Anda di halaman 1dari 9

SINDROM KORONER AKUT (SKA)

DEFINISI
Sindroma Koroner Akut (SKA) atau acute coronary syndrome (ACS) merupakan suatu
istilah yang menggambarkan kumpulan gejala klinik yang ditandai dengan nyeri dada dan gejala
lain yang disebabkan oleh penurunan aliran darah ke jantung, biasanya disebabkan oleh plak
aterosklerotik.
Sindrom koroner akut merupakan suatu kondisi yang mengancam nyawa. Sindrom ini bervariasi
dari pola angina pektoris tidak stabil hingga terjadinya infark miokard yang luas. Infark miokard
merupakan nekrosis otot jantung terjadi secara irreversible.

ETIOLOGI

Penyebab dari Sindroma Koroner Akut ini adalah

Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada


Obstruksi dinamik (spasme koroner atau vasokonstriksi)
Obstruksi mekanik yang progresif
Inflamasi dan/atau infeksi
Faktor atau keadaan pencetus

KLASIFIKASI

Berdasarkan definisi yang disebutkan sebelumnya, Sindroma Koroner Akut merupakan


kumpulan gejala klinik yang ditandai dengan nyeri dada dan gejala lain.

Sindroma Koroner Akut dibagi menjadi,

1) Angina tidak stabil (UAP)


2) Miokard infark ST-elevasi (STEMI)
3) Infark miokard non ST- elevasi (NSTEMI)

FAKTOR RISIKO

Faktor risiko SKA terbagi dua, faktor risiko yang tidak dapat diubah dan yang dapat diubah.

Faktor risiko yang tak dapat diubah adalah usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga
sedangkan faktor risiko yang dapat diubah adalah peningkatan kadar kolesterol total, kolesterol
LDL, trigliserida, apolipoprotein B, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dll.

Faktor risiko yang dapat diubah antara lain merokok, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus,
aktifitas fisik, dan obesitas. Termasuk di dalamnya bukti keterlibatan tekanan mental dan depresi.
Sedangkan beberapa faktor yang baru antara lain CRP, Homocystein dan Lipoprotein(a)

1
PATOGENESIS SINDROM KORONER AKUT

Sekitar 90% dari kasus ACS dihasilkan oleh adanya gangguan atau rupturnya pada plak
aterosklerosis dengan diikuti agregasi platelet dan pembentukan trombus intrakoroner. Penyebab
lainnya dapat berupa sindrom vaskulitis, emboli koroner (dapat disebabkan oleh endokarditis
atau katup jantung buatan), anomali arteri koroner kongenital, aneurisma, trauma, spasme arteri
koroner berat, peningkatan viskositas darah (polisitemia vera, trombositosis), diseksi arteri
koroner spontan, dan peningkatan kebutuhan yang besar akan oksigen untuk miokard.

Adanya trombus pada daerah yang mengalami penyempitan karena plak dapat menyebabkan
terjadinya sumbatan berat hingga total pada arteri koroner. Gangguan aliran darah tersebut dapat
mengakibatkan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen untuk sel otot jantung.
Trombus yang terjadi pada ACS dihasilkan oleh interaksi antara plak aterosklerosis, endotel
koroner, platelet yang bersirkulasi dan tonus vasomotor dinding pembuluh darah.

Sumbatan parsial trombus menyebabkan suatu kondisi yang berkaitan dengan sindrom unstable
angina (UA)dan non-ST-elevation myocardial infarction (NSTEMI). Kedua kondisi ini
dibedakan berdasarkan ada tidaknya nekrosis pada miokard. Pada unstable angina, belum terjadi
nekrosis sel otot jantung sementara pada NSTEMI sudah ada. Dalam membedakannya,
dilakukan pemeriksaan serum biomarker. Adanya peningkatan serum biomarker seperti troponin
T dan CK/CKMB menandakan adanya nekrosis pada otot jantung. Namun, unstable angina yang
tidak tertangani dapat berkembang menjadi NSTEMI hingga STEMI.

Jika sumbatan terjadi secara total, iskemia yang terjadi akan semakin berat dan nekrosis juga
semakin luas. Hal ini dapat menyebabkan manifestasi peningkatan segmen ST pada STEMI (ST-
elevation myocardial infarction).

PATOFISIOLOGI

Berdasarkan luasnya, infark yang terjadi dapat berupa infark transmural dan infark
subendokardium, Infark transmural melibatkan kematian sel pada seluruh ketebalan miokardium.
Kondisi ini dihasilkan oleh oklusi yang bersifat total dan berkepanjangan pada arteri koroner
epikardium. Sementara itu, infark subendokardium terjadi pada lapisan terdalam dari
miokardium atau hanya di daerah subendokardium. Bagian subendokardium memang lebih
rentan terhadap iskemia karena daerah ini mendapatkan tekanan yang tinggi dari ruang ventrikel,
kolateral yang mensuplai darah sedikit, serta mendapatkan perfusi oleh pembuluh darah yang
harus melewati lapisan miokardium yang berkontraksi.

Infark di inisiasi oleh adanya iskemia yang berkembang menjadi kematian sel yang berpotensi
reversibel hingga yang irreversibel. Miokardium yang disuplai langsung oleh pembuluh darah
yang tersumbat akan mati dengan cepat. Sementara itu, jaringan di sekitarnya tidak segera mati
karena dapat diperfusi secara adekuat oleh pembuluh darah di sekitarnya yang masih paten.
Namun, seiring berjalannya waktu, jaringan tersebut akan mengalami iskemia karena kebutuhan
akan oksigen tetap ada sementara suplai oksigen berkurang. Oleh karena itu, regio infark dapat
mengalami ekstensi.

Banyak dan luasnya jaringan yang mengalami infark dipengaruhi oleh massa miokardium yang
diperfusi oleh pembuluh darah yang tersumbat, besar dan durasi aliran pembuluh darah yang

2
tersumbat, kebutuhan oksigen pada area yang terpengaruh, kolateral pembuluh darah yang
memberikan suplai darah dari arteri koroner sekitar yang tidak tersumbat dan derajat respon
jaringan yang memodifikasi proses iskemia.

Pada infark miokard, terdapat early changes serta late changes. Pada early changes, di menit-
menit awal terjadi turunnya kadar ATP serta penurunan kontraktilitas. Dalam 10 menit, dapat
terjadi deplesi ATP hingga 50%, edema sel, penurunan potensial membran dan terjadi kerentanan
mengalami aritmia. Cedera sel dapat menjadi irreversible dalam 20-24 menit. Dalam 1-3 jam
pertama, terdapat gambaran wavy myofibers.Selanjutnya, terjadi perdarahan, edema dan infiltrasi
PMN. Pada 18-24 jam, terjadi nekrosis koagulasi dengan disertai edema. Nekrosis koagulasi
total terjadi dalam 2-4 hari disertai dengan munculnya monosit dan terjadi puncak dari infiltasi
PMN.

Selain perubahan di masa awal infark, perubahan dapat terjadi jauh setelahnya, yang mana sering
disebut sebagai late change. Dalam 5-7 hari pasca oklusi, terjadi yellow softening dari resopsi
jaringan yang mati oleh makrofag. Remodeling ventrikel terjadi setelah 7 hari. Selanjutnya,
fibrosis dan pembentukan scar dapat selesai pada minggu ketujuh. 2

GEJALA KLINIS

Unstable Angina (UA)

Unstable angina merupakan suatu kondisi percepatan terjadinya gejala iskemia. Hal tersebut
dapat berupa adanya pola cressendo pada pasien yang memang sudah sering mengalami stable
angina secara kronis. Frekuensi, durasi dan atau intensitas episode iskemiknya meningkat.
Kondisi lain yang juga merupakan tanda unstable angina adalah adanya angina yang terjadi saat
istirahat, tanpa provokasi. Episode angina baru, yang dirasakan begitu berat, pada pasien yang
sebelumnya belum pernah mengalami gejala penyakit arteri koroner.

INFARK MIOKARD AKUT

Tanda dan gejala pada infark miokard berkaitan dengan beratnya iskemia yang terjadi,
serta komplikasi dari kematian sel. Nyeri pada infark miokard terjadi lebih berat, lebih lama dan
dapat menjalar lebih luas. Nyeri secara tipikal terjadi pada daerah substernal yang dapat menjalar
ke regio dermatom C7 hingga T4 seperti leher, pundak, dan lengan. Istirahat belum cukup untuk
meredakan nyeri, begitu juga dengan pemberian nitrogliserin sublingual yang hanya
menghasilkan sedikit respon. Namun, tidak semua pasien infark miokard mengalami nyeri atau
rasa tidak nyaman di dada. Sekitar 25% pasien ternyata dapat mengalami kejadian infark
miokard akut yang asimptomatik, terutama pada pasien diabetes yang mengalami gangguan
persepsi nyeri karena adanya neuropati perifer.

Selain nyeri, tanda dan gejala seperti berkeringat serta kulit dingin dan lembab dapat muncul
karena adanya aktivasi simpatis. Di sisi lain, efek vagal dapat memicu timbulnya mual muntah
serta rasa lemas. Pada pemeriksaan jantung bisa didapatkan gallop S3 dan atau S4, dyskinetic
buldge dan murmur sistolik. Jika ada gagal jantung, bisa ditemukan ronki serta distensi vena
jugularis. 2

3
DIAGNOSIS

Diagnosis pasien ACS didasarkan pada tiga dasar, yaitu gejala, abnormalitas EKG akut, dan
deteksi penanda serum untuk nekrosis miokardium spesifik. UA didiagnosis berdasarkan gejala
klinis, abnormalitas ST sementara pada EKG yang biasanya berupa depresi segmen ST, dan atau
inversi gelombang T. Pada pemeriksaan biomarker serum tidak didapatkan adanya peningkatan.

Sementara itu, NSTEMI dibedakan dari UA dengan terdeteksinya biomarker serum penanda
nekrosis miokardium. Selain itu, pada NSTEMI terdapat abnormalitas ST atau gelombang T
yang lebih persisten. Pada STEMI, gambaran EKG menunjukan adanya elevasi segmen ST
ditambah dengan terdeteksinya penanda serum untuk nekrosis miokardium. 2

Abnormalitas EKG pada Unstable Angina dan NSTEMI2

Evolusi EKG Selama STEMI2

Stratifikasi Risiko dengan TIMI Score 3,4


Pada saat melakukan diagnosis kasus sindrom koroneri akut, prognosis pasien juga perlu
dipertimbangkan. Saat ini, salah satu sistem skoring yang sering digunakan adalah TIMI Score

4
(Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI). Skor TIMI berbeda antara kasus STEMI (ST-
elevation myocardial infarction) dengan kasus NSTEMI (non ST-elevation myocardial
infarction).

Pada kasus N-STEMI, sebelumnya kita perlu perhatikan tanda dan gejala berupa: nyeri dada
iskemi pada saat istirahat dalam 24 jam terakhir, dengan disertai bukti penyakit jantung koroner
(dapat berupa deviasi segmen ST atau peningkatan penanda enzim jantung). Dalam menentukan
skor TIMI untuk kasus N-STEMI, informasi yang perlu digali adalah sebagai berikut.

1. Usia >=65 tahun


2. 3 atau lebih faktor resiko penyakit jantung koroner
3. Riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya serta diketahui terdapat
stenosis >50%
4. Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir
5. Angina berat dalam 24 jam terakhir
6. Peningkatan penanda enzim jantung
7. Deviasi segmen ST >0,5 mm
Masing-masing kriteria mendapatkan 1 poin.
Kaitan Skor TIMI tersebut dengan kematian dalam 2 minggu, resiko kematian akibat infark
miokard, terjadinya miokard infark adalah sebagai berikut

0-1 point: 3-5%


2 poin : 3-8%
3 poin: 5-13%
4 poin: 7-20%
5 poin: 12-26%
6-7 poin: 19-41%
Sementara itu, untuk skoring TIMI pada kasus STEMI, kriteria sedikit berbeda,
yaitu: (sebelumnya pertimbangkan tanda dan gejala berikut: nyeri dada lebih
dari 30 menit, ST elevasi, onset kurang dari 6 jam).
1. DM, riwayat hipertensi atau riwayat angina (1 poin)
2. Tekanan darah sistolik kurang dari 100 mmHg (3 poin)
3. Denyut nadi > 100 BPM (2 poin)
4. Kelas Killip II-IV (2 poin)
5. Berat badan kurang dari 67 kg (1 poin)
6. ST elevasi pada lead anterior atau terdapat LBBB (1 poin)
7. Waktu onset hingga penatalaksanaan lebih dari 4 jam (1 poin)
ditambah dengan kriteria usia:

1. usia lebih dari atau sama dengan 75 tahun (3 poin)


2. 65-74 tahun (2 poin)
3. kurang dari 65 (0 poin)
Skor ini memberikan informasi prediksi kematian dalam 30 hari sesudah terjadi infark miokard
sebagai berikut.

0 poin: 0,8%

5
1 poin: 1,6%
2 poin: 2,2%
3 poin: 4,4%
4 poin: 7,3%
5 poin: 12%
6 poin: 16%
7 poin: 23%
8 poin: 27%
9-14 poin: 36%

PENATALAKSANAAN

Tatalaksana Sindrom Koroner Akut tanpa Elevasi Segmen ST (NSTEMI)

Tatalaksana awal untuk pasien yang diduga mengalami sindrom koroner akut harus segera
dilakukan. Dalam 10 menit, perlu dilakukan:

Pemeriksaan tanda vital


Mendapatkan akses intravena
Perekaman dan analisis EKG
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pengambilan sediaan untuk pemeriksaan enzim jantung, elektrolit
serta pemeriksaan koagulasi
EKG harus segera dilakukan. Selanjutnya, EKG direkam berkala untuk mendapatkan ada
tidaknya elevasi segmen ST. Troponin T diukur saat masuk dan jika normal diulang 6-12 jam.
Kemudian, CK dan CK-MB diperiksa pada pasien dengan onset <6jam dan pada pasien pasca
infark <2 minggu dengan iskemik berulang untuk mendeteksi reinfark atau infark
periprosedural. 5
Di unit emergensi, tatalaksana yang diberikan pada pasien dengan sindrom koroner akut adalah
pemberian oksigen 4L/menit (saturasi oksigen dipertahankan >90%). Kemudian, pasien
diberikan aspirin 160 mg (dikunyah), nitrat 5 mg sublingual yang dapat diulang sebanyak tiga
kali jika masih nyeri. Jika nyeri dada tidak teratasi dengan nitrat, dapat diberikan morfin 2,5-5
mg. 5
Tatalaksana lebih lanjut berdasarkan pada skor risiko TIMI. Pada pasien dengan resiko tinggi
atau sedang, diberikan anti iskemik berupa beta blocker, nitrat atau calcium channel blocker.
Beta blocker diberikan pada pasien dengan hipertensi dan takikardi. Nitrat intravena maupun oral
juga dapat bermanfaat untuk meredakan nyeri dada akut. Sementara itu, CCB dapat mengurangi
gejala pada pasien yang telah menerima nitrat dan beta blocker. Juga, CCB bermanfaat apabila
terdapat kontraindikasi pemberian beta blocker serta pada angina vasospastik. Kontraindikasi
pemberian beta blocker antara lain adalah terdapat tanda-tanda gagal jantung akut, hipotensi, dan
peningkatan risiko syok kardiogenik. Kontraindikasi relatifnya berupa PR interval >0,24, blok
AV derajat 2 atau 3, asma bronkial aktif atau kelainan saluran napas reaktif.

Antiplatelet oral berupa aspirin atau clopidogrel diberikan pada pasien sinrom koroner akut.
Dosis awal aspirin untuk semua pasien sindrom koroner akut adalah sebesar 160-325 mg,

6
selanjutnya diberikan 75-100 mg per hari. Pilihan lainnya adalah clopidogrel dengan dosis awal
300 mg per oral, dilanjutkan 75 mg per hari. Clopidogrel dapat diberikan hingga 12 bulan
kecuali terdapat komplikasi perdarahan berlebihan. Apabila pasien direncanakan menjalani PCI,
clopidogrel dapat diberikan dengan dosis loading 600 mg untuk mencapai inhibisi fungsi platelet
yang lebih cepat dan optimal. Sebagai tambahan, antiplatelet intravena berupa penghambat
reseptor GpIIb/IIIa seperti tirofiban dapat diberikan. 5
Antikoagulan diberikan pada semua pasien selain anti platelet berupa heparin (unfractioned
heparin atau low molecular weight heparin). Antikoagulan yang tersedia berupa enoxaparin atau
fondaparinux.

Pada pasien risiko sedang dan tinggi, angiografi koroner dini dilakukan <72 jam diikuti oleh PCI
atau CABG. Jika pasien mengalami angina refrakter atau berulang disertai perubahan segmen
ST, gagal jantung, aritmia yang mengancam hidup, atau hemodinamik tidak stabil,
direkomendasikan dilakukan angiografi koroner urgensi.

Terapi tambahan yang dapat diberikan adalah ACE inhibitor atau ARB dan statin.

Pada pasien dengan resiko rendah, terapi yang diberikan adalah aspirin dan beta blocker.
Selanjutnya pasien dapat dipulangkan setelah dilakukan observasi di IGD. Selanjutnya, pada
rawat jalan, dapat dipertimbangkan uji latih jantung dan ekokardiografi.

Tatalaksana Sindrom Koroner Akut dengan Elevasi Segmen ST (STEMI)

Pada pasien SKA dengan elevasi segmen ST, tatalaksana awal yang diberikan tidak jauh berbeda
dengan SKA tanpa elevasi segmen ST. Termasuk di antaranya adalah pemberian oksigen, aspirin,
nitrat hingga morfin. Namun, yang penting untuk diperhatikan adalah pemilihan revaskularisasi
dan reperfusi miokard yang harus dilakukan pada pasien STEMI akut dengan presentasi <12 jam.
Di ruang perawatan intensif, dalam 24 jam pertama datang, pasien perlu dimonitor secara
kontinyu 24 jam. Nitrogliserin oral kerja cepat dapat diberikan untuk mengatasi nyeri dada.
Pemberian intravena kontinyu diberikan pada gagal jantung, hipertensi atau tanda-tanda iskemi
yang menetap.5
Terapi fibrinolitik direkomendasikan pada pasien dengan presentasi 3 jam atau jika tindakan
invasif tidak mungkin dilakukan atau akan terlambat. Apabila waktu antara pasien tiba sampai
dengan inflasi balon > 90 menit atau jika waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon
dikurangi waktu antara pasien tiba sampai dengan proses fibrinolitik > 1 jam, terapi fibrinolitik
tetap direkomendasikan.

Penggunaan heparin dilakukan dengan pemberian UFH sebagai ko-terapi bolus IV 60 U/kgBB
maksimum 4000 U. Dosis pemeliharaan per drip 12 U/kgBB selama 24-48 jam dengan
maksimum 1000 U/jam dengan target aPTT 50-70 detik.

Monitoring aPTT dilakukan pada 3,6,12,24 jam setelah memulai terapi. Selain UFH, dapat
digunakan juga LMWH pada pasien berusia <75 tahun, dengan fungsi ginjal yang masih baik
(Cr<2,5mg/dL pada laki-laki atau <2,0 mg/dL pada wanita).

Apabila terdapat fasilitas PCI (intervensi koroner perkutan primer), PCI direkomendasikan pada
presentasi > 3 jam. Juga, apabila PCI dapat dilakukan dengan cepat, fibrinolitik
dikontraindikasikan serta resiko tinggi dengan gagal jantung kongestif (killip kelas 3). 5

7
Kontraindikasi Fibrinolitik absolut di antaranya adalah

Riwayat perdarahan intrakranial


Lesi struktural serebrovaskular
Tumor intrakranial
Stroke iskemik dalam 3 bulan kecuali dalam 3 jam terakhir
Dicurigai diseksi aorta
Adanya trauma, pembedahan, trauma kepala dalam waktu 3 bulan
terakhir
Adanya perdarahan aktif (tidak termasuk menstruasi)
Kontraindikasi relatif fibrinolitik antara lain adalah

Riwayat hipertensi kronik dan berat yang tidak terkontrol


Hipertensi berat yang tidak terkontrol saat presentasi (TD sistolik >180
mmHg atau TD diastolik > 110 mmHg)
Riwayat stroke iskemik > 3 bulan, demensia atau kelainan intrakranial
selain yang terdapat pada kontraindikasi absolut
Resusitasi jantung paru traumatik atau lama > 10 menit atau operasi
besar < 3 minggu
Perdarahan internal dalam 2-4 minggu terakhir
Terapi antikoagulan oral
Kehamilan
Non-compressible puncture
Ulkus peptikum aktif
Khusus streptokinase atau anistreplase: riwayat pemaparan
sebelumnya (>5 hari) atau riwayat alergi zat tersebut.
Bedah pintas dilakukan apabila terjadi kegagalan PCI di mana terjadi oklusi mendadak arteri
koroner selama proses kateterisasi, PCI tidak memungkinkan, syok kardiogenik, pasien dengan
komplikasi ruptur septum ventrikel atau regurgitasi mitral, maupun pasien dengan iskemia
berkepanjangan atau berulang setelah optimalisasi terapi medikamentosa dengan anatomi yang
sesuai dengan tindakan bedah. 5

PROGNOSIS

Pasien dengan Sindroma Koroner Akut dapat memiliki prognosis yang berbeda. Pada pasien
Sindroma Koroner Akut dengan peningkatan konsentrasi troponin terdapat peningkatan
mortalitas pada hari ke 30 atau 6 bulan. Adanya elevasi dari segmen ST merupakan prediktor
kuat untuk menentukan prognosis

KOMPLIKASI

Komplikasi Sindroma Koroner Akut


Iskemia yang berulang
Aritmia, seperti fibrilasi ventrikel, aritmia supraventrikular, blok konduksi
Gagal jantung kongestif

8
Syok kardiogenik
Infark ventrikel kanan
Komplikasi mekanis , seperti ruptur otot papilari,ruptur septal ventrikel
Perikarditis
Tromboembolisme

DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci dkk. Harrisons Manual Medicine: Common Patient Presentations.


17thed. Amerika Serikat: McGraw Hill; 2009. P. 175-7.
2. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease: Acute Coronary Syndrome.
5thed. Philadelphia: Lippincott Wliiams&Wilkins;2011 . p. 162-75
3. Antman EM, Cohen M, Bernink PJ. The TIMI risk score for unstable
angina/non-ST Elevation MI: A method for prognostication and therapeutic
decision making. JAMA. 2000 Aug 16; 284(7):835-42
4. Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, et. al. TIMI risk score for ST-
elevation myocardial infarction: A convenient, bedside, clinical score for risk
assessment at presentation: An intravenous nPA for treatment of infarcting
myocardium early II trial substudy. Circulation. 2000 oct 24;102(17):2031-7
5. Pedoman Tatalaksana Penyakit Kardiovaskular di Indonesia: Penyakit
Jantung Koroner. 2nd Ed. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia; 2009. P.81-92

Anda mungkin juga menyukai