol (95%) dan larut dalam kloroform, eter juga eter minyak tanah.
Vaselin flavum melebur pada suhu antara 38o- 56oC. Ketika terpapar cahaya,
vaselin flavum akan teroksidasi yang akan membuat berubah warna (Rowe et al.,
2009). Vaselin flavum dalam formula ini sebagai agen pembentuk lapisan film pada
bibir dan memberikan tekstur yang lembut.

2.7.4 Minyak Jarak

Minyak jarak merupakan minyak lemak yang diperoleh dengan perasan


dingin biji Ricinus communis L. yang telah dikupas. Minyak jarak berupa cairan
kental, jernih, berwarna kuning pucat atau hampir tidak berwarna, berbau lemah
dengan rasa manis kemudian agak pedas, umumnya memualkan. Minyak jarak
dapat bercampur dengan kloroform, larut dalam etanol (95%) dan praktis tidak larut
dalam air. Minyak jarak stabil dan tidak menjadi tengik dengan pemanasan.
Pemanasan pada suhu 300oC untuk beberapa jam, minyak jarak membentuk
polimerisasi dan menjadi larut dalam minyak mineral. Ketika didinginkan pada
suhu 0oC, menjadi kental (Rowe et al., 2009). Minyak jarak dalam formula ini
digunakan sebagai medium pendispersi zat warna.

2.7.5 Adeps Lanae

Adeps lanae merupakan zat serupa lemak yang dimurnikan, diperoleh dari
bulu domba Ovis aries (Fam Bovidae). Adeps lanae berbentuk liat, lekat, berwarna
kuning muda atau kuning pucat, agak tembus cahaya dan bau khas lemah. Adeps
lanae melebur pada suhu antara 36o-42oC. Adeps lanae praktis tidak larut dalam
air, agak sukar larut dalam etanol (95%), mudah larut dalam kloroform dan eter
(Rowe et al., 2009). Adeps lanae dalam penelitian ini digunakan sebagai agen
pembentuk lapisan film pada bibir dan memberikan tekstur yang lembut.
12

2.7.6 Propil Paraben

Propil paraben digunakan sebagai pengawet antimikroba yang memiliki


spektrum antimikroba luas. Propil paraben berbentuk serbuk hablur putih, tidak
berbau dan tidak berasa. Propil paraben sangat sukar larut dalam air, larut dalam 40
bagian minyak lemak dan mudah larut dalam larutan alkali hidroksida. Aktifitas
antimikroba propil paraben berkurang dengan adanya surfaktan nonionik. Propil
paraben berubah warna dengan adanya besi dan terjadi hidrolisis oleh alkali lemah
dan asam kuat (Rowe et al., 2009). Propil paraben dalam formula digunakan sebagai
pengawet agar sediaan tidak mudah terkontaminasi.

2.7.7 Butil Hidroksitoluen (BHT)

BHT digunakan sebagai antioksidan. Karakteristik BHT berupa hablur padat


berwara putih dan memiliki bau khas. BHT praktis tidak larut dalam air dan
propilenglikol, mudah larut dalam etanol (95%), kloroform dan eter. BHT memiliki
titik lebur 70oC. Ketika terpapar cahaya, lembab dan panas menyebabkan
perubahan warna dan menghilangkan aktifitas. BHT inkompatibel dengan agen
pengoksidasi kuat seperti peroksida dan permanganat. Garam besi menyebabkan
perubahan warna dan hilangnya aktifitas (Rowe et al., 2009). BHT dalam formula
digunakan sebagai antioksidan agar sediaan tidak mudah teroksidasi dan berbau
tengik.
13

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari April 2017, dilakukan di
Laboratorium Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Pakuan Bogor.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat

Peralatan yang digunakan antara lain oven (Etuves C 3000, Perancis),


lemari pendingin (SANYO Medicool, Jepang), hot plate (Cimarec Thermo
Scientific, Amerika), melting point (Stuart), alat uji kekuatan, timbangan analitik
(KERN KB, Jerman), pH meter (Horiba F-52, Jepang), cetakan lipstik, wadah
lipstik (roll up), tanur, botol timbang, termometer, sudip, alu dan alat gelas (Schoot
Duran, Jerman), rotary evaporator .

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan antara lain bit merah yang diperoleh dari Garut,
Jawa Barat, akuades, asam sitrat, minyak jarak, cera alba, vaselin flavum, adeps
lanae, carnauba wax, butil hidroksi toluen (BHT), propil paraben, H2SO4 2 N,
pereaksi mayer, pereaksi dragendorff, etanol, serbuk Mg, HCl, H2SO4 pekat, asam
asetat anhidrat, FeCl3 1%, dan H2SO4 encer.

3.3 Metode Penelitian


3.3.1 Determinasi Sempel

Determinasi bit merah dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia


(LIPI) Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. Tanaman ubi jalar ungu
diperoleh dari Desa Bayongbong, Kabupaten Garut, Jawa Barat
14

3.3.2 Pembuatan Sempel

Mula-mula bit merah dilakukan sortasi basah, agar bagian yang tidak
digunakan tidak terbawa. Setelah itu dilakukan pencucian dengan menggunakan air
yang mengalir hingga bersih sampai getah atau kotoran yang menempel pada
bagian ubi jalar ungu benar-benar bersih. Bit merah yang telah dicuci bersih diangin
anginkan agar siap diproses tahap selanjutnya.

3.3.3 Pembuatan Ekstrak Bit Merah

Sebanyak 1 kg bit merah dibersihkan kulitnya lalu dipotong kecil-kecil dan


dihancurkan dengan blender. Setelah itu, dimaserasi menggunakan 1,5 liter akuades
dan ditambahkan 30 g asam sitrat kemudian ditutup dan dibiarkan selama 5 hari
terlindung dari cahaya sambil sesekali dilakukan pengocokan. Setelah 5 hari,
disaring menggunakan kapas dan dilanjutkan dengan kertas saring sehingga
diperoleh filtrat. Ampas yang tersisa kemudian dimaserasi ulang. Hasil filtrat yang
diperoleh dicampur menjadi satu lalu di freeze dry menggunakan alat freeze dryer

pada suhu -40oC dan dihitung persen rendemen dengan rumus (Risnawati, 2012).

3.3.4 Pengujian Kadar Air

Dimasukan lebih kurang 1 gram ekstrak, dan ditimbang dalam wadah yang
telah ditara. Keringkan pada suhu 105oC selama 5 jam, dan timbang. Lakukan
pengeringan dan timbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara jarak
penimbangan bertururt-turut tidak lebih dari 0,25% (Anonim, 2000).

3.3.5 Pengujian Kadar Abu

Timbang seksama 2 sampai 3 g bahan uji yang telah dihaluskan dan


masukan ke dalam krus silikat yang telah dipijar dan ditara, setelah dipijarkan
perlahan-lahan hingga arang habis, krus dinginkan dan ditimbang.

Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas
kedalam krus, kemudian diaduk, dan disaring melalui kertas saring bebas abu.
Kertas saring beserta sisa penyaringan dipijarkan dalam krus yang sama. Filtrate
15

dimasukan ke dalam krus, diuapkan dan dipijarkan hingga bobot tetap. Kadar abu
total dihitung terhadap berat bahan uji, dinyatakan dalam % b/b tidak lebih dari
0,025 % (DepKes RI, 2008)

(bobot krus + simplisia) bobot krus kosong


Kadar abu (%) = 100%
bobot awal simplisia

3.3.6 Uji Fitokima

Uji fitokimia dilakukan secara kualitatif pada ekstrak bit merah untuk
mengetahui adanya alkaloid, flavonoid, saponin, tannin, dan steroid dengan cara
sebagai berikut :

3.3.6.1 Uji Alkaloid


Sampel dicampur dengan 5 mL kloroform dan 5 mL amoniak kemudian
dipanaskan, dikocok dan disaring. Ditambahkan 5 tetes asam sulfat 2 N pada
masing-masing filtrat, kemudian dikocok dan didiamkan. Bagian atas dari masing-
masing filtrat diambil dan diuji dengan pereaksi Meyer dan Dragendorff.
Terbentuknya endapan putih dan jingga yang menunjukkan adanya alkaloid
(DepKes RI, 2000).

3.3.6.2 Uji Flavonoid


Sebanyak 5 g ekstrak bit merah diekstraksi dengan 30 metanol. Ekstrak
sebanyak 2 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambah 0,5 mL HCl pekat
dan 3-4 pita logam Mg. Adanya flavonoid ditandai dengan warna merah, oren atau
hijau tergantung struktur flavonoid dalam sempel (Kristanti dkk., 2008).

3.3.6.3 Uji Saponin


Sebanyak 500 mg ekstrak bit merah dimasukan ke dalam tabung reaksi,
ditambahkan 10 mL air panas, didinginkan dan kemudian dikocok kuat-kuat selama
10 detik, terbentuk buih selama tidak kurang dari 10 menit, setinggi 1 cm sampai
10 cm. pada penambahan 1 tetes asam klorida 2 N buih tidak hilang. (Depkes RI,
1995).
16

3.3.6.4 Uji Tanin


Sebanyak 2 g ekstrak bit merah ditambahkan etanol 80% sebanyak 30 mL
dikocok secara konstan selama 15 menit kemudian disaring. Filtrat yang diperoleh
diuapkan di atas penangas air. Pada sisa penguapan ditambahkan aquadest panas
lalu diaduk. Setelah dingin lalu disentrifugasi. Cairan di atasnya dipisahkan dengan
cara dekantasi, dan larutan digunakan sebagai larutan uji. Terhadap larutan uji
dilakukan percobaan sebagai berikut :

a. Filtrat ditambahkan larutan 10% gelatin, akan timbul endapan warna


putih.
b. Filtrat ditambah NaCl-gelatin (larutan 1% gelatin dalam larutan 10%
NaCl dengan perbandingan 1:1). Timbul endapan dan dibandingkan
dengan hasil a .
c. Filtrat ditambah larutan 3% besi (III) klorida, terbentuk warna hijau
biru hingga kehitaman (Hanani, 2015).
3.3.6.5 Uji Steroid
Sampel diekstrak dengan etanol dan ditambah 2 mL asam sulfat pekat dan
2 mL asam asetat anhidrat. Perubahan warna dari ungu ke biru atau hijau
menunjukkan adanya steroid (DepKes RI, 2000).

3.4 Formulasi Sediaan Lipstik

Total sediaan yang dibuat untuk satu formula adalah 5 g.

Tabel 3.1 Formula Sediaan Lipstik Ekstrak Bit Merah


Formula (%)
Komposisi
I II III
Ekstrak Bit Merah 5 7 9
Cera alba 15 15 15
Carnauba wax 9 9 9
Vaselin 8 8 8
Minyak jarak 40,88 37,88 35,88
Isopropil miristat 10 10 10
17

Adeps lanae 12 12 12
Propil paraben 0,1 0,1 0,1
BHT 0,02 0,02 0,02

Keterangan :

Formulasi I : Sediaan dengan konsentrasi ekstrak 5%


Formulasi II : Sediaan dengan konsentrasi ekstrak 7%
Formulasi III : Sediaan dengan konsentrasi ekstrak 9%

3.4.1 Pembuatan Sediaan Lipstik

Lebur cera alba, carnauba wax, minyak jarak, propil paraben, BHT dan
ekstrak bit merah di atas hot plate. Setelah melebur, campuran digerus hingga
homogen (M1). Lebur adeps lanae, vaselin dan isopropil miristat (M2). Campurkan
M2 ke dalam M1 dan kemudian digerus hingga homogen (M3). Lebur M3 di atas
hot plate dan setelah melebur segera dimasukkan ke dalam cetakan lipstik. Diamkan
10 menit sampai lipstik mengeras. Keluarkan lipstik dari cetakan dan dimasukkan
ke dalam wadah lipstik.

3.4.2 Evaluasi Fisik Sediaan Lipstik


3.4.2.1 Uji Organoleptik

Pengujian ini meliputi pemeriksaan warna, bentuk, dan bau sediaan yang
dihasilkan (Anvisa, 2005).

3.4.2.2 Uji Titik Lebur

Pengamatan dilakukan terhadap titik lebur lipstik dengan cara melebur


lipstik. Sediaan lipstik yang baik adalah sediaan lipstik dengan titik lebur dengan
suhu di atas 50C. (Vishwakarma, dkk., 2011).
Lipstik dimasukkan dalam pipa piler kaca hingga membentuk kolom di
dasar tabung dengan tinggi 2,5 mm hingga 3,5 mm setelah diisi semampat
mungkin dengan cara mengetukkan secukupnya pada permukaan padat.
Panaskan tangas hingga suhu lebih kurang 10o di bawah suhu lebur yang
diperkirakan, dan naikkan suhu dengan kecepatan 1o 0,5o per menit. Masukkan
18

kapiler, bila suhu mencapai 5o di bawah suhu terendah yang diperkirakan,


lanjutkan pemanasan hingga melebur sempurna. Catat jarak lebur.

3.4.2.3 Uji oles

Uji oles dilakukan secara visual dengan cara mengoleskan lipstik pada kulit
punggung tangan kemudian mengamati banyaknya warna yang menempel dengan
perlakuan 5 kali pengolesan. Sediaan lipstik dikatakan mempunyai daya oles yang
baik jika warna yang menempel pada kulit punggung tangan banyak dan merata
dengan beberapa kali pengolesan pada tekanan tertentu. Sedangkan sediaan
dikatakan mempunyai daya oles yang tidak baik jika warna yang menempel sedikit
dan tidak merata. Pemeriksaan dilakukan terhadap masing-masing sediaan yang
dibuat dan dioleskan pada kulit punggung tangan dengan 5 kali pengolesan
(Keithler, 1956).

3.4.2.4 Uji Homogenitas

Masing-masing sediaan lipstik yang dibuat diperiksa homogenitasnya


dengan cara mengoleskan sejumlah tertentu sediaan pada kaca yang transparan.
Sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya
butir-butir kasar (Risnawati, 2012).

3.4.2.5 Uji iritasi

Uji iritasi dilakukan terhadap sediaan lipstik yang dibuat menggunakan


pewarna dari ekstrak bit merah dengan maksud untuk mengetahui bahwa lipstik
yang dibuat dapat menimbulkan iritasi pada kulit atau tidak. Iritasi dapat dibagi
menjadi 2 kategori, yaitu iritasi primer yang akan segera timbul sesaat setelah
terjadi pelekatan atau penyentuhan pada kulit, dan iritasi sekunder yang reaksinya
baru timbul beberapa jam setelah penyentuhan atau pelekatan pada kulit (Ditjen
POM, 1985).

Teknik yang digunakan pada uji iritasi ini adalah uji tempel terbuka (Patch
Test) pada lengan bawah bagian dalam terhadap 10 orang panelis. Uji tempel
terbuka dilakukan dengan mengoleskan sediaan yang dibuat pada lokasi lekatan
dengan luas tertentu. tertentu (2,5 x 2,5 cm), dibiarkan terbuka dan diamati apa yang
19

terjadi. Uji ini dilakukan sebanyak 3 kali sehari selama tiga hari berturut-turut untuk
sediaan yang paling tinggi konsentrasi pewarna dari ekstrak biji coklatnya, yaitu
konsentrasi 18%, reaksi yang terjadi diamati. Reaksi iritasi positif ditandai oleh
adanya kemerahan, gatal-gatal, atau bengkak pada kulit lengan bawah bagian dalam
yang diberi perlakuan. Adanya kulit merah diberi tanda (+), gatal-gatal (++),
bengkak (+++), dan yang tidak menunjukkan reaksi apa-apa diberi tanda (0).
Kriteria panelis uji iritasi sesuai dengan (Ditjen POM, 1985).

3.4.2.6 Uji Kekuatan

Pengamatan dilakukan terhadap kekuatan lipstik dengan cara lipstik


diletakkan horizontal kemudian digantungkan beban yang berfungsi sebagai
penekan. Tiap 30 detik berat penekan ditambah (10 gram). Penambahan berat
sebagai penekanan dilakukan terus menerus sampai lipstik patah, pada saat lipstik
patah merupakan nilai kekuatan lipstiknya (Vishwakarma et al., 2011).

3.4.2.7 Uji Stabilitas

Pengujian dilakukan dengan menyimpan sediaan pada suhu tinggi (40 oC)
dan suhu kamar (25oC) selama 1 bulan, dan dilakukan pengamatan setiap 1 minggu
sekali terhadap adanya perubahan warna, bentuk dan bau (Anvisa, 2005).

3.4.2.8 Uji Cycling Test

Pemeriksaan stabilitas dengan cara sediaan lipstik dari masing-masing


formula disimpan secara bergantian pada suhu dingin (4C) pada 24 jam pertama
dan suhu tinggi (40oC) pada 24 jam berikutnya (1 siklus), pengujian ini dilakukan
sebanyak 6 siklus. (Anvisa, 2005).

Anda mungkin juga menyukai