Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Berdasarkan analisa WHO, dengan jumlah penduduk dunia lebih dari 5,9 milyar

jiwa, diperkirakan terdapat 45 juta orang mengalami kebutaan dan 135 juta orang dengan

Low Vision atau terdapat kurang lebih 180 juta orang dengan gangguan penglihatan di

seluruh dunia. Objektif dari program WHO untuk pencegahan kebutaan dengan efektif

dan mempertahankan penglihatan jika memungkinkan. Target global adalah harus

menurunkan prevalensi kebutaan sampai < 0,5 % di seluruh negara, atau kurang dari 1%

pada beberapa negara.1,2,3,4

Vision 2020 dalam program pendekatan kesehatan primer, akan mengutamakan

perkembangan Sumber Daya Manusia untuk kesehatan mata. Perhatian ditujukan kepada

masyarakat menengah ke bawah yang merupakan tulang punggung Program Nasional

untuk pencegahan kebutaan. Sumber Daya Manusia yang cukup terlatih merupakan

komponen inti dalam pencegahan, pengobatan, dan rehabilitas kebutaan yang bisa

dihilangkan.5

GBHN 1993 mengamanatkan antara lain bahwa pembangunan kesehatan harus

memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat di

seluruh wilayah tanah air, dimana setiap warga negara memperoleh kesempatan untuk

berperan dalam pembangunan dan menikmati hasilnya.5

Terminologi kebutaan didefinisikan berbeda-beda disetiap negara seperti kebutaan

total, kebutaan ekonomi, kebutaan hukum, dan kebutaan sosial. Kira-kira 65 definisi

kebutaan tertera dalam publikasi WHO tahun 1966. Di bidang Ophthalmologi,

Universitas Sumatera Utara


terminologi kebutaan terbatas pada tidak dapatnya melakukan aktifitas sehari-hari

sampai tidak adanya persepsi cahaya. Supaya ada perbandingan secara statistik baik

nasional maupun internasional, WHO pada 1972 telah mengajukan kriteria yang seragam

dan definisi kebutaan serta tajam penglihatan yang kurang dari 3/60. (Snellen) atau yang

ekuivalen dengannya. Pada 1979 WHO menambahkan dengan ketidak sanggupan hitung

jari pada siang hari pada jarak 3 meter.7,8

Pada tahun 1977 Internasional Classification of Disease (ICD) membagi

berkurangnya penglihatan menjadi 5 katagori dengan maksimum tajam penglihatan

kurang dari 6/18 Snellen, dimana katagori 1 dan 2 termasuk pada low vision sedangkan

katagori 3,4 dan 5 disebut blindness. Pasien dengan lapangan pandang 5- 10

ditempatkan pada katagori 3 dan lapang pandangan kurang dari 5 ditempatkan pada

katagori 4.7 (lihat tabel 1)

Tabel 1.1 Klasifikasi ICD terhadap penurunan penglihatan

Category of visual impairment Level of visual acuity ( Snellen


Low Vision 1. Less than 6/18 to 6/60
2. Less than 6/60 to 3/60
Blindness 3. Less than 3/60 Finger Counting at 3m ) to 1/60 (FC at
I m) or visual yield between 500 - 100)
4. Less than 1/60 ( Finger Counting at lm) to light
perception or visual field less than 50
5. No light perception
Dikutip dari community Ophthalmologi, Khurana, 1998, hlm. 439 9

Di Indonesia, kebutaan kelainan kornea menduduki urutan ke-5 dari survei Indera

Penglihatan dan Pendengaran tahun 1966 dengan prevalensi saat ini 0,10% dari

prevalensi kebutaan 1,5% .Penelelitian di Sumatera Utara tahun 2004 yang dilakukan

oleh Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK USU didapati data sebagai berikut : kebutaan

Universitas Sumatera Utara


akibat Katarak (Tanjung Balai 0,37%; Karo 0,41%), Glaukoma (Karo 0,094%), Kelainan

Refraksi (Tanjung Balai 0,09%; Karo 0,12%), Gangguan Retina (Tanjung Balai 0,06%;

Karo 0,11%), dan Kelainan Kornea (Tanjung Balai 0,11%; Karo 0,08%). Angka-angka

yang diteliti ini lebih rendah dari prevalensi kebutaan nasional akibat katarak, glaucoma,

kelainan refraksi, gangguan retina dan kelainan kornea.11

Penyebab kebutaan kelainan kornea bisa diakibatkan oleh penyakit infeksi,

penyakit autoimun, kelainan kongenital, penyakit metabolik, dan distrofi, penyakit

degeneratif, trauma dan tumor. Dari semua penyebab ini WHO secara global telah

menentukan beberapa penyakit sebagai target eliminasi yaitu trachoma, kekurangan

vitamin A dan Onchocerciasis. Program ini telah dilakukan di beberapa negara yang

termasuk endemik.10

Dari pengamatan sementara pada setiap Kabupaten yang ada di Sumatera Utara,

mungkin kebutaan karena kelainan kornea berbeda, perlu kiranya dilakukan pemetaan

untuk bisa ditentukan tindakan-tindakan preventif dalam menurunkan angka kebutaan ini.

Sesuai dengan tujuan program Vision 2020 right to sight yang telah dicanangkan

di Indonesia tanggal 15 Februari 2000 yakni mewujudkan hak setiap warga negara untuk

memperoleh penglihatan optimal pada tahun 2020, sebagai bagian dari penegakan hak

asasi manusia. Hal inilah yang menjadi latar belakang bagi peneliti untuk melakukan

survei di Kabupaten Tapanuli Selatan.

Universitas Sumatera Utara


1.2. RUMUSAN MASALAH

Berapa angka kebutaan kelainan kornea untuk Kabupaten Tapanuli Selatan pada

tahun 2009.

1.3. TUJUAN PENELITIAN

1.3.1. Tujuan Umum :

Mendapatkan angka kebutaan kelainan kornea untuk Kabupaten Tapanuli

Selatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kebutaan tersebut.

1.3.2. Tujuan Khusus :

a. Untuk mengetahui karakteristik geografi Kabupaten Tapanuli Selatan

b. Untuk mengetahui gambaran karateristik sosiodemografi responden.

c. Untuk mengetahui gambaran budaya di wilayah Kabupaten Tapanuli

Selatan.

d. Untuk mengetahui gambaran sarana dan prasarana Kesehatan Mata di

Kabupaten Tapanuli Selatan.

e. Untuk mengetahui gambaran angka kebutaan kelainan kornea di

Kabupaten Tapanuli Selatan.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 Dengan Penelitian ini dapat dibuat pemetaan tentang buta kelainan kornea

di Kabupaten Tapanuli Selatan.

1.4.2 Dapat dibuat kebijakan yang berkaitan dengan penatalaksanaan buta

kelainan kornea serta estimasi proyeksi kegiatan yang dapat menurunkan

angka kebutaan.

1.5. HIPOTESA

Angka kebutaan kelainan kornea di Kabupaten Tapanuli Selatan lebih tinggi


daripada angka kebutaan kelainan kornea secara Nasional.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai