Anda di halaman 1dari 23

KEGAWATAN ORTOPEDI

PEMBIMBING :
dr. Carlos, Sp.OT

PENYUSUN :
Yonatan Hendrawan (2015.04.2.0149)
Yunike Felita B (2015.04.2.0153)

KEPANITERAAN KLINIK
SMF ILMU BEDAH
RSUD DR. MOHAMAD SOEWANDHI SURABAYA
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................

KATA PENGANTAR.................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................................

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................

2.1 Open Fracture...........................................................................................

2.2 Compartment Syndrome...........................................................................

2.3 Disrupsi Cincin Pelvis Dengan Perdarahan..............................................

2.4 Dislokasi..................................................................................................

2.5 Traumatic Amputation.............................................................................

2.6 Trauma Vaskular Besar...........................................................................

2.7 Septic Arthritis.........................................................................................

2.8 Osteomyelitis Akut..................................................................................

2.9 Fat Embolysm Syndrome.......................................................................

2.10 Unstable Cervical Spine.........................................................................

BAB 3 PENUTUP..................................................................................................

3.1 Kesimpulan.............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................

1
KATA PENGANTAR

2
BAB 1 PENDAHULUAN

Kejadian kegawatan ortopedi (emergency orthopedics) banyak


dijumpai. Penanganan emergency orthopedics telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Teknologi dalam bidang kesehatan
juga memberikan kontribusi yang sangat untuk menunjang penanganan
emergency orthopedics. Tenaga medis dituntut untuk mempunyai
pengetahuan dan keterampilan yang adekuat terkait dengan proses
perawatan emergency orthopedics pertama kali di IGD yang
komprehensif, yang dimulai dari pengkajian yang komprehensif,
perencanaan intervensi yang tepat, implementasi tindakan, evaluasi hasil
yang ditemukan selama perawatan serta dokumentasi hasil yang
sistematis. Kasus-kasus yang termasuk dalam emergency orthopedics,
yaitu open fracture, compartment syndrome, dislokasi dan fractur
dislokasi, lesi vascular besar, septic arthritis, acute osteomyelitis, unstable
pelvis, fat emboli, unstable cervical spine, dan traumatic amputasi.
Berdasar sifatnya emergency orthopedics dibedakan menjadi dua,
yaitu sifatnya yang mengancam jiwa (life threatening ) dan yang
mengancam kelangsungan ekstremitas (limb threatening). Kejadian
fraktur banyak ditemukan saat ini, begitu juga kasus open fraktur di IGD.
Kalau tidak ditangani akan menjadikannya infeksi kronis yang
berkepanjangan.Once osteomyelitis, forever : Appley. Jangan sampai
melewati Golden periode (0 s/d 6 jam) pada awalnya infestasi kuman
masih melekat secara fisik, sesudah itu akan melekat secara kimawi dan
sulit dibersihkan dengan pencucian saja.
Penanganan definitif fraktur ada yang perlu tindakan operatif ada
yang tidak. Fraktur yang harus di operasi : Fraktur yang gagal dengan
tindakan konservatif, fraktur intra artikuler, fraktur joint depressed lebih dari
5 mm, fraktur avulsi akibat tarikan ligament, dan fraktur dengan
atrioventriculer node disturbances. Kasus emengency ortopedics lain
adalah compartment syndrome .

1
Compartment syndrome adalah peningkatan tekanan intra
compartement (Osteofascial compartement) pada cruris atau pada
Antebrachii akibat peningkatan permeabilitas sesudah terjadinya trauma,
menyebabkan odema dan menghalangi aliran arteri yang menyebabkan
ischemia jaringan yang diikuti gejala klinis 5 P (Pulseless, Pale, Pain,
Paraestesi, Paralyse). Bila tak segera dilakukan fasciotomi akan
menyebabkan nekrosis otot dan timbul cacat menetap volkmann ischemic
contracture.
Selain kasus open fraktur dan kompartemen sindrom, kejadian
dislokasi dan fractur dislokasi juga bisa ditemui di IGD. Pada keadaan
normal cartilage mendapat nutrisi dari cairan synovial yang berasal dari
darah yang sudah tersaring eritrositnya, terjadi diffusi masuk ke joint
space bila terjadi mekanisme gerak sendi. Saat dislokasi nutrisi terhenti.
Cartilage yang mati sulit regenerasi. Penanganan dislokasi adalah segera
reposisi dan stabilisasi 2-3 minggu.
Selain kasus kasus di atas, lesi vasculer besar juga termasuk
dalam emergency orthopedics. Lesi vaskuler besar yang tersering adalah
arteri poplitea dan arteri radialis, juga plexus vein sacral pada sacro iliac
disruption atau unstable pelvis atau fractur malgaigne. Kasus emergency
ortopedic lain adalah septic arthritis. Pasien akan mengalami panas
badan, nyeri sendi sangat hebat bila digerakkan. Area yang sering terkena
septic artritis adalah sendi panggul (coxitis) dan lutut (gonitis). Pus yang
ada dalam sendi akan merusak sendi, bila tidak segera ditangani, maka
arthrotomi pilihan terapi septic artritis pada sendi yang rusak.
Dan, acute osteomyelitis merupakan kasus emergency ortopedics.
Osteomelitis akut menunjukkan gejala panas, nyeri bila extremitas yang
mengalami infeksi dipegang, tanda radang (rubor, color , dolor , palor,
functio laesa). Komplikasi osteomelitis akut adalah sepsis. Lalu, fat
emboli, unstable cervical spine, dan traumatic amputasi juga merupakan
kasus emergency ortopedics.
Fraktur pelvis dapat bersifat unstable apabila cincin pelvis
mengalami kerusakan pada 2 tempat atau lebih, biasanya terjadi karena

2
high energy injury. Pada daerah pelvis terdapat plexus plexus vena, jika
ada trauma seringkali menyebabkan pecahnya pembuluh darah ini, dan
pendarahan baru berhenti jika cavum pelvis terisi penuh dengan darah.
Pada fraktur unstable, pendarahan tidak berhenti karena pelvis tidak
terfiksasi dengan sempurna.
Fat emboly sering terjadi 3-5 hari sesudah fraktur tulang panjang
(femur & tibia). Fat globule dari sumsum tulang masuk sirkulasi dan bila
masuk ke otak akan mengganggu kesadaran, serta bila masuk paru
mengakibatkan sesak. Pertolongan fat emboli adalah oxygenasi dengan
PEEP (positive expirasi end pressure) respirator dan heparin atau
antikoagulan. Diharapkan dengan mengetahui penanganan awal kasus
emergency ortopedic dapat menyelamatkan nyawa (life threatening ) dan
yang menyelamatkan extremitas (save the limb).

3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Open Fracture

Dikatakan fraktur terbuka jika terdapat hubungan antara daerah yang


fraktur dengan dunia luar, biasanya karena kulit di atasnya sudah tidak
intak. Fraktur merupakan terbuka emergensi bedah ortopedi, karena risiko
untuk terjadinya infeksi pada tulang yang fraktur tinggi. Komplikasi jangka
panjang adalah terancamnya fungsi tungkai, dan dalam kasus infeksi
sistemik dapat mengancam jiwa (Budiman, 2010).
Manajemen fraktur awal adalah untuk mengontrol perdarahan,
mengurangi nyeri, mencegah iskemia-reperfusi cedera, dan mencegah
kontaminasi serta infeksi misal benda asing dan jaringan nonviable. Hal ini
akan meminimalkan komplikasi yang mungkin dapat terjadi (Buckley,
2012).

a. Klasifikasi Fraktur Terbuka


Dibawah ini menjelaskan suatu klasifikasi fraktur terbuka menurut
Gustilo/Anderson (Rasjad, 2007):
Tipe Fraktur Deskripsi
I Kulit terbuka < 1 cm, bersih; paling mungkin lesi dalam
daripada luar; kontusio otot minimal, fraktur transversum atau
oblique yang sederhana
II Laserasi > 1 cm dengan kerusakan jaringan lunak luas, flap,
atau avulsi; kehancuran minimal sampai sedang; fraktur
transversum atau oblique pendek yang sederhana dengan
kominutif minimal
III Kerusakan jaringan lunak luas, termasuk otot, kulit dan
struktur neurovaskular; seringnya cedera kecepatan-tinggi
dengan komponen kehancuran yang berat
III A Laserasi luas, mencakup tulang adekuat; fraktur segmental,
cedera tembak
III B Kerusakan jaringan lunak luas dengan terkupasnya periosteal

4
dan ekspos tulang, biasanya berhubungan dengan
kontaminasi luas
III C Cedera vaskular membutuhkan perbaikan

b. Penatalaksanaan Fraktur Terbuka


Tantangan penatalaksanaan yang sulit pada fraktur terbuka telah
dikenal selama berabad-abad. Amputasi telah menjadi pengobatan
menetap sampai pertengahan abad ke 18, dimana teknik antiseptik mulai
digunakan. Antiseptik, bersama dengan debridement semua jaringan yang
terkontaminasi dan devitalisasi, membuktikan reduksi pertama pada
mortalitas. Kemajuan serentak pada profilaksis antibiotik, debridement
agresif dan manajemen luka terbuka, flap otot rotasional, transfer jaringan
bebas, dan teknik cangkok tulang memperlihatkan peningkatan yang
dramatis pada kemampuan seorang dokter untuk menangani fraktur
terbuka berat sebagai akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor dan
luka tembak. Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang
memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi risiko infeksi.
Selain mencegah infeksi juga diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan
restorasi fungsi anggota gerak (Rasjad, 2007).

Penanganan fraktur terbuka di IGD:


1. ABCD
Nilai status kesadaran, bebaskan airway, breathing, resusitasi cairan, dan
hentikan perdarahan.
2. Cuci luka
Mencuci luka dengan larutan NaCl fisiologis bertujuan
menghilangkan kontaminasi makro dan bekuan darah yang dapat
meminimalkan kontaminasi serta kerusakan jaringan
(Schaller,2012).
3. Debridement dalam golden period (6 jam) dengan general
anestesia.
Adanya jaringan yang mati akan mengganggu proses
penyembuhan luka dan merupakan daerah tempat pembenihan
bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi pada kulit,

5
jaringan subkutaneus, lemak, fasia, otot dan fragmen-fragmen yang
lepas (Buckley, 2012).
4. Imobilisasi, luka ditutup kain bersih, fragmen jangan dimasukkan
Pembidaian dan imobilisasi fraktur penting pada emergensi
ortopedi. Fungsinya adalah untuk mengontrol nyeri dan
pembengkakan, mengurangi deformitas/dislokasi, dan imobilisasi
fraktur atau cedera. Tujuan pembidaian dan imobilisasi adalah
membebaskan nyeri, meningkatkan penyembuhan, stabilisasi
fraktur, mencegah sehingga cedera lebih lanjut. Untuk fraktur
terbuka grade I-II dapat diberikan internal fixasi, gips dengan
window. Sedangkan untuk grade III yaitu external fixasi, gips
dengan window hingga amputasi apabila organ tidak
viable/beresiko menimbulkan mortalitas. Kebanyakan cedera
ekstremitas atas dapat ditangani dengan menggunakan belat
posterior long arm. Cedera pada jari ditangani dengan belat jari
busa atau belat plastik kaku. Cedera bahu dapat ditangani dengan
sebuah selempang/balutan gendong, atau imobiliser bahu. Cedera
ekstremitas bawah dapat ditangani dengan imobiliser lutut atau
bidai cetak posterior (Budiman, 2010).
5. Antibiotik dan analgetik
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. Antibiotik
diberikan dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat dan
sesudah tindakan operasi.
6. Pencegahan tetanus
Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan
pencegahan tetanus. Pada penderita yang telah mendapat
imunisasi aktif cukup dengan pemberian toksoid tapi bagi yang
belum,dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin (manusia).

6
2.2 Compartment Syndrome

Sindrom kompartemen akut terjadi ketika tekanan jaringan dalam


kompartemen otot tertutup melebihi tekanan perfusi dan menyebabkan
otot dan saraf iskemia. Ini biasanya terjadi setelah peristiwa traumatis,
paling sering patah tulang. Pilihan penanganan untuk sindrom
kompartemen akut adalah dekompresi dini (Rasul, 2012; Paula, 2011).
Berbagai sindroma kompartemen telah diuraikan untuk kedua
ekstremitas atas dan bawah. Uraian tersebut termasuk sindroma
kompartemen pada bahu, lengan atas, lengan bawah, tangan, bokong,
paha, tungkai bawah, dan kaki. Penyebab sindroma kompartemen
beragam dan termasuk fraktur terbuka dan fraktur tertutup, cedera arteri,
luka tembak, gigitan ular, kompresi tungkai, dan luka bakar (Paula, 2007).
Meningkatnya tekanan pada ruang fascia tertutup menyebabkan
menurunnya tekanan perfusi dan pada akhirnya cedera sel dan kematian
neuron dan jaringan otot. Mekanismenya sebagai berikut: hipoksia
menyebabkan cedera sel, melepaskan mediator, dan meningkatkan
permeabilitas endotel yang menyebabkan oedem, selanjutnya
meningkatkan tekanan kompartemen, pH jaringan menurun, lalu terjadi
nekrosis, dan terlepasnya mioglobin. Tekanan jaringan lebih besar dari
tekanan kapiler; biasanya terlihat pada > 30 mmHg tekanan intra-
kompartemen. Waktu iskemik: nervus < 4 jam, otot < 4 jam beberapa
mengatakan sampai 6 jam (Paula R. 2007).
Gambaran Klinis yang biasa ditimbulkan pada seseorang dengan
Sindroma Kompartemen yakni :
a. Nyeri yang melebihi kapasitas cedera
b. Pemeriksaan fisik: bukti ketegangan kompartemen, menurunnya
perfusi (pengisian kembali kapiler, nyeri) dan kehilangan fungsi
jaringan (mati rasa dan lemah; nervus dan otot terlibat pada
kompartemen yang terinfeksi)
c. Diagnosa pasti dengan mengukur tekanan kompartemen (Paula R.
2007).

Penegakkan diagnosa pada Sindroma Kompartemen secara klasik


yakni :

7
a. Misal : sekunder akibat luka bakar, pembengkakan jaringan lunak,
balutan ketat, iskemis reperfusi, kompresi berkepanjangan, infiltrasi
intravena, perdarahan, cedera vaskuler, kejang, dan trauma.
b. Kenali 6 P: Pain (nyeri), Pallor (pucat), Pulselessness (tidak ada
pulsasi), Parasthesia (tidak ada rasa), Paralysis (lumpuh) dan
Poikilothermic.
c. Iskemia dan nekrosis dapat muncul bahkan jika masih terdapat
pulsasi.
d. Nervus sensorik yang lebih dulu terkena, diikuti oleh motorik.
e. Waktu: gejala dapat muncul dalam beberapa jam sampai beberapa
hari setelah cedera. (Paula R. 2007)

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan


Sindroma Kompartemen yakni:
a. Singkirkan penyebab kompresi
b. O2
c. Pertahankan ekstremitas setinggi jantung
d. Konsultasi ortopedi atau bedah darurat
e. Fasciotomi:
o Indikasi: sindroma kompartemen akut: tekanan
kompartemen > 30 mmHg
o Ahli bedah harus melakukan fasciotomi; bagaimanapun,
pada tungkai yang tekanannya meningkat atau terdapat
penundaan pembedahan, fasciotomi emergensi mungkin perlu
dilakukan di departemen emergensi.
o Pendekatan dua-insisi fasciotomi pada tungkai bawah
merupakan prosedur langsung dan dapat dipercaya, mengingat
bahwa anatominya mudah dipahami.

2.3 Disrupsi Cincin Pelvis Dengan Perdarahan

Disrupsi cincin pelvis merupakan penyebab utama mortalitas dan


morbiditas pada pasien cedera multipel. Dimana kefatalannya disebabkan
oleh perdarahan retroperitoneal dan cedera-cedera lain sehubungan
dengannya. Fraktur bisa jadi sangat mematikan jika muncul dalam

8
kombinasinya bersama dengan cedera penting pada sistem organ mayor.
Karena daya yang tinggi penting untuk disrupsi cincin pelvis pada pasien
dewasa muda, tidaklah mengejutkan kalau sampai 80% pasien ini juga
mendapat cedera muskuloskeletal. Angka mortalitas pada pasien cedera
cincin pelvis berkekuatan-tinggi rata-rata 15-20%. Kematian ini umumnya
disebabkan oleh cedera yang umumnya sehubungan dengan pola cedera.
Mortalitas meningkat hampir 13 kali jika pasien mengalami hipotensi.
Ketika berkombinasi dengan cedera kepala atau cedera abdomen yang
membutuhkan intervensi bedah, mortalitas meningkat sampai 50%. Jika
kedua prosedur diperlukan, mortalitas meningkat sampai 90% (Guthrie et
al., 2010).
Ahli bedah ortopedi dan ahli traumatologi secara luas
mengklasifikasikan disrupsi cincin pelvis kedalam dua kelompok mayor :
stabil dan tidak stabil. Pelvis yang stabil didefenisikan sebagai sesuatu
yang dapat tetap bertahan dari gaya fisiologis tanpa dislokasi. Stabilitas ini
bergantung pada integritas struktur ligamen dan tulang (Guthrie et al.,
2010).
Dislokasi ini dapat dinilai pada screening radiografi AP awal. Cedera
stabil termasuk fraktur non-dislokasi cincin pelvis dan dislokasi anterior
<2,5 cm. Instabilitas rotasional ditandai dengan melebarnya simfisis pubis
atau dislokasi fraktur rami pubis > 2,5 cm. Dasar instabilitas vertikal
adalah pemindahan superior hemipelvis melalui fraktur sacrum atau ilium
dan disrupsi sendi sacroiliaca > 1 cm. Karena pelvis merupakan struktur
cincin sebenarnya, dislokasi anterior penting harus dibarengi dengan
disrupsi posterior yang bersesuaian. Disrupsi cincin pelvis biasanya
merupakan sebuah kombinasi fraktur dan cedera ligament (Guthrie et al.,
2010).
Biasanya penyebab perdarahan pada fraktur pelvis adalah dari
pleksus vena pelvis posterior dan perdarahan yang menghapus
permukaan tulang. Sekitar <10% kasus perdarahan, disebabkan dari
perdarahan arteri yang cukup dikenal. Pengobatan awal harus berfokus
pada kontrol perdarahan vena. Reduksi dan stabilisasi pada dislokasi
cincin pelvis membantu mencapai pengontrolan tersebut. Reduksi akan

9
mengurangi volume pelvis dan lakukan tampon pembuluh darah yang
mengalami perdarahan dengan cara kompresi viscera dan hematom
pelvis. Stabilisasi mempertahankan reduksi dan mencegah pergerakan
hemipelvis, mengurangi nyeri dan membatasi disrupsi gumpalan
terorganisir. Reduksi dan stabilisasi saja biasanya mengontrol perdarahan
vena, maka pasien yang tidak merespon manuver ini lebih mungkin
mendapat perdarahan arteri (Guthrie et al., 2010).
Penatalaksanaan disrupsi cincin pelvis dengan perdarahan:
a. Resusitasi cairan
b. Hentikan perdarahan, dengan
1) Direct pressure
2) Pemasangan stagen, pelvic sling, PASG
3) Terapi definitif:
c. Terapi definitif, pemasangan C-CLAMP.
d. Rujuk

2.4 Dislokasi

https://ningrumwahyuni.wordpress.com/2010/01/15/emergensi-
ortopedi/
Dislokasi adalah cedera yang terisolasi, melumpuhkan anggota
badan dan segera pasien diangkut. Kontrol perdarahan dengan tekanan
langsung dan mencakup dislokasi terbuka dengan kasa steril. Setiap
dislokasi terbuka terkait dengan atau tanpa fraktur biasanya tidak boleh
direduksi IGD. Antibiotik profilaksis yang tepat harus diberikan, dan status
tetanus pasien harus diperbarui. Dressing steril harus diterapkan.
Menilai status neurovaskular dari kaki sebagai bagian dari survei
sekunder. Pertimbangkan pengurangan mendesak setiap dislokasi yang
menyebabkan kompromi neurovaskular signifikan.
Di IGD, perawatan biasanya melibatkan analgesia
yang tepat, es, dan elevasi. Dislokasi dari jari-jari kaki sering
dapat dikurangi dengan anestesi lokal (blok digital) di UGD
dengan traksi longitudinal yang sederhana. Dislokasi dari
kaki pertama mungkin sulit untuk direduksi. Selain itu,
metatarsophalangeal pertama (MTP) dan dislokasi
interphalangeal (IP) yang terbuka atau tidak dapat direduksi

10
memerlukan konsultasi ortopedi. Sebagian lainnya MTP dan
IP dislokasi mudah dikelola oleh dokter IGD.

2.5 Traumatic Amputation

Amputasi traumatik adalah hilangnya bagian tubuh biasanya jari, jari


kaki, lengan, atau kaki yang terjadi sebagai hasil dari kecelakaan atau
trauma. Sebuah amputasi traumatik dapat melibatkan bagian tubuh,
termasuk lengan, tangan, jari tangan, kaki, jari kaki, telinga, hidung,
kelopak mata dan alat kelamin. Anggota tubuh bagian atas termasuk jari-
jari (falang), tangan (metakarpal), pergelangan tangan (carpals), lengan
(radius/ulna), lengan atas (humerus), tulang belikat (tulang belikat) dan
tulang kerah (klavikula). Amputasi ekstremitas lebih dari 65% dari
traumatik amputasi, sementara orang yang dapat terlibat dalam amputasi
korban kebanyakan antara usia 15 dan sebagian besar korban 80%
adalah laki-laki utama (Pike, 2001).
Yang paling penting di sini adalah meminimalkan perdarahan,
shock, dan infeksi. Hasil jangka panjang untuk diamputasi telah meningkat
karena pemahaman yang lebih baik dari manajemen amputasi traumatik,
darurat awal dan manajemen perawatan kritis, teknik bedah baru,
rehabilitasi awal, dan prostetik baru. Teknik ekstremitas replantation baru
telah cukup berhasil, tapi regenerasi saraf tidak lengkap tetap menjadi
faktor pembatas utama (Pike, 2001).

2.6 Trauma Vaskular Besar

Lesi vaskuler besar yang tersering adalah arteri


poplitea dan arteri radialis, arteri inguinalis, arteri brachialis
dan arteri femoralis. Diagnosis umumnya ditegakkan dengan
arteriografi atau Dopler, dan pengukuran saturasi O2 jari
distal. Penanganan cedera vena diligasi dan berikan
resusitasi cairan. Kontrol pendarahan dengan penekanan

11
untuk pembuluh darah proksimal dari cedera (misalnya,
tekanan femoralis di luka ekstremitas bawah) (Scott, 2011).

2.7 Septic Arthritis

Septic artritis adalah suatu proses inflamasi yang steril


biasanya hasil dari proses ekstra-artikular. Septic arthritis
biasanya menyebabkan ketidaknyamanan dan kesulitan
menggerakkan sendi yang terkena (Yuliasih, 2009).
Tanda dan gejalanya antara lain:
a. Demam
b. Nyeri parah pada sendi yang terkena, terutama ketika
menggerakkan sendi
c. Pembengkakan sendi yang terkena
d. Hangat di daerah sendi yang terkena

Penanganan awal yang dapat dilakukan pada pasien


dengan arthrititis septik yakni:
1. Drainase
Manajemen medis arthritis infektif berfokus pada drainase yang
memadai dan tepat waktu dari cairan sinovial yang terinfeksi,
pemberian terapi antimikroba yang tepat, dan imobilisasi sendi
untuk mengontrol rasa sakit (Brusch, 2011).
2. Antibiotik
Dokter harus mengidentifikasi bakteri yang menyebabkan infeksi
terlebih dahulu, baru kemudian memilih antibiotik yang paling
efektif untuk menargetkan bakteri. Antibiotik biasanya diberikan
melalui pembuluh darah vena di lengan pada awalnya. Pasien
kemudian bisa beralih ke antibiotik oral. Lama pengobatan
antibiotik tergantung pada kesehatan, jenis bakteri yang
menginfeksi dan sejauh mana infeksinya. Biasanya,
pengobatan berlangsung sekitar dua sampai enam minggu
(Brusch, 2011).

12
3. Mobilisasi sendi secara lembut
Setelah infeksi dapat dikontrol, dokter biasanya merekomendasikan
pasien melakukan gerakan lembut untuk menjaga fungsi sendi.
Pergerakan sendi dapat menjaga tubuh dari kekakuan sendi
dan otot-otot. Gerakan juga mendorong aliran darah dan
sirkulasi yang membantu proses penyembuhan tubuh (Yuliasih,
2009).

2.8 Osteomyelitis Akut

Osteomyelitis adalah proses inflamasi akut atau kronik pada tulang


dan struktur sekundernya karena infeksi oleh bakteri piogenik. Begitu
diagnosis secara klinis ditegakkan, ekstremitas yang terkena diistirahatkan
dan segera berikan antibiotik. Bila dengan terapi intensif selama 24 jam
tidak didapati perbaikan, dianjurkan untuk mengebor tulang yang terkena.
Bila ada cairan yang keluar perlu dibor dibeberapa tampat untuk
mengurang tekanan intraostal. Cairan tersebut perlu dibiakkan untuk
menentukan jenis kuman dan resistensinya. Bila terdapat perbaikan,
antibiotik parenteral diteruskan sampai 2 minggu, kemudian diteruskan
secara oral paling sedikit empat minggu (Schwartz et al., 2000).
Penyulit berupa kekambuhan yang dapat mencapai 20%, cacat
berupa dekstruksi sendi, gangguan pertumbuhan karena kerusakan
cakram epifisis, dan osteomyelitis kronik (Schwartz et al., 2000).

13
Penanganan yang dilakukan di IGD antara lain:
1. Resusitasi cairan
2. Antibiotika.
Antibiotika yang efektif terhadap gram negatif maupun gram positi
diberikan langsung tanpa menunggu hasil biakan darah, dan
dilakukan secara parenteral selama 3-6 minggu.
3. Pemeriksaan biakan darah.
4. Imobilisasi anggota gerak yang terkena
5. Analgetik antipiretik
(Schwartz et al., 2000).

2.9 Fat Embolysm Syndrome

Fat embolism syndrome (FES) adalah suatu keadaan klinis diamana


emboli lemak atau fat macrobules dalam sirkulasi menyebabkan disfungsi
multisistem (Shaikh, 2009). Fat embolism sebenarnya terjadi pada semua
pasien dengan fraktur tulang panjang setelah dilakukan nailing. Biasanya
bersifat asimptomatik, namun pada beberapa pasien akan menunjukkan
gejala disfungsi multi organ, utamanya triad paru-paru, otak, dan kulit
(Georgopoulos dan Bouros, 2003).
Diagnosis dari FES secara esensial adalah diagnosis klinis. Untuk
membantu diagnosis dapat dipakai kriteria dari Gurd (Gurds Criteria).
Menurut kriteria Gurd, diagnosis FES membutuhkan setidaknya 1 tanda
dari kriteria mayor dan setidaknya 4 tanda dari kriteria minor. Kriteria ini
telah sedikit dimodifikasi dari kriteria Gurd yang sebenarnya (Schwartz et
al, 2000).
Kriteria mayor :
1. Petekhie axiler atau subkonjungtival.
2. Terjadi sebentar saja (4 6 jam).
3. Hipoksemia, PaO2 di bawah 60 mmHg.
4. Depresi saraf pusat yang tidak sesuai dengan hipokseminya, dan
edema pulmonal
Kriteria minor :
1. Takikardi lebih dari 110 bpm
2. Demam lebih dari 38,5C.

14
3. Emboli tampak pada retina pada pemeriksaan fundoskopi.
4. Lemak terdeteksi pada urine.
5. Penurunan hematokrit atau jumlah platelet yang mendadak dan
tidak diketahui penyebabnya.
6. Peningkatan LED atau viskositas plasma.
7. Gumpalan lemak tampak pada sputum.

Penatalaksanaan FES umumnya berupa oksigenasi dan ventilasi


adekuat, stabilisasi hemodinamik, rehidrasi, produk darah sesuai indikasi,
serta profilaksis trombosis vena dan profilaksis perdarahan intestinal, juga
menjaga kebutuhan nutrisi (Jain,2008). Sebenarnya tidak ada terapi
khusus untuk FES; pencegahan dan diagnosis dini, serta penanganan
simptomatik merupakan hal yang paling penting. FES merupakan self-
limiting disease penatalaksanaan utamanya adalah terapi suportif berupa:
1. Spontaneous ventilation
Penatalaksanaan awal hipoksia yang berkaitan dengan emboli lemak
adalah oksigenasi spontan. Oksigen diinhalasi menggunakan facemask
dan sistem aliran tingggi oksigen dapat digunakan untuk mendapatkan
FIO2 (konsentrasi O2 yang diinpirasi) mencapai 50-80%.

2. CPAP dan ventilasi noninvasif


CPAP (continuous positive airway pressure) dapat ditambahkan
untuk meningkatkan PaO2 tanpa meningkatkan FIO2. Ventilasi mekanik
dapat digunakan menggunakan masker CPAP.

3. Mechanical ventilation and PEEP


Jika FIO2 of >60% and CPAP of > 10 cm diperlukan untuk mencapai
PaO2 > 60 mmHg, maka intubasi endotrakheal, ventilasi mekanis dengan
PEEP (positive end expiratory pressure) harus dipertimbangkan (Wofe
dan De Vries, 1975).
PEEP dapat meningkatkan PaO2, namun kadang dapat menurunkan
PaO2 karena terjadinya peningkatan tekanan atrium kanan dan
menurunnya cardiac output. Oleh karena itu, monitoring analisis gas darah
harus dilaksanakan bila menggunakan PEEP atau ventilasi mekanik.
4. Resusitasi cairan

15
Mengembalikan volume intravaskuler juga penting, karena shock
dapat dapat menyebabkan lesi pada paru-paru akibat FES. Albumin
direkomendasikan untuk resusitasi cairan karena selain mengembalikan
volume darah albumin juga dapat berikatan dengan asam lemak,
sehingga menurunkan kemungkinan lesi paru-paru (Jawed dan Naseem,
2005).

2.10 Unstable Cervical Spine

Definisi
Pengangkutan pasien cedera cervical dengan papan
juga kerah semirigid, dengan leher stabil pada sisi kepala
dengan kantong pasir atau blok busa diletakkan sisi kanan
dan kiri leher.
Jika malalignment tulang belakang diidentifikasi, pasien di traksi skeletal
sesegera mungkin (dengan sangat sedikit pengecualian), bahkan jika
tidak ada bukti defisit neurologis ada. Cedera tertentu yang terlibat dan
kemampuan manajemen konsultasi staf ahli lebih lanjut (Moira
Davenport,2008).
Penanganan pasien fraktur cervical di IGD:
1. Ambulasi, seperti 4 orang mengangkat balok.
o 1 orang memegang kepala dengan ekstensi dan traksi leher
o 1 orang mengangkat punggung
o 1 orang mengangkat pinggang dan paha
o 1 orang mengangkat tungkai bawah.
2. Di atas bed dengan alas datar dan keras
o Pasien diposisikan telentang.
o Pasang collar brace
o Letakkan kantong pasir bila perlu, untuk memfiksasi posisi pasien di
bed.
o Ekstensi leher
3. Infus RL, beri analgetik, dan puasakan pasien

16
4. Lakukan prosedur diagnostik, misal rontgen.
5. Crutchfild, Glisson Traction 3-5 kg
6. Pindahkan ke bangsal.

17
BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Emergensi ortopedi merupakan suatu keadaan yang dapat


mengancam jiwa dan hilangnya fungsi dari organ tertentu di bidang
ortopedi, seperti ekstremitas dan persendian. Emergensi ortopedi
disampaikan sekitar 20% pasien yang datang ke rumah sakit
membutuhkan suatu penanganan atau tindakan awal yang cepat serta
dibutuhkan keterampilan seseorang dokter.
Pengetahuan dasar mengenai cedera ortopedi, pola fraktur,
dislokasi, teknik reduksi, dan teknik bidai, dibutuhkan untuk mengelola
cedera serta pemahaman tentang pembacaan radiologi, membuat dan
menginterpretasikan suatu hasil radiologi yang dibutuhkan dalam
penanganan terhadap kasus emergensi ortopedi.
Beberapa emergensi ortopedi dalam lingkup dunia kedokteran yang
menjadi prioritas dan penanganan khusus, yaitu : open fracture, dislokasi,
fraktur pelvic yang tidak stabil, osteomyelitis akut, compartement
syndrome, fraktur dengan cidera vaskuler, traumatik amputasi, dan fat
embolism syndrome.

DAFTAR PUSTAKA

Budiman C. 2010. Patah Tulang dan Pembidaian. Bandung: KORPS


Sukarela PMI UNPAD.
xa.yimg.com/kq/groups/.../Patah+Tulang+dan+Pembidaian.pptx (19
Maret 2017)

Georgopoulos D, Bouros D. 2003. Fat embolism syndrome clinical


examination is still the preferable diagnostic method. Chest.
2003;123:9823.

18
Guthrie HC, Owens R, Bircher MD, 2010. Focus On Pelvic Fractures. The
journal of bone and joint
surgery.http://www.jbjs.org.uk/media/29777/focuson_pelvic.pdf (19
Maret 2017)

Jawed M, Naseem M. 2005. An update on fat embolism syndrome. Pak J


Med Sci. 2005;21:26.

John L Brusch. 2011. Septic Arthritis.


http://emedicine.medscape.com/article/236299-treatment#showall
Diakses tanggal 19 Maret 2017.

Moira Davenport. Spine serviks Fraktur di Pengobatan Darurat.2008.


http://emedicine.medscape.com/article/824380-overview#showall
Diakses tanggal 19 Maret 2017.

Paula R. 2007. Compartment syndrome, extremity.


http://www.emedicine.com (19 Maret 2017)

Pike, Rockville. 2001. Amputation- Traumatic.


http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000006.html (19
Maret 2017)

Rasjad, C. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi ed. III. Yarsif


Watampone. Makassar: 2007. pp. 352-489

Richard Buckley. 2012. TREATMENT FRACTURE.


http://emedicine.medscape.com/article/1270717-treatment#showall
Diakses tanggal 19 Maret 2017

Schwartz.SI; Shires.GT; Spencer.FC. 2000. Intisari Prinsip Prinsip Ilmu


Bedah. EGC: Jakarta.

19
Scott H Bjerke. 2011. Ekstremitas Vascular Trauma Perawatan &
Manajemen. http://emedicine.medscape.com/article/462752-
workup#showall Diakses tanggal 19 Maret 2017

Shaikh, Nissar. 2009. Emergency management of fat embolism syndrome.


J Emerg Trauma Shock. 2009 Jan-Apr; 2(1): 2933. doi:
10.4103/0974-2700.44680

Thomas M Schaller. 2012. Open fracture.


http://emedicine.medscape.com/article/1269242-overview#showall
Diakses tanggal 19 Januari 2017

Wofe WG, De Vries WC. 1975. Oxygen toxicity. Annu Rev Med
1975;26:203-14.

Yuliasih. 2009. Artritis Septik.


http://penelitian.unair.ac.id/artikel/879a293390a8508635485ed7e5b
2e45f_Unair.pdf (19 Maret 2017)

20

Anda mungkin juga menyukai