Anda di halaman 1dari 12

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Definisi
Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif,
merupakan penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang dapat menyerang setiap
orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan
kekebalan yang menurun. Disebut juga whooping cough oleh karena penyakit ini
ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri batuk yang bersifat spasmodic dan
paroksismal disertai nada yang meninggi, karena pasien berupaya keras menarik
nafas sehingga pada akhir batuk sering disertai bunnyi yang khas.
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada
anak, terutama di Negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.
000 kematian disertai pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak
diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi
maka mortilitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun.
Data yang diambil dari profil kesehatan Jawa Barat 1993, jumlah kasus
pertusis tahun 1990 adalah 4.970 kasus dengan CFR (case fatality rate) 0,20%,
menurun menjadi 2.752 kasus pada tahun 1991 dengan CFR 0%, kemudian
menurun lagi menjadi 1.379 kasus dengan CFR 0% pada tahun 1992.

1.2. Epidemiologi
Pertusis adalah penyakit yang paling menular yang dapat menimbulkan
attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Sampai saat ini manusia
merupakan stu-satunya tuan rumah. Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara
kontak langsung yang berasal dari droplet penderita selama batuk.
Pertusis adalah penyakit endemic. Di Amerika Serikat antara tahun 1932-
19899 telah terjadi 1.188 kali puncak epidemic pertusis. Penyebaran penyakit ini
terdapat diseluruh udara, dapat menyerang semua golongan umur, terbanyak
adalah umur dibawah 1 tahun. Makin muda usianya makin berbahaya
peenyakitnya, lebih sering menyerang anak perempuan dari pada anak laki-laki.
Di Amerika Serikat kurang lebih 35% kasus terjadi pada usia < 6 bulan, termasuk
bayi yang berumur 3 bulan. Kurang lebih 45% penyakit terjadi pada usia < 1
tahun dan 66% < 5 tahun. Kematian dan jumlah kasus yang dirawat tertinggi
terjadi pada usia 6 bulan pertama kehidupan.

1
1.3. Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis. Bordetella pertusis temasuk
kokobasilus, gram negative, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5-1 m dan diameter
0,2-0,3m, tidak bergerak, tidak berspora. B. Pertuisis dapat mati dengan
pemanasan pada suhu 500C selama setengah jam, tetapi bertahan pada suhu
rendah (0-100C).

1.4. Patogenesis
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernafasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernafasan, perlawanan terhadap
mekanisme pertahanan penjamu, kerusakan local, dan akhirnya timbul penyakit
sistemik.
Setelah terjadi perleketan Bordetella pertusis, kemudian ber-multiplikasi dan
menyabar ke seluruh permukaan epitel saluran pernafasan. Proses ini tidak infasif,
oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan
Bordetella pertusis, maka akan menghasikan toksin yang akan menyebabkan
penyakit yang kita kenal dengan whooping cough. Toksin terpenting yang dapat
menyebabkan penyakit disebut pertusis toksin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub
unit yaitu A dan B. toksin sub unit B selanjutnya berikatan dengan dengan
reseptor sel target, kemudian menghasilkan sub unit A yang aktiv pada daerah
aktivasi enzim membran sel.
Toksin adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis
protein di dalam membaran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk limfosit ( menjadi lemah dan mati),
meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta
adrenergic dan meningkatan aktivasi insulin, sehingga akan menurunkan
konsentrasi gula darah.
Tosin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan
limphoid peribronkial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia,
maka fugsi silia sebagai pembersih tergangggu, sehingga mudah terjadi infeksi
sekunder ( tersering oleh streptokokus pneumoniae, H. influenza dan
staphylococcus aoreus). Penumpukann mukos akan menimbulkan plug yang dapat
menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan
oleh gangguan pertukaran oksigen pada saat ventilasi dan timbulnya apneu pada
saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan

2
saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai
akibat anoksia.
Toksin dermonekrotik adalah heat labil sitoplasmik toksin menyebabkan
kontraksi otot polos pembuluh darah trakea sehingga menyebabkan iskemia dan
nekrosis trakea.

1.5. Gejala Klinis


Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalan klinis penyakit ini
dapat berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium kataralis (prodormal,
preparoksismal), stadium akut paroksismal (parosikmal, spasmodik), dan stadium
konvalesens. Manifestasi klinik tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status
imunisasi. Gejala pada anak yang berumur < 2 tahun yaitu, batuk paroksismal
( 100%), whoops (60-70%), emesis (66-80%), dispnea (70-80%) dan kejang (20-
25%). Pada anak lebih besar manifestasi klinik tersebut lebih ringann dan lama
sakit lebih pendek, kejang jarang pada anak > 2 tahun. Suhu jarang >38,5 oC pada
semua golongan umur. Penyakit yang disebabkan B. parrapertusis atau B.
Bronkiseptika lebih rringan dari pada B. pertusis dan juga lama sakit lebiih
pendek.
Stadium kataralis (1-2 minggu)
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran nafas atas yaitu timbulnya
rinoroe (pilek), dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva,
lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak terlalu tinggi. Pada stadium ini biasanya
diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar dibedakan dengan
common cold.
Selama stadium ini, sejumlah besar organisme tersebar dalam inti droplet
dan anak sangat infeksius, pada saat ini kuman paling mudah diisolasi.
Stadium paroksismal/ stadium spasmodik (2-4minggu)
Frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat pengulangan 5-10 kali
batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti usaha inspirasi masif yang mendadak dan
menimbulkan bunyi melengking (whoop). Udara yang dihisap melaui glotis yang
menyempit, pada anak yang lebih tua dan bayi yang lebih muda, serangan batuk
hebat dengan berbunyi whoop sering tidak terdengar. Selama serangan muka
memerah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, dan
distensi vena leher bahkan bisa terjadi petekie di wajah (terutama di konjungtiva

3
bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai muccos plug pada
saluran nafas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas
sehingga sering sekali menjadi tanda kecurigaan apakah anak menderita pertusis
walaupun tidak disertai bunyi whoop. Anak menjadi apatis dan berat badan
menurun. Batuk mudah dibangkitkan dengan stress emotional ( menangis, sedih,
gembira) dan aktivitas fisik.
Stadium konvalesen ( 1-2 minggu)
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah
dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk
biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3
minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal kembali.
Episode ini akan terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering
dihubungkan dengan infeksi saluran nafas bagian atas yang berulang.

1.5.1. Diagnosis
diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan fisik perlu ditanyakan adanya
riwayat kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu priode
paroksismal dan bunyi whoop yang jelas. Perlu juga dijelaskan mengenai riwayat
immunisasi. Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari
stadium pada saat pasien diperiksa. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan,
leukositosis 20.000-50.000/UI dengan limfositosis absolut khas pada akhir
stadium kataral dan pada stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak
menolong untuk diagnosis, oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada
infeksi lain. Isolasi Bordetella pertusis dari secret naso faring dipakai untuk
membuat diagnosis pertusis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%,
stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk
waktu berikutnnya. Serologi terhadap antibodi toksin pertusis. Tes serologi
berguna untuk stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada
individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan serum IgM,
IgG, IgA terhadap FHA dan PT, nilai serum IgM FHA dan PT menggambarkan
respon imun primer baik disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi.
IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk
mengetahui infeksi alami dan tampak setelah imunisasi pertusis. Pemeriksaan lain

4
yaitu foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis atau
empisema.

1.6. Diagnosis Banding


1. batuk spasmodic pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia
bacterial, sistik fibrosis, tuberculosis dan penyakit lain yang
menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan
bronkus. Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis
dan laboratorium. Benda asing juga dapat menyebabkan batuk
paroksismal, tetapi biasanya gejalanya mendadak dan dapat dibedakan
dengan pemeriksaan radiologik endoskopi.
2. innfeksi B. Parapertusis, B. Bronkiseptika, dan adenovirus dapat
menyerupai sindrom klinis B. Pertusis. Dapat dibedakan dengan isolasi
kuman penyebab.

1.7. Penatalaksanaan
pemberian antibiotik tidak memperpendek stadium paroksismal.
Eritromisin (50mg/KgBB/hari) atau ampisilin (100mg/KgBB/hari) dapat
mengeliminasi organisme dari nasofaring dalam 3-4 hari. Terapi suportif terutama
untuk menghindari faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi
dan nutrisi. Oksigen hendaknya diberikan pada keadaan distres pernafasan yang
akut dan kronik. Perlu pengisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia
dan disstress pernafasan. Betamasol dan salbutamol diduga untuk mencegah
obstruksi bronkus, mengurangi batuk paroksismal dan mengurangi lamanya
whoop. Berdasarkan penelitian Krantz setelah pemberian salbutamol, effeknya
tibak bermakna dibandingkan dengan plasebo. Eritromisin dapat mengeliminasi
pertusis bila diberikan pada pasien dengan stadium kataral sehingga
memperpendek priode penularan. Imunoglobulin pertusis telah diberikan pada
anak dibawah umur 2 tahun (1,25ml/24jam dalam 3-5dosis), penelitian
menunjukan tidak ditemukan adanya kegunaannya dan hal ini tidak
direkomendasikan.

1.8. Pencegahan
cara terbaik untuk mencegah penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak
laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis
dengan adanya pelaksanaan. program imunisasi.

5
1.9. prognosis
prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis yang
lebih baik. Pada bayi risiko kematian (0,5-1%) disebabkan enselopati. Pada
observasi jangka panjang, apneu atau kejang akan menyebabkan gangguan
intelektual dikemudian hari.

1.10. Penyulit
Penyulit utama terjadi pada sistem nafas dan saraf pusat. Pneumonia
merupakan penyulit yang paling sering dijumpai, menyebabkan 90% kamatian
paa anak <3% tahun. Pneumonia dapat diakibatkan oleh B. Pertusis, tetapi lebih
sering disebabkan oleh infeksi bakterial sekunder. Tuberkulosis laten dapat juga
menjadi aktiv. Atelektasis terjadi sekunder terhadap sumbatan mukus yang kental.
Aspirasi mukus atau muntah dapat meenyebebkan pneumonia. Panas tinggi
merupakan infeksi sekunder oleh bakteri. Natuk dengan tekanan tinggi dapat
menimbulkan ruptur alveoli, empisema interstisial/ subkutan dan pneumotoraks,
termasuk perdarahan subkonjungtiva.
Penyulit pada susunan saraf pusat yaitu kejang, koma, ensefalitiss,
hiponatremi sekunder terhadap SIADH (sindrom of innapropriate diuretik
hormon) juga dapat terjadi.

6
BAB II
ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien :
Nama :Z
Umur : 2 bulan
Jenis Kelamin : laki-laki
Suku Bangsa : Minang
Alamat : Kerinci

Alloanamnesa (diberikan oleh ibu kandung) :


Seorang anak laki-laki, umur 2 bulan dirawat di Bangsal Anak RSUP Dr.
M. Djamil Padang sejak tanggal 11 Februari 2009 dengan keluhan utama batuk
tak berhenti.
Keluhan Utama :
Batuk-batuk terus meneruss sejak 7 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
- batuk-batuk terus menerus sejak 7 hari yang lalu batuk berlangsung selama
lebih kurang 30-45 menit, sehingga muka tampak kemerahan sampai
kebiruan, sampai disertai keluarnya kencing dan berak. Diakhir batuk
terdengar bunyi melengking, batuk meningkat bila anak menangis.
- Demam 7 hari yang lalu selama 2 hari tidak tinggi, tidak menggigil, tidak
demam.
- Pilek sejak 3 hari yang lalu.
- Mual/muntah tidak ada.
- Sesak nafas tidak ada.
- Buang air kecil jumlah dan warna biasa.
- Buang air besar warna dan konsistensi biasa.
- Anak telah dirawat di RS. Meyjen HA Thalib Sei Penuh selama 4 hari dengan
diagnosa bronkopneumoni dan telah diberikan terapi IVFD D5%, cefotaxim,
deksametason, amroxol, pulv 3x1(paracetamol, prednison, efedrin, GG)

Riwayat Penyakit Dahulu :


Tidak pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga :
Keluarga pasien ada yang menderita Penyakit batukbatuk panjang.
Riwayat Kehamilan :

7
Selama hamil ibu tidak pernah menderita sakit berat, tidak mengkonsumsi
obatobatan, tidak pernah mendapat penyinaran. Kontrol teratur ke bidan 1x
sebulan, mendapat imunisasi TT 2x dan hamil cukup bulan.
Riwayat Kelahiran :
Lahir spontan di rumah sakit bersalin dipimpin oleh bidan, saat lahir langsung
menangis kuat dengan berat badan lahir dan panjang badan lupa.
Riwayat Makanan dan Minuman :
Sekarang: ASI dan susu formula
Riwayat Imunisasi
- Hanya mendapatkan imunisasi hepatitis B.
Kesan : imunisasi dasar tidak lengkap.
Riwayat Sosial Ekonomi
Anak pertama, ayah berpendidikan tamat SMP, pekerjaan wiraswasta,
penghasilan Rp. 1.000.000,- per bulan, ibu berpendidikan tamat SMK, pekerjaan
ibu rumah tangga.
Riwayat Perumahan dan Lingkungan
Rumah permanen, pekarangan sempit, WC dalam rumah, sumber air
minum mata air pegunungan, sampah dibuang ke bak sampah.
Kesan : sanitasi dan higiene kurang

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : sadar
Nadi : 137 x / menit
Nafas : 36 x / menit
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Suhu : 36,50C
Berat Badan : 4,5 kg
Panjang Badan : 61cm
Status gizi : BB/U: 83,3%, TB/U:109%, BB/TB :75%
Kesan : gizi kurang
Pemeriksaan Sistemik
- Kulit : teraba hangat
- Kepala : bentuk simetris, normosefal.
- Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor
dengan diameter 2 mm, refleks cahaya +/+ normal
- Telinga : tidak ditemukan kelainan
- Hidung : tidak ditemukan kelainan
- Mulut : mukosa bibir dan mulut basah
- Lidah : tidak hiperemis, tremor (+)
- Tonsil : T1-T1, hiperemis
- Gusi dan gigi : tidak ditemukan kelainan
- Faring : hiperemis
- Leher : JVP 5 -2 cmH2O, KGB tidak membesar, kaku kuduk (-)
- Thorax :

8
Paru Paru
Inspeksi : normochest, retraksi tidak ada
Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : bunyi jantung murni, irama teratur, bising (-)
- Abdomen :
Inspeksi : perut tidak membuncit
Palpasi : hepar teraba -, permukaan rata, pinggir tajam,
konsistensi kenyal, nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : tidak ditemukan kelainan
Alat kelamin luar : tidak ditemukan kelainan.
Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik.
Pemeriksaan Laboratorium
Darah :
Hb : 11,3 gr%
Leukosit: 8.800/mm3
Hitung jenis: tidak dilakukan.
Urin : dengan laboratorium sederhana.

Makroskopik: Mikroskopik: sedimen


Warna: kuning terang Epitel: +
Kejernihan: jernih Sel leukosit: -
Bau : tidak ada kelainan Sel eritrosit: +
Protein: + Sel mikroba:-
Bilirubin: -
Reeduksi:-

Feses :

Makroskopis : warna kuning, Mikroskopis :


Eritrosit:(-)
konsistensi lunak, lendir tidak ada,
Telur cacing :(-)
darah tidak ada. Leukosit:(-)
Amuba:(-)

Diagnosis kerja
Pertusis

9
Diagnosis banding
Bronkopneumoni
Bronkiektasis
Terapi :
Umum:
- O2 2 liter/ menit
- Codein 3x2mg
- Efedrin 0,8mg/kgBB/ hari dalam 4 dosis
- Salbutamol 3x 0,4mg
- ASI 8x30cc
Khusus:
- Eritromicin 4x50mg

Rencana Pemeriksaan
- ELISA
- Kultur sputum

FOLLOW UP
12 Februari 2009
A/ : gelisah, batuk-batuk masih ada, demam tidak ada, sesak nafas tidak ada, bisa
minum ASI,
PF/ : KU : sakit sedang Kesadaran : sadar Suhu : 370C
Nadi : 100 x / menit Nafas : 30 x / menit TD : 110/70 mmHg
Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
Ekstremitas : perfusi baik
Terapi :
Umum:
- O2 2 liter/ menit
- Codein 3x2mg
- Efedrin 0,8mg/kgBB/ hari dalam 4 dosis
- Salbutamol 3x 0,4mg
- ASI 8x30cc
khusus
- Eritromicin 4x50mg

10
BAB III
DISKUSI

Seorang anak laki-laki datang ke bangsal IKA RS Dr. M. Djamil Padana


dibawa keluarga dengan keluhan batuk-batuk yang terus-menerus. Batuk telah
berlangsung selama 7 hari. Ketika batuk Muka memerah hingga mengeluarkan air
mata, terdengar suara melengking di akhir batuk. 7 hari yang lalu pasien demam
dan pilek selama 2 hari. Keluarga menjelaskan dalam lenih kurng 2 minggu
terakhir pasien ada kontak dengan orang yang batuk-batuk.
Dari keluhan itu dilakukan pemeriksaan lengkap untuk mengetahui
etiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan. Meliputi pemeriksaan fisik, labor, dan
penunjang lainnya. Dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan klinin yang
berarti. Dari observasi umum tampak pasien batuk-batuk, melengking di akhir
batuk. Pasien tampak kelelahan dan tersengal-sengal karena batuk yang progresif.
Kami dapati pasien termasuk gizi kurang karena ratio BB/TB <90%.
Pemeriksaan labor belum didapatkan hasil yang akan membantu diagnosis.
Karena salah satu pemeriksaan darah rutin berupa hitung jenis belum bisa
dilakukan, hal ini terkendali akibat pengambilan sediaan darah yang tidak cukup.
Telah dilakukan pemeriksaan penunjang, yaitu rontsen foto toraks
anteroposterior, disini tidak juga ditemukan kelainan yang mendukung diagnosis.
Untuk Penatalaksanaan pasien ini, ada terapi umum/supportif, diantaranya:
memberikan oksigen 2liter untuk mengatasi hipoksia. Batuk yang progresif, kita
tekan dengan codein 3x2mg, kemudian sirkulasi jalan nafas kit perbaiki dengan
salbutamol 3x0,4mg. terapi khusus ditujukan untk mengeradikasi kuman. Disini
diberikan eritromisin 4x50mg.
Asupan gizi harus cukup karena pasien termasuk penderita gizi kurang.
Diberikan ASI 8x30cc.
Anjuran terapi berikutnya, mungkin bisa kita tambahkan mukolitik, karena
sputum sudah mulai membantu saturasi oksigen. Jika batuk masih belum
terkendali bisa ditambahkan luminal.
Pemeriksaan yang dibutuhkan, selanjutnya ialah hitung jenis limfosit. Bisa
juga dianjurkan untuk pemeriksaan serologi (ELISA) dan kultur sputum, untuk
lebih memastikan dianossis.

11
12

Anda mungkin juga menyukai