Anda di halaman 1dari 18

KESETIMBANGAN UAP CAIR PADA SISTEM BINER

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIK II

Nama : Siti Zulaicha


NIM : 141810301021
Kelompok : 6/A
Asisten : Lilis Indah R.

LABORATORIUM KIMIA FISIKA


JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2016
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kesetimbangan uap-cair merupakan kondisi dimana cairan dan gasnya berada pada
kesetimbangan satu sama lain, kondisi dimana kecepatan evaporasi sama dengan kecepatan
kondensasi pada level molekuler. Substansi yang berada pada kesetimbangan uap-cair
biaanya disebut dengan fluida jenuh. Kondisi kesetimbangan uap-cair dapat juga
menggunakan konsep fugasitas. Kesetimbangan uap cair dapat ditentukan apabila terdapat
variabel yang tetap pada suatu waktu tertentu. Kecepatan antara molekul-molekul
campuran yang membentuk fase uap sama dengan kecepatan molekul-molekul yang
membentuk cairan kembali saat tercapainya kesetimbangan. Data kesetimbangan uap cair
merupakan data termodinamika yang diperlukan dalam perancangan dan pengoperasian
kolom-kolom distilasi. Contoh aplikasi dari percobaan kesetimbangan uap cair ini salah
satunya adalah pembuatan tabung gas LPG. Proses pembuatan tabung gas LPG ini
menggunakan prinsip distilasi, yaitu tekanan uap dalam tabung apabila semakin besar akan
mengubah gas di dalam tabung menjadi cair.
Berdasarkan uraian diatas maka percobaan kesetimbangan uap-cair pada sistem
biner ini perlu dilakukan untuk mengetahui prinsipnya yang sangat penting diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Percobaan ini akan mempelajari sifat larutan biner pada
posisi kesetimbangan uap-cair menggunakan akuades dan etanol. Bentuk dan sumber data
kesetimbangan antara fase liquid dan fase gas dapat digambarkan dalam bentuk kurva
kesetimbangan biner ataupun diperoleh dengan cara eksperimen.

1.2 Tujuan
Mempelajari sifat larutan biner dengan membuat diagram temperatur versus
komposisi dengan menentukan indeks biasnya.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Material Safety Data Sheet (MSDS)


2.1.1 Akuades (H2O)
Akuades merupakan air suling dengan rumus molekul H2O. Akuades memiliki sifat
fisika dan kimia diantaranya keadaan fisik akuades adalah cair, tidak berbau, tidak berasa,
dan tidak berwarna. Akuades memiliki derajat keasaman (pH) netral yaitu 7,0 dan berat
molekul dari akuades sebesar 18,01 gram/mol. Akuades memiliki titik didih sebesar 100 oC,
dan titik lebur sebesar 0oC. Akuades memiliki tekanan uap pada suhu 20oC sebesar 2,3 kPa,
dan memiliki massa jenis sebesar 1,00 gram/cm3. Akuades adalah pelarut yang kuat, dapat
melarutkan banyak jenis zat kimia, dan tidak bersifat korosif. Akuades tidak berbahaya
apabila terkena mata, kulit, terhirup, dan tertelan karena tidak menyebabkan iritasi
(Anonim, 2016).
2.1.2 Etanol (C2H5OH)
Alkohol atau etanol memiliki rumus molekul yaitu C 2H5OH. Etanol memiliki sifat
fisika dan kimia diantaranya keadaan fisiknya cair, berbau, dan tidak berwarna. Etanol
merupakan salah satu bahan kimia yang mudah menguap dan mudah terbakar. Etanol
memiliki masa jenis sebesar 1.6 g/cm3 dan berat jenisnya sebesar 46.08 g/mol. Etanol
memiliki titik didih sebesar 78.5C dan titik leburnya sebesar 113.9C. Etanol larut dalam
air dan banyak digunakan sebagai pereaksi, pelarut, dan bahan bakar. Etanol berbahaya
apabila terhirup dan sedikit berbahaya apabila terkena mata, kulit, dan tertelan karena
dapat menyebabkan iritasi. Etanol apabila terkena kulit sebaiknya segera dibasuh dengan
air menggunakan sabun desinfektan dan menutup bagian kulit yang terkena etanol dengan
barang yang lunak, apabila tertelan etanol sebaiknya segera minum susu atau air
secukupnya untuk menetralisir. Etanol yang terkena mata sebaiknya segera dibasuh mata
menggunakan air mengalir selama minimal 15 menit, dan apabila terhirup etanol sebaiknya
segera berpindah ke tempat yang memiliki udara lebih sejuk dan segar karena terhirup
etanol dapat menyebabkan pusing, sakit kepala, bahkan pingsan apabila berlebih
(Anonim, 2016).
2.2 Landasan Teori
Larutan adalah campuran homogen yang terdiri dari dua atau lebih zat, di mana zat
yang lebih banyak disebut pelarut dan yang lebih sedikit disebut zat terlarut. Molekul-
molekul saling berikatan akibat adanya gaya tarik-menarik antar molekul pada cairan dan
padatan. Zat terlarut apabila larut dalam pelarut maka partikel zat terlarut akan menyebar
ke seluruh pelarut. Partikel tersebut menempati posisi yang biasanya ditempati oleh
molekul pelarut. Pelarutan ini berlangsung dalam tiga tahap berbeda. Tahap pertama yaitu
pemisahan molekul pelarut, dan tahap kedua adalah pemisahan molekul zat terlarut. Kedua
tahap ini memerlukan input energi untuk memutuskan gaya tarik-menarik antar molekul,
dengan demikian tahap ini adalah tahap endotermik. Tahap ketiga menunjukkan molekul
pelarut dan molekul zat terlarut bercampur. Tahap ini dapat bersifat eksotermik atau
endotermik (Chang, 2003).
Larutan ideal adalah larutan yang memiliki gaya intermolekul baik antara pelarut
dengan pelarut maupun antara pelarut dengan zat terlarut. Sifat larutan yang terpenting
adalah tekanan uap suatu komponen yang terkandung dalam larutan tersebut pada
permukaan larutan. Besarnya kecenderungan suatu komponen untuk menguap dapat
diketahui dengan melihat gaya intermolekul yang bekerja didalam larutan. Kecenderungan
untuk menguap atau tekanan uap parsial merupakan fungsi dari suhu dan konsentrasi
(Bird, 1993).
Larutan dikatakan ideal jika larutan tersebut mengikuti hukum Roult pada seluruh
kisaran komposisi sistem. Hukum Roult dalam bentuknya yang lebih umum didefinisikan
sebagai fugasitas dari tiap komponen dalam larutan yang sama dengan keadaan serta fraksi
molnya dalam larutan tersebut. Hubungan antara tekanan parsial dan komposisinya dalam
larutan merupakan pendekatan dalam hal larutan yang mempunyai komponen tekanan
parsial kecil (Dogra, 1990).
Semua komponen (pelarut dan zat terlarut) mengikuti Hukum Roult pada seluruh
selang konsentrasi dalam larutan ideal. Hukum Roult berlaku bagi pelarut baik ideal
maupun tidak ideal ketika semua larutan encer tidak mempunyai interaksi kimia diantara
komponen-komponennya. Hukum Roult tidak berlaku pada zat terlarut pada larutan tidak
ideal encer. Perbedaan ini bersumber pada kenyataan molekul-molekul pelarut yang luar
biasa banyaknya. Peristiwa ini menyebabkan lingkungan molekul terlarut sangat berbeda
dalam lingkungan pelarut murni. Zat terlarut dalam larutan tak ideal encer mengikuti
Hukum Henry, bukan Hukum Roult (Petrucci, 1992).
Suatu larutan dapat dikatakan menjadi larutan ideal apabila larutan tersebut
mempunyai ciri-ciri :
a. Homogen pada seluruh sistem mulai dari fraksi mol sampai 1.
b. Tidak ada entalpi pencampuran pada waktu komponen dicampur membentuk larutan
(H Pencampuran = 0).
c. Tidak ada beda volume pencampuran artinya volume larutan = jumlah volume
komponen yang dicampur (H Pencampuran = 0).
d. Memenuhi Hukum Roult.
(Tim Kimia Fisik, 2016).
Sifat komponen larutan ideal yang satu akan mempengaruhi sifat komponen yang
lain, sehingga sifat larutan yang dihasilkan terletak diantara sifat kedua komponennya.
Contoh, sistem benzena toluena. Larutan non ideal adalah larutan yang tidak memiliki
sifat yang telah disebutkan diatas. Larutan non ideal dibagi menjadi dua golongan:
a. Larutan non ideal deviasi positif yang mempunyai volume ekspansi, dimana akan
menghasilkan titik didih maksimum pada sistem campuran itu. Contoh: sistem aseton-
karbondisulfida.
b. Larutan non ideal deviasi negatif yang mempunyai volume kontraksi, dimana akan
menghasilkan titik didih minimum pada sistim campuran itu. Contoh: sistem benzene-
etanol dan sistem aseton kloroform (Tim Kimia Fisik, 2016).
Komposisi larutan dalam percobaan ini merupakan harga mol fraksi larutan untuk
membuat diagram T X maka harga X ditentukan pada tiap titik didih dengan mengukur
indeks biasnya pada beberapa komposisi tertentu dari larutan. Keadaan ini dapat dilakukan
dengan membuat grafik standar komposisi vs indeks bias terlebih dahulu. Misalnya

1
mencampurkan a ml aseton dengan berat jenis dengan b ml. Kloroform dengan berat

2
jenis , maka komposisinya :

X 1=(a 1 / M 1)/{(a 1 / M 1)+ ( b 2 /M 2 ) }

Keterangan:
M 1 = berat molekul Aseton = 58

M 2 = berat molekul kloroform = 119,5

Hasil dari grafik standar akan dapat diturunkan menjadi bentuk-bentuk grafik sperti gambar
berikut:
(a) (b) (c)
Gambar 2.1 Beberapa kemungkinan bentuk grafik diagram fase campuran. (a) campuran
ideal, (b) deviasi positif, (c) deviasi negatif
(Tim Kimia Fisik, 2016).
Diagram fasa adalah diagram yang menggambarkan daerah-daerah tekanan dan
temperatur di mana berbagai fasa bersifat stabil. Batas-batas fasa menunjukan nilai-nilai
tekanan dan temperatur di mana dua fasa berada dalam kesetimbangan. Titik kritis yaitu
titik pertemuan antara temperatur kritis (Tc) dan tekanan kritis (Pc). Tc yaitu temperatur di
mana batas antara dua fasa menghilang dan Pc yaitu tekanan di mana Tc terjadi. Sistem
biner di atas Tc menjadi fasa tunggal dan tidak ada lagi bidang pemisah (Atkins, 1996).
Beberapa sistem mempunyai temperatur kritis atas (Tuc) dan temperatur kritis
bawah (Tlc). Tuc adalah batas atas temperatur di mana terjadi pemisahan fasa. Kedua
komponen benar-benar bercampur ketika diatas temperatur batas atas. Temperatur ini ada
karena gerakan termal yang besar dan menghasilkan kemampuan campur yang lebih besar
pada kedua komponen. Tlc adalah batas bawah temperatur di mana terjadi pemisahan fasa.
Di bawah temperatur batas bawah kedua komponen bercampur dalam segala perbandingan
dan di atas temperatur itu kedua komponen membentuk dua fasa. Salah satu contohnya
adalah air dan trietilamina. Dalam hal ini, pada temperatur rendah kedua komponen lebih
dapat bercampur karena komponen-komponen itu membentuk kompleks yang lemah, pada
temperatur lebih tinggi kompleks itu terurai dan kedua komponen kurang dapat bercampur
(Atkins, 1996).
Sistem biner terdiri atas pasangan cairan campur sebagian yaitu cairan yang tidak
bercampur dalam semua proporsi pada semua temperatur. Sistem biner fenol-akuades
merupakan sistem yang memperlihatkan sifat kelarutan timbal balik antara fenol dan
akuades pada temperatur tertentu dan tekanan tetap. Kelarutan adalah jumlah maksimum
zat yang dapat larut dalam sejumlah tertentu pelarut. Pelarut umumnya merupakan suatu
cairan yang dapat berupa zat murni ataupun campuran. Sistem disebut biner karena terdiri
atas dua komponen yaitu fenol dan akuades. Sistem biner fenol-akuades tergolong fasa
padat-cair, fenol berupa padatan dan akuades berupa cairan. Kelarutan sistem ini akan
berubah apabila dalam campuran itu ditambahan salah satu komponen penyusunnya yaitu
fenol atau akuades. Temperatur mempengaruhi komposisi kedua fasa pada kesetimbangan.
Kemampuan bercampurnya fenol dan akuades akan bertambah apabila temperatur
dinaikkan (Atkins, 1996).
Seluruh larutan biner apabila diuapkan secara parsial, komponen yang mempunyai
tekanan uap lebih tinggi akan terkonsentrasi pada fase uapnya, hingga terjadi perbedaan
komposisi antara cairan dengan uap yang setimbang. Uap tersebut dapat diembunkan
sebagai kondensat. Uap yang diperoleh dengan menguapkan secara parsial kondensat itu
akan mempunyai komposisi yang lebih kaya lagi akan komponen yang mudah menguap
(Alberty, 1987).
BAB 3. METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
- Set alat destilasi
- Pipet Mohr
- Pipet tetes
- Ball pipet
- Gelas Beaker
- Erlenmeyer
- Pemanas listrik
- Labu ukur
- Gelas ukur
3.1.2 Bahan
- Etanol
- Akuades

3.2 Skema Kerja


Etanol
- diencerkan dengan komposisi 40%, 50%, 60%, 70%, dan 80% dalam labu
ukur 25 mL.
- diambil 25 mL dan didestilasi serta dicatat titik didihnya.
- diambil 1 mL destilat dan diencerkan sampai 10 mL.
- diambil residu 10 mL untuk diuji kadarnya.
- dimasukkan destilat dan residu ke dalam botol uji dan ditentukan kandungan
alkoholnya.
- dibuat grafik komposisi vs temperatur untuk setiap sampel yang telah
diukur.
- dilakukan secara triplo pengukuran kadar alkoholnya.

Hasil
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Konsentrasi Titik Didih Kadar Etanol dalam Kadar Etanol
Etanol (%) (C) Destilat (%) dalam Residu (%)

40 83 4,03 4,40
50 81 4,13 4,56
60 80 4,06 4,50
70 78 4,23 4,30
80 77 4,00 4,29

4.2 Pembahasan
Percobaan kesetimbangan uap-cair dalam sistem biner ini bertujuan untuk
mempelajari sifat larutan biner dengan membuat diagram temperatur versus komposisi
dengan menentukan indeks biasnya. Sistem biner merupakan sebuah larutan yang terdiri
dari dua komponen berbeda yaitu pelarut dan zat terlarut yang tercampur sempurna.
Larutan biner ini biasanya mengandung dua komponen zat yang memiliki sifat volatil yang
berbeda atau memiliki perbedaan titik didih. Komponen larutan biner yang lebih volatil
akan menguap lebih dahulu ketika dipanaskan sehingga suatu ketika akan terjadi
kesetimbangan uap-cair. Larutan yang dipanaskan pada temperatur tertentu akan
mengalami penguapan yang menunjukkan bahwa terjadi penguraian partikel dari fasa cair
menuju fasa uapnya. Larutan yang mengalami penguapan, tidak semua partikelnya
diuraikan menjadi fasa uap tetapi masih terdapat fasa cair. Keadaan dimana kecepatan
antara molekul-molekul campuran yang membentuk fasa uap sama dengan kecepatan
molekul-molekul campuran yang membentuk fasa cair disebut dengan kesetimbangan.
Kesetimbangan uap cair terjadi ketika tidak terjadi perubahan komposisi uap-cair
pada temperatur tertentu. Temperatur pada saat terjadi kesetimbangan uap-cair disebut
dengan temperatur kritis. Kesetimbangan uap-cair berlangsung saat komposisi uap dan
komposisi cair sama ketika larutan biner dipanaskan, dimana pada keadaan ini uap dan
cairan bercampur secara homogen sehingga batas antara fasa uap dan cairan tidak dapat
dibedakan. Larutan biner yang digunakan dalam percobaan kesetimbangan uap-cair pada
sistem biner ini adalah etanol dan air karena etanol dapat bercampur secara homogen
dengan air. Etanol 99,8% diencerkan dengan akuades menjadi berbagai variasi konsentrasi
yaitu 40%, 50%, 60%, 70%, dan 80% dalam 25 mL air. Variasi konsentrasi digunakan
untuk mengetahui kandungan alkohol pada masing-masing komposisi tersebut, semakin
tinggi konsentrasi etanol yang digunakan maka komposisi etanol dalam larutan semakin
banyak sehingga kandungan alkohol dalam larutan tersebut juga semakin bertambah.
Larutan dengan masing-masing konsentrasi selanjutnya didestilasi secara
bergantian. Destilasi merupakan proses pemisahan dua komponen dalam larutan biner
berdasarkan perbedaan titik didih. Destilasi ini bertujuan untuk memisahkan etanol dan
airnya sehingga diperoleh etanol dalam keadaan murninya, dimana titik didih etanol 78,5 oC
lebih rendah daripada air 100oC yang menyebabkan etanol akan menguap terlebih dahulu
dibanding air. Uap dari senyawa yang lebih mudah menguap ini akan melewati kondensor
dan uap tersebut akan terkondensasi menjadi bentuk cairan kembali. Pemanasan ini
dilakukan pada suhu yang tidak mendekati titik didih air agar air tidak ikut menguap
bersama etanol, sehingga etanol dapat dipisahkan dari air dengan baik. Suhu ketika distilat
menetes pertama kalinya diamati dengan tepat dan dicatat sebagai titik didih komponen
volatil. Proses distilasi ini dilakukan mulai dari konsentrasi terendah agar ketika
dilanjutkan ke konsentrasi yang lebih tinggi tidak mempengaruhi larutan dan hasilnya,
sehingga alat yang digunakan dapat dibilas dengan akuades saja. Destilasi dihentikan
ketika telah diperoleh destilat sebanyak minimal 1 mL yang selanjutnya akan diuji kadar
alkoholnya.
Destilat sebanyak 1 mL diencerkan hingga 10 mL dan residu diambil sebanyak 10
mL untuk dilakukan uji kadar alkohol yang terkandung pada destilat dan residu dengan
menggunakan alat sensor alkohol dan aplikasi Labview. Prinsip kerja dari sensor alkohol
ini adalah menghisap zat etanol yang menguap sehingga akan mengakibatkan hambatan
sensor (Rs) turun yang menyebabkan tegangan naik. Semakin besar konsentrasi gas maka
nilai V akan naik. Pengoperasiannya dengan mengaktifkan aplikasi pada PC yang telah
terhubung pada suatu rangkain alat yang memiliki ujung sensor. Zat yang akan diuji
dengan sensor alkohol, dimasukkan pada botol uji dan sensor tersebut diletakkan pada
mulut botol. Peletakannya harus tepat agar tidak ada alkohol yang menguap dan
menghasilkan nilai yang sesuai. Tombol run diklik dan ditunggu beberapa saat sampai nilai
yang dihasilkan menyimpan secara otomatis. Hasil dari uji sensor akan terlihat pada layar
komputer.
Kurva kalibrasi potensial versus konsentrasi pada alkohol dibuat terlebih dahulu
sebelum dilakukan uji kadar alkohol untuk menentukan konsentrasi yang belum diketahui
agar masuk dalam range kadar standar kalibrasi. Konsentrasi yang digunakan untuk
kalibrasi sangat rendah yang bertujuan agar menghasilkan garis dengan kelinieran yang
baik. Kurva tersebut didapatkan hasil yang linier dengan koefisien korelasinya sebesar
0,994. Hal tersebut menunjukkan hubungan yang linier antara konsentrasi alkohol dengan
potensial yang dibutuhkan. Kurva kalibrasi sensor alkohol adalah sebagai berikut:

Kurva Kalibrasi Sensor Etanol


4.8
4.7 f(x) = 0.01x + 4.08
4.6 R = 0.99
4.5
Potensial (V) 4.4
4.3
4.2
4.1
4
10 20 30 40 50 60 70 80 90

Konsentrasi % Etanol

Grafik 4.1 Kurva kalibrasi alat sensor alkohol.


Uji kadar alkohol dalam destilat dan residu yang diperoleh yaitu nilai yang
diperoleh naik turun seiring dengan naiknya konsentrasi. Hasil yang diperoleh tidak sesuai
literatur dimana semakin besar konsentrasi etanol dalam larutan maka semakin besar kadar
alkohol dalam destilat karena titik didihnya semakin rendah sehingga tidak diperoleh titik
azeotropnya. Destilat merupakan hasil distilasi dimana berisi komponen yang lebih volatil
yaitu etanol. Ketidaksesuaian ini kemungkinan dikarenakan terdapat alkohol yang
menguap terlebih dahulu sebelum dilakukan pengujian karena sifatnya yang volatil. Hasil
pengukuran kadar alkohol pada residu dan destilat terhadap temperatur dibuat grafik
sebagai berikut :
Grafik Kesetimbangan Uap-Cair
Larutan Binner Etanol-Air
Kadar Distilan 84 Linear (Kadar Distilan) Kadar Residu

82
80 f(x) = 12.24x + 25.83
f(x) = - 4.44x + 97.95
R = 0.38
temperatur (C) 78
R = 0.03
76
Linear (Kadar Residu)
74
3.9 4 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6

kadar etanol

Gambar 4.2 Grafik antara komposisi destilat dan residu terhadap temperatur.

Gambar 4.3. Grafik Kesetimbangan Uap-Cair Sistem Biner Larutan Ideal.


Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa komposisi alkohol yang dihasilkan pada
cairan destilat dan residu berbeda. Kandungan alkohol pada residu lebih besar
dibandingkan pada destilat. Hal ini juga mengalami ketidaksesuaian yang seharusnya kadar
alkohol dalam destilat lebih besar dibandingkan kadar alkohol dalam residu karena zat
yang ada dalam residu masih dalam bentuk campuran antara alkohol dan akuades
sedangkan pada destilat komposisinya lebih tinggi karena mengandung alkohol murni.
Ketidaktepatan ini dikarenakan destilasi yang dilakukan tidak sempurna karena larutan
etanol pada residu tidak menguap seluruhnya, dan destilasi dihentikan hanya setelah
terdapat destilat 1 mL sehingga tidak diketahui dengan pasti berapa volume etanol yang
sudah menguap dan volume residu setelah destilasi tidak diukur secara pasti 10 mL.
Kesetimbangan uap-cair sistem biner etanol-air di atas termasuk dalam larutan non
ideal dimana sifat komponen satu larutan yang dihasilkan tidak mempengaruhi sifat
komponen yang lainnya. Grafik yang diperoleh seharusnya berupa grafik deviasi negatif,
dimana terjadi volume kontraksi sehingga menghasilkan titik didih minimum pada sistem
campuran. Berdasarkan literatur semakin besar komposisi etanol maka semakin besar
mendekati titik azeotropik. Percobaan kali ini tidak diperoleh titik azeotrop karena
ketidaksesuaian dengan literatur. Azeotrop merupakan campuran dari dua atau lebih larutan
dengan perbandingan tertentu, dimana komposisi ini tetap atau tidak bisa diubah lagi
dengan cara destilasi sederhana. Kondisi ini terjadi karena ketika azeotrop dididihkan, uap
yang dihasilkan juga memiliki perbandingan konsentrasi yang sama dengan larutannya
semula akibat ikatan antar molekul pada kedua larutannya. Kesetimbangan uap-cair sistem
biner etanol-air seharusnya membentuk titik azeotrop pada suhu 78,2 oC. Perbedaan hasil
percobaan dengan literatur disebabkan karena larutan belum terdestilasi secara sempurna,
sehingga masih terdapat etanol yang belum menguap dan tertinggal sebagai residu serta
bahan baku etanol yang digunakan kemungkinannya tidak murni 100%, masih
mengandung kadar air dan impuritis yang tinggi. Berikut adalah tabel titik didih azeotrop
minimum dari berbagai larutan biner pada tekanan 1 atm :

Tabel 4.2. Titik didih Azeotrop (Castellan, 1983).


BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Sifat larutan biner yaitu pada etanol-air dapat digambarkan dengan kurva temperatur
versus komposisi. Larutan etanol-air dalam percobaan ini merupakan larutan non ideal.
Kurva kesetimbangan uap-cair sistem biner etanol-air yang dihasilkan seharusnya berupa
kurva deviasi negatif dan tidak terjadi titik azeotrop. Komposisi alkohol dalam destilat
pada percobaan ini lebih rendah dibandingkan dengan komposisi alkohol dalam residu
sehingga diperoleh kurva kesetimbangan yang tidak sesuai dengan literatur.

5.2 Saran
Praktikan seharusnya tepat dalam menentukan titik didih etanol agar tidak terjadi
kesalahan. Praktikan juga seharusnya melakukan percobaan sesuai prosedur yaitu
membersihkan labu destilasi setiap melakukan destilasi untuk setiap perubahan
konsentrasi. Praktikan juga seharusnya mengukur kadar residu dan destilat dengan tepat
sesuai petunjuk agar diperoleh hasil yang sesuai literarur.
DAFTAR PUSTAKA

Alberty, A. R.1987. Kimia Fisika Edisi Kelima Jilid I. Jakarta: Erlangga.


Anonim. 2016. MSDS Akuades. [Serial Online]
www.sciencelab.com/msds.php?msdsId=9927321. 24 Oktober 2016.
Anonim. 2016. MSDS Etanol. [Serial Online]
www.sciencelab.com/msds.php?msdsId=9922769. 24 Oktober 2016.
Atkins, P.W. 1996. Kimia Fisika Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga.
Bird, T. 1993. Kimia Fisik untuk Universitas. Jakarta: PT. Gramedia.
Castellan G.W. 1983. Physical Chemistry Edisi ketiga. Addison-Wesley: Publishing
Company.
Chang, Raymond. 2003. Kimia Dasar: Konsep-Konsep Inti Jilid 1/ Edisi Ketiga. Jakarta:
Erlangga.
Dogra, S.K. 1990. Kimia Fisik dan Soal Soal. Jakarta : Universitas Indonesia.
Petrucci, R.H. 1992. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Edisi Keempat Jilid 2.
Jakarta: Erlangga.
Tim Kimia Fisik. 2016. Penuntun Praktikum Kimia Fisik II. Jember: Universitas Jember.
LAMPIRAN

A. Perhitungan volume konsentrasi


1. Volume pengenceran etanol konsentrasi 40%
M1V1 M 2 V2
M1V1
V2
M2
40 % 25 mL
V2
99,8%
V2 10 mL

2. Volume pengenceran etanol konsentrasi 50%


M 1 V1 M 2 V2
M 1 V1
V2
M2
50 % 25 mL
V2
99,8%
V2 12,5 mL

3. Volume pengenceran etanol konsentrasi 60%


M 1 V1 M 2 V2
M 1 V1
V2
M2
60 % 25 mL
V2
99,8%
V2 15,0 mL

4. Volume pengenceran etanol konsentrasi 70%


M 1 V1 M 2 V2
M 1 V1
V2
M2
70 % 25 mL
V2
99,8%
V2 17,5 mL

5. Volume pengenceran etanol konsentrasi 80%


M1V1 = M2V2
M1V1
V2 = M2
80 % 25 mL
V2 = 99,8 %

V2 = 20 mL

Faktor Pengenceran
M1 V1 = M2 V2
M1 V1 = 10M1 V2
V1 = 10 V2
10
V2 = 10 mL

V2 = 1mL
Pengenceran 10 mL
1. Komposisi 40 %
M1 V1 = M2 V2
40 % 1mL = M2 10 mL
M2 =4%
2. Komposisi 50 %
M1 V1 = M2 V2
50 % 1mL = M2 10 mL
M2 =5%
3. Komposisi 60 %
M1 V1 = M2 V2
60 % 1mL = M2 10 mL
M2 =6%
4. Komposisi 70 %
M1 V1 = M2 V2
70 % 1mL = M2 10 mL
M2 =7%
5. Komposisi 80 %
M1 V1 = M2 V2
40 % 1mL = M2 10 mL
M2 =8%
Grafik Kesetimbangan Uap-Cair
Larutan Binner Etanol-Air
Kadar Distilan 84 Linear (Kadar Distilan) Kadar Residu

82
80 f(x) = 12.24x + 25.83
f(x) = - 4.44x + 97.95
R = 0.38
temperatur (C) 78
R = 0.03
76
Linear (Kadar Residu)
74
3.9 4 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6

kadar etanol

Anda mungkin juga menyukai