PEMBIMBING :
dr. Carlos, Sp.OT
PENYUSUN :
Yonatan Hendrawan (2015.04.2.0149)
Yunike Felita B (2015.04.2.0153)
KEPANITERAAN KLINIK
SMF ILMU BEDAH
RSUD DR. MOHAMAD SOEWANDHI SURABAYA
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2017
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..............................................................................................................
KATA PENGANTAR.................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................................
2.4 Dislokasi..................................................................................................
BAB 3 PENUTUP..................................................................................................
3.1 Kesimpulan.............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
1
KATA PENGANTAR
2
BAB 1 PENDAHULUAN
1
Compartment syndrome adalah peningkatan tekanan intra
compartement (Osteofascial compartement) pada cruris atau pada
Antebrachii akibat peningkatan permeabilitas sesudah terjadinya trauma,
menyebabkan odema dan menghalangi aliran arteri yang menyebabkan
ischemia jaringan yang diikuti gejala klinis 5 P (Pulseless, Pale, Pain,
Paraestesi, Paralyse). Bila tak segera dilakukan fasciotomi akan
menyebabkan nekrosis otot dan timbul cacat menetap volkmann ischemic
contracture.
Selain kasus open fraktur dan kompartemen sindrom, kejadian
dislokasi dan fractur dislokasi juga bisa ditemui di IGD. Pada keadaan
normal cartilage mendapat nutrisi dari cairan synovial yang berasal dari
darah yang sudah tersaring eritrositnya, terjadi diffusi masuk ke joint
space bila terjadi mekanisme gerak sendi. Saat dislokasi nutrisi terhenti.
Cartilage yang mati sulit regenerasi. Penanganan dislokasi adalah segera
reposisi dan stabilisasi 2-3 minggu.
Selain kasus kasus di atas, lesi vasculer besar juga termasuk
dalam emergency orthopedics. Lesi vaskuler besar yang tersering adalah
arteri poplitea dan arteri radialis, juga plexus vein sacral pada sacro iliac
disruption atau unstable pelvis atau fractur malgaigne. Kasus emergency
ortopedic lain adalah septic arthritis. Pasien akan mengalami panas
badan, nyeri sendi sangat hebat bila digerakkan. Area yang sering terkena
septic artritis adalah sendi panggul (coxitis) dan lutut (gonitis). Pus yang
ada dalam sendi akan merusak sendi, bila tidak segera ditangani, maka
arthrotomi pilihan terapi septic artritis pada sendi yang rusak.
Dan, acute osteomyelitis merupakan kasus emergency ortopedics.
Osteomelitis akut menunjukkan gejala panas, nyeri bila extremitas yang
mengalami infeksi dipegang, tanda radang (rubor, color , dolor , palor,
functio laesa). Komplikasi osteomelitis akut adalah sepsis. Lalu, fat
emboli, unstable cervical spine, dan traumatic amputasi juga merupakan
kasus emergency ortopedics.
Fraktur pelvis dapat bersifat unstable apabila cincin pelvis
mengalami kerusakan pada 2 tempat atau lebih, biasanya terjadi karena
2
high energy injury. Pada daerah pelvis terdapat plexus plexus vena, jika
ada trauma seringkali menyebabkan pecahnya pembuluh darah ini, dan
pendarahan baru berhenti jika cavum pelvis terisi penuh dengan darah.
Pada fraktur unstable, pendarahan tidak berhenti karena pelvis tidak
terfiksasi dengan sempurna.
Fat emboly sering terjadi 3-5 hari sesudah fraktur tulang panjang
(femur & tibia). Fat globule dari sumsum tulang masuk sirkulasi dan bila
masuk ke otak akan mengganggu kesadaran, serta bila masuk paru
mengakibatkan sesak. Pertolongan fat emboli adalah oxygenasi dengan
PEEP (positive expirasi end pressure) respirator dan heparin atau
antikoagulan. Diharapkan dengan mengetahui penanganan awal kasus
emergency ortopedic dapat menyelamatkan nyawa (life threatening ) dan
yang menyelamatkan extremitas (save the limb).
3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
4
dan ekspos tulang, biasanya berhubungan dengan
kontaminasi luas
III C Cedera vaskular membutuhkan perbaikan
5
jaringan subkutaneus, lemak, fasia, otot dan fragmen-fragmen yang
lepas (Buckley, 2012).
4. Imobilisasi, luka ditutup kain bersih, fragmen jangan dimasukkan
Pembidaian dan imobilisasi fraktur penting pada emergensi
ortopedi. Fungsinya adalah untuk mengontrol nyeri dan
pembengkakan, mengurangi deformitas/dislokasi, dan imobilisasi
fraktur atau cedera. Tujuan pembidaian dan imobilisasi adalah
membebaskan nyeri, meningkatkan penyembuhan, stabilisasi
fraktur, mencegah sehingga cedera lebih lanjut. Untuk fraktur
terbuka grade I-II dapat diberikan internal fixasi, gips dengan
window. Sedangkan untuk grade III yaitu external fixasi, gips
dengan window hingga amputasi apabila organ tidak
viable/beresiko menimbulkan mortalitas. Kebanyakan cedera
ekstremitas atas dapat ditangani dengan menggunakan belat
posterior long arm. Cedera pada jari ditangani dengan belat jari
busa atau belat plastik kaku. Cedera bahu dapat ditangani dengan
sebuah selempang/balutan gendong, atau imobiliser bahu. Cedera
ekstremitas bawah dapat ditangani dengan imobiliser lutut atau
bidai cetak posterior (Budiman, 2010).
5. Antibiotik dan analgetik
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. Antibiotik
diberikan dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat dan
sesudah tindakan operasi.
6. Pencegahan tetanus
Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan
pencegahan tetanus. Pada penderita yang telah mendapat
imunisasi aktif cukup dengan pemberian toksoid tapi bagi yang
belum,dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin (manusia).
6
2.2 Compartment Syndrome
7
a. Misal : sekunder akibat luka bakar, pembengkakan jaringan lunak,
balutan ketat, iskemis reperfusi, kompresi berkepanjangan, infiltrasi
intravena, perdarahan, cedera vaskuler, kejang, dan trauma.
b. Kenali 6 P: Pain (nyeri), Pallor (pucat), Pulselessness (tidak ada
pulsasi), Parasthesia (tidak ada rasa), Paralysis (lumpuh) dan
Poikilothermic.
c. Iskemia dan nekrosis dapat muncul bahkan jika masih terdapat
pulsasi.
d. Nervus sensorik yang lebih dulu terkena, diikuti oleh motorik.
e. Waktu: gejala dapat muncul dalam beberapa jam sampai beberapa
hari setelah cedera. (Paula R. 2007)
8
kombinasinya bersama dengan cedera penting pada sistem organ mayor.
Karena daya yang tinggi penting untuk disrupsi cincin pelvis pada pasien
dewasa muda, tidaklah mengejutkan kalau sampai 80% pasien ini juga
mendapat cedera muskuloskeletal. Angka mortalitas pada pasien cedera
cincin pelvis berkekuatan-tinggi rata-rata 15-20%. Kematian ini umumnya
disebabkan oleh cedera yang umumnya sehubungan dengan pola cedera.
Mortalitas meningkat hampir 13 kali jika pasien mengalami hipotensi.
Ketika berkombinasi dengan cedera kepala atau cedera abdomen yang
membutuhkan intervensi bedah, mortalitas meningkat sampai 50%. Jika
kedua prosedur diperlukan, mortalitas meningkat sampai 90% (Guthrie et
al., 2010).
Ahli bedah ortopedi dan ahli traumatologi secara luas
mengklasifikasikan disrupsi cincin pelvis kedalam dua kelompok mayor :
stabil dan tidak stabil. Pelvis yang stabil didefenisikan sebagai sesuatu
yang dapat tetap bertahan dari gaya fisiologis tanpa dislokasi. Stabilitas ini
bergantung pada integritas struktur ligamen dan tulang (Guthrie et al.,
2010).
Dislokasi ini dapat dinilai pada screening radiografi AP awal. Cedera
stabil termasuk fraktur non-dislokasi cincin pelvis dan dislokasi anterior
<2,5 cm. Instabilitas rotasional ditandai dengan melebarnya simfisis pubis
atau dislokasi fraktur rami pubis > 2,5 cm. Dasar instabilitas vertikal
adalah pemindahan superior hemipelvis melalui fraktur sacrum atau ilium
dan disrupsi sendi sacroiliaca > 1 cm. Karena pelvis merupakan struktur
cincin sebenarnya, dislokasi anterior penting harus dibarengi dengan
disrupsi posterior yang bersesuaian. Disrupsi cincin pelvis biasanya
merupakan sebuah kombinasi fraktur dan cedera ligament (Guthrie et al.,
2010).
Biasanya penyebab perdarahan pada fraktur pelvis adalah dari
pleksus vena pelvis posterior dan perdarahan yang menghapus
permukaan tulang. Sekitar <10% kasus perdarahan, disebabkan dari
perdarahan arteri yang cukup dikenal. Pengobatan awal harus berfokus
pada kontrol perdarahan vena. Reduksi dan stabilisasi pada dislokasi
cincin pelvis membantu mencapai pengontrolan tersebut. Reduksi akan
9
mengurangi volume pelvis dan lakukan tampon pembuluh darah yang
mengalami perdarahan dengan cara kompresi viscera dan hematom
pelvis. Stabilisasi mempertahankan reduksi dan mencegah pergerakan
hemipelvis, mengurangi nyeri dan membatasi disrupsi gumpalan
terorganisir. Reduksi dan stabilisasi saja biasanya mengontrol perdarahan
vena, maka pasien yang tidak merespon manuver ini lebih mungkin
mendapat perdarahan arteri (Guthrie et al., 2010).
Penatalaksanaan disrupsi cincin pelvis dengan perdarahan:
a. Resusitasi cairan
b. Hentikan perdarahan, dengan
1) Direct pressure
2) Pemasangan stagen, pelvic sling, PASG
3) Terapi definitif:
c. Terapi definitif, pemasangan C-CLAMP.
d. Rujuk
2.4 Dislokasi
https://ningrumwahyuni.wordpress.com/2010/01/15/emergensi-
ortopedi/
Dislokasi adalah cedera yang terisolasi, melumpuhkan anggota
badan dan segera pasien diangkut. Kontrol perdarahan dengan tekanan
langsung dan mencakup dislokasi terbuka dengan kasa steril. Setiap
dislokasi terbuka terkait dengan atau tanpa fraktur biasanya tidak boleh
direduksi IGD. Antibiotik profilaksis yang tepat harus diberikan, dan status
tetanus pasien harus diperbarui. Dressing steril harus diterapkan.
Menilai status neurovaskular dari kaki sebagai bagian dari survei
sekunder. Pertimbangkan pengurangan mendesak setiap dislokasi yang
menyebabkan kompromi neurovaskular signifikan.
Di IGD, perawatan biasanya melibatkan analgesia
yang tepat, es, dan elevasi. Dislokasi dari jari-jari kaki sering
dapat dikurangi dengan anestesi lokal (blok digital) di UGD
dengan traksi longitudinal yang sederhana. Dislokasi dari
kaki pertama mungkin sulit untuk direduksi. Selain itu,
metatarsophalangeal pertama (MTP) dan dislokasi
interphalangeal (IP) yang terbuka atau tidak dapat direduksi
10
memerlukan konsultasi ortopedi. Sebagian lainnya MTP dan
IP dislokasi mudah dikelola oleh dokter IGD.
11
untuk pembuluh darah proksimal dari cedera (misalnya,
tekanan femoralis di luka ekstremitas bawah) (Scott, 2011).
12
3. Mobilisasi sendi secara lembut
Setelah infeksi dapat dikontrol, dokter biasanya merekomendasikan
pasien melakukan gerakan lembut untuk menjaga fungsi sendi.
Pergerakan sendi dapat menjaga tubuh dari kekakuan sendi
dan otot-otot. Gerakan juga mendorong aliran darah dan
sirkulasi yang membantu proses penyembuhan tubuh (Yuliasih,
2009).
13
Penanganan yang dilakukan di IGD antara lain:
1. Resusitasi cairan
2. Antibiotika.
Antibiotika yang efektif terhadap gram negatif maupun gram positi
diberikan langsung tanpa menunggu hasil biakan darah, dan
dilakukan secara parenteral selama 3-6 minggu.
3. Pemeriksaan biakan darah.
4. Imobilisasi anggota gerak yang terkena
5. Analgetik antipiretik
(Schwartz et al., 2000).
14
3. Emboli tampak pada retina pada pemeriksaan fundoskopi.
4. Lemak terdeteksi pada urine.
5. Penurunan hematokrit atau jumlah platelet yang mendadak dan
tidak diketahui penyebabnya.
6. Peningkatan LED atau viskositas plasma.
7. Gumpalan lemak tampak pada sputum.
15
Mengembalikan volume intravaskuler juga penting, karena shock
dapat dapat menyebabkan lesi pada paru-paru akibat FES. Albumin
direkomendasikan untuk resusitasi cairan karena selain mengembalikan
volume darah albumin juga dapat berikatan dengan asam lemak,
sehingga menurunkan kemungkinan lesi paru-paru (Jawed dan Naseem,
2005).
Definisi
Pengangkutan pasien cedera cervical dengan papan
juga kerah semirigid, dengan leher stabil pada sisi kepala
dengan kantong pasir atau blok busa diletakkan sisi kanan
dan kiri leher.
Jika malalignment tulang belakang diidentifikasi, pasien di traksi skeletal
sesegera mungkin (dengan sangat sedikit pengecualian), bahkan jika
tidak ada bukti defisit neurologis ada. Cedera tertentu yang terlibat dan
kemampuan manajemen konsultasi staf ahli lebih lanjut (Moira
Davenport,2008).
Penanganan pasien fraktur cervical di IGD:
1. Ambulasi, seperti 4 orang mengangkat balok.
o 1 orang memegang kepala dengan ekstensi dan traksi leher
o 1 orang mengangkat punggung
o 1 orang mengangkat pinggang dan paha
o 1 orang mengangkat tungkai bawah.
2. Di atas bed dengan alas datar dan keras
o Pasien diposisikan telentang.
o Pasang collar brace
o Letakkan kantong pasir bila perlu, untuk memfiksasi posisi pasien di
bed.
o Ekstensi leher
3. Infus RL, beri analgetik, dan puasakan pasien
16
4. Lakukan prosedur diagnostik, misal rontgen.
5. Crutchfild, Glisson Traction 3-5 kg
6. Pindahkan ke bangsal.
17
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
18
Guthrie HC, Owens R, Bircher MD, 2010. Focus On Pelvic Fractures. The
journal of bone and joint
surgery.http://www.jbjs.org.uk/media/29777/focuson_pelvic.pdf (19
Maret 2017)
19
Scott H Bjerke. 2011. Ekstremitas Vascular Trauma Perawatan &
Manajemen. http://emedicine.medscape.com/article/462752-
workup#showall Diakses tanggal 19 Maret 2017
Wofe WG, De Vries WC. 1975. Oxygen toxicity. Annu Rev Med
1975;26:203-14.
20