Pendahuluan
Asma merupakan salah satu penyakit kronik yang tersebar di seluruh belahan dunia dan
sejak 20 tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat pada anak-anak baik di negara maju
maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup
yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik dari dalam ruangan maupun luar
ruangan.1 Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia, prevalensi asma pada
anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah
pertama.2
Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal tahun 60-an, bronkokonstriksi
merupakan dasar pathogenesis asma, kemudian pada tahun 70-an berkembang menjadi proses
inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain inflamasi juga disertai adanya remodeling.
Berkembangnya pathogenesis tersebut berdampak pada tatalaksana asma secara mendasar,
sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya
diarahkan untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian
berkembang dengan antiinflamasi sehingga obat antiinflamasi dianjurkan diberikan pada asma,
kecuali pada asma yang sangat ringan
Selain upaya mencari tatalaksana asma yang terbaik, beberapa ahli membuat suatu
pedoman tatalaksana asma yang bertujuan sebagai standar penanganan asma, misalnya Global
Initiative for Asthma (GINA) dan Konsensus Internasional. Pedoman di atas belum tentu dapat
dipakai secara utuh mengingat beberapa fasilitas yang dianjurkan belum tentu tersedia, sehingga
dianjurkan untuk membuat suatu pedoman yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing
negara.
Pengetahuan mengenai definisi, cara mendiagnosis, pencetus, pathogenesis dan
tatalaksana yang tepat dapat mengurangi kesalahan berupa overdiagnosis dan overtreatment pada
pasien asma. Sehingga diharapkan dengan pemahaman yang lebih luas tentang asma dapat
mempengaruhi kualitas hidup anak dan keluarganya serta dapat meminimalisir biaya pelayanan
kesehatan yang berlebihan pada pasien.
Hal 1
Bab II
Pembahasan
2.1 Definisi
Asma disebut juga sebagai Reactive Airway Disease (RAD) adalah suatu penyakit
obstruksi pada jalan nafas secara reversibel yang ditandai dengan bronkospasme, inflamasi dan
peningkatan sekresi jalan napas terhadap berbagai stimulan. GINA mendefinisikan asma sebagai
gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi hal tersebut menyebabkan episode
mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini
hari. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun
bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap
berbagai rangsangan. Pada asma, pemberian bronkodilator dan anti-inflamasi akan memberikan
respon yang baik.1
Hal 2
Udara mengalir dari hidung ke faring yang merupakan tempat persimpangan antara jalan
nafas dan jalan masukknya makanan. Faring dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu daerah
nasofaring, orofaring dan laringofaring.3
Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara yang terletak
di depan bagian faring sampai ketinggian verterba servikalis dan masuk ke trakea di bawahnya.
Trakea dibentuk dari 16 sampai 20 cincin tulang rawan dan diantara kartilago satu dengan
yang lain dihubungkan oleh jaringan fibrosa dan dibagian sebelah dalam diliputi oleh selaput
lendir yang bersilia yang hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk mengeluarkan
benda-benda asing yang masuk bersama benda asing
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea dan teradapat dua cabang setinggi vertebra
torakalis IV dan V. Tempat trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut
karina. Karina memiliki banyak saraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang
kuat jika batuk dirangsang
Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak mengandung alveoli dan
memiliki garis tengah 1 mm. Seluruh saluran udara mulai dari hidung sampai bronkiolus
terminalis disebut saluran penghantar udara atau zona konduksi. Setelah bronkiolus terminalis
terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri
dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan sakus alveolaris terminalis yang merupakan
struktur akhir dari paru.3
2.3 Etiologi
Hal 3
Sel-sel inflamasi (sel mast, eosinofil, limfosit T, neutrofil), mediator kimia (histamin,
leukotrien, platelet-activating factor, bradikinin), dan faktor kemotaktik (sitokinin, eotaksin)
memerantarai proses inflamasi yang terjadi pada saluran respiratori penderita asma. 4 Inflamasi
menyebabkan terjadinya hiperresponsif saluran respiratori, yaitu kecenderungan saluran
respiratori mengalami konstriksi sebagai respon terhadap alergen, iritan, infeksi virus, dan
olahraga. Hal ini juga menyebabkan terjadinya edema, peningkatan produksi mukus di paru,
masuknya sel-sel inflamasi ke saluran respiratori, dan kerusakan sel epitel. Inflamasi kronik
dapat menyebabkan terjadinya remodeling saluran respiratori, akibat proliferasi protein matriks
ekstraselular dan hiperplasia vaskular yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur
yang irreversibel dan penurunan fungsi paru yang progresif.4
2.4 Epidemiologi
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak
sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (InternationalStudy on
Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%,
sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di
beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta,
Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar
antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan
gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu
mendapat perhatian serius.5
Hal 4
Diagram 1. Prevalensi asma di dunia5
2.5 Patogenesis
Dulu asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang timbul mendadak dan akan membaik
secara spontan atau dengan pengobatan. Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan
hiperreaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama asma adalah untuk mengatasi
bronkospasme. Sedangkan konsep terkini patogenesis asma adalah suatu proses inflamasi kronik
yang melibatkan dinding bronkus yang berkembang menjadi hambatan jalan napas dan
peningkatan aktifitas bronkus, yang nantinya menjadi predisposisi penyempitan bronkus sebagai
respon terhadap berbagai stimuli.6 Tanda khas inflamasi jalan napas adalah peningkatan sejumlah
sel-sel; eosinofil, sel mast, makrofag dan limfosit T pada mukosa dan lumen bronkus. Perubahan
ini dapat terjadi meskipun secara klinis asma tidak bergejala. Pada banyak kasus terutama pada
Hal 5
anak asma dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE- dependent,
diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40%.
Gambar
2.
Hal 6
Gambar 3. Proses respon
inflamasi akut
Reaksi fase lambat
Timbul beberapa jam lebih lambat dibandingkan fase awal. Meliputi pengerahan dan
aktivasi sel-sel eosinophil, sel T, basophil, neutrophil dan makrofag. 6 Juga terdapat retensi selektf
sel T pada saluran respiratori, ekspresi molekul adehsi, dan pelepasan newly generate mediator.
Sel T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke arah
Th2. Selanjutnya dalam 2-4 jam pertama fase lambat terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta
produksi mediator proinflamasi, seperti IL-2, IL-5 dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi
sel-sel infalmasi. Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama
semakin kuat. Fase lambat dipikirkan sebagai sistem untuk mempelajari mekanisme inflamasi
pada asma. Selama respons fase lambat dan selama berlangsungnya paparan alergen, aktivasi sel-
sel pada saluran pernapasan menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi dan merangsang
lepasnya sel leukosit pro inflamasi terutama eosinofil dan sel prekursornya dari sumsum tulang
ke dalam sirkulasi. Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen.6
Eosinofil
Karakteristik untuk asma tapi tidak spesifik. Eosinofil
yang ditemukan pada saluran nafas penderita asma dalam keadaan teraktivasi. Berperan sebagai
efektor dan mensintesis sejumlah sitokin, antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta
Hal 7
mediator lipid. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan
memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil mengandung granul protein : eosinophil
cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil
derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas.
Sel mast
Mempunyai reseptor IgE dengan afinitas tinggi. Cross-linking reseptor IgE dengan
factors pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan
preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly generated mediator (prostaglandin
D2 dan leukotrien), serta mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-
CSF.
Makrofag
Sel terbanyak pada organ pernapasan baik pada orang normal maupun penderita asma,
didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus dan menghasilkan beberapa mediator
(leukotrien, PAF serta sejumlah sitokin). Selain berperan dalam proses inflamasi juga berperan
pada regulasi airway remodelling. Peran tersebut melalui antara lain : sekresi growth promoting
factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-.
Hal 8
Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses
reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang
menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau repair.
Kerusakan epitel bronkus adalah akibat dilepaskannya sitokin dari sel inflamasi seperti eosinofil.
Kini dibuktikan bahwa otot polos saluran napas juga memproduksi sitokin dan kemokin seperti
eotaxin, RANTES, GM-CSF dan IL-5, juga faktor pertumbuhan dan mediator lipid, sehingga
mengakibatkan penumpukan kolagen di lamina propia. Pada proses remodeling yang berperan
adalah sitokin IL4, TGF- dan Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF- merangsang sel
fibroblast berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat
proses remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis
mukosa menebal (pseudothickening), hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel
radang dan hiperplasia otot.6 Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi
mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang persisten dan memberikan gambaran klinis
asma kronis.
Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan epitel
bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat antiinflamasi tidak
diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus serta obstruksi
saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling bertambah hebat. 6 Pada penelitian
terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum bermanifestasi sebagai asma ternyata
ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa
proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila
intervensi dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat
untuk mencegah terjadinya proses remodeling.
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodelling.
Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodelling juga komponen lainnya.
Perubahan struktur yang terjadi :
Hipertrofi dan hiperplasi otot polos jalan napas.
Hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus.
Penebalan membran retikular basal.
Pembuluh darah meningkat.
Matriks ekstraseluller fungsinya meningkat.
Perubahan struktur parenkim.
Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
Dari uraian diatas, sejauh ini airway remodelling merupakan fenomena sekunder dari
inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway
Hal 9
remodelling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti hiperaktivasi jalan napas, masalah
regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas.
Hal 10
Gambar 5. Patofiosologi asma
Hal 11
anak. Faktor yang memicu eksaserbasi antara lain virus, paparan allergen, dan iritan (rokok, bau-
bauan yang meyengat, asap), olahraga, emosi, dan perubahan cuaca atau kelembapan. Gejala
malam hari sering kali dijumpai. Rinosinusitis, refluks gastroesofagus, dan sensitivitas terhadap
obat antiinflamasi nonsteroid (khususnya aspirin) dapat memicu asma. Eksplorasi terhadap
riwayat keluarga dengan alergi dan asma juga beranfaat.
Selama episode akut, pemeriksaan fisik dapat menunjukan adanya takipnea, takikardi,
batuk, mengi, dan ekspirasi memanjang. Temuan pada pemeriksaan fisik bisa kurang jelas.
Mengi yang klasik mungkin tidak terlalu terdengar apabila gerakan udara hanya minimal.
Apabila serangan berlanjut, sianosis, berkurangnya aliran udara, retraksi, agitasi,
ketidakmampuan untuk berbicara, posisi duduk tripod, diaforesis, dan pulsus paradoksus
(penurunan tekanan darah >15 mmHg pada saat inspirasi) dapat dijumpai.4
GINA, konsensus Internasional dan Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) menekankan
diagnosis asma didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan algoritme
kemungkinan diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau mengi yang
berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan adanya riwayat atopi
pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau tanda yang patut diduga suatu
asma.1,6
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, khususnya anak di
bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat bronkodilator dan steroid sistemik (5 hari) dan
dengan penyingkiran penyakit lain diagnosis asma menjadi lebih definitif. Untuk anak yang
sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang
sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi
bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin atau dengan
NaCl hipertonis, sangat menunjang diagnosis.
Pada pemeriksaan penunjang dapat diperiksa laboratorium darah terutama eosinofil dan
IgE, sputum terutama eosinofil, spiral crusshman, kristal charcot leyden. Untuk pemeriksaan
lainnya dapat dilakukan spirometri, uji provokasi bronkus, foto thoraks. Spirometri adalah alat
yang dipergunakan untuk mengukur faal ventilasi paru. Reversibilitas penyempitan saluran napas
yang merupakan ciri khas asma dapat dinilai dengan peningkatan volume ekspirasi paksa detik
pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20% atau lebih sesudah
pemberian bronkodilator. Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada
Hal 12
penderita dengan gejala sama dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus.
Pemeriksaan uji provokasi bronkus merupakan cara untuk membuktikan secara objektif
hipereaktivitas saluran napas pada orang yang diduga asma. Uji provokasi bronkus terdiridari
tiga jenis yaitu uji provokasi dengan beban kerja (exercise), hiperventilasi udara dan alergen non-
spesifik seperti metakolin dan histamin. Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan
penyakit lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi saluran
nafas, pneumothoraks, pneumo mediastinum. Pada serangan asma yang ringan, gambaran
radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan adanya kelainan.
2.8 Klasifikasi
Dalam GINA, asma diklasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat penyakit asma, serta pola
obstruksi aliran udara di saluran napas.1 Walaupun berbagai usaha telah dilakukan, klasifikasi
bedasarkan etiologi sulit digunakan karena terdapat kesulitan dalam penentuan etiologi
spesifik dari sekitar pasien. Derajat penyakit asma ditentukan bedasarkan gabungan penilaian
gambaran klinis, jumlah penggunaan agonis 2 untuk mengatasi gejala dan pemeriksaan
fungsi paru pada evaluasi awal pasien.
Tabel 2.8.1 Klasifikasi asma berdasarkan GINA1
Hal 13
Selain pembagian berdasarkan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3 yaitu asma
episodik jarang, asma episodik sering dan asma persisten. Berikut ini tabel klasifikasi asma
berdasarkan PNAA 2004
Tabel 2.8.2 Klasifikasi asma berdasarkan PNAA 20046
Berat derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan, National Asthma
Education and Prevention Program (NAEP) melakukan pembagian derajat serangan asma
bedasarkan gejala, pemeriksaan fisik, uji fungsi paru dan pemeriksaan laboratorium7
Tabel 2.8.3 Penilaian derajat ringan berat serangan asma6
Hal 14
2.9 Diagnosis banding
Kebanyakan anak yang menderita episode batuk dan mengi berulang menderita asma.
Penyebab lain penyumbatan jalan napas adalah malformasi kongenital(sistem pernapasan,
kardiovaskuler, gastrointestinal), benda asing pada jalan napas atau esofagus, bronkiolitis
infeksius, kistik fibrosis, penyakit defisiensi imunologis, pneumonitis hipersensitifitas,
aspergilosis bronkopulmonal alergika dan berbagai keadaan lebih jarang yang mengganggu jalan
napas, termasuk tuberkulosis endobronkial, penyakit jamur dan adenoma bronkus.
Hal 15
2.10 Tata Laksana
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi
tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai adalah8
Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan
berolahraga.
Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.
Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
Hal 16
Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
Apabila tujuan ini belum tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya. Tatalaksana asma
mencakup edukasi terhadap pasien dan atau keluarganya tentang penyakit asma,
penghindaran terhadap faktor pencetus dan tatalaksana medikamentosanya, baik dalam
memilih obat yang tepat untuk mengatasi serangan atau monitor dan pengelolaan asma
jangka panjang.
Medika Mentosa
Obat asma dapat dibagi 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (Reliever) dan obat
pengendali (Controller).
a. Obat Pereda (Reliever)
Obat pereda ada yang menyebutnya obat pelega atau obat serangan. Obat
kelompok ini digunakan pada saat eksaserbasi atau saat gejala asma sedang
timbul dan apabila serangan sudah teratasi maka obat ini dihentikan. Termasuk
obat pereda asma adalah:
Inhalasi agonis 2 aksi cepat (terbutalin, Orreversib, orsiprenalin, fenoterol)
Steroid sistemik (Orreversib, Orreversible, metil Orreversible)
Inhalasi anti kolinergik (ipratropium bromid, oksitropium bromid)
Xantinergik aksi cepat (teofilin)
Agonis 2 aksi cepat oral (terbutalin, salbutamol, orsiprenalin,
heksoprenalin, trimetokuinol).
Hal 17
Inhalasi atau oral agonis 2 aksi lambat( prokaterol, bambuterol, salmeterol,
klenbuterol)
Golongan obat oral lepas lambat (terbutalin, salbutamol, teofilin)
Antihistamin (ketotifen)
Anti leukotrin (zafirlukas).
Berikut merupakan daftar obat-obat yang umum digunakan berdasarkan UKK pulmonologi PP
IDAI(Pedoman Nasional Anak Asma)
mg/kg)
Terbutalin Bricasma Respule 2,5 mg 1 repsule
Golongan antikolinergik
Ipratropium Atroven Solution 0,025% > 6 thn : 8-20 tetes
Hal 18
Steroid Oral :
Lameson, Urbason 4 mg
Prednison Hostacortin, Tablet 1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
Pehacort, Dellacorta 5 mg
Triamsinolon Kenacort Tablet 1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
4 mg
Steroid Injeksi :
tiap 6 jam
Hal 19
Orreversible (airway remodeling). Namun dari bukti yang ada risiko tersebut tidak terjadi pada
asma episodic jarang. Karena itu pemberian steroid hirupan sejak awal untuk asma episodic
jarang tidak dianjurkan
Hal 20
Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu
24-48 jam untuk evaluasi ulang tata laksana.
Jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat
tersebut diteruskan hingga evaluasi ulang yang dilakukan di klinik rawat
jalan. Namun jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembali, pasien
diperlakukan sebagai serangan asma sedang.
2. Serangan asma sedang
Jika pemberian nebulasi dua atau tiga kali pasien hanya menunjukkan
respon parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya
sedang. Untuk itu derajat serangan harus dinilai ulang sesuai pedoman.
Jika serangannya memang termasuk serangan sedang, pasien perlu
observasi dan ditangani di ruang rawat sehari. Pada serangan sama
sedang, diberikan kortikosteroid sistemik oral metilprednisolon dengan
dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari selama 3-5 hari.
Walaupun belum tentu diperlukan, untuk persiapan darurat, pasien yang
akan di observasi di RRD langsung dipasang jalur parenteral sejak di
UGD.
Hal 21
Nebulasi -agonis + antikolinergik dengan oksigen tetap dilanjutkan tiap
1-2 jam. Jika 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak
pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
Aminofilin diberikan secara intravena dengan ketentuan sebagai berikut:
o Jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberikan
aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan
dalam dekstrosa 5% atau garam fisiologis sebanyak 20 ml,
diberikan dalam 20-30 menit.
o Jika pasien telah mendapatkan aminofilin sebelumnya (kurang
dari 4 jam), dosis yang diberikan adalah setengah dosis inisial.
o Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan
sebesar 10-20 mcg/ml
o Selanjutnya, aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-
1mg/kgBB/jam.
o Jika telah terjadi perbaikan klinis, nebulasi diteruskan tiap 6 jam
sampai dengan 24 jam.
Steroid dan aminofilin diganti dengan pemberian per-oral.
Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
dibekali obat -agonis (hirup atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam
selama 24-48 jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien
control ke klinik rawat jalan dalam 24-48 jam untuk evaluasi ulang tata
laksana.
Ancaman henti napas; hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi
oksigen (kadar PaO2 < 60 mmHg dan/atau PaCO2 > 45 mmHg). Pada
ancaman henti napas diperlukan ventilasi mekanik.
Hal 22
Gambar 7. Alur diagnosis makan6
Hal 23
Faktor alergi dianggap mempunyai peranan pada sebagian besar anak dengan asma.
Disamping itu hiperaktivitas saluran nafas juga merupakan faktor yang penting. Bila tingkat
hiperaktivitas bronkus tinggi, diperlukan jumlah alergen yang sedikit dan sebaliknya jika tingkat
hiperaktivitas rendah diperlukan jumlah antigen yang lebih tinggi untuk menimbulkan serangan
asma. Sensitisasi tergantung pada lama dan intensitas hubungan dengan bahan alergenik
sehingga berhubungan dengan umur. Pada bayi dan anak kecil sering berhubungan dengan isi
dari debu rumah misalnya tungau, serpih atau bulu binatang, spora jamur yang terdapat di dalam
rumah. Dengan bertambah umur maka makin banyak jenis alergen pencetusnya.10
Infeksi
Biasanya infeksi virus terutama pada bayi dan anak kecil. Virus penyebabnya biasanya
respiratory syncytial virus (RSV) dan virus parainfluenza. Kadang-kadang dapat juga oleh
bakteri misalnya pertusis dan streptokokus beta hemolitikus, jamur misalnya aspergilus.10
Iritan
Hairspray, minyak wangi, asap rokok, cerutu dan pipa, bau tajam dari cat, SO2 dan polutan
udara berbahaya lainnya, juga udara dingin dan air dingin.10
Cuaca
Perubahan tekanan udara, perubahan suhu udara, angin dan kelembaban dihubungkan
dengan percepatan dan terjadinya serangan asma.10
Kegiatan jasmani
Kegiatan jasmani yang berat misalnya berlari dan naik sepeda dapat menimbulkan
serangan pada anak dengan asma. Juga tertawa dan menangis dapat merupakan pencetus. Pada
anak dengan faal paru di bawah normal sangat rentan terhadap kegiatan jasmani.10
Hal 24
Disamping infeksi virus saluran nafas bagian atas sinusitis akut dan kronik dapat
memudahkan terjadinya asma pada anak. Rhinitis alergi dapat memberatkan asma melalui
mekanisme iritasi atau refleks.10
Refluks gastroesofagus
Iritasi trakeobronkial karena isi lambung dapat memberatkan asma pada anak dan orang
dewasa.10
Psikis
Faktor psikis merupakan pencetus yang tidak boleh diabaikan dan sangat kompleks.
Pembatasan aktivitas anak, seringnya anak tidak masuk sekolah, seringnya bangun malam,
terganggungnya irama kehidupan keluarga karena anak sering mendapat serangan asma,
pengeluaran uang untuk biaya pengobatan dan rasa khawatir, dapat mempengaruhi anak asma
dan keluarganya. Karena itu semua interaksi kejadian itu perlu diperhatikan dan dicari jalan
keluarnya seoptimal mungkin.10
Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Asma disebut juga sebagai Reactive Airway Disease (RAD), adalah suatu penyakit
obstruksi pada jalan nafas secara reversibel yang ditandai dengan bronkospasme, inflamasi dan
peningkatan sekresi jalan napas terhadap berbagai stimulan. GINA mendefinisikan asma sebagai
gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara
lain : alergen, virus, zat iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi. Sejalan dengan proses
inflamasi, perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi saluran respiratorik yang
menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik
yang dikenal dengan istilah remodeling atau repair. Anak asma mempunyai gejala batuk, mengi,
dan sesak napas atau napas cepat. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya takipnea,
Hal 25
takikardi, batuk, mengi, dan ekspirasi memanjang. Pada umunya terjadi kesulitan mendiagnosis
asma pada anak kecil, khususnya anak di bawah 3 tahun oleh karena itu respons yang baik
terhadap obat bronkodilator dan steroid sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain
diagnosis asma menjadi lebih definitif. Obat asma dapat dibagi 2 kelompok besar, yaitu obat
pereda (Reliever) dan obat pengendali (Controller). Obat kelompok reliever digunakan pada saat
eksaserbasi atau saat gejala asma sedang timbul dan apabila serangan sudah teratasi maka obat
ini dihentikan. Untuk kelompok obat controller, digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma
yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus dalam
jangka waktu relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan respon terhadap pengobatan.
Selain penggunaan obat-obatan, perlu juga memperhatikan tindakan preventif dengan
menghindari faktor-faktor resiko yang dapat membuat kekambuhan asma.
Daftar Pustaka
1. Global Initiative for Asthma. Pocket guide management and prevention asthma in
children. 2005.
2. Supriyanto B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak. Vol 55. Majalah
Kedokteran Indonesia. Maret 2005.
3. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke system. Jakarta: EGC; 2006.
4. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson Ilmu Kesehatan Anak
Esensial. Edisi ke-6. Singapur: Elsevier; 2011. h. 339-50
5. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, et al. Allergy and asthma, The
scenario in Indonesia. In: Shaikh WA.editor. Principles and practice of tropical allergy
and asthma. Mumbai: Vicas Medical Publishers; h.2006.707-36.
6. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi ke-1. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.h.71-135.
7. Akib A, Munasir Z, Kurniati Z. Buku ajar alergi imunologi anak. Edisi ke-2. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.h.252-62.
Hal 26
8. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman nasional asma anak. Jakarta: UKK
Pulmonologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2004.h.16-22.
9. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia jilid 1. Jakarta: IDAI;
2010.h.269-72
10. Hassan R, Alatas H, Latief A. Ilmu kesehatan anak jilid ke 3. Jakarta: FKUI: 1985; 1217-
24.
Hal 27
DISUSUN OLEH
PRATIWI AGUSTIYANTI SOEPRATIKNYO
112015364
PEMBIMBING
dr. Suhesti Handayani, Sp.A
Hal 28