Anda di halaman 1dari 29

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Teori

2.1.1 Tinjauan tentang Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games

Tournament (TGT)

2.1.1.1; Unsur Dasar Pembelajaran Kooperatif

Bennet (1995) dalam (Isjoni, 2009) menyebutkan 5 unsur dasar

pembelajaran kooperatif, antara lain:

a; Positive Interdepedence

Isjoni (2009) menjelaskan bahwa:


Positive interdepedence, yaitu hubungan timbal balik yang didasari adanya
kepentingan yang sama atau perasaan diantara anggota kelompok dimana
keberhasilan seseorang merupakan keberhasilan yang lain pula atau
sebaliknya. Untuk menciptakan suasana tersebut, guru perlu merancang
struktur dan tugas-tugas kelompok yang memungkinkan setiap siswa untuk
belajar, mengevaluasi dirinya dan teman kelompoknya dalam penguasaan
dan kemampuan memahami bahan pelajaran. Kondisi seperti ini
memungkinkan setiap siswa merasa adanya ketergantungan secara positif
pada anggota kelompok lainnya dalam mempelajari dan menyelesaikan
tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya, yang mendorong setiap
anggota kelompok untuk bekerja sama.

b; Interaction Face to Face

Isjoni (2009) menjelaskan bahwa interaction face to face yaitu interaksi

yang langsung terjadi antar siswa tanpa adanya perantara. Selain itu, tidak terdapat

penonjolan kekuatan individu. Akan tetapi, yang ada hanyalah pola interaksi dan

perubahan yang bersifat verbal diantara siswa yang ditingkatkan oleh adanya

saling hubungan timbal balik yang bersifat positif sehingga dapat mempengaruhi

hasil pendidikan dan pengajaran.


2

Selain itu, Trianto (2012) mengatakan bahwa interaksi yang terjadi dalam

belajar kooperatif adalah berupa tukar-menukar ide mengenai masalah yang

sedang dipelajari bersama.

c; Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi pelajaran dalam anggota

kelompok.

Ratumanan (2002) dalam (Trianto, 2012) menyebutkan beberapa unsur

dasar yang perlu ditanamkan pada diri siswa agar pembelajaran kooperatif dapat

berjalan lebih efektif menurut Lungren. Salah satu unsur dasar tersebut adalah

para siswa memiliki tanggung jawab terhadap tiap siswa lain dalam

kelompoknya, di samping tanggung jawab terhadap diri sendiri, dalam

mempelajari materi yang dihadapi.

Trianto (2012:61) menyebutkan bahwa tanggung jawab individual dalam

belajar kelompok dapat berupa tanggung jawab siswa dalam hal: 1) membantu

siswa yang membutuhkan bantuan; dan 2) siswa tidak dapat hanya sekadar

membonceng pada hasil kerja teman jawab siswa dan teman sekelompok-nya.

d; Membutuhkan keluwesan.

Isjoni (2009) menjelaskan bahwa membutuhkan keluwesan yang

dimaksud disini adalah menciptakan hubungan antarpribadi, mengembangkan

kemampuan kelompok, dan memelihara hubungan kerja yang efektif.

Killen (1996) dalam (Trianto, 2012) mengatakan bahwa penekanan dari

kelompok belajar kooperatif tidak hanya pada penyelesaian tugas, akan tetapi juga

pada hubungan interpersonal (hubungan antarpribadi yang saling menghargai).

e; Meningkatkan keterampilan bekerjasama dalam memecahkan masalah (proses

kelompok).
3

Isjoni (2009) mengatakan bahwa tujuan yang paling penting dari

pembelajaran kooperatif adalah siswa belajar mengenai keterampilan

bekerjasama.

Trianto (2012) menjelaskan bahwa belajar kooperatif tidak akan

berlangsung tanpa proses kelompok. Proses kelompok terjadi jika anggota

kelompok mendiskusikan bagaimana mereka akan mencapai tujuan dengan baik

dan membuat hubungan kerja yang baik.

2.1.1.2; Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games

Tournament (TGT)

Teams Games Tournament (TGT) adalah salah satu tipe model

pembelajaran kooperatif yang menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok

belajar yang beranggotakan 4 sampai 5 orang siswa yang memiliki

kemampuan, jenis kelamin dan suku atau ras yang berbeda. Guru

mengenalkan materi pelajaran dan siswa bekerja dalam kelompok mereka

masing-masing. Untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah

menguasai pelajaran, maka seluruh siswa akan diberikan permainan akademik.

Adanya unsur permainan tersebut akan membuat siswa terlibat aktif, tidak

merasa bosan dan termotivasi untuk belajar (Purnamawati, 2014).

Berikut merupakan langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe TGT

(Slavin, 2009):

1; Penyajian kelas

Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas,

biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah, diskusi

yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas ini siswa harus benar-benar

memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru, karena akan


4

membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game

karena skor game akan menentukan skor kelompok.

2; Kelompok (team)

Kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa yang anggotanya

heterogen dilihat dari prestasi akademik, jenis kelamin dan ras. Fungsi kelompok

adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih

khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan

optimal pada saat game.

3; Permainan (game)

Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji

pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok.

Kebanyakan game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sederhana bernomor. Siswa

memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai dengan

nomor itu. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu akan mendapat skor. Skor

ini yang nantinya dikumpulkan siswa untuk turnamen mingguan.

4; Turnamen

Biasanya turnamen dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit

setelah guru melakukan presentasi kelas dan kelompok sudah mengerjakan lembar

kerja. Turnamen pertama guru membagi siswa ke dalam beberapa meja turnamen.

Tiga siswa tertinggi prestasinya dikelompokkan pada meja I, tiga siswa

selanjutnya pada meja II dan seterusnya.

5; Team recognize (penghargaan kelompok)


5

Guru kemudian mengumumkan kelompok yang menang, masing-masing

team akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi

kriteria yang ditentukan. Team mendapat julukan Super Team jika rata-rata skor

45 atau lebih, Great Team apabila rata-rata mencapai 40-45 dan Good Team

apabila rata-ratanya 30-40.

Dalam pembelajaran TGT, siswa membangun ketergantungan atau

kepercayaan dalam tim dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk merasa

percaya diri ketika bersaing dalam turnamen (Desstya, 2012). Menurut Fauzi

(2011), meskipun proses belajar secara berkelompok tetapi prestasi belajar yang

diukur merupakan prestasi belajar individu. Dengan model ini diharapkan siswa

akan terpacu untuk belajar dan tidak takut atau malas untuk mempelajari materi

yang disampaikan guru.

2.1.1.3; Hasil Penelitian Terdahulu mengenai Penggunaan Model Pembelajaran

Kooperatif Tipe Teams Games-Tournament (TGT)

Sani (2016) melaporkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif

tipe teams games tournament (TGT) dapat meningkatakan keaktifan siswa kelas

XI IPA 3 SMA Negeri 9 Semarang. Berdasarkan wawancara yang dilakukan

bersama siswa, siswa merasa kesulitan memahami materi sehingga berdampak

pada indikator keaktifan bagian menjawab soal dan memberi gagasan. Meskipun

di dalam komponen pembelajaran TGT terdapat penyajian materi oleh guru,

penyelesaian masalah oleh tim, game yang berfungsi utnuk menguji pemahaman

siswa terhadap materi, dan turnamen ternyata belum cukup efektif untuk membuat

siswa paham mengenai materi yang diajarkan. Waktu pembelajaran terkurangi


6

oleh pembentukan kelompok setelah guru menyajikan materi, sehingga ada waktu

yang terbuang. Namun, disisi lain pembelajaran TGT memberikan pengaruh besar

terhadap keaktifan siswa dibanding dengan pembelajaran sebelum menggunakan

TGT. Siswa terlihat antusias mengikuti pembelajaran terutama pada saat game dan

tournament.

2.1.2; Tinjauan tentang Model Pembelajaran Konvensional

2.1.3.1 Definisi Model Pembelajaran

Sahidu (2016) menjelaskan bahwa model pembelajaran dapat diartikan

sebagai pola yang digunakan untuk menyusun kurikulum, mengatur materi, dan

memberi petunjuk kepada guru di dalam kelas. Selain itu, model pembelajaran

dapat pula diartikan sebagai pola yang digunakan dalam merencanakan pem-

belajaran di dalam kelas maupun tutorial. Jadi, model pembelajaran dapat di-

definisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis

dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pem-

belajaran.

2.1.2.2; Definisi Model Pembelajaran Konvensional

Menurut Marnoko (2011), model pembelajaran konvensional merupakan

model pembelajaran yang biasa digunakan oleh guru dalam mengajar. Selain itu,

beliau juga mengatakan bahwa model pembelajaran konvensional ini sering di-

identikkan dengan model ceramah. Hal ini dikarenakan model pembelajaran

konvensional pada umumnya terdiri dari penjelasan materi (ceramah), tanya

jawab, dan pemberian tugas.


7

Menurut Roestiyah (1991) dalam (Moestofa dan Sondang, 2013),

pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru

dengan metode ceramah.

Sanjaya (2013) menyebutkan beberapa perbedaan antara model pembelajaran

konvensional dan model pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and

Learning). Berdasarkan pemaparan beliau tersebut, dapat mengetahui beberapa

karakteristik dari model pembelajaran konvensional. Beberapa karakteristik

tersebut antara lain: a) siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan

sebagai penerima informasi secara pasif; b) siswa lebih banyak belajar secara

individual dengan menerima, mencatat, dan menghapal materi pelajaran; c)

pembelajaran bersifat teoritis dan abstrak; d) kemampuan diperoleh melalui

latihan-latihan; e) tujuan akhir dari proses pembelajaran adalah nilai atau angka; f)

tindakan atau perilaku individu didasarkan oleh faktor dari luar dirinya, misalnya

individu tidak melakukan sesuatu disebabkan takut terhadap hukuman atau

sekadar untuk memperoleh angka atau nilai dari guru; g) pengetahuan yang

dimiliki setiap individu bersifat absolut dan final. Hal ini dikarenakan

pengetahuan tersebut dikonstruksi oleh orang lain; h) guru adalah penentu

jalannya proses pembelajaran; i) pembelajaran hanya terjadi di dalam kelas; dan j)

keberhasilan pembelajaran biasanya hanya diukur dari tes.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran

konvensional adalah model pembelajaran yang biasa digunakan oleh guru dalam

mengajar, yaitu dengan menggunakan metode ceramah.

2.1.2.3; Tahap-Tahap dalam Model Pembelajaran Konvensional


8

Moestofa dan Sondang (2013) menyebutkan tahap-tahap dalam model

pembelajaran konvensional antara lain:

a; Tahap Pembukaan

Pada tahap ini, guru mengondisikan siswa untuk memasuki suasana belajar

dengan menyampaikan salam dan tujuan pembelajaran.

b; Tahap Pengembangan

Tahap ini merupakan tahap dalam pelaksanaan proses belajar mengajar yang

diisi dengan penyampaian materi secara lisan dan didukung dengan pengguna-

an media. Hal lain yang perlu dilakukan dalam ceramah adalah mengatur

irama suara, kontak mata, gerakan tubuh, dan perpindahan posisi berdiri untuk

menghidupkan suasana pembelajaran.

c; Tahap Evaluasi

Guru mengevaluasi belajar siswa dengan membuat kesimpulan atau rangkum-

an materi pembelajaran dan pemberian tugas, serta diakhiri dengan

penyampaian terimakasih kepada siswa atas keseriusan mereka dalam pem-

belajaran.

2.1.2.4; Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Konvensional

Keunggulan dari model pembelajaran konvensional menurut Gintings

(2008) dalam (Moestofa dan Sondang, 2013) antara lain: a) dapat digunakan

untuk mengajar siswa dalam jumlah yang banyak secara bersamaan; b) tujuan

pembelajaran dapat didefinisikan dengan mudah; c) pengajaran dapat mengendali-

kan isi, arah, dan kecepatan pembelajaran; dan d) ceramah yang inspiratif dapat

menstimulasi siswa untuk belajar lebih lanjut secara mandiri.


9

Adapun kelemahan dari model pembelajaran konvensional menurut Gintings

(2008) dalam (Moestofa dan Sondang, 2013) antara lain: a) rumusan tujuan

instruksional yang sesuai hanya sampai pada tingkat comprehension; b) hanya

cocok untuk kemampuan kognitif; c) komunikasi cenderung satu arah; d)

bergantung pada kemampuan komunikasi verbal penyaji; dan e) ceramah yang

kurang inspiratif akan menurunkan antusias belajar.

2.1.2 Tinjauan tentang Metode Mind Map

2.1.2.1 Definisi Metode Pembejaran

Dalam pembelajaran diperlukan metode untuk menyampaikan informasi

kepada peserta didik. Fathurrahman Pupuh (2007) dalam Hamruni (2012)

menyatakan bahwa metode secara harfiah berarti cara. Dalam pemakaian yang

umum, metode diartikan sebagai suatu cara atau prosedur yang dipakai untuk

mencapai tujuan tertentu. Kaitannya dengan pembelajaran, metode didefinisikan

sebagai cara-cara menyajikan bahan pelajaran pada peserta didik untuk

tercapainya tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

2.1.2.5; Metode Mind Map (Peta Pikiran)

Peta pikiran (mind map) dikenalkan pertama kali oleh Tony Buzan dari

Inggris, seorang pakar pengembang otak, kreativitas, dan revolusi pendidikan

sejak awal tahun 1970-an (Windura, 2013). Menurut Buzan (2005), mind map

adalah cara mencatat yang kreatif, efektif, dan secara harfiah akan memetakan

pikiran-pikiran. Mind map memiliki struktur alami yang memancarkan pikiran

dari otak. Mind map menggunakan warna, garis lengkung, simbol, kata, dan

gambar yang sesuai dengan cara kerja otak. Dengan mind map, daftar informasi
10

yang panjang bisa dialihkan menjadi diagram warna-warni, sangat teratur, dan

mudah diingat yang bekerja selaras dengan cara kerja otak dalam melakukan

berbagai hal.

Menurut Putra dkk (2014), mind map atau pemetaan pikiran merupakan

suatu cara mencatat kreatif yang memetakan sebuah informasi dan digambarkan

ke dalam bentuk cabang-cabang pikiran dengan berbagai imajinasi kreatif dengan

perpaduan warna dan gambar yang mengoptimalkan kerja otak kanan dan otak

kiri yang bertujuan membuat materi pelajaran terpola secara visual dan grafis

yang akhirnya dapat membantu siswa merekam, memahami, memperkuat, dan

mengingat kembali informasi yang telah dipelajari.

Menurut Windura (2013), peta pikiran adalah sistem belajar dan berpikir

yang mencerminkan secara visual apa yang terjadi pada otak saat belajar dan

berpikir, menggunakan otak sesuai dengan cara kerja alaminya, dan mengeluarkan

seluruh potensi dan kapasitas otak penggunanya yang masih tersembunyi. Peta

pikiran berbentuk visual (gambar), sehingga mudah untuk dilihat, dibayangkan,

ditelusuri, dibagikan kepada orang lain, dipresentasikan, dan didiskusikan

bersama. Peta pikiran dapat diterapkan untuk semua kegiatan belajar dan berpikir.

Menurut Rati (2013), peta pikiran merupakan teknik visualisasi verbal ke

dalam gambar. Peta pikiran memadukan dan mengembangkan potensi kerja otak

yang terdapat di dalam diri seseorang. Menurut Windura (2013) ada tiga cara kerja

alami otak, yaitu: (1) bahasa alami otak adalah gambar atau visual; (2) otak

memiliki pancaran pikiran yang tidak terbatas; (3) otak bekerja dengan kedua

belah otak (otak kanan dan otak kiri). Peta pikiran bekerja sesuai dengan tiga cara
11

kerja alami otak tersebut. Peta pikiran adalah sebuah peta atau gambar dari

pikiran, bekerja atas dasar pancaran pikiran dan memungkinkan otak anak untuk

menggunakan kedua belah otak. Dengan menggunakan otak sesuai cara kerja

alaminya, maka belajar dan berpikir akan cepat, mudah dan menyenangkan.

Penggunaan peta pikiran dalam pembelajaran didasarkan pada teori belajar

Ausubel. Menurut Ausubel dalam Mulyana (2011), belajar dikatakan bermakna

bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur

kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu dapat

mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Berikut

ini adalah contoh peta pikiran tentang kekhasan atom karbon.

Gambar 2.1 Contoh Peta Pikiran


Menurut Windura (2013), cara membuat peta pikiran adalah sebagai

berikut:

a; Bahan yang diperlukan untuk membuat peta pikiran adalah:

1; Kertas putih polos dan bukan bergaris-garis ukuran A4/A3/folio,

2; Bolpen, pensil, atau spidol warna-warni, dan

3; Otak
12

b; Langkah-langkah untuk membuat peta pikiran adalah sebagai berikut:

1; Kertas diletakkan dan diposisikan dalam keadaan mendatar (landscape),

2; Tentukan topik apa yang ingin dibuat menjadi peta pikiran. Biasanya, topik

tersebut adalah topik utama atau topik bab pelajaran dalam kegiatan

meringkas materi pembelajaran,

3; Buatlah pusat peta pikiran di tengah-tengah kertas, berupa gambar pusat

peta pikiran. Gambar pusat peta pikiran ini sering disebut dengan central

image, karena letaknya tepat di tengah-tengah kertas dan harus berupa

gambar. Beri judul juga jika perlu diperjelas,

4; Buatlah cabang utama yang merupakan cabang yang memancar langsung

dari pusat peta pikiran. Cabang utama ini tugasnya untuk menyatukan dan

mengelompokkan informasi-informasi yang sejenis atau sama kepentingan-

nya. Gunakan warna yang berbeda untuk setiap cabang yang berbeda,

5; Informasi yang ditulis di atas cabang berupa 1 buah kata saja, yaitu berupa

kata kunci,

6; Kembangkan cabang utama dengan cabang-cabang lain berikutnya yang

berisi informasi-informasi yang berkaitan dengan cabang induknya.

Gunakan warna yang sama dengan warna cabang utamanya, dan

7; Gambar harus selalu ditambahkan untuk memperkuat informasi atau

membantu kretivitas berfikir.

Menurut Buzan (2005), mind map atau peta pikiran dapat membantu dalam

menyelesaikan masalah dan memusatkan perhatian. Menurut Windura (2013),

peta pikiran memberikan banyak manfaat bagi anak dan siswa dalam belajar,

berpikir maupun merencanakan kegiatannya sehari-hari. Anak dan siswa dapat

menggunakan peta pikiran untuk mencatat, meringkas, mengarang, berpikir


13

analisis, berpikir kreatif, merencanakan jadwal, menguraikan artikel bacaan,

menguraikan soal cerita matematika atau sains, dan lain-lain.

Menurut Silaban dan Napitupulu (2012), dalam dunia pembelajaran peta

pikiran mempunyai beberapa keunggulan yaitu:

a; Ide permasalahan didefinisikan dengan sangat jelas,

b; Membuat kita lebih mampu berkonsentrasi pada permasalahan yang sedang

kita hadapi,

c; Pada saat bersamaan kita dapat melihat gambaran keseluruhan permasalahan

(overview) sekaligus detail permasalahan (inview),

d; Ada hubungan antar informasi yang jelas sehingga setiap informasi terasosiasi

satu dengan lainnya,

e; Ada hierarki antar informasi, mana yang lebih penting dan mana yang sifatnya

hanya detail,

f; Unsur-unsur informasinya berupa kata kunci (keyword) yang sifatnya bebas

dan fleksibel sehingga memungkinkan daya asosiasi kita berkembang secara

terus-menerus, serta

g; Unik sehingga membantu memperkuat daya ingat kita.

2.1.2.6; Hasil Penelitian Terdahulu mengenai Penggunaan Mind Map (Peta

Pikiran)

Silaban dan Napitupulu (2012) melaporkan bahwa hasil penelitian

menunjukkan bahwa ada pengaruh media mind mapping terhadap kreativitas dan

hasil belajar kimia siswa pada pembelajaran advance organizer. Ada hubungan

antara kreativitas dengan hasil belajar kimia sebesar 0,363. Penelitian ini

menunjukkan bahwa pembelajaran advance organizer mind mapping (kelas

eksperimen1) memberikan hasil belajar yang lebih baik dibandingan dengan


14

pembelajaran advance organizer tanpa mind mapping (kelas eksperimen 2).

Tingginya hasil belajar ini dipengaruhi oleh penggunaan mind mapping yang

membantu daya ingat siswa dalam menyimpan informasi pelajaran dan

pengorganisasian advance organizer yang membantu siswa lebih memahami dan

mengkaitkan pelajaran sebelumnya sehingga belajar lebih bermakna. Sedangkan

menurut Pratikno dan Syarief (2014) dalam penelitiannya diperoleh bahwa

ketuntasan hasil belajar siswa secara klasikal setelah mengikuti pembelajaran

yang menggunakan strategi mind mapping sebesar 90%.

2.1.3; Tinjauan tentang Prestasi Belajar

2.1.4.1; Definisi Belajar

Belajar merupakan kegiatan yang tidak hanya dilakukan oleh siswa di dalam

kelas, tetapi dapat juga dilakukan oleh setiap orang di mana saja dan kapan saja.

Belajar memiliki definisi yang cukup beragam. Menurut Cronbach dalam

Supriyanto (2012), learning is shown by a change in behavior as a result of

experience. (Belajar adalah perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman).

Sedangkan Spears dalam Supriyanto (2012) menyatakan bahwa learning is to

observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, and to follow

direction. (Belajar adalah mengamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu,

mendengar, dan mengikuti arahan tertentu).

Menurut Roziqin dalam Kosasih dan Sumarna (2013) belajar adalah sebuah

proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh sebuah perubahan tingkah

laku yang menetap, baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati

secara langsung, yang terjadi sebagai suatu hasil latihan atau pengalaman dalam

interaksinya dengan lingkungan. Sedangkan Kosasih dan Sumarna (2013)


15

menyatakan bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang untuk

memperoleh pengetahuan dan keterampilan melalui proses latihan dan interaksi

dengan lingkungannya dalam upaya melakukan perubahan dalam dirinya secara

menyeluruh baik berupa pengalaman, sikap, dan perilaku. Hamalik (2010)

menjelaskan bahwa pengalaman adalah sumber pengetahuan dan keterampilan,

bersifat pendidikan, yang merupakan satu kesatuan di sekitar tujuan murid,

bersifat kontinu dan interaktif serta membentuk integrasi murid. Djamarah (2012)

menegaskan bahwa pengalaman inilah nantinya yang akan membentuk pribadi

individu ke arah kedewasaan.

Dari teori-teori yang telah dijabarkan di atas, dapat disimpulkan bahwa

belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang dialami

seseorang/individu melalui interaksi dengan lingkungan sehingga ia memperoleh

pengetahuan, pengalaman, keterampilan maupun sikap, dan penyesuaian diri

dengan lingkungannya.

2.1.4.2; Prestasi Belajar

Belajar dan prestasi belajar merupakan hubungan sebab akibat yang

memiliki hubungan positif antara satu dengan yang lainnya. Artinya, semakin

tinggi kualitas dan kuantitas belajar seseorang maka prestasi yang ia capai akan

semakin tinggi pula dan sebaliknya, semakin rendah kualitas dan kuantitas belajar

seseorang, maka prestasi yang ia capai juga semakin rendah. Sehingga pengertian

belajar dan prestasi belajar sangat sulit dipisahkan, karena setiap perbuatan belajar

akan menghasilkan prestasi belajar.

Menurut Djamarah dan Aswan (2006), prestasi belajar adalah hasil yang

diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu

sebagai hasil dari aktivitas dalam belajar. Suprijono (2011) menjelaskan bahwa
16

hasil belajar yang dimaksud berupa pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-

pengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan keterampilan. Hal ini sesuai dengan

pemikiran Gagne dalam Suprijono (2011), hasil belajar berupa informasi verbal,

keterampilan intelektual, strategi kognitif, keterampilan motorik, dan sikap.

Sedangkan menurut Bloom dalam Suprijono (2011), hasil belajar mencakup

kemampuan kognitif, motorik, dan psikomotor. Sehingga Suprijono (2011)

menyimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan

bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja. Artinya hasil

pembelajaran yang dikategorisasi oleh para pakar pendidikan sebagaimana

tersebut di atas tidak dilihat secara fragmentasi atau terpisah, melainkan

komprehensif.

Prestasi pada dasarnya adalah hasil yang diperoleh dari suatu aktivitas.

Sedangkan belajar pada dasarnya adalah suatu proses yang mengakibatkan

perubahan tingkah laku. Dengan demikian dapat disimpulkan prestasi belajar

adalah hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan

dalam individu sebagai hasil dari aktivitas dalam belajar (Djamarah, 2012).

Prestasi belajar tidak hanya berguna bagi guru untuk mengetahui berhasil

atau tidaknya proses pembelajaran yang telah dilakukan, tetapi juga diperlukan

oleh siswa untuk melihat berhasil atau tidaknya siswa belajar yang secara

langsung dapat menjadi motivasi untuk siswa itu sendiri dalam mencapai prestasi

belajar yang lebih baik.

2.1.4.3; Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Dalam belajar, ada faktor-faktror yang berpengaruh terhadap belajar. Faktor

yang mempengaruhi belajar banyak jenisnya, tetapi dapat digolongkan menjadi

dua golongan yaitu faktor intern dan faktor ekstern (Slameto, 2010)
17

1; Faktor Intern

Faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang

belajar.

a; Faktor Jasmaniah

1; Faktor Kesehatan

2; Cacat Tubuh

b; Faktor Psikologis

Ada tujuh faktor yang tergolong dalam faktor psikologis yang

mempengaruhi belajar yaitu inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif,

kematangan, dan kesiapan.

c; Faktor Kelelahan

2; Faktor ekstern

Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap belajar dapat dikelompokkan

menjadi 3 faktor, yaitu:

1; Faktor Keluarga

Siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa:

cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah

tangga, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar

belakang kebudayaan.

2; Faktor Sekolah

Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar ini mencakup metode

mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa,
18

disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan

gedung, metode belajar, dan tugas rumah.

3; Faktor Masyarakat

Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengaruh

terhadap belajar siswa seperti kegiatan siswa dalam masyarakat, mass

media, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat.

2.1.5; Tinjauan tentang Hidrolisis Garam

2.1.5.1; Teori Hidrolisis Garam

Hidrolisis berasal dari kata hydro artinya air dan lisis artinya penguraian.

Jadi hidrolisis adalah reaksi penguraian dalam air. Hidrolisis garam adalah reaksi

penguraian garam dalam air membentuk ion positif dan ion negatif. Ion-ion

tersebut akan bereaksi dengan air membentuk asam (H3O+) dan basa (OH-)

asalnya. Reaksi hidrolisis berlawanan dengan reaksi penggaraman atau reaksi

penetralan. Reaksi penggaraman yaitu reaksi antara asam dengan basa yang

menghasilkan garam. Garam yang dihasilkan tidak selalu bersifat netral, tetapi

tergantung kekuatan asam dan basa pembentuk garam tersebut (Dyah, 2015).

Larutan garam yang terhidrolisis dapat menunjukkan ciri-ciri tertentu, misal

mampu mengubah warna kertas lakmus. Perubahan warna kertas lakmus ini

menunjukkan sifat asam-basa suatu larutan garam (Dyah, 2015).

2.1.5.2; Jenis Garam dan Reaksi Hidrolisis

Di dalam air, garam akan terionisasi dan apabila ion garam bereaksi dengan

air maka akan terjadi hidrolisis. Beberapa kemungkinan reaksi hidrolisis yang

dapat terjadi adalah (Sudarmo, 2014):


19

a; Ion garam bereaksi dengan air dan menghasilkan ion H +, menyebabkan

konsentrasi ion H+ lebih besar daripada konsentrasi ion OH - sehingga larutan

bersifat asam.

b; Ion garam bereaksi dengan air dan menghasilkan ion OH -, menyebabkan

konsentrasi ion H+ lebih kecil daripada konsentrasi ion OH -, sehingga larutan

bersifat basa.

c; Ion garam tidak bereaksi dengan air sehingga konsentrasi ion H + dan ion OH-

di dalam air tidak berubah dan larutan bersifat netral.

Berdasarkan asam dan basa pembentuknya, jenis garam dibedakan menjadi

empat sebagai berikut (Sudarmo, 2014) :

a; Garam yang Terbentuk dari Asam Lemah dan Basa Kuat

Garam yang berasal dari asam lemah dan basa kuat jika dilarutkan dalam

air akan menghasilkan anion yang berasal dari asam lemah. Anion tersebut

bereaksi dengan air menghasilkan ion OH - yang menyebabkan larutan bersifat

basa.

Contoh :

CH3COONa(aq) CH3COO-(aq) + Na+(aq)

Ion CH3COO- bereaksi dengan air membentuk reaksi kesetimbangan :

CH3COO-(aq) + H2O(l) CH3COOH(aq) + OH-(aq)

Adanya ion OH- yang dihasilkan dalam reaksi tersebut mengakibatkan

konsentrasi ion H+ di dalam air lebih sedikit daripada konsentrasi ion OH -

sehingga larutan bersifat basa. Dari dua ion yang dihasilkan oleh garam

tersebut, hanya ion CH3COO- yang mengalami hidrolisis, sedangkan ion Na+

tidak bereaksi dengan air. Jika dianggap bereaksi, maka NaOH yang terbentuk

akan segera terionisasi menghasilkan ion Na+ kembali. Hidrolisis ini disebut

hidrolisis sebagian (hidrolisis parsial) sebab hanya sebagian ion (ion


20

CH3COO-) yang mengalami reaksi hidrolisis. Jadi, garam yang berasal dari

asam lemah dan basa kuat akan terhidrolisis sebagian (parsial) dan bersifat

basa.

b; Garam yang Terbentuk dari Asam Kuat dan Basa Lemah

Garam yang berasal dari asam kuat dan basa lemah jika dilarutkan dalam

air akan menghasilkan kation yang berasal dari basa lemah. Kation tersebut

bereaksi dengan air dan menghasilkan ion H + yang menyebabkan larutan

bersifat asam.

Contoh :

NH4Cl(aq) NH4+(aq) + Cl-(aq)

Ion NH4+ bereaksi dengan air membentuk reaksi kesetimbangan:

NH4+(aq) + H2O(l) NH4OH(aq) + H+(aq)

Adanya ion H+ yang dihasilkan dari reaksi tersebut mengakibatkan

konsentrasi ion H+ di dalam air lebih banyak daripada konsentrasi ion OH-

sehingga larutan bersifat asam. Dari kedua ion yang dihasilkan oleh garam

tersebut hanya ion NH4+ yang mengalami hidrolisis, sedangkan ion Cl - tidak

bereaksi dengan air. Jika dianggap bereaksi, maka HCl yang terbentuk akan

segera terionisasi menghasilkan ion Cl- kembali. Hidrolisis ini juga disebut

hidrolisis sebagian (hidrolisis parsial). Sebab hanya sebagian ion yang

mengalami reaksi hidrolisis. Jadi, garam yang berasal dari asam kuat dan basa

lemah akan terhidrolisis sebagian (parsial) dan bersifat asam.

c; Garam yang Terbentuk dari Asam Lemah dan Basa Lemah

Garam yang berasal dari asam lemah dan basa lemah di dalam air akan

terionisasi, dan kedua ion garam tersebut bereaksi dengan air.

Contoh :

NH4CN(aq) NH4+(aq) + CN-(aq)


21

Ion NH4+ bereaksi dengan air membentuk reaksi kesetimbangan :

NH4+(aq) + H2O(l) NH4OH(aq) + H+(aq)

Ion CN- berekasi dengan air membentuk reaksi kesetimbangan :

CN-(aq) + H2O(l) HCN(aq) + OH-(aq)

Oleh karena dari kedua ion garam tersebut masing-masing menghasilkan

ion H+ dan ion OH-, maka sifat larutan garam ini ditentukan oleh nilai tetapan

kesetimbangan dari kedua reaksi tersebut. Hidrolisis garam yang berasal dari

asam lemah dan basa lemah merupakan hidrolisis total. Sebab kedua ion garam

mengalami reaksi hidrolisis dengan air. Sifat larutan ditentukan oleh nilai

tetapan kesetimbangan dari kedua reaksi tersebut. Jika Ka > Kb, maka larutan

akan bersifata asam, dan jika Ka < Kb maka larutan akan bersifat basa.

d; Garam yang terbentuk dari asam kuat dan basa kuat

Ion-ion yang dihasilkan dari ionisasi garam yang berasal dari asam kuat

dan basa kuat tidak ada yang bereaksi dengan air, sebab jika dianggap bereaksi

maka akan segera terionisasi kembali secara sempurna membentuk ion-ion

semula.

Contoh :

NaCl(aq) Na+(aq) + Cl-(aq)

Ion Na+ dan Cl- di dalam larutan tidak mengalami reaksi dengan air,

sebab jika dianggap bereaksi dengan air, maka ion Na+ akan menghasilkan

NaOH yang akan segera terionisasi kembali menjai ion Na +. Hal ini disebabkan

NaOH merupakan basa kuat yang terionisasi sempurna. Demikian pula jika ion

Cl- dianggap bereaksi dengan air, maka HCl yang terbentuk akan segera

terionisasi sempurna menjadi ion Cl- kembali. Hal ini disebabkan HCl

merupakan asam kuat yang akan terionisasi sempurna. Kesimpulannya, garam

yang berasal dari asam kuat daan basa kuat tidak terhidrolisis. Oleh karena itu,
22

konsentrasi ion H+ dan OH- dalam air tidak terganggu, sehingga larutan bersifat

netral.

2.1.5.3; Nilai Tetapan Hidrolisis (Kh) dan pH Larutan Garam

a; Garam dari Asam Lemah dan Basa Kuat

Garam jenis ini yang terhidrolisis hanya anion dari asam lemahnya.

Reaksinya sebagai berikut :

A- + H2O HA + OH-

Tetapan hidrolisis (Kh) dituliskan sebagai berikut.


OH


Kh = A

[ HA ]

+
H

H
Jika dikalikan dengan , didapatkan rumus sebagai berikut.
+




23


OH

+
H


A

+
H


Kh = A

+
H


OH

+
H



[ HA ]

Kw
Sehingga Kh =
Ka

K w [ HA ] [ OH ]
=
Ka [A ]

Jika [HA] = [OH-] berlaku rumus berikut.

K w [ OH ]
=
Ka [A ]

2 Kw
[ OH ] = [A]
Ka

dengan : Kw = tetapan ionisasi air (10-14)

Ka = tetapan ionisasi asam HA

[A-] = konsentrasi ion garam yang terhidrolisis


24

b; Garam yang berasal dari Asam Kuat dan Basa Lemah

Dengan cara yang sama untuk larutan garam Bx yang berasal dari asam

kuat HX dan basa lemah BOH, maka terdapat reaksi-reaksi:

BX(aq) B+(aq) + X-(aq)

Dan ion B+ akan mengalami reaksi hidrolisis :

B+(aq) + H2O(l) BOH(aq) + H+(aq)

Dengan cara yang sama akan diperoleh nilai tetapan hidrolisis:

1
Kh = x Kw
Kb

Dan karena bersifat asam maka dapat ditentukan nilai konsentrasi ion H+:

+
B
[H+] = Kw

Kb

dengan : Kw = tetapan ionisasi air (10-14)

Kb = tetapan ionisasi basa BOH

[B+] = Konsentrasi ion garam yang terhidrolisis

c; Garam yang Berasal dari Asam Lemah dan Basa Lemah

Garam yang berasal dari asam lemah dan basa lemah terhidrolisis total.

Misalnya garam MZ yang berasal dari basa lemah MOH dan asam lemah HZ.

Reaksi hidrolisis
+ yang terjadi adalah:
M
M+(aq) + Z-(aq) + H2O(l) MOH(aq) + HZ(aq)

Kh = Z

[ MOH ] [HZ ]

25

+
H


OH

Jika dikalikan dengan + akan diperoleh :
H


OH



+
M


OH

+
H
Kh = [OH-]


Z

+

H


[ MOH ]

Kw
Kh =
K b x Ka

Dan jika disubstitusikan, maka diperoleh persamaan untuk menentukan

konsentrasi ion H+ dalam larutan :

[H+] =
Ka x K w
Kb

Dari rumusan di atas maka nilai pH larutan garam yang berasal dari asam

lemah dan basa lemah tidak tergantung pada konsentrasi ion-ion garam dalam

larutan tetapi tergantung pada nilai Ka dan Kb dari asam dan basa

pembentuknya.
26

a; Jika Ka = Kb maka larutan akan bersifat netral (pH = 7)

b; Jika Ka > Kb maka larutan akan bersifat asam (pH < 7)

c; Jika Ka < Kb maka larutan akan bersifat basa (pH > 7)

2.2 Kerangka Berpikir

Dalam proses pembelajaran, metode pembelajaran yang digunakan

didominasi dengan kegiatan ceramah oleh guru sedangkan kegiatan siswa

didominasi dengan kegiatan mencatat, menjawab pertanyaan dari guru jika guru

bertanya, mendengar penjelasan dari guru dan bertanya jika ada yang tidak

dimengerti. Siswa masih ditempatkan sebagai objek, bukan sebagai subjek dalam

proses pembelajaran. Pembelajaran konvensional yang seringkali digunakan

dalam penyampaian materi kimia ini, kurang menarik perhatian siswa sehingga

menimbulkan kebosanan, kejenuhan dan siswa kurang termotivasi dalam

menerima pelajaran terutama dalam mata pelajaran kimia yang dianggap sulit oleh

sebagian besar siswa.

Guru khususnya guru kimia harus mempunyai strategi dan dituntut untuk

lebih kreatif dalam melakukan pembelajaran di kelas. Salah satu cara yang dapat

digunakan oleh guru adalah dengan menerapkan dan mengembangkan model-

model pembelajaran dan teknik pembelajaran yang inovatif dan bersifat

menyenangkan sehingga dapat memotivasi siswa dalam proses pembelajaran.

Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk meningkatkan

prestasi belajar siswa di kelas yaitu model pembelajaran kooperatif tipe Teams

Games Tournament (TGT).


27

Model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT)

adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menempatkan siswa dalam

kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan 4 sampai 5 orang siswa yang

memiliki kemampuan, jenis kelamin, dan suku atau ras yang berbeda. Model

pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) dapat melibatkan

siswa untuk belajar secara kooperatif dengan kelompok mereka sehingga dapat

melatih kerja sama siswa dalam memecahkan masalah serta dapat menguji dan

menambah pemahaman siswa melalui tournament atau game akademik diakhir

pembelajaran. Dalam game akademik ini, siswa berusaha menyumbangkan skor

sebanyak-banyaknya bagi kelompok mereka masing-masing agar dapat

memenangkan turnamen. Dengan demikian dituntut tanggung jawab tiap-tiap

anggota kelompok pada saat permainan sehingga sebelum dimulainya permainan

siswa termotivasi untuk belajar dan berusaha memahami materi yang disampaikan

oleh guru.

Untuk memudahkan dirinya memahami dan mengingat konsep yang telah

dipelajari, siswa biasanya mencatat di buku pelajaran. Selama ini siswa membuat

catatan yang berbentuk kalimat-kalimat yang disusun secara linier ke bawah atau

biasa disebut linier note. Linier note kurang efektif jika digunakan dalam belajar.

Agar siswa mudah mengingat dan memahami materi pembelajaran, siswa

sebaiknya ditugaskan untuk membuat ringkasan materi pembelajaran dalam

bentuk peta pikiran. Peta pikiran sangat cocok diterapkan pada mata pelajaran

kimia, mengingat siswa menganggap bahwa kimia merupakan mata pelajaran

yang sulit dipahami.


28

Peta pikiran dapat mengoptimalkan kerja otak kanan dan otak kiri,

sehingga belajar dan berpikir akan menjadi cepat, mudah, dan menyenangkan.

Peta pikiran dapat membantu merekam, memperkuat, dan mengingat kembali

informasi yang telah dipelajari. Peta pikiran dapat mempermudah siswa untuk

memahami dan mengingat kembali materi pelajaran yang sudah dipelajarinya,

sehingga dapat berpengaruh positif terhadap prestasi belajar siswa.

Melalui kombinasi antara model pembelajaran TGT dan metode mind map,

sekiranya dapat menarik perhatian siswa di awal pembelajaran sehingga siswa

berusaha untuk memahami konsep-konsep materi yang disampaikan agar nantinya

permainan dapat berjalan dengan lancar dan berharap menjadi pemenang. Selain

itu dengan adanya simulasi permainan ini, dapat menciptakan suasana kelas yang

lebih rileks dan menyenangkan serta dapat meningkatkan interaksi siswa baik

dengan guru maupun dengan sesama siswa. Dengan demikian, penerapan model

pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) dan metode mind

map diharapkan dapat melatih keterampilan, keaktifan, kreatifitas, minat siswa

untuk belajar kimia, sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar kimia pada

siswa kelas XI IPA semester II di SMAN 1 Gunungsari.

2.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan kerangka berfikir di atas, dapat ditarik suatu

hipotesis dalam penelitian ini yaitu penerapan model pembelajaran kooperatif

tipe Teams Games Tournament (TGT) dan metode mind map (peta pikiran)

memberikan pengaruh yang positif dibandingkan dengan model pembelajaran


29

konvensional terhadap prestasi belajar kimia siswa kelas XI IPA semester II

SMAN 1 Gunungsari.

Anda mungkin juga menyukai