Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Pendahuluan

Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi kronis yang

disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit kusta awalnya menyerang

saraf perifer, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas

bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis, kecuali

susunan saraf pusat.1

Kusta termasuk dalam salah satu penyakit menular yang angka

kejadiannya masih tinggi, misalnya di India, Brazil, danIndonesia. Pada tahun

2004-2014 Indonesia menempati peringkat ketiga dalam jumlah kasus kusta

di dunia setelah India dan Brazil. Penyakit kusta merupakan masalah nasional

kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia, prevalens rate-

nya masih tinggi. Data dari Pusat Data dan Informasi mengenai Profil

Kesehatan Indonesia menunjukkan prevalensi penyakit kusta berkisar antara

0,79 hingga 0,96 per 10.000 penduduk.1

Meskipun 25 tahun terakhir banyak yang telah dikembangkan

mengenai kusta, pengetahuan mengenai patogenesis, penyebab, pengobatan,

dan pencegahan lepra masih terus diteliti.2

1.2. Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan

oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer

sebagai afinitas pertama, namun dapat juga terjadi pada kulit dan mukosa

traktus respiratorius bagian atas, dan organ-organ lain kecuali susunan saraf

pusat.1
1.3. Sinonim

Sinonim Kusta adalah morbus hansen, lepra.3

1.4. Etiologi

Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat

obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil

Gram positif dengan ukuran 3 8 m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan

alkohol2. Kuman ini memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann,

replikasi yang lambat di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune

response, yang menyebabkan reaksi inflamasi kronik, sehingga terjadi

pembengkakkan di perineurium, dapat ditemukan iskemia, fibrosis, dan

kematian akson.2

Mycobacterium leprae dapat bereproduksi maksimal pada suhu 27C

30C, tidak dapat dikultur secara in vitro, menginfeksi kulit dan sistem

saraf kutan. Tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit,

sistem saraf perifer, hidung, cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran

napas atas, kaki, dan testis), dan tidak mengenai area yang hangat (aksila,

inguinal, kepala, garis tengah punggung4

1.5. Epidemiologi

Menurut laporan yg di terima WHO dari 138 negara anggota WHO,

prevalensi kusta di akhir tahun 2015 sebanyak 176.176 kasus (0,2 kasus per

10.000 penduduk). Kasus baru di tahun 2015 mencapai 211.973 (2,9 kasus

per 100.000 penduduk).5


India merupakan negara endemik kusta. 60% penyakit kusta berasal

dari india. 86% penyakit kusta berasal dari enam negara (India, Brazil,

Indonesia, Myanmar, Madagascar and Nepal).6

Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan

perbandingan 2:1, dengan insidensi usia puncak 10-20 tahun dan 30-50

tahun, jarang terjadi pada bayi. Faktor predisposisinya adalah penduduk pada

area yang endemik, memiliki kerentanan lepra dalam darah, dan kemiskinan

(malnutrisi).4

1.6. Patogenesis

Patogenesis yang menyebabkan kerusakan jaringan disebabkan oleh

empat prinsip yang menyebabkan kerusakan jaringan.

1. Derajat ekspresi CMI (cell mediated immunity) Lepromatous leprosi

terjadi karena kegagalan CMI spesifik melawan M. leprae yang

mengakibatkan multifikasi bakteri, penyebaran dan akumulasi bakteri dari

antigen serta menyerang jaringan lunak. Ketidakaktifan dari lymphocite

dan macrofage menandakan bahwa kerusakan jaringan saraf perifer lambat

dan memiliki onset yang gradual. Sedangkan pada tuberkuloid leprosy,

CMI berekspresi dengan kuat, sehingga infeksi terbatas pada sebagian

bagian kulit dan persarafan perifer. Infiltrasi limfosit yang cepat

menyebabkan kerusakan saraf. Antara kedua bentuk tipe terletak bentuk

batas penyakit, yang mencerminkan keseimbangan antara CMI dan

bakteri.
2 Tingkat luasnya infeksi dan multifikasi bakteri. Pada lepromatous leprosi,

penyebaran secara hematogen telah terjadi. Basil menyebar mulai dari lokasi
superfisial, termasuk mata, mukosa saluran pernafasan bagian atas, testis,

otot- otot halus, tulang pada tangan, kaki dan wajah, dan juga persarafan

perifer dan kulit. Pada tuberkuloid leprosy, multifikasi basil terbatas

penyebarannya pada wilayah yang tidak luas dan basil tidak dapat dengan

mudah ditemukan.
3 Kerusakan jaringan yang diakibatkan proses imunologis : reaksi kusta Pada

pasien dengan tipe borderline (BT,BB,BL) imunologis pasien tidak stabil

dan beresiko terjadinya respon reaksi imunomediasi. Pada reaksi type 1

terjadi penundaan reaksi hipersensitifitas yang disebabkan oleh

meningkatnya paparan dari antigen M. leprae pada kulit dan jaringan

persarafan. Pada reaksi type 2, erithema nodusum leprosum tejadi karena

adanya imun komplek deposisi dan sering terjadi pada pasien type BL dan

LL yang memproduksi antibodi dan memiliki antigen yang kuat.


4 Kerusakan persarafan dan komplikasinya. Kerusakan persarafan terjadi pada

lesi kulit, serabut saraf sensorik dan otonom yang mensuplai dermal serta

subkutan mengalami kerusakan. Kerusakan pada persarafan ini akan

mengakibatkan kehilangan sensasi sensorik dan hilangnya ekskresi keringat

pada area lesi. Ujung saraf perifer rentan karena letak mereka di superfisial

ataupun pada fibro-osseus tunnel. Karena hal ini, peningkatan diameter dari

persarafan akan mengakibatkan peningkatan tekanan intra neural.

Akibatnya akan terjadi kompresi neural yang mengakibatkan iskemik.

Kerusakan pada persarafan perifer akan memberikan tanda-tanda hilangnya

rasa sensoris berdasarkan dermatom dan hilangnya fungsi motorik yang

dipersarafi oleh persarafan yang rusak tersebut. Bukti fisiologis keterlibatan

saraf otonom pusat dan perifer juga telah dilaporkan.


Kerusakan persarafan menyebabkan timbulnya anastesia, kelemahan otot

dan kontraktur serta disfungsi autonomik. Hal ini akan memudahkan terjadinya

trauma, terbentur, luka, terbakar, terpotong, yang akhirnya akan menjadi

nekrosis jaringan karena trauma yang terjadi terus-menerus yang akan menjadi

ulserasi, secondary selulitis, dan osteomielitis serta hilangnya jaringan lunak

pada akhirnya akan berakhir pada kecacatan.6

1.7. Gejala Klinis

Temuan klinis yang dapat dicurigai kusta ditegakkan dari

anamnesis pemeriksaan fisik,bakterioskopis, histopatologis dan

serologi . Pada pemeriksaan fisik dapat digali informasi yang menetukan

apakah pasien memang benar meiliki factor resiko terkena kusta atau

tidak. Faktor resiko diantaranya adalah tinggal dan lahir di daerah

endemic kusta, memiliki hubungan darah dengan pasien kusta dan

memungkinkan untuk kontak lama dengan pasien kusta.8

Pada anamnesis dan pemreriksaan fisik yang perlu ditanyakan

antara lain adanya keluhan rasa tebal pada titi-titik saraf tertentu, hidung

tersumbat, gejala pada mata, dan hilangnya dorongan seksual pada pria

dewasa muda.8
1.7.1.
Lesi Kulit

Lesi awal yang paling umum adalah daerah mati

rasa pada kulit atau pada lesi kulit yang terlihat. Terutama

ditemukan pada permukaan wajah, ekstensor tungkai,


bokong atau badan. Kulit kepala, ketiak, lipat paha dan

punggung cenderung jarang dijumpai. Lesi terdiri dari satu

atau lebih dengan macula hipopigmentasi atau eritematosa,

dengan ukuran beberapa sentimeterdan tepi yang tidak rata.

Fungsi pertumbuhan rambut dan saraf. Dalam pemeriksaan

Biopsi mungkin menunjukkan infiltrate

perineurovascular7,8.

Spektrum Granulomatosa.
Ridley dan Jopling mendeskripsikan spektrum

granulomatosa kusta dengan mengintegrasikan perubahan

klinis dan histologis. Ridley dan Jopling memperkenalkan

islital spectrum determinate pada penyakit kusta yang

terdiri atas enam leprosy.


Indeterminate tipe atauFace
bentuk, yaitu7,8child
of a Nepali : showing
1.vague
TT popigmented
(Tuberkuloidpatch
Polar),
with some central healing. Note
2. BT (Borderline
the mark Tuberkuloid),
of a recent slit-skin smear.
3. BB (Mid Borderline),
4. BL (Borderline Lepromatous),
5. LLS (subpolar lepromatosa), Q
6. LLP (lepromatous polar)

Tipe LL adalah tibe yang stabil sehingga tidak

mungkin untuk berubah tipe, begitu juga dengan tipe LL

adalah tipe Lepromatosa yang berarti 100% tipe

lepromatosa yang tidak dapat berubah lagi seperti yang

terlihat pada tanda panah diatas. BB adalah tipe campuran

yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT


lebih banyak tuberkuloidnya dan BL lebih bnyak

lepromatosany, kedua tipe ini adalah tipe yang labil berarti

dapat beralih tipe baik menjadi kea rah TT maupun ke arah

LP.2,7,8

Characteristics of lesions of polar leprosy.

Tuberkuloid Leprosy

Gambaran klinis hanya berupa gangguan saraf tepi

pada lesi kulit. Lesi pada kusta tuberkuloid biasanya

bergerombol atau bisa juga bentuk tunggal. Gangguan saraf

tepi yang terjadi berupa rasa tebal pada lesi, hal ini

mungkin terjadi akibat dari pembengkakan saraf. Namun,

lesi kulit dapat munculdengan atau tanpa bukti keterlibatan

saraf. Gambaran khas dari lesiadalah sebuah plakat yang


mencolok, eritematosa, tembaga berwarna atau ungu,

dengan tepi mengangkat dan tengah hipopigmentasi.

Pada ras yang berulit lebih gelap mungkin tidak

menunjukkan gambaran dari eritema tersebut. Gambaran

yang dapat ditemukan antara lain permukaan lesi kering,

hairless dan rasa tebal, dan kadang-kadang bersisik.

Gangguan sensorik mungkin sulit dibuktikan pada daerah


Tuberculoid leprosy (TT). Face of Pakistani lady showing erythematous
wajah
plaque withkarena ujung
a well-defi nedsaraf
activesensorik wajah
edge, and lebih
a small peka.
satellite JikaOn
lesion.
the face,such lesions may not be anaesthetic.
pemeriksa menjalankan jari di sekitar lesi, mungkin akan

teraba penebalan dari saraf tepi sekitarnya. Misalnya saraf

ulnaris menebal jika terdapat lesi di lengan.8

Lepromatosa leprosy
Manifestasi klinis pertama biasanya hanya sebatas

kulit (karena awal keterlibatan saraf biasanya tanpa gejala),

gejala gangguan saraf tepi mungkin ada tetapi tidak disadari

oileh pasien. gejala lain yang sering dikeluah saat awal

adalah ini termasuk gejala pada hidung dari stuffiness,

discharge dan epistaksis, dan edema dari kaki dan

pergelangan kaki karena meningkatnya permeabilitas

kapiler. Gambaran lesi kulit terdiri dari makula dan papula

yang menyebar.7,8
Gambaran makula berdiameter kecil, multiple,

eritematosa atau hipopigmentasi, berbatas tidak tegas dan

permukaan mengkilap. Papula dan nodul biasanya memiliki


warna kulit normal, tetapi kadang-kadang eritematosa,

dengan distribusi simetris bilateral di wajah, lengan, kaki

dan bokong, tetapi mungkin di mana saja selain daerah

yang berrambut seperti kulit kepala, aksila, dan daerah

dengan suhu tertinggi lipat paha dan perineum. Pada awal

kemunculan lesi pertumbuhan rambut dan sensasi sensorik

tidak terganggu.7,8
Lesi mukosa mulut terjadi bentukan papula pada

bibir dan nodul pada langit-langit (yang mungkin

perforasi), uvula, lidah dan gusi. Mukosa hidung akan

ditemukan gambaran hiperemik atau ulserasi dan mudah

berdarah; dan sering terjadi epistaksis.7,8


Saraf perifer yang pertama kali terkena adalah saraf

perifer terpanjang dan mengakibatkan anestesi pada

permukaan dorsal tangan dan kaki, lalu kemudian

mempengaruhi permukaan ekstensor dari lengan dan kaki,

lalu yang terakhir adalah batang tubuh. Jika saraf kornea

terkena akan menyebabkan anestesi, yang menjadi

predisposisi cedera, infeksi dan kebutaan dapat ditemukan.

Lagophthalmos terjadi karena kerusakan pada saraf wajah.

Radiografi mungkin menunjukkan osteoporosis di falang,

kista osteolitik kecil atau kompresi patah tulang. Sehingga

jari-jari mungkin menjadi bengkok atau pendek. Kuku tipis

dan rapuh.
Jika pasien tetap tidak mendapatkan pengobatan,

kulit pada dahi akan menebal (facies leonina), alis dan bulu
mata menjadi menipis atau hilang (madarosis), cuping

telinga menebal, deformitas hidung (saddle nose), dan

hilangnya tulang hidung anterior, suara menjadi serak dan

gigi seri bagian atas mudah tanggal. Kulit kaki menebal dan

bersisik yang disertai gatal, serta ulkus. fibrosis daraf terpi

akan terjadi akibat dari penebalan saraf tepi bilateral

goleves and stocking. Infeksi lepra di mata menyebabkan

keratitis, iridosiklitis dan iris atrofi. Pada dapat terjadi atrofi

testis sehingga dapat menyebabkan kemandulan, impotensi

dan ginekomastia.7,8

Lepromatous leprosy (LL). Forearm of an Lepromatous leprosy (LL). Face of an Ethiopian child
English man showing erythematous macules showing typical pattern of late lepromatous infi
and infi ltration, which characterize a relapse
ltration. Note the collapsed nasal bridge and the inf
of dapsone-resistant lepromatous leprosy. ltration of the tongue.
Borderline Leprosy
Tipe lesi Borderline memiliki gambaran seperti

gambaran lesi pada tuberkuloid dan lepromatosa dan

tergantung pada letak lesi dan distribusinya yang asimetris.

Lesi-lesi tersebut dapat berbentuk makula, plak, dan lesi

annular. Plak dengan gambaran punch-out merupakan

cirri khas dari tipe ini. Pada tipe tuberkuloid fase akhir, lesi

lebih sedikit dan lebih kering, hairless dan anhidrosis,

terasa lebih tebal, dan dan dalam hapusan dan permeriksaan

biopsy terlihat gambaran basil yang lebih sedikit, dan bila

gambaran terlihat mendekati tipe lepromatous akan

sebaliknya. Satu atau lebih saraf mungkin akan menebal

dan tidak berfungsi. Gejala saraf dapat mendahului

gambaran lesi pada kulit. Ketika gambaran borderline

leprosy berubah menjadi lepromatosa, maka kusta

lepromatosa yang subpolar (LLS) dapat dibedakan dari

lepromatous polar (LLP) karena, selain lesi kulit

lepromatosa khas, ada beberapa penebalan saraf.7,8

Borderline tuberculoid leprosy. Arm of an


Indian woman. A large, scaly macule is
developing secondary ichthyo tic change.
Borderline leprosy (BL). Borderline tuberculoid
(BT) down-grading to BL. Back of a Nigerian
woman, showing typical well-defi ned
hypopigmented macules of BT leprosy and
many small lesions, some of which are papular.
Kusta Slit-skin smears showed
borderline acid-fast
adalah yangbacilli paling
(AFB). sering

ditemukan, dan tipe ini merupakan jenis penyakit yang

tidak stabil dan merupakan down-grade terhadap

lepromatosa, terutama jika tidak diobati, atau upgrade

terhadap tuberkuloid.8

Pure neuritic leprosy


Kusta neuritik terkait dengan keterlibatan batang

saraf periferyang asimetris dan tidak ada lesi kulit yang

terlihat; pada histologi dari biopsi saraf kulit, semua jenis

kusta terlihat [10]. Kusta neuritik, adalah penyakit yang

sering dijumpai tetapi jatrang berdiri swndiri. Di India dan

Nepal sekitar 5-10% pasien menderita pure neuritic

leprosy.8
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi

menjadi multibasiler dan pausibasiler. Multibasiler berarti

mengandung banyak bakteri yaitu tipe LL, BL dan BB.

Zona Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasi


Sedangkan Pausibasiler berarti mengandung sedikit bakteri,

yaitu tipe TT dan BT.2

Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)

Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta Multibasiler (MB)


Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta Pausibasiler (PB)

1.7.2.
Perubahan saraf perifer8
1. Kelainan saraf perifer yang umum pada kusta.

Penebalan saraf tepi, terutama pada saraf tepi yang

berada superficial dengan kulit, , seperti aurikularis

magnus, ulnaris, radialisl, peroneus comunis, dan

tibialis posterior.
2. Gangguan sensorik pada lesi kulit.
3. Saraf tepi pada bagian tubuh akan mengalami

kelumpuhan baik dengan tanda-tanda dan gejala

peradangan atau tanpa manifestasi seperti, silent


neurophaty, biasanya disertai dengan kelemahan

sensorik dan motorik (kelemahan dan / atau atrofi)


4. Pola gangguan sensorik Stocking-Gloves (S-GPSI)
5. Anhidrosis pada telapak tangan atau telapak kaki

menunjukkan keterlibatan saraf simpatik.

Gejala-gejala kerusakan saraf berupa2:

1. Nervus Ulnaris akan terjadi anestesia pada ujung jari

anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking

dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta

kedua otot lubrikalis medial.


2. Nervus Medianus terjadi anestesia pada ujung jari

sebagian anterior ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah,

tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, jari

telunjuk dan jari tengah, ibu jari kontraktur dan atrofi

otot tenar dan kedua otot lubrikalis lateral.


3. Nervus Radialis terjadi anestesia dorsum manus, serta

ujung proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist

drop), dan tidak mampu ekstensi jari-jari atau

pergelangan tangn.
4. Nervus Poplitea laterallis dapat terjadi anestesia tungkai

bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung

(foot drop), dan kelemahan otot peroneus.


5. Nervus Tibialis posterior terjadi anestesia telapak kaki,

claw toes, dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps

arkus pedis.
6. Nervus Fasialis yaitu cabang temporal dan zigomatik

menyebabkan lagoftalmus, cabang bukal, mandibular


dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah

dan kegagalan mengatubkan bibir.


7. Nervus Trigeminus terjadi anestesia kulit wajah, kornea

dan konjungtiva mata, atrofi otot tenar dan kedua otot

lubrikalis lateral
1.7.3.
Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut

pada perjalanan penyakit yang kronik disebabkan karena

sistem kekebalan tubuh yang menyerang kuman M. leprae.

Penderia lepra dapat mengalami reaksi hampir setiap saat

yaitu sebelum pengobatan, saat diagnosis ditegakkan,

selama pengobatan maupun setelah pengobatan selesai.

Sebagian besar reaksi terjadi dalam satu tahun setelah

diagnosis. Pada penderita tipe MB, reaksi dapat timbul

setiap saat selama pengobatan bahkan sampai dengan

beberapa tahun setelah pengobatan.8

Berikut ini adalah tanda-tanda terjadinya reaksi lepra:


1.
Pada kulit: peradangan bercak kulit
2.
Pada saraf: rasa sakit atau nyeri tekan pada saraf, timbul

kehilangan rasa raba baru dan timbul kelemahan otot

baru.
3.
Pada mata: rasa sakit atau kemerahan pada mata, timbul

penurunan daya penglihatan yang baru, timbul

kelemahan otot-otot penutup mata yang baru7,8

Reaksi lepra dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu:

1. Reaksi tipe 1, reaksi reversal.


Reaksi tipe 1 ini disebabkan peningkatan

aktivitas sistem kekebalan tubuh dalam melawan basil

lepra atau bahk an sisa basil yang mati. Peningkatan

aktivitas ini menyebabkan terjadi peradangan setiap

terdapat basil lepra pada tubuh, terutama kulit dan

saraf. Penderita lepra dengan tipe MB maupun PB dapat

mengalami reaksi tipe 1. Sekitar seperempat dari

seluruh penderita lepra kemungkinan akan mengalami

reaksi tipe 1. Reaksi tipe 1 paling sering terjadi dalam

enam bulan setelah mulai minum obat. Beberapa

penderita mengalami reaksi tipe 1 sebelum mulai

berobat dimana belum terdiagnosis. Reaksi merupakan

tanda penyakit yang sering muncul pertama yang

menyebabkan penderita datang untuk berobat. Sebagian

kecil penderita mengalami reaksi lebih lambat, baik

selama masa pengobatan maupun sesudahnya.7,8

Type 1 reaction: borderline leprosy in an Ethiopian man. Existing lesions


become acutely infl amed, scale and threaten ulceration. Many small, new lesions have
appeared. The histology shows a borderline tuberculoid (BT) pattern.
2. Reaksi tipe 2, reaksi Erythema Nodusum Leprosum

(ENL).
Reaksi tipe 2 ini terjadi apabila basil leprae

dalam jumlah besar terbunuh dan secara bertahap

dipecah. Protein dari basil yang mati mencetuskan

reaksi alergi. Reaksi tipe 2 akan mengenai seluruh

tubuh dan menyebabkan gejala sistemik karena protein

ini terdapat dialiran pembuluh darah.8


Erythema nodusum leprosum hanya terjadi pada

penderita
Type 2 reactiontipe MB, leprosy
in lepromatous terutama timbul man,
in a Bangladeshi pada tipe
showing
severe necrosis and ulceration. Erythema nodosum leprosum (ENL) tends to be more
severe in Asian than in African people..
lepromatosa polar dan dapat pula pada tipe BL, serta

pada ENL tidak terjadi perubahan tipe, berarti bahwa

semakin tinggi tingkat multibasilarnya semakin besar

kemungkinan timbulnya ENL. Secara imunopatologis,

ENL termasuk respon imun humoral, berupa fenomena

kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae,

antibodi (IgM, IgG) dan komplemen, maka ENL

termasuk didalam golongan penyakit kompleks imun,


karena salah satu protein M. leprae bersifat antigenik

maka antibodi dapat terbentuk. Kadar imunoglobulin

penderita lepra lepromatosa lebih tinggi daripada tipe

tuberculoid. Hal ini terjadi oleh karena tipe lepromatosa

jumlah kuman jauh lebih banyak daripada tipe

tuberculoid. ENL lebih sering terjadi pada masa

pengobatan. Hal ini dapat terjadi karena banyak kuman

lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang

dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta

mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun

tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang

akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.8

1.8. Diagnosis
Diagnosis biasanya dibuat secara klinis atas dasar dua dari tiga

temuan klinis cardinal sign. Cardinal sign:


1.
anestesi dari lesi kulit
2.
menebal saraf, terutama pada situs predileksi
3.
Basil Tahan Asam (BTA) positif2,8

Pemeriksaan Serologi

Pemeriksaan serologi kusta didasarkan atas terbentuknya antibody

pada tubuh seseorang yang terinfeksi M.Leprae. Antibodi yang terbentuk

dapat berisfat spesifik terhadap M. Leprae, yaitu antibody phenolic

glycolipid-1 (PGL-1) dan antibody antiprotein 16 kD serta 35 kD.2

Kegunaan pemeriksaan serologi ialah untuk membantu

menegakkan diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan


bakteriologik tidak jelas. Dan juga membantu menentukan kusta sub

klinis. Macam-macam pemeriksaan serologis kusta ialah2 :

Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)

Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay)

ML dipstick test ( Mycobacterium leprae dipstick)

ML Flow test (Mycobacterium leprae flow test)

Pemeriksaan Bakterioskopi (kerokan jaringan kulit)

Pemeriksaan dibuat dengan membuat sediaan dari kerokan jaringan

atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai terhadap

pewarnaan basil tahan asam (BTA). M. Lepra merupakan BTA sehingga

akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid),

batang terputus (fragmented), dan butiran (granular). Yang terpenting

adalah membedakan anatara bentukan solid dan nonsolid. Bnetuk solid

lebih infeksius, karena bentuk solid dapat berkembang biak dan dapat

menularkan ke orang lain.2,7,8

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid dapat

dinyatakan sebagai Indeks Bakteri (IB) dengan nilai 0 samoai 6+. Indeks

morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan

jumlah solid dan non solid. Rumus :

Pemeriksaan Histopatologik
Gambaran Histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan

kerusakan saraf yang nyata. Tidak ada kuman atau hanya sedikit yang

nonsolid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal

(subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung dibawah

epidermis yang jaringannya tidak patologikDidapati sel Virchow dengan

banyak kuman. Pada tipe borderline terdapat campuran kedua tipe

diatas.7,8

Two views of the histology of a TT lesion. A. The lower power view looks a lot like that of lupus
vulgaris, which is the origin of the term tuberculoid leprosy. (H&E, 10 objective.) B. The high-
1.9. Diagnosis Banding
power view of the same lesion shows abundant Langhans giant cells, epithelioid tubercles, a dense
Kusta
lymphocytic cenderung
infiltrate over-diagnosed
and a brisk di negara-negara
exocytosis into the epidermis. endemik
(H&E, 20 objective.)

dan under-diagnosed di negara-negara non-endemik. Masalah yang

umum adalah kesalahan untuk menganggap kusta sebagai penyebab

neuropati perifer pada pasien dari negara-negara endemik kusta.

Kesalahan diagnosis ini memiliki konsekuensi serius untuk pasien,


dengan lebih dari setengah dari mereka memiliki kerusakan saraf dan

cacat. Dalam populasi setiap juga penting untuk dokter untuk

mengetahui kisaran normal warna dan tekstur kulit, penyakit kulit

endemik, seperti onchocerciasis, yang mungkin hidup berdampingan

dengan kusta dan perlunya mengetahui lesi-lesi kulit yang menyerupai

kusta.7,8

1.10. Penatalaksanaan Tabel Diagnosis Banding Kusta


Ada lima prinsip utama pengobatan:

1. Hentikan infeksi dengan terapi MDT


2. Perlakukan reaksi dan mengurangi risiko kerusakan saraf
3. Mengedukasi pasien untuk mengatasi ada kerusakan saraf
4. Perlakukan komplikasi kerusakan saraf
5. Merehabilitasi pasien secara sosial dan psikologis.
Tujuan-tujuan ini hanya dapat dicapai dengan kerjasama pasien dengan

pihak medis. Sedapat mungkin ini harus dilakukan melalui klinik rawat

jalan.7,8
1.11. Prognosis
Penderita kusta yang dapat sembuh sendiri tanpa terapi adalah mereka

dengan kusta tipe TT, atau tipe BT yang upgrade ke TT. Jika tidak

penyakit akan progresif, dengan morbiditas cedera saraf. Penangkapan

pengobatan banyak aktivitas penyakit tetapi pola sensorik Gloves-

Stocking dapat berkembang. neuritis perifer dapat membaik dengan

pengobatan kortikosteroid.7

Daftar Pustaka
1. Andini F, Warganegara E. Morbus Hansen Tipe Multibasiler dengan

Reaksi Kusta Tipe 1 dan Kecacatan Tingkat 2. Dalam: Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung. Vol 6(1).2016.44-49.


2. Kosasih A, Wisnu, Emmy, Sri L. Kusta, Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin,

Edisi ke Lima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2009, p

: 73-88
3. Kementrian Kesehatan. Kusta. 2015.

http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin_

kusta.pdf. diunduh pada Sabtu, 1 April 2017 jam 9.45PM


4. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick. Fitzpatrick's Color

Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed. USA: McGraw-Hill.

2007. P 665-671
5. WHO. Leprosy. world health organization; 2016.

http://www.who.int/lep/en/ diunduh pada Sabtu, 1 April 2017 jam 9.11PM


6. Burns, Tony et al, 2010, chapter 32: Leprosy. In Rooks Textbool of

Dermatology Volume 2, 8th ed, hal 32.1-32.19

7. Lee J. Delphin., Rea H. Thomas., Moldlin L. Robert., (2012). Leprosy. In

Goldsmith, Lowell A. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine.

(8th ed. pp: 431-438). USA: Mc-Graw Hill

8. Lookwood D.N.J. (2010). Leprosy. In Burns, Tony,. Breathnach, Stephen.,

Cox, Neil., Griffiths, Christopher. Rooks Textbook of Dermatology. (8th

ed. pp:76.1-76.8). UK: Willey-BlackWell

Anda mungkin juga menyukai