Anda di halaman 1dari 17

Relative Afferent Pupilarry Defect

Stimulus cahaya diterima oleh N.opticus (N.II) ipsilateral dari pupil.


Selanjutnya sinyal tersebut diteruskan ke chiasma optic dan terjadi
persilangan sebagian serabut N.opticus dari kedua sisi. ke nucleus
geniculatum medial, colliculus superior, dan akhirnya ke nuclei Edinger-
Westphalyang bersinaps langsung dengan N.oculomotorius (N.III). Serabut
ini bersifat parasimpatis dan berhubungan langsung dengan ganglion siliaris;
yang memberi efek parasimpatis pada mata berupa konstriksi pupil. Jenis
refleks cahaya ada 2 yaitu Refleks cahaya langsung (direct response) dimana
Pupil ipsilateral disinari, pupil ipsilateral miosis. Untuk menilai fungsi N.II.
Refleks cahaya tidak langsung (consensual response) Pupil ipsilateral
disinari, pupil kontralateral miosis. Untuk menilai fungsi N.III. Gangguan
pada retina atau neuropati N.II dapat menyebabkan respons pupil jadi lemah
secara unilateral namun tetap simetris, yang disebut RAPD (relative afferent
pupillary defect). RAPD kiri artinya: refleks cahaya langsung mata kiri lebih
lemah daripada refleks cahaya langsung mata kanan.

RAPD merupakan Suatu gejala medis yang didapatkan saat pemeriksaan


swinging flashlight test yang mana pupil kurang berkonstriksi apabila cahaya
diayun (swing) dari mata normal ke mata tidak normal. Uji ini adalah untuk
mengetahui apakah serabut aferen penglihatan berfungsi baik dengan melihat
reaksi pupil langsung atau tidak langsung pada kedua mata.
Jalur aferen (merah): impuls saraf yang menghantar dari pupil ke otak
sepanjang nervus optikus apabila cahaya disinari pada mata Jalur eferen
(biru): impuls yang dihantar kembali dari mid-brain ke kedua pupil melalui
ciliary ganglion dan nervus kranial III (saraf okulomotor), hingga
menyebabkan kedua pupil berkonstriksi, walaupun hanya satu bola mata
yang distimulasi dengan cahaya.
RAPD (+) mengindikasikan bahwa terdapat lesi saraf pada jalur visual
anterior.
Grade:
+1 : melemahnya awal penyempitan/konstriksi pupil yang dilanjutkan
dengan pelebaran/dilatasi pupil
+2 : pupil tidak penyempit lalu dilanjutkan dengan pelebaran pupil
+3 : dilatasi pupil secara langsung
+4 : tidak bereaksi terhadap cahaya Amaurotic pupil
Reaksi Hipersensitifitas

Definisi: Hipersensitivitas adalah reaksi yang tidak diinginkan (adanya


kerusakan, ketidaknyamanan, kadang-kadang fatal) yang dihasilkan oleh
adanya sistem imun pada kondisi tertentu. Reaksi hipersensitivitas
memerlukan status imun awal dari hospes.

Dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I, II, III dan IV, berdasar pada
mekanisme yang terlibat dan waktu yang diperlukan untuk timbulnya reaksi
tersebut. Seringkali, suatu kondisi klinik khusus (penyakit) dapat melibatkan
lebih dari satu tipe reaksi hipersensitivitas.

9.2. REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE I

Juga dikenal sebagai hipersensitivitas tipe cepat atau anafilaksis, yang


dapat terjadi pada kulit (urtikaria dan eksim), mata (konjungtivitas),
nasofaring (rinorea, rinitis), jaringan bronkhopulmonari (asma) dan traktus
gastro-intestinal (gastroenteritis).

Reaksinya dapat menyebabkan simtom ketidaknyamanan minor


sampai kematian. Waktu yang diperlukan 15-30 menit dari saat terjadinya
paparan antigen (alergen), meskipun kadang-kadang mempunyai onset yang
lebih panjang (10-12 jam ). Reaksi hipersensitivitas tipe I, diperantarai
antibodi IgE. Komponen sel utama yang terlibat: sel mast atau basofil.
Reaksi dapat diperbesar dan/atau dimodifikasi oleh platelet, neutrofil dan
eosinofil.
Biopsi dari tempat terjadinya reaksi, mengandung terutama sel mast dan
basofil. Mekanisme reaksi didahului dengan produksi IgE dalam respon
terhadap antigen tertentu (alergen).

IgE mempunyai afinitas yang tinggi untuk reseptornya pada sel mast
dan basofil. Paparan berikutnya dengan alergen yang sama, membentuk
ikatan silang dengan IgE yang terikat pada sel dan membebaskan berbagai
senyawa aktif secara farmakologis. (Gambar 1).

Ikatan silang diatas penting dalam memacu sel mast. Degranulasi sel mast
dan didahului dengan kenaikan Ca++ influk, merupakan proses yang
menentukan; ionofor yang meningkatkan Ca++ sitoplasmik juga mendukung
degranulasi, sedangkan antigen yang mengosongkan Ca++ sitoplasmik
menekan terjadinya degranulasi.

Gambar 1 : Mekanisme Reaksi Hipersensitivitas Tipe I


Senyawa yang dilepas oleh sel mast dan efeknya terdapat dalam Tabel
1. Sel mast dapat juga dipacu oleh perangsang yang lain, misal olahraga,
stres, senyawa kimia (media pengembang fotografi, kalsium ionofor, kodein
dll.), Anafilatoksin (C4a, C3a, C5a, dll.).

Reaksi yang terjadi tanpa adanya interaksi dengan IgE-alergen, bukan


merupakan reaksi hipersensitivitas meskipun simtom yang timbul sama.

Tabel 1. Mediator Farmakologik Hipersensitivitas tipe I

Mediator

Bentuk Pre-mediator dalam granul

Histamin bronkhokonstriksi, sekresi mukus, vasodilatasi,


permeantibodiilitas vaskuler

Triptase Proteolisis

Kininogenase kinin dan vasodilatasi, permeantibodiilitas


vaskuler edema

ECF-A menarik eosinofil and neutrofil (tetrapeptida)

Bentuk baru mediator

Leukotriene B4 menarik basofil

Leukotrien C4, D4 sama seperti histamine tetapi 1000 x lebih


poten

Prostaglandin D2 edema dan nyeri

PAF agregasi platelet dan pelepasan heparin:


mikrotrombi

Reaksi tersebut diperbesar oleh PAF (platelet activating factor) yang


menyebabkan agregasi platelet dan membebaskan histamin, heparin, dan
amin vasoaktif. ECF-A dan NCF-A, yang menarik eosinofil dan neutrofil,
melepas enzim hidrolitik dan menyebabkan nekrosis. Eosinofil juga
mengontrol reaksi setempat dengan membebaskan arilsulfatase,
histaminase, fosfolipase-D dan prostaglandin-E, meskipun perannya masih
menjadi pertanyaan.

Nukleotida siklik juga mempunyai peran dalam memodulasi reaksi


hipersensitivitas tipe I, meskipun fungsi yang tepat belum jelas. Senyawa
yang mengubah level cAMP dan cGMP secara signifikan mengubah simtom
alerginya. Jadi senyawa yang meningkatkan cAMP intraseluler melepas
simtom alergik, khususnya pada bronkhopulmonari, dan digunakan untuk
pengobatan (Tabel 2). Sebaliknya, senyawa yang menurunkan cAMP atau
menstimulasi cGMP menambah berat kondisi alergik.

Tabel 2. Hubungan antara Simtom Alergi dan Siklik Nukleotida

Menurunkan cyclic-AMP Meningkatkan cyclic-AMP

Stimulasi reseptor a-adrenergik Stimulasi reseptor B-adrenergik


(nor-epinephrin, phenyl- (epinephrine, isoproterenol)
epinephrine)
atau Memblok reseptor a-adrenergic
Memblok reseptor 13-
adrenergik (phenoxybenzamine)
(propanolol)
Menghambat phosphodiesterase

(theophylline)
Meningkatkan cyclic-GMP
Mengikat histamin-2 or PGE ke

Stimulasi reseptor ?-cholinergic reseptornya


(acetyl choline, carbachol)

MEMPERBURUK SIMTOM MEMPERBAIKI SIMTOM

Tes diagnostik hipersensitivitas tipe I, termasuk test kulit, pengukuran IgE


total dan Antibodi IgE spesifik terhadap alergen yang dicurigai, dengan
ELISA yang dimodifikasi.

Kenaikan jumlah IgE menunjukkan adanya kondisi atopik, meskipun IgE


dapat juga meningkat jumlahnya dalam beberapa penyakit non atopik (misal
miloma, infeksi cacing, dll).
Pengobatan simtomatik dapat dicapai dengan anti-histamin yang memblok
reseptor histamin. Natrium kromolin menghambat degranulasi sel mast,
kemungkinan dengan jalan menghambat Ca ++ influk.

Simtom onset alergi yang tertunda, khususnya bronkhokonstriksi yang


diperantarai leukotrien diberi pengobatan pemblok reseptor leukotrien
(Singulair, Accolate) atau inhibitor jalur siklooksigenase (Zileutoin).
Simtomatik, meskipun

Singkat waktunya, pertolongan untuk bronkhokonstriksi dapat diperoleh


Denga (Terbutalin
n bronchodilator (inhalan) seperti derivat isoproterenol ,

Albuterol). Teofilin juga dapat digunakan untuk membebaskan simtom


bronkhopulmonari.

Hiposensitisasi (imunoterapi atau desensitisasi) adalah pengobatan lain yang


juga berhasil dalam beberapa alergi, khususnya gigitan serangga dan polen.
Mekanismenya belum jelas, tetapi ada korelasi antara munculnya antibodi
IgG dan pembebasan dari simtom. Sel T supresor yang menghambat IgE
adalah yang berperan.

9.3. REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II

Juga dikenal sebagai hipersensitivitas sitotoksik dan mempengaruhi


bermacam-macam organ dan jaringan. Antigen secara normal adalah
endogenus, meskipun senyawa kimia eksogenus yang dapat mengikat
membran sel, juga dapat menyebabkan hipersensitivitas tipe II. Sebagai
contoh adalah obat yang menginduksi terjadinya anemia hemolitik,
granulositopenia dan trombositopenia. Waktu timbulnya reaksi, beberapa
menit sampai beberapa jam. Hipersensitivitas tipe II terutama diperantarai
oleh antibodi IgM atau IgG dan komplemen (Gambar 2). Sel fagosit dan sel
K juga berperan.

Gambar 2 : Mekanisme hipersensitivitas tipe H (sitotoksisitas)


Lesinya mengandung antibodi, komplemen dan neutrofil. Test diagnostik
meliputi pendeteksian antibodi terhadap jaringan yang terlibat, yang terdapat
dalam sirkulasi, terdapatnya antibodi serta komplemen dalam biopsi dengan
imunofluoresen Pengobatan melibatkan agen anti-inflamasi dan imuno-
supresif.

9.4. REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE III

Juga dikenal sebagai hipersensitivitas kompleks imun. Reaksinya


umum (mis. Serum Sickness) atau melibatkan organ, misal kulit (mis. S L K,
Arthus Reaction), ginjal (mis. Lupus Nephritis), paru-paru (mis.
Aspergillosis), pembuluh darah (mis. Polyarthritis), sendi (mis. Rheumatoid
Arthritis) atau organ yang lain. Reaksi ini merupakan gambaran mekanisme
patogenik suatu penyakit yang disebabkan oleh beberapa bakteri. Waktu
reaksi terjadi 3-10 jam setelah paparan antigen. (Arthus Reaction),
diperantarai kompleks imun larut, terutama IgG, meskipun IgM juga terlibat.

Antigennya, eksogenus (Chronic bacterial, infeksi atau parasit) atau


endogenus (non-organ autoimunitas spesifik, misal SLE). Antigennya,
antigen larut dan tidak melekat pada organ yang terlibat. Komponen utama
adalah kompleks imun dan produk komplemen larut (C3a, 4a dan 5a).

Kerusakan yang terjadi disebabkan oleh platelet dan neutrofil


(Gambar 3). Lesinya mengandung, terutama neutrofil dan timbunan
kompleks imun serta komplemen. Masuknya makrofag pada tahap akhir,
terlibat dalam proses penyembuhan. Afinitas antibodi dan besarnya kompleks
imun, adalah hal yang penting untuk timbulnya penyakit dan determinasi
jaringan yang terlibat. Diagnosa melibatkan pemeriksaan biopsi jaringan
untuk mengetahui adanya timbunan imunoglobulin dan komplemen, dengan
imunofluoresen. Hasil pengecatan imunofluoresen hipersensitivitas tipe III
adalah granular (untuk hipersensitivitas tipe II adalah linier). Adanya
kompleks imun dan berkurangnya jumlah komplemen dalam serum, juga
dapat digunakan sebagai diagnosa.

Turbiditas yang diperantarai polietilenglikol (Nephelometri) dan tes


dengan sel Raji, dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kompleks imun.
Pengobatan dengan menambahkan agen anti-inflamasi.
Gambar 3 : Mekanisme Terjadinya Kerusakan dalam
Hipersensitivitas Tipe III

9.5. REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV

Dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau


hipersensitivitas tipe lambat (tertunda). Contoh hipersensitivitas tipe IV
adalah Tes Tuberkulin (Mantoux) yang dapat diketahui puncaknya pada jam
ke 48 setelah suntikan antigen. Lesi karakteristik, terjadinya indurasi dan
eritema.

Hipersensitivitas tipe IV terlibat dalam patogenesis dari beberapa


penyakit autoimun dan infeksi (tuberkulosis, leprosi, blastomikosis,
histoplasmosis, leishmaniasis, dll.) dan granuloma yang terjadi karena infeksi
dan antigen asing.

Bentuk lain dari hipersensitivitas tipe IV adalah dermatitis kontak (racun Ivy,
senyawa kimia, logam berat, dll.), dimana lesinya lebih papular.
Hipersensitivitas tipe IV dapat diklasifikasi menjadi 3 katagori tergantung
pada waktu onset, presentasi klinik dan histologikal (Tabel 3).
Tabel 3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV

Tipe Waktu Penampakan Histologi Antigen dan


Reaksi Klinis tempat reaksi

kontak 48-72 jam Eksim Limfosit disertai Epidermal


makrofag; edema (senyawa organik,
dari epidermis racun ivy, logam
berat, dll.)

tuberkulin 48-72 jam indurasi lokal limfosit, monosit, intradermal (tuber-


makrofag kulin, lepromin,
dll).

granuloma 21-28 hari Pengerasan Makrofag, antigen menetap


epitheloid dan atau antigen asing
giant cells, (tuberkulosis,
fibrosis leprosi, dll.)
Mekanisme terjadinya kerusakan dalam hipersensitivitas tipe IV ,
meliputi sel T dan monosit, dan / atau makrofag. Sel T sitotoksik
menyebabkan kerusakan langsung, sedangkan sel Th 1 mensekresi sitokin
yang mengaktifkan sel T sitotoksik dan merekrut dan mengaktifkan monosit
dan makrofag, yang menyebabkan besarnya kerusakan. Lesinya mengandung
monosit dan sejumlah sel T.

Limfokin yang terutama terlibat dalam reaksi hipersensitivitas tipe IV,


yaitu: MCF (Monocyte Chemotactic Factor), EL-2, INF-, TNF-/, dll. Tes
diagnostik in vivo, misal reaksi Mantoux dan Tes Goresan (untuk dermatitis
kontak). In vitro: respon mitogenik, produksi limfositotoksisitas dan EL-2.
Pengobatan: kortikosteroid dan imuno-supresif yang lain.
Tabel 4. Perbandingan Tipe-tipe Hipersensitivitas

Tipe-I Tipe- II Tipe-III Tipe-IV


Karakteristi
k
(anafilakik) (sitotoksik) (kompleks (tipe
imun) tertunda)

Antibodi IgE IgG, IgM IgG, IgM -

Antigen eksogenus Permukaan larut jaringan & sel


organ

Waktu 15-30 menit menit- jam 3-8 jam


48-72 jam
Respon

lisis dan eritema dan eritema dan


Penampakan weal & flare
nekrosis edema, indurasi
nekrosis

basofil dan antibodi dan komplemen monosit dan


Histologi
eosinofil komplemen dan neutrofil limfosi
Transfer Antibodi antibodi sell
antibodi
dengan

Eritroblastosis SLE, penyakit tes tuberkulin,


alergi asma,
Contoh fetalis, paru-paru racun ivy,
hay-fever
goodpasture's pada petani granuloma
nefritis

Anda mungkin juga menyukai