Anda di halaman 1dari 5

Ilmu Lingkungan untuk Pengembangan Wilayah dan Kota

Fitrawan Umar

(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Lingkungan UGM-Alumni Teknik Pengembangan Wilayah

dan Kota, Universitas Hasanuddin)

Sekarang ini, ilmu lingkungan sangat dibutuhkan untuk menunjang perencanaan wilayah

dan kota. Bahkan, sudah menjadi kemestian ilmu lingkungan dapat terintegrasi dengan disiplin

ilmu perencanaan wilayah dan kota. Ilmu lingkungan dapat menjadi modal dasar bagi

perencana untuk mewujudkan konsep kota berkelanjutan. Kita semua sadari bersama, salah

satu faktor penting penyebab menurunnya kualitas lingkungan perkotaan adalah lemahnya

kesadaran dan pengetahuan perencana untuk membangun wilayah dan kota yang berwawasan

lingkungan. Soeriaatmadja (1997) mengatakan bahwa banyak gejala penting yang harus

dipertimbangkan sewaktu melakukan perencanaan dan perancangan pengembangan wilayah

ternyata memiliki akibat ekologi.

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) mengisyaratkan adanya

keharmonisan antara keberlangsungan pembangunan dengan kelestarian lingkungan hidup. Hal

ini sebagaimana yang tercetus dari KTT Bumi di Rio, Brazil pada tahun 1992. Menurunnya

kualitas lingkungan, sebagaimana yang terjadi belakangan ini, berarti satu ciri dari tidak

diterapkannya konsep pembangunan berkelanjutan. Hal demikian terjadi di sebagian besar

wilayah perkotaan, baik di luar negeri maupun yang terjadi di dalam negeri.

Berikut ini adalah contoh menurunnya kualitas lingkungan perkotaan akibat tidak

terintegrasinya ilmu lingkungan dengan perencanaan wilayah dan kota:

(1) Kota saat ini merupakan pusat pencemaran udara. Wilayah perkotaan memberi sumbangsih

yang cukup besar terhadap meningkatnya polusi udara dan emisi gas rumah kaca. Pengaruh
terbesar yaitu aktivitas industri dan penggunaan energi untuk transportasi. Aktivitas industri

dan transportasi sama-sama menghasilkan limbah berupa zat pencemar udara, seperti CO 2

dan semacamnya.
(2) Meningkatnya suhu udara di perkotaan. Fenomena ini disebut dengan Urban Heat Island

(UHI), di mana suhu udara di wilayah kota lebih tinggi dari pada suhu udara di pinggiran

kota atau di desa. Akibat dari fenomena ini, masyarakat kota menjadi tidak nyaman, terjadi

pemborosan energi, serta rentan terhadap penyakit-penyakit baru (Tursilowati, 2002).


(3) Hilangnya keanekaragaman hayati di perkotaan. Di Amerika, pernah terkenal apa yang

disebut dengan The Silence of Spring atau musim semi yang sunyi. Di mana masyarakat

menyadari hilangnya suara-suara burung yang selalu berkicau setiap musim semi di kota.

Keadaan seperti itu terjadi di hampir seluruh kota, termasuk kota-kota di Indonesia. Kota-

kota sudah kehilangan keanekaragaman hayatinya. Burung-burung dan spesies-spesies lain

telah kehilangan habitatnya, seperti tanaman dan pepohonan, akibat pembangunan kota yang

tidak ekologis.
(4) Kota rentan terhadap bencana banjir. Penataan ruang yang tidak sehat mengakibatkan daerah

resapan air di perkotaan tertutupi oleh bangunan, sehingga limpasan air tertahan di

permukaan dan menjadi penyebab banjir.

Beberapa contoh di atas setidaknya memberi gambaran betapa ilmu lingkungan perlu

menjadi pijakan bagi perencana wilayah dan kota. Berdasarkan undang-undang pun, perencanaan

tata ruang sekarang ini diharuskan untuk memasukkan kajian lingkungan hidup strategis sebagai

upaya menyelaraskan keberlangsungan pembangunan dengan keberlanjutan lingkungan hidup.

Tanpa adanya pengetahuan tentang lingkungan, seorang perencana hanya akan

merencanakan kegagalan kota tersebut.

Dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, secara jelas disebutkan bahwa

tujuan penyelenggaraan penataan ruang yaitu mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,

1
nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional

dengan (a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dengan lingkungan buatan; (b)

terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan

memperhatikan sumber daya manusia; dan (c) terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan

pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat penataan ruang.

Menurut A.Hermanto Dardak, Direktur Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan

Umum (2006), adanya degradasi lingkungan bukan disebabkan karena tidak adanya visi

lingkungan hidup dalam penataan ruang, melainkan karena faktor lain seperti kurangnya

pemahaman para pemangku kepentingan akan pentingnya aspek keberlanjutan lingkungan

hidup, terutama dalam tahap implementasi tata ruang.

Pernyataan di atas semakin menunjukkan pentingnya pemahaman mengenai ilmu

lingkungan dalam perencanaan wilayah dan kota. Ilmu Lingkungan mempelajari hubungan

manusia dengan lingkungannya. Ilmu lingkungan mencakup aspek abiotik, biotik, dan culture

(sosial). Seorang perencana semestinya dapat memasukkan ketiga unsur lingkungan tersebut ke

dalam proses perancangan dan pengambilan kebijakan.

Aplikasi ilmu lingkungan dalam perencanaan wilayah dan kota dapat diuraikan sebagai

berikut:

(1) Perencanaan wilayah dan kota memperhatikan aspek kesatuan ekosistem, yang menekankan

bahwa ekosistem saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Kerusakan

ekosistem di hulu daerah aliran sungai, akan mempengaruhi ekosistem yang ada di hilir.

Pengetahuan mengenai hal ini akan memudahkan seorang perencana untuk mengidentifikasi

penyebab terjadinya banjir di kota. Misalnya kejadian banjir di Jakarta. Dengan pemahaman

2
mengenai ekosistem, maka seharusnya Jakarta tidak sibuk dengan dirinya sendiri untuk

mengatasi banjir, akan tetapi memperhatikan hulu sungai yang ada di Bogor.
(2) Perencanaan wilayah dan kota memperhatikan nilai jasa ekosistem barang biologi.

Misalnya pepohonan yang ada di kota. Seorang perencana akan menyediakan ruang yang

banyak untuk vegetasi, ruang terbuka hijau, ataupun hutan kota karena menyadari

manfaatnya secara ekologis. Seorang perencana yang memahami jasa ekosistem akan

dengan mudah mempertimbangkan untung rugi bila lahan terbuka hijau berhadapan dengan

kepentingan ekonomi. Sangat disayangkan, banyak kota di Indonesia yang belum memenuhi

syarat Undang-undang Penataang Ruang yakni terwujudnya 30% ruang terbuka hijau di

kota. Hal demikian dikarenakan kurangnya pemahaman para perencana kota tentang jasa

ekosistem dari ruang terbuka hijau.


(3) Perencanaan wilayah dan kota memperhatikan aspek energi yang terbuang di kota. Energi

banyak terbuang oleh transportasi di kota. Perencanaan yang ekologis akan memperhatikan

pola penggunaan ruang di kota yang dapat menghemat energi perjalanan (Wunas, 2011).

Perencanaan yang ekologis akan mendukung terciptanya kota yang ramah pejalan kaki dan

pesepeda, serta tersedianya fasilitas transportasi publik yang aman dan nyaman.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa ilmu lingkungan sangat penting untuk perencanaan wilayah

dan kota.

Daftar Pustaka

Dardak, A.H. 2006. Perencanaan Tata Ruang Bervisi Lingkungan sebagai Upaya Mewujudkan

Ruang yang Nyaman, Produktif, dan Berkelanjutan. Lokakarya Revitalisasi Tata Ruang

dalam Rangka Pengendalian Bencana Longsor dan Banjir, Yogyakarta 28 Februari 2006.

3
Soeriaatmadja. 1997. Ilmu Lingkungan. Cetakan Ketujuh. Penerbit ITB: Bandung

Wunas, Shirly. 2011. Kota Humanis, Integrasi Guna Lahan dan Transportasi di Wilayah

Suburban. Penerbit Brilian Internasional: Surabaya

Tursilowati, L. 2002. Urban Heat Island dan Kontribusinya pada Perubahan Iklim dan

Hubungannya dengan Perubahan Lahan. Prosiding Seminar Nasional Pemanasan Global

dan Perubahan Global.

UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Anda mungkin juga menyukai