TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus grup
famili Togaviridae. Virus ini mempunyai ukuran diameter sebesar 30 nanometer terdiri dari
asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106 dan terdiri dari 4 serotipe, yakni
dengue (DEN) 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4. Keempat serotipe ditemukan di indonesia dengan
DEN 3 merupakan serotipe terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan
flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese Enchehphalitis dan West Nile virus. Virus yang
ditularkan pada manusia melalui gigtan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, pada
suhu 30 C memerlukan waktu 8-10 hari untuk menyelesaikan masa inkubasi ekstrinsik dari
lambung sampai kelenjar ludah nyamuk tersebut. Sebelum demam muncul pada penderita
virus ini sudah dulu berada dalam darah 1-2 hari. Selanjutnya penderita berada dalam
kondisi viremia selama 4-7 hari (Suhendro, 2007) (Hairani, Lila Kesuma. 2009).
5
atau dengue fever (DF) merupakan manifestasi klinis yang ringan, sedang DBD atau dengue
hemorrhagic fever / dengue shock syndrome (DHF/DSS) merupakan manifestasi klinik yang
berat. Penelitian patogenesis sampai sekarang merupakan penelitian yang sangat menantang.
Hal itu disebabkan teori patogenesis yang bermunculan belum mampu menerangkan secara
tuntas fenomena klinik yang terjadi ( Indrawan, 2001; Kristina, dkk, 2005).
Menurut sejarah perkembangan patogenesis DBD dalam kurun waktu hampir
seratus tahun ini, dapat dibagi dua teori patogenesis, yaitu : pertama virus dengue mempunyai
sifat tertentu, dan yang kedua pada manusia yang terinfeksi mengalami suatu proses
imunologi yang berakibat kebocoran plasma, perdarahan, dan pelbagai manifestasi klinik.
Dapat pula kemungkinan patogenesis campuran dari kedua mekanisme tersebut (Indrawan,
2001; Kristina, dkk, 2005).
2.3 Epidemiologi DBD
Menurut Word Health Organization (1995) populasi di dunia diperkirakan berisiko
terhadap penyakit DBD mencapai 2,5-3 miliar terutama yang tinggal di daerah perkotaan di
negara tropis dan subtropis. Saat ini juga diperkirakan ada 50 juta infeksi dengue yang terjadi
diseluruh dunia setiap tahun. Diperkirakan untuk Asia Tenggara terdapat 100 juta kasus
demam dengue (DD) dan 500.000 kasus DHF yang memerlukan perawatan di rumah sakit,
dan 90% penderitanya adalah anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun dan jumlah
kematian oleh penyakit DHF mencapai 5% dengan perkiraan 25.000 kematian setiap
tahunnya (WHO, 2012).
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah
penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga 2009,
WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia
Tenggara dan tertiggi nomor dua di dunia setelah Thailand (Depkes, 2010).
WHO memperkirakan sebanyak 2,5 sampai 3 milyar penduduk dunia berisiko
terinfeksi virus dengue dan setiap tahunnya terdapat 50-100 juta penduduk dunia terinfeksi
virus dengue, 500 ribu diantaranya membutuhkan perawatan intensif di fasilitas pelayanan
kesehatan. Setiap tahun dilaporkan sebanyak 21.000 anak meninggal karena DBD atau setiap
20 menit terdapat satu orang anak yang meninggal (Depkes RI, 2008).
Jumlah kasus DBD di Asia Tenggara bervariasi hingga tahun 2006 terjadi 188.684
kasus.Sejak tahun 2003, jumlah kasus DBD semakin meningkat meskipun angka kematian
dapat ditekan di bawah 1%.Infeksi DBD berada di semua negara di Asia Tenggara.Hingga
tahun 2003, Thailand merupakan Negara dengan jumlah infeksi DBD terbanyak.Namun,
sejak tahun 2004, posisi itu ditempati Indonesia hingga saat ini (Hadinegoro,2004).
6
Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis,
terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia. Virus dengue dilaporkan
telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk
padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan
India (Depkes, 2010).
7
Dari tabel 2.1 tampak siklus epidemik terjadi setiap sembilan-sepuluh tahunan, hal ini
terjadi kemungkinan karena adanya perubahan iklim yang berpengaruh terhadap kehidupan
vektor, di luar faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Menurut Mc Michael (2006),
perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, kelembaban, arah udara
sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan
terutama terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes, malaria dan
lainnya. Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam
kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta faktor pertambahan jumlah penduduk
dan faktor peningkatan mobilitas penduduk yang sejalan dengan semakin membaiknya sarana
transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin luas (Depkes,
2010).
Gambar 2.1 Angka Insiden DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun 2009
Berdasarkan gambar di atas, terjadi tren yang terus meningkat dari tahun 1968 sampai
tahun 2009. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan
kasus termasuk lemahnya upaya program pengendalian DBD, sehingga upaya program
pengendalian DBD perlu lebih mendapat perhatian terutama pada tingkat kabupaten/kota dan
Puskesmas (Depkes, 2010).
8
Gambar 2.2 Angka Insiden DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun 2009
Pada tahun 2009 tampak provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan AI DBD
tertinggi (313 kasus per 100.000 penduduk), sedangkan Nusa Tenggara Timur merupakan
provinsi dengan AI DBD terendah (8 kasus per 100.000 penduduk). Terdapat 11 (33%)
provinsi termasuk dalam daerah risiko tinggi (AI > 55 kasus per 100.000 penduduk), lihat
Gambar 2 (Depkes, 2010).
Gambar 2.3 Lima provinsi tertinggi Angka Insiden DBD per 100.000 Penduduk di
Indonesia Tahun 2005-2009
9
Dalam lima tahun terakhir (2005-2009) 5 provinsi dengan AI tertinggi dapat dilihat
pada Gambar 3 dan Gambar 4. Provinsi DKI dan Kalimantan Timur selalu berada dalam 5
provinsi AI tertinggi dengan DKI Jakarta selalu menduduki AI yang paling tinggi setiap
tahunnya. Hal ini terjadi karena pengaruh kepadatan penduduk, mobilitas penduduk yang
tinggi dan sarana transportasi yang lebih baik dibanding daerah lain, sehingga penyebaran
virus menjadi lebih mudah dan lebih luas. Berbeda dengan Kaltim yang penduduknya tidak
terlalu padat, menurut SUPAS 2005 kepadatan penduduk Kalimantan Timur hanya 12
orang/km2 (DKI Jakarta 13.344 orang/km2). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya
kejadian DBD di Kalimantan Timur, kemungkinan adalah karena curah hujan yang tinggi
sepanjang tahun dan adanya lingkungan biologi yang menyebabkan nyamuk lebih mudah
berkembang biak (Depkes, 2010).
Gambar 2.4 Persentase Kasus DBD Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 1993 2009
Kasus DBD perkelompok umur dari tahun 1993 - 2009 terjadi pergeseran. Dari tahun
1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar kasus DBD adalah kelompok umur <15
tahun, tahun 1999 - 2009 kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok
umur >=15 tahun. Melihat data ini kemungkinan penularan tidak hanya di rumah tetapi di
sekolah atau di tempat kerja. Sehingga gerakan PSN perlu juga digalakkan di sekolah dan di
tempat kerja. Tampak telah terjadi perubahan pola penyakit DBD, dimana dahulu DBD
adalah penyakit pada anak-anak dibawah 15 tahun, saat ini telah menyerang seluruh
kelompok umur, bahkan lebih banyak pada usia produktif. Perlu diteliti lebih lanjut hal
mempengaruhinya, apakah karena virus yang semakin virulen (ganas) atau karena pengaruh
lain (Depkes, 2010).
10
Gambar 2.5 Persentase Kasus DBD Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2008
Bila dilihat, distribusi kasus berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2008, persentase
penderita laki-laki dan perempuan hampir sama. Jumlah penderita berjenis kelamin laki-laki
adalah 10.463 orang (53,78%) dan perempuan berjumlah 8.991 orang (46,23%). Hal ini
menggambarkan bahwa risiko terkena DBD untuk laki-laki dan perempuan hampir sama,
tidak tergantung jenis kelamin. Persentase penderita DBD per jenis kelamin pada tahun 2008
dapat dilihat pada Gambar 6 (Depkes, 2010).
Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap infektif sepanjang
hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat menggigit dan
menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus de-ngueakan menuju organ
sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpaticus, sumsum tulang
serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan, sel monosit dan makrofag mempunyai
peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel
dengan bantuan organel sel dan membentuk komponen perantara dan komponen struktur
11
virus.Setelah komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini
menimbulkan reaksi immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada
cross protective terhadap serotipe virus lainnya (Indrawan, 2001).
Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan DSS yang
masih kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan
antibodydependent enhancement (ADE). Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder
disebutkan, bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus
dengue, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut
untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi
sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang berat. Ini
terjadi karena antibody heterologus yang terbentuk pada infeksi primer, akan
membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru yang berbeda yang
tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks yang infeksius dan
bersifat oponisasi internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi IL-1,
IL- 6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet activating factor (PAF);
akibatnya akan terjadi peningkatan (enhancement) infeksi virus dengue. TNF alpha
akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma
ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang
mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Pendapat lain
menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan merangsang komplemen yang
farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga
menimbulkan kebocoran plasma (syockhipolemik) dan perdarahan. Anak di bawah
usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue dan terjadi infeksi dari
ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing antibodies akibat
adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus dengue pada anak
tersebut, maka akan langsung terjadi proses enhancing yang akan memacu makrofag
12
mudah terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga
PAF ( Indrawan, 2001; Kristina, dkk, 2005).
Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus
tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi
sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan
menimbulkan penyakit yang berat.7 Kinetik immunoglobulin spesifik virus dengue di
dalam serum penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3
(Indrawan, 2001; Kristina, dkk, 2005).
Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis
DBD, di antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan
serotype virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya
dapat ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan
lainnya. Selanjutnya ada teori antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita atau
kejadian DBD terjadi penurunan aktivitas system komplemen yang ditandai
penurunan kadar C3, C4 dan C5. Disamping itu, pada 48- 72% penderita DBD,
terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus dengue yang dapat menempel pada
trombosit, sel B dan sel organ tubuh lainnya dan akan mempengaruhi aktivitas
komponen system imun yang lain. Selain itu ada teori moderator yang menyatakan
bahwa makrofag yang terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai mediator seperti
interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama endotoksin
bertanggungjawab pada terjadinya sok septik, demam dan peningkatan permeabilitas
kapiler ( Indrawan, 2001; Kristina, dkk, 2005).
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam beberapa
hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan (tissue
destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian karena
infeksi virus; kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh gangguan metabolic
(Indrawan, 2001; Kristina, dkk, 2005).
a. Tahap Prepatogenesis
13
Pada tahap ini individu berada dalam keadaannormal/ sehat tetapi mereka pada
dasarnya peka terhadap kemungkinan terganggu oleh serangan agen penyakit
(stage of susceptibility). Walaupun demikian pada tahap ini sebenarnya telah
terjadi interaksi antara penjamu dengan bibit penyakit. Tetapi interaksi ini masih
terjadi di luar tubuh, dalam arti bibit penyakit masih ada di luar tubuh penjamu di
mana para kuman mengembangkan potensi infektifitas, siap menyerang penjamu.
b. Tahap Patogenesis
1) Tahap Inkubasi
Tahap inkubasi merupakan tenggang waktu antara masuknya bibit
penyakit ke dalam tubuh yang peka terhadap penyebab penyakit, sampai
timbul gejala penyakit. Masa inkubasi ini bervariasi antara satu penyakit
dengan penyakit lainnya.
2) Tahap Dini
Tahap ini mulai dengan munculnya gejala penyakit yang kelihatannya
ringan. Tahap ini sudah mulai menjadi masalah kesehatan karena sudah ada
gangguan patologis, walaupun penyakit masih dalam masa subklinis. Pada
tahap ini, diharapkan diagnosis dapat ditegakkan secara dini.
3) Tahap Lanjut
Pada tahap ini penyakit bertambah jelas dan mungkin bertambah berat
dengan segala kelainan klinik yang jelas, sehingga diagnosis sudah relatif
mudah ditegakkan. Saatnya pula, setelah diagnosis ditegakkan, diperlukan
pengobatan yang tepat untuk menghindari akibat lanjut yang kurang baik.
14
asirkulasi akan mengaktivasi sistem komplemen(Indrawan, 2001; Kristina, dkk,
2005).
Virus dengue masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi
pertama kali menyebabkandemam dengue. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang biasa
terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan tampak, bila
seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan. Dan
DHF dapat terjadi bila seseorang setelah terinfeksi pertama kali, mendapat infeksi
berulang virus dengue lainnya. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi
anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen-antibodi
(kompleks virus-antibodi) yang tinggi ( Indrawan, 2001; Kristina, dkk, 2005).
Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan
dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal
seluruh badan, hiperemi ditenggorokan, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin
muncul pada system retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah
bening, hati dan limpa. Ruam pada DHF disebabkan karena kongesti pembuluh darah
dibawah kulit ( Indrawan, 2001; Kristina, dkk, 2005).
15
Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis
terbukti dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah. Kelainan system
koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang
tebukti terganggu oleh aktifasi system koagulasi. Masalah terjadi tidaknya DIC pada
DHF/ DSS, terutama pada pasien dengan perdarahan hebat ( Indrawan, 2001;
Kristina, dkk, 2005).
1. Demam
Penyakit DBD didahului oleh demam tinggi yang mendadak terus-menerus
berlangsung 2 - 7 hari, kemudian turun secara cepat. Demam secara mendadak
disertai gejala klinis yang tidak spesifik seperti: anorexia, lemas, nyeri pada tulang,
sendi, punggung dan kepala.
2. Manifestasi Pendarahan
Perdarahan terjadi pada semua organ umumnya timbul pada hari 2-3 setelah demam.
Sebab perdarahan adalah trombositopenia. Bentuk perdarahan dapat berupa
- Petechiae
- Purpura
- Echymosis
- Perdarahan konjunctiva
- Perdarahan dari hidung (epistaxis)
- Perdarahan gusi
- Muntah darah (hematemesis)
- Buang air besar berdarah (melena)
- Kencing berdarah (hematuria)
Gejala ini tidak semua harus muncul pada setiap penderita, untuk itu diperlukan
torniquet test dan biasanya positif pada sebagian besar penderita Demam Berdarah
Dengue.
16
Pembesaran hati dapat diraba pada penularan demam. Derajat pembesaran hati tidak
sejajar dengan berapa penyakit Pembesan hati mungkin berkaitan dengan strain serotype
virus dengue.
4. Renjatan (Shock)
Renjatan dapat terjadi pada saat demam tinggi yaitu antara hari 3-7 mulai sakit.
Renjatan terjadi karena perdarahan atau kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler
melalui kapiler yang rusak. Adapun tanda-tanda perdarahan:
Kriteria Klinis
1) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama 2 7
hari.
2) Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan :
Uji tourniquet positif
Petekie, ekimosis, epitaksis, perdarahan gusi.
Hemetamesis dan atau melena.
3) Pembesaran hati
4) Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan
tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.
Kriteria Laboratorium
17
2) Hemokonsentrasi peningkatan hematoksit 20% atau lebih
Mengingat derajat berat ringan penyakit berbeda-beda, maka diagnosa secara klinis
dapat dibagi atas :
Derajat I: Demam disertai gejala tidak khas dan satu satunya manifestasi ialah uji
tourniquet positif dan atau mudah memar
Derajat II: Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan
lain.
Derajat III: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan
rendah, kulit dingin atau lembab dan penderita tampak gelisah.
Derajat IV: Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur.
Perubahan epidemiologi demam berdarah menyebabkan masalah dalam menggunakan
klasifikasi WHO yang ada. Gejala virus dibagi mejadi Undifferentiated Fever, Dengue
Fever, Dengue Haemorrhagic Fever dan lalu diklasifikasi menjadi grade I sampai IV
menyebabkan banyaknya laporan kesulitan penggunaan klasifikasi sehingga sulit dalam
menentukan keparahan pasien sehingga dibuatlah kriteria baru klasifikasi berdasarkan
tingkat keparahan menurut panduan (WHO tahun 2009).
1. Dengue tanpa tanda bahaya / peringatan (dengue without warning signs),
2. Dengue dengan tanda bahaya/ peringatan (dengue with warning signs),
3. Dengue berat (severe dengue)
1. Kriteria dengue tanpa/dengan tanda bahaya(WHO, 2009):
Tersangka Dengue:
18
Muntah berkepanjangan
Terdapat akumulasi cairan
Perdarahan mukosa
Letargi, lemah
Pembesaran hati > 2 cm
Kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat
Dengue dengan konfirmasi laboratorium (penting bila bukti kebocoran plasma tidak
jelas). 10
Kebocoran plasma berat, yang dapat menyebabkan syok (DSS), akumulasi cairan
disertai dengan distress pernafasan.
Perdarahan hebat, yang dievaluasi oleh paramedis
Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT 1000, gangguan kesadaran,
gangguan jantung dan organ lain)
2.7 Gambaran Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatis atau dapat berupa
demam yang tidak khas, pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari
yang diikuti fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasein sudah tidak demam
tetapi memiliki resiko tinggi terjadinya renjatan Gambaran klinis nya terdiri atas 3 fase
yaitu fase febris, fase kritis dan fase pemulihan (Suhendro, 2007:WHO, 2009)
Fase febris biasanya demam mendadak tinggi 2 7 hari, disertai muka kemerahan,
eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada beberapa
kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi farings dan konjungtiva. Anoreksia, mual dan
muntah sering terjadi. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti
petekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam
dan perdarahan gastrointestinal. Pembesaran dan nyeri tekan hepar sering tampak setelah
beberapa hari demam. Sedangkan pada pemeriksaan darah lengkap tanda abnormal yang
dapat di lihat secara dini adalah penurunan progresif dari jumlah total leukosit. Setelah
fase febris, akan terjadi fase kritis pada hari 3 7 sakit dan ditandai dengan penurunan
suhu tubuh (37,5-38C atau kurang) disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya
kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24 48 jam. Kebocoran plasma
19
dapat terlihat dari adanya efusi pleura, asites, dan sering didahului oleh lekopeni
progresif disertai penurunan jumlah trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok yang
memiliki beberapa tanda peringatan seperti penurunan temperatur suhu tubuh. Bila fase
kritis terlewati maka terjadi Fase pemulihan yang berupa pengembalian cairan dari
ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 72 jam setelahnya. Keadaan
umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis
membaik. Jika tidak segera ditangani atau ditangani secara tidak tepat, penyakit ini dapat
menjadi berat dan menyebabkan kematian (WHO, 2009).
Dengue berat harus dicurigai bila pada pasien berasal dari daerah resiko tinggi
penyakit dengue dengan demam yang berlangsung 2-7 hari disertai dengan ditemuan
berikut (WHO, 2009):
Bukti kebocoran plasma seperti hematokrit yang tinggi atau meningkat secara
progresif, adanya efusi pleura atau asites, gangguan sirkulasi atau syok (takikardi,
ekstremitas yang dingin, waktu pengisian kapiler (capillary refill time) > 3 detik,
nadi lemah atau tidak terdeteksi, tekanan nadi yang menyempit atau pada syok lanjut
tidak terukurnya tekanan darah)
Adanya perdarahan yang signifikan
Gangguan kesadaran
Gangguan gastrointestinal berat (muntah berkelanjutan, nyeri abdomen yang hebat
atau bertambah, ikterik)
Gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut, ensefalopati/ensefalitis,
kardiomiopati dan manifestasi lainnya yang tak lazim.
20
Gambaran klinis penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue ini sering tidak
khas, dapat menyerupai penyakit flu, demam tifoid, demam chikungunya, leptospirosis,
malaria dan berbagai penyakit lain. Manifestasi klinis akibat infeksi virus dengue ini
dapat menyebabkan keadaan yang beranekaragam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik),
demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), demam dengue (DD)
atau bentuk yang lebih berat yaitu demam berdarah dengue (DBD) dan sindrom syok
dengue (SSD) (Aryati, 2011).
Penegakkan diagnosis DBD masih menggunakan kriteria WHO 1997, yaitu kriteria
klinis dan laboratoris berupa trombositopenia kurang dari 100.000/ul atau peningkatan
hematokrit 20%. Untuk mendapatkan peningkatan hematokrit sebesar 20% secara
tepat, sulit dilakukan, mengingat belum ada nilai standar hematokrit orang Indonesia
anak-anak maupun dewasa. Hal yang tak kalah penting adalah memahami kelemahan
pemeriksaan laboratorium tersebut. Pemeriksaan hemoglobin, leukosit, hitung jenis,
hapusan darah tepi maupun enzim hati seperti SGOT dan SGPT, juga diperlukan di
samping trombosit dan hematokrit, untuk memberi informasi lebih, dalam menunjang
diagnosis DBD (Aryati, 2011).
Antigen NS1 terdapat baik pada infeksi primer maupun sekunder. Antigen NS1
dapat dideteksi dalam 9 hari pertama demam, yang terdapat baik pada serotipe DEN-1
(terbanyak), DEN-2, DEN-3 dan DEN-4). Kumarasamy meneliti sensitivitas dan
spesifisitas NS1 pada 554 donor sehat dan 297 pasien terinfeksi virus dengue dimana 157
pasien PCRnya positif dan pasien diperiksa juga IgM dan IgG antidengue. Beliau
mendapatkan spesifisitas 100% dan sensitivitas 91,0 % dari 157 sampel yang positif PCR
21
nya dengan perbedaan yang tidak signifikan untuk ke empat serotipe, sedangkan
Blacksell meneliti NS1 dan beliau mendapatkan sensitivitas NS1 63% dan spesifisitas
100% dengan memperhatikan adanya perbedaan sekresi yang bervariasi antar serotipe
(Aryati, 2011).
Terdapat 2 macam kit pemeriksaan antigen NS1 di Indonesia, yaitu dari Panbio dan
BioRad, keduanya memakai prinsip metode ELISA (Enzyme-linked immunosorbent
assay). Saat ini juga sudah terdapat reagen NS1 dalam bentuk rapid test (ICT) (Aryati,
2011).
Pemeriksaan IgM dan IgG antidengue tetap diperlukan untuk membedakan infeksi
primer atau infeksi sekunder. Hal ini penting untuk penatalaksanaan manajemen terapi di
samping epidemiologi, karena pada infeksi sekunder keadaan dapat menjadi lebih berat.
IgM dan IgG antidengue, baik dengan cara rapid test menggunakan metode
imunokromatografi (ICT) ataupun enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) (Aryati,
2011).
Pada respon imun primer, IgM diproduksi dimulai pada hari ke 3, namun pada
umumnya baru dapat dideteksi pada hari ke 7 demam atau lebih kadar IgM ini terus
meningkat dalam 1-3 minggu dan dapat terdeteksi sampai 2 bulan setelah infeksi. IgG
antidengue diproduksi pada 2 minggu sesudah infeksi dan akan tetap ada di dalam tubuh
selamanya, namun untuk kadar yang dapat dideteksi dengan reagen komersial. IgG
capture ELISA, pada umumnya adalah IgG dalam kadar setara dengan infeksi sekunder
(batas Hemagglutination Inhibition > 1/1280 atau ada reagen komersial yang mematok
batas HI > 1/2560). Keadaan akut juga dapat ditentukan dengan menggunakan rasio IgM
dibandingkan dengan IgG antidengue (Aryati, 2011).
Pada respon imun sekunder, IgM dapat dimulai timbul pada hari ke 3, namun
optimal paling sedikit 5 hari setelah demam, bahkan 25-78% tidak terdeteksi pada infeksi
sekunder. IgG antidengue pada respon imun sekunder, meningkat cepat dalam 3-5 hari
demam. Pola reaktivitas IgM dan IgG yang ditentukan dengan menggunakan ELISA ini,
telah dapat membedakan infeksi primer atau sekunder. Keberadaan antibodi IgM tanpa
IgG menunjukkan infeksi primer, sedangkan IgG yang kadarnya meningkat jauh
melebihi IgM menunjukkan infeksi sekunder. IgM dan IgG ini dapat dijumpai baik pada
semua manifestasi klinis infeksi virus dengue, baik yang asimtomatik, demam dengue,
demam berdarah dengue hingga syok sindrom dengue (Aryati, 2011).
22
Antigen NS1 dianjurkan diperiksa pada awal demam sampai hari ke delapan.
Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63% - 93,4% dengan spesifisitas 100% sama tingginya
dengan spesifisitas gold standard kultur virus. Hati-hati hasil negatif antigen NS1 tidak
menyingkirkan adanya infeksi virus dengue, dimana variasi hasil ini diduga berkaitan
dengan serotipe virus dengue yang menginfeksi. Disarankan pemeriksaan antigen NS1
tetap disertai dengan pemeriksaan antibodi IgM dan IgG antidengue sebagai penentu
infeksi primer ataupun sekunder, sekaligus untuk mengatasi kemungkinan hasil negatif
palsu pada pemeriksaan antigen NS1 (Aryati, 2011).
Dalam Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control New
terbaru penatalaksanaan pasien berdasarkan 3 kategori kelompok yaitu (WHO, 2009):
1. Kategori kelompok A adalah Pasien yang tidak memerlukan perawatan rumah sakit
dan dapat dipulangkan kerumah.
2. Kategori kelompok B adalah pasien yang membutuhkan perawatan rumah sakit.
3. Kategori kelompok C adalah pasien yang membutuhkan penanganan
kegawatdaruratan.
Pasien yang tergolong kategori A adalah mereka yang mampu atau memiliki asupan
cairan yang adekuat dan kencing minimal sekali tiap enam jam serta tidak memiliki tanda
peringatan apapun terutama saat demam mulai mereda. Penanganan pasien dapat dilakukan
dalam beberapa langkah yang dimulai dengan menganjurkan pasien untuk meminum cairan
rehidrasi, jus buah dan cairan lainnya yang mengandung elektrolit dan gula untuk
menggantikan komponen yang hilang hilang karena demam atau muntah. Tindakan
berikutnya adalah pemberian parasetamol pada pasien yang demam tinggi jika pasien tersebut
tidak nyaman dengan keadaannya tersebut. Dosis parasetamol sebaiknya di minum dengan
rentang tidak kurang dari enam jam. Kompres pasien dengan kompres hangat jika pasien
masih tetap demam tinggi setelah pemberian parasetamol. Jangan memberikan asam
asetilsalisilat (Aspirin), ibuprofen atau golongan anti inflamasi lainnya karena dapat memicu
terjadinya radang lambung (Gastritis) dan perdarahan. Langkah terakhir adalah
mengingatkan keluarga pasien atau orang yang mengurus pasien agar memperhatikan dan
segera membawa pasien jika terjadi hal-hal seperti: tidak terjadi perbaikan kondisi pasien
atau malah memburuk, Nyeri abdomen yang berat, muntah yang terus-menerus, tangan dan
kaki yang terasa dingin serta lembab, gangguan kesadaran, perdarahan (seperti muntah dan
23
BAB hitam) atau tidak kencing lebih dari 4- 6 jam. Selanjutnya tenaga medis harus
memantau pasien yang dipulangkan kerumah tiap harinya dengan melihat suhu, asupan dan
cairan yang hilang, urin yang keluar, tanda-tanda peringatan, tanda kebocoran plasma dan
perdarahan serta pemantauan darah rutin (Hematokrit, jumlah trombosit dan leukosit) (WHO,
2009).
Pasien yang tergolong kategori B adalah pasien yang memerlukan observasi lebih
terutama ketika mereka akan memasuki fase kritis. Termasuk didalamnya pasien yang
memiliki tanda-tanda peringatan, dan atau memiliki kondisi khusus yang membuat penyakit
DBD dan penaganannnya menjadi lebih rumit seperti wanita hamil, lansia, penderita diabetes
melitus, gagal ginjal dan anak-anak. Pasien yang tinggal sendiri atau tinggal jauh dari pusat
kesehatan tanpa memiliki transportasi yang memadai juga termasuk kategori ini (WHO,
2009).
Jika pasien DBD dengan tanda peringatan maka rencana tindakannya adalah sebagai
berikut:
Diperlukan adanya data Hematokrit sebelum memulai terapi cairan. Berikan hanya
cairan isotonik seperti saline 0,9%, ringer laktat atau caitan hartmann, yang dimulai dengan
5-7 ml/Kg/ jam untuk 1-2 jam pertama, kemudian turunkan menjadi 3-5ml/Kg/ jam untuk 2-4
jam berikutnya dan turunkan lagi menjadi 2-3 ml/Kg/ jam atau kurang tergantung dari respon
klinis. Nilai kondisi dan periksakan kembali hematokrit pasien, jika nilai hematokritnya
masih tetap sama atau hanya mningkat sedikit maka lanjutkan pemberian cairan 2-3 ml/Kg/
jam selama 2-4 jam. Jika tanda vital memburuk dan hematokrit meningkat dengan cepat
maka tingkatkat pemberian cairan menjadi 5-10 ml/Kg/ jam berikan selama 1-2 jam (WHO,
2009).
Berikan cairan intravena yang minim sesuai kebutuhan untuk menjamin perfusi jaringan
yang baik serta menjamin pengluaran urin sekitar 0,5 ml/Kg/ jam. Infus cairan hanya
dibutuhkan selama 24-48 jam. Pengurangan cairan intravena dilakukan jika jumlah
kebocoran plasma telah menurun yang diindikasikan dengan keseimbangan antara asupan
cairan dengan jumlah urin yang keluar, atau hematokrit menurun dibawah nilai batas pada
pasien stabil. Pasien yang menunjukan tanda-tanda peringatan harus tetap dipantau tanda
vital dan perfusi perifer (1-4 jam setelah pasien keluar dari fase kritis), pengeluaran urinnya
24
(tiap 4-6 jam), Hematokrit (Sebelun dan sesudah terapi cairan serta 6- 12 jam berikutnya,
gula darah dan fungsi organ lainnya seperti fungsi ginjal, hati dan pembekuan darah) (WHO,
2009).
Jika pasien DBD tanpa tanda peringatan maka rencana tindakannya adalah sebagai
berikut:
Pasien dianjurkan untuk minum. Jika hal ini tidak dapat ditoleransi dengan baik maka
dapat diberikan cairan intravena dengan menggunakan saline 0,9% atau ringer laktat dengan
atau tanpa pemberian dextrose dengan dosis perawatan. Untuk pasien dengan berat badan
berlebih dan obesitas, perhitungan jumlah cairan intravena menggunakan berat badan
idealnya. Pasien harus memulai asupan cairan oral setelah beberapa jam terapi cairan
intravena. Berikan cairan intravena yang minim sesuai kebutuhan untuk menjamin perfusi
jaringan yang baik serta menjamin pengluaran urin. Infus cairan hanya dibutuhkan selama
24-48 jam. Pasien yang tetap dipantau tanda vital dan perfusi perifer, pengeluaran urinnya
(volume dan frekunsinya), Hematokrit, jumlah leukosit dan trombosit. Tes laboratorium
lainnya seperti fungsi organ lainnya seperti fungsi ginjal dan hati dapat disesuaikan dengan
gambaran klinis dan fasilitas yang ada dipusat kesehatan tersebut (WHO, 2009).
Pasien yang tergolong kategori C adalah pasien yang mengalami kebocoran plasma berat
yang mengarah ke syok dan / atau akumulasi cairan dengan gangguan pernafasan, pasien
dengan perdarahan yang masif, atau gangguan fungsi organ berat seperti kerusakan hati,
gangguan ginjal, kardiomiopati, ensefalitis atau ensefalopati (WHO, 2009).
Semua pasien yang masuk dalam kategori C ini harus mendapatkan perawatan di
ruangan intensive care serta mendapatkan trasfusi darah. Cairan kristaloid yang digunakan
harus bersifat isotonik dan volumenya hanya cukup untuk mengatur sirkulasi yang efektif
selama terjadinya kebocoran plasma. Cairan plasma yang hilang harus segera tergantikan
dengan pemberian cairan kristaloid isotonik atau dalam kasus yang terjadi syok hipotensi,
cairan koloid menjadi pilihan yang lebih baik. Jika memungkinkan selalu melakukan
pemeriksaan nilai hematokrit sebelum dan sesudah terapi cairan. Penggantian cairan plasma
yang hilang harus dilanjutkan hingga 24-48 jam. Untuk pasien dengan berat badan berlebih
dan obesitas maka perhitungan cairan menggunakan ukuran berat badan ideal pasien tersebut.
Terapi transfusi darah harus diberikan hanya pada kasus yang diduga atau telah nyata adanya
perdarahan yang banyak (WHO, 2009).
25
Target dari terapi cairan ini adalah adanya perbaikan sirkulasi sentral dan perifer yang
ditandai dengan perbaikan tekanan darah, denyut nadi, capillary refill time dibawah 2 detik
dan ekstemitas yang teraba hangat. Selain itu penilain juga di ambil dari perbaikan perfusi ke
organ akhir, membaiknya keadaan asidosis metabolik serta pengeluaran urin diatas sama
dengan 0.5 ml/kg/jam (WHO, 2009).
Pencegahan DBD
Tidak ada vaksin yang tersedia secara komersial untuk penyakit demam berdarah.
Pencegahan utama demam berdarah terletak pada menghapuskan atau mengurangi vektor
nyamuk demam berdarah. Insiatif untuk menghapus kolam-kolam air yang tidak berguna
(misalnya di pot bunga) telah terbukti berguna untuk mengontrol penyakit yang disebabkan
nyamuk, menguras bak mandi setiap seminggu sekali, dan membuang hal hal yang dapat
Hal-hal yang harus dilakukan untuk menjaga kesehatan agar terhindar dari penyakit demam
a. Melakukan kebiasaan baik, seperti makan makanan bergizi, rutin olahraga, dan
melakukan 3M, yaitu menguras bak mandi, menutup wadah yang dapat menampung
air, dan mengubur barang-barang bekas yang dapat menjadi sarang perkembangan
jentik-jentik nyamuk, meski pun dalam hal mengubur barang-barang bekas tidak baik,
karena dapat menyebabkan polusi tanah. Akan lebih baik bila barang-barang bekas
tersebut didaur-ulang.
26
c. Fogging atau pengasapan hanya akan mematikan nyamuk dewasa, sedangkan bubuk
abate akan mematikan jentik pada air. Keduanya harus dilakukan untuk memutuskan
d. Segera berikan obat penurun panas untuk demam apabila penderita mengalami demam
e. Jika terlihat tanda-tanda syok, segera bawa penderita ke rumah sakit. Gejala demam
berdarah dengue:
nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan
a. Lingkungan
perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah.
Sebagai contoh:
Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah dan
lain sebagainya.
b. Biologis
27
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik (ikan
c. Kimiawi
c. Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan
menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara
ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur,
obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, mengolesi tubuh dengan lotion anti nyamuk
dan lain-lain.
Infeksi primer pada demam dengue dan penyakit mirip dengue biasanya ringan dan
dapat sembuh sendirinya. Kehilangan cairan dan elektrolit, hiperpireksia, dan kejang demam
adalah komplikasi paling sering pada bayi dan anak-anak. Epistaksis, petekie, dan lesi
purpura tidak umum tetapi dapat terjadi pada derajat manapun. Keluarnya darah dari
epistaksis, muntah atau keluar dari rektum, dapat memberi kesan keliru perdarahan
gastrointestinal. Pada dewasa dan mungkin pada anak-anak, keadaan yang mendasari dapat
berakibat pada perdarahan signifikan. Kejang dapat terjadi saat temperatur tinggi, khususnya
pada demam chikungunya. Lebih jarang lagi, setelah fase febril, astenia berkepanjangan,
depresi mental, bradikardia, dan ekstrasistol ventrikular dapat terjadi. Komplikasi akibat
pelayanan yang tidak baik selama rawatan inap juga dapat terjadi berupa kelebihan cairan
28
(fluid overload), hiperglikemia dan hipoglikemia, ketidak seimbangan elektrolit dan asam-
basa, infeksi nosokomial, serta praktik klinis yang buruk (Dengue: Guidelines for diagnosis,
treatment, prevention and control, WHO, 2009).
Di daerah endemis, demam berdarah dengue harus dicurigai terjadi pada orang yang
mengalami demam, atau memiliki tampilan klinis hemokonsentrasi dan trombositopenia
(Halstead, 2007).
Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya antibodi yang
didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD, kematian telah terjadi pada 40-50%
pasien dengan syok, tetapi dengan penanganan intensif yang adekuat kematian dapat ditekan
<1% kasus. Keselamatan secara langsung berhubungan dengan penatalaksanaan awal dan
intensif. Pada kasus yang jarang, terdapat kerusakan otak yang disebabkan syok
berkepanjangan atau perdarahan intrakranial (Siregar,2011).
1. Keterlambatan diagnosis
2. Keterlambatan diagnosis shock
3. Keterlambatan penanganan shock
4. Kelebihan cairan
5. Kebocoran hebat
6. Pendarahan masif
7. Kegagalan organ
8. Ensefalopati
9. Sepsis.
29