Anda di halaman 1dari 52

KESEHATAN REPRODUKSI DAN KELUARGA BERENCANA

Gender dalam Kesehatan Ibu, Bayi, dan Anak

KELOMPOK 1

1. Agata Tallo

2. Ayuning Lesik

3. Ansel R.R. Mabilehi

4. Damianus Ati

5. Donatus M. Jada

6. Ernesta W. Brand

7. Eufrasia P. Jumiati

8. Febri M. Maisal

9. Gerry P. Zacharias

10. Maria Dawe


11. Yohana Namung

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2017

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
karena hanya atas berkat dan perlindungan Tuhan, kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Gender Dalam Kesehatan Ibu, Bayi, dan Anak dengan
baik. Makalah ini bertujuan unutuk memenuhi nilai tugas yang diberikan oleh
Dosen pengampuh Mata Kuliah Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari segi penyusunan, bahasa, maupun penulisan. Oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca guna menyempurnakan
makalah ini kedepannya. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca. Terima kasih.
Kupang, Maret 2017

Penulis

PENGANTAR
Istilah gender diambil dari kata dalam bahasa Arab Jinsiyyun yang
kemudian diadopsi dalam bahasa Perancis dan Inggris menjadi gender (Faqih,
1999). Gender diartikan sebagai perbedaan peran dan tanggung jawab perempuan
dan laki-laki yang ditentukan secara sosial. Gender berhubungan dengan
bagaimana persepsi dan pemikiran serta tindakan yang diharapkan sebagai
perempuan dan laki-laki yang dibentuk masyarakat, bukan karena perbedaan
biologis. Peran gender dibentuk secara sosial., institusi sosial memainkan peranan
penting dalam pembentukkan peran gender dan hubungan.

Gender merupakan Peran sosial dimana peran laki-laki dan perempuan


ditentukan perbedaan fungsi, perandan tanggung jawab laki-laki dan perempuan
sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat berubah atau diubah sesuai perubahan
zaman peran dan kedudukan sesorang yang dikonstrusikan oleh masyarakat. dan
budayanya karena sesorang lahir sebagai laki-laki atau perempuan. (WHO 1998).
Gender adalah suatu konsep budaya yang berupaya untuk membuat
perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal peran, perilaku, mentalitas
dan karakteristik emosional. Gender adalah peran dan kedudukan seseorang yang
dikonstruksikan oleh budaya karena seseorang lahir sebagai perempuan atau lahir
sebagai laki-laki.
Contoh :Sudah menjadi pemahaman bahwa laki-laki itu akan menjadi kepala
keluarga, pencari nafkah, menjadi orang yang menentukan bagi perempuan.
Seseorang yang lahir sebagai perempuan, akan menjadi ibu rumah tangga, sebagai
istri, sebagai orang yang dilindungi, orang yang lemah, irasional, dan emosional.
Kesetaraan gender adalah tidak adanya diskriminasi berdasarkan jenis
kelamin seseorang dalam memperoleh kesempatan dsan alokasi sumber daya,
manfaat atau dalam mengakses pelayanan. Berbeda halnya dengan keadilan
gender merupakan keadilan pendistribusian manfaat dan tanggung jawab
perempuan dan laki-laki. Konsep yang mengenali adanya perbedaan kebutuhan
dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, yang harus diidentifikasi dan
diatasi dengan cara memperbaiki ketidakseimbangan antara jenis kelamin.
Masalah gender muncul bila ditemukan perbedaan hak, peran dan tanggung
jawab karena adanya nilai-nilai sosial budaya yang tidak menguntungkan salah
satu jenis kelamin (lazimnya perempuan).
Untuk itu perlu dilakukan rekontruksi sosial sehingga nilai-nilai sosial
budaya yang tidak menguntungkan tersebut dapat dihilangkan. Sehingga masalah
kesehatan reproduksi yang erat kaitannya dengan ketidakadilan dan
ketidaksetaraan gender dapat dihindari, khususnya Kesehatan Ibu dan Anak yang
ada di Indonesia.

PEMBAHASAN
2.1. Gambaran Situasi Dan Kondisi Gander Dalam Konteks Kesehatan
Ibu, Bayi Dan Anak.
a. KESEHATAN IBU
Keberhasilan upaya kesehatan ibu, di antaranya dapat dilihat dari
indikator Angka Kematian Ibu (AKI). AKI adalah jumlah kematian ibu
selama masa kehamilan, persalinan dan nifas yang disebabkan oleh
kehamilan, persalinan, dan nifas atau pengelolaannya tetapi bukan karena
sebab-sebab lain seperti kecelakaan, terjatuh, dll di setiap 100.000
kelahiran hidup. Sebagai upaya penurunan AKI, pemerintah melalui
Kementerian Kesehatan sejak tahun 1990 telah meluncurkan safe
motherhood initiative, sebuah program yang memastikan semua
wanita mendapatkan perawatan yang dibutuhkan sehingga selamat dan
sehat selama kehamilan dan persalinannya. Upaya tersebut dilanjutkan
dengan program Gerakan Sayang Ibu di tahun 1996 oleh Presiden
Republik Indonesia. Program ini melibatkan sektor lain di luar kesehatan.
Salah satu program utama yang ditujukan untuk mengatasi masalah
kematian ibu yaitu penempatan bidan di tingkat desa secara besar-
besaran yang bertujuan untuk mendekatkan akses pelayanan kesehatan
ibu dan bayi baru lahir ke masyarakat. Upaya lain yang juga telah
dilakukan yaitu strategi Making Pregnancy Safer yang dicanangkan pada
tahun 2000.
Pada tahun 2012 Kementerian Kesehatan meluncurkan program
Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS) dalam rangka
menurunkan angka kematian ibu dan neonatal sebesar 25%. Program ini
dilaksanakan di provinsi dan kabupaten dengan jumlah kematian ibu dan
neonatal yang besar, yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan provinsi
tersebut disebabkan 52,6% dari jumlah total kejadian kematian ibu di
Indonesia berasal dari enam provinsi tersebut. Sehingga dengan
menurunkan angka kematian ibu di enam provinsi tersebut diharapkan
akan dapat menurunkan angka kematian ibu di Indonesia secara signifikan.

Program EMAS berupaya menurunkan angka kematian ibu dan angka


kematian neonatal dengan cara : 1) meningkatkan kualitas pelayanan
emergensi obstetri dan bayi baru lahir minimal di 150 Rumah Sakit
PONEK dan 300 Puskesmas/Balkesmas PONED); dan 2) memperkuat
sistem rujukan yang efisien dan efektif antar puskesmas dan rumah sakit.

Upaya percepatan penurunan AKI dapat dilakukan dengan menjamin agar


setiap ibu mampu mengakses pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas,
seperti pelayanan kesehatan ibu hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan terlatih di fasilitas pelayanan kesehatan, perawatan pasca
persalinan bagi ibu dan bayi, perawatan khusus dan rujukan jika terjadi
komplikasi, kemudahan mendapatkan cuti hamil dan melahirkan, dan
pelayanan keluarga berencana.

AKI Provinsi NTT pada periode 2004 2010 cenderung mengalami


penurunan yang cukup bermakna. Pada tahun 2004 AKI NTT sebesar 554 per
100.000 kelahiran hidup (Surkesnas) dan menurun menjadi 306 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2007 (SDKI, 2007). Namun berdasarkan hasil
Sensus Penduduk (SP) tahun 2010, AKI meningkat menjadi 536 per 100.000
kelahiran hidup. Bila dibandingkan dengan angka nasional 259 per 100.000
kelahiran hidup (SP,2010) maka AKI NTT sangat tinggi.

Berdasarkan kasus angka kematian ibu meningkat, namun jika


dikonversikan per 100.000 kelahiran hidup seperti gambar tersebut di atas,
bahwa pada tahun 2015 telah terjadi penurunan AKI menjadi 133 kasus
dari 169 pada tahun 2014.

Upaya kesehatan ibu yang disajikan terdiri dari : (1) Pelayanan


kesehatan ibu hamil, (2) Pelayanan imunisasi Tetanus Toksoid wanita usia
subur dan ibu hamil, (3) pelayanan kesehatan ibu bersalin, (4) pelayanan
kesehatan ibu nifas, (5) pelayanan/penanganan komplikasi kebidanan, dan
(6) pelayanan kontrasepsi.

1) Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil


Pelayanan kesehatan ibu hamil diberikan kepada ibu hamil
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Proses ini dilakukan selama rentang usia kehamilan ibu yang
dikelompokkan sesuai usia kehamilan menjadi trimester pertama, trimester
kedua, dan trimester ketiga. Pelayanan kesehatan ibu hamil yang diberikan
harus memenuhi elemen pelayanan sebagai berikut :

a) Penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan;

b) Pengukuran tekanan darah;

c) Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LiLA);

d) Pengukuran tinggi puncak rahim (fundus uteri);

e) Penentuan status imunisasi tetanus dan pemberian imunisasi


tetanus toksoid sesuai status imunisasi;

f) Pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet selama


kehamilan;

g) Penentuan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ);

h) Pelaksanaan temu wicara (pemberian komunikasi interpersonal dan


konseling, termasuk keluarga berencana);

i) Pelayanan tes laboratorium sederhana, minimal tes


hemoglobin darah (Hb), pemeriksaan protein urin dan
pemeriksaan golongan darah (bila belum pernah dilakukan
sebelumnya); dan

j) Tatalaksana kasus.

Selain elemen tindakan yang harus dipenuhi, pelayanan kesehatan ibu


hamil juga harus memenuhi frekuensi minimal di tiap trimester, yaitu satu
kali pada trimester pertama (usia kehamilan 0-12 minggu), satu kali
pada trimester kedua (usia kehamilan 12-24 minggu), dan dua kali
pada trimester ketiga (usia kehamilan 24 minggu sampai persalinan).
Standar waktu pelayanan tersebut dianjurkan untuk menjamin
perlindungan terhadap ibu hamil dan atau janin berupa deteksi
dini faktor risiko, pencegahan, dan penanganan dini komplikasi
kehamilan.

Cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil K4 pada tahun 2015 telah


memenuhi target Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan
sebesar 72%. Namun demikian, terdapat lima provinsi yang belum
mencapai target tersebut yaitu Papua, Papua Barat, Maluku, Nusa
Tenggara Timur, dan Sulawesi Tengah.

Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu


hamil tidak hanya dari sisi akses. Kualitas pelayanan yang
diberikan juga harus ditingkatkan, di antaranya pemenuhan semua
komponen pelayanan kesehatan ibu hamil harus diberikan saat kunjungan.
Dalam hal ketersediaan sarana kesehatan, hingga bulan Desember 2015
terdapat 9.754 puskesmas di seluruh Indonesia dengan rasio 1,15
puskesmas per 30.000 penduduk. Dengan demikian, rasio puskesmas
terhadap 30.000 penduduk sudah mencapai rasio ideal 1:30.000 penduduk,
namun penyebarannya masih belum merata.

Salah satu komponen pelayanan kesehatan ibu hamil yaitu pemberian


zat besi sebanyak 90 tablet (Fe3). Zat besi merupakan mineral yang
dibutuhkan tubuh untuk membentuk sel darah merah (hemoglobin). Selain
digunakan untuk pembentukan sel darah merah, zat besi juga berperan
sebagai salah satu komponen dalam membentuk mioglobin (protein yang
membawa oksigen ke otot), kolagen (protein yang terdapat pada tulang,
tulang rawan, dan jaringan penyambung), serta enzim.

Zat besi memiliki peran vital terhadap pertumbuhan janin. Selama


hamil, asupan zat besi harus ditambah mengingat selama kehamilan,
volume darah pada tubuh ibu meningkat. Sehingga, untuk dapat tetap
memenuhi kebutuhan ibu dan menyuplai makanan serta oksigen pada janin
melalui plasenta, dibutuhkan asupan zat besi yang lebih banyak. Asupan
zat besi yang diberikan oleh ibu hamil kepada janinnya melalui plasenta
akan digunakan janin untuk kebutuhan tumbuh kembangnya, termasuk
untuk perkembangan otaknya, sekaligus menyimpannya dalam hati
sebagai cadangan hingga bayi berusia 6 bulan.

Selain itu, zat besi juga membantu dalam mempercepat proses


penyembuhan luka khususnya luka yang timbul dalam proses persalinan.
Kekurangan zat besi sejak sebelum kehamilan bila tidak diatasi dapat
mengakibatkan ibu hamil menderita anemia. Anemia merupakan
salah satu risiko kematian ibu, kejadian bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi terhadap janin dan ibu, keguguran, dan kelahiran
prematur.
2) Pelayanan Imunisasi Tetanus Toksoid bagi Wanita Usia Subur dan Ibu
Hamil
Salah satu penyebab kematian ibu dan kematian bayi yaitu infeksi
tetanus yang disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani sebagai akibat
dari proses persalinan yang tidak aman/steril atau berasal dari luka
yang diperoleh ibu hamil sebelum melahirkan. Clostridium Tetani
masuk melalui luka terbuka dan menghasilkan racun yang menyerang
sistem syaraf pusat.
Sebagai upaya mengendalikan infeksi tetanus yang merupakan
salah satu faktor risiko kematian ibu dan kematian bayi, maka
dilaksanakan program imunisasi Tetanus Toksoid (TT) bagi Wanita
Usia Subur (WUS) dan ibu hamil.
Wanita usia subur yang menjadi sasaran imunisasi TT adalah
wanita berusia antara 15-49 tahun yang terdiri dari WUS hamil (ibu
hamil) dan tidak hamil. Imunisasi lanjutan pada WUS salah satunya
dilaksanakan pada waktu melakukan pelayanan antenatal. Imunisasi
TT pada WUS diberikan sebanyak 5 dosis dengan interval
tertentu, dimulai sebelum dan atau saat hamil yang berguna bagi
kekebalan seumur hidup. Interval pemberian imunisasi TT dan lama
masa perlindungan yang diberikan sebagai berikut:

a) TT2 memiliki interval minimal 4 minggu setelah TT1 dengan masa


perlindungan 3 tahun.

b) TT3 memiliki interval minimal 6 bulan setelah TT2 dengan masa


perlindungan 5 tahun.

c) TT4 memiliki interval minimal 1 tahun setelah TT3 dengan masa


perlindungan 10 tahun.

d) TT5 memiliki interval minimal 1 tahun setelah TT4 dengan masa


perlindungan 25 tahun.

Provinsi Jawa Timur, Bali, dan Jawa Tengah memiliki capaian


imunisasi TT5 pada WUS tertinggi di Indonesia sebesar 21,62%, 4,48%,
dan 4,14%. Sedangkan provinsi dengan capaian terendah yaitu Papua
sebesar 0,03%, Sulawesi Utara sebesar 0,21%, dan Kalimantan Utara
sebesar 0,21%. Provinsi Jawa Barat, Kepulauan Bangka Belitung, dan
Jambi memiliki capaian imunisasi TT2+ pada ibu hamil tertinggi di
Indonesia masing-masing sebesar 93,5%, 91,2%, dan 87,68%. Sedangkan
provinsi dengan capaian terendah yaitu Papua sebesar 1,04% dan
Kalimantan Utara sebesar 6,19.

3) Pelayanan Kesehatan Ibu Bersalin

Upaya lain yang dilakukan untuk menurunkan kematian ibu dan


kematian bayi yaitu dengan mendorong agar setiap persalinan ditolong
oleh tenaga kesehatan terlatih yaitu dokter spesialis kebidanan dan
kandungan (SpOG), dokter umum, dan bidan, serta diupayakan dilakukan
di fasilitas pelayanan kesehatan. Pertolongan persalinan adalah proses
pelayanan persalinan yang dimulai pada kala I sampai dengan kala IV
persalinan. Keberhasilan program ini diukur melalui indikator persentase
persalinan ditolong tenaga kesehatan terlatih (Cakupan PN) dan persentase
persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan (cakupan PF).

Persentase pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia


menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun 2005 sampai dengan
tahun 2015. Namun demikian, terdapat penurunan dari 90,88% pada
tahun 2013 menjadi 88,55% pada tahun 2015. Kebijakan Kementerian
Kesehatan dalam dekade terakhir menekankan agar setiap persalinan
ditolong oleh tenaga kesehatan dalam rangka menurunkan kematian ibu dan
kematian bayi. Namun demikian, meskipun persalinan ditolong oleh tenaga
kesehatan tetapi tidak dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan,
dianggap menjadi salah satu penyebab masih tingginya Angka Kematian
Ibu. Oleh karena itu mulai tahun 2015, penekanan persalinan yang aman
adalah persalinan ditolong tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan
kesehatan. Oleh karena itu, Rencana Strategis Kementerian Kesehatan
tahun 2015-2019 menetapkan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan
sebagai salah satu indikator upaya kesehatan ibu, menggantikan
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan.
4) Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas

Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan pada ibu


nifas sesuai standar, yang dilakukan sekurang-kurangnya tiga kali
sesuai jadwal yang dianjurkan, yaitu pada enam jam sampai dengan tiga
hari pasca persalinan, pada hari ke empat sampai dengan hari ke-28 pasca
persalinan, dan pada hari ke-29 sampai dengan hari ke-42 pasca
persalinan. Masa nifas dimulai dari enam jam sampai dengan 42 hari pasca
persalinan.

Jenis pelayanan kesehatan ibu nifas yang diberikan terdiri dari :

a) Pemeriksaan tanda vital (tekanan darah, nadi, nafas, dan suhu);

b) Pemeriksaan tinggi puncak rahim (fundus uteri);

c) Pemeriksaan lokhia dan cairan per vaginam lain;


d) Pemeriksaan payudara dan pemberian anjuran ASI eksklusif;

e) Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kesehatan


ibu nifas dan bayi baru lahir, termasuk keluarga berencana;

f)Pelayanan keluarga berencana pasca persalinan.

Cakupan kunjungan nifas (KF3) di Indonesia dalam kurun waktu


delapan tahun terakhir secara umum mengalami kenaikan. Capaian
indikator KF3 yang meningkat dalam delapan tahun terakhir merupakan
hasil dari berbagai upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dan
masyarakat termasuk sektor swasta. Program penempatan Pegawai
Tidak Tetap (PTT) untuk dokter dan bidan terus dilaksanakan. Selain
itu, dengan diluncurkannya Bantuan Operasional Kesehatan (BOK)
sejak tahun 2010, puskesmas, poskesdes, dan posyandu lebih terbantu
dalam mengintensifkan implementasi upaya kesehatan termasuk di
dalamnya pelayanan kesehatan ibu nifas. Pelayanan kesehatan ibu nifas
termasuk di antaranya kegiatan sweeping atau kunjungan rumah bagi
yang tidak datang ke fasilitas pelayanan kesehatan.
5) Pelayanan/Penanganan Komplikasi Kebidanan

Komplikasi pada proses kehamilan, persalinan dan nifas juga


merupakan salah satu penyebab kematian ibu dan kematian bayi.
Komplikasi kebidanan adalah kesakitan pada ibu hamil, ibu bersalin, ibu
nifas, dan atau janin dalam kandungan, baik langsung maupun tidak
langsung, termasuk penyakit menular dan tidak menular yang dapat
mengancam jiwa ibu dan atau janin. Sebagai upaya menurunkan
angka kematian ibu dan kematian bayi maka dilakukan
pelayanan/penanganan komplikasi kebidanan. pelayanan/penanganan
komplikasi kebidanan adalah pelayanan kepada ibu hamil, bersalin,
atau nifas untuk memberikan perlindungan dan penanganan definitif
sesuai standar oleh tenaga kesehatan kompeten pada tingkat pelayanan
dasar dan rujukan.
Keberhasilan program ini dapat diukur melalui indikator cakupan
penanganan komplikasi kebidanan (Cakupan PK). Indikator ini mengukur
kemampuan negara dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan
secara profesional kepada ibu (hamil, bersalin, nifas) dengan
komplikasi.

Lima penyebab kematian ibu terbesar yaitu perdarahan, hipertensi


dalam kehamilan (HDK), infeksi, partus lama/macet, dan abortus.
Kematian ibu di Indonesia masih didominasi oleh tiga penyebab utama
kematian yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK), dan
infeksi. Namun proporsinya telah berubah, dimana perdarahan dan infeksi
cenderung mengalami penurunan sedangkan HDK proporsinya semakin
meningkat. Lebih dari 25% kematian ibu di Indonesia pada tahun 2013
disebabkan oleh HDK.
Beberapa terobosan dalam penurunan AKI dan AKB di Indonesia
telah dilakukan, salah satunya Program Perencanaan Persalinan dan
Pencegahan Komplikasi (P4K). Program tersebut menitikberatkan
kepedulian dan peran keluarga dan masyarakat dalam melakukan upaya
deteksi dini, menghindari risiko kesehatan pada ibu hamil, serta
menyediakan akses dan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal
dasar di tingkat Puskesmas (PONED) dan pelayanan kegawatdaruratan
obstetri dan neonatal komprehensif di Rumah Sakit (PONEK). Dalam
implementasinya, P4K merupakan salah satu unsur dari Desa Siaga.
P4K mulai diperkenalkan oleh Menteri Kesehatan pada tahun 2007.
Pelaksanaan P4K di desa-desa tersebut perlu dipastikan agar mampu
membantu keluarga dalam membuat perencanaan persalinan yang baik dan
meningkatkan kesiapsiagaan keluarga dalam menghadapi tanda bahaya
kehamilan, persalinan, dan nifas agar dapat mengambil tindakan yang tepat.
6) Pelayanan Kontrasepsi

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014


tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga, Keluarga Berencana, dan Sistem Informasi Keluarga
menyebutkan bahwa program keluarga berencana (KB) adalah upaya
mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur
kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai
dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas.

KB merupakan salah satu strategi untuk mengurangi kematian ibu


khususnya ibu dengan kondisi 4T; terlalu muda melahirkan (di bawah
usia 20 tahun), terlalu sering melahirkan, terlalu dekat jarak
melahirkan, dan terlalu tua melahirkan (di atas usia 35 tahun).
Selain itu, program KB juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas
keluarga agar dapat timbul rasa aman, tentram, dan harapan masa depan
yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan
batin.

KB juga merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk


meningkatkan ketahanan keluarga, kesehatan, dan keselamatan ibu,
anak, serta perempuan. Pelayanan KB menyediakan informasi,
pendidikan, dan cara-cara bagi laki-laki dan perempuan untuk dapat
merencanakan kapan akan mempunyai anak, berapa jumlah anak,
berapa tahun jarak usia antara anak, serta kapan akan berhenti
mempunyai anak.

Melalui tahapan konseling pelayanan KB, Pasangan Usia Subur


(PUS) dapat menentukan pilihan kontrasepsi sesuai dengan kondisi dan
kebutuhannya berdasarkan informasi yang telah mereka pahami,
termasuk keuntungan dan kerugian, risiko metode kontrasepsi dari
petugas kesehatan. Program Keluarga Berencana (KB) dilakukan
diantaranya dalam rangka mengatur jumlah kelahiran atau menjarangkan
kelahiran. Sasaran program KB adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang
lebih dititikberatkan pada kelompok Wanita Usia Subur (WUS) yang
berada pada kisaran usia 15-49 tahun.

Sasaran pelaksanaan program KB yaitu Pasangan Usia Subur.


Pasangan Usia Subur (PUS) adalah pasangan suami-istri yang terikat
dalam perkawinan yang sah, yang istrinya berumur antara 15 sampai
dengan 49 tahun. Peserta KB Aktif adalah Pasangan Usia Subur (PUS)
yang saat ini menggunakan salah satu alat kontrasepsi tanpa diselingi
kehamilan. Peserta KB Baru adalah pasangan usia subur yang baru
pertama kali menggunakan alat/cara kontrasepsi dan atau pasangan
usia subur yang kembali menggunakan metode kontrasepsi setelah
melahirkan/keguguran.
b. KESEHATAN ANAK

Upaya pemeliharaan kesehatan anak ditujukan untuk mempersiapkan


generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk
menurunkan angka kematian anak. Upaya pemeliharaan kesehatan anak
dilakukan sejak janin masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah
dilahirkan, dan sampai berusia delapan belas tahun.

Upaya kesehatan anak antara lain diharapkan mampu menurunkan


angka kematian anak. Indikator angka kematian yang berhubungan dengan
anak yakni Angka Kematian Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi
(AKB), dan Angka Kematian Balita (AKABA). Perhatian terhadap upaya
penurunan angka kematian neonatal (0-28 hari) menjadi penting karena
kematian neonatal memberi kontribusi terhadap 59% kematian bayi.
Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2012, angka Kematian Neonatus (AKN) pada tahun 2012 sebesar
19 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini sama dengan AKN
berdasarkan SDKI tahun 2007 dan hanya menurun 1 poin dibanding SDKI
tahun 2002-2003 yaitu 20 per 1.000 kelahiran hidup.

Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015


menunjukkan AKB sebesar 22,23 per 1.000 kelahiran hidup, yang artinya
sudah mencapai target MDG 2015 sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup.
Begitu pula dengan Angka Kematian Balita (AKABA) hasil SUPAS 2015
sebesar 26,29 per 1.000 kelahiran hidup, juga sudah memenuhi target MDG
2015 sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup. Upaya pemeliharaan kesehatan
anak ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat,
cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian anak. Upaya
pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak janin masih dalam kandungan,
dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia delapan belas tahun.

Berdasarkan gambar tersebut di atas dapat kita ketahui bahwa jumlah


kematian ibu yang tertinggi terjadi pada tahun 2015 yaitu mencapai 178 kasus,
untuk kematian bayi dan balita yang paling tinggi terjadi pada tahun 2015 dan
2014. Upaya kesehatan anak antara lain diharapkan mampu menurunkan
angka kematian anak. Indikator angka kematian yang berhubungan dengan
anak yakni Angka Kematian Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi (AKB),
dan Angka Kematian Balita (AKABA). Perhatian terhadap upaya penurunan
angka kematian neonatal (0-28 hari) menjadi penting karena kematian
neonatal memberi kontribusi terhadap 59% kematian bayi. Berdasarkan hasil
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka
Kematian Neonatus (AKN) pada tahun 2012 sebesar 19 per 1.000 kelahiran
hidup. Angka ini sama dengan AKN berdasarkan SDKI tahun 2007 dan hanya
menurun 1 poin dibanding SDKI tahun 2002 2003 yaitu 20 per 1.000
kelahiran hidup.
1) Pelayanan Kesehatan Neonatal

Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia sampai dengan 28 hari.
Pada masa tersebut terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan di
dalam rahim dan terjadi pematangan organ hampir pada semua sistem.
Bayi hingga usia kurang satu bulan merupakan golongan umur yang
memiliki risiko gangguan kesehatan paling tinggi, berbagai masalah
kesehatan bisa muncul. Sehingga tanpa penanganan yang tepat, bisa
berakibat fatal. Beberapa upaya kesehatan dilakukan untuk mengendalikan
risiko pada kelompok ini di antaranya dengan mengupayakan agar
persalinan dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan di fasilitas
kesehatan serta menjamin tersedianya pelayanan kesehatan sesuai standar
pada kunjungan bayi baru lahir.

Cakupan Kunjungan Neonatal Pertama atau KN1 merupakan indikator


yang menggambarkan upaya kesehatan yang dilakukan untuk mengurangi
risiko kematian pada periode neonatal yaitu 6-48 jam setelah lahir yang
meliputi, antara lain kunjungan menggunakan pendekatan Manajemen
Terpadu Balita Muda (MTBM) termasuk konseling perawatan bayi baru
lahir, ASI eksklusif, pemberian vitamin K1 injeksi, dan Hepatitis B0
injeksi bila belum diberikan.

Kunjungan neonatal pertama (KN1) adalah cakupan pelayanan


kesehatan bayi baru lahir (umur 6 jam-48 jam) di satu wilayah kerja pada
kurun waktu tertentu yang ditangani sesuai standar oleh tenaga kesehatan
terlatih di seluruh sarana pelayanan kesehatan. Pelayanan yang diberikan
saat kunjungan neonatal yaitu pemeriksaan sesuai standar Manajemen
Terpadu Bayi Muda (MTBM) dan konseling perawatan bayi baru lahir
termasuk ASI eksklusif dan perawatan tali pusat. Pada kunjungan neonatal
pertama (KN1), bayi baru lahir mendapatkan vitamin K1 injeksi dan
imunisasi hepatitis B0 (bila belum diberikan pada saat lahir).
Capaian KN1 Indonesia pada tahun 2015 sebesar 83,67%. Capaian ini
sudah memenuhi target Renstra tahun 2015 yang sebesar 75%. Terdapat 24
provinsi yang telah memenuhi target tersebut.
Selain KN1, indikator yang menggambarkan pelayanan kesehatan bagi neonatal
adalah Kunjungan Neonatal Lengkap (KN lengkap) yang mengharuskan agar
setiap bayi baru lahir memperoleh pelayanan Kunjungan Neonatal minimal tiga
kali sesuai standar di satu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun.

2) Penanganan Komplikasi Neonatal

Neonatal dengan komplikasi adalah neonatal dengan penyakit dan atau


kelainan yang dapat menyebabkan kecacatan dan atau kematian, seperti
asfiksia, ikterus, hipotermia, tetanus neonatorum, infeksi/sepsis, trauma
lahir, BBLR, sindroma gangguan pernafasan, dan kelainan kongenital
maupun yang termasuk klasifikasi kuning dan merah pada pemeriksaan
dengan Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM).

Komplikasi yang menjadi penyebab kematian terbanyak yaitu


asfiksia, bayi berat lahir rendah, dan infeksi (Riskesdas, 2007).
Komplikasi ini sebetulnya dapat dicegah dan ditangani, namun
terkendala oleh akses ke pelayanan kesehatan, kemampuan tenaga kesehatan,
keadaan sosial ekonomi, sistem rujukan yang belum berjalan dengan baik,
terlambatnya deteksi dini, dan kesadaran orang tua untuk mencari pertolongan
kesehatan.

Penanganan neonatal dengan komplikasi adalah penanganan terhadap


neonatal sakit dan atau neonatal dengan kelainan atau
komplikasi/kegawatdaruratan yang mendapat pelayanan sesuai standar oleh
tenaga kesehatan (dokter, bidan atau perawat) terlatih baik di rumah, sarana
pelayanan kesehatan dasar maupun sarana pelayanan kesehatan rujukan.
Pelayanan sesuai standar antara lain sesuai dengan standar MTBM,
Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir, Manajemen Bayi Berat Lahir
Rendah, pedoman pelayanan neonatal essensial di tingkat pelayanan
kesehatan dasar, PONED, PONEK atau standar operasional pelayanan
lainnya.
3) Imunisasi

Setiap tahun lebih dari 1,4 juta anak di dunia meninggal karena
berbagai penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dengan imunisasi.
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu
saat terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami
sakit ringan. Beberapa penyakit menular yang termasuk ke dalam Penyakit
yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) antara lain TBC, Difteri,
Tetanus, Hepatitis B, Pertusis, Campak, Polio, radang selaput otak, dan radang
paru-paru. Anak yang telah diberi imunisasi akan terlindungi dari
berbagai penyakit berbahaya tersebut, yang dapat menimbulkan
kecacatan atau kematian.

a) Imunisasi Dasar pada Bayi

Imunisasi melindungi anak terhadap beberapa Penyakit yang Dapat


Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Seorang anak diimunisasi dengan vaksin
yang disuntikkan pada lokasi tertentu atau diteteskan melalui mulut.

Sebagai salah satu kelompok yang menjadi sasaran program imunisasi,


setiap bayi wajib mendapatkan imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari
1 dosis BCG, 3 dosis DPT-HB dan atau DPT-HB-Hib, 4 dosis polio, dan
1 dosis campak. Dari imunisasi dasar lengkap yang diwajibkan tersebut,
campak merupakan imunisasi yang mendapat perhatian lebih, hal ini sesuai
komitmen Indonesia pada global untuk mempertahankan cakupan imunisasi
campak sebesar 90% secara tinggi dan merata. Hal ini terkait dengan realita
bahwa campak adalah salah satu penyebab utama kematian pada balita.
Dengan demikian pencegahan campak memiliki peran signifikan dalam
penurunan angka kematian balita.
b) Imunisasi Lengkap pada Bayi

Program imunisasi pada bayi bertujuan agar setiap bayi


mendapatkan imunisasi dasar secara lengkap. Keberhasilan seorang bayi
dalam mendapatkan imunisasi dasar tersebut diukur melalui indikator
imunisasi dasar lengkap.
c) Angka Drop Out Cakupan Imunisasi DPT/HB1-Campak

Imunisasi dasar pada bayi seharusnya diberikan pada anak sesuai


dengan umurnya. Pada kondisi ini, diharapkan sistem kekebalan tubuh
dapat bekerja secara optimal. Namun demikian, pada kondisi tertentu
beberapa bayi tidak mendapatkan imunisasi dasar secara lengkap.
Kelompok inilah yang disebut dengan drop out (DO) imunisasi. Bayi yang
mendapatkan imunisasi DPT/HB1 pada awal pemberian imunisasi,
namun tidak mendapatkan imunisasi campak, disebut angka drop out
imunisasi DPT/HB1-Campak. Indikator ini diperoleh dengan menghitung
selisih penurunan cakupan imunisasi Campak terhadap cakupan imunisasi
DPT/HB1.

Angka drop out imunisasi DPT/HB1-Campak pada tahun 2015


sebesar 2,8%. Angka ini lebih rendah dibandingkan tahun 2014 yang
sebesar 3,1%. Angka drop out imunisasi DPT/HB1-Campak menunjukkan
kecenderungan penurunan sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2015
yang asumsinya semakin banyak bayi yang mendapatkan imunisasi dasar
secara lengkap. Kecenderungan penurunan tersebut dijelaskan pada gambar
berikut ini.

d) Desa/Kelurahan UCI (Universal Child Immunization)

Indikator lain yang diukur untuk menilai keberhasilan pelaksanaan


imunisasi yaitu Universal Child Immunization (UCI) desa/kelurahan.
Desa/kelurahan UCI adalah gambaran suatu desa/kelurahan dimana 80%
dari jumlah bayi (0-11 bulan) yang ada di desa/kelurahan tersebut sudah
mendapat imunisasi dasar lengkap.

Pada tahun 2015 terdapat tiga provinsi yang memiliki capaian tertinggi
yaitu DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah sebesar 100%.
Sedangkan Provinsi Papua Barat memiliki capaian terendah (54,66%),
diikuti oleh Riau sebesar 57,67%, dan Aceh sebesar 67.56%.
4) Pelayanan Kesehatan Anak Usia Sekolah

Mulai masuk sekolah merupakan hal penting bagi tahap


perkembangan anak. Banyak masalah kesehatan terjadi pada anak usia
sekolah, misalnya pelaksanaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
seperti menggosok gigi dengan baik dan benar, mencuci tangan menggunakan
sabun, karies gigi, kecacingan, kelainan refraksi/ketajaman penglihatan
dan masalah gizi. Pelayanan kesehatan pada anak termasuk pula intervensi
pada anak usia sekolah.

Anak usia sekolah merupakan sasaran yang strategis untuk


pelaksanaan program kesehatan, karena selain jumlahnya yang besar,
mereka juga merupakan sasaran yang mudah dijangkau karena terorganisir
dengan baik. Sasaran dari pelaksanaan kegiatan ini diutamakan untuk siswa
SD/sederajat kelas satu. Pemeriksaan kesehatan dilaksanakan oleh tenaga
kesehatan bersama tenaga lainnya yang terlatih (guru UKS/UKSG dan dokter
kecil). Tenaga kesehatan yang dimaksud yaitu tenaga medis, tenaga
keperawatan atau petugas puskesmas lainnya yang telah dilatih sebagai tenaga
pelaksana UKS/UKGS. Guru UKS/UKGS adalah guru kelas atau guru
yang ditunjuk sebagai pembina UKS/UKGS di sekolah dan telah dilatih
tentang UKS/UKGS. Dokter kecil adalah kader kesehatan sekolah yang
biasanya berasal dari murid kelas 4 dan 5 SD dan setingkat yang telah
mendapatkan pelatihan dokter kecil.

Hal ini dimaksudkan agar pembelajaran tentang kebersihan dan


kesehatan gigi bisa dilaksanakan sedini mungkin. Kegiatan ini dilakukan
untuk meningkatkan pengetahuan siswa tentang pentingnya menjaga
kesehatan gigi dan mulut pada khususnya dan kesehatan tubuh serta
lingkungan pada umumnya.

Upaya kesehatan pada kelompok ini yang dilakukan melalui


penjaringan kesehatan terhadap murid SD/MI kelas satu juga menjadi salah
satu indikator yang dievaluasi keberhasilannya melalui Renstra Kementerian
Kesehatan. Kegiatan penjaringan kesehatan selain untuk mengetahui secara
dini masalah-masalah kesehatan anak sekolah sehingga dapat dilakukan
tindakan secepatnya untuk mencegah keadaan yang lebih buruk, juga untuk
memperoleh data atau informasi dalam menilai perkembangan kesehatan
anak sekolah, maupun untuk dijadikan pertimbangan dalam menyusun
perencanaan, pemantauan dan evaluasi kegiatan Usaha Kesehatan Sekolah
(UKS).

5) Pelayanan Kesehatan pada Kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA)

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan


Anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia
delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Semua
anak mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan. Perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Organisasi Kesehatan Dunia/WHO mendefinisikan kekerasan terhadap


anak sebagai semua bentuk tindakan/perlakuan menyakitkan secara fisik
ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi,
komersial atau lainnya yang mengakibatkan cedera/kerugian nyata ataupun
potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh
kembang anak atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan
tanggung jawab.

Menurut KOMNAS Perlindungan Anak (2006), pemicu kekerasan


terhadap anak di antaranya yaitu 1) Kekerasan dalam rumah tangga,
yaitu dalam keluarga terjadi kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah,
ibu dan saudara yang lainnya. Anak seringkali menjadi sasaran kemarahan
orang tua, 2) Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan
sebagaimana seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai
pemimpin keluarga dan peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan
menyayangi, 3) Faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan
ekonomi. 4) Pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Orang tua
menganggap bahwa anak adalah seseorang yang tidak tahu apa-apa. Dengan
demikian pola asuh apapun berhak dilakukan oleh orang tua. Di samping itu,
kekerasan pada anak terinspirasi dari tayangan-tayangan televisi maupun
media-media lainnya yang tersebar di lingkungan masyarakat.

Upaya peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan melalui


penyiapan fasilitator pusat dan daerah serta tenaga pemberi pelayanan di
Puskesmas yang dilakukan dengan menyelenggarakan pelatihan (training of
trainer) secara berjenjang dalam rangka menyediakan Puskesmas mampu
tata laksana KtA dengan menggunakan dana APBN maupun
dekonsentrasi. Selain itu, pada tahun 20122013 telah dilaksanakan penguatan
pelayanan rujukan di rumah sakit. Jumlah Puskesmas mampu tata
laksana KtA pada tahun 2014 sebanyak 1.694 Puskesmas. Persentase
kabupaten/kota dengan minimal dua Puskesmas mampu tata laksana KtA
yaitu 78,07%, meningkat dibanding tahun 2013 yang sebesar 76,26%. Saat
ini, sudah tersedia 71 RS Umum/RS Bhayangkara di 28 provinsi yang
memiliki PPT/PKT (menjadi Pusat Pelayanan Terpadu untuk korban KtA) dan
39 RS di 33 provinsi yang melakukan pelayanan KtA di IGD oleh tenaga
kesehatan terlatih.

6) Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR)

Salah satu upaya kesehatan anak yang ditetapkan melalui Instruksi


Presiden yaitu Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) di Puskesmas.
Program ini mulai dikembangkan pada tahun 2003 yang bertujuan khusus
untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan remaja tentang kesehatan
reproduksi dan perilaku hidup sehat serta memberikan pelayanan kesehatan
yang berkualitas kepada remaja.
Puskesmas yang memiliki program PKPR memberikan layanan baik di
dalam maupun di luar gedung yang ditujukan bagi kelompok remaja
berbasis sekolah ataupun masyarakat. Hal ini dilakukan agar layanan yang
diberikan dapat menjangkau semua kelompok remaja (usia 10-18 tahun).
Kriteria yang ditetapkan bagi Puskesmas yang mampu laksana PKPR yaitu :
Melakukan pembinaan pada minimal satu sekolah (sekolah umum, sekolah
berbasis agama) dengan melaksanakan kegiatan Komunikasi, Informasi,
dan Edukasi (KIE) di sekolah binaan minimal dua kali dalam setahun;
Melatih kader kesehatan remaja di sekolah minimal sebanyak 10% dari
jumlah murid di sekolah binaan; dan Memberikan pelayanan konseling pada
semua remaja yang memerlukan konseling yang kontak dengan petugas
PKPR.

Selain pemberian informasi, edukasi, dan kegiatan seperti disebutkan


di atas, pelayanan kesehatan sekolah ini meliputi pemeriksaan kesehatan,
pemeriksaan perkembangan kecerdasan, pemberian imunisasi, penemuan
kasus-kasus dini yang mungkin terjadi, pengobatan sederhana,
pertolongan pertama serta rujukan bila menemukan kasus yang tidak
dapat ditanggulangi di sekolah.
2.2. Kesenjangan Gender Kesehata Ibu, Bayi, Anak dan Apa Saja Faktor
Penyebabnya.

a. Kesenjangan Gender Kesehatan Ibu dan Faktor Penyebabnya


1) Ketidakmampuan perempuan dalam mengambil keputusan, kaitannya
dengan kesehatan dirinya, misalnnya: menentukan kapan hamil dan dimana
akan melahirkan. Hal tersebut berhubungan dengan kedudukan perempuan
yang lemah di keluarga dan masyarakat.
2) Ibu tidak memiliki hak untuk menentukan jumlah anak dan jarak antar anak,
karena banyak anggapan bahwa banyak anak banyak rejeki, sehingga ibu
pun tidak mendapatkan dukungan dari suami atau dari keluarga untuk
haknya tersebut.
3) Ibu sering mendapat kekerasan fisik, diskriminasi ataupun pelecehan
seksual karena ibu memiliki fisik yang lemah.
4) Ibu tidak dapat menikmati kemajuan IPTEK tentang fungsi reproduksi,
kebebasan berkumpul serta berpartisipasi dalam politik yang berkaitan
dengan kehidupan reproduksinya, serta Ibu tidak memiliki kebebasan
berkumpul serta berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan
kehidupan reproduksinya.
5) Karena kehidupan ibu yang hanya focus pada pekerjaan-pekerjaan rumah
tangga. Ibu tidak ada waktu untuk melakukan kegiatan-kegiatan social yang
dapat memberikan tambahan pengetahuan mengenai kemajuan IPTEK.
6) Sikap dan perilaku keluarga yang cenderung mengutamakan laki-laki,
misalnya:
a) Dalam mengkonsumsi makanan sehari-hari yang menempatkan bapak/anak
laki-laki pada posisi yang diutamakan daripada ibu dan anak perempuanhal
tersebut sangat merugikan kesehatan perempuan, terutama bila sedang
hamil.
b) Tuntutan untuk tetap bekerja keras meski dalam keaadan hamil dan
bebannya sama seperti saat kondisi ibu tersebut sedang tidak hamil.
c) Pantangan-pantangan bagi perempuan untuk melakukan kegiatan/makanan-
makanan tertentu yang cukup bergizi, seperti ikan dan telur.
7) Kurangnya kesadaran dan tanggung jawab suami atas janin yang sedang di
kandung oleh ibu. Misalnya ketika melakukan pemeriksaan ke fasilitas
kesehatan ibu pergi sendiri tanpa di temani suami, karena suamu
beranggapan bahwa hamil, melahirkan, dan mengurus anak adalah tanggung
jawab istri.
8) Pandangan terhadap ibu bahwa tugas dan fungsinya melaksanakan
pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau tugas domestic.
Sehingga seorang seorang ibu jarang mengikuti kegiatan-kegiatan social di
luar rumah yang sebenarnya dapat menambah wawasan dan
pengetahuannya, seperti Informasi tentang keuntungan menyusui bagi ibu
dan bayinya serta informasi pentingnya memperoleh gizi cukup selama
kehamilan.
9) Pada saat ibu sedang hamil ibu hanya focus pada pekerjaan-pekerjaan rumah
tangga karena sudah menjadi rutinitas, sehingga lupa untuk pergi
memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan ibu hamil yang lengkap yang dapat bermanfaat juga bagi janin
yang dikandungnya.
10) Pengaruh budaya atau kebiasaan keluarga yang sudah turun temurun
melahirkan di dukun beranak sehingga ibu tidak memiliki hak untuk
melahirkan di fasilitas kesehatan yang dimana tempatnya lebih memadai
dengan peralatan medis yang cukup lengkap serta dapat di tolong oleh
seorang ahli tenaga kesehatan seperti dokter atau bidan. Adapun budaya di
daerah tertentu dimana ketika ibu setelah melahirkan di letakkan di dapur
atau rumah adat yang tertutup dan di penggang agar luka saat persalinan
cepat mengering.
11) Ketika melakukan pemeriksaan, keluarga atau suami sering beranggapan
bahwa itu merupakan tugas istri, padahal kehamilan merupakan suatu proses
yang harus disyukuri bersama oleh karena itu harus adanya dukungan dari
semua pihak agar si ibu dapat selalu memeriksakan dirinya pada fasilitas
kesehatan.
12) Adanya pantangan dalam keluarga, misalnya ibu hamil tidak boleh
memakan telur atau ikan nanti anaknya cacat dan sebagainya padahal
seorang ibu harus tetap konsumsi makanan bergizi seimbang terlebih khusus
selama masa kehamilan
13) Ketika pelaksanaan program khusus untuk ibu hamil, melahirkan dan nifas,
suami sering tidak dilibatkan.
14) Ketika ibu melahirkan, apalagi anak ke-2 dan seterusnya, suami dan
keluarga sering beranggapan itu adalah hal biasa yang memang harus
dilakukan oleh ibu sehingga kurang adanya pendampingan oleh keluarga
dan suami terlebih khusus untuk menentukan tempat melahikan yang aman
untuk bersalin.
b. Kesenjangan Gender Kesehatan Bayi dan Anak Faktor Penyebabnya
1) Anak laki-laki lebih diinginkan kehadirannya daripada anak perempuan.
Sekalipun kita tahu semua agama tidak membedakan jenis kelamin anak.
Namun karena kebanyakn laki-laki lebih tinggi status di masyarakat, maka
isu ketidaksetaraan gender muncul dari kuatnya keinginan orangtua untuk
mempunyai anak laki-laki dari pada anak perempuan.
2) Kekerasan fisik dan non fisik terhadap anak di dalam dan luar rumah tangga
karena anak memiliki fisik yang lemah, seperti mendapat ancaman, paksaan,
pemukulan, penipuan dan perdagangan terhadap anak-anak, kawin muda
atau dipaksa kawin pada anak-anak dibawah usia. sehingga secara
emosional anak-anak yang mengalami hal tersebut akan merasa terusik
batinnya.
3) Anak laki-laki dan perempuan tidak punya hak sekolah yang sama, lebih
banyak laki-laki memiliki peluang sekolah karena laki-laki dianggap tidak
perlu sekolah karena pada akhirnya menjadi ibu rumah tangga.
4) Zaman sekarang beban kerja juga sering diberikan pada anak-anak padahal
mereka belum cukup umur untuk harus melakukan pekerjaan-pekerjaan
yang berat yang dapat menghasilkan uang.
5) Pada masa kanak-kanak, sifat agresif anak laki-laki serta perilaku yang
mengandung resiko diterima sebagai suatu kewajaran, bahkan didorong
kearah itu, karena dianggap sebagai sifat anak laki-laki dibandingkan
dengan perempuan yang karena fisik yang lemah maka hanya melakukan
kegiatan-kegiatan yang sifatnya ringan.
6) Di masa balita, kematian karena kecelakaan lebih tinggi dialami oleh balita
laki-laki, karena sifatnya yang agresif dan lebih banyak gerak. Data Survey
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI 1991-2002/2003) menunjukkan :
tren kematian bayi lebih tinggi pada bayi laki-laki daripada bayi
perempuan.
7) Isu gender yang berkaitan dengan anak perempuan, antara lain : kawin muda
dan kehamilan dini, umumnya kehamilan di usia muda kurang baik karena
kekurangan nutrisi, seperti zat besi dapat mengakibatkan anemia yang dapat
mempengaruhi kesehatan ibu dan janinnya.Perkawinan dini pada anak dapat
memberi tanggung jawab dan beban melampaui usianya. Belum lagi jika
anak mengalami kehamilan, menempatkan mereka pada resiko tinggi
terhadap kematian.
8) Hak bayi yang kurang dalam mendapatkan pelayanan kesehatan seperti
Kunjungan Neonatal Pertama (KN1) menggunakan pendekatan Manajemen
Terpadu Balita Muda (MTBM), seperti asi ekslusif, konseling perawatan
bayi baru lahir di fasilitas kesehatan, pemberian vitamin K1 injeksi, dan
Hepatitis B0 injeksi bila belum diberikan dan Kunjungan Neonatal Lengkap
(KN lengkap) yang mengharuskan agar setiap bayi baru lahir memperoleh
pelayanan Kunjungan Neonatal minimal tiga kali sesuai standar di satu
wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Hal ini terjadi karena
kesibukan ibu sehingga menomorduakan kebutuhan dari bayinya sendiri.
9) Hak anak untuk di imunisasi secara lengkap di fasilitas kesehatan seperti
TBC, Difteri, Tetanus, Hepatitis B, Pertusis, Campak, Polio, radang selaput
otak, dan radang paru-paru. Hal ini perlu karena dengan imunisasi anak
akan terlindungi dari berbagai penyakit berbahaya, yang dapat
menimbulkan kecacatan atau kematian. Namun hal ini masih dianggap
bukan menjadi prioritas pada sebagian ibu. Karena ada anggapan bahwa
ketika diberi imunisasi anak menjadi demam sehingga ibu menjadi kuatir
dan tidak membawa anak untuk mendapatkan imunisasi secara lengkap.
10) Dalam beberapa adat tradisional, anak perempuan yang sudah masuk masa
akil balik (sudah menstruasi), sudah diharuskan untuk kawin, sedangkan
anak laki-laki masih bisa bebas

2.3. Kesetaraan gender dan keadilan gender dalam Kesehatan Ibu, bayi dan
anak
a. Kesetaraan gender dan keadilan gender dalam Kesehatan Ibu
1. Setiap ibu berhak memperoleh standar pelayanan kesehatan reproduksi yang
baik dan juga mendapatkan perhatian khusus dari seorang suami. Ibu perlu
bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan
kehidupan reproduksinya.
2. Ibu harus menikmati kemajuan IPTEK tentang fungsi reproduksi, kebebasan
berkumpul serta berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kehidupan
reproduksinya, serta Ibu memiliki kebebasan berkumpul serta berpartisipasi
dalam politik yang berkaitan dengan kehidupan reproduksinya.
3. Ibu juga perlu gizi yang baik sama dengan suami dan anak-anaknya, terutama
bagi ibu yang sedang hamil dan menyusui karena sangat berpengaruh pada
tumbuh kembang janin dan bayinya. ibu hamil perlu istirahat yang cukup oleh
kaena itu perlu membagi tanggung jawab dengan suami dalam hal pekerjaan
rumah tangga.

4. Setiap ibu memiliki hak untuk menentukan jumlah anak dan jarak antar
anak serta mendapatkan dukungan penuh dari suami dan keluarga karena
hal ini sangat sangat mempengaruhi kesehatan reproduksi ibu.

5. Membagi tanggung jawab dengan suami dalam hal pemeriksaan kehamilan


ke fasilitas kesehatan seperti ditemani oleh suami saat pergi melakukan
pemeriksaan.

6. Ibu perlu mengikuti kegiatan-kegiatan social di luar rumah yang dapat


menambah wawasan dan pengetahuannya tentang kesehatan reproduksi,
seperti Informasi tentang jarak kelahiran dan jumlah anak yang baik,
keuntungan menyusui bagi ibu dan bayinya, pentingnya melahirkan di
fasilitas kesehatan dan ditolong oleh tenaga kesehatan, serta informasi
pentingnya memperoleh gizi cukup selama kehamilan.
7. Perempuan berhak memperoleh hak kusus dan berhak memperoleh pelayanan
kesehatan yang dibutuhnkannya, yang memungkinkan sehat dan selamat
dalam menjalani kehamilan dan persalinan serta memperoleh bayi yang sehat
tanpa memandang jenis kelamin bayi tersebut.
8. Hubungan pasangan suami istri didasari atas penghargaan terhadap pasangan
masing-masing dilakukan dalam situasi kondisi yang diinginkan bersama
tanpa ada unsure pemaksaan, ancaman, dan kekerasan.
9. Pelayanan kesehatan yang didapat oleh perempuan dan anak-anak harus
sesuai dengan kebutuhan dan harapan, serta memberikan pilihan yang bebas
pada ibu selama kehamilan agar ibu tidak merasa tertekan dan bayinya pun
tetap sehat.
10. Dalam kehidupan rumah tangga ibu sangat berperan atau berpotensi sebagai
penentu mutu dari generasi, yakni anak-anak. Oleh karena itu sebaiknya
dalam sebuah rumah tangga tidak ada diskriminasi atau ketidakadilan antara
suami dan istri agar keluarga tetap harmonis dan anak-anak pun bahagia dan
tetap sehat
11. Seorang ibu seharusnya hamil pada usia 20-30 tahun. Karena pada usia
tersebut tubuh wanita telah siap, baik secara fisik maupun mental. Namun bila
ditilik dari beberapa budaya di beberapa daerah di Indonesia, budaya
mengawinkan anak di usia muda masih sering terjadi. Padahal, organ
reproduksi anak-anak, terutama anak permpuan, masih belum berfungsi
dengan sempurna. Dan lagi, secara mental, anak-anak belum siap untuk
berkeluarga.
12. Untuk menjaga kesehatan ibu dan anak, sebaiknya jarak antara anak pertama
dan kedua paling sedikit 2 tahun. Tapi yang biasa terjadi dalam keluarga, bila
ibu belum mendapatkan anak laki-laki, sang ibu harus berusaha lagi untuk
melahirkan anak laki-laki. Dan saat anak laki-laki tersebut sudah ada, anak
perempuan akan kurang diperhatikan. Padahal, jika ibu hamil lebih dari 4 kali,
ibu akan muadah menderita anemia, pendarahan pada waktu nifas dan
kemungkinan bayi meninggal.
13. Ibu hamil perlu memeriksakan kehamilan secara rutin, dan seharusnya ibu
didampingi oleh suami. Tapi yang terjadi adalah suami lebih sering
membiarkan istri pergi sendiri atau didampingi oleh saudara dan teman.
b. Kesetaraan gender dan keadilan gender dalam Kesehatan bayi dan anak
1) Setiap orang berhak memperoleh standar pelayanan kesehatan reproduksi
yang baik dan juga mendapatkan perhatian khusus dari seorang suami.
2) Perempuan berhak memperoleh hak kusus dan berhak memperoleh pelayanan
kesehatan yang dibutuhnkannya, yang memungkinkan sehat dan selamat
dalam menjalani kehamilan dan persalinan serta memperoleh bayi yang sehat
tanpa memandang jenis kelamin bayi tersebut.
3) Hubungan pasangan suami istri didasari atas penghargaan terhadap pasangan
masing-masing dilakukan dalam situasi kondisi yang diinginkan bersama
tanpa ada unsure pemaksaan, ancaman, dan kekerasan.
4) Pelayanan kesehatan yang didapat oleh perempuan dan anak-anak harus
sesuai dengan kebutuhan dan harapan, serta memberikan pilihan yang bebas
pada ibu selama kehamilan agar ibu tidak merasa tertekan dan bayinya pun
tetap sehat.
5) Dalam kehidupan rumah tangga ibu sangat berperan atau berpotensi sebagai
penentu mutu dari generasi, yakni anak-anak. Oleh karena itu sebaiknya
dalam sebuah rumah tangga tidak ada diskriminasi atau ketidakadilan antara
suami dan istri agar keluarga tetap harmonis dan anak-anak pun bahagia dan
tetap sehat
6) Dalam kehidupan bermasyarakat kaum perempuan dapat berperan dalam
perkembangan usaha kemasyarakatan sehingga lingkungan masyarakat
tersebut tetap sejahtera.
7) Peningkatan peran dan status kaum perempuan terbukti dapat berpengaruh
dalam penundaan usia perkawinan, dengan demikian fertilitas menurun. Bila
dibandingkan dengan kelompok 20-30 tahun risiko kematian maternal
kelompok umur <20 tahun adalah 2,6 kali dan 4 kali untuk kelompok.
8) Orang tua harus bersyukur dengan jenis kelamin anak yang sudah diberikan
oleh Tuhan, baik laki-laki ataupun perempuan. Tanpa adanya diskriminasi
terhadap jenis kelamin anak. Tetap memberikan kasih saying dan perawatan
yang baik untuk tumbuh kembang anak.
9) Anak perlu perhatian dan kasih saying yang lebih dari orang tua dengan tidak
ada kekerasan fisik dan non fisik terhadap anak di dalam dan luar rumah
sehingga anak tidak memiliki fisik dan mental yang lemah.
10) Anak laki-laki dan perempuan mempunyai hak sekolah yang sama, tidak ada
diskriminasi dalam hal Pendidikan anak. Setiap anak berhak untuk sekolah
sampai ke jenjang manapun sesuai dengan cita-citanya. Tugas anak-anak
adalah belajar dan bermain, tidak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berat
yang menghasilkan uang. Karena dapat merusak pola piker anak yang hanya
memikirkan untuk mendapatkan banyak uang.
11) Pada anak perempuan harus dididik dan dijaga dengan baik oleh orang tua
agar tidak terjadi kawin muda dan kehamilan dini. Umumnya kehamilan di
usia muda kurang baik karena kekurangan nutrisi, seperti zat besi dapat
mengakibatkan anemia yang sangat berpengaruh padakesehatan ibu dan
janinnya. Perkawinan dini pada anak dapat memberi tanggung jawab dan
beban melampaui usianya. Belum lagi jika anak mengalami kehamilan,
menempatkan mereka pada resiko tinggi terhadap kematian.
12) Hak bayi dalam mendapatkan pelayanan kesehatan seperti Kunjungan
Neonatal Pertama (KN1) menggunakan pendekatan Manajemen Terpadu
Balita Muda (MTBM), seperti asi ekslusif, konseling perawatan bayi baru
lahir di fasilitas kesehatan, pemberian vitamin K1 injeksi, dan Hepatitis B0
injeksi bila belum diberikan dan Kunjungan Neonatal Lengkap (KN lengkap)
yang mengharuskan agar setiap bayi baru lahir memperoleh pelayanan
Kunjungan Neonatal minimal tiga kali sesuai standar di satu wilayah kerja
pada kurun waktu satu tahun.
13) Hak anak untuk di imunisasi secara lengkap di fasilitas kesehatan seperti
TBC, Difteri, Tetanus, Hepatitis B, Pertusis, Campak, Polio, radang selaput
otak, dan radang paru-paru. Hal ini perlu karena dengan imunisasi anak akan
terlindungi dari berbagai penyakit berbahaya, yang dapat menimbulkan
kecacatan atau kematian.
SIMPULAN
1. Keberhasilan upaya kesehatan ibu, di antaranya dapat dilihat dari indikator
Angka Kematian Ibu (AKI). AKI adalah jumlah kematian ibu selama masa
kehamilan, persalinan dan nifas yang disebabkan oleh kehamilan, persalinan,
dan nifas atau pengelolaannya tetapi bukan karena sebab-sebab lain seperti
kecelakaan, terjatuh, dll di setiap 100.000 kelahiran hidup.
2. Pada tahun 2012 Kementerian Kesehatan meluncurkan program Expanding
Maternal and Neonatal Survival (EMAS) dalam rangka menurunkan angka
kematian ibu dan neonatal sebesar 25%. Program EMAS berupaya
menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian neonatal dengan cara :
1) meningkatkan kualitas pelayanan emergensi obstetri dan bayi baru lahir
minimal di 150 Rumah Sakit PONEK dan 300 Puskesmas/Balkesmas
PONED); dan 2) memperkuat sistem rujukan yang efisien dan efektif antar
puskesmas dan rumah sakit
3. Kesenjangan pada perempuan dalam mengambil keputusan, kaitannya dengan
kesehatan dirinya, misalnnya: menentukan kapan hamil dan dimana akan
melahirkan. Hal tersebut berhubungan dengan kedudukan perempuan yang
lemah di keluarga dan masyarakat.
4. Kesejangan pada anak dimana anak laki-laki lebih diinginkan kehadirannya
daripada anak perempuan. Sekalipun kita tahu semua agama tidak
membedakan jenis kelamin anak. Namun karena kebanyakn laki-laki lebih
tinggi status di masyarakat, maka isu ketidaksetaraan gender muncul dari
kuatnya keinginan orangtua untuk mempunyai anak laki-laki dari pada anak
perempuan. Kekerasan fisik dan non fisik terhadap anak di dalam dan luar
rumah tangga karena anak memiliki fisik yang lemah, seperti mendapat
ancaman, paksaan, pemukulan, penipuan dan perdagangan terhadap anak-
anak, kawin muda atau dipaksa kawin pada anak-anak dibawah usia. sehingga
secara emosional anak-anak yang mengalami hal tersebut akan merasa terusik
batinnya.
5. Kesetaraan gender pada perempuan dimana Setiap ibu berhak memperoleh
standar pelayanan kesehatan reproduksi yang baik dan juga mendapatkan
perhatian khusus dari seorang suami. Ibu perlu bebas dari segala bentuk
diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan kehidupan reproduksinya.
6. Kesetaraan gender bagi anak dimana anak perlu perhatian dan kasih saying
yang lebih dari orang tua dengan tidak ada kekerasan fisik dan non fisik
terhadap anak di dalam dan luar rumah sehingga anak tidak memiliki fisik
dan mental yang lemah. Anak laki-laki dan perempuan mempunyai hak
sekolah yang sama, tidak ada diskriminasi dalam hal Pendidikan anak. Setiap
anak berhak untuk sekolah sampai ke jenjang manapun sesuai dengan cita-
citanya. Tugas anak-anak adalah belajar dan bermain, tidak untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan berat yang menghasilkan uang. Karena dapat merusak
pola piker anak yang hanya memikirkan untuk mendapatkan banyak uang.
REFERENSI

Dwi Marianti, M. (2009). KESEHATAN REPRODUKSI (Teori dan Praktek).


Yogyakarta: Nuha Medika.
Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto, (ed).1998. Wanita dan Media. Bandung:
Remaja Rosdakarya

Artikel tentang Bentuk Dan Faktor Kesenjangan Gender Oleh Yunindyawati (diakses
pada 27 maret 2017)
Illich, Ivan.2009. Matinya Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Kemenkes 2016. Profil Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Kementrian


Kesehatan

Dinas Kesehatan. 2015. Profil Kesehatan Provinsi NTT. Kupang: Dinas Kesehatan
Provinsi

Lampiran Pertanyaan

1. Apa yang dimaksud dengan kesetaraan gender ?


a. konsep budaya yang berupaya untuk membuat perbedaan antara laki-laki
dan perempuan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik
emosional
b. tidak adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin seseorang dalam
memperoleh kesempatan dan alokasi sumber daya, manfaat atau dalam
mengakses pelayanan
c. keadilan pendistribusian manfaat dan tanggung jawab perempuan dan
laki-laki
d. keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau
lebih utama disbanding jenis kelamin lainnya.
2. Diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia secara normative telah
dihapuskan berdasarkan atas
a. UUD RI tahun 1945
b. UU No.7 Thun 1984
c. UU No. 7 tahun 1948
d. UU kesehatan No. 36 tahun 2009
3. Pada tahun berapakah Konferensi Perempuan se-Dunia ke-4 di Beijing yang
menghasilkan Deklarasi dan Platform aksi Beijing mencerminkan komitmen
terhadap tujuan kesetaraan, pengembangan dan perdamaian bagi seluruh
perempuan di dunia dilaksanakan ?
a. 1995
b. 1959
c. 1955
d. 1999
4. Berikut ini yang termasuk dalam masalah perempuan dan anak di Indonesia,
kecuali
a. Kekerasan fisik dan non fisik di dalam dan luar rumah tangga
b. Human trafficking
c. Safe motherhood
d. Child sexs tourism
5. Berikut yang termasuk factor penyebab kesenjangan adalah, kecuali
a. Serotype
b. Marginalisasi
c. Universal
d. Subordinasi
6. Contoh Kesenjangan gender dalam kesehatan ibu, bayi, dan anak
a. Keluarga yang sering mengutamakan perempuan
b. Pemberian makanan bergizi utnuk tumbuh kembang bayi
c. Ketidakmampuan perempuan dalam mengambil keputusan
d. Adanya dukungan keluarga dalam perkembangan dan pertumbuhan anak
7. Berikut yang termasuk hak kesehatan reproduksi perempuan, kecuali
a. Perempuan wajib menggunakan alat kontrasepsi
b. pilihan bebas melahirkan
c. Melahirkan tidak dibatasi atas dasar tatanan social
d. Membagi tanggung jawab dengan suami
8. Dibawah ini yang termasuk contoh kesetaraan dan keadilan gender dalam
kesehatan ibu, bayi dan anak dalam kehidupan sehari-hari
a. Sikap dan perilaku keluarga yang cenderung mengutamakan laki-laki
b. ibu, bayi dan anak berhak memperoleh hak kusus dan berhak
memperoleh pelayanan kesehatan
c. perempuan berperan aktif dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangaa
d. Ketidakmampuan perempuan dalam mengambil keputusan

Anda mungkin juga menyukai