Anda di halaman 1dari 22

SEPSIS NEONATORUM

PENDAHULUAN
Sepsis neonatal adalah infeksi berat yang diderita neonatus dengan gejala
sistemik dan terdapat bakteri dalam darah. Perjalanan penyakit sepsis neonatorum
dapat berlangsung cepat sehingga sering kali tidak terpantau, tanpa pengobatan yang
1,3
memadai bayi dapat meninggal dalam 24 sampai 48 jam .
Sepsis neonatorum sampai saat ini masih merupakan masalah utama di bidang
pelayanan dan perawatan neonatus. Menurut perkiraan World Health Organization
(WHO), terdapat 5 juta kematian neonatus setiap tahun dengan angka mortalitas
neonatus (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan) adalah 34 per 1000 kelahiran
hidup, dan 98% kematian tersebut berasal dari negara berkembang. Secara khusus
angka kematian neonatus di Asia Tenggara adalah 39 per 1000 kelahiran hidup. Dalam
laporan WHO yang dikutip dari State of the worlds mother 2007 (data tahun 2000-
2003) dikemukakan bahwa 36% dari kematian neonatus disebabkan oleh penyakit
infeksi, diantaranya : sepsis; pneumonia; tetanus; dan diare. Sedangkan 23% kasus
disebabkan oleh asfiksia, 7% kasus disebabkan oleh kelainan bawaan, 27% kasus
disebabkan oleh bayi kurang bulan dan berat badan lahir rendah, serta 7% kasus oleh
sebab lain.9
Sepsis neonatorum sebagai salah satu bentuk penyakit infeksi pada bayi baru
lahir masih merupakan masalah utama yang belum dapat terpecahkan sampai saat ini.
WHO juga melaporkan case fatality rate pada kasus sepsis neonatorum masih tinggi,
yaitu sebesar 40%. Hal ini terjadi karena banyak faktor risiko infeksi pada masa
perinatal yang belum dapat dicegah dan ditanggulangi. Selanjutnya dikemukakan
bahwa angka kematian bayi dapat mencapai 50% apabila penatalaksanaan tidak
dilakukan dengan baik. 2,7,9

DEFINISI
Sepsis bakterial pada neonatus adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi
sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan. 1,3,7,9 Dalam
sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi

Page 1
sepsis. Salah satunya menurut The International Sepsis Definition Conferences
(ISDC,2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory
Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan
mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi multiorgan,
dan akhirnya kematian.2,7,9

EPIDEMIOLOGI
Insidens sepsis neonatorum beragam menurut defenisinya, dari 1-4/1000
kelahiran hidup di negara maju dengan fluktuasi yang besar sepanjang waktu dan
tempat geografis. Angka kejadian/insidens sepsis di negara berkembang cukup tinggi
yaitu 1,8-18 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12-68%,
sedangkan di negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000 kelahiran
hidup dengan angka kematian 10,3%. Di Indonesia, angka tersebut belum terdata. Data
yang diperoleh dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta periode Januari-
September 2005, angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68% dengan angka
kematian sebesar 14,18%. 2
Seringkali sepsis merupakan dampak atau akibat dari masalah sebelumnya yang
terjadi pada bayi maupun ibu. Hipoksia atau gangguan sistem imunitas pada bayi
dengan asfiksia dan bayi berat lahir rendah/bayi kurang bulan dapat mendorong
terjadinya infeksi yang berakhir dengan sepsis neonatorum. Demikian juga masalah
pada ibu, misalnya ketuban pecah dini, panas sebelum melahirkan, dan lain-lain.
berisiko terjadi sepsis. Selain itu, pada bayi sepsis yang dapat bertahan hidup, akan
terjadi morbiditas lain yang juga tinggi. Sepsis neonatorum dapat menimbulkan
kerusakan otak yang disebabkan oleh menin\gitis, syok septik atau hipoksemia dan
juga kerusakan organ-organ lainnya seperti gangguan fungsi jantung, paru-paru, hati,
dan lain-lain.9
Masih tingginya angka kematian bayi di Indonesia (50 per 1000 kelahiran hidup)
mendorong Health Technology Assessment (HTA) Indonesia untuk melakukan kajian
lebih lanjut mengenai permasalahan yang ada, sebagai dasar rekomendasi bagi
pembuat kebijakan demi menurunkan angka kematian bayi secara umum dan insidens
sepsis neonatorum secara khusus.

Page 2
ETIOLOGI
Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat
menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Pola kuman
penyebab sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke
waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan perbedaan pola kuman,
walaupun bakteri Gramnegatif rata-rata menjadi penyebab utama dari sepsis
neonatorum.1,2,3,5,6
Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah diteliti
oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999 di empat
negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan Gambia.
Penelitian tersebut mengemukakan bahwa kuman isolat yang tersering ditemukan pada
kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus pyogenes (20%) dan
E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada meningitis neonatus awitan
dini banyak ditemukan bakteri Gram negatif terutama Klebsiella sp dan E. Coli,
sedangkan pada awitan lambat selain bakteri Gram negatif juga ditemukan
Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan pada neonatus yang
tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita di daerah pedesaan.
Sementara Klebsiella sp biasanya diisolasi dari neonatus yang dilahirkan di rumah
sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering ditemukan adalah
Pseudomonas, Enterobacter, dan Staphylococcus aureus. 7,8,9

KLASIFIKASI

Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan menjadi


dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis) dan
sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis). 3
Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam
periode postnatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses
kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus
SAD adalah Streptokokus Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia coli, Haemophilus
influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara berkembang termasuk
Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang Gram negatif. Sepsis

Page 3
neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1000 kelahiran hidup dengan
angka mortalitas sebesar 15-50%
Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72 jam) yang
diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Proses infeksi
pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal. Angka mortalitas
SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara maju, Coagulase-
negative Staphilococci (CoNS) dan Candida albicans merupakan penyebab utama SAL,
sedangkan di negara berkembang didominasi oleh mikroorganisme batang Gram
negatif (E. coli, Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa).9

PATOFISIOLOGI

Selama dalam kandungan, janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman


karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,khorion,
dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian kemungkinan
1,2,3,4,8,9
kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu:
1. Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin melalui
aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin. Keadaan ini
ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau Listeria dll.

2. Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya saat


pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau amniosentesis. Paparan
kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan
pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman pada janin.

3. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih
berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam rongga
uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan ataupun
saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat
apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam.

INFEKSI PRANATAL

Page 4
INFEKSI INTRANATAL
Gambar 1. Penjalaran infeksi pada neonatus di dalam kandungan Sumber : Baltimore
R. Neonatal sepsis: epidemiology and management. Paediatr Drugs 2003
Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena infeksi
silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat prosedur
neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang
memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan hunian terlalu
padat, dll.
Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran
darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari
tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam
gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran
klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain
pemberian antibiotik, harus memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul
akibat beratnya penyakit.

4. infeksi pascanatal atau sesudah persalinan


Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi nasokimial dari
lingkungan di luar rahim (mis : melalui alat-alat: penghisap lendir, selang endotrakea,
infus, selang nasogastrik, botol minuman atau dot). Perawat atau profesi lain yang ikut

Page 5
menangani bayi dapat menyebabkan terjadinya infeksi nasokomial. Infeksi juga dapat
terjadi melalui luka umbilikus. 1

FAKTOR RESIKO
Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu, bayi dan lain-lain.
1,3,5,6,8,9

Faktor risiko ibu:


1. Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah lebih
dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai
korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.

2. Infeksi dan demam (>38C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi
saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi perineal
oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.

3. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.

4. Kehamilan multipel.

5. Persalinan dan kehamilan kurang bulan.


6. Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.

Faktor risiko pada bayi:


1. Prematuritas dan berat lahir rendah.

2. Dirawat di Rumah Sakit.

3. Resusitasi pada saat kelahiran, misalnya pada bayi yang mengalami fetal distress
dan trauma pada proses persalinan.

4. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter, infus,


pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal.

5. Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun, atau
asplenia.

6. Asfiksia neonatorum.

7. Cacat bawaan.

Page 6
8. Tanpa rawat gabung.

9. Tidak diberi ASI.

10. Pemberian nutrisi parenteral.

11. Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.

12. Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded.

13. Buruknya kebersihan di NICU.

Faktor risiko lain:


Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering terjadi
pada bayi laki-laki daripada perempuan, pada bayi kulit hitam daripada kulit putih, pada
bayi dengan status ekonomi rendah, dan sering terjadi akibat prosedur cuci tangan
yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga pasien, serta
buruknya kebersihan di NICU Faktor-faktor di atas sering dijumpai dalam praktek
sehari-hari dan masih menjadi masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu
penyebab tidak adanya perubahan pada angka kejadian sepsis neonatal dalam dekade
terakhir ini. Faktor-faktor risiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus
tetap mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gambaran klinis. 9

GEJALA KLINIS

Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang
ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan dalam
menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis yang
terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh
terhadap masuknya kuman.
Janin yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia dan
memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak lemah dan
tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan kadang-
kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi
organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat (letargi, refleks hisap
buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel

Page 7
dan dapat disertai kejang), kelainan kardiovaskular (hipotensi, pucat, sianosis, dingin
dan clummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik,
gastrointestinal ataupun gangguan respirasi (perdarahan, ikterus, muntah, diare,
distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang,
1,2,3,4,5,6,7,8,9
takipnea, apnea, merintih dan retraksi).

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
A. Kultur Darah
Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam menentukan
diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil biakan baru
akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari. Hasil kultur perlu dipertimbangkan secara
hati-hati apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan dari jenis kuman yang biasa
ditemukan di masing-masing klinik. Kultur darah dapat dilakukan baik pada kasus
sepsis neonatorum awitan dini maupun lanjut. 2,3,5,6,8,9

B. Pewarnaan Gram
Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua dan sampai saat ini
masih sering dipakai di laboratorium dalam melakukan identifikasi kuman. Pemeriksaan
dengan pewarnaan Gram ini dilakukan untuk membedakan apakah bakteri penyebab
termasuk golongan bakteri Gram positif atau Gram negatif. Walaupun dilaporkan
terdapat kesalahan pembacaan pada 0,7% kasus, pemeriksaan untuk identifikasi awal
kuman ini dapat dilaksanakan pada rumah sakit dengan fasilitas laboratorium terbatas
dan bermanfaat dalam menentukan penggunaan antibiotic pada awal pengobatan
sebelum didapatkan hasil pemeriksaan kultur bakteri. 2,8,9

Pemeriksaan Hematologi
Beberapa parameter hematologi yang banyak dipakai untuk menunjang diagnosis
2,3,5,6,8,9
sepsis neonatorum adalah sebagai berikut:

Hitung trombosit.

Page 8
Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/L jarang ditemukan
pada 10 hari pertama kehidupannya. Pada penderita sepsis neonatorum dapat terjadi
trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari 100.000/L), MPV (mean platelet
volume) dan PDW (platelet distribution width) meningkat secara signifikan pada 2-3 hari
pertama kehidupan.

Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit.


Pada sepsis neonatorum jumlah leukosit dapat meningkat atau menurun, walaupun
jumlah leukosit yang normal juga dapat ditemukan pada 50% kasus sepsis dengan
kultur bakteri positif. Pemeriksaan ini tidak spesifik. Bayi yang tidak terinfeksi pun dapat
memberikan hasil yang abnormal, bila berkaitan dengan stress saat proses persalinan.
Jumlah total neutrofil (sel-sel PMN dan bentuk imatur) lebih sensitif dibandingkan
dengan jumlah total leukosit (basofil, eosinofil, batang, PMN, limfosit dan monosit).
Jumlah neutrofil abnormal yang terjadi pada saat mulainya onset ditemukan pada 2/3
bayi. Walaupun begitu, jumlah neutrofil tidak dapat memberikan konfirmasi yang
adekuat untuk diagnosis sepsis. Neutropenia juga ditemukan pada bayi yang lahir dari
ibu penderita hipertensi, asfiksia perinatal berat, dan perdarahan periventrikular serta
intraventrikular.

Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T).


Pemeriksaan ini sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatorum.
Semua bentuk neutrofil imatur dihitung, dan rasio maksimum yang dapat diterima untuk
menyingkirkan diagnosis sepsis pada 24 jam pertama kehidupan adalah 0,16. Pada
kebanyakan neonatus, rasio turun menjadi 0,12 pada 60 jam pertama kehidupan.
Sensitivitas rasio I/T berkisar antara 60-90%, dan dapat ditemukan kenaikan rasio yang
disertai perubahan fisiologis lainnya; oleh karena itu, rasio I/T ini dikombinasikan
dengan gejala-gejala lainnya agar diagnosis sepsis neonatorum dapat ditegakkan.
Pemeriksaan hematologi sebaiknya dilakukan serial agar dapat dilihat perubahan yang
terjadi selama proses infeksi, seperti trombositopenia, neutropenia, atau peningkatan
rasio I/T. Pemeriksaan secara serial ini berguna untuk mengetahui sindrom sepsis yang
9
berasal dari kelainan nonspesifik karena stress pada saat proses persalinan.

Page 9
Pemeriksaan kadar D-dimer.
D-dimer merupakan hasil pemecahan cross-linked fibrin oleh plasmin. Oleh karena itu,
D-dimer dipakai sebagai petanda aktivasi sistem koagulasi dan sistem fibrinolisis. Pada
sepsis, kadar D-dimer meningkat tetapi pemeriksaan ini tidak spesifik untuk sepsis
karena peningkatannya juga dijumpai pada DIC oleh penyebab lain seperti trombosis,
9
keganasan dan terapi trombolitik.

Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)


C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang disintesis di hepatosit dan muncul
pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh IL-6 dan IL-8
yang dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik terjadi di neuron, plak
aterosklerotik, monosit dan limfosit. CRP meningkat pada 50-90% bayi yang menderita
infeksi bakteri sistemik. Sekresi CRP dimulai 4-6 jam setelah stimulasi dan mencapai
puncak dalam waktu 36-48 jam dan terus meningkat sampai proses inflamasinya
teratasi. Cut-off yang biasa dipakai adalah 10 mg/L. Pemeriksaan kadar CRP tidak
direkomendasikan sebagai indikator tunggal pada diagnosis sepsis neonatorum, tetapi
dapat digunakan sebagai bagian dari septic work-up atau sebagai suatu pemeriksaan
serial selama proses infeksi untuk mengetahui respon antibiotik, lama pengobatan,
dan/atau relapsnya infeksi. Faktor yang dapat mempengaruhi kadar CRP adalah cara
melahirkan, umur kehamilan, jenis organisme penyebab sepsis, granulositopenia,
pembedahan, imunisasi dan infeksi virus berat (seperti HSV, rotavirus, adenovirus,
influenza). Menurut Mustafa dkk., untuk diagnosis sepsis neonatorum, CRP mempunyai
sensitivitas 60%, spesifisitas 78,94%, nilai prediksi negatif 66,66% dan nilai prediksi
positif 48,77%.70 Jika CRP dilakukan secara serial, nilai prediksi negatif untuk sepsis
9
awitan dini adalah 99,7% sedangkan untuk sepsis awitan lanjut adalah 98,7%.

Page 10
Pe
meriksaaan kemokin, sitokin dan molekul adhesi
Modalitas pemeriksaan terkini dalam mengevaluasi sepsis neonatorum adalah
dengan menggunakan petanda infeksi (infection markers) seperti CD11b, CD64,
Interleukin-6 (IL-6) yang dapat membantu sebagai petanda tambahan. Pemeriksaan
petanda-petanda infeksi tersebut secara serial dikombinasikan dengan beberapa tes
sehingga dapat memberikan hasil yang baik. Sayangnya, pemeriksaan petanda infeksi
tersebut tidak dianjurkan untuk dijadikan pemeriksaan tunggal. Pada beberapa kasus,
pemeriksaan ini dapat menunjukkan kapan pemberian antibiotik dapat dihentikan. 9

DIAGNOSIS

Diagnosis dini sepsis ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan terapi diberikan
tanpa menunggu hasil kultur. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak spesifik dengan
diagnosis banding yang sangat luas, termasuk gangguan napas, penyakit metabolik,
penyakit hematologik, penyakit susunan syaraf pusat, penyakit jantung, dan proses
penyakit infeksi lainnya (misalnya infeksi TORCH = toksoplasma, rubela, sitomegalo
virus, herpes). Bayi yang diduga menderita sepsis bila terdapat gejala:
Letargi, iritabel,
Tampak sakit,
Kulit berubah warna keabu-abuan, gangguan perfusi, sianosis, pucat, kulit bintik-bintik
tidak rata, petekie, ruam, sklerema atau ikterik,
Suhu tidak stabil demam atau hipotermi,
Perubahan metabolik hipoglikemi atau hiperglikemi,asidosis metabolik,
Gejala gangguan kardiopulmonal gangguan pernapasan (merintih, napas cuping
hidung,retraksi, Takipnu), apnu dalam 24 jam pertama atau tiba-tiba, takikardi, atau
hipotensi (biasanya timbul lambat),
Gejala gastrointestinal: toleransi minum yang buruk, muntah, diare, kembung dengan
atau tanpa adanya bowel loop. 1,2,3,4,5,6,7,8,9

TATALAKSANA

Page 11
Pemberian antibiotik
Sepsis merupakan keadaan kedaruratan dan setiap keterlambatan pengobatan
dapat menyebabkan kematian. Pada kasus tersangka sepsis, terapi antibiotik empirik
harus segera dimulai tanpa menunggu hasil kultur darah. Setelah diberikan terapi
empirik, pilihan antibiotik harus dievaluasi ulang dan disesuaikan dengan hasil kultur
dan uji resistensi. Bila hasil kultur tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri dalam 2-3
hari dan bayi secara klinis baik, pemberian antibiotik harus dihentikan. 9
Permasalahan resistensi antibiotik merupakan masalah yang bersifat universal.
Penggunaan antibiotik yang berlebihan akan menimbulkan masalah resistensi di
kemudian hari. Antibiotik spektrum luas lebih sering menimbulkan resistensi daripada
antibiotik spektrum sempit. Oleh karena itu, kebijakan dalam pemberian antibiotik harus
ada pada setiap unit perawatan neonatus. Surveilans bakteri dan pola resistensi juga
harus secara rutin dilakukan di tiap unit neonatal untuk menetapkan kebijakan
penggunaan antibiotik di masing-masing unit. Upaya untuk menurunkan resistensi
bakteri memerlukan dua strategi utama yaitu, mengontrol infeksi dan mengontrol
pemakaian antibiotik. Pemakaian antibiotik secara bergantian dilaporkan efektif
menurunkan resistensi di beberapa tempat.
Seperti telah dijelaskan di atas, penyalahgunaan pemberian antibiotik akan
menimbulkan resistensi bakteri. Hal ini terjadi karena bakteri Gram negatif seperti
Klebsiella pneumoniae dan E. Coli dapat memproduksi extended spectrum beta
lactamase (ESBL) sehingga resisten terhadap hampir semua antibiotik. Sedangkan
bakteri Gram positif dapat membawa gen yang menyebabkan resistensi terhadap
vankomisin dalam bentuk vancomycin resistant enterococci (VRE) dan gen yang
mengkode resistensi terhadap metisilin seperti methicillin resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) serta methicillin resistant Staphylococcus epidermidis (MRSE). 9
Pemberian ampisilin profilaksis intrapartum dapat menurunkan insidens sepsis
neonatorum SGB secara drastis, namun di sisi lain akan meningkatkan insidens sepsis
yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif dan yang resisten terhadap ampisilin.
Ampisilin dan sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim, seftriakson, seftazidim)
dilaporkan dapat menyebabkan organisme Gram negatif memproduksi ESBL yang
selanjutnya menimbulkan masalah resistensi. Oleh karena itu, terapi kombinasi

Page 12
antibiotik betalaktam dan aminoglikosida sangat dianjurkan untuk mencegah resistensi
tersebut.
Karbapenem digunakan di laboratorium untuk menginduksi organisme pembawa
gen beta-laktamase yang terekspresi agar mengekspresikan gen dan memproduksi
beta-laktamase. Jadi, penggunaan imipenem dan meropenem secara berlebihan justru
akan menyebabkan organisme memproduksi beta-laktamase. Oleh karena itu,
karbapenem tidak boleh digunakan secara luas di unit perawatan intensif neonatus
(UPIN), dan penggunaannya harus dibatasi hanya pada kasus berat, yakni pada
organisme yang memproduksi ESBL dan sefalosporinase. Antibiotik tidak boleh
digunakan sebagai terapi profilaksis (pada bayi dengan intubasi, memakai kateter
vaskular sentral, chest drain) karena terbukti tidak efektif untuk pencegahan sepsis. Bila
bakteri tumbuh pada pipa endotrakeal, hal itu berarti telah terjadi kolonisasi dan
pengobatan profilaksis tidak akan mengurangi kolonisasi (kultur pipa endotrakeal akan
tetap positif) serta tidak akan mencegah sepsis, tetapi justru meningkatkan resistensi
terhadap antibiotik 9
.
Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini
Pada bayi dengan SAD, terapi empirik harus meliputi SGB, E. coli, dan Listeria
monocytogenes. Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah aminoglikosida
mempunyai aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua
organisme penyebab SAD. Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan
aktivitas antibakteri. 9

Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat


Kombinasi penisilin atau ampisilin dengan aminoglikosida dapat juga digunakan
untuk terapi awal SAL. Pada beberapa rumah sakit, strain penyebab infeksi nosokomial
telah mengalami perubahan selama 20 tahun terakhir ini karena telah terjadi
peningkatan resistensi terhadap kanamisin, gentamisin, dan tobramisin. Oleh karena
itu, pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau amikasin. Amikasin
resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh sebagian besar enzim bakteri
yang diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat menginaktifkan aminoglikosida lain.

Page 13
Pada kasus risiko infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular), obat
anti stafilokokus yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan sebagai
terapi awal. Pada kasus endemik MRSA dipilih vankomisin. Pada kasus dengan risiko
infeksi Pseudomonas (terdapat lesi kulit tipikal) dapat diberikan piperasilin atau azlosilin
(golongan penisilin spektrum luas) atau sefoperazon dan seftazidim (sefalosporin
generasi ketiga). Secara in vitro, seftazidim lebih aktif terhadap Pseudomonas
dibandingkan sefoperazon atau piperasilin.
Di beberapa tempat, kombinasi sefalosporin generasi ketiga dengan penisilin
atau ampisilin, digunakan sebagai terapi awal pada SAD dan SAL. Keuntungan utama
menggunakan sefalosporin generasi ketiga adalah aktivitasnya yang sangat baik
terhadap bakteri-bakteri penyebab sepsis, termasuk bakteri yang resisten terhadap
aminoglikosida. Selain itu, sefalosporin generasi ketiga juga dapat menembus cairan
serebrospinal dengan sangat baik. Walaupun demikian, sefalosporin generasi ketiga
sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi awal sepsis karena tidak efektif terhadap
Listeria monocytogenes, dan penggunaannya secara berlebihan akan mempercepat
munculnya mikroorganisme yang resisten dibandingkan dengan pemberian
aminoglikosida.
Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin
(ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida. Sefalosporin generasi
ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau penisilin spektrum luas dapat
digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif.
Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten terhadap
antibiotik lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin. Enterokokus dapat
diobati dengan a cell-wall active agent (misal: penisilin, ampisilin, atau vankomisin) dan
aminoglikosida. Staphilococci sensitif terhadap antibiotik golongan penisilin resisten
penisilinase (misal: oksasiklin, nafsilin, dan metisilin). Pemberian antibiotik pada SAD
dan SAL di negara-negara berkembang tidak bisa meniru seperti yang dilakukan di
negara maju. Pemberian antibiotik hendaknya disesuaikan dengan pola kuman yang
ada pada masing-masing unit perawatan neonatus. Oleh karena itu, studi mikrobiologi
dan uji resistensi harus dilakukan secara rutin untuk memudahkan para dokter dalam
memilih antibiotik. 9

Page 14
Terapi suportif (adjuvant)
Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ atau
lebih yang disebut disfungsi multi organ, seperti gangguan fungsi respirasi, gangguan
kardiovaskular dengan manifestasi syok septik, gangguan hematologik seperti
koagulasi intravaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun. Pada keadaan
tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian oksigen, pemberian inotropik, dan
pemberian komponen darah.Terapi suportif ini dalam kepustakaan disebut terapi
adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan di kepustakaan antara lain pemberian
intravenous immunoglobulin (IVIG), pemberian transfusi dan komponen darah,
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), inhibitor
9
reseptor IL-1, transfusi tukar (TT) dan lain-lain.

Intravenous immune globulin (IVIG)


Pemberian intravenous immune globulin (IVIG) replacement telah diteliti
merupakan terapi yang memungkinkan untuk sepsis neonatorum. Upaya ini dilakukan
dengan harapan untuk memberikan antibodi spesifik yang berguna pada proses
opsonisasi dan fagositosis organisme bakteri dan juga untuk mengaktivasi komplemen
serta proses kemotaksis neutrofil pada neonatus. Manfaat pemberian IVIG sebagai
tatalaksana tambahan pada penderita sepsis neonatal masih bersifat kontroversi.
Boehme U et al melaporkan bahwa terdapat penurunan mortalitas bayi prematur secara
bermakna pada pemberian IVIG, sedangkan peneliti lain tidak memperlihatkan
perbedaan. Studi multisenter yang dilakukan oleh Weisman,dkk. melaporkan terdapat
penurunan mortalitas pasien pada 7 hari pertama tetapi kelangsungan hidup
selanjutnya tidak berbeda bermakna.
Pemberian IVIG terbukti memiliki keuntungan untuk mencegah kematian dan
kerusakan otak bila diberikan pada sepsis neonatorum awitan dini. Dosis yang
dianjurkan adalah 500-750mg/kgBB IVIG dosis tunggal.95 Pemberian IVIG terbukti
9
aman dan dapat menurunkan angka kematian sampai 45%.
Granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF)
Sistem granulopoetik pada bayi baru lahir khususnya bayi kurang bulan masih
belum berkembang dengan baik. Neutropenia sering ditemukan pada pasien sepsis

Page 15
neonatal dan keadaan ini terutama terjadi karena defisiensi G-CSF dan GM-CSF.
Padahal neonatus yang menderita sepsis dengan neutropenia memiliki angka
mortalitas lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengalami neutropenia. G-CSF
merupakan regulator fisiologis terhadap produksi dan fungsi neutrofil. Fungsinya adalah
untuk menstimulasi proliferasi prekursor neutrofil dan meningkatkan aktivitas
kemotaksis, fagositosis, memproduksi superoksida dan bakterisida. Berdasarkan fungsi
tersebut, G-CSF digunakan sebagai terapi adjuvant pada sepsis neonatorum.
Pemberian G-CSF secara langsung akan memperbanyak neutrofil di dalam sirkulasi
karena pembentukan dan pelepasan neutrofil dari sumsum tulang meningkat. Berbagai
studi telah membuktikan bahwa pemberian G-CSF walaupun dapat meningkatkan
konsentrasi neutrofil di dalam darah tepi maupun sumsum tulang dan dapat
menurunkan angka infeksi nosokomial secara bermakna, namun tidak memperlihatkan
perbaikan dalam angka kematian pasien.9

Tansfusi Tukar (TT)


Transfusi tukar pada tatalaksana sepsis neonatorum masih kontroversial,
sedangkan data EBM masih belum memuaskan beberapa pihak dengan berbagai
pertimbangan keuntungan dan kerugiannya. Angka keberhasilan masih hampir sama
antara yang dilakukan TT dengan yang tidak dilakukan.
Transfusi tukar adalah prosedur untuk menukarkan sel darah merah dan plasma
resipien dengan sel darah merah dan plasma donor.Tujuan TT pada sepsis adalah
untuk memutuskan rantai reaksi inflamasi sepsis dan memperbaiki keadaan umum
pasien. Dikatakan demikian karena berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah ada
telah menunjukkan kesimpulan bahwa TT dapat meningkatkan kadar IgG, IgA dan IgM
dalam waktu 12-24 jam; meningkatkan fungsi granulosit; meningkatkan aktivitas
opsonisasi antibodi dan fungsinya serta jumlah neutrofil; mengeluarkan endotoksin dan
mediator inflamasi; meningkatkan oxygen-carrying capacity darah; memperbaiki perfusi
jaringan; meningkatkan konsentrasi oksihemoglobin di otak; serta memperbaiki perfusi
perifer dan distres pernapasan. Darah yang digunakan untuk TT adalah darah lengkap.
Volume darah yang diperlukan untuk tindakan TT adalah 80-85 ml/kgBB untuk bayi
cukup bulan atau 100 ml/kgBB untuk bayi prematur dan ditambah lagi 75-100 ml untuk

Page 16
priming the tubing. Metode yang paling disukai untuk prosedur TT adalah isovolumetric
exchange, yaitu mengeluarkan dan memasukkan darah yang dilakukan bersama-sama
melalui kateter arteri umbilikalis (dipakai untuk mengeluarkan darah pasien) dan kateter
vena umbilikalis (dipakai untuk memasukkan darah donor). Kontra indikasi TT adalah
ketidakmampuan untuk memasang akses arteri atau vena dengan tepat, omphalitis,
omphalocele/gastroschisis, necrotizing enterocolitis, bleeding diathesis, infeksi pada
tempat tusukan serta kurang baiknya aliran pembuluh darah kolateral dari arteri ulnaris
atau arteri dorsalis pedis.
TT cukup efektif sebagai terapi alternatif pada sepsis neonatorum yang gagal
ditatalaksana secara konvensional. Penelitian meta-analisis mengenai penggunaan TT
memang masih ditunggu, namun beberapa data yang telah ada cukup menjanjikan dan
menunjukkan manfaat terapi ini pada bayi dengan neutropenia, sklerema, DIC dan
asidosis berat. 9

PENCEGAHAN

Pencegahan Sepsis Awitan Dini


Pencegahan sepsis neonatorum awitan dini dapat dilakukan dengan pemberian
antibiotik. Dengan pemberian ampisilin 1 gram intravena yang diberikan pada awal
persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi
awitan dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah
dini, serta menurunkan risiko infeksi SGB sampai 36%. Pada wanita dengan
korioamnionitis dapat diberikan ampisilin dan gentamisin, yang dapat menurunkan
angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi SGB sebesar 86%.
Sedangkan wanita dengan faktor risiko seperti korioamnionitis atau ketuban pecah dini
serta bayinya, sebaiknya diberikan ampisilin dan gentamisin intravena selama
persalinan. Antibiotik tersebut diberikan sebagai obat profilaksis. Bagi ibu yang pernah
mengalami alergi terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin. 9

Pencegahan Sepsis Awitan Lanjut


Pencegahan untuk sepsis neonatorum awitan lanjut yang berhubungan dengan infeksi
nosokomial antara lain :

Page 17
Pemantauan yang berkelanjutan

Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis dibandingkan
jumlah pasien

Bentuk ruang perawatan

Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai

Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan

Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral

Pemakaian kateter vena sentral yang minimal

Pemakaian antibiotik yang rasional

Program pendidikan
9
Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol.

Antibiotik Profilaksis
Terapi pencegahan atau antibiotik profilaksis pada bayi baru lahir tidak dilakukan
lagi. Pemberian antibiotik harus dibatasi serta memperhatikan faktor ibu dan bayi.
Antibiotik hanya boleh diberikan pada BBLR dengan berat <1250 Gram tanpa
memandang ke dua faktor tersebut.
Penelitian meta-analisis pada neonatus kurang bulan terhadap pemberian
antibiotik profilaksis diantaranya dari RCT yang dianalisis tampak adanya penurunan
insidens terjadinya sepsis dan sepsis akibat coagulase negative staphylococcal (CoNS)
pada neonatus yang mendapat profilaksis vankomisin. Didapatkan hasil lebih baik
dengan pemberian secara infus kontinyu. Namun, tidak ada bukti bahwa pemberian
profilaksis vankomisin dapat menurunkan angka mortalitas ataupun mempengaruhi
lama masa perawatan di NICU. Dari hasil analisis yang sama juga tidak menunjukkan
adanya gangguan pendengaran yang signifikan akibat efek samping ototoksisitas dari
vankomisin. Hingga saat ini belum ada bukti cukup untuk menunjang hipotesis adanya
peningkatan resistensi mikroba terhadap vankomisin. Selain mengetahui berat bayi,
perlu diketahui ada tidaknya riwayat infeksi intrauterin dengan menanyakan apakah ibu

Page 18
demam selama proses persalinan sampai tiga hari pasca persalinan atau ketuban
pecah dini 18 jam atau lebih sebelum bayi lahir. Setelah itu, antibiotik baru dapat
diberikan. 9

Kebersihan Tangan
Mencuci tangan adalah cara paling sederhana dan merupakan tindakan utama
yang penting dalam pengendalian infeksi nosokomial. Namun, kepatuhan dalam
pelaksanaannya sangat sulit oleh karena beberapa hal yaitu iritasi kulit, sarana tempat
dan peralatan cuci tangan yang kurang, pemakaian sarung tangan, terlalu sibuk, dan
juga tidak terpikir untuk melakukan cuci tangan. Adapun hal-hal yang perlu diketahui
dalam mencuci tangan adalah: 9
1. Mikroorganisme kulit

2. Tipe, tujuan dan metode mencuci tangan

3. Kepatuhan mencuci tangan

4. Jenis cairan dan lokasi tempat mencuci tangan

5. Kapan wajib mencuci tangan

6. Tujuh langkah mencuci tangan

7. Prosedur standar mencuci tangan rutin

Prosedur standar mencuci tangan rutin adalah sebagai berikut :


Gulung lengan baju hingga siku dan lepaskan semua perhiasan.
Sebelum masuk ruangan, cuci tangan secara seksama selama tiga menit dengan
larutan pencuci tangan antiseptik. Mulai dari tangan, bawah kuku dan bagian sisi jari.

Bilas dengan air mengalir.


Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air mengalir

Taruh cairan sabun/sabun antiseptik dibagian tangan yang telah basah

Buat busa secukupnya

Gosok kedua tangan termasuk kuku dan sela jari selama 10-15 detik

Page 19
Bilas kembali dengan air bersih

Tutup kran dengan siku

Keringkan tangan dengan tissue

Hindari menyentuh benda sekitarnya setelah mencuci tangan.

Kepatuhan para tenaga medis dalam mencuci tangan sangat rendah, namun ada
alternatif untuk mengatasi hal tersebut, antara lain dengan menggosok tangan (hand-
rubbing) dengan menggunakan cairan pembersih mengandung alkohol. Alternatif ini
cukup menjanjikan karena tidak sulit dikerjakan, sehingga tingkat kepatuhan para
tenaga medis bertambah dan dampak yang ditimbulkannya sama dengan mencuci
tangan dengan sabun antiseptik.Hand-rubbing dilakukan sesudah memegang satu bayi
dan sebelum memegang bayi lain, sedangkan pada saat awal masuk ke ruang
perawqtan cuci tangan sebaiknya cuci tangan dengan sabun antiseptik dan air
mengalir. Dengan diberlakukannya kebijakan mengenai cuci tangan, dapat
meningkatkan kepatuhan para tenaga medis. Penelitian Chelly Gunawan tentang
efektifitas Etil Alkohol Gliserin 69% Hand Rub, dengan uji acak buta, didapatkan hasil
yang tidak ada perbedaan bermakna pemakaian bahan tersebut dengan Alkohol Based
Handrub yang digunakan di Eropa. Hand Rub diletakkan disetiap tempat tidur bayi agar
memudahkan tenaga medis menggunakan dan mencegah penurunan kepatuhan dalam
penggunaannya. 9

KOMPLIKASI

Komplikasi sepsis neonatorum antara lain:


Meningitis

Neonatus dengan meningitis dapat menyebabkan terjadinya hidrosefalus dan/atau


leukomalasia periventrikular.

Pada sekitar 60 % keadaan syok septik akan menimbulkan komplikasi acute


respiratory distress syndrome (ARDS).

Page 20
Komplikasi yang berhubungan dengan penggunaan aminoglikosida, seperti ketulian
dan/atau toksisitas pada ginjal.

Komplikasi akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis mulai dari
gangguan perkembangan sampai dengan retardasi mental

Kematian

PROGNOSIS

Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi bila
tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan
meningkatkan angka kematian. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 24 kali lebih
tinggi pada bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada
sepsis awitan dini adalah 15 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 30 %) dan
pada sepsis awitan lambat adalah 10 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira kira 2
%).

Page 21
DAFTAR RUJUKAN

1. Asidosis Metabolik : Salah Satu Penyulit Diare Akut pada Anak yang Seharusnya
Dapat Dicegah. available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/731/1/08E00129.pdf
2. Renjatan hipovolemik pada anak. Available from :
http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-rf7ui3-pkb.pdf
3. Ensefalopati Iskemik Hipoksik Perinatal. Available from :
http://www.pediatrik.com/pkb/061022022401-qf2m135.pdf
4. Terapi Cairan dan Elektrolit pada Anak. Available from :
http://www.pediatrik.com/pkb/061022023336-xvm7143.pdf

Page 22

Anda mungkin juga menyukai