Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO 4

BLOK PENYAKIT SISTEMIK DAN KELAINAN RONGGA MULUT


GENAP 2015/2016
Oleh Kelompok Tutorial VIII :

Tutor : drg. Rendra Chriestedy Prasetya, M.Dsc

Anggota : Arifah Khoirianti (Nim:151610101024)

Jovanna Andhara A. (Nim:151610101067)

Muhammad Idris K. (Nim:151610101072)

Widy Jatmiko (Nim:151610101075)

Nurina Dyah Ayu N. (Nim:151610101083)

Devita Titania N. (Nim:151610101084)

Putri Nila Kharisma (Nim:151610101091)

Rizqi Apriliani (Nim:151610101092)

Falah Yudana Fahmi (Nim:151610101096)

Yolanda Eka Putri (Nim:151610101098)

Alifia Wandansari (Nim:151610101101)

Intan Maulia Cahya H. (Nim:151610101103)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS JEMBER

2017

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahhirobbilalamin, puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang


telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah skenario keempat blok Penyakit Sistemik dan Kelainan Rongga Mulut.
Laporan ini disusun dengan tujuan untuk melengkapi hasil diskusi tutorial
kelompok VIII pada skenario keempat.
Penulisan laporan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena
itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. drg. Rendra Chriestedy Prasetya, M.Dsc. selaku pembimbing dalam
jalannya diskusi tutorial yang dilakukan kelompok VIII Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Jember dan telah membantu dan memberi
masukan yang bermanfaat untuk tercapainya tujuan belajar.
2. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan laporan ini.
Penulisan laporan ini tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan. Oleh
karena itu, penulis mengharap kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan-
perbaikan agar kedepannya dapat tercipta kesempurnaan dalam laporan ini.
Penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jember, 20 Maret 2017

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................1


KATA PENGANTAR ......................................................................2
DAFTAR ISI ....................................................................................3
SKENARIO.. 4
STEP 1...............................................................................................5
STEP 2...............................................................................................5
STEP 3...............................................................................................5
STEP 4...............................................................................................7
STEP 5...............................................................................................7
STEP 7...............................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 23

3
SKENARIO 4

Dr.drg. Sri Hernawati, M.Kes

Seorang wanita umur 48 tahun datang ke dokter gigi mengeluh sering


sakit, ada luka pada susut mulut, kondisi ini sering berulang. Pasien merasa
pusing, sering capek, mata berkunang-kunang, gusi,pipi di dalam mulut juga
nampak pucat. Hasil pemeriksaan klinis doter memerlukan pemeriksaan darah
berupa pemeriksaan Hb, peeriksaan hapusan darah.

4
STEP 1

Tidak ada

STEP 2

1. Kenapa ada keluhan angular chelitis dan keluhan tersebut terjadi berulang?
2. Bagaimana pasien dapat merasakan mata yang berkunang-kunang?
3. Mengapa pasien sering merasa capek dan pusing?
4. Hubungan gusi dan pipi yang pucat pada kondisi pasien?
5. Apakah ada keterkaitan gender dan usia pasien dengan keluhan yang ada
di skenario?
6. Apakah fungsi dari pemeriksaan HB dan pemeriksaan darah?

STEP 3

1. Angular chelitis merupakan infeksi yang disebabkan oleh jamur. Pasien


diduga menderita anemia, kekurangan sel darah merah karena kekurangan
zat besi, dan juga terjadi penurunan myoperoksidase yang berfungsi untuk
menghancurkan benda-banda asing yang ada di dalam tubuh. Jika terjadi
defisiensi nutrisi contohnya adalah asam folat maka terjadi penurunan
DTMP yang diubah menjadi DOMP, sehngga terjadi penumpukan DTMP
di sel dan menyebabkan penurunan dari sintesis DNA, maka terjadi
penurunan sintesis di mukosa dan jaringan menipis, sehingga rentan
terhadap infeksi. Peningkatan kandida karena terjadi infeksi oppurtunistik,
adi ketika pertahanan dari tubuh rendah maka kandida memiliki
kesempatan untuk menginfeksi tubuh.
2. Mata yang berkunang-kunang berkaitan dengan terjadinya pusing. Anemia
menyebabkan teradinya rendahnya kadar oksigen yang ada di peredaran
darah, sehingga suplai darah menuju otak juga berkurang, sehingga
menyebabkan terjadinya hipoksis, sehingga terjadi pusing dan mata yang
berkunang-kunang.
3. Pada skenario diduga pasien mengalami defisiensi hemoglobin, sedangkan
untuk mengangkut oksigen harus ada ikatan antara heme dan globin, jadi
ketika ada penurunan kadar dari hemoglobin dapat menyebabkan

5
penurunan kadar dari oksigen juga. Sumber energi(glukosa) yang
dibutuhkan oleh otak perlu adanya peran dari oksigen, karena jiak kadar
hemoglobin menurun maka sumber energi yang menuju otak juga
menurun.
4. Keadaan pucat berhubungan dengan adanya vaskularisasi. Mukosa yang
pucat berhubungan dengan vaskularisasi yang tidak adekuat karena
kandungan oksigen yang dibawa oleh hemoglobin berkurang.
5. Pada wanita, mereka tiap bulan mengalami menstruasi pada saat
mengallami siklus menstruasi maka kebutuhan akan zat besi juga
meningkat karena adanya pengeluaran zat besi dari darah di siklus
menstruasi yang berlebihan, sehingga dapat menyebabkan anemia. Usia
juga mempengaruhi terjadinya anemia, pada masa anak-anak meraka
hanya memiliki satu alfa dan beta globulin, sedangkan ketika pada masa
pertumbuhan memiliki dua alfa dan beta globulin, sehingga pada saaat
dalam masa pertumbuhan terjadi peningkatan kebutuhan dari zat besi.
6. Pemeriksaan penunjang sangat penting karena untuk melihat
keabnormalan yang terjadi pada sel darah, kemudian pemeriksaan
penunjang juga mendukung untuk menegakkan diagnosis dari suatu
penyakit.

STEP 4

Faktor utama Kelainan darah Faktor resiko

6
Anemia

Manifestasi Oral

Gusi dan pipi pucat Luka sudut mulut

Pemeriksaan
penunjang

Pemeriksaan Hb Pemeriksaan
hapusan darah

STEP 5

1. Mahasiswa mampu mamahami dan menjelaskan faktor yang


mempengaruhi terjadinya anemia
2. Mahasiswa mampu mamahami dan menjelaskan klasifikasi anemia
3. Mahasiswa mampu mamahami dan menjelaskan patogenesis anemia
4. Mahasiswa mampu mamahami dan menjelaskan manifestasi oral dari
anemia
5. Mahasiswa mampu mamahami dan menjelaskan pemeriksaan
penunjang untuk penyakit anemia
6. Mahasiswa mampu mamahami dan menjelaskan penatalaksanan di
bidang kedokteran gigi mengenai pasien yang menderita anemia

STEP 7
LO 1: Faktor yang Mempengaruhi Anemia

7
Anemia disebabkan karena kecepatan produksi sel darah merah lebih
rendah dari destruksinya. Penyebab berkurangnya produksi sel darah merah:
Kekurangan nutrisi: Fe, B12, atau folat; dapat disebabkan oleh kekurangan diet,
malaborpsi (anemia pernisiosa, sprue) atau kehilangan darah (defi siensi Fe)
Kelainan sumsum tulang (anemia aplastik, pure red cell aplasia, mielodisplasia,
infl itrasi tumor)
Supresi sumsum tulang (obat, kemoterapi, radiasi)
Rendahnya trophic hormone untuk sti-mulasi produksi sel darah merah (eritro-
poietin
pada gagal ginjal, hormon tiroid [hipotiroidisme] dan androgen [hipogonadisme])
Anemia penyakit kronis/anemia infl amasi, yaitu anemia dengan karakteristik
berkurangnya Fe yang efektif untuk eritropoiesis karena berkurangnya absorpsi Fe
dari traktus gastrointestinal dan berkurangnya pelepasan Fe dari makrofag,
berkurangnya kadar eritropoietin (relatif ) dan sedikit berkurangnya masa hidup
eritrosit.
Faktor resiko terjadinya anemia :

1. Usia
Pada orang dengan usia lanjut terjadi penurunan hematopoisis, hal ini
salah satunya dapat disebabkan karena menurunnya fungsi organ seiring
bertambahnya usia termasuk pada sum-sum tulang. Selain sum-sum
tulang,penurunan kemampuan usus halus dalam mengadsorbsi nutrisi
terutama Fe menyebabkan terjadi penurunan dalam jumlah sel darah yang
dihasilkan. Selain itu pada usia tua juga terjadi penurunan produksi
erytropoetin yang menyebabkan stimulasi terhadap erytropoisis berkurang.
2. Periodontitis
Hampir sama dengan mayoritas kelainan sistemik yang berasal dari infeksi
rongga mulut, gangguan erytropoisis pada penderita periodontitis terjadi
karena adanya inflamasi sistemik yang melibatkan sitokin-sitokin.
Terdapat tiga kemungkinan bagaimana periodontitis ini dapat
menyebabkan anemia pada seseorang,yaitu :
a. Adanya sitokin inflamatori menyebabkan supresi proliferasi erythroid

8
b. Adanya sitokin inflamatori mencegah lepasnya erythropoitin dari
ginjal
c. Reduksi life cycle RBSCs

Pada anemia, Karena semua sistem organ dapat terlibat, maka dapat
menimbulkan manifestasi klinis yang luas. Manifestasi ini bergantung pada :

1. Kecepatan timbulnya anemia


2. Umur individu
3. Mekanisme kompensasinya
4. Tingkat aktivitasnya
5. Keadaan penyakit yang mendasari
6. Parahnya anemia tersebut

LO 2: Klasifikasi Anemia
Berdasarkan pendekatan morfologi, anemia diklasifi kasikan menjadi:
Anemia makrositik (gambar 1)
Anemia mikrositik (gambar 2)
Anemia normositik (gambar 3)

Gambar 1

9
Gambar 2

Gambar 3

Anemia makrositik
Anemia makrositik merupakan anemia dengan karakteristik MCV di atas 100 fL.
Anemia makrositik dapat disebabkan oleh.:
Peningkatan retikulosit Peningkatan MCV merupakan karakteristik normal
retikulosit. Semua keadaan yang menyebabkan peningkatan retikulosit akan
memberikan gambaran peningkat-an MCV

10
Metabolisme abnormal asam nukleat pada prekursor sel darah merah (defi siensi
folat atau cobalamin, obat-obat yang mengganggu sintesa asam nukleat:
zidovudine, hidroksiurea)
Gangguan maturasi sel darah merah (sindrom mielodisplasia, leukemia akut)
Penggunaan alkohol
_ Penyakit hati
_ Hipotiroidisme.

Anemia mikrositik
Anemia mikrositik merupakan anemia dengan karakteristik sel darah merah yang
kecil (MCV kurang dari 80 fL). Anemia mikrositik biasanya disertai penurunan
hemoglobin dalam eritrosit. Dengan penurunan MCH ( meanconcentration
hemoglobin) dan MCV, akan
didapatkan gambaran mikrositik hipokrom pada apusan darah tepi.
Penyebab anemia mikrositik hipokrom:
Berkurangnya Fe: anemia defi siensi Fe, anemia penyakit kronis/anemia infl
amasi, defi siensi tembaga.
Berkurangnya sintesis heme: keracunan logam, anemia sideroblastik kongenital
dan didapat.
Berkurangnya sintesis globin: talasemia dan hemoglobinopati.

Anemia normositik
Anemia normositik adalah anemia dengan MCV normal (antara 80-100 fL).
Keadaan ini
dapat disebabkan oleh:
Anemia pada penyakit ginjal kronik.
Sindrom anemia kardiorenal: anemia, gagal jantung, dan penyakit ginjal kronik.
Anemia hemolitik:
_ Anemia hemolitik karena kelainan intrinsik sel darah merah: Kelainan membran
(sferositosis herediter), kelainan enzim (defi siensi G6PD), kelainan hemoglobin
(penyakit sickle cell).

11
_ Anemia hemolitik karena kelainan ekstrinsik sel darah merah: imun, autoimun
(obat, virus, berhubungan dengan kelainan limfoid, idiopatik), alloimun (reaksi
transfusi akut dan lambat, anemia hemolitik neonatal), mikroan-giopati (purpura
trombositopenia trombotik, sindrom hemolitik uremik), infeksi (malaria), dan zat
kimia (bisa ular).
Absorbsi Besi

Untuk Pembentukan Hemoglobin Menurut Bakta (2006) proses absorbsi besi


dibagi menjadi tiga fase, yaitu:

a. Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme
dan besi non-heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat
absorbsi dan bioavailabilitasnya tinggi. Besi non-heme berasal dari sumber
nabati, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi dalam
makanan diolah di lambung (dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa
lain) karena pengaruh asam lambung. Kemudian terjadi reduksi dari besi
bentuk feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat diserap di duodenum.

b. Fase Mukosal

12
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan
jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang
sangat kompleks dan terkendali. Besi heme dipertahankan dalam keadaan
terlarut oleh pengaruh asam lambung. Pada brush border dari sel absorptif
(teletak pada puncak vili usus, disebut sebagai apical cell), besi feri
direduksi menjadi besi fero oleh enzim ferireduktase (Gambar 2.2),
mungkin dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB).
Transpor melalui membran difasilitasi oleh divalent metal transporter
(DMT 1). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan dalam
bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui basolateral transporter ke
dalam kapiler usus.
Pada proses ini terjadi konversi dari feri ke fero oleh enzim
ferooksidase (antara lain oleh hephaestin). Kemudian besi bentuk feri
diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus. Sementara besi non-heme di
lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk kompleks
transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa dibantu
oleh DMT 1. Besi non-heme akan dilepaskan dan apotransferin akan

13
kembali ke dalam lumen usus (Zulaicha, 2009). Universitas Sumatera
Utara Gambar 2.2. Absorbsi Besi di Usus Halus (sumber: Andrews, N.C.,
2005. Understanding Heme Transport. N Engl J Med; 23: 2508-9). Besar
kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke basolateral
diatur oleh set point yang sudah diatur saat enterosit berada pada dasar
kripta (Gambar 2.3). Kemudian pada saat pematangan, enterosit
bermigrasi ke arah puncak vili dan siap menjadi sel absorptif. Adapun
mekanisme regulasi set-point dari absorbsi besi ada tiga yaitu, regulator
dietetik, regulator simpanan, dan regulator eritropoetik (Bakta, 2006).
Universitas Sumatera Utara Gambar 2.3. Regulasi Absorbsi Besi (sumber:
Andrews, N.C., 1999. Disorders of Iron Metabolism. N Engl J Med; 26:
1986-95).

c. Fase Korporeal

Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus, memasuki


kapiler usus. Kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi
transferin. Satu molekul transferin dapat mengikat maksimal dua molekul
besi. Besi yang terikat pada transferin (Fe2-Tf) akan berikatan dengan
reseptor transferin (transferin receptor = Tfr) yang terdapat pada
permukaan sel, terutama sel normoblas (Gambar 2.4). Kompleks Fe2-Tf-
Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh klatrin
(clathrin-coated pit). Cekungan ini mengalami invaginasi sehingga
membentuk endosom. Suatu pompa proton menurunkan pH dalam

14
endosom sehingga terjadi pelepasan besi dengan transferin. Besi dalam
endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan DMT 1,
sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus
kembali ke permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali. Universitas
Sumatera Utara Gambar 2.4. Siklus Transferin (sumber: Andrews, N. C.,
1999. Disorders of Iron Metabolism. N Engl J Med; 26: 1986-95).
Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam
bentuk feritin dan sebagian masuk ke mitokondria dan bersama-sama
dengan protoporfirin untuk pembentukan heme. Protoporfirin adalah suatu
tetrapirol dimana keempat cincin pirol ini diikat oleh 4 gugusan metan
hingga terbentuk suatu rantai protoporfirin. Empat dari enam posisi ordinal
fero menjadi chelating kepada protoporfirin oleh enzim heme sintetase
ferrocelatase. Sehingga terbentuk heme, yaitu suatu kompleks
persenyawaan protoporfirin yang mengandung satu atom besi fero
ditengahnya (Murray, 2003).

LO 3 Patogenesis Anemia
Proses pembentukan sel darah merah (Erythropoisis)

Eritropoiesis pada masa awal janin terjadi dalam yolk sac, pada bulan
kedua kehamilan eritropoiesis berpindah ke liver dan saat bayi lahir eritropoiesis
di liver berhenti dan pusat pembentukan eritrosit berpindah ke sumsum tulang.
Pada masa anak-anak dan remaja semua sumsum tulang terlibat dalam
hematopoiesis, namun pada usia dewasa hanya
tulang-tulang tertentu seperti tulang panggul, sternum, vertebra, costa, ujung
proksimal femur dan beberapa tulang lain yang terlibat eritropoiesis. Bahkan pada
tulang-tulang seperti disebut diatas beberapa bagiannya terdiri dari jaringan
adiposit.

15
Proses eritropoiesis diatur oleh glikoprotein bernama eritropoietin yang
diproduksi ginjal (85%) dan hati (15%). Pada janin dan neonatus pembentukan
eritropoietin berpusat pada hati sebelum diambil alih oleh ginjal. Eritropoeitin ini
dibentuk oleh sel-sel endotel peritubulus di korteks ginjal, sedangkan pada hati
hormon diproduksi sel Kupffer dan hepatosit.
Eritropoietin yang meningkat dalam darah akan mengikuti sirkulasi
sampai bertemu dengan reseptornya pada sel hematopoietik yaitu sel bakal/stem
cell beserta turunannya dalam jalur eritropoiesis. Ikatan eritropoietin dengan
reseptornya ini menimbulkan beberapa efek seperti :
a. Stimulasi pembelahan sel eritroid (prekursor eritrosit).
b. Memicu ekspresi protein spesifik eritroid yang akan menginduksi
diferensiasi sel-sel eritroid.
c. Menghambat apoptosis sel progenitor eritroid.
Eritropoietin bersama-sama dengan stem cell factor, interleukin-3,
interleukin-11, granulocyte-macrophage colony stimulating factor dan
trombopoietin akan mempercepat proses maturasi stem cell eritroid menjadi
eritrosit.
Secara umum proses pematangan eritosit dijabarkan sebagai berikut :
1. Stem cell
Eritrosit berasal dari sel induk pluripoten yang dapatmmemperbaharui diri
dan berdiferensiasi menjadi limfosit, granulosit, monosit dan megakariosit
(bakal platelet).
2. BFU-E
Burst-forming unit eritroid, merupakan prekursor imatur eritroidyang lebih
fleksibel dalam ekspresi genetiknya menjadi eritrosit dewasa maupun
fetus. Sensitivitas terhadap eritropoeitin masih relatif rendah.
3. CFU-E
Colony-forming unit eritroid, merupakan prekursor eritroid yang lebih
matur dan lebih terfiksasi pada salah satu jenis eritrosit (bergantung pada
subunit hemoglobinnya.
4. Proeritroblast, eritroblast dan normoblast
Progenitor eritrosit ini secara morfologis lebih mudah dibedakan
dibanding sel prekursornya, masih
memiliki inti, bertambah banyak melalui pembelahan sel dan ukurannya
mengecil secara progresif seiring dengan penambahan hemoglobin dalam

16
sel tersebut.Pada tahap ini terjadi pembentukan protein oleh ribosom
berupa protein globin dan hem oleh mitokondria membentuk hemoglobin.
5. Retikulosit
Eritrosit imatur yang masih memiliki sedikit sisa nukleus dalam bentuk
poliribosom yang aktif mentranslasi mRNA, komponen membran sisa dari
sel prekursornya, dan hanya sebagian enzim, protein serta fosfolipid yang
diperlukan sel selama masa hidupnya. Selelah proses enukleasi, retikulosit
akan memasuki sirkulasi dan menghabiskan sebagian waktu dalam 24 jam
pertamanya di limpa untuk mengalami proses maturasi dimana terjadi
remodeling membran, penghilangan sisa nukleus, dan penambahan serta
pengurangan protein, enzim, dan fosfolipid. Setelah proses ini barulah
eritrosit mencapai ukuran dan fungsi optimalnya dan menjadi matur.

LO 4 Manifestasi Oral Pada Penderita Anemia

1. Sering ditemukan mukosa rongga mulut yang pucat

Mulut pucat disebabkan karena kadar serum ferritin pada darah dan dapat
menjadi indeks bagi jaringan yang mengalami kekurangan kadar zat besi. Ketika
konsentrasi oksigen dalam darah menurun ditambah dengan kadar zat besi yang
juga menurun, maka kadar serum ini akan ikut menurun pada jaringan dan
mengakibatkan kondisi jaringan akan terlihat lebih pucat (Greenberg dkk., 2008).

2. Lidah mengalami glositis sehingga terjadi burning sensation dengan papila


hilang atau atropi.

Glositis merupakan peradangan atau infeksi pada lidah yang dapat


menimbulkan nyeri lidah yang tampak normal, atau tampak merah serta tidak
berpapil. Penyebab glositis yaitu kekurangan zat besi, asam folat, vitamin B12.
Gambaran klinisnya berupa lidah terlihat normal atau terlihat lesi garis atau
bercak merah (terutama pada kekurangan vitamin B12), tidak memiliki papila
dengan eritema (pada kekurangan zat besi, asam folat atau vitamin B), atau pucat
(kekurangan zat besi). Depapilisasi lingual dimulai pada ujung dan tepi dorsum,
yang nantinya akan mengenai seluruh bagian dorsum (Scully dan Cawson, 2013).
Zat besi dalam darah berguna mengatur pertumbuhan sel. Ketika zat besi dalam
darah menurun, maka kadar myoglobin akan ikut menurun. Myoglobin adalah
sejenis protein pada sel darah merah yang penting bagi otot, temasuk otot lidah.

17
Ketika zat besi berkurang maka pertumbuhan sel dan perkembangan otot akan
terganggu, sehingga papilla lidah mengalami atropi (Macoon dan Yu, 2012).

3. Angular cheilitis

Defisensi Fe2+/3+ dapat memicu pertumbuhan Candida albicans sehingga


timbul infeksi opportunistik. Candida albicans akan mudah tumbuh dan
berkembang di area bebas Fe2+/3+ , dan menimbulkan infeksi sekunder di area
sudut bibir, atau disebut juga angular cheilitis (Kaur dkk., 2015). Pada pasien,
biasanya ditemukan warna putih keabuan disertai erythema di sudut mulut.
Kebanyakan pasien yang mengalami penyakit ini mengalami burning sensation
yang terjadi ketika lesi diberikan tekanan. Etiologi dari angular cheilitis masih
menjadi kontroversi, namun etiologi yang paling banyak menyebabkan penyakit
ini adalah infeksi yang disebabkan oleh 3 organisme, yaitu Candida albicans,
Staphylococcus aureus, dan Bhemolytic streptococci. Staphylococcus aureus
menempati posisi kedua sebagai etiologi angular Cheilitis yang banyak ditemukan
di penelitian setelah Candida albicans (Park dkk., 2011).

4. Aphthae/Ulcer/Ulkus

Ulcer merupakan lesi berbentuk kawah dengan bentuk kawah pada mukosa
mulut. Kawah ini terbentuk akibat adanya luka pada jaringan mukosa yang
terbuka, yang ditandai dengan adanya disintegrasi jaringan perlahan-lahan disertai
adanya nekrosis. Tepi lesi berwarna kemerahan dengan bagian tengah berwarna
kuning keabuan yang isinya adalah fibrinopurulen. Lesi ini bisa disebabkan
karena trauma, adanya infeksi, kurangnya asupan vitamin ataupun penyakit
granulomatosis (Langlais dkk., 2015). Sedangkan pasien anemia defisiensi zat
besi mengalami penurunan ketebalan epitel yang signifikan pada mukosa yang
ditentukan secara histologis (Greenberg dkk., 2008). Oleh karena itu, pasien
anemia defisiensi besi lebih rentan menderita ulcer dibandingkan individu sehat
pada umumnya.

LO 5: Pemeriksaan Penunjang Anemia

1. Pemeriksaan Fisik

Tujuan utamanya adalah menemukan tanda keterlibatan organ atau


multisistem dan untuk menilai beratnya kondisi penderita.

Pemeriksaan fisik perlu memperhatikan

adanya takikardia, dispnea, hipotensi postural.

18
pucat: sensitivitas dan spesii sitas untuk pucat pada telapak tangan, kuku, wajah
ataukonjungtiva sebagai prediktor anemia bervariasiantara 19-70% dan 70-100%.

ikterus: menunjukkan kemungkinanadanya anemia hemolitik. Ikterus sering sulit


dideteksi di ruangan dengan cahaya lampu artifisial. Pada penelitian 62 tenaga
medis, ikterus ditemukan pada 58% penderita dengan bilirubin >2,5 mg/dL dan
pada 68% penderita dengan bilirubin 3,1 mg/dL.

penonjolan tulang frontoparietal, maksil(facies rodent/chipmunk) pada


talasemia.

lidah licin (atropi papil) pada anemia dei siensi Fe.

limfadenopati, hepatosplenomegali, nyeri tulang (terutama di sternum); nyeri


tulang dapat disebabkan oleh adanya ekspansi karena penyakit ini ltratif (seperti
pada leukemia mielositik kronik), lesi litik ( pada mieloma multipel atau
metastasis kanker).

petekhie, ekimosis, dan perdarahan lain.

kuku rapuh, cekung (spoon nail) pada anemia defisiensi Fe.

Ulkus rekuren di kaki (penyakit sickle cell, sferositosis herediter, anemia


sideroblastik familial).

Infeksi rekuren karena neutropenia atau defisiensi imun.(Oehadian, 2012)

2. Pemeriksaan laboratorium

Complete blood count (CBC)

CBC terdiri dari pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit,


ukuran eritrosit, dan hitung jumlah leukosit. Pada beberapa laboratorium,
pemeriksaan trombosit, hitung jenis, dan retikulosit harus ditambahkan dalam
permintaan pemeriksaan (tidak rutin diperiksa). Pada banyak automated blood
counter, didapatkan parameter RDW yang menggambarkan variasi ukuran sel.

19
Pemeriksaan morfologi apusan darah tepi

Apusan darah tepi harus dievaluasi dengan baik. Beberapa kelainan darah
tidak dapat dideteksi dengan automated blood counter.

1. Sel darah merah berinti (normoblas)


Pada keadaan normal, normoblas tidak ditemukan dalam sirkulasi.
Normoblas dapat ditemukan pada penderita dengan kelainan hematologis
(penyakit sickle cell, talasemia, anemia hemolitik lain) atau merupakan
bagian dari gambaran lekoeritroblastik pada penderita dengan bone
marrow replacement. Pada penderita tanpa kelainan hematologis sebe-
lumnya, adanya normoblas dapat menunjukkan adanya penyakit yang
mengancam jiwa, seperti sepsis atau gagal jantung berat.
2. Hipersegmentasi neutrofil
Hipersegmentasi neutrofil merupakan abnormalitas yang ditandai dengan
lebih dari 5% neutrofil berlobus >5 dan/atau 1 atau lebih neutrofil l
berlobus >6. Adanya hipersegmentasi neutrofil dengan gambaran
makrositik berhubungan dengan gangguan sintesis DNA (defisiensi
vitamin B12 dan asam folat).
3. Hitung retikulosit
Retikulosit adalah sel darah merah imatur. Hitung retikulosit dapat berupa
persentasi dari sel darah merah, hitung retikulosit absolut, hitung
retikulosit absolut terkoreksi, atau reticulocyte production index. Produksi
sel darah merah efektif merupakan proses dinamik. Hitung retikulosit
harus dibandingkan dengan jumlah yang diproduksi pada penderita tanpa
anemia. Faktor lain yang memengaruhi hitung retikulosit terkoreksi adalah
adanya pelepasan retikulosit prematur di sirkulasi pada penderita anemia.
Retikulosit biasanya berada di darah selama 24 jam sebelum mengeluarkan
sisa RNA dan menjadi sel darah merah. Apabila retikulosit dilepaskan
secara dini dari sumsum tulang, retikulosit imatur dapat berada di sirkulasi
selama 2-3 hari. Hal ini terutama terjadi pada anemia berat yang
menyebabkan peningkatan eritropoiesis.

Hematokrit penderita (%) Faktor koreksi:

20
40 45 1,0
35 39 1,5
25 34 2,0
15 24 2,5
<15 3,0
RPI di bawah 2 merupakan indikasi adanya kegagalan sumsum tulang
dalam produksi sel darah merah atau anemia hipoproliferatif. RPA 3 atau
lebih merupakan indikasi adanya hiperproliferasi sumsum tulang atau
respons yang adekuat terhadap anemia.

4. Jumlah leukosit dan hitung jenis


Adanya leukopenia pada penderita anemia dapat disebabkan supresi atau
infiltrasi sum-sum tulang, hipersplenisme atau defisiensi B12 atau asam
folat.Adanya leukositosis dapat menunjukkan adanya infeksi, inl amasi
atau keganasan hematologi. Adanya kelainan tertentu pada hitung jenis
dapat memberikan petunjuk ke arah penyakit tertentu:
Peningkatan hitung neutrofil absolut pada infeksi
Peningkatan hitung monosit absolut pada mielodisplasia
Peningkatan eosinofil absolut pada infeksi tertentu
Penurunan nilai neutrofil absolut setelah kemoterapi
Penurunan nilai limfosit absolut pada infeksi HIV atau pemberian
kortikosteroid
5. Jumlah trombosit
Abnormalitas jumlah trombosit memberikan informasi penting untuk
diagnostik. Trombositopenia didapatkan pada beberapa keadaan yang
berhubungan dengan anemia, misalnya hipersplenisme, keterlibatan
keganasan pada sumsum tulang, destruksi trombosit autoimun (idiopatik
atau karena obat), sepsis, defisiensi folat atau B12. Peningkatan jumlah
trombosit dapat ditemukan pada penyakit mieloproliferatif, defisiensi Fe,
inl amasi, infeksi atau keganasan. Perubahan morfologi trombosit
(trombosit raksasa, trombosit degranulasi) dapat ditemukan pada penyakit
mieloproliferatif atau mielodisplasia.
Pansitopenia

21
Pansitopenia merupakan kombinasi anemia, trombositopenia dan
netropenia. Pansitopenia berat dapat ditemukan pada anemia aplastik,
defisiensi folat, vitamin B12, atau keganasan hematologis (leukemia akut).
Pansitopenia ringan dapat ditemukan pada penderita dengan splenomegali
dan splenic trapping sel-sel hematologis. Evaluasi kadar hemoglobin dan
hematokrit secara serial dapat membantu diagnostik. (Oehadian, 2012)

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Andrews, N.C., 1999. Disorders of Iron Metabolism. N Engl J Med; 26:


1986-95).
2. Bakta, I. M., 2006. Hematologi Klinik Ringkas . Jakarta: EGC
3. Greenberg, M. S., Glick, M., Ship, J. A., 2008, Burkets Oral Medicine,
DC DeckerInc: Hamilton
4. Kaur, N., Goyal, G., Padda, S., Kaur, B., Sunidhi, 2015,Iron Deficiency
Anemia And Oral Health Prospective A Review, Indian Journal of
Comprehensive Dental Care, 5 (2): 655-659
5. Macoon, L., Yu, W., 2012, Glossitis, Journal of Healthline, V.25(12):1-8
6. Nilovar Jenabian, Farhad D.S, Nasim Salah, et al. The Relation Between
Periodontitis and Anemia Assosiated Parameter.Journal of
Dentomaxillofacial Radiology, Pathologi and Surgery,2013;2(3) : 26-33
7. Oehadian, Amaylia. Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia. CDK-194/
vol. 39 no. 6, th. 2012
8. Park, K. K., Brodell, R. T., Helms, S. E., 2011, Angular cheilitis, part 1 :
local etiologies, Cutis J , pp. 289295
9. Price, SA, Wilson, LM. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Volume 1 Ed/4. Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA,
editor. Jakarta: EGC; 2005.
10. Scully, C., Gorsky, M., Lozada-Nur, F., 2010, The Diagnosis and
Management of Reccurent Aphtous Stomatitis, JADA American Dental
Association, V.243:100-107

23

Anda mungkin juga menyukai