PENDAHULUAN
Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuk dan struktur yang paling
sempurna dibanding mahluk-mahluk lainnya (QS, 95:4). Hal ini dikarenakan
manusia dikaruniai akal, dan dengan akal itulah manusia bisa bernalar dan
mengembangkan peradaban. Dengan kelebihan potensi akal yang dimiliki
manusia, manusia juga dibebani tugas yang lebih berat dibanding mahluk
lainnya yaitu untuk beribadah kepada Allah sang Pencipta (QS, 51:56). Amanah
ibadah yang diemban manusia adalah sebagai wakil Allah di muka bumi
(khalifatul fil-ardy) dan sebagai pemelihara bumi (riayatul ardy). Tugas ini
merupakan tugas yang berat, dan manusia akan diminta pertanggungjawaban
kelak di akhirat. Untuk menjalankan tugas yang berat manusia perlu
mengoptimalkan potensi-potensi yang dimilikinya secara baik.
Selain akal, potensi manusia lainnya adalah fisik (jasad) dan ruuh. Ketiga
komponen; fisik, ruuh, dan akal tersebut masing-masing memiliki kebutuhan
yang harus dipenuhi agar tercapai keseimbangan dalam hidup manusia. Orang
yang cenderung hanya memperhatikan aspek fisik saja maka banyak yang
terjebak pada kehidupan yang materialistik yang lebih mengutamakan hal-hal
yang bersifat kebendaan (materi) sebagai ukuran dari suatu keberhasilan. Disisi
lain, yang mengutamakan akal atau pikiran pun akan terjebak pada rasionalisme
yang hanya menerima sesuatu yang bisa dijangkau oleh akal pikirannya.
Sehingga tidak jarang, kelompok ini tidak percaya adanya Tuhan sebagai
pencipta alam semesta. Kelompok berikutnya yang lebih mengutamakan ruuh
semata sehingga sampai pada kehidupan yang melepaskan dunia dan hanya
mengejar ketenangan diri dengan berkontemplasi dan terhindar dari kehidupan
masyarakat pada umumnya. Ajaran Islam menganjurkan agar ketida aspek
tersebut dijalankan secara seimbang (tawazun), proporsional, dan harmonis.
Agar tercapai keseimbangan yang harmonis antara fisik, akal, dan ruuh
diperlukan pengenalan yang mendalam akan ketiga aspek tersebut dan
selanjutnya adalah memberikan perawatan yang sesuai karakteristik dan
kebutuhannya.
Orang yang hidup dalam tataran budaya Sunda yang mayoritas beragama Islam,
akan berbeda dalam memaknai spiritualnya dibanding dengan orang yang hidup
dalam budaya lain dengan keyakinan yang berbeda. Oleh karenanya pemenuhan
kebutuhan spiritual bersifat unik untuk setiap individu. Kondisi penyakit yang
sedang diderita atau situasi kritis yang menimpa klien, akan berpengaruh
terhadap persepsi pemenuhan kebutuhan spiritualnya. Perawat sebagai tenaga
kesehatan yang memiliki kontak terlama dengan klien, perlu memahami
bagaimana memberikan asuhan keperawatan spiritual klien sesuai dengan latar
belakang sosial budaya dan nilai-nilai serta keyakinan klien.
Istilah spiritual berasal dari kata Latin; spiritus, spirit, yang berarti napas, udara,
angin atau yang menyebabkan hidupnya seseorang (Dombeck, 1995). Spiritual
merupakan sumber kekuatan vital yang memotivasi, mempengaruhi gaya hidup,
perilaku, dan hubungan seseorang dengan yang lainnya (Goldberg, 1998).
Konsep spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau
keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan
kekuatan ketika menghadapi situasi krisis, stress emosiaonal, penyakit fisik atau
kematian.
Dalam konteks budaya barat, tidak semua orang yang ingin mencari jati diri,
pemberdayaan diri, dan aktualisasi diri harus melalui agama tertentu. Mereka
bisa mencarinya melalui cara-cara lain. Menurut Wright (1999), spiritualitas
dapat dilihat sebagai perpaduan nilai-nilai yang mempengaruhi proses interaksi
seseorang dengan dunia sekitarnya, sedangkan agama merupakan jalan (dalam
bentuk praktik ritual dan keyakinan) untuk menuju tuhan-tuhan yang diyakininya
Dalam konsep ini, dapat dilihat adanya perbedaan antara konsep spiritualitas
dan agama. Spiritual dipandang sebagai konsep yang lebih luas dibanding
agama, karena orang yang tidak memeluk suatu agama pun pada dasarnya
memiliki kebutuhan spiritual. Keyakinan spiritual tumbuh dan berkembang
sejalan dengan perkembangan fisik dan jiwa seseorang (Fowler dalam Kozier
dkk., 1991).
Agar konsep spiritual ini bisa dikaji untuk merumuskan intervensi yang tepat,
beberapa ilmuwan keperawatan menjabarkan konsep spiritual kedalam beberapa
dimensi, seperti; Stool (dalam Taylor, 2002) membagi dimensi spiritual menjadi
konsep tentang Tuhan, sumber kekuatan dan harapan, praktik keagamaan,
hubungan antara keyakinan dengan praktik kesehatan, sedangkan Dossey
(dalam Taylor, 2002), membagi dimensi spiritual menjadi makna dan tujuan
hidup, kekuatan dari dalam, dan keterkaitan (interconnections). Dari dimensi-
dimensi tersebut dikembangkan instrument untuk menilai atau mengkaji kondisi
spiritual klien. Misalnya, spiritual well-being scale yang dikembangkan oleh
Ellison dan Palotzian (Kozier dkk, 1991), spiritual assessment scale dari OBrien
(1989).
Memfasilitasi meditasi
Mendengarkan musik
Menghadirkan diri
Merujuk pada petugas rohani
Komunikasi teapeutik
Faktor personal,
Faktor pengetahuan,
Tidak cukup waktu untuk memberikan perawatan spiritual karena harus merawat
kebutuhan pasien lainnya
Kebijan institusi yang kurang mendukung, seperti tidak adanya SOP atau
pedoman pelayanan spiritual
Istilah spiritual identik dengan istilah ruuh (ruhani) atau soul. Para Ulama Islam
lebih merekomendasikan menggunakan istilah ruuh (ruhani) sebagaimana
tersebut dalam Al Quran, ketimbang istilah spiritual atau soul yang berakar pada
keyakinan Yahudi-Nashrani. Manusia dapat mengetahui hal-hal yang bersifat
fisik-material dengan proses pengenalan melalui panca indra yang dimilikinya.
Proses pengenalan ini melahirkan suatu pengetahuan tentang suatu fenomena
fisik atau material. Untuk hal-hal yang immateri, seperti halnya ruuh, manusia
tidak dapat mengandalkan panca indra karena proses pengindraan sangatlah
terbatas. Hakikat yang sesungguhnya dari ruuh hanyalah Allah yang tahu,
sebagaimana Allah SWT berfirman:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruuh. Katakanlah; ruuh itu termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit (QS
17:85).
Manusia tidak bisa mengetahui secara nyata bagaimana sebenarnya ruuh, cara
yang terbaik untuk mengetahui ruuh ini adalah melalui wahyu atau informasi
yang diberikan Allah, karena Allah yang menciptakan ruuh dan Allah lah yang
mengetahui secara pasti hakikat ruuh tersebut. Ruuh dijelaskan oleh beberapa
ulama sebagai substansi yang halus dari manusia, merupakan kebalikan jasad,
bersifat tinggi, suci, memiliki daya. Menurut Al-ghazali, ruuh merupakan
penggerak jasad yang mampu berfikir, mengingat, dan mengetahui. Ruuh inilah
yang kelak akan diminta pertanggungjawaban dihadapan Allah.
Dalam konsepsi Islam, ruuh ditiupkan kedalam janin yang dikandung oleh ibu
ketika usia kehamilan mencapai 120 hari. Hal ini berdasar pada sebuah hadits:
Dengan ditiupkannya ruuh, berarti kehidupan janin sudah dimulai. Ketika janin
itu lahir menjadi seorang bayi, ruuh masih dalam keadaan fitrah, sebagaimana
dalam sebuah hadits disebutkan:
Setiap bayi yang terlahir itu dalam keadaan suci (fitrah), orangtuanyalah yang
membentuk anak itu menjadi Yahudi, Nashrani, atau Majusi
Kondisi fitrah sebenarnya merupakan kondisi dasar dari ruhani yang sehat. Fitrah
seseorang adalah untuk mengabdi pada penciptanya, mengikuti perintah-Nya
dan menjauhi larangan-Nya. Dalam perkembangan selanjutnya fitrah ini bisa
tercemari oleh perilaku-perilaku manusia akibat beriteraksi dengan lingkungan
termasuk didalamnya unsur-unsur syaithoniah atau dorongan akan berbuat inkar
terhadap pencipta-Nya. Islam diturunkan adalah untuk mengembalikan dan
menjaga manusia agar tetap pada fitrahnya. Firman Allah SWT:
Dalam Al-Quran, ada beberapa istilah lain yang menurut para ulama memiliki
esesnsi sama dengan ruuh, yaitu nafs (jiwa), dan qalb (hati) (Kasule, 2005). Nafs
merupakan gabungan antara ruuh dan jasad, yang yang kedudukannya labil bisa
cenderung pada kebaikan atau pada kejahatan. Allah SWT berfirman:
Nafs ammarah yang lebih besar kecenderungannya pada hal yang buruk,
hedonis, dan syahwat (QS 12:53). Sisi positif nafs ini adalah sebagai potensi
untuk kehidupan biologis dan bertahan hidup di dunia
Nafs Lawwamah yang cenderung pada penyesalan diri tetapi belum dapat
memperbaikinya, menyalahkan diri, penasaran, merasa lebih, tidak mudah
percaya (QS 75:2). Sisi positif dari nafs ini adalah sebagai gerbang kesadaran
dan taubat, pintu keyakinan dan optimisme.
Ihsan itu adalah beribadahlah kamu kepada Allah seolah-olah kamu melihat-
Nya, dan jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Ia melihatmu
Menurut para ulama, ihsan inilah merupakan kondisi tertinggi dari keyakinan
spiritual. Seorang muhsin, haruslah ia beriman, seorang mumin haruslah dia
Islam, tapi tidak semua muslim beriman, apalagi sampai pada tahap ihsan.
Islam sebagai Diin yang komprehensif (syamil dan muttakamil) meliputi seluruh
aspek kehidupan manusia termasuk juga sehat dan kesembuhan. Islam
memberikan tuntunan bagaimana mencapai kesembuhan yang hakiki ketika
ditimpa sakit. Allah SWT berfirman:
dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku (QS 26:80)
Sehat dan sakit bagi seorang muslim bisa dipandang sebagai ujian atau kifarat
bagi dosa-dosa yang telah dilakukan, dan semua yang terjadi tidak luput dari
kehendak Allah SWT. Sehingga dalam mencari kesembuhan pun harus dengan
cara-cara yang diridhai Allah SWT, karena hakikat kesembuhan adalah dari Allah
SWT. Dokter, perawat, petugas kesehatan, obat, dan pihak lainnya hanyalah
perantara (instrument) bagi kesembuhan dari Allah. Healing berbeda dengan
Cure atau Recovery. Cure dan recovery lebih menekankan pada penyebuhan dan
pemulihan fisik seseorang setelah mengalami sakit. Healing lebih mengacu pada
proses pemulihan fungsi kehidupan secara totalitas dan holistik dari individu
setelah mengalami suatu penyakit atau stress. Healing bukan hanya meliputi
aspek fisik tapi juga aspek emosional, sosial, kultural, dan spiritual. Sehingga
dalam konsepsi Islam, healing ini bisa dipandang sebagai upaya dakwah yang
menyeru serta membimbing manusia kejalan Allah dengan hikmah (ilmu) dan
cara-cara yang baik, hingga manusia tersebut mengingkari dari thagut dan
beriman kepada Allah yang mengeluarkan dari kegelepan jahiliyah ke cahaya
Islam. Oleh karenanya perawat ruhani Islam, pada hakikatnya juga seorang dai
yang yang membantu proses penyembuhan secara totalitas baik pada tingkat
individu maupun masyarakat.
Aspek caring yang menurut Watson diartikan sebagai kesadaran penuh perawat
untuk membangun hubungan professional perawat-klien yang terapetik yang
meliputi unsur-unsur trust, touch, presence, love, compassion, empathy, dan
competence. Dalam konteks Islam, membangun hubungan caring dengan klien
harus didasarkan pada nas atau ayat yang diturunkan Allah SWT. Dalam hal ini,
berarti segala aktvitas pelayanan kepada klien didasarkan pada niat yang ikhlas
untuk semata-mata beribadah kepada Allah, bukan hanya hubungan kontrak
professional yang bersifat jasa atau komersial. Caring merupakan manifestasi
fitrah (wujud asli) dari refleksi terhadap kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya
yang mengajarkan menyayangi yang lemah, membesarkan hati yang sedang
menderita sakit, serta menyelamatkan kehidupan dan tidak berbuat kerusakan.
Sehingga caring dalam pandangan Islam adalah keinginan untuk
bertanggungjawab, sensitif, sadar akan niat dan perbuatan untuk beristiqomah
di jalan yang benar untuk mencapai kesempurnaan dunia dan akhirat (Rassool,
2000).
PERAWATAN SPIRITUAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Perawatan spiritual atau ruhani dalam pandangan para ulama Islam merupakan
proses berkelanjutan sepanjang kehidupan manusia. Islam mengajarkan
bagaimana manusia menjalani kehidupan dari mulai menyiapkan generasi
penerus yang masih berupa janin didalam kandungan, kemudian lahir sebagai
seorang bayi, menjadi anak, dan tumbuh menjadi dewasa, sampai menjelang
ajal tiba. Dengan melaksanakan ajaran Islam secara totalitas sesuai tuntunan
Quran dan Sunnah Rasul, maka manfaat yang diperoleh adalah diantaranya
terpeliharanya kesehatan baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Mengingat manusia pada awalnya dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka tujuan
perawatan spiritual Islam adalah bagaimana mengembalikan manusia kedalam
fitrahnya agar bisa mengenal Tuhannya, melaksanakan segala perintah-Nya, dan
menjauhi segala larangan-Nya. Namun, kerena kehidupan manusia tidaklah steril
dari kotoran atau penyakit, maka metoda yang dianjurkan para ulama dalam
menjaga kefitrahan diri dalah dengan melakukan penyucian jiwa (Tazkiyat an-
nafs). Tazkiyah merupakan dasar untuk peningkatan dan pengembangan
keperibadian. Tazkiyah juga merupakan proses panjang, proaktif, perjuangan
yang sulit dalam mengembalikan kedudukan manusia kedalam kontrak semula
antara mahluk dan Khalik (Allah). Allah SWT berfirman:
Dalam kondisi seseorang sedang ditimpa musibah berupa sakit, maka Islam
memberikan bimbingan bagaimana mensikapi sakit dengan senatiasa
berhusnudzan kepada Allah, berserah diri kepada Allah, mengingat Allah (dizkr),
sabar, berdoa dan berupaya dengan jalan yang diridhai Allah. Perawat yang
sehari-hari merawat klien yang sakit sangat berperan dalam memberikan
bimbingan ruhani sesuai batas kemampuan atau berupaya memfasilitasi
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan ruhiyah bagi pasien yang sedang sakit.
Beberapa intervensi yang bisa dikembangkan oleh perawat dalam membantu
memenuhi kebutuhan ruhiyah kliennya adalah diantaranya dengan
mengucapkan salam kepada klien, menunjukan sikap ramah, kasih saying,
perhatian, mendoakan klien, memberikan tausiah, meluangkan waktu untuk
berdiskusi dengan klien, memfasilitasi kegitan ibadah klien, menghadirkan
petugas kerohanian, memberikan bimbingan sakaratul maut, serta menata
kondisi lingkungan yang kondusif untuk terpenuhinya kebutuhan ruhiyah klien.
PENUTUP
Pemenuhan kebutuhan spiritual merupakan fitrah insani bagi semua orang, tidak
hanya bagi mereka yang beragama, namun juga pada mereka yang tidak secara
resmi berafiliasi pada aagama tertentu. Mengingat kebutuhan spiritual bersifat
uniq dan intangible (abstrak), maka sangat besar adanya perbedaan cara
pandang bagi berbagai individu atau kelompok masyarakat. Bagi klien muslim,
kebutuhan spiritual hendaknya dipenuhi dalam konteks ajaran Islam yang tidak
memisahkan aspek agama dengan aspek spiritual. Dengan demikian, tidak
semua paradigma perawatan spiritual yang dikemukakan dalam literature bisa
diterapkan kepada klien, namun perlu untuk disesuaikan dengan latar belakang
budaya, nilai-nilai, keyakinan, agama, serta kondiri klien yang kita rawat. Bagi
perawat muslim sendiri, nampaknya perlu menggali lebih dalam bagaimana
konsep perawatan spiritual yang islami serta penerapannya dalam asuhan
keperawatan. Wallahualam bishawab.
DAFTAR PUSTAKA
Elizabeth Johnson Taylor. (2002). Spiritual Care, Nursing Theory, Research, and
Practice. Prentice Hall: New Jersey
G. Hussein Rassool. (2000). The Crescent and Islam : Healing, Nursing and The
Spiritual Dimension. Some Considerations Toward An Understanding of The
Islamic Perspectives On Caring. Journal of Advanced Nursing; 32(6), 1476-1484
H. Isep Zainal Arifin. (2004). Terapi Rohani Islam Sebagai Alternatif Pengobatan.
Makalah. Tidak dipublikasikan
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah. (1994). Sistem Kedokteran Nabi, diterjemahkan oleh
HS Agil Husin Al Munawar dan Abd. Rahman Umar. Semarang: Dina Utama
Semarang
Omar Hasan Kasule. (2005). Spiritual, Ruuh, Nafs, Qolb, and Care in Islamic
Perspective. Personal correspondence.
Said bin Muhammad Daib Hawwa. (2005). Intisari Ihya Ulumuddin Al-Ghazali
Mensucikan Jiwa, diterjemahkan oleh Aunur Rafiq Shaleh Tahmid. Jakarta:
Robbani Press
Daftar pustaka
http://keperawatanreligionhannifahfitriani.wordpress.com/2010/12/09/keperawat
an-menurut-pandangan-islam/