Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan saluran cerna merupakan masalah yang sering dihadapi. Perdarahan


saluran cerna bagian bawah atau lower gastrointestinal bleeding (LGIB) umumnya
didefinisikan sebagai perdarahan yang berasal dari usus di bagian bawah ligamentum Treitz.
Perdarahan saluran cerna bagian bawah mencakup gejala yang luas, mulai dari hematokezia
ringan sampai perdarahan masif yang disertai syok, yang menghasilkan ketidakstabilan tanda
vital dengan tanda-tanda anemia dengan atau tanpa perlu untuk transfusi darah. LGIB dapat
disebabkan oleh berbagai keadaan, penyebab yang paling sering adalah diverticulosis,
inflamatory bowel disease (IBD), neoplasia, dan benign anorectal disease.[1]

Dalam kurun waktu dekade terakhir tampaknya pasien akibat perdarahan saluran cerna
meningkat signifikan. Seperti penelitian yang dilakukan Zuccaro G (1998) dalam jurnal yang
ditulis oleh Messmann H dan Barnert J (2009) mengenai diagnosis dan penatalaksanaan
perdarahan saluran cerna bagian bawah menyebutkan bahwa kejadian perdarahan dari saluran
cerna bagian bawah sebesar 20% dari seluruh kasus perdarahan akut gastrointestinal. [1]
Insidensi lower gastrointestinal bleeding (LGIB) setiap tahunnya sekitar 20-30 kasus per
100.000 populasi, kejadian ini meningkat sesuai dengan faktor risiko usia. Walaupun sekitar
80% perdarahan saluran cerna bagian bawah dapat berhenti secara spontan, tetapi identifikasi
sumber perdarahan masih menjadi tantangan besar dan risiko kejadian ini berulang mencapai
25%. LGIB masih menjadi masalah kesehatan, karena 5-20% penyebab LGIB masih belum
diketahui.[2] Oleh karena itu LGIB memerlukan pendekatan diagnosis yang baik agar dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien LGIB. Penanganan LGIB dapat dilakukan
dengan terapi farmakologi dan tindakan operatif yang akan dibahas pada bab selanjutnya.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi LGIB


LGIB umumnya didefinisikan sebagai perdarahan yang berasal dari usus di bagian
bawah ligamentum Treitz. Pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian bawah datang
dengan keluhan darah segar sewaktu buang air besar. Hampir 80% dalam keadaan akut
berhenti dengan sendirinya dan tidak berpengaruh pada tekanan darah, seperti pada
perdarahan hemoroid, polip kolon, kanker kolon atau kolitis. Hanya 15% pasien dengan
perdarahan berat dan berkelanjutan berdampak pada tekanan darah. Perdarahan berat biasanya
berasal dari bagian proksimal dan terminal ileum. Sebelas persen pasien-pasien dengan
hematokezia sebenarnya berasal dari perdarahan saluran cerna bagian atas dan 9% berasal
dari usus halus.[3]
Berdasarkan onset waktunya, LGIB diklasifikasikan menjadi akut LGIB dan kronik
LGIB. Akut LGIB didefinisikan sebagai perdarahan saluran cerna bagian bawah yang baru
terjadi (kejadiannya kurang dari 3 hari) yang menghasilkan ketidakstabilan tanda vital dengan
tanda-tanda anemia dengan atau tanpa perlu untuk transfusi darah. Kronik LGIB adalah
perdarahan dari rektum yang periodenya lebih dari beberapa hari atau lebih lama dan biasanya
ditandai dengan kehilangan darah secara perlahan atau intermiten. Seorang pasien dengan
perdarahan kronik dapat menunjukkan perdarahan samar pada feses, anemia defisiensi besi,
episode melena yang berkala, hematokezia atau maroon stools, atau tampak sedikit
perdarahan dari rektum. Jadi, LGIB dapat disubklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu
perdarahan gastrointestinal yang jelas secara klinis (melena, hematokezia) dan perdarahan
samar (occult bleeding) yang dapat diidentifikasi dengan defisiensi besi yang idiopatik dan
hasil positif pemeriksaan perdarahan samar.[1]

2.2 Karakteristik Klinik dari LGIB


Hematokezia. Hematokezia diartikan darah segar yang keluar melalui anus dan
merupakan manifestasi tersering dari perdarahan saluran cerna bagian bawah. Hematokezia
lazimnya menunjukkan perdarahan kolon sebelah kiri, namun demikian perdarahan seperti ini
juga dapat berasal dari saluran cerna bagian atas, usus halus, transit darah yang cepat. [3]
Melena. Melena diartikan sebagai tinja yang berwarna hitam dengan bau yang khas.
Melena timbul bilamana hemoglobin dikonversi menjadi hematin atau hematokrom lainnya
oleh bakteri setelah 14 jam. Umumnya melena menunjukkan perdarahan di saluran cerna
bagian atas atau usus halus, namun demikian melena dapat juga berasal dari perdarahan kolon
2
sebelah kanan dengan perlambatan mobilitas. Tidak semua kotoran hitam ini melena karena
bismuth, sarcol, Lycorice, obat-obatan yang mengandung zat besi dapat menyebabkan feses
menjadi hitam. Oleh karena itu dibutuhkan tes guaiac untuk menentukan adanya hemoglobin
dalam feses.[3]
Darah samar. Darah samar timbul bilamana ada perdarahan ringan namun tidak
sampai merubah warna feses. Perdarahan jenis ini dapat diketahui dengan tes guaiac.[3]

2.3 Etiologi LGIB


LGIB dapat disebabkan oleh berbagai keadaan, beberapa literatur mengklasifikasikan
etiologi LGIB berdasarkan lokasinya di kolon diantaranya adalah diverticulosis, anorectal
diseases, inflamatory bowel disease (IBD), ulcerative colitis, Crohns disease, ischemic
colitis, infectious colitis, pseudomembranous colitis, colorectal cancer, colorectal polyp,
anorectal hemorrhoids dan arteriovenous malformation.[2]
Pada studi retrospektif rekam medis yang dilakukan oleh Lubis M dan Zain L H pada
116 pasien yang melakukan kolonoskopi dengan keluhan hematokezia di Rumah Sakit Adam
Malik, Medan pada bulan Januari 2009 - Desember 2010, penyebab utama terjadinya LGIB
diantarnya adalah varices hemorroid (44,7%), colorectal carcinoma (14,7%), sigmoid
carcinoma (6,9%), colitis (5,1%), descending colon cancer (3,5%), rectosigmoid carcinoma
(3,5%).[2]
Tabel 2.2 Penyebab yang paling sering LGIB.[4]
Major causes of colonic bleeding
1. Diverticular disease
2. Vascular malformation (angiodysplasia)
3. Ischaemic colitis
4. Haemorroids
5. Inflamatory bowel disease (eg ulcerative proctitis, Crohns disease)
6. Neoplasia (carcinoma or polyps)
7. Radiation enteropathy

Source : Longstreth GF. Epidemiology and outcome of patients hospitalizedwith acute lower gastrointestinal hemorrhage: a
population-based study. Am J Gastroenterol 1997;92(3):419-24. Dalam Management of acute upper and lower
gastrointestinal bleeding. A national clinical guideline. 2008

2.3.1 Penyakit Divertikular


Definisi. Penyakit divertikular merupakan suatu kelainan dimana terjadi herniasi
mukosa atau submukosa dan hanya dilapisi oleh tunika serosa pada lokasi dinding kolon yang
lemah yaitu tempat dimana vasa rekta menembus dinding kolon. Beberapa istilah yang
berhubungan dengan penyakit divertikular:[5]
3
- Divertikulosis : ditemukan satu atau lebih divertikel dalam kolon
- Divertikula : bila ditemukan banyak divertikel
- Predivertikular : terjadi herniasi mukosa atau submukosa dan masih tetap berada pada
dinding kolon dan belum seluruhnya herniasi melewati dinding kolon. Peridivertikulitis
merupakan respon inflamasi yang melampaui divertikulum itu sendiri.
- Divertikulitis : merupakan perforasi dari divertikulum yang diikuti oleh infeksi dan
inflamasi yang menyebar ke dinding kolon, epiploic appendage, mesenterium organ-
organ sekitar atau mikro/makro perforasi bebas ke kavum peritonium.
Epidemiologi. Perdarahan pada divertikel paling sering berupa perdarahan yang masif
pada 30-50% kasus, sedangkan perdarahan yang ringan terjadi pada 30% kasus dan sekitar
15% pasien akan mengalami perdarahan sekali selama hidup. Perdarahan biasanya terjadi
tiba-tiba terutama pada divertikel yang berlokasi pada kolon sebelah kanan (80%) tanpa
disertai adanya gejala nyeri abdomen dan 70-80% berhenti spontan. 5 Prevalensi divertikular
kolon meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Dengan kolonoskopi, 60% kasus
perdarhan divertikular dapat ditemukan dikolon sebelah kiri.[1]
Etiologi. Penyebab terjadinya penyakit divertikular adalah kurangnya serat dan
rendahnya residu dalam makanan yang dikonsumsi karena telah diolah pabrik seperti gandum,
biji-bijian, konsumsi gula, tepung, daging dan makanan kaleng yang banyak sehingga
menyebabkan perubahan mileu interior dalam kolon. Pendapat ini diperkuat oleh penelitian-
penelitian selanjutnya dimana terbukti bahwa kurangnya serat dalam makanan merupakan
faktor utama terjadinya penyakit divertikular sehingga disebut sebagai penyakit defisiensi
serat.[5]

Gambar 1. Perdarahan dari divertikulum kecil.[1]

4
Patogenesis. Pada mereka yang mengkonsumsi kurang serat akan menyebabkan
penurunan massa feses menjadi kecil-kecil dan keras, waktu transit kolon yang lebih lambat
sehingga absorbsi air lebih banyak dan output yang menurun menyebabkan tekanan dalam
kolon meningkat untuk mendorong massa feses keluar mengakibatkan segmentasi kolon yang
berlebihan. Segmentasi kolon yang berlebihan akibat kontraksi otot sirkuler dinding kolon
untuk mendorong isi lumen dan menahan passase dari material dalam kolon merupakan salah
satu faktor penyebab terjadinya penyakit divertikular. Pada segmentasi yang meningkat akan
terjadi oklusi pada kedua ujung segmen sehingga tekanan intraluminal meningkat secara
berlebihan terjadi herniasi mukosa atau submukosa dan terbentuk divertikel. Perdarahan
divertikular berasal dari vasa recta yang terletak di submukosa, yang dapat pecah pada bagian
puncak atau leher dari divertikulum tersebut.[5]
Morfologi. Sebagian besar divertikulum kolon adalah kantong kecil berbentuk bulan
atau seperti botol, biasanya bergaris tengah 0,5 sampai 1 cm. Divertikulum ini terletak dalam
kolon sigmoid pada sekitar 95% pasien. Walaupun jarang, kolon lebih proksimal dan kadang-
kadang seluruh kolon dapat terkena. Juga dapat terjadi divertikulum saja di sekum. Peristalsis
yang berlebihan sering memicu hipertrofi otot di segmen yang terkena, dengan taenia koli dan
berkas otot sirkular yang sangat menonjol. Sebagian besar divertikulum menembus diantara
berkas-berkas serat otot sirkular dekat taenia mesenterika dan lateralis di tempat pembuluh
penetrans. Divertikulum sering melakukan diseksi ke dalam apendiks epiploika sehingga
mungkin tidak tampak pada inspeksi eksternal sambil lalu. Pada keadaan tidak meradang,
dinding biasanya sangat tipis, terutama terdiri atas mukosa dan submukosa yang terbungkus
oleh lemak atau selubung peritoneum utuh. Dapat timbul peradangan yang menyebabkan
divertikulitis dan peridivertikulitis. Perforasi dapat menyebabkan peritonitis lokal atau
pembentukan abses. Bila banyak divertikulum yang saling berdekatan meradang, dinding usus
dapat dibungkus oleh jaringan fibrosa disertai meyempitnya lumen sehingga terbentuk
gambaran yang mirip dengan striktur pada kanker.[6]
Gambaran klinis. Pada sebagian orang, penyakit divertikulum tidak menimbulkan
gejala dan ditemukan hanya saat autopsi atau secara kebetulan saat laparoskopi atau enema
barium untuk kelainan lain. Hanya pada sekitar seperlima kasus timbul kram intermiten atau
kadang-kadang rasa tidak nyaman yang terus-menerus di kuadran kiri bawah, dengan
perasaan tidak pernah tuntas buang air besar. Terjadinya divertikulitis memperkuat gejala dan
menimbulkan nyeri tekan di kuadran kiri bawah dan demam. Penyulit lain yang jarang adalah
perdarahan intermiten kronis minimal atau yang jarang, perdarahan masif, perforasi dengan
abses perikolik, atau pembentukan fistula.[6]

5
2.3.2 Inflamatory Bowel Disease
Inflamatory Bowel Disease (IBD) adalah suatu kelompok heterogen penyakit yang
ditandai dengan respons imun mukosa yang berlebihan dan destruktif. Cedera jaringan pada
IBD besar kemungkinannya dipicu oleh jalur genetik dan imunologik yang beragam yang
dimodifikasi oleh pengaruh lingkungan, termasuk mikroba dan produknya (Kumar V,
Crawford J, 2007). Secara garis besar IBD terdiri dari 3 jenis, yaitu Kolitis Ulseratif (KU,
Ulcerative Colitis), Penyakit Crohns (PC, Crohns disease), dan bila sulit membedakan kedua
hal tersebut, maka dimasukkan dalam kategori Indeterminate Colitis. Hal ini untuk secara
praktis membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lainnya yang telah diketahui
penyebabnya seperti infeksi, iskemia dan radiasi.[7]
Penyakit Crohn
Penyakit ini dapat mengenai semua bagian saluran cerna, dari mulut hingga anus.
Kasus aktif crohns disease (CD) sering disertai oleh penyulit imunologik ekstraintestinal,
seperti iritis dan uveitis, sakroiliitis, poliartritis migratorik, eritema nodosum, perikolangitis
hati dan kolangitis sklerotikans (penyakit peradangan saluran empedu), dan uropati obstruktif
disertai nefrolitiasis dan kerentanan terhadap infeksi saluran kemih. Amiloidosis sistemik
merupakan penyulit tahap lanjut yang jarang ditemukan. Oleh karena itu, CD harus di
pandang sebagai suatu penyakit peradangan sistemik dengan predominansi keterlibatan
saluran cerna.[6]
Epidemiologi. CD, yang tersebar di seluruh dunia, jauh lebih prevalen di AS, Inggris,
dan Skandinavia daripada di Eropa Tengah dan jarang di Asia dan Afrika. Di Amerika Serikat,
insidensi tahuannya adalah 3 sampai 5 per 100.000 populasi, yang sedikit lebih rendah dari
pada insidensi kolitis ulserativa. Insidensi dan prevalensi CD terus meningkat di Amerika
Serikat dan Eropa Barat. Penyakit ini timbul pada semua usia, dari anak hingga usia lanjut,
tetapi insidensi puncak adalah antara dekade kedua dan ketiga kehidupan, dengan puncak
kecil pada dekade keenam dan ketujuh. Perempuan sedikit lebih sering terkena daripada laki-
laki. Orang berkulit putih tampaknya dua sampai lima kali lebih sering terkena dari pada
orang bukan kulit putih.[6]

6
Gambar 2. Penyakit Crohn.[6]
Morfologi. Pada CD, kelainan nyata yang hanya melibatkan usus halus ditemukan
pada 30% kasus, usus halus dan kolon pada 40% dan hanya kolon pada sekitar 30%. Apabila
telah berkembang sempurna, CD ditandai dengan (1) peradangan usus yang berbatas tegas
dan biasanya transmural dan menyebabkan kerusakan mukosa, (2) adanya granuloma non
perkijuan pada 40% sampai 60% kasus dan (3) fisura disertai pembentukan fistula. Dinding
usus seperti karet dan tebal, akibat edema, peradangan, fibrosis dan hipertrofi muskularis
propria. Akibatnya, lumen hampir selalu menyempit, di susu halus hal ini secara radiografis
muncul sebagai string sign, arus sempit barium yang melewati segmen yang sakit. Striktur
dapat terjadi di kolon tetapi biasanya tidak terlalu parah. Gambaran klasik CD adalah batas
yang tegas antara segmen yang sakit dengan bagian usus yang sehat. Apabila banyak segmen
terkena, usus diantaranya pada dasarnya normal (skip lesions). Penyakit Crohn pada ileum
yang memperlihatkan penyempitan lumen, penebalan dinding usus, perluasan lemak
mesenterium di serosa (creeping fat), dan ulkus linier di permukaan mukosa atau disebut
mata panah.[6] Gambaran klinis. Gambaran CD sangat bervariasi dan sulit diperkirakan.
Manifestasi utama adalah serangan berulang diare, kram abdomen, dan demam yang
berlangsung beberapa hari sampai minggu. Manifestasi ini biasanya muncul secara perlahan,
tetapi pada beberapa kasus, terutama usia muda, onset nyeri sedemikian mendadak sementara
diarenya sedemikian ringan sehingga dilakukan eksplorasi abdomen dengan diagnosis
apendisitis. Melena ditemukan pada sekitar 50% kasus yang melibatkan kolon, melena ini
biasanya ringan tetapi kadang-kadang masif. Pada sebagian besar pasien, setelah suatu
serangan awal, manifestasi mereda sendiri atau setelah pengobatan, tetapi hal ini biasanya
diikuti oleh kekambuhan, dan interval antara serangan berikutnya semakin singkat. Pada 10%
hingga 20% pasien, interval bebas gejala setelah serangan awal dapat berlangsung beberapa
puluh tahun dan untuk sedikit pasien yang beruntung serangan awal ini adalah yang terakhir.
Konsekuensi CD yang berat adalah (1) terbentuknya fistula ke lengkung usus lainnya,
kandung kemih vagina, atau kulit perianus; (2) abses abdomen atau peritonitis; dan (3) striktur
atau obstruksi usus, sehingga harus dilakukan pembedahan. Kejadian yang jarang tetapi
membahayakan adalah perdarahan usus masif, dilatasi toksik kolon, atau karsinomaa kolon
atau usus halus. Walaupun terjadi peningkatan bermakna risiko karsinoma, risiko tersebut
jelas lebih rendah dibandingkan dengan risiko pada kolitis ulserativa.[6]

Kolitis Ulserativa
Kolitis ulserativa (UC) adalah suatu penyakit ulseroinflamatorik yang mengenai
kolon, tetapi terbatas di mukosa dan submukosa, kecuali pada kasus yang sangat parah. UC
7
berawal dii rektum dan meluas perkontinuitatum ke proksimal, kadang-kadang mengenai
seluruh kolon. Seperti CD, UC adalah suatu penyakit sistemik yang pada sebagian pasien
berkaitan dengan poliartritis migratorik, sakroiliitis, ankylosing spondylitis, uveitis, eritema
nodosum, dan kelainan hati (perikolangitis dan kolangitis sklerotikans primer). Terdapat
beberapa perbedaan penting antara UC dan CD:[6]
- Pada UC tidak ditemukan granuloma yang nyata.
- UC tidak memperlihatkan skip lesions (tidak ada mukosa sehat di antara lesi)
- Ulkus mukosa pada UC jarang meluas melewati submukosa, dan hanya ditemukan sedikit
fibrosis.
- Tidak terjadi penebalan mural pada UC, permukaan serosa biasanya normal.
- Pasien dengan UC berisiko lebih besar mengidap karsinoma.
Epidemiologi. Di Amerika Serikat dan negara barat, UC sedikit banyak lebih sering
ditemukan daripada CD, dengan insidensi sekitar 7 per 100.000 populasi. Penyakit ini
ditemukan di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Seperti pada CD, insidensi penyakit ini
meningkat sejak beberapa dekade terakhir. Penyakit ini dapat muncul pada semua usia,
dengan insidensi pucak pada usia antara 20 dan 25 tahun.[6]

Gambar 3. Kolitis ulserative.[6]


Morfologi. Pada saat diagnosis, UC hanya mengenai rektum atau kolon rektosigmoid
pada sekitar 50% kasus, pasien sangat jarang datang pertama kali dengan pankolitis. Kelainan
kolon bersifat kontinu dari kolon distal sehingga tidak ditemukan skip lesions. Penyakit aktif
menandakan destruksi inflamatorik mukosa yang terus berlangsung, dengan gambaran
makroskopik hiperemia, edema dan mukosa granular yang rapuh dan mudah berdarah. Pada
penyakit aktif yang parah, terbentuk ulkus ekstensif berdasar luas di kolon distal atau seluruh
kolon. Terdapat pulau-pulau regenerasi mukosa yang terpisah-pisah dan menyembul ke atas
sehingga membentuk pseudopolip. Gambaran patologik UC adalah peradangan mukosa,
ulserasi, dan kerusakan kronis mukosa. Pada awalnya hampir selalu ditemukan infiltrat

8
peradangan difus, yang terutama terdiri atas sel mononukleus, di lamina propria, bahkan pada
saat gejala klinis pertama kali muncul. Kedua, desktruksi mukosa lebih lanjut menyebabkan
terbentuknya ulkus, yang meluas ke dalam submukosa dan kadang-kadang menyebabkan
muskularis propria terpajan. Ketiga, dengan remisi penyakit aktif, kawah ulkus terisi oleh
jaringan granulasi, diikuti oleh regenarasi epitel mukosa. Fibrosis submukosa serta kacaunya
arsitektur mukosa dan atrofi merupakan gejala sisa pada penyakit yang sudah sembuh. [6]
Gambaran klinis. UC adalah penyakit kronis rekuren yang ditandai dengan serangan diare
mukoid berdarah yang mungkin menetap selama beberapa hari, minggu atau bulan kemudian
mereda, hanya untuk kambuh setelah interval asimptomatik beberapa bulan sampai tahun atau
bahkan beberapa dekade. Onset biasanya perlahan berupa kram perut, tenesmus, dan nyeri
kolik abdomen bawah yang hilang setelah buang air besar. Sebagian pasien mengalami
demam dan penurunan berat badan. Tinja yang berdarah lebih sering terjadi pada UC dari
pada CD dan pengeluaran darahnya mungkin merupakan serangan terakhir pada sekitar 10%
pasien yang beruntung. Di ujung spektrum lainnya, serangan awal bersifat eksplosif dan
menyebabkan perdarhan serius serta gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga
dianggap sebagai kedaruratan medis. Manifestasi ekstraintestinal, terutama poliartritis
migratorik. Komplikasi yang tidak lazim, tetapi mengancam nyawa adalah diare berat dan
gangguan elektrolit, perdarahan masif, dilatasi hebat kolon (megakolon toksik) dengan
kemungkinan ruptur, dan perforasi disertai peritonitis.[6]
Diagnosis biasanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan endoskopi dan biopsi.
Penyebab infeksi spesifik harus disingkirkan. Penyulit jangka panjang UC yang paling
ditakuti adalah kanker. Perubahan sekuensial mukosa dari displasia hingga karsinoma invasif
merupakan dasar bagi program surveilans berupa kolonoskopi dan biopsi multipel berulang
yang ditunjukkan untuk mendeteksi displasia sehingga dapat dilakukan kolektomi
profiloaktik.[6]

2.3.3 Hemoroid
Definisi. Hemoroid merupakan pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di
daerah anus yang berasal dari plexus hemorrhoidalis. Di bawah atau di luar linea dentate
pelebaran vena yang berada di bawah kulit (subkutan) di sebut hemoroid eksterna. Sedangkan
di atas atau di dalam linea dentate, pelebaran vena yang berada di bawah mukosa
(submukosa) disebut hemoroid interna. Biasanya struktur anatomis anal canal masih normal.[8]
Klasifikasi dan derajat. Hemoroid dapat diklasifikasikan atas hemoroid eksterna dan
interna. Hemoroid interna dibagi berdasarkan gambaran klinis atas:[8]

9
1. Derajat 1: bila terjadi pembesaran hemoroid yang tidak prolaps ke luar kanal anus. Hanya
dapat dilihat dengan anorektoskop.
2. Derajat 2 : pembesaran hemoroid yang prolaps dan menghilang atau masuk sendiri ke
dalam anus secara spontan.
3. Derajat 3 : pembesaran hemoroid yang prolaps dapat masuk lagi ke dalam anus dengan
bantuan dorongan jari.
4. Derajat 4 : Prolaps hemoroid yang permanen. Rentan dan cenderung untuk mengalami
trombosis dan infark.
Patogenesis. Hemoroid timbul karena dilatasi, pembengkakan atau inflamasi vena
hemoroidalis yang disebabkan oleh faktor-faktor risiko/pencetus. Faktor risiko hemoroid
antara lain faktor mengedan pada buang air besar yang sulit, pola buang air besar yang salah
(lebih banyak memakai jamban duduk, terlalu lama duduk di jamban sambil membaca,
merokok). Peningkatan tekanan intra abdomen karena tumor (tumor usus, tumor abdomen),
kehamilan (disebabkan tekanan janin pada abdomen dan perubahan hormonal), usia tua,
konstipasi kronik, diare kronik atau diare akut yang berlebihan, hubungan seks peranal,
kurang minum air, kurang makan makanan berserat (sayur dan buah), kurang
olahraga/imobilisasi.[8]
Gambaran klinis. Hemoroid memiliki sinonim piles, ambeien, wasir atau southern
pole disease dalam istilah di masyarakat umum. Keluhan penyakit ini antara lain buang air
besar sakit dan sulit, dubur terasa panas, serta adanya benjolan di dubur, perdarahan melalui
dubur dan lain-lain.[8]

2.3.4 Neoplasma
Tumor epitel usus merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh
dunia. Kolon, termasuk rektum, merupakan tempat tersering timbulnya neoplasma primer
dibandingkan dengan organ lain dalam tubuh. Kanker kolorektum hanya berada di urutan
kedua setelah karsinoma bronkogenik sebagai kanker pembuluh. Sekitar 5% orang Amerika
akan mengalami kanker kolorektum dan 40% dari jumlah ini akan meninggal akibat hal
tersebut. Adenokarsinoma membentuk sebagian besar kanker kolorektum dan mencerminkan
70% dari semua keganasan yang timbul dalam saluran cerna.[6]

Polip Kolon
Istilah polip kolon dalam klinik dipakai untuk menggambarkan tiap kelainan yang
jelas (any circumscribed lession), yang menonjol di atas permukaan mukosa yang
mengelilinginya. Bentuk, besar dan permukaan polip dapat berbeda-beda.[9]
10
Bentuk, besar dan permukaan polip dapat berbeda-beda. Ada yang bertangkai, disebut
pedunculated polyp dan ada yang tidak bertangkai dan mempunyai dasar yang lebar, disebut
sessile polyp. Walaupun secara makroskopis beberapa jenis polip dapat diketahui akan tetapi
untuk mengetahui secara pasti jenis polip, diperlukan pemeriksaan histologis ini penting
sekali karena jenis-jenis polip berbeda secara klinis terutama dalam hal potensi untuk menjadi
ganas. Polip kolon-rektum lebih sering ditemukan dari pada polip lambung-duodenum. Polip
pada usus besar dibagi atas [9]
1. Polip non-epielial
Berasal dari jaringan limfoid, otot halus, lemak dan saraf. Misalnya polip limfoid, yang
sessile dan submukosa, terdapat pada bagian distal rektum dan tidak ganas. Polip limfoid
in terjadi karena peradangan lokal.
2. Polip epitelial
Dapat dibagi atas 4 golongan: 1) adenoma atau golongan neoplastik. Jenis ini sangat
penting karena potensinya untuk menjadi ganas. 2) hamartoma, 3) polip karena
peradangan (inflammatory polyps), 4) polip heperplastik (hyperplastic polyp).

Adenoma adalah polip neopastik yang berkisar dari tumor kecil yang sering bertangkai
hingga lesi besar yang biasanya sessile. Prevalensi adenoma kolon adalah 20% hingga 30%
sebelum usia 40 tahun, meningkat menjadi 40% hingga 50% setelah usia 60 tahun. Laki-laki
dan perempuan terkena sama seringnya. Adenoma kecil biasanya asimptomatik, sampai suatu
saat terjadi perdarahan samar yang menyebabkan anemia signifikan. Adenoma vilosa jauh
lebih sering menimbulkan gejala karena perdarahan rektum, baik yang samar maupun nyata.
Adenoma vilosa yang terletak paling distal mungkin mengeluarkan bahan mukoid yang kaya
protein dan kalium sehingga terjadi hipoproteinemia dan hipokalemia. Adenoma usus halus
dapat bermanifestasi sebagai anemia atau intususepsi atau obstruksi. Adenoma di dekat
ampula vateri dapat menyebabkan obstruksi empedu. Pada penemuan, semua adenoma, tanpa
memandang lokasi di saluran cerna, perlu dianggap berpotensi ganas, oleh karena itu,
diindikasikan eksisi yang segera dan adekuat.[6]

Karsinoma Kolorektum
Epidemiologi. Insidensi puncak untuk kanker kolorektum adalah usia 60 hingga 70
tahun, kurang dari 20% kasus terjadi pada usia kurang dari 50 tahun. Bila kenker kolorectum
ditemukan pada pasien berusia muda, perlu dicurigai adanya kolitis ulserativa atau salah satu
dari sindrom poliposis. Lesi prekursornya diperkirakan adalah adenoma, frekuensi munculnya
kanker kolorektum dari mukosa kolon yang datar belum diketahui, tetapi tampaknya rendah.
11
Laki-laki terkena sekitar 20% lebih sering dari pada perempuan. Karsinoma kolorektum
tersebar di seluruh dunia, dengan angka insidensi tertinggi di Amerika Serikat, Kanada,
Australia, Swedia dan negara maju lainnya. Insidensi di Jepang, yang dahulu rendah, sekarang
meningkat hingga level pertengahan seperti di Inggris.[6]
Etiopatogenesis. Faktor lingkungan, terutama kebiasaan makan, diperkirakan menjadi
penyebab perbedaan geografik yang mencolok ini. Faktor makanan yang paling banyak
mendapat perhatian adalah (1) rendahnya kandungan serat sayuran yang tidak dapat diserap,
(2) tingginya kandungan karbohidrat yang telah dimurnikan, (3) tingginya kandungan lemak
(dari daging) dan (4) berkurangnya asupan mikronutrien protektif, seperti vitamin A, C dan E.
Diperkirakan penurunan kandungan serat menyebabkan berkurangnya massa tinja,
peningkatan retensi tinja dalam usus, dan perubahan flora bakteri di usus. Oleh karena itu,
konsentrasi produk sampingan oksidatif penguraian karbohidrat oleh bakteri yang berpotensi
toksik lebih tinggi dalam tinja (yang jumlahnya sedikit) dan tertahan berkontak lebih lama di
mukosa kolon. Selain itu, asupan lemak yang tinggi meningkatkan sintesis kolesterol dan
asam empedu oleh hati, yang pada akhirnya diubat menjadi karsinogen potensial oleh bakteri
usus. Makanan yang dimurnikan juga kurang mengandung vitamin A, C dan E, yang dapat
berfungsi sebagai penyapu radikal oksigen.[6]
Karsinogenesis kolorektum. Penelitian mengenai karsinogenesis kolorektum
memberikan pemahaman mendasar mengenai mekanisme umum evolusi kanker. Sekarang
dipercayai bahwa terdapat dua jalur pembentukan kanker kolon yang secara patogenetis
berbeda, kedua melibatkan akumulasi bertahap mutasi. Namun, gen yang terlibat dan
mekanisme timbulnya mutasi berbeda.[6]
Jalur pertama, kadang-kadang disebut jalur APC/-katenin, ditandai dengan
instabilitas kromosom yang menyebabkan akumulasi bertahap mutasi di serangkaian onkogen
dan gen penekan tumor. Jalur kedua ditandai dengan lesi genetik di DNA mismatch repair
genes (gen untuk memperbaiki ketidak cocokan DNA).[6]

12
Gambar 4. Skema perubahan morfologik dan molekular pada sekuensi adenoma-karsinoma.[6]
Gambaran klinis. Kanker kolorektum tidak menimbulkan gejala selama bertahun-
tahun, gejala timbul perlahan dan sering telah ada sejak berbulan-bulan, kadang-kadang
bertahun-tahun, sebelum terdiagnosis. Kanker kolon kanan dan sekum sering menyebabkan
rasa lelah, lesu dan anemia defisiensi zat besi yang menyebabkan pasien berobat. Kanker
disisi kanan mungkin menyebabkan perdarahan tersamar, perubahan kebiasaan buang air
besar, atau rasa kram di kuadran kiri bawah. Walaupun pada perempuan anemia dapat timbul
akibat kelainan ginekologik, pepatah klinis mengatakan bahwa anemia defisiensi zat besi pada
laki-laki berusia lanjut berarti kanker saluran cerna, kecuali dibuktikan lain.[6]

2.3.5 Arteriovenous Malformation (Angiodysplasia)


Pelebaran pembuluh darah mukosa dan submukosa yang berkelok-kelok paling sering
ditemukan di sekum atau kolon kanan, biasanya setelah usia 60-an. Pembuluh darah ini
mudah ruptur dan mengeluarkan darah ke lumen. Kelainan ini merupakan penyebab pada
20% perdarahan signifikan saluran cerna bawah. Perdarahannya mungkin kronis dan
intermiten dan hanya menyebabkan anemia berat, tetapi dapat juga bersifat akut dan masif
walaupun jarang. Kelainan ini kadang-kadang merupakan bagian dari suatu penyakit sistemik,
seperti talangiektasia hemoragik herediter (sindrom Osler-Weber-Rendu) atau skleroderma
terbatas, yang kadang-kadang disebut sindrom CREST. Umumnya angiodisplasia adalah
kelainan tersendiri yang diperkirakan terbentuk selama berpuluh tahun akibat faktor mekanis
yang bekerja di dinding kolon. Karena melalui lapisan otot, vena penetrans mengalami okluisi
intermiten saat kontraksi peristaltik, tetapi arteri yang berdinding tebal tetap paten sehingga
terjadi distensi dan ektasia vena. Lesi ini terdiri dari kelompok-kelompok pembuluh darah
yang berdilatasi, terutama pembuluh darah vena, pada mukosa dan submukosa kolon.
Angiodisplasia kolon yang diduga terjadi sebagai akibat dari proses kronik, intermitan,
obstruksi bagian rendah dari submukosa vena sambil menembus lapisan otot dari kolon.
Temuan karakteristik angiografik meliputi adanya kelompok-kelompok kecil arteri-arteri,
akumulasi media kontras dalam lempeng vaskular, opacification awal dan opacification
persisten karena keterlambatan pengosongan vena. Jika angiografi mesenterika dilakukan
pada saat pendarahan aktif, ekstravasasi media kontral dapat dilihat [6]

13
Gambar 5. Angiodisplasia di kolon asenden.[6]

2.4 Pendekatan Diagnosis LGIB

2.4.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Hematokezia biasanya merupakan manifestasi perdarahan saluran cerna bagian bawah
walaupun sumber perdarahan juga dapat berasal dari atas ligamentum Treitz bila terjadi
perdarahan masif. Hal ini ditandai dengan instabilitas hemodinamik dan penurunan kadar
hemoglobin.[10]
Riwayat penyakit dahulu dan obat-obatan yang dikonsumsi perlu ditelusuri dengan
baik, misalnya riwayat hemoroid, inflamatory bowel disease, penyakit hati, koagulopati dan
penggunaan NSAID atau warfarin. Gejala-gejala lain yang menyertai perdarahan juga perlu
ditanyakan. Riwayat anoreksia atau berat badan yang menurun dapat berhubungan dengan
keganasan. Nyeri perut, diare dan feses yang disertai mukus dapat berhubungan dengan
inflamatory bowel disease atau proses spesifik. Feses yang disertai blood streak dan nyeri
perianal dapat berhubungan dengan hemoroid atau fisura ani. Feses yang disertai dengan
blood streak, darah yang bercampur mukus, diare, tenemus, atau urgency biasanya
menunjukkan kelainan pada sigmoid atau rektum.[10]
Pemeriksaan fisik yang lengkap diperlukan untuk menilai derajat perdarahan atau
status hemodinamik, mencari sumber perdarahan, dan kemungkinan etiologi. Tekanan darah,
denyut nadi dan warna kulit dapat membantu menentukan tingkat kehilangan darah. Tanda-
tanda klinis lain yang dapat dicari adalah stigmata sirosis hepatik dan pembesaran limfa untuk
menentukan adanya hipertensi portal. Terabanya massa di abdomen mendukung adanya
keganasan. Inspeksi juga dapat dilakukan untuk melihat adanya fisura ani atau hemoroid.
Perdarahan gastrointestinal samar dapat diidentifikasi berdasarkan gejala klinis, temuan
pemeriksaan fisik, dan terutama pemeriksaan fecal occult blood. Namun, sebagian besar kasus
perdarahan gastrointestinal samar tidak menunjukkan gejala klinis. Gejala klinis biasanya
14
timbul sekunder akibat anemia defisiensi besi, misalnya rasa lelah, palpitasi, exertional
dyspnea, pika atau restless leg syndrome. Temuan pemeriksaan fisik yang mungkin di
dapatkan adalah koilonikia, glosistis, atrofi papila lidah, papiledema, paresis nervus kranial,
dan perdarahan retina. Pemeriksaan laboratorium sederhana yang dapat dilakukan untuk
mendeteksi perdarahan gastrointestinal samar adalah guaiac test.[10]

2.4.2 Pendekatan klinis dan pemeriksaan laboratorium


Anamnesis dan pemeriksaan fisik bermanfaat untuk membantu mengetahui lokasi,
derajat dan lama perdarahan, serta menilai prognosis dan risiko perdarahan ulang.
Pemeriksaan pertama yang harus dilakukan adalah penentuan status hemodinamik dan derajat
perdarahan dengan pengukuran tekanan darah dan denyut jantung. Perdarahan yang nyata
secara klinis dapat mengakibatkan perubahan tekanan darah dan laju denyut jantung dengan
perubahan posisi, takikardi, dan hipotensi. Tekanan darah sistolik lebih rendah dari 100
mmHg pada pasien yang sebelumnya normotensif dengan denyut nadi lebih dari seratus kali
per menit menunjukkan volume darah yang berkurang 20%. Tekanan darah yang berkurang
lebih dari 10 mmHg dan denyut nadi yang meningkat dua puluh kali per menit pada
perubahan posisi terlentang menjadi duduk menunjukkan kehilangan darah setidaknya 1000
ml. Walaupun demikian, pasien berusia muda dapat kehilangan darah yang cukup banyak
tenpa gangguan hemodinamik karena adanya mekanisme kompensasi.[10]
Walaupun demikian, kadar hemoglobin tidak langsung turun pada perdarahan yang
akut karena proporsi volume plasma dan sel darah merah yang hilang setara. Kadar
hemoglobin dapat normal atau sedikit berkurang pada fase awal perdarahan. Kadar
hemoglobin baru akan menurun saat cairan ekstravaskular masuk ke dalam pembuluh darah
untuk menganti volume yang hilang. Proses ini baru terjadi hingga 72 jam setelah perdarahan.
Pada perdarahan gastrointestinal kronik, kadar hemoglobin dapat sangat rendah walaupun
tekanan darah dan denyut nadi normal. Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat dilakukan
adalah hematokrit, hitung leukosit, hitung trombosit, waktu perdarahan, prothrombin time,
partial thromboplastin time, kadar elektrolit serum, tes fungsi hati dan tes fungsi ginjal.[10]

2.4.3 Pemeriksaan Penunjang


Endoskopi
Bilamana perdarahan saluran cerna berlangsung perlahan atau sudah berhenti maka
pemeriksaan kolonoskopi merupakan prosedur diagnostik yang terpilih sebab akurasinya
tinggi dalam menentukan sumber perdarahan sekaligus dapat menghentikan tindakan
terapeutik. Kolonoskopi dapat menunjukkan adanya divertikel namun demikian sering tidak
15
dapat mengidentifikasi sumber perdarahan yang sebenarnya. Pada perdarahan yang hebat
pemeriksaan kolonoskopi yang dilaksanakan setelah pembersihan kolon singkat merupakan
alat diagnostik yang baik dengan akurasi yang menyamai bahkan melebihi angiograpi.
Sebaliknya enema barium tidak mampu mendeteksi sampai 20% lesi yang ditemukan secara
endoskopi khususnya jejas angioplasia.[3]
Pada perdarahan saluran cerna yang diduga berasal dari distal ligamentum Treitz dan
dengan pemeriksaan kolonoskopi memberikan hasil yang negatif maka dapat dilakukan
pemeriksan enterokopi atau endoskopi kapsul yang dapat mendeteksi jejas angiodisplasia di
usus halus.[3]
Scintigraphy dan angiografi
Kasus dengan perdarahan yang berat tidak memungkinkan pemeriksaan dengan
kolonoskopi maka dapat dilakukan pemeriksaan angiografi dengan perdarahan lebih dari 0,5
ml per menit. Sebelum pemeriksaan angiografi dilakukan sebaiknya periksa terlebih dahulu
dengan scintigraphy bilamana lokasi perdarahan tidak dapat ditemukan. Sebagian ahli
menganjurkan pendekatan angiografi dengan pemberian heparin atau streptokinase untuk
merangsang perdarahan sehingga mempermudah deteksi lokasi perdarahan. Helical CT-
angiography juga dapat mendeteksi angiodisplasia. Divertikulum Meckel dapat didiagnosis
dengan scanning Meckel menggunakan radio label technetium yang akan berakumulasi pada
mukosa yang memproduksi asam di dalam divertikulum.[3]
Pemeriksaan radiografi lainnya. Enema barium dapat bermanfaat untuk mendiagnosis
sekaligus mengobati intususepsi. Pemeriksaan usus halus dengan barium yang teliti juga dapat
menunjukkan divertikulum Meckel. Deteksi sumber perdarahan yang tidak lazim di usus
halus membutuhkan enteroclysis yaitu pemeriksaan usus halus dengan barium yang
melibatkan difusi barium, air, metil selulosa melalui tabung fluroskopi yang melewati
ligamentum Treitz untuk menciptakan gambaran kontras ganda. Bila enteroskopi,
kolonoskopi, radio barium tidak dapat mengidentifikasi sumber perdarahan dan suplementasi
besi dapat mengatasi dampak kehilangan darah, maka pemeriksaan lebih lanjut tidak dapat
dilanjutkan.[3]

16
Acute LGIB

No hemodynamic instability Hemodynamic instability

Age <40 years Age >40 years Upper endocopy

Colonoscopy Colonoscopy
e sigmoidoscopy
scopy if familial colon cancer, iron deficiency anemia, or coplus bleeding)

Bleeding staps Bleeding staps


Mild to moderate bleeding epersists

Angiography (Tc-RBC scan may be done first)


enteroscopy

Consider enteroscopy, video capsule, enteroclysis, angiography if mayor blood loss


Tc-RBC scan and/or angiography Enteroscopy

Video capsule
Intraoperative endoscopy

Consider intraoperative endocopy

Algoritma diagnosis perdarahan akut gastrointestinal bagian bawa. [Dikutip dari (10)]

17
2.5 Penatalaksanaan LGIB

Tanda-Tanda vital
Anamnesis dan pemeriksaan fisik Resusitasi
Tes darah
Golongan darah dan cross match
Pasang 2 buah jalur iV
Nasograstric Tube (NGT)

Kehilangan cairan Tanda


kehilangan cairan
atau hemodinamik berkurang,
perdarahan
tidak stabil aktif berkurang
Infus NaCl
Packed red blood cells
And factors as needed
Perdarahan aktif berkurang
Endoskopi elektif

Kemungkinan
perdarahan di SCBA
Edoskopi
Perdarahan aktif
SCBA segera
Presumed
Kolonoskopi segera atau lower source
scintigrafy eritrosit plus lokasi perdarahan
angiografi Tak teridentifikasi
Endoskopi SCBA
Normal OMD follow through
Enteroskopi
Capsule endoskopi
Kauterisasi elektrik
Injeksi zat skleratik Lokasi perdarahan ditemukan
Hemoclips
Angiografi embolisasi
Perdarahan berulang
Kehilangan cairan Perdarahan
Suplemen zat besi cukup banyak
Tak berhasil atau perlu
transfusi Pertimbangkan :
Lokasi perdarahan darah
Angiografi
Tak terlihat Enteroskopi operasi
Bedah Terapi hormonal empiris
Kolektomi parsial

Algoritma penatalaksanaan LGIB. [Dikutip dari (3)]

Prinsip-prinsip Penatalaksanaan

Resusitasi. Resusitasi pada perdarahan saluran cerna bagian bawah yang akut mengikuti
protokol yang sudah dianjurkan pada perdarahan saluran cerna bagian atas. Dengan langkah
awal menstabilkan hemodinamik.[3]
Oleh karena perdarahan saluran cerna bagain atas yang hebat juga menimbulkan darah
segar di anus maka pemasangan NGT (nasogastric tube) dilakukan pada kasus-kasus yang
perdarahannya kemungkinan dari saluran cerna bagian atas. Pemeriksaan laboratorium
memberikan informasi serupa dengan perdarahan saluran cerna bagian atas meskipun

18
azotemia jarang ditemukan pada perdarahan saluran cerna bagian atas. Pemeriksaan segera
diperlukan pada kasus-kasus yang membutuhkan transfusi lebih 3 unit pack red cell.[3]
Medikamentosa. Beberapa perdarahan saluran cerna bagian bawah dapat diobati secara
medikamentosa. Hemoroid fisura ani dan ulkus rektum soliter dapat diobati dengan bulk-
forming anget, sitz baths, dan menghindari mengedan. Terapi hormonal angiodisplasia
menggunakan estrogen dan progestagen dilaporkan belum berhasil, tetapi somatostatin dan
analognya, octreotide, telah dilaporkan dapat menurunkan kehilangan darah dari saluran
pencernaan pada angiodisplasia. Octreotide telah dilaporkkan berhasil pada pasien dengan
perdarahan dari portal colopathy. Pada angiodisplasia, antagonis vascular endotelial growth
factor, diantaranya thalidomide, menunjukkan efikasi yang rasional. Salah satu studi
menunjukkan bahwa thalidomide mencegah perdarahan yang berulang pada pasien
angiodysplasia dan pada pasien dengan perdarhan hebat yang berhubungan dengan Crohns
disease.[1]
IBD biasanya memberi respons terhadap obat-obatan antiinflamasi. Pemberian
formalin intrarektal dapat memperbaiki perdarahan yang timbul pada proktitis radiasi. Respon
serupa juga terjadi pada pemberian oksigen hiperbarik.[3]
Terapi Endoskopi. Colonoscopic bipolar cautery, monopolar cautery, heater probe
application, argon plasma coagulation, and Nd:YAG laser bermanfaat untuk mengobati
angiodisplasia dan perubahan vaskular pada kolitis radiasi. Kolonoskopi juga dapat digunakan
untuk melakukan ablasi dan reseksi polip yang berdarah atau mengendalikan perdarahan yang
timbul pada kanker kolon. Sigmoidoskopi dapat mengatasi perdarahan hemoroid interna
dengan ligasi maupun teknik termal.[3]

Modalitas terapi endoskopi untuk LGIB yaitu injection, contact and non contact
thermal coagulation serta alat-alat seperti metallic clips dan ligation band.[1]
Thermal coagulation. Adalah salah satu dari beberapa teknik hemostatik. Pada bipolar dan
monopolar elektrokoagulasi, dimana probe heaternya secara langsung menghantarkan panas
yang dapat menginduksi koagulasi pada jaringan yang terbuka.[1]
Argon plasma coagulation (APC) mentransmisikan energi ke jaringan tanpa kontak langsung
dengan menggunakan ionisasi gas argon. Kedalaman penetrasi ionisasi gas argon ini dibatasi
oleh perluasan dari jaringan yang akan di ionisasi, tergantung dari pengaturan kekuatan
ionisasi, durasi dan jarak dari probe ke target jaringan. Risiko perforasi pada kolon dengan
APC hampor tidak ada.[1]

19
Injection therapy. Epinephrine (at a 1:10.000 pengenceran) yang biasanya digunakan, dapat
menyebabkan vasokonstriksi dan kompresi pada pembuluh darah. Penambahan injeksi
sklerosant (seperti ethanolamin) pada perdarahan varises rektal dapat menyembuhkan lesi.[1]
Metallic clips. Dapat digunakan secara pasti dan aman pada lesi perdarahan tertutup. Ligasi
dengan rubber band digunakan untuk perdarahan hemoroid dan perdarahan varises rectal.[1]
Angiografi terapeutik. Bilamana kolonoskopi gagal atau tidak dapat dikerjakan maka
angiografi dapat digunakan untuk melakukan tindakan teraupeutik. Embolisasi arteri secara
selektif dengan polyvinyl alcohol atau mikrokoil telah menggantikan vasopressin intraartery
untuk mengatasi perdarahan saluran cerna bagian bawah. Embolisasi angiografi merupakan
pilihan terakhir karena dapat menimbulkan infark kolon sebesar 13-18%.[3]
Terapi bedah. Banyak pasien dengan LGIB tidak membutuhkan terapi bedah. Terapi bedah
biasanya merupakan pilihan pasien dengan LGIB yang berkaitan dengan neoplasma. Pada
beberapa diagnostik (seperti divertikel Meckel atau keganasan) bedah merupakan pendekatan
utama setelah keadaan pasien stabil. Bedah emergensi menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi dan dapat memperburuk keadaan klinis. Pada kasus-kasus dengan
perdarahan berulang tanpa diketahui sumber perdarahannya maka hemikolektomi kanan atau
hemikolektomi subtotal dapat dipertimbangkan dan memberikan hasil yang baik.[3]

2.6 Komplikasi LGIB

Pasien dengan kronik LGIB menunjukkan defisiensi anemia kronik.[1] Perdarahan


saluran cerna bagian bawah yang masif dapat menimbulkan sequele yang nyata. Perdarahan
saluran cerna bagian bawah yang berulang atau kronik berhubungan dengan morbiditas dan
dapat menyebabkan kebutuhan transfusi yang lebih sering dan juga dapat menguras sumber
pembiyaan kesehatan. perdarahan yang persisten biasanya berasal dari usus halus dan tidak
dapat dijangkau dengan tindakan terapi endoskopi, hanya dapat dilakukan diagnosis saja.[3]

20
BAB III

KESIMPULAN

Perdarahan saluran cerna bagian bawah masih menjadi masalah kesehatan, karena
20% penyebab LGIB masih belum diketahui, komplikasi yang terjadi dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas pasien sehingga LGIB memerlukan pendekatan diagnosis yang
baik serta perawatan yang intensif di rumah sakit.

Penyebab yang paling sering pada orang dewasa adalah penyakit divertikular,
inflamatory bowel disease, benign anorectal disease, neoplasia, koagulopati dan atriovenous
malformation yang semua penyebab ini dapat menyebabkan perubahan-perubahan
hemodinamik dalam tubuh manusia sehingga dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pasien LGIB.

Langkah awal dalam penatalaksanaan LGIB adalah menstabilkan hemodinamik


sehingga dapat meningkatkan kesembuhan pasien. Kemudian dapat dilakukan tindakan-
tindakan terapi farmakologi dan terapi non farmakologi. Terapi farmakologis dapat digunakan
obat-obatan antifribrinolotik, vasopresin, somatostatin dan octreotide yang bermanfaat
menurunkan aliran darah splanknik. Pada terapi non farmakologi dapat dilakukan bulk-
forming agent dan siz baths pada pasien hemoroid, intervensi angiografi, terapi endoskopi dan
terapi pembedahan.

21

Anda mungkin juga menyukai