B. ETIOLOGI
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun
mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur
dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:
1. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagisan fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang
dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran atau
penarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat
yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan
biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan ikut rusak.
Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada
kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur
komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.
C. PATOFISIOLOGI
Fraktur terjadi bila ada interupsi dari kontinuitas tulang. Biasanya, fraktur
di sertai cedera jaringan di sekitar yaitu ligament, otot, tendon, pembuluh darah
dan persarafan. Fraktur bisa juga di sebabkan karena trauma ataupun karena suatu
penyakit, misal osteoporosis. Trauma yang terjadi pada tulang dapat menyebabkan
fraktur dan akan mengakibatkan seseorang memiliki keterbatasan gerak,
ketidakseimbangan dan nyeri pergerakan jaringan lunak yang terdapat di sekitar
fraktur, missal pembuluh darah, saraf, dan otot serta organ lainnya yang
berdekatan dapat di rusak. Pada waktu trauma ataupun karena mencuatnya tulang
yang patah, apabila kulit sampai robek akan mengakibatkan luka terbuka dan akan
mengakibatkan seseorang beresiko terkena infeksi. Luka dan keluarnya darah
dapat mempercepat pertumbuhan bakteri.
Pada osteoporosis secara tidak langsung mengalami penurunan kadar
kalsium dalam tulang. Dengan berkurangnya kadar kalsium dalam tulang lama-
kelamaan tulang menjadi rapuh sehingga hanya trauma minimal saja atau tanpa
trauma sedikitpun akan mengakibatkan terputusnya kontinuitas tulang yang di
sebut fraktur.
Tingkatan pertumbuhan tulang :
1. Hematoma Formation (Pembentukan Hematoma)
Karena pembuluh darah cedera maka terjadi pada daerah fraktur dan
kedalam jaringan di sekitar tulang tersebut. Reaksi peradangan hebat
timbul setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast terakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Darah
menumpuk dan mengeratkna ujung-ujung tulang yang patah dan
fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai.
2. Fibrin Mesk Work (Pembentukan Fibrin)
Hematom menjadi terorganisasi karena fibrablast masuk lokasi cedera,
membentuk mesk work (gumpalan fibrin) dan berfungsi sebagai jala untuk
melekatkan sel-sel baru.
3. Invasi Osteoblast
Osteoblast masuk ke daerah fibrosis untuk mempertahnkan penyambungan
tulang dan merangsang pembentukan tulang baru imatur (callus).
Pembuluh darah berkembang mengalirkan nutrisi untuk membentuk
collagen. Untaian collagen terus di satukan dengan kalsium.
4. Callus Formation (Pembentukan Callus)
a. Osteoblast terus membuat jalan untuk membangun tulang.
b. Osteoblast merusakkan tulang mati dan membantu mensintesa tulang
baru.
c. Collagen menjadi kuat dan terus menyatu dengan deposit kalsium.
5. Remodelling
Bekuan fibrin di reabsorpsi dan sel-sel tulang baru secara perlahan
mengalami tulang sejati. Tulang sejati menggantikan callus dan secara
perlahan mengalami kalsifikasi. Penyembuhan memerlikan waktu
beberapa minggu sampai beberapa bulan. Penyembuhan dapat terganggu
atau terlambat apabila hematom fraktur atau callua rusak sebelum tulng
sejati terbentuk atau apabila sel-sel tulang baru rusak selam proses
kalsifikasi dan pengerasan.
D. KLASIFIKASI
a. Derajat I
4) Kontaminasi ringan.
b. Derajat II
c. Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot,
dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
3. Fraktur complete
Patah pada seluruh garis tengah tulang, luas dan melintang, biasanya
mengalami pergerseran (bergeser dari posisi normal).
4. Fraktur incomplete
3) Fraktur multiple garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang
berlainan.
7. Fraktur avulse, tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendo pada
perlekatannya
8. Fraktur greenstick, fraktur dimana salah satu sisi tulang patang sedang sisi
lainnya membengkok
10. Fraktur patologik, fraktu yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit
(kista tulang, paget, metastasis tulang, tumor)
Fraktur tidak bergeser garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak
bergeser.
Fraktur bergeser, terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga
disebut di lokasi fragmen (Smeltzer, 2001:2357).
1. Fraktur Femur
a. Pengertian Fraktur Femur
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik
yang bersifat total maupun sebagian. Fraktur Femur atau patah tulang
paha adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang
disaebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, dan kondisi
tertentu, seperti degenerasi tulang atau osteoporosis. (Arif Muttaqin,
2008). Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari
tulang femur (Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat
(2004) fraktur femur adalah fraktur pada tulang femur yang
disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak
langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya
kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa
fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak
(otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur
tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha
(Helmi, 2012)
Dari beberapa penjelasan tentang fraktur femur di atas, dapat
disimpulkan bahwa fraktur femur merupakan suatu keadaan dimana
terjadi kehilangan kontinuitas tulang femur yang dapat disebabkan
oleh trauma langsung maupun trauma tidak langsung dengan adanya
kerusakan jaringan lunak.
b. Klasifikasi Fraktur Femur
Menurut Helmi (2012) faktur femur dapat dibagi lima jenis
berdasarkan letak garis fraktur seperti dibawah ini:
1) Fraktur Intertrokhanter Femur
Merupakan patah tulang yang bersifat ekstra kapsuler dari femur,
sering terjadi pada lansia dengan kondisi osteoporosis. Fraktur ini
memiliki risiko nekrotik avaskuler yang rendah sehingga
prognosanya baik. Penatalaksanaannya sebaiknya dengan reduksi
terbuka dan pemasangan fiksasi internal. Intervensi konservatif
hanya dilakukan pada penderita yang sangat tua dan tidak dapat
dilakukan dengan anestesi general.
2) Fraktur Subtrokhanter Femur
Garis fraktur berada 5 cm distal dari trokhanter minor,
diklasifikasikan menurut Fielding & Magliato sebagai berikut: 1)
Tipe 1 adalah garis fraktur satu level dengan trokhanter minor; 2)
Tipe 2 adalah garis patah berada 1-2 inci di bawah dari batas atas
trokhanter minor; 3) Tipe 3 adalah 2-3 inci dari batas atas
trokhanter minor. Penatalaksanaannya dengan cara reduksi terbuka
dengan fiksasi internal dan tertutup dengan pemasangan traksi
tulang selama 6-7 minggu kemudian dilanjutkan dengan hip gips
selam tujuh minggu yang merupakan alternatif pada pasien dengan
usia muda.
3) Fraktur Batang Femur
Fraktur batang femur biasanya disebabkan oleh trauma langsung,
secara klinis dibagi menjadi: 1) fraktur terbuka yang disertai
dengan kerusakan jaringan lunak, risiko infeksi dan perdarahan
dengan penatalaksanaan berupa debridement, terapi antibiotika
serta fiksasi internal maupun ekternal; 2) Fraktur tertutup dengan
penatalaksanaan konservatif berupa pemasangan skin traksi serta
operatif dengan pemasangan plate-screw.
4) Fraktur Suprakondiler Femur
Fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan
tinggi sehingga terjadi gaya aksial dan stress valgus atau varus dan
disertai gaya rotasi. Penatalaksanaan berupa pemasanga traksi
berimbang dengan menggunakan bidai Thomas dan penahan lutut
Pearson, cast-bracing dan spika pinggul serta operatif pada kasus
yang gagal konservatif dan fraktur terbuka dengan pemasangan
nail-phroc dare screw.
5) Fraktur Kondiler Femur
Mekanisme trauma fraktur ini biasanya merupakan kombinasi dari
gaya hiperabduksi dan adduksi disertai denga tekanan pada sumbu
femur ke atas. Penatalaksanaannya berupa pemasangan traksi
tulang selama 4-6 minggu dan kemudian dilanjutkan dengan
penggunaan gips minispika sampai union sedangkan reduksi
terbuka sebagai alternatif apabila konservatif gagal.
c. Etiologi Fraktur Femur
Penyebab fraktur femur antara lain:
1) Fraktur femur terbuka
Disebabkan oleh trauma langsung pad paha
2) Fraktur femur tertutup
Disebabkan oleh trauma langsung atau kondisi tertentu, seperti
degenerasi tulang (osteoporosis) dan tumor atau keganasan tulang
paha yang menyebabkan fraktur patologis. (Arif Muttaqin, 2011)
d. Penatalaksanaan Fraktur Femur
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan
tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu
selama masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi) (Sjamsuhidajat
dkk, 2011).
1) Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan
imobilisasi dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang
berarti seperti pada fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi
dilakukan terus-menerus selama masa tertentu, misalnya beberapa
minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini
dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan
terdislokasi kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur
dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur (Nayagam, 2010).
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan
fiksator tulang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada
fraktur tereposisi, dilakukan pemasangan prosthesis secara operatif
pada kolum femur (Nayagam, 2010).
Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar
(OREF) dilakukan untuk fiksasi fragmen patahan tulang, dimana
digunakan pin baja yang ditusukkan pada fragmen tulang,
kemudian pin baja disatukan secara kokoh dengan batangan logam
di kulit luar. Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar antara lain
fraktur dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk
fraktur terbuka), dimana pemasangan internal fiksasi terlalu
berisiko untuk terjadi infeksi, atau diperlukannya akses berulang
terhadap luka fraktur di sekitar sendi yang cocok untuk internal
fiksasi namun jaringan lunak terlalu bengkak untuk operasi yang
aman, pasien dengan cedera multiple yang berat, fraktur tulang
panggul dengan perdarahan hebat, atau yang terkait dengan cedera
kepala, fraktur dengan infeksi (Nayagam, 2010).
Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan
tulang dengan pemasangan fiksasi interna (ORIF), misalnya pada
fraktur femur, tibia, humerus, atau lengan bawah. Fiksasi interna
yang dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum tulang panjang,
bisa juga plat dengan skrup di permukaan tulang. Keuntungan
reposisi secara operatif adalah dapat dicapai reposisi sempurna, dan
bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak
diperlukan pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan
imobilisasi. Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah fraktur
tidak bisa di reduksi kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak
stabil dan cenderung terjadi displacement kembali setelah reduksi
fraktur dengan penyatuan yang buruk dan perlahan (fraktur
femoral neck), fraktur patologis, fraktur multiple dimana dengan
reduksi dini bisa meminimkan komplikasi, fraktur pada pasien
dengan perawatan yang sulit (paraplegia, pasien geriatri)
(Nayagam, 2010; Sjamsuhidajat dkk, 2011; Bucholz; Heckman;
Court-Brown, 2006).
2) Imobilisasi
Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa
reposisi, tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi
dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur
tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting. Imobilisasi yang lama
akan menyebabkan mengecilnya otot dan kakunya sendi. Oleh
karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin
(Nayagam, 2010).
3) Rehabilitasi
Rehabilitasi berarti upaya mengembalikan kemampuan anggota
yang cedera atau alat gerak yang sakit agar dapat berfungsi
kembali seperti sebelum mengalami gangguan atau cedera
(Widharso, 2010).
4) Penatalaksanaan keperawatan dapat dilakukan dengan RICE.
R (Rest) : Diistirahatkan adalah pertolongan pertama yang penting
untuk mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut.
I (Ice) : Terapi dingin, gunanya mengurangi pendarahan dan
meredakan rasa nyeri.
C (Compression) : Membalut gunanya membantu mengurangi
pembengkakan jaringan dan pendarahan lebih lanjut.
E (Elevasi) : Peninggian daerah cedera gunanya mengurangi
oedema (pembengkakan) dan rasa nyeri.
2. Fraktur/cidera MaksiloFacial
b. Etiologi
c. Klasifikasi
2) Fraktur Maksila
Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar,
fiksasi maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang
didapatkan dari pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen
fraktur mengalami impaksi, maka dilakukan pengungkitan dengan
menggunakan tang pengungkit, atau secara tidak langsung dengan
menggunakan tekanan pada splint/arch bar. Sedangkan perawatan
pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort I. Hanya
perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan
dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan
menggunakan molding digital dan splinting. Selanjutnya, pada
fraktur Le Fort III dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi
maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral, atau
pemasangan pelat pada sutura zigomatikofrontalis dan suspensi
kraniomandibular pada prosessus zigomatikus ossis frontalis.
3) Fraktur Mandibula
Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yakni cara
tertutup / konservatif dan terbuka / pembedahan. Pada teknik
tertutup, reduksi fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai dengan
jalan menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular. Pada
prosedur terbuka , bagian yang fraktur dibuka dengan pembedahan
dan segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan
menggunakan kawat atau plat. Terkadang teknik terbuka dan
tertutup ini tidaklah selalu dilakukan tersendiri, tetapi juga dapat
dikombinasikan.
3. Fraktur Servikal
a. Pengertian Fraktur Servikal
Ada tujuh tulang servikal vertebrae (tulang belakang) yang
mendukung kepala dan menghubungkannya ke bahu dan tubuh.
Sebuah fraktur (patah atau retak) di salah satu tulang leher disebut
fraktur servikal atau kadang-kadang juga disebut patah tulang leher.
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis,
vertebralis dan lumbalis akibat trauma jatuh dari ketinggian,
kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dan sebagainya
(Sjamsuhidayat, 1997).
b. Jenis Fraktur Servikal
Jenis fraktur daerah servikal, sebagai berikut:
1) Fraktur atlas C1
Fraktur ini terjadi pada kecelakaan jatuh dari ketinggian dan posisi
kepala menopang badan dan daerah servical mendapat tekanan
hebat. Condylus occipitalis pada basis crani dapat menghancurlan
cincin tulang atlas. Jika tidak ada cedera angulasi dan rotasi maka
pergeseran tidak berat dan medulla spinalis tidak ikut cedera.
Pemeriksaan radiologi yang dilakukan adalah posisi
anteroposterior dengan mulut pasien dalam keadaan terbuka.
Terapi untuk fraktur tipe stabil seperti fraktur atlas ini adalah
immobilisasi servical dengan collar plaster selama 3 bulan.
2) Pergeseran C1 C2 (Sendi Atlantoaxial)
Atlas dan axis dihubungkan dengan ligamentum tranversalis dari
atlas yang menyilang di belakang prosesus odontoid pada axis.
Dislokasi sendi atlantoaxial dapat mengakibatkan arthritis
rheumatoid karena adanya perlunakan kemudian aka nada
penekanan ligamentum tranversalis.
Fraktur dislokasi termasuk fraktur basis prosesus odontoid.
Umunya ligamentum tranversalis masih utuh dan prosesus
odontoid pindah dengan atlas dan dapat menekan medulla spinalis.
Terapi utnuk fraktur tidak bergeser yaitu imobilisasi vertebra
cervical. Terapi utnuk fraktur geser atlantoaxial adalah reduksi
dengan traksi continues.
3) Fraktur kompresi corpus vertebral
Tipe kompresu lebih sering tanpa kerusakan ligamentum spinal
namun dapt mengakibatkan kompresi corpus vertebralis. Sifat
rafktur ini adalah tipe tidak stabil. Terapi untuk fraktur tipe ini
adalah reduksi dengan plastic collar selama 3 minggu (masa
penyembuhan tulang).
4) Flexi subluksasi vertebral cervical
Fraktur ini terjadi saat pergerakan kepala kearah depan yang tiba-
tiba sehingga terjadi deselerasi kepala karena tubrukan atau
dorongan pada kepala bagian belakang, terjadi vertebra yang
miring ke depan diatas vertebra yang ada dibawahnya, ligament
posterior dapat rusak dan fraktur ini singkat disebut subluksasi,
medulla spinalis mengalami kontusio dalam waktu singkat.
Tindakan yang diberikan untuk fraktur tipe ini adalah ekstensi
cervical dilanjutkan dengan imobilisasi leher terkekstensi dengan
collar selama 2 bulan.
5) Flexi dislokasi dan fraktur dislokasi cervical
Cedera ini lebih berat disbanding fleksi subluksasi. Mekanisme
terjadinya fraktur hamper sama dengan fleksi subluksasi, posterior
ligament robek dan posterior facet pada satu atau kedua sisi
kehilangan kestabilannya dengan bangunan sekitar. Jikla dislokasi
atau fraktur dislokasi pada C7 Th1 maka posisi ini sulit dilihat
dari posisi foto lateral maka posisi yang terbaik untuk radiografi
adalah swimmer projection. Tindakan yang dilakukan adalah
reduksi fleksi dislokasi ataupun fraktur dislokasi dari fraktur
cervical termasuk sulit namun traksi skull continu dapat dipakai
sementara.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan rongent: Menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau trauma.
2. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI: Memperlihatkan fraktur dan juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Hitung Darah Lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
trauma multipel). Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal
setelah trauma.
4. Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
5. Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Kedaruratan
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk
melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan
(breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila
sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis secara terperinci. Waktu tejadinya kecelakaan penting
ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat
golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin
besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat, singkat dan
lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan
untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang
lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan
foto.
Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak
menyadari adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang
patah, maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi
bagain tubuh segera sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang
mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat
dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga di atas dan di bawah
tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan
fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan
lunak dan perdarahan lebih lanjut.
Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi
dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur.
Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan
jaringan lunak oleh fragmen tulang.
Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai
sementara dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan
kencang. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga
dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ektremitas
yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada
cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan
bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal cedera harus
dikaji untuk menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer.
Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril)
untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan
melakukan reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar
melalui luka. Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan di atas.
Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap.
Pakaian dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan
kemudian dari sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada
sisi cedera. Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut.
2. Penatalaksanaan bedah ortopedi
Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus
menjalani pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang
dapat dikoreksi meliputi stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi,
jaringan infeksi atau nekrosis, gangguan peredaran darah (misal sindrom
kompartemen), adanya tumor. Prosedur pembedahan yang sering
dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna atau disingkat
ORIF (Open Reduction and Fixation). Berikut dibawah ini jenis-jenis
pembedahan ortopedi dan indikasinya yang lazim dilakukan:
a. Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang
yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan
tulang yang patah.
b. Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan
skrup, plat, paku dan pin logam.
c. Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun
heterolog) untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi
atau mengganti tulang yang berpenyakit.
d. Amputasi : penghilangan bagian tubuh.
e. Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat
yang memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa
irisan yang besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka.
f. Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak.
g. Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam
atau sintetis.
h. Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler
dalam sendi dengan logam atau sintetis.
i. Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi.
j. Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi
otot atau mengurangi kontraktur fasia (Ramadhan, 2008).
I. KOMPLIKASI
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2002) antara lain:
1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom
kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak
kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang biasa
menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel
ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks,
pelvis dan vertebra.
b. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam
pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari
tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi
stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan
terjadinya globula lemak pada aliran darah.
c. Sindroma kompartemen
Sindrom kompartemen ditandai oleh kerusakan atau destruksi dan
pembuluh darah yang disebabkan oleh pembengkakan dan edema di
daerah fraktur. Dengan pembengkakan interstisial yang intens, tekanan
pada pembuluh darah yang menyuplai daerah tersebut dapat
menyebabkan pembuluh darah tersebut kolaps. Hal ini menimbulkan
hipoksia jaringan dan dapat menyebabkan kematian syaraf yang
mempersyarafi daerah tersebut. Biasanya timbul nyeri hebat. Individu
mungkin tidak dapat menggerakkan jari tangan atau kakinya. Sindrom
kompartemen biasanya terjadi pada ekstremitas yang memiliki restriksi
volume yang ketat, seperti lengan.resiko terjadinya sinrome
kompartemen paling besar apabila terjadi trauma otot dengan patah
tulang karena pembengkakan yang terjadi akan hebat. Pemasangan
gips pada ekstremitas yang fraktur yang terlalu dini atau terlalu ketat
dapat menyebabkan peningkatan di kompartemen ekstremitas, dan
hilangnya fungsi secara permanen atau hilangnya ekstremitas dapat
terjadi (Corwin, 2009).
d. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma biasanya ditandai dengan tidak ada
nadi, CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
e. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic, infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
f. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali
dengan adanya Volkmans Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2002).
g. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal
union, delayed union, dan non union.
1) Mal union
Mal union adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut,
atau miring. Contoh yang khas adalah patah tulang paha yang
dirawat dengan traksi, dan kemudian diberi gips untuk imobilisasi
dimana kemungkinan gerakan rotasi dari fragmen-fragmen tulang
yang patah kurang diperhatikan. Akibatnya sesudah gips dibung
ternyata anggota tubuh bagian distal memutar ke dalam atau ke
luar, dan penderita tidak dapat mempertahankan tubuhnya untuk
berada dalam posisi netral. Komplikasi seperti ini dapat dicegah
dengan melakukan analisis yang cermat sewaktu melakukan
reduksi, dan mempertahankan reduksi itu sebaik mungkin terutama
pada masa awal periode penyembuhan.
Gips yang menjadi longgar harus diganti seperlunya. Fragmen-
fragmen tulang yang patah dan bergeser sesudah direduksi harus
diketahui sedini mungkin dengan melakukan pemeriksaan
radiografi serial. Keadaan ini harus dipulihkan kembali dengan
reduksi berulang dan imobilisasi, atau mungkin juga dengan
tindakan operasi.
2) Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed
union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan
karena penurunan suplai darah ke tulang.
3) Non union
Non union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-
9 bulan. Non union di tandai dengan adanya pergerakan yang
berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseuardoarthrosis. Banyak keadaan yang merupakan faktor
predisposisi dari nonunion, diantaranya adalah reduksi yang tidak
benar akan menyebabkan bagian-bagian tulang yang patah tetap
tidak menyatu, imobilisasi yang kurang tepat baik dengan cara
terbuka maupun tertutup, adanya interposisi jaringan lunak
(biasanya otot) diantara kedua fragmen tulang yang patah, cedera
jaringan lunak yang sangat berat, infeksi, pola spesifik peredaran
darah dimana tulang yang patah tersebut dapat merusak suplai
darah ke satu atau lebih fragmen tulang.
2. Pengkajian Sekunder
a. Kaji riwayat trauma, mengetahui riwayat trauma, karena penampilan
luka kadang tidak sesuai dengan parahnya cidera, jika ada saksi
seseorang dapat menceritakan kejadiannya sementara petugas
melakukan pemeriksaan klien.
b. Kaji seluruh tubuh dengan pemeriksaan fisik dari kepala sampai kaku
secara sistematis, inspeksi adanya laserasi bengkak dan deformitas.
c. Kaji kemungkinan adanya fraktur multiple:
1) Trauma pada tungkai akibat jatuh dari ketinggian sering disertai
dengan trauma pada lumbal
2) Trauma pada lutut saat pasien jatuh dengan posisi duduk dapat
disertai dengan trauma panggul
3) Trauma lengan sering menyebabkan trauma pada siku sehingga
lengan dan siku harus dievakuasi bersamaan.
4) Trauma proksimal fibula dan lutut sering menyebabkan trauma
pada tungkai bawah.
d. Kaji adanya nyeri pada area fraktur dan dislokasi
e. Kaji adanya krepitasi pada area fraktur
f. Kaji adanya perdarahan dan syok terutama pada fraktur pelvis dan
femur.
g. Kaji adanya sindrom kompartemen, fraktur terbuka, tertutup dapat
menyebabkan perdarahan atau hematoma pada daerah yang tertutup
sehingga menyebabkan penekanan saraf.
h. Kaji TTV secara continue.
B. DIAGNOSA
1. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik (terputusnya jaringan tulang,
gerakan fragmen tulang, dan cedera pada jaringan).
2. Risiko syok berhubungan dengan hipovolemia.
3. Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer tidak adekuat
(kerusakan integritas kulit dan trauma jaringan.
C. RENCANA KEPERAWATAN
No Diagnosa Tujuan Rencana Keperawatan
1 Nyeri Setelah dilakukan asuhan NIC >> Analgesic
berhubungan keperawatan selama 2 jam Administration
dengan agen diharapkan nyeri dapat 1 Tentukan lokasi,
cedera fisik terkontrol dengan kriteria karakteristik, kualitas,
(terputusnya hasil : dan derajat nyeri
jaringan tulang, NOC Label >> Pain sebelum pemberian
gerakan fragmen Level obat
2 Cek instruksi dokter
tulang, dan cedera Melaporkan gejala
tentang jenis obat,
pada jaringan) nyeri terkontrol.
Melaporkan dosis, dan frekuensi
3 Cek riwayat alergi
kenyamanan fisik dan 4 Pilih analgesik yang
psikologis. diperlukan atau
Mengenali faktor yang
kombinasi dari
menyebabkan nyeri.
analgesik ketika
Melaporkan nyeri
pemberian lebih dari
terkontrol (skala nyeri
satu
<4 dari rentang 0-10).
5 Tentukan pilihan
Tidak menunjukkan
analgesik tergantung
respon non verbal
tipe dan beratnya nyeri
adanya nyeri. 6 Tentukan analgesik
Menggunakan terapi
pilihan, rute
analgetik dan non
pemberian, dan dosis
analgetik.
Tanda-tanda vital optimal
7 Pilih rute pemberian
dalam batas normal.
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri
secara teratur
8 Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
9 Berikan analgesik
tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
10 Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)
2. Risiko syok Setelah diberikan asuhan NIC Label >>
berhubungan keperawatan selama 2 jam Management Shock:
dengan diharapkan tidak terjadi Volume
hipovolemia syok hipovolemik dengan 1) Monitor tanda dan
kriteria hasil: gejala adanya
NOC Label >> perdarahan yang
Cardiopulmonary Status persisten.
2) Catat nilai Hb dan HT
Tekanan darah sistolik
sebelum dan sesudah
dalam batas normal.
kehilangan darah.
Tekanan darah 3) Berikan produk darah
diastolik dalam batas sesuai instruksi
normal. (platelet or fresh
Nadi perifer tebada frozen plasma).
dan dalam batas 4) Cegah kehilangan
Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika,
Jakarta, 2012.
Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM, 2011.
Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius
FKUI, Jakarta, 2000.
Smeltzer, S.C. dan Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Edisi 8, Vol. 2. Jakarta: EGC.