SKENARIO 4
UNIVERSITAS JEMBER
2017
1
KATA PENGANTAR
Tim Penyusun
2
DAFTAR ISI
3
SKENARIO 4
4
STEP 1
Tidak ada
STEP 2
1. Kenapa ada keluhan angular chelitis dan keluhan tersebut terjadi berulang?
2. Bagaimana pasien dapat merasakan mata yang berkunang-kunang?
3. Mengapa pasien sering merasa capek dan pusing?
4. Hubungan gusi dan pipi yang pucat pada kondisi pasien?
5. Apakah ada keterkaitan gender dan usia pasien dengan keluhan yang ada
di skenario?
6. Apakah fungsi dari pemeriksaan HB dan pemeriksaan darah?
STEP 3
5
penurunan kadar dari oksigen juga. Sumber energi(glukosa) yang
dibutuhkan oleh otak perlu adanya peran dari oksigen, karena jiak kadar
hemoglobin menurun maka sumber energi yang menuju otak juga
menurun.
4. Keadaan pucat berhubungan dengan adanya vaskularisasi. Mukosa yang
pucat berhubungan dengan vaskularisasi yang tidak adekuat karena
kandungan oksigen yang dibawa oleh hemoglobin berkurang.
5. Pada wanita, mereka tiap bulan mengalami menstruasi pada saat
mengallami siklus menstruasi maka kebutuhan akan zat besi juga
meningkat karena adanya pengeluaran zat besi dari darah di siklus
menstruasi yang berlebihan, sehingga dapat menyebabkan anemia. Usia
juga mempengaruhi terjadinya anemia, pada masa anak-anak meraka
hanya memiliki satu alfa dan beta globulin, sedangkan ketika pada masa
pertumbuhan memiliki dua alfa dan beta globulin, sehingga pada saaat
dalam masa pertumbuhan terjadi peningkatan kebutuhan dari zat besi.
6. Pemeriksaan penunjang sangat penting karena untuk melihat
keabnormalan yang terjadi pada sel darah, kemudian pemeriksaan
penunjang juga mendukung untuk menegakkan diagnosis dari suatu
penyakit.
STEP 4
6
Anemia
Manifestasi Oral
Pemeriksaan
penunjang
Pemeriksaan Hb Pemeriksaan
hapusan darah
STEP 5
STEP 7
LO 1: Faktor yang Mempengaruhi Anemia
7
Anemia disebabkan karena kecepatan produksi sel darah merah lebih
rendah dari destruksinya. Penyebab berkurangnya produksi sel darah merah:
Kekurangan nutrisi: Fe, B12, atau folat; dapat disebabkan oleh kekurangan diet,
malaborpsi (anemia pernisiosa, sprue) atau kehilangan darah (defi siensi Fe)
Kelainan sumsum tulang (anemia aplastik, pure red cell aplasia, mielodisplasia,
infl itrasi tumor)
Supresi sumsum tulang (obat, kemoterapi, radiasi)
Rendahnya trophic hormone untuk sti-mulasi produksi sel darah merah (eritro-
poietin
pada gagal ginjal, hormon tiroid [hipotiroidisme] dan androgen [hipogonadisme])
Anemia penyakit kronis/anemia infl amasi, yaitu anemia dengan karakteristik
berkurangnya Fe yang efektif untuk eritropoiesis karena berkurangnya absorpsi Fe
dari traktus gastrointestinal dan berkurangnya pelepasan Fe dari makrofag,
berkurangnya kadar eritropoietin (relatif ) dan sedikit berkurangnya masa hidup
eritrosit.
Faktor resiko terjadinya anemia :
1. Usia
Pada orang dengan usia lanjut terjadi penurunan hematopoisis, hal ini
salah satunya dapat disebabkan karena menurunnya fungsi organ seiring
bertambahnya usia termasuk pada sum-sum tulang. Selain sum-sum
tulang,penurunan kemampuan usus halus dalam mengadsorbsi nutrisi
terutama Fe menyebabkan terjadi penurunan dalam jumlah sel darah yang
dihasilkan. Selain itu pada usia tua juga terjadi penurunan produksi
erytropoetin yang menyebabkan stimulasi terhadap erytropoisis berkurang.
2. Periodontitis
Hampir sama dengan mayoritas kelainan sistemik yang berasal dari infeksi
rongga mulut, gangguan erytropoisis pada penderita periodontitis terjadi
karena adanya inflamasi sistemik yang melibatkan sitokin-sitokin.
Terdapat tiga kemungkinan bagaimana periodontitis ini dapat
menyebabkan anemia pada seseorang,yaitu :
a. Adanya sitokin inflamatori menyebabkan supresi proliferasi erythroid
8
b. Adanya sitokin inflamatori mencegah lepasnya erythropoitin dari
ginjal
c. Reduksi life cycle RBSCs
Pada anemia, Karena semua sistem organ dapat terlibat, maka dapat
menimbulkan manifestasi klinis yang luas. Manifestasi ini bergantung pada :
LO 2: Klasifikasi Anemia
Berdasarkan pendekatan morfologi, anemia diklasifi kasikan menjadi:
Anemia makrositik (gambar 1)
Anemia mikrositik (gambar 2)
Anemia normositik (gambar 3)
Gambar 1
9
Gambar 2
Gambar 3
Anemia makrositik
Anemia makrositik merupakan anemia dengan karakteristik MCV di atas 100 fL.
Anemia makrositik dapat disebabkan oleh.:
Peningkatan retikulosit Peningkatan MCV merupakan karakteristik normal
retikulosit. Semua keadaan yang menyebabkan peningkatan retikulosit akan
memberikan gambaran peningkat-an MCV
10
Metabolisme abnormal asam nukleat pada prekursor sel darah merah (defi siensi
folat atau cobalamin, obat-obat yang mengganggu sintesa asam nukleat:
zidovudine, hidroksiurea)
Gangguan maturasi sel darah merah (sindrom mielodisplasia, leukemia akut)
Penggunaan alkohol
_ Penyakit hati
_ Hipotiroidisme.
Anemia mikrositik
Anemia mikrositik merupakan anemia dengan karakteristik sel darah merah yang
kecil (MCV kurang dari 80 fL). Anemia mikrositik biasanya disertai penurunan
hemoglobin dalam eritrosit. Dengan penurunan MCH ( meanconcentration
hemoglobin) dan MCV, akan
didapatkan gambaran mikrositik hipokrom pada apusan darah tepi.
Penyebab anemia mikrositik hipokrom:
Berkurangnya Fe: anemia defi siensi Fe, anemia penyakit kronis/anemia infl
amasi, defi siensi tembaga.
Berkurangnya sintesis heme: keracunan logam, anemia sideroblastik kongenital
dan didapat.
Berkurangnya sintesis globin: talasemia dan hemoglobinopati.
Anemia normositik
Anemia normositik adalah anemia dengan MCV normal (antara 80-100 fL).
Keadaan ini
dapat disebabkan oleh:
Anemia pada penyakit ginjal kronik.
Sindrom anemia kardiorenal: anemia, gagal jantung, dan penyakit ginjal kronik.
Anemia hemolitik:
_ Anemia hemolitik karena kelainan intrinsik sel darah merah: Kelainan membran
(sferositosis herediter), kelainan enzim (defi siensi G6PD), kelainan hemoglobin
(penyakit sickle cell).
11
_ Anemia hemolitik karena kelainan ekstrinsik sel darah merah: imun, autoimun
(obat, virus, berhubungan dengan kelainan limfoid, idiopatik), alloimun (reaksi
transfusi akut dan lambat, anemia hemolitik neonatal), mikroan-giopati (purpura
trombositopenia trombotik, sindrom hemolitik uremik), infeksi (malaria), dan zat
kimia (bisa ular).
Absorbsi Besi
a. Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme
dan besi non-heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat
absorbsi dan bioavailabilitasnya tinggi. Besi non-heme berasal dari sumber
nabati, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi dalam
makanan diolah di lambung (dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa
lain) karena pengaruh asam lambung. Kemudian terjadi reduksi dari besi
bentuk feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat diserap di duodenum.
b. Fase Mukosal
12
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan
jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang
sangat kompleks dan terkendali. Besi heme dipertahankan dalam keadaan
terlarut oleh pengaruh asam lambung. Pada brush border dari sel absorptif
(teletak pada puncak vili usus, disebut sebagai apical cell), besi feri
direduksi menjadi besi fero oleh enzim ferireduktase (Gambar 2.2),
mungkin dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB).
Transpor melalui membran difasilitasi oleh divalent metal transporter
(DMT 1). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan dalam
bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui basolateral transporter ke
dalam kapiler usus.
Pada proses ini terjadi konversi dari feri ke fero oleh enzim
ferooksidase (antara lain oleh hephaestin). Kemudian besi bentuk feri
diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus. Sementara besi non-heme di
lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk kompleks
transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa dibantu
oleh DMT 1. Besi non-heme akan dilepaskan dan apotransferin akan
13
kembali ke dalam lumen usus (Zulaicha, 2009). Universitas Sumatera
Utara Gambar 2.2. Absorbsi Besi di Usus Halus (sumber: Andrews, N.C.,
2005. Understanding Heme Transport. N Engl J Med; 23: 2508-9). Besar
kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke basolateral
diatur oleh set point yang sudah diatur saat enterosit berada pada dasar
kripta (Gambar 2.3). Kemudian pada saat pematangan, enterosit
bermigrasi ke arah puncak vili dan siap menjadi sel absorptif. Adapun
mekanisme regulasi set-point dari absorbsi besi ada tiga yaitu, regulator
dietetik, regulator simpanan, dan regulator eritropoetik (Bakta, 2006).
Universitas Sumatera Utara Gambar 2.3. Regulasi Absorbsi Besi (sumber:
Andrews, N.C., 1999. Disorders of Iron Metabolism. N Engl J Med; 26:
1986-95).
c. Fase Korporeal
14
endosom sehingga terjadi pelepasan besi dengan transferin. Besi dalam
endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan DMT 1,
sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus
kembali ke permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali. Universitas
Sumatera Utara Gambar 2.4. Siklus Transferin (sumber: Andrews, N. C.,
1999. Disorders of Iron Metabolism. N Engl J Med; 26: 1986-95).
Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam
bentuk feritin dan sebagian masuk ke mitokondria dan bersama-sama
dengan protoporfirin untuk pembentukan heme. Protoporfirin adalah suatu
tetrapirol dimana keempat cincin pirol ini diikat oleh 4 gugusan metan
hingga terbentuk suatu rantai protoporfirin. Empat dari enam posisi ordinal
fero menjadi chelating kepada protoporfirin oleh enzim heme sintetase
ferrocelatase. Sehingga terbentuk heme, yaitu suatu kompleks
persenyawaan protoporfirin yang mengandung satu atom besi fero
ditengahnya (Murray, 2003).
LO 3 Patogenesis Anemia
Proses pembentukan sel darah merah (Erythropoisis)
Eritropoiesis pada masa awal janin terjadi dalam yolk sac, pada bulan
kedua kehamilan eritropoiesis berpindah ke liver dan saat bayi lahir eritropoiesis
di liver berhenti dan pusat pembentukan eritrosit berpindah ke sumsum tulang.
Pada masa anak-anak dan remaja semua sumsum tulang terlibat dalam
hematopoiesis, namun pada usia dewasa hanya
tulang-tulang tertentu seperti tulang panggul, sternum, vertebra, costa, ujung
proksimal femur dan beberapa tulang lain yang terlibat eritropoiesis. Bahkan pada
tulang-tulang seperti disebut diatas beberapa bagiannya terdiri dari jaringan
adiposit.
15
Proses eritropoiesis diatur oleh glikoprotein bernama eritropoietin yang
diproduksi ginjal (85%) dan hati (15%). Pada janin dan neonatus pembentukan
eritropoietin berpusat pada hati sebelum diambil alih oleh ginjal. Eritropoeitin ini
dibentuk oleh sel-sel endotel peritubulus di korteks ginjal, sedangkan pada hati
hormon diproduksi sel Kupffer dan hepatosit.
Eritropoietin yang meningkat dalam darah akan mengikuti sirkulasi
sampai bertemu dengan reseptornya pada sel hematopoietik yaitu sel bakal/stem
cell beserta turunannya dalam jalur eritropoiesis. Ikatan eritropoietin dengan
reseptornya ini menimbulkan beberapa efek seperti :
a. Stimulasi pembelahan sel eritroid (prekursor eritrosit).
b. Memicu ekspresi protein spesifik eritroid yang akan menginduksi
diferensiasi sel-sel eritroid.
c. Menghambat apoptosis sel progenitor eritroid.
Eritropoietin bersama-sama dengan stem cell factor, interleukin-3,
interleukin-11, granulocyte-macrophage colony stimulating factor dan
trombopoietin akan mempercepat proses maturasi stem cell eritroid menjadi
eritrosit.
Secara umum proses pematangan eritosit dijabarkan sebagai berikut :
1. Stem cell
Eritrosit berasal dari sel induk pluripoten yang dapatmmemperbaharui diri
dan berdiferensiasi menjadi limfosit, granulosit, monosit dan megakariosit
(bakal platelet).
2. BFU-E
Burst-forming unit eritroid, merupakan prekursor imatur eritroidyang lebih
fleksibel dalam ekspresi genetiknya menjadi eritrosit dewasa maupun
fetus. Sensitivitas terhadap eritropoeitin masih relatif rendah.
3. CFU-E
Colony-forming unit eritroid, merupakan prekursor eritroid yang lebih
matur dan lebih terfiksasi pada salah satu jenis eritrosit (bergantung pada
subunit hemoglobinnya.
4. Proeritroblast, eritroblast dan normoblast
Progenitor eritrosit ini secara morfologis lebih mudah dibedakan
dibanding sel prekursornya, masih
memiliki inti, bertambah banyak melalui pembelahan sel dan ukurannya
mengecil secara progresif seiring dengan penambahan hemoglobin dalam
16
sel tersebut.Pada tahap ini terjadi pembentukan protein oleh ribosom
berupa protein globin dan hem oleh mitokondria membentuk hemoglobin.
5. Retikulosit
Eritrosit imatur yang masih memiliki sedikit sisa nukleus dalam bentuk
poliribosom yang aktif mentranslasi mRNA, komponen membran sisa dari
sel prekursornya, dan hanya sebagian enzim, protein serta fosfolipid yang
diperlukan sel selama masa hidupnya. Selelah proses enukleasi, retikulosit
akan memasuki sirkulasi dan menghabiskan sebagian waktu dalam 24 jam
pertamanya di limpa untuk mengalami proses maturasi dimana terjadi
remodeling membran, penghilangan sisa nukleus, dan penambahan serta
pengurangan protein, enzim, dan fosfolipid. Setelah proses ini barulah
eritrosit mencapai ukuran dan fungsi optimalnya dan menjadi matur.
Mulut pucat disebabkan karena kadar serum ferritin pada darah dan dapat
menjadi indeks bagi jaringan yang mengalami kekurangan kadar zat besi. Ketika
konsentrasi oksigen dalam darah menurun ditambah dengan kadar zat besi yang
juga menurun, maka kadar serum ini akan ikut menurun pada jaringan dan
mengakibatkan kondisi jaringan akan terlihat lebih pucat (Greenberg dkk., 2008).
17
Ketika zat besi berkurang maka pertumbuhan sel dan perkembangan otot akan
terganggu, sehingga papilla lidah mengalami atropi (Macoon dan Yu, 2012).
3. Angular cheilitis
4. Aphthae/Ulcer/Ulkus
Ulcer merupakan lesi berbentuk kawah dengan bentuk kawah pada mukosa
mulut. Kawah ini terbentuk akibat adanya luka pada jaringan mukosa yang
terbuka, yang ditandai dengan adanya disintegrasi jaringan perlahan-lahan disertai
adanya nekrosis. Tepi lesi berwarna kemerahan dengan bagian tengah berwarna
kuning keabuan yang isinya adalah fibrinopurulen. Lesi ini bisa disebabkan
karena trauma, adanya infeksi, kurangnya asupan vitamin ataupun penyakit
granulomatosis (Langlais dkk., 2015). Sedangkan pasien anemia defisiensi zat
besi mengalami penurunan ketebalan epitel yang signifikan pada mukosa yang
ditentukan secara histologis (Greenberg dkk., 2008). Oleh karena itu, pasien
anemia defisiensi besi lebih rentan menderita ulcer dibandingkan individu sehat
pada umumnya.
1. Pemeriksaan Fisik
18
pucat: sensitivitas dan spesii sitas untuk pucat pada telapak tangan, kuku, wajah
ataukonjungtiva sebagai prediktor anemia bervariasiantara 19-70% dan 70-100%.
2. Pemeriksaan laboratorium
19
Pemeriksaan morfologi apusan darah tepi
Apusan darah tepi harus dievaluasi dengan baik. Beberapa kelainan darah
tidak dapat dideteksi dengan automated blood counter.
20
40 45 1,0
35 39 1,5
25 34 2,0
15 24 2,5
<15 3,0
RPI di bawah 2 merupakan indikasi adanya kegagalan sumsum tulang
dalam produksi sel darah merah atau anemia hipoproliferatif. RPA 3 atau
lebih merupakan indikasi adanya hiperproliferasi sumsum tulang atau
respons yang adekuat terhadap anemia.
21
Pansitopenia merupakan kombinasi anemia, trombositopenia dan
netropenia. Pansitopenia berat dapat ditemukan pada anemia aplastik,
defisiensi folat, vitamin B12, atau keganasan hematologis (leukemia akut).
Pansitopenia ringan dapat ditemukan pada penderita dengan splenomegali
dan splenic trapping sel-sel hematologis. Evaluasi kadar hemoglobin dan
hematokrit secara serial dapat membantu diagnostik. (Oehadian, 2012)
22
DAFTAR PUSTAKA
23