Anda di halaman 1dari 35

PRESENTASI KASUS

PNEUMONIA PADA ANAK

Disusun Oleh :

Fitriana Dyah Lestari

1102012093

Dokter Pembimbing :

dr. Argo Pribadi, Sp.A, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD Dr. DRADJAT PRAWIRANEGARA, SERANG

PERIODE 3 OKTOBER 10 DESEMBER 2016

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

JAKARTA

NOVEMBER 2016

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas kehendak-NYA,
penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi kasus dengan judul Pneumonia dalam rangka
memenuhi salah satu tugas sebagai ko-asisten yang sedang menjalani kepaniteraan klinik
ilmu kesehatan anak di Rumah Sakit Umum dr. Drajat Prawiranegara Serang.

Dalam menyelesaikan tugas presentasi kasus ini, penulis mengucapkan banyak


terima kasih kepada dr. Argo Pribadi, Sp.A selaku pembimbing dalam penyusunan presentasi
kasus dan sebagai salah satu pembimbing selama menjalani kepaniteraan ini.

Apabila terdapat kekurangan dalam menyusun presentasi ini, penulis akan menerima
segala kritik dan saran yang membangun. Semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.

Serang, November 2016

Fitriana Dyah Lestari

Penulis

2
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. RAP
Umur : 7 Bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Nama Orang tua : Tn. R
Alamat : Komp. Panjunan Indah Kasemen
Tanggal Masuk : 29 Oktober 2016
Ruang Rawat : Flamboyan 3

IDENTITAS ORANG TUA


Data Orang Tua Ibu Ayah
Nama Ny. N Tn. R
Umur 26 tahun 30 tahun
Pekerjaan Ibu Rumah tangga Nelayan
Pendidikan Tamat SD Tamat SD
Agama Islam Islam

II. ANAMNESIS (29 November 2015)


Berdasarkan Alloanamnesa dengan Ibu pasien pada tanggal 29 Oktober 2016.
Keluhan Utama:
Sesak nafas
Keluhan Tambahan :
Demam (+), Batuk berdahak (+), Pilek (+)

Riwayat Penyakit Sekarang:


Seorang pasien anak perempuan diantar oleh orang tuanya ke IGD RSU dr. Drajat
Prawiranegara Serang pada tanggal 29 November 2016 dengan keluhan sesak yang dirasakan
sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien terlihat kesulitan bernapas dan mulut pasien
terlihat biru. Keluhan di sertai dengan demam. Demam dirasakan tinggi mendadak tanpa
disertai mengigil. Keluhan kejang disangkal. Sebelumnya, pasien mengalami batuk dan pilek
sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk berdahak sekali mengganggu pasien. Sejak

3
pasien mengalami batuk dan pilek, nafsu makan pasien berkurang. Saat sebelum sakit, nafsu
makan pasien normal. Keluhan muntah setiap batuk disangkal. Keluhan sulit menelan
disangkal. Riwayat tersedak disangkal. Lalu pasien langsung dibawa ke IGD RSU dr. Drajat
Prawiranegara Serang.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal. Riwayat tersedak disangkal.
Riwayat alergi obat disangkal. Riwayat asma disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Keluhan yang sama seperti pasien di keluarga disangkal. Riwayat kontak dengan
penderita TB atau sakit paru di keluarga maupun lingkungan sekitar disangkal. Riwayat
alergi, asma, penyakit jantung disangkal.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan :


Pasien merupakan anak kedua, lahir di Puskesmas, cara persalinan pervaginam,
cukup bulan (9 bulan), berat lahir 2.900 gram, menangis spontan, kelainan bawaan (-),
riwayat kuning maupun sianosis (-). Kesan : Lahir cukup bulan, sesuai masa kehamilan.

Riwayat Imunisasi :
Imunisasi biasanya dilakukan di puskesmas. Imunisasi yang telah dilakukan
Polio, DPT, Hepatitis B. BCG (-). Ibu Pasien lupa waktunya kapan. Kesan : Imunisasi
dasar kurang lengkap sesuai umur menurut rekomendasi Depkes.

Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan :

Saat ini pasien sudah bisa tengkurap dan mulai merangkak, pasien juga sudah
mengoceh tanpa makna. Kesan : Tumbuh kembang normal

III. PEMERIKSAAN FISIK (29 Oktober 2016)


Status Generalis

4
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, tampak sesak

Kesadaran : Compos mentis


Tanda Vital : Nadi : 132x/mnt
RR : 54x/menit

Suhu : 37,2,5 C (axilla)


Status : BB : 5,2 kg
Antropometri PB : 61 cm
Status Gizi : ( Weight for Lenght girls )
BB/PB : -3 <z score < -2 (kurang)
Kesan : Gizi Kurang
Kepala : Normocephal, rambut hitam, distribusi merata, tidak
mudah dicabut
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil
isokor 2mm/2mm, refleks cahaya langsung +/+
Telinga : Bentuk daun telinga normal, tidak ada massa pre-
aurikular dan retro-aurikular, nyeri tekan tragus (-), otore
-/-
Hidung : Bentuk normal, pernapasan cuping hidung (-), bekas
sekret mengering +/+ warna putih.
Mulut : Mukosa bibir lembab, tidak sianosis, trismus (-), faring
tidak hiperemis, Tonsil T1-T1 tenang
Leher : Simetris, tidak ada deviasi trakhea, tidak teraba
pembesaran kelenjar getah bening
Thoraks : Pulmo :
I : Normochest, dinding dada simetris statis dan dinamis,
retraksi suprasternal (-) retraksi epigastrium (-)
P : Ekspansi dinding dada simetris, fremitus vokal dan
taktil sulit dinilai.
P : Sonor di kedua lapang paru
A : Vesikuler (Normal/Normal), ronkhi +/+,
(Ronkhi Basah), wheezing (-/-).
Cor :
I : Bentuk dada normal, tidak tampak iktus cordis
P : Iktus cordis teraba di ICS 2-3 linea MCS
P : Batas jantung kesan normal

5
A : BJ I dan II reguler, Gallop (-), Murmur (-)

Abdomen : I : Datar
P : Dinding perut supel, turgor kulit baik, hepar dan lien
tidak teraba, turgor baik
P : Timpani
A : Bising usus (+) normal
Alat Kelamin : Perempuan, rambut pubis (-)

Ekstremitas : Akral hangat, Edema (-), sianosis (-), capillary refill


<2detik.
Superior Inferior
Akral hangat +/+ +/+
Akral sianosis -/- -/-
Edema -/- -/-
Capillary Refill < 2detik < 2detik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan hematologi pada tanggal 29 Oktober 2016 pukul 01:25 WIB
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Darah Rutin
Hemoglobin 11.40 g/dL 10,50 12,90 g/dL
Leukosit 11.700 /uL 6.000 17.500 /uL
Hematokrit 33,40 % 37,00 46,00 %
Trombosit 529.000 /uL 200.000 400.000 /uL
Kimia Darah
Gula Darah Sewaktu 112 mg/dL 50 80 mg/dL

V. DIAGNOSA KERJA
Pneumonia

VI. DIAGNOSA BANDING


Bronkiolitis

VII. PEMERIKSAAN ANJURAN


Foto rontgen thorax PA

VII. PENATALAKSANAAN

6
O2 0,5 1 L/menit
IVFD 2A 7 tpm
Ranitidin 2 x 5 mg IV
Cefotaxim 3 x 200 mg i.v
Paracetamol 4 x 0,6ml bila panas
Rhinos Syrup 3 x 0,2 ml
Diet : ASI ad Libitum NGT
Kebutuhan cairan anak dengan BB = 5,2 kg
[5,2 x 100] x 20 = 7 tpm mikro
24 x 60
Edukasi :
- Bila menyusui, posisi anak harus setengah duduk, tidak boleh sambil ibu berbaring
atau anak berbaring
- Bila anak bertambah sesak (RR > 50x/menit) maka sementara anak dipuasakan
terlebih dahulu dan dipasang NGT
- Bila anak demam, beri minum ASI yang cukup, kompres hangat, dan beri obat
penurun panas.

VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad funtionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

FOLLOW UP

Tanggal Follow Up
29/10/2016 S/ Demam (+), Sesak nafas (+), Batuk (+), Muntah (-), BAB Cair (-)
Di ruangan IGD

7
RSDP O/ KU : Sedang KS : Composmentis
HR : 105x/menit RR : 70 x/menit Suhu : 39,7 C
Kepala : Normocephale
Mata : CA -/-, SI -/-
THT : PCH (+), POC (-)
Thorax : SSD, retraksi (+)
Pulmo : Vesikuler +/+, Rh +/+, Wh -/-
Cor : BJ I BJ II regular, murmur (-), gallop (-)
Abd : BU (+), supel
Ext. : akral hangat, CRT < 2 detik

A/ Observasi dyspneu ec susp pneumonia

P/ O2 0,5 L/menit

Cefotaxim 3 x 200 mg i.v skin test


Inj. Ranitidin 2 x 5 mg i.v
Paracetamol inj 3 x 60 mg jika suhu > 38,5C
IVFD : Dektrosa 5% NS 5 tpm Micro

29/10/2016 S/ Sesak (+), Batuk (+), Demam (-),


Di ruangan
Flamboyan III O/ KU : Sedang KS : Composmentis
HR : 132x/menit RR : 54 x/menit Suhu : 37,2 C
Kepala : Normocephale
Mata : CA -/-, SI -/-
THT : PCH (+), POC (-), bibir kering
Thorax : SSD, retraksi (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, Rh +/+, Wh -/-
Cor : BJ I BJ II regular, murmur (-), gallop (-)
Abd : BU (+), supel
Ext. : akral hangat, CRT < 2 detik

Uraian hasil pemeriksaan Foto Thorax PA (AP) :

8
Foto simetris
Cor tidak membesar
Sinuses dan diafragma normal
Pulmo :
- Hilus normal
- Corakan bronkhovaskuler bertambah
- Tampak infiltrat di medial kedua paru
Kesan : Bronkhopneumonia

A/ Pneumonia

P/ O2 0,5 1 L/menit
IVFD Dektrosa 5% NS 7 tpm
Ranitidin 2 x 5 mg IV
Cefotaxim 3 x 200 mg i.v
Paracetamol 4 x 0,6ml bila panas
Rhinos Syrup 3 x 0,2 ml

31/10/2016 S/ Sesak berkurang, batuk (+), demam (-),


Di ruangan
Flamboyan III O/ KU : Sedang KS : Composmentis
HR : 110x/menit RR : 42 x/menit Suhu : 37,4 C
Kepala : Normocephale
Mata : CA -/-, SI -/-
THT : PCH (-), POC (-), bibir kering
Thorax : SSD, retraksi (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, Rh +/+, Wh -/-
Cor : BJ I BJ II regular, murmur (-), gallop (-)
Abd : BU (+), supel
Ext. : akral hangat, CRT < 2 detik

9
A/ Pneumonia

P/ Aff O2 dan NGT

Cefotaxim 3 x 200 mg i.v


Ranitidin stop
Paracetamol drop 0,6 ml bila perlu
Rhinos 3 x 0,3 ml
Salbutamol 3 x 0,5 mg (pulv)
Kebutuhan Cairan : 600 cc
Makan : ASI ad libitum / susu formula digendong 8 x 50 cc
IVFD KAEN 1B 8 tpm

01/11/2016 S/ Sesak berkurang, Batuk berkurang


Di ruangan
Flamboyan III O/ KU : Sedang KS : Composmentis
HR : 120x/menit RR : 40 x/menit Suhu : 37,2 C
Kepala : Normocephale
Mata : CA -/-, SI -/-
THT : PCH (-), POC (-),
Thorax : SSD, retraksi (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, Rh +/+, Wh -/-
Cor : BJ I BJ II regular, murmur (-), gallop (-)
Abd : BU (+), supel
Ext. : akral hangat, CRT < 2 detik

A/ Pneumonia

P/ BLPL

Cefixime 2 x 30 mg

Rhinos 3 x 0,3 ml
Salbutamol 3 x 0,5 mg (pulv)
Apialys 1 x 0,4 ml

10
RESUME

Anamnesis

Seorang pasien anak perempuan diantar oleh orang tuanya ke IGD RSU dr. Drajat
Prawiranegara Serang pada tanggal 29 November 2016 dengan keluhan sesak yang dirasakan
sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien terlihat kesulitan bernapas dan mulut pasien
terlihat biru. Keluhan di sertai dengan demam. Demam dirasakan tinggi mendadak tanpa
disertai mengigil. Keluhan kejang disangkal. Sebelumnya, pasien mengalami batuk dan pilek
sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk berdahak sekali mengganggu pasien. Sejak
pasien mengalami batuk dan pilek, nafsu makan pasien berkurang. Saat sebelum sakit, nafsu
makan pasien normla. Keluhan muntah setiap batuk disangkal. Keluhan sulit menelan
disangkal. Riwayat tersedak disangkal. Lalu pasien langsung dibawa ke IGD RSU dr. Drajat
Prawiranegara Serang. Pasien merupakan anak kedua, lahir di Puskesmas, cara persalinan
pervaginam, cukup bulan (9 bulan), berat lahir 2.900 gram, menangis spontan, kelainan
bawaan (-), riwayat kuning maupun sianosis (-).Imunisasi biasanya dilakukan di puskesmas.
Imunisasi yang telah dilakukan Polio, DPT, Hepatitis B. BCG (-). Ibu Pasien lupa waktunya
kapan. Kesan : Imunisasi dasar kurang lengkap sesuai umur menurut rekomendasi Depkes.

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, tampak sesak, kesan status gizi
cukup
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital : Nadi : 132x/mnt
RR : 54x/menit

Suhu : 37,2,5 C (axilla)

11
Status Antropometri : BB : 5,2 kg
PB : 61 cm
Status Gizi : ( Weight for Lenght girls )
BB/PB : -3 <z score < -2 (kurang)
Kesan : Gizi Kurang

STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephale
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
THT : Pernafasan cuping hidung (+)
Mulut : Mukosa bibir lembab, sianosis (-), faring tidak hiperemis, Tonsil T1-T1
tenang.
Thoraks : Simetris, retraksi (-)
Cor : Bunyi jantung I & II regular, Gallop (-), Murmur (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler, Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)
Abdomen : BU (+), supel
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2detik

12
ANALISA KASUS

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka diagnosa yang
ditegakkan pada pasien ini ialah : Pneumonia

1. Anamnesis
Sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk RS
Batuk berdahak dan pilek sejak 2 hari Sebelum Masuk RS
Demam yang terjadi sejak 1 hari Sebelum Masuk RS
2. Pemeriksaan Fisik
Pernafasan cuping hidung (+)
Terdapat retraksi (+)
Frekuensi pernafasan > 40x/menit
Terdapat Rhonki (+) pada pemeriksaan auskultasi thorax

3. Pemeriksaan Penunjang
Dari hasil pemeriksaan Foto Thorax PA (AP) dengan kesan :
Bronkhopneumonia

13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Pneumonia


Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, protozoa). Bronkopneumonia didefinisikan sebagai
peradangan akut dari parenkim paru pada bagian distal bronkiolus terminalis dan meliputi
bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli.1

2.2. Epidemiologi Pneumonia


Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak
di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
anak berusia dibawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di
seluruh dunia, lebih kurang dua juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia,
sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional
(SKN) 2001, 27,6% angka kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan
oleh penyakit system respiratori, terutama pneumonia.2
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah
umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia
menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun
Insiden pneumonia pada anak 5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun,
sedangkan dinegara berkembang 10-20 kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan
lebih dari 5 juta kematian pertahun pada anak balita di negara berkembang.2
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
menunjukkan, prevalensi nasional ISPA: 25,5%, angka kesakitan ( morbiditas ) pneumonia

14
pada bayi: 2,2%, balita: 3%, angka kematian ( mortalitas ) pada bayi 23,8% dan balita 15,5%.
9

2.3. Etiologi Pneumonia


Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak,
terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan. Etiologi
pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram
negatif seperti E.colli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan
balita pneumoni sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae,
Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain
bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae 2.
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang mencakup 15-
40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human metapneumovirus dan
adenovirus. Nair, et al 2010 melaporkan estimasi insidens global pneumonia RSV anak-balita
adalah 33.8 juta episode baru di seluruh dunia dengan 3.4 juta episode pneumonia berat yang
perlu rawat-inap. Diperkirakan tahun 2005 terjadi kematian 66.000 -199.000 anak balita
karena pneumonia RSV, 99% di antaranya terjadi di negara berkembang. Data di atas
mempertegas kembali peran RSV sebagai etiologi potensial dan signifikan pada pneumonia
anak-balita baik sebagai penyebab tunggal maupun bersama dengan infeksi lain.2

Tabel 1. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut umur dengan terjadinya infeksi. 10


Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Bakteria
Escherichia colli Group D streptococci
Group B streptococci Haemophillus influenzae
Listeria monocytogenes Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Cytomegalovirus
Herpes simplex virus

3 minggu Bakteria Bakteria


3 bulan Clamydia trachomatis Bordetella pertusis
Streptococcus pneumoniae Haemophillusinfluenza type B &

15
Virus non typeable
Moxarella catarrhalis
Respiratory syncytial virus
Staphylococcus aureus
Influenza virus
Ureaplasma urealyticum
Para influenza virus 1,2
Virus
and 3
Adenovirus Cytomegalovirus

4 bulan Bakteria Bakteria


5 tahun Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenza type B
Clamydia pneumoniae Moxarella catarrhalis
Mycoplasma pneumoniae Neisseria meningitis
Staphylococcus aureus
Virus
Respiratory syncytial virus Virus
Influenza virus Varicella zoster virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Adenovirus
Measles

5 tahun dewasa Bakteria Bakteria


Clamydia pneumonia Haemophillus influenza type B
Mycoplasma pneumonia Legionella species
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus
Adenovirus
Epstein barr virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Respiratory syncytial virus
Varicella zoster virus

Tabel 2. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi. 10


Communityy-acquired acute pneumonia

16
Streptococcus pneumonia
Haemophilus influenzae
Moraxella catarrhalis
Staphylococcus aureus
Legionella pneumophila
Enterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp.
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumonia
Chlamydia spp. (C. pneumoniae, C. psittaci, C. trachomatis)
Coxiella burnetii (Q fever)
Viruses: respiratory syncytial virus, parainfluenza virus (children); influenza A and B
(adults); adenovirus
(military recruits); SARS virus
Hospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods, Enterobacteriaceae (Klebsiella spp., Serratia marcescens,
Escherichia coli) and
Pseudomonas spp.
Staphylococcus aureus (usually penicillin resistant)
Pneumonia kronis
Nocardia
Actinomyces
Granulomatous: Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria, Histoplasma
capsulatum,
Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitidis

2.4. Klasifikasi Pneumonia


WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan retraksi
subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara berkembang. Namun demikian,
kriteria tersebut mempunyai sensitivitas yang buruk untuk anak malnutrisi dan sering
overlapping dengan gejala malaria.
Klasifikasi pneumonia berdasarkan WHO dijelaskan pada tabel berikut2 :
Klasifikasi Anak usia < 2 bulan Anak usia 2 bulan 5 tahun

17
Pneumonia Kesadaran turun, letargis Kesadaran turun, letargis
Sangat Berat Tidak mau menetek / Tidak mau minum
Kejang
minum
Kejang Sianosis
Demam atau hipotermia Malnutrisi
Bradipnea atau pernapasan
ireguler
Pneumonia Berat Napas cepat Retraksi (+)
Retraksi yang berat Masih dapat minum
Sianosis (-)
Pneumonia Takipnea
Ringan Retraksi (-)
Tabel 2. Klasifikasi beratnya pneumonia berdasarkan WHO. 2

Sedangkan dalam MTBS/IMCI, derajat keparahan dalam diagnosa pneumonia dapat


dibagi menjadi pneumonia berat yang harus dirawat inap dan pneumonia ringan yang bisa
rawat jalan.
Diagnosis Klinis Klasifikasi (MTBS)
Pneumonia berat (rawat inap) :
tanpa gejala hipoksemia Penyakit sangat berat
dengan gejala hipoksemia (Pneumonia berat)
dengan komplikasi
Pneumonia ringan (rawat jalan) Pneumonia
Infeksi respiratorik akut atas Batuk : bukan pneumonis
Tabel 3. Hubungan antara diagnosisi klinis dan Klasifikasi-Pneumonia (MTBS). 3

1. Klasifikasi Menurut sifatnya, yaitu:

a. Pneumonia primer, yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak
mempunyai faktor resiko tertentu. Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus
pneumoniae (pneumokokus), Hemophilus influenzae, juga Virus penyebab infeksi
pernapasan (Influenza, Parainfluenza, RSV). Selain itu juga bakteri pneumonia yang
tidak khas atypical yaitu mykoplasma, chlamydia, dan legionella.
b. Pneumonia sekunder, yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi, selain
penderita penyakit paru lainnnya seperti COPD, terutama juga bagi mereka yang
mempunyai penyakit menahun seperti diabetes mellitus, HIV, dan kanker,dll. 4
2. Berdasarkan Mikroorganisme Penyebab

18
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada
penderita alkoholik,Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus, disebabkan oleh virus RSV, Influenza virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada
penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised). 9
3. Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a. Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang
terjadi di lingkungan rumah atau masyarakat, juga termasuk pneumonia yang terjadi
di rumah sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam. 9
b. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di rumah sakit, infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit.
Kuman penyebab sangat beragam, yang sering di temukan yaitu Staphylococcus
aureus atau bakteri dengan gramm negatif lainnya seperti E.coli, Klebsiella
pneumoniae, Pseudomonas aeroginosa, Proteus, dll. Tingkat resistensi obat tergolong
tinggi untuk bakteri penyebab HAP. 9
c. Pneumonia aspirasi
4. Berdasarkan lokasi infeksi
a. Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu / beberapa lobus paru. Bronkus besar
umumnya tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram.
Konsolidasi yang timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui
pori-pori Kohn. Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus
pneumoniae. Jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus
atau segmen. Kemungkinan sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus
seperti aspirasi benda asing, atau adanya proses keganasan. 9
b. Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis. Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak
konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Ditandai dengan adanya bercak-bercak
infiltrate multifocal pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus.
Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus. 9
c. Pneumonia interstisial

19
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil.
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma. Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial. Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi perselubungan yang tidak
merata.9

2.5. Patogenesis Pneumonia1,4


Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di
dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga
mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Masuknya
mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain :
1. Inhalasi langsung dari udara
2. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
3. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.
4. Penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius sangat efisien untuk mencegah infeksi yang
terdiri dari :
1. Susunan anatomis rongga hidung.
2. Jaringan limfoid di nasofaring.
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain
yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
4. Refleks batuk.
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.
8. Sekresi enzim enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja
sebagai antimikroba yang non spesifik.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas
sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.
Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang
meliputi empat stadium, yaitu :
a. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung
pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah
dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan

20
mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan
cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat
plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka
perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan
penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.
c. Stadium III (3 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh
daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di
alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.

21
Gambar 1. Patofisiologi4

2.6. Patofisiologi Pneumonia


Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu. Selain itu, toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung
merusak sel-sel system pernapasan bawah. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai
permukaan: 9
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi. Secara
inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur.
Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 2,0 nm melalui udara dapat mencapai bronkus
terminal atau alveoli dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada
saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan
terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar
infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu
tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat
(drug abuse). 9

22
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi
radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis
eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. 9
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling
mencolok. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-paru, ataupun seluruh lobus,
bahkan sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan, dan dua di paru-
paru kiri) menjadi terisi cairan. Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke
seluruh tubuh melalui peredaran darah. Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling
umum sebagai penyebab pneumonia.

Gambar 2 Algoritma Patofisiologi bronkhopneomonia4

2.7. Gejala Klinis Pneumonia


Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga
sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam
kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan dirumah sakit.
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas
anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-
kadang tidak khas terutama pada bayi, dan faktor patogenesis. Disamping itu, kelompok usia

23
pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda,
sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya
infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
- Gejala infeksi umum, yaitu : demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu
makan, keluhan gastrointestinal seperti : mual, muntah atau diare ; kadang-kadang
ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
- Gejala gangguan respiratori, yaitu : batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas
cuping hidung, merintih, dan sianosis.

2.8. Pemeriksaan Fisik Pneumonia


Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut :
- Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan pernapasan
cuping hidung.
- Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
- Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus
selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps
paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.
- Pada perkusi tidak terdapat kelainan dan pada auskultasi ditemukan crackles sedang
nyaring. Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan
berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun
rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah
(tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles
individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles
dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan
napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas , pada
palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah. Mungkin disertai ronkhi
halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi. 9

2.9. Pemeriksaan Penunjang Pneumonia


Pemeriksaan laboratorium

24
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung
leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus
leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm 2 dengan limfosit
predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm2 dengan neutrofil yang
predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan
LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau
darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan

Pemeriksaan radiologi
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen toraks
pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya
pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah
pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada
foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan
diagnosis.

Gambar 3 Ro. infiltrat alveoler di lobus kanan bawah ec. S pneumoniae6

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:


- Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,
peribronchial cuffing dan hiperaerasi
- Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris atau
terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas

25
yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round
pneumonia
- Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru
berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.
- Perselubungan/konsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau
segment paru secara anantomis.
- Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas.
- Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil. Tidak
tampak deviasi trachea/septum/fissure/ seperti pada atelektasis.
- Silhouette sign (+) : bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru ; batas lesi
dengan jantung hilang, berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di
lobus medius kanan.
- Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.
- Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir
terkena.
- Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.
- Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara
pada bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus).
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi.
Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat
pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar,
bronkopneumonia dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia,
hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya penyebab pneumonia
lobaris tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas
aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia
sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada
lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus. 9
1. Pneumonia Lobaris

Foto Thorax

26
Tampak gambaran gabungan konsolidasi berdensitas tinggi pada satu segmen/lobus (lobus kanan bawah PA
maupun lateral)) atau bercak yang mengikutsertakan alveoli yang tersebar. Air bronchogram biasanya
ditemukan pada pneumonia jenis ini.

CT Scan

Hasil CT dada ini menampilkan gambaran hiperdens di lobus atas kiri sampai ke perifer.

2. Bronchopneumonia (Pneumonia Lobularis)


Foto Thorax

27
Pada gambar diatas tampak konsolidasi tidak homogen di lobus atas kiri dan lobus bawah kiri.
CT Scan

Tampak gambaran opak/hiperdens pada lobus tengah kanan, namun tidak menjalar sampai perifer.
3. Pneumonia Interstisial
Foto Thorax

Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstitial prebronkial. Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi oleh perselubungan yang tidak merata.

C-Reactive Protein (CRP)


Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor
infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan
profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri
superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi
respons terhadap terapi antibiotik.

28
Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit. Untuk
pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret
nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru.
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari. Pasien mula-mula kumur-kumur
dengan akuades biasa, setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian
membatukkan dahaknya. Dahak ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat.
Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak boleh lebih dari 4 jam). Jika terjadi
kesulitan mengeluarkan dahak, dapat dibantu nebulisasi dengan NaCl 3%. Kriteria
dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biarkan yaitu
bila ditemukan sel PMN > 25/lpk dan sel epitel < 10/lpk. 9

2.10. Diagnosis Pneumonia


Pneumonia Ringan
Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja. Dan
dipastikan anak tidak memiliki tanda tanda pneumonia berat.
Kriteria napas cepat :
- pada anak umur 2 bulan 11 bulan : > 50 kali/menit
- pada anak umur 1 tahun 5 tahun : > 40 kali/menit
Pneumonia Berat
Terdapat batuk dan/atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut :
Kepala terangguk angguk
Pernapasan cuping hidung
Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
Foto rontgen dada menunjukan gambaran pneumonia (infilrat luas, konsolidasi, dll)
Selain itu dapat ditemukan pula hal berikut ini :
- Napas cepat :
o Anak umur < 2 bulan : > 60 kali /menit
o Anak umur 2 11 bulan : > 50 kali/menit
o Anak umur 1 5 tahun : > 40 kali/menit
o Anak umur > 5 tahun : > 30 kali/menit
- Suara merintih (grunting) pada bayi muda
- Pada auskultasi terdengar :
o Crackles (ronki)
o Suara pernapasan menurun
o Suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai :
- Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
- Kejang, letargis atau tidak sadar

29
- Sianosis
- Distres pernapasan berat

2.11. Diagnosis Banding Pneumonia


Diagnosis Gejala klinis yang ditemukan
Bronkiolitis - episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun
- hiperinflasi dinding dada
- ekspirasi memanjang
- gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai kurang atau tidak ada respon
dengan bronkodilator
Tuberculosis - riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa
- uji tuberculin positif (10 mm, pada keadaan imunosupresi 5 mm)
(TB)
- pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun
- demam ( 2 minggu) tanpa sebab yang jelas
- batuk kronis ( 3 minggu)

pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik.


Pembengkakan tulang/sendi punggung, panggul, lutut, falang.
Asma - riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan dengan batuk dan
pilek
- hiperinflasi dinding dada
- ekspirasi memanjang

berespon baik terhadap bronkodilator


Tabel 5. Diagnosis banding anak yang datang dengan keluhan batuk dan atau kesulitan
bernafas

2.12. Penatalaksanaan Pneumonia


Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan
terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak
mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama
mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis
pneumonia harus dirawat inap.
Bayi Anak
Saturasi oksigen < 92%, sianosis Saturasi oksigen <92%, sianosis
Frekuensi napas > 60 kali/menit Frekuensi napas > 50 kali/menit
Distres pernapasan, apnea intermiten, atau Distres pernapasan
grunting
Tidak mau minum/menetek Grunting
Keluarga tidak bisa merawat di rumah Terdapat tanda dehidrasi
Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Tabel 6. Kriteria rawat inap pneumonia2
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik
yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena,
terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam basa, elektrolit, dan gula

30
darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penyakit penyerta harus
ditanggulangi dengan adekuat.
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan.
Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga
disebabkan oleh bakteri.
Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapt dilakukan karena tidak
tersedianya uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, dipilih berdasarkan pengalaman empiris
yakni didasrkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan
keadaan klinis pasien serta epidemiologis.
Pneumonia rawat jalan
Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral,
misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan, dapat
diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai 90%. Dosis yang
digunakan adalah Kotrimoksazol (4mg TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari atau
Amoksisilin (25mg/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien HIV diberikan
selama 5 hari.
Anjurkan Ibu untuk memberi makan anak. Nasihati Ibu untuk kontrol ulang
anaknya setelah 2 hari ke RS, atau lebih cepat jika keadaan anak memburuk, tidak bisa
minum atau menyusu.
Ketika anak kembali :
-Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu makan membaik,
lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari
-Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan, ganti ke
antibiotik ke lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali lagi.
-Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani sesuai pedoman di
bawah ini.

Pneumonia rawat inap


Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), harus
dipantau 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberikan respons yang baik maka
diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit
dengan amoksisilin oral (15mg/kgBB/kali diberikan 3 kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.

31
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang berat
(tidak dapat menyusu atau minum/makan, ata memuntahkan semuanya, kejang, letargis
atau tidak sadar, sianosis, distress pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25
mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
Bila pasien datang dengan keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan
pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai
alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari).
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin (7,5
mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasiklin (50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) atau
klindamisin (15 mg/kgBB/hari-3 kali pemberian). Bila keadaan anak membaik, lanjutkan
klosasiklin (atau diklosasiklin) secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan
mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oral selama 2 minggu.
Tatalaksana Umum
Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan udara kamar, harus
diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk
mempertahankan saturasi oksigen >92%
- Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan intravena dan
dilakukan balans cairan ketat
- Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak dengan
pneumonia
- Anitipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyaman pasien
(Paracetamol 10-15 mg/kgBB/kali)
- Nebulisasi dengan 2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki
mucocilliary clearance
- Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4 jam
sekali, termasuk pemerikaan saturasi oksigen
Nutrisi
-Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral, harus dihindari.
Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau intravena. Tetapi harus
diingat bahwa pemasangan NGT dapat menekan pernapasan, khusunya pada bayi/anak
dengan ukuran lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan sebaiknya menggunakan
yang terkecil.

32
- Perlu dilakukan pemantauan balans cairan agar anak tidak mengalami overhidrasi
karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon antidiuretik
Kriteria pulang:
Gejala dan tanda pneumonia menghilang
- Asupan peroral adekuat
- Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)
- Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol dan kondisi
rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah.

2.13. Komplikasi Pneumonia


Komplikasi dari pneumonia adalah :
Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps paru
merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.
Empiema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura terdapat
di satu tempat atau seluruh rongga pleura.
Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
Infeksi sitemik
- Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
- Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.

2.14. Prognosis Pneumonia6


Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada
anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat
memperburuk keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi
esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan
tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama
dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh
faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.

2.15. Pencegahan Pneumonia5


Pneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati
secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh
terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup sehat, makan makanan bergizi

33
dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dan lainnya.
Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain.
Vaksinasi pneumokokus
Dapat diberikan pada umur 2,4,6, 12-15 bulan. Pada umur 17-12 bulan diberikan 2 kali
dengan interval 2 bulan ; pada usia > 1 tahun di berikan 1 kali, namun keduanya perlu
dosis ulangan 1 kali pada usia 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada
anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup 1 kali.
Vaksinasi Hib
Imunisasi Hib dapat mencegah infeksi oleh Haemophilus Influenza tipe B. Organisme ini
dapat menyebabkan pneumonia, meningitis dan infeksi tenggorokan berat. Vaksin ini
berbentuk polisakarida murni (PRP : Purified Capsular Polysaccharide ) kuman H.
Influenza tipe B, antigen dalam vaksin tersebut dapat dikonjugasi dengan protein-protein
lain seperti toksoid tetanus (PRP-TT), toksoid difteri (PRP-D atau PRPCR50) atau dengan
meningokokus (PRP-OMPC). Cara pemberiannya dilakukan dengan suntikan dengan
interval 2 bulan kemudian bosternya dapat diberikan pada usia 18 bulan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Garna, Herry, dkk. 2005. Pedoman diagnosis dan terapi.


Bandung : UNPAD
2. Hegar, Badriul. 2010. Pedoman Pelayanan Medis.
Jakarta : IDAI.
3. Latief, Abdul, dkk. 2009. Pelayanan Kesehatan anak di
rumah sakit standar WHO. Jakarta : Depkes
4. Price, Sylvia Anderson. 2005. Pathophysiology :
Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 6. Jakarta :
EGC
5. Sastroasmoro, Sudigdo, dkk. 2009. Panduan pelayanan
medis dept. IKA. Jakarta : RSCM
6. Rahajoe, Nastini.N., dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi,
Edisi 1. Jakarta : IDAI

34
7. Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15,Volume
2.Jakarta :EGC.
8. Opstapchuk M, Roberts DM, haddy R. community-
acquired pneumonia in infants and children. Am fam physician 2004;20:899-908
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti. 2003
10. Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
IPD RSCM; 2007.

35

Anda mungkin juga menyukai