Anda di halaman 1dari 41

Minggu, 21 Maret 2010

SUARA HATIKU KE TUJUH

LUKA

Tatkala duniaku menghilangkan warna

Tak kenal siang ataupun malam

Kupilih bekas luka menemani sasa jasadku

Dibelakang bokong, ibu mengeloni

Tubuhku yang gersang. Ia mengelus sajak naluri

Hingga membasahi segenap jiwa

Helaan napasnya mencoba menghapus


Sebersit borok yang kutikam dari lubang

Penjara. Bersama ibu kuciptakana keanggunan

Jemari luka yang menganga hingga

Putih seputih kenanga

Bahkan ketika dunia enggan berwarna kembali

Segera kupeluk erat-erat susu ibu

Karna disinilah duniaku yang sebenarnya

HILANG

Terdampar diteluk waktu

Lembar demi lembar rambutku kering

Terkurung detak tak tentu

Wajahmu mengepal terseret hujan

Yang mendesah sore itu


Kutitipkan resah dan kupaketkan

Sebungkus doa saat hilir sungai

Membenarkan jeritmu

Melambai-lambai di perut azrail

Dadaku makin sesak ketika

Sayatan arus mengirim kado

Tubuhkmu koyak lambung hujan

SEBUAH AKHIR

Maret pernah kulewati

April kuharap akan berkesan

Tapi disini di pondok semegah purnama

Tangis terlanjur berlumur darah


Semuanya diam. Semuanya tak kuasa menjawab

Seberapa hasta sudah jarak antara

Tangis dan airmata. Yang kuingat aku masih

Disana menunggu mei penuh bara

Ya, bara yang mampu mengupas teka-teki

Samakah airmata dengan luas samudra?

JUST THE WAY YOU ARE

Biarlah mertua membuang hubungan kita, dira

Toh mereka akan paham juga

Jangan kau mencintai matahari sementara

Sinarnya tak bisa menafkahi

Hitunglah denyut sanubariku, disana setan


Diruntuhkan musa. Pergilah ke dasar ombak

Patilah kau temukan kesetian kelapa menunggu

Buih tiba. Dan dengarkan salamnya

elie..eli..lammasabakhtani

SAKIT

Embun sisa isak tangisnya lagukan gersang

Di malam pekat sehitam jelaga

Malaikat mengajaknya terbang tinggalkan

Dunia menuju padang nurani, ia manggut-manggut

Dalam kericuhan peradapan

Di dasar telaga ia meneteskan larva

Sesekali menisankan sedihnya di makam

Para dewa. Ia pujangga dilahirkan cacat


Khusus mengutarakan rasa sakit

Dibawalah sebaris nama dari kubur yang usang

Sakitnya makin menjadi-jadi kala hatinya

Diceritakan kembali di sebuah tv swasta

TAKUT

Kekacauan terbayang di bibirmu

Memecahkan dermaga dan kampung halaman

Kesunyian terus menyeka diantara

Rindu yang mengalirkan magma

Siapa yang mau menerima

Rindu segosong itu?

Malam basah
Darah mengucur dari lobang pelacuran

Seorang lelaki tua sering mengulas-ngulas piano

Dibawah pinggang diatas lututmu

Kini rindumu tak membekas sepotong apapun

Di bumi kerontang surau-surau menjelma neraka

Sedang genangan bebatuan

Gumpalan timah

Menanti dirimu memyempurnakan

Pintu-pintu kejadian

SEMBILU

Kucoba seberangi surat-suratmu dengan tabah

Pada kalender yang muram dan gundah

Kulubangi angka-angkanya atas nama cinta


Kubaca isyarat gelisah meski gagu

Kuberikan mimpi yang terencana

Tanggal 24 juni kan kubangun istana

Dari kerinduhan melati

Di puncak menaranya kupancangkan surga

Untuk anak-anakku nanti

Ingat, kita akan segera menikah, diajeng!

Memang sabar kutunggu kalender menuangkan

Sprite dan fantasia

Setiap kali kupahat namamu pada kaca

Garis patah-patah melengkung dan

Menyindir tangan kiriku

Begitu berat kurajuk bening busanamu

Kubujuk bersemayam dalam lingkaran


Langit hijau. Disitulah ingin kusempurnakan

Wujud anak-anakku dalam kamar rembulan

Dalam pengantin suci

Kulihat engkau masih emoh di kursi rias

Mencabik-cabik dekorasi sembari membayangkan

Senyap malam datang dengan sebilah

Belati cap mawar

TUHAN LAGI SENDIRI

Jika aku hengkang kelak

Jangan kalian menata gelisah

Karangan bunga. Rawatlah komputer

Buku-buku, dispenser dan rak baju jangan

Sampai mati
Isyarat yang kuterima dari daun senja

Penaku bergerak ke segala cara

Menabur jala dimana tuhan biasa bersahaja

Wajahnya bergayut dibilik mata

Memantapkan dogma airmata yang

Dicipta sembunyi-sembunyi

Di atap-atap etalase, masjid dan gereja runtuh

Kuhangatkan cuaca dengan bergurau ditepi matahari

Dan di ruang-ruang gelap kutatap mata tuhan yang

Lagi sendiri

TERTAHAN DISINI

-gagal ke UIN bandung-


Tinggal aku termangu di depan urat jambu

Bulu-bulunya lamat-lamat menguning

Aku ingin melenjutkan kerja

Membantu kakek nenek mengungkap

Masa depan bahwa usia menggigil di kalender tua

Telpon gugur di atas batu nisan bertahta pahlawan

Bulan rebah, hujan pun memetik harpa kesabaran

Aku hanyalah angka yang tertanam di kabelkabel telpon

Bersemayam di candi-candi kehidupan

Setelah kalender melepas angka-angkanya

Aku akan sempurna membuang rindu

Ke pundak cakrawala
KAPAN

- alastogo -

Sampai kapan kita berdiam di dekat

Pusara disimpang jalan kota

Tangkai-tangkai kematian tergusur

Buldoser. Bangunan-bangunan sentral

Makin menggelar musik-musik angkasa

Sindroma pertikaian laris disegel peluru

Jarang kubuka akta tanah karna

Seribu senapan menodong tiap jarum jam melangkah

Sebuah miniatur istana yang kubangun

Dari rumbia dan kepadatan peluh sekilat mata

Kembali berubah puing-puing nasi dibelukaran sampah

Kapan
Dapat kupancangkan menara eifel

Di dinding desa ini. Biar seragam tentara

Gelisah menembaknya

SHOLEH

Akhirnya kumenemukanmu

Mengoret permukaan bumi

Dengan silet dan mata nurani

Kau buru doa ke liang lahat

Mantra-mantra mengkilap

Serupa komet di tahun kiamat

KYAI FUADIN

Sudah semestinya keberangkatanmu


Meruntuhkan pendakian menuju alam jabalut

Aku bagai mendung kehilangan samudera

Apa yang sejatinya aku dapatkan

Engkau telah memiliki kepercayaan langit

Untuk memburu karuniaNya

Gendonglah darahku menuju muaraNya

Disini pegunungan atau di gua pajuddan kulihat

Bintik-bintik pelangi

Kau bawa sorban dari surga katanya

Hanya kau yang punya

Kyai lelapkan sudutku

Ditulip mahsyarnya

SAJAK NASEHAT
Jangan main jalanan becek

Nanti namamu tercemar

Jangan saling menjauh diri

Karena kita menggenggam sholat

Yang nyuruh bersahabat

Diposkan oleh JOKO RABSODI, S.PdI. di 08.46 Tidak ada komentar:

Jumat, 19 Maret 2010


SUARA HATIKU KE ENAM

KAMAR

Sepetak ruang menyembunyikan ladang

Percintaan, tempat lahir sajak-sajakku

Yang mulai kemerah-merahan

Kusentuh pipinya, sepanjang kata

Menetaskan sebutir pilu


Neon Philip tembangkan kemesraan

Mimpiku tertindih

Diujung waktu kulihat kematianku

Membubung tinggi membawa

Teriakan dzikir, menjeritkan

Kedamaian tak kunjung henti

Inilah kasurku, tempat nenek moyang

Menitip letih. Huruf-hurufnya bertautan

Menggoreng dinding

Tapi dimana ia menyimpan peluhku

Yang hampir sekarat itu?

SEBELUM TIDUR

Sebelum tidur adalah detak yang sama


Seperti detakku terpenggal syair-syair

Kian menyentak rindu padamu

Kutitipkan salam dalam diamku

Sayatan wajahmu mendesah dari denyut

Hidupku malam itu

Masih merajut dihatiku

Rindu diam-diam. Walau petang kadang

Mengubur sukmaku

Genap sudah keresahanku

Ismail selamat dari golok ibrahim

CERITA DI SUATU KAMAR

Sejenak melepas lelah kutemui seribu langkah


Seikat rambut melayang mengotori mataku

Tentang gaun pengantinmu yang

Tertinggal di bak mandi

Betapa sumringah

Kau mengajak boneka bicara, pelan-pelan

Dalam ruang segelap itu kau

Mengancam riak air yang terbakar

Aroma sabun

Dari luar jendela

Setangkai kalimat menghujam

Ke pori-pori lampu; Diana, Diana keluar!

KENANGAN

Pada sekuntum mawar yang mekar


Air laut yang bergelombang

Tercatat

Wajahmu

Memar

MALAM

Setiap tiba malammu selalu hampa

Sebaris angan-angan datang

Mengutuk tidurmu yang gram

Sunyi adalah telingamu

Sepi menjadi matamu

Kerinduan yang kau genggam

Memaksa jangkrik, ular, serangga

Melakukan onani sebab


Ditanah sejernih ini perempuan

Tiada lagi ovum

FAJAR

Selamat datang diajeng

Kita mau tunangan. Telah kupersiapkan

Fajar sebagai saksi paling bisu

Rahasiakan pertemuan ini

Bukankah surat-suratku lebih dari cukup

Untuk dibingkiskan dimenja pelamin

Kadang aku bingung

Bagaimana melengkapi tubuhmu

Dengan sajak-sajakku, padahal sering

Kukatakan padamu bahwa tintaku


Selalu habis dihisab bayang-bayangmu

Di lorong-lorong kosong

Kubunuh seekor nyamuk

Yang menghianati fajar

Dihari istimewaku

CAHAYA

Andai engkau mengerti ngantukku

Pasti kau gunting-gunting cahaya menjadi

Bantal guling

Sepotong mimpi gerah setelah

Membaca jejak ronda kemaren malam

Kucincang serat-serat kelam dengan


Bakso, miegorengsedap, telurkampung

Rasa aman pun mengintip di perut kembung

Tanpa diduga, biji-biji dengkur

Yang didalamnya mengalir sungai-sungai

Ditendang gaung lonceng

RINDU

Dalam rindu terkubur pohon

Daun-daunnya menggantung

Menyangkutkan butir-butir air

Terperosok asmara

Dalam rindu terdapat

Ludah penyair. Hingga rinai

Pesisir penuh syair


MASIH ADA CINTA

Masih ada cinta

Wangi semerbak merah semangka

Masih ada cinta

Menjalar laksamana serbuk bianglala

Masih ada cinta

Membeku di sudut saku kemeja

Aku ingin mencintaimu

Dengan lebih sederhana seperti

Kumbang mengeja putik-putik awan

Aku ingin menunggumu

Dengan seksama seperti pedro

Menggelar proklamasi cinta= alice, alice


KUCARI-CARI

Kucari dimana sebenarnya marah biasa bersembunyi

Kucari dimana sebenarnya kearifan bisa tegak berdiri

Kucari dimana manusia memendam rasa hati

Kucari dimana kebencian senantiasa menuai basabasi

Kucari dimana seutas senyum mengulas mimpi

Kucari dimana cemberut memahat patah hati

Diposkan oleh JOKO RABSODI, S.PdI. di 08.38 Tidak ada komentar:

Kamis, 18 Maret 2010


SUARA HATIKU KE LIMA

KETIKA CINTA BERSHALAWAT

Selamanya ingin kusaksikan embun pagi


Bergerak melepaskan butiran-butiran rindu

Yang telah selesai kususun lewat mimpi

Andai saja tuhan membongkar jasadku

Pastinya hanya serpihan doa yang tak henti-henti

Bertasbih; Semoga cinta kita kekal abadi

Denies, adakah yang tahu kenangan kita malam itu

Begitu melekat di garis-garis jendela kamarku

Kadang menangis kadang tertawa memikirkan

Hubungan kita yang selaras dengan cuaca

Shalawat cinta yang kau tempelkan dimataku

Menjadi irama mawar berduri

Setiap shubuh tiba, bunga-bunga itu mengalir

Lewat Handphone Nokia 1200 blue

Perjalanan sunyi yang kutempuh


Taklagi membawa gelisah, karena cintamu mengasinkan

Muara airmata

Tataplah sisa bintang yang ada, didalamnya dapat kau susuri

Novel-novel tua yang sempat menulis cerita cinta

Sungguh seribu tahun penantianku tengah akrab

Dengan rindumu yang penuh matematika-fisika

MAAFKAN AKU BILA TAK MAMPU

Assalamualaikum, ucapmu menembus daun jantungku

Betapa kaget kuterima salam seolah gugur dari kangenmu

Siang itu. Aku tak percaya napasmu berkobar diantara

Kemarau dan perih luka yang kau cipta sendiri

Sajak-sajakku saja tak mampu bernyanyi

Melihat timah yang pecah didasar hati

Apalagi ranting-ranting nyeri yang kau timbun


Belum terbakar dalam kata-katamu sendiri

Maafkan aku, bila tak sudi menjawab ayat-ayat

Yang kau nyalakan dalam prosamu;

Aku berusaha bersabar bahkan dipojok tikungan itu

Maut dan badai mendekap jantungku dalam-dalam

Pergilah! Tak perlu kau cari sungai yang menusuk hatiku

Biarlah ia berlabuh sampai ke negeri nuh nun jauh

KISAH KASIH BULAN DESEMBER

Kasih yang kuberikan jangan kau harapkan lagi

Cobalah mengerti lupakan aku yang telah menyeret

Impianmu keatas cakrawala

Percakapan kita yang selalu menggelora


Tak perlu kau hanyutkan ke tengah lautan

Cukup kau tinggalkan dipadang gersang

Ia akan mati bersama hijau rerumputan

Kasih yang kuberikan jangan kau harapkan

Sebentar lagi kita akan menikungi kesunyian

Kesunyian yang takkan mencium keningmu

Dengan sepotong airmata

Desember yang mempertemukan kita

Telah menampung perjumpaan

Yang direncanakan. Tapi desember yang kita

Banggakan itu juga memerahkan luka dipangkal dada

MENGAPA KAU PILIH MENIKAH LAGI

-kado iqbal untuk ibunya-


Mamak, mengapa kau pilih menikah lagi

Bukankah sumpahmu pada kembang setaman

Akan membangun sorga dari tetangis anak-anakmu

--yang tengah putus asa disamping keranda

Dimanakah angan-angan itu kau simpan

Ketika dingin menyelimuti

Bau napsumu

Mamak, lihat aku dan saudaraku yang lain

Tampak lesu dan kecewa mencari pelukanmu

Barangkali harapan ini terlalu kering

Ketika dewi Aphrodite meniup seruling cinta

Bagi perempuan-perempuan janda

Mamak, sanggupkah bila kelak kusenandungkan

Kinanti yang mengasah kebencian dan kau

Akan menonton aku dan anakmu yang lain ini


Menari kejang sebab stres dan kehilangan urat nadi

Masih maukah kau berteka-teki dengan musim dan gerhana, mak?

Yang mengajarimu beribu makna hidup dan kehidupan

Sementara nuranimu harus tidak sehati lagi

DONGENG SEBELUM TIDUR

Ingin hati menggores rembulan dengan sebilah belati

Direnggut dari lobang jiwamu

Agar nanti kala rindu menyergap bisa kupandangi komet

Yang mensketsa bibirmu

Bila kau datang larut dan tak tepat waktu

Dapat kutanyakan pada bulan : kau masih ada dimana?

AKU DALAM PELUKAN SOREMU


Keraguan memboikot jalan setapak

Menuju rumahmu. Kucoba membunuh was-was

Ditiap langkah supaya dapat kunikmati

Lulur bahasamu yang mengalun indah

Mudah-mudahan rindu yang kita miliki sama-sama

Menggeliat dipuncak gairah

Kuharap ketakutan, kebekuan yang menggiring

Tergilas tuturkatamu. Heran, kenapa kakiku

Suntuk memijat pertemuan ini. Padahal jauh hari

Aku terperangkap dalam lidahmu

Ahk, benar dugaanku. Selalu ada yang menggoda

Kala sebait tembang manis kau lagukan;

Peluk aku erat-erat, mas

Biar sirna segala keraguan


Biar cair segenap ketakutan

BACKSTREET

Kupandangi gemuruh laut kutulis matahari

Dalam gigil ombak yang membawa kita

Pada kerinduan yang tak pernah berhenti

Percakapan kita terus mengalir

Bersama perahu Nuh yang kita tumpangi

Di pusar laut kau hanya diam sambil memandangi langit

Kesunyian matahari yang kutulis kelelahan

Memahami mantra-mantra sore yang kau rapal

Ini bukan hidup kita, inong! sudah terlampau lelah

Jantung kita mengusik persembunyian


Kecemasan ini kerap berlarian diantara kanal-kanal kapal

Dan pintu kamar yang kian memucat

Kemana lagi kita akan mengirim gairah cinta

Suara-suara tak ramah bergulir seiring isyaratmu:

Kita akan menepi waktu tanpa akhir

Inong, dinding jalan ini takkan tamat dilalui

Kebahagiaan takkan kita temukan kecuali menyisakan

Kata-kata percakapan yang lusuh mencium amis lautan

Ayolah kembali! Sebelum buku-buku riwayat yang

Mengatas namakan kita terbakar dalam kalender

Sudilah kiranya kau dan aku mengeluarkan kekecewaan

Yang hanyut di dasar hati bapak-ibu kita masing-masing

SURAT UNTUK SAHABAT

Deasy ( di pantai )
Jangan serahkan senyummu dijilat embun pagi ini

Riwayatmu bagai mawar yang melafazkan

Rahasia malam, tentang gemuruh desamu

Yang meluruhkan badai dan ikan-ikan

Nyata-nyata membawa gelombang keharibaanmu

ketika ayah-ibu-kakakmu

Mengirim jerit ke dasar matamu

Engkaukah itu, berlabuh melepaskan layar dan mawar

Kemudian catatan kitabmu angslup jadi uang di dasar lautan

Holilah ( di gunung )

Ingatkah kau akan purnama ditelaga itu

Membaringkan langit merah di detak jantungmu


Kaupun meraba mimpi dari pecahan sinar

Lambaian senyummu seperti merpati

Terbang dan diam dalam jiwa samadi

Nurul Istianah ( di pesantren )

Ada desir sujud merendam di dahimu

Memasang keheningan adzan dan takbiratul ihram

Kau basahi sajadah dengan dedaunan ayat yang kau

Seka dari sungai sukmamu,

Yuni Hidayati (di kota )

kuharap kau datang tidak dengan luka menganga

atau membawa hari-hari yang letih


meski kota tempat menghela napas

membayar puncak kegetiranmu hanya sekian rupiah

jangan kau menangis! meski aku senang melihat

airmatamu

Fitrialia Ferliani ( di hati )

Entah kapan untuk pertama kalinya kuraih bibirmu

Padahal keinginanku untuk mengecup mulutmu

Telah lama aku buang

Mungkin disebuah stasiun sebelum kerinduan kau bakar

Diatas rel kereta, atau mungkin di dalam loket

--sekedar mengekalkan kenangan, ucapmu

KETIKA CINTA BERWARNA AIRMATA

Kupeluk airmataku saat azrail tengah

Mencatat ajalmu hari selasa yang lalu


Padahal di batinmu telah kuciptakan musim

Bahwa kita akan menikah disebuah taman

-- Dan kujemput hatimu dengan sejuta berlian

Mengendaplah dalam dadaku, fitrih

Tumbuh dan berkembanglah dari jiwaku

Yang gersang. Meski cuaca terombang ambing

Takkan pernah bisa menghapus arcamu dari ingatan

Mengeraslah dalam otakku, kelak kuabadikan

Raut wajahmu dari airmata ini. Kenanglah! akan kutasbihkan

Usiaku demi mengeja sisa-sisa pelukanmu

Sebab kutahu, batu nisan itu masih membaut

Cintamu. Melompat-lompat hingga menusuk

Jantungku
GERIMIS; SAAT KAU UCAPKAN CINTA

Untuk menemuimu, telah kupersiapkan berlipat-lipat rindu.

Entah mengapa kebetulan kita bertemu

Di senja yang basah. Di bawah neon 5 watt kau bingkai

Seutas kata yang pernah diucapkan Magdalena

Di luar gerimis belum selesai

Sahabatmu yang ada disamping jendela

Ikut tertahan bersama percintaan kita

Waktu itu sedang kubayangkan warna puntingmu

Berbau asam dan kecoklatan seperti tanah

Yang kehilangan kewanitaannya pada malam itu

Tanpa sengaja, kurangkai aroma bunga

Di pelipis bibirmu. Ceritamu tentang masa sma

Terhenti ketika kutemukan adonan rindu menggebu


Dari lidahmu. Kemudian napasmu bartender pada masa lalu

Masa yang dicelupkan Malcolm X

Pada perempuan-perempuan muda

Hujan melambai bersama iringan doa

Yang mulai kutancapkan ke dalam tubuhmu

Di tempat itu, kuyakin sebentar lagi

Akan ada anak-anak kecil memahat wajahnya sendiri

Tak kumengerti, mengapa cinta begitu gemetar dalam dekapanku

Sementara senyummu yang beraneka warna ternyata menawarkan

Bergelas-gelas gelisah yang harus diminum dengan hati terluka

BALADA TIGA ORANG PENGEMIS

Tiga pengemis tua menyeret sejuta nyanyian


Di langit-langit suaranya yang parau

Kusaksikan gerimis airmata bergelimpangan di trotoar

Tak ada sedikitpun yang menghiraukan

Hari-harinya adalah isak tangis yang membanjiri

Mall, bank, jembatan, perempatan jalan

Sungguh tak dapat kubayangkan

Kotaku kejam lebih kejam dari pembunuhan

Emak, aku ingin pulang membawa dukanya

Semalam keluh kesahnya lindap di dedaunan

Meruntuhkan gedung-gedung, jalan-jalan layang,

Rumah-rumah elite

Maafkan aku emak, bila tak mampu

Merejam mimpimu karena

Jakarta telah menyeretku dalam kelu abadi


Diposkan oleh JOKO RABSODI, S.PdI. di 14.19 Tidak ada komentar:
Posting Lama Beranda
Langganan: Entri (Atom)

KUMPULAN PUISI "SUARA HATIKU"


Mengenai Saya

JOKO RABSODI, S.PdI.


Koerin Agency Creative (koerin.ac@gmail.com)
Lihat profil lengkapku

Arsip Blog
2010 (7)

o Maret (7)

SUARA HATIKU KE TUJUH

SUARA HATIKU KE ENAM

SUARA HATIKU KE LIMA

SUARA HATIKU KE EMPAT

SUARA HATIKU KETIGA

SUARA HATIKU KEDUA

SUARA HATIKU PERTAMA

Pengikut

Anda mungkin juga menyukai