Anda di halaman 1dari 11

JOURNAL READING

Astigmatic Changes Following Pterygium Removal : Comparison of 5


different methods
Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepanitraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Mata
RSUD Kota Semarang

Disusun oleh :
Fatchan NurFahmi
01.206.5183

Pembimbing :
dr. Irastri Anggraini, Sp.M
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
Periode : 27 Juni 2016 30 juli 2016
LEMBAR PENGESAHAN
JOURNAL READING
Astigmatic Changes Following Pterygium Removal : Comparison of 5
different methods
Bagian Ilmu Penyakit Mata
RSUD Kota Semarang

Disusun oleh :

Fatchan NurFahmi
01.206.5183

Telah disetujui dan disahkan oleh :

Dokter pembimbing

dr. Irastri Anggraini, Sp.M

Perubahan Astigmatisme Setelah Pengangkatan Pterygium : Perbandingan


Dari 5 Metode Yang Berbeda

Tujuan : untuk menyelidiki pengaruh dari jenis pembedahan pada astigmatisme pasca
operasi dalam bedah pterygium. Pengaturan dan desain : uji klinis komparatif retrospektif.
Bahan dan metode : data dari 240 mata yang mengalami 5 jenis operasi berbeda : cangkok
konjungtiva dengan benang (CAG-s) atau lem fibrin (CAG-g), penutup memutari
konjungtiva (CRF), atau transplantasi membran amnion baik dengan benang (AMT -s) atau
dengan lem (AMT-g). Pengukuran keratometric sebelum operasi dan pasca operasi,
dievaluasi menggunakan keratorefractometer otomatis, kemudian dicatat. Analisis statistik :
perubahan keseluruhan pada BCVA dan derajat astigmatisme dievaluasi menggunakan uji
wilcoxon berperingkat. Perbedaan nilai astigmatisme antar kelompok dihitung menggunakan
analisis varian satu arah (ANOVA). Hasil: prosedur yang paling umum dilakukan adalah
CAG-s (N = 115), diikuti oleh CAG-g (N = 53), CRF (N = 47), AMT-s (N-15), dan AMT-g
(N = 10). Setelah pembedahan, nilai astigmatisme menurun dari 3,47 2,50 menjadi 1,29
D 1,07 D (P < 0,001 uji t berpasangan). Perubahan astigmatisme secara signifikan
berhubungan dengan ukuran sebelum operasi pterygium (p = 3.464, P = 0,005). Astigmatisme
pasca operasi berhubungan dengan astigmatisme sebelum operasi (p = 0.351, P < 0.001,
spearman correlation analysis). Perubahan nilai astigmatisme tidak berhubungan dengan
metode pembedahan (P = 0.055, ANOVA). Kesimpulan : hasil pterygium pada astigmatisme
kornea tinggi, yang mengalami penurunan pada level yang bisa diterima setelah eksisi.
Menurut penelitian kami, jenis cangkok seperti CAG, CRF atau AMT atau penggunaan
benang atau lem untuk memfiksasi cangkok tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap perubahan derajat astigmatisme.
Kata kunci : membran amnion, astigmatisme, cangkok, fibrin perekat jaringan, pterigium,
benang

Pterigium adalah pertumbuhan fibrovaskuler berbentuk sayap dari jaringan ikat konjungtiva
di atas kornea disebabkan masalah kosmetik, penurunan ketajaman penglihatan sekunder
pada astigmatisme dan penghalang sumbu optik. Hal ini dapat menyebabkan kornea mendatar
sampai ke puncak.
Dalam pengobatan, beberapa operasi yang berbeda sedang dilakukan untuk mengurangi
tingginya kekambuhan teknik sklera polos, seperti cangkok konjungtiva dan cangkok
membran amnion. Baru baru ini, lem fibrin direkomendasikan untuk mengamankan
cangkok.
Dalam penelitian ini, tujuan kami adalah untuk menyelidiki pengaruh dari jenis pembedahan
pada perubahan astigmatisme setelah eksisi pterigium.
Bahan dan metode
Pada penelitian retrospektif, data dari 240 mata berurutan yang menjalani eksisi pterigium
oleh dokter bedah (RAY) antara tahun 2003 dan 2008, yang difollow up selama 3 bulan dan
menurut investigasi menunjukkan tidak ada tanda tanda kekambuhan. Pasien dengan
masalah penurunan ketajaman penglihatan, sensasi benda asing dalam tubuh, dan hiperemis
karena pterigium diputuskan untuk dilakukan pembedahan pterigium. Riwayat trauma mata,
bedah mata, dan adanya abnormalitas kornea seperti, luka mempengaruhi nilai astigmatisme
dimasukkan dalam kriteria eksklusi.
Penerimaan tinjauan badan institusi telah diperoleh. Semua pasien diinformasikan tentang
alternatif bedah yang disediakan saat itu, dan keputusan dibuat berdasarkan pilihan pasien
bersama dengan dokter bedah. Selain itu, pasien tidak diacak. Pasien telah menanda tangani
inform konsen untuk bedah sebelum dilakukan tindakan operasi.
Ada 127 pria dan 113 wanita dengan rata rata berumur 57.5 12.1 tahun (interval 27
sampai 86 tahun). Semua pasien menjalani pemeriksaan mata secara komprehensif. Pada
bulan ketiga data sebelum dan sesudah operasi dicatat koreksi terbaik dari ketajaman
penglihatan (BCVA) dan nilai keratometrik. Nilai BCVA menggunakan kartu snellen dan
diubah menjadi logaritme nilai resolusi sudut minimal (logMar).
Panjang horizontal sebelum operasi diukur dengan memfokuskan celah pada pterigium dan
menggunakan penggaris yang bergabung dengan celah pada sinar celah dari limbus untuk
mendorong tepi pterigium (Topcon SL-7F, Topcon Co, Japan).
Nilai keratometrik diperoleh dengan menggunakan keratorefraktometer otomatis (Topcon
K2-8100PA, Tokyo, Jepang). Hanya nilai keratometrik yang termasuk dalam penelitian
hampir separuh dari pasien, kami tidak bisa memperoleh pengukuran topografi.
Eksisi pterigium ditunjukkan setelah : lidokain HCl 40 mg/2 ml + epinefrin 0.025 mg/ml
(Jetokain, Adeka, Turki) disuntikkan dibawah konjungtiva menuju badan pterigium. Setelah
menyingkirkan badan, kepala tumpul terangkat ke atas kornea. Jaringan luka abnormal pada
kornea disingkirkan. Sejumlah kecil kapsul tenon disingkirkan dari setiap pasien. Baik tidak
ada kauter atau minimal digunakan untuk tempat tidur sklera. Setelah pelepasan pterigium,
pasien menjalani 5 jenis pembedahan berbeda : cangkok konjungtiva dengan benang (CAG-s)
atau lem fibrin (CAG-g), penutup rotasi konjungtiva (CRF), atau transplantasi membran
amnion baik dengan benang (AMT -s) atau dengan lem (AMT-g).
Pada cangkok konjungtiva, cangkok berukuran lebih besar dengan panjang 1 mm dan lebar
relatif untuk tempat tidur sklera yang dipanen dari limbus superotemporal, dengan perawatan
untuk memperoleh tenon-bebas cangkok. Cangkok berikuntnya berpindah ke aera nasal. Pada
kelompok CAG-s, memutus benang vicryl 8-0 digunakan untuk mengikat cangkok. Pada
kelompok CAG-g, lem fibrin (Tiesseel VH, baxter AG) digunakan untuk mengikat tepi
konjungtiva dan episclera. Penggunaan metode lem telah dijelaskan sebelumnya.
Untuk CRF, penutup tenon-bebas berasal dari bawah konjungtiva bulbar dengan bergantung
pada batas bawah hidung dari sklera polos telah disiapkan dan diputar untuk menutupi sklera
polos dengan memotong benang vicryl 8/0.
Membran amniotik telah disiapkan seperti dijelaskan sebelumnya. Untuk AMT, membran
dikeluarkan dari pengawetan ukuran sedang dan dipotong sesuai ukuran yang diperlukan
untuk menutupi area defek. Membran disebar di atas area kosong sehingga permukaan
membran basal atau epitel akan berada di puncak dan dijahit mengelilingi konjungtiva dan
episklera dengan menggunakan potongan benang vicryl 8-0 pada kelompok AMT-s. Di sisi
lain, pada kelompok AMT-g, lem fibrin digunakan untuk mengikat membran amnion seperti
laporan awal.
Mata ditutupi alas mata setelah menggunakan salep antibiotik topikal (tobramycin). Setelah
pembedahan, antibiotik topikal (ofloxacin 0.3 %, 4 kali sehari) dan steroid (dexamethasone
0.1 %, 4 kali sehari) diberikan dalam tetes, dan penurunan dosis diatas 1 bulan. Jahitan
dibuka saat minggu kedua.
Data dimasukkan ke perangkat lunak SPSS (Statistical Package for the Social Sciences,
version 13.0, SPPS Inc Chicago, III, USA). Perubahan keseluruhuan pada BCVA dan derajat
astigmatisme dievaluasi menggunakan uji wilcoxon berperingkat. Perbedaan nilai
astigmatisme antara kedua kelompok dihitung menggunakan analisis satu arah dari varian
(ANOVA). Perbedaan signifikan <0.05 diterima sebagai signifikansi secara statistik.

Hasil
Prosedur paling umum ditunjukkan pada CAG-s (N = 115). Selanjutnya, jumlah pasien pada
setiap kelompok seperti berikut ini : CAG-g (N = 53), CRF (N = 47), AMT-s (N = 15), dan
AMT-g (N = 10). Panjang horizontal pterigium berubah antara 2 dan 7 mm (rata rata SD
3.78 1.11 mm). Ukuran pterigium paling umum adalah 3 mm (N = 115), diikuti 4 mm (N =
58), 5 mm (N = 30), 6 mm (N = 23), 2 mm (N = 11) dan 7 mm (N = 3).
Rata rata nilai ligMar sebelum operasi adalah 3.47 0.64 (interval 0.00 3.00). Setelah
pembedahan, nilai logMar turun menjadi 0.12 0.24 (interval 0.00 sampai 2.00). Pasca
operasi turun secara signifikan (P < 0.001, uji wilcoxon berperingkat).
Sebelum operasi, nilai rata rata astigmatisme adalah 3.47 2.50 D (interval 0.00 D 12.50
D). Steelah pembedahan, nilai rata rata astigmatisme turun menjadi 1.29 1.07 D (interval
0.00 D -5.50 D). Perbedaan rata rata antara sebelum dan pasca operasi nilai astigmatisme
adalah 2.18 2.34 D, dan penurunan ini secara statistik signifikan (P < 0.001, uji T
berpasangan). 162 mata (67.5 %) memiliki astigmatisme sebelum operasi 2.00 D, yang
turun menjadi 51 (21.3 %) pasca operasi.
Distribusi ukuran pterigium berdasarkan kelompok bedah ditunjukkan pada gambar 1. Rata
rata SD ukuruan pterigium berdasarkan jenis pembedahan seperti berikut ini : 3.83 1.16
mm pada CAG-s, 3.72 1.21 mm pada CAG-g, 3.74 1.07 mmpada CRF, 3.60 0.63 mm
pada AMT-s dan 4.00 0.81 mm pada AMT-g dan tidak ada perbedaan antar kelompok untuk
ukuran pterigium (p > 0.05).
Perubahan nilai astigmatisme berdasarkan ukuran pterigium ditunjukkan pada gambar 2.
Perubahan astigmatisme secara signifikan berbeda berdasarkan ukuruan sebelum operasi
pterigium (P = 3,464, P = 0.005, one way ANOVA). Uji post hoc membuktikan bahwa
perbedaan ini terutama dikarenakan oleh perbedaan antara ukuran pterigium 2 mm dan 5 mm
begitu juga 6 mm (P = 0.780, P < 0.001, analisis korelasi spearman).
Astigmatisme pasca operasi berhubungan secara positif dengan astigmatisme sebelum operasi
(p = 0.351, p < 0.001, analisis korelasi spearman). Di sisi lain, nilai astigmatisme pasca
operasi berhubungan secara negatif dengan perubahan astigmatisme (P = 0.262, P < 0.001,
analisis korelasi spearman).
Perubahan nilai astigmatisme tidak berhubungan dengan metode bedah (P = 0.055, ANOVA)
[gambar 3]. Jumlah pasien pada kelompok AMT sedikit. Walaupun begitu, jika kami
mengabaikan kelompok dimana membran amnion digunakan dari perbandingan statistik,
perubahan astigmatisme juga tidak signifikan secara statistik (P = 0.240, ANOVA). Juga,
hubungan antara jenis bedah dan perubahan pada astigmatisme tidak signifikan secara
statistik (P = - 0.116, P = 0.072, analisis korelasi spearman).

Gambar 1 : diagram batang sederhana menunjukkan distribusi ukuran pterigium berdasarkan


jenis pembedahan ditunjukkan (N = jumlah pasien; CAG-s = cangkok conjunctiva dengan
benang; CAG-g = cangkok conjunctiva dengan lem fibrin, CRF = penutup memutari
conjunctiva; AMT-s = transplantasi membran amnion dengan benang, AMT-g = transplantasi
membran amnion dengan lem fibrin)
Gambar 2 : plot whisker menunjukkan perubahan nilai astigmatisme (D : dioptri)
berdasarkan ukuran horizontal pterigium pengukuran dari limbus ke kepala (N = jumlah
pasien)

Gambar 3 : plot whisker menunjukkan perubahan pada astigmatisme (D) berdasarkan jenis
pembedahan ditunjukkan. [N = jumlah pasien; CAG-s = cangkok conjunctiva dengan benang;
CAG-g = cangkok conjunctiva dengan lem fibrin; CRF = penutup memutari conjunctiva;
AMT-s = transplantasi membran amnion dengan lem fibrin]
Evaluasi kedua, kami mengabaikan 56 mata dimana ukuran pterigium adalah 5 mm atau lebih
besar dan ditunjukkan dengan analisis pada 184 mata. Prosedur yang paling umum
ditunjukkan pada kelompok CAG-s (N = 86). Selanjutnya, jumlah pasien pada setiap
kelompok seperti berikut ini : CAG-g (N = 42), CRF (N = 35), AMT-s (N = 14) dan AMT-g
(N = 7).
Rata rata nilai logMar sebelum operasi adalah 0.32 0.59 (interval 0.00 2.00). Penurunan
nilai pada pasca operasi adalah signifikan (P < 0.001, uji wilcoxon berperingkat).
Sebelum operasi, rata rata nilai astigmatisme adalah 2.97 2.28 D (interval 0.00 D -12.50
D). Setelah pembedahan, nilai astigmatisme turun menjadi 1.16 0.91 D (interval 0.00 D
4.50 D). Rata rata perbedaan antara nilai astigmatisme sebelum dan pasca operasi adalah
1.81 2.22 D, dan penurunan ini signifikan secara statistik (P < 0.001, uji t berpasangan).
Pada kelompok ini dengan ukuran pterigium 4 mm atau kurang, perubahan astigmatisme
secara siignifikan berbeda berdasarkan ukuran pterigium sebelum operasi (P = 3.115, P =
0.047, one way ANOVA). Uji post hoc membuktikan perbedaan ini dikarenakan perbedaan
anatara pterigium 2 mm dan 4 mm (P = 0.039, turki HSD). Ada korelasi positif anatara
perubahan nilai astigmatisme dan perubahan nilai logMar (R = 0.344, P < 0.001, analisis
korelasi spearman). Perubahan nilai astigamtisme tidak berhubungan dengan metode bedah
(R = -0.141, P = 0.056, analisis korelasi spearman). Juga, tidak ada korelasi dengan
perubahan nilai logMar dan jenis pembedahan (P = 0.042, P = 0.570, analisis korelasi
spearman).

Diskusi
Pterigium mungkin menyebabkan kornea mendatar ke apex. Astigmatisme yang diinduksi
dijelaskan oleh beberapa mekanisme : lubuk film air mata pada tepi atas pterigium dan
mekanisme penarikan dilakukan oleh pterigium pada kornea.
Laporan awal, hasil pterygium pada astigmatisme kornea tinggi, yang menurun setelah eksisi.
Berdasarkan studi saat ini, kami menemukan bahwa derajat astigmatsime menurun secara
signifikan setelah eksisi, dan penurunan ini berhubungan dengan ukuran pterigium. Ukuran
mempengaruhi perubahan astigmatisme begitu juga dengan derajat astigmatisme pasca
operasi. Kami juga menemukan bahwa perubahan derajat astigmatisme secara positif
berhubungan dengan perubahan ketajaman penglihatan. Di sisi lain, jenis cangkok seperti
CAG, CRF, atau AMT atau penggunaan benang atau lem untuk memfiksasi cangkok tidak
mempunyai efek signifikan pada perubahan derajat astigmatisme.
Komponen refraksi didemonstrasikan untuk menstabilkan pada 1 bulan setelah pembedahan
pterigium. Bagaimanapun juga, pada studi saat ini, kami memasukkan hasil 3 bulan pasca
operasi untuk meyakinkan bahwa refraksi stabil. Keratometri konvensional mengevaluasi
kekuatan refraksi kornea dari 3 atau 4 poin data. Hence, banyak penulis menyarankan
penggunaan topografi kornea pada evaluasi perubahan astigmatisme setelah pembedahan
pterigium. Sejak saat itu studi retrospektif dan kami tidak dapat menunjukkan topografi
kornea pada semua kasus, kami telah memilih untuk hanya memasukkan nilai keratometri.
Peningkatan ketajaman penglihatan diharapkan setelah eksisi pterigium. Ini dilaporkan bahwa
BCVA meningkat dari 0.53 sampai 0.68. Berdasarkan hal itu, kami mengamati penurunan
nilai logMar dari 0.38 sampai 0.13. Pada studi yang sama, penurunan nilai logMar secara
signifikan dari 0.41 sampai 0.24 pada 27 mata (P = 0.000).
Lin dan stern menemukan korelasi signifikan antara ukuran pterigium dan astigmatsime
kornea. Ini juga disarankan bahwa pterigium diperluas lebih dari 45 % diameter kornea result
in peningkatan derajat astigmatisme. Mohammad salih dan asisten mempelajari perluasan
pterigium, pelebaran, dan area total dan menyelidiki hubungan mereka dengan astigmatisme
kornea. Diantara 3, extension memiliki korelasi paling signifikan dan kuat dengan
astigmatisme (P = 0.462, P < 0.001, analisa korelasi pearson). Penulis melaporkan bahwa
pterigium lebih luas dari 2.2 mm perluasan mungkin berkontribusi pada astigmatisme kornea
> 2 D. Hal ini dilaporkan bahwa astigmatisme signifikan meningkat dengan peningkatan
ukuran pterigium. Kampitak menyimpulkan bahwa jumlah astigmatisme kornea yang
diinduksi dan waktu untuk eksisi pterigium berhubungan dengan ukuran pterigium dan
melaporkan bahwa hasil pterigium 2.25 mm pada astigmatisme 2 D dan harus
dipertimbangkan keterbatasan pembedahan. Berdasarkan hal ini, seitz dkk menyimpulkan
bahwa ukuran pterigium dari 0.25 mm meningkatkan astigmatisme sebelum operasi, selain
itu, penulis percaya bahwa pembedahan harus ditunjukkan sebelum mencapai batas poin.
Studi saat ini, kami mebandingkan ukuran pterigium dengan perubahan pada astigmatisme
dan menemukan korelasi signifikan (P < 0.001). Perbedaan utama pada perubahan
astigmatisme antara ukuran 2 mm dan 5 mm dan 6 mm. Selain itu, kami setuju dengan
laporan sebelumnya bahwa lebih baik menyingkirkan pterigium saat ukuran panjang
horizontal mencapai 2 mm.
Pada studi retrospektif, videokeratografi berubah pada 55 mata dievaluasi dan ditemukan
bahwa bedah pterigium secara signifikan menurunkan refraksi astigmatisme dari 3.12 sampai
2.51 (P = 0.05). Juga, beberapa laporan menunjukkan penurunan astigmatisme kornea. Kami
juga menemukan penurunan astigmatisme kornea dari 3.47 D sampai 1.29 D. Perbedaan rata
rata pada perubahan astigmatisme kornea adalah 2.18 2.34 D, dan penurunan ini
signifikan secara statistik (P < 0.001). Bedah pelepasan pterigium dapat memperbaiki
perubahan; bagaimanapun juga, mata dengan pterigium yang sudah berkembang, distortion
kornea tidak normal secara utuh dan perubahan ireguler mungkin menetap jika lesi telah
mencapai parasentral kornea. Beberapa faktor lain, seperti perubahan stroma kornea dan
membran bowman, disarankan untuk menanggung perubahan refraksi menetap pada mata
setelah pembedahan pterigium.
Kami menemukan korelasi signifikan antara nilai astigamtisme sebelum dan pasca operasi (p
= 0.351, P < 0.001). Kontra dengan hasil kami, beberapa studi menunjukkan tidak ada
hubungan antara 2 parameter. Kontradiksi munkin dihubungkan dengan sejumlah banyak
pasien yang terlibat, dan ukuran horizontal pterigium lebih luas pada studi saat ini. Sama
dengan hasil kami, Wu dkk menemukan korelasi signifikan antara perbedaan pada kekuatan
refraksi silindris sebelum dan sesudah operasi.
Sejak eksisi primer dengan teknik sklera polos memiliki tingkat kekambuhan tinggi, saat ini
banyak dokter bedah lebih memilih cangkok conjunctiva atau transplantasi membran amnion.
Juga saat ini, penggunaan lem fibrin disarankan sebagai alternatif pengganti benang dan
penggunaannya meningkat. Hasil dan tingkat kekambuhan dari teknik pembedahan yang
berbeda dipelajari pada beberapa laporan. Bagaimana pun juga, pengaruh dari pembedahan
yang berbeda muncul pada astigmatisme. Frau dan asisten memperhatikan setelah
pembedahan, astigmatisme exceeded lebih dari 3 D pada 7 pasien dan tidak mengubah secara
dramatis pada rest 109 mata mereka dengan cangkok kornea conjunctiva. Yilmaz dkk
membandingkan perubahan astigmatisme mengikuti perbedaan jenis pembedahan termasuk
cangkok conjunctiva, cangkok limus conjunctiva, sklera polos, dan sklera polos dengan
mitomycin. Penulis emenmukan perbedaan statistik antara kelompok untuk rata rata
topografi astigmatisme dan astigmatisme induced-dengan pembedahan (P = 0.003 dan 0.030,
secara respektif). Pada studi tersebut, perbedaan rata rata antara sklera polos dan tehnik
cangkok dimana astigmatisme pasca operasi lebih kecil saat terbentuk. Pada studi saat ini,
kami menemukan tidak ada perbedaan pada perubahan astigmatisme pasca operasi antara
tehnik pembedahan yang berbeda. Perbedaan utama antara 2 studi (kami dan yilmaz dkk)
pengukuran astigmatisme pada studi saat ini menggunakan keratometri. Perbedaan lainnya
pada tehnik pembedahan. Kami tidak menggunkan tehnik sklera polos. Juga, cangkok limbus
tidak masuk dalam studi. Semua 5 metode yang dilibatkan dalam studi ini termasuk tipe
cangkok atau penutup baik pengaman dengan benang atau lem fibrin.
Kesimpulan, pterigium result in astigmatisme kornea tinggi yang meningkat dengan dengan
peningkatan panjang horizontal, dan penurunan untuk level yang bisa diterima setelah eksisi.
Kami menemukan korelasi signifikan antara nilai astigmatisme begitu juga dengan perubahan
astigmatisme dengan pembedahan. Berdasarkan studi ini, jenis cangkok seperti CAG, CRF,
atau AMT atau penggunaan benang atau lem untuk memfiksasi cangkok tidak memiliki
pengaruh signifikan pada derajat perubahan astigmatisme. Studi prospektif lebih lanjut
dengan pengukuran topografi dan jumlah pasien yang banyak adalah jaminan untuk
mengevaluasi topik ini secara mendetail.

Anda mungkin juga menyukai