BATUK DARAH
Disusun Oleh :
Pembimbing :
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas selesainya
Referat yang penulis buat sebagai salah satu syarat untuk mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Forensik dan Medikolegal
Rumah Sakit Umum Daerah Embung Fatimah Batam dengan judul
Perkiraan Lama Kematian.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Reinhard J.D. Hutahaean
S.H., Sp.F,. M.M. atas bimbingan dan arahannya sehingga penulis bisa
menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan dan penyusunan
rerefat ini terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan referat ini. Akhir kata,
penulis berharap agar referat ini memberi manfaat kepada semua pihak.
Penulis
KATA PENGANTAR
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 3
2.1 Anatomi dan Fisiologi Vaskularisasi Paru..................................................... 3
2.2 Definisi........................................................................................................... 4
2.3 Etiologi........................................................................................................... 4
2.4 Patofisiologi................................................................................................... 6
2.5 Klasifikasi...................................................................................................... 9
2.6 Manifestasi Klinis.......................................................................................... 10
2.7 Penegakan diagnosis...................................................................................... 12
2.8 Penatalaksanaan.. 15
2.9 Komplikasi.. 19
2.10 Prognosis.. 20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................37
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Bronkus, jaringan ikat paru dan pleura visceralis menerima darah dari arteri
bronchial yang merupakan cabang dari aorta descendens. Vena bronchiales (yang
berhubungan dengan vena pulmonales) mengalirkan darahnya kevena azigos dan
vena hemiazigos4,5.
Alveoli menerima darah terdeoksigenasi dari cabang-cabang terminal arteri
pulmonalis.darah yang teroksigenasi meninggalkan kapiler-kapiler alveoli masuk
kecabang-cabang vena pulmonalis yang mengikuti jaringan ikat septa
intersegmentalis keradix pulmonalis4,5.
1. Sirkulasi bronkial :
a. nutrisi pada paru dan saluran napas
b. tekanan pembuluh darah sistemik
c. cenderung terjadi perdarahan lebih hebat
2. Sirkulasi pulmonar
a. mengatur pertukaran gas
b. tekanan rendah
2.2 Definisi
Batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak yang berdarah, berasal
dari saluran nafas di bawah pita suara. Sinonim batuk darah ialah hemoptoe atau
hemoptisis.4Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala dari penyakit
yang mendasari sehingga etiologinya harus dicari melalui pemeriksaan yang
seksama.5
Hemoptisis merupakan salah satu bentuk kegawatan paru yang paling
sering terjadi diantara bentuk-bentuk klinis lainnya. Tingkat kegawatan dari
hemoptisis ditentukan oleh 3 faktor:
a. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah di dalam saluran
pernapasan. Terjadinya asfiksia ini tidak tergantung pada jumlah perdarahan
yang terjadi, akan tetapi ditentukan oleh reflek batuk yang berkurang atau
terjadinya efek psikis dimana pasien takut dengan perdarahan yang terjadi.
b. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptisis dapat
menimbulkan renjatan hipovolemik (hypovolemic shock). Bila perdarahan yang
terjadi cukup banyak, maka hemoptisis tersebut digolongkan ke dalam
hemoptisis masif walaupun terdapat beberapa kriteria, antara lain:
1) Kriteria Yeoh (1965) menetapkan bahwa hemoptisis masif terjadi apabila
jumlah perdarahan yang terjadi adalah sebesar 200 cc/24 jam.
2) Kriteria Sdeo (1976) menetapkan bahwa hemoptisis masif terjadi apabila
jumlah perdarahan yang terjadi lebih dari 600 cc/24 jam.
c. Adanya pneumonia aspirasi, yaitu suatu infeksi yang terjadi beberapa jam atau
beberapa hari setelah perdarahan. Keadaan ini merupakan keadaan yang gawat,
oleh karena baik bagian jalan napas maupun bagian fungsionil paru tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya akibat terjadinya obstruksi total.6
2.3 Etiologi
2.4 Patofisiologi
2.5 Klasifikasi
Kriteria yang paling banyak dipakai untuk hemoptisis masif yang diajukan
Busroh (1978) :9
1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam
pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan
tetapilebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%,
sedangkanbatuk darahnya masih terus berlangsung.
3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan
tetapilebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi
selamapengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan konservatif batuk
darahtersebut tidak berhenti.
1. Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam hal batuk darah adalah:7,10
b. Lamanya perdarahan.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Foto toraks dalam posisi PA dan lateral hendaklah dibuat pada setiap
penderitahemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan
tempatperdarahannya.2 Pemeriksan foto thoraks merupakan salah satu
komponen penting dalam pemeriksaan untuk mengetahui penyebab
perdarahan terutama kelainan parenkim paru, misalnya pemeriksaan
dengan kaviti, tumor, infiltrat dan atelektasis. Perdarahan intra-alveolar
menimbulkan pola infiltrat retikulonedular. Namun demikian gambaran
foto thoraks bisa normal ataupun tidak informatif.12
b. Pemeriksaanbronkografi untuk mengetahui adanya bronkiektasis, sebab
sebagian penderita bronkiektasis sukar terlihat pada pemeriksaan X-foto
toraks.4
c.
Pemeriksaan dahak baik secara bakteriologi maupun sitologi (bahan dapat
diambil dari dahak dengan pemeriksaan bronkoskopi atau dahak
langsung).4 Pemeriksaan sputum yang dapat dilakukan adalah untuk
pemeriksaan bakteri pewarnaan gram, basil tahan asam (BTA).
Pemeriksaan dahak sitologi dilakukan apabila penderita berusia >40 tahun
dan perokok. Biakan kuman juga dapat dilakukan terutama untuk BTA dan
jamur.12
d. Laboratorium11
a. Pemeriksaan darah tepi lengkap
i. Peningkatan Hb dan Ht kehilangan darah yang akut
ii. Leukosit meningkat infeksi
iii. Trombositopenia koagulopati
iv. Trombositosis kanker paru
b. CT dan BT; PT dan APTT jika dicurigai adanya koagulopati atau pasien
menerima warfarain/heparin
c. Analisa gas darah arterial harus diukur jika pasien sesak yang jelas dan
sianosis.
e. Pemeriksaan bronkoskopi
Bronkoskopi dilakukan untuk menentukan sumber perdarahan dan
sekaligus untuk penghisapan darah yang keluar, supaya tidak terjadi
penyumbatan. Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena
dengan demikian sumber perdarahan dapat diketahui.2,4
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah : 2
1) Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
2) Batuk darah yang berulang
3) Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan
diagnosis, lokasiperdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu
yang tepat untukmelakukannya merupakan pendapat yang masih
kontroversial, mengingatbahwa selama masa perdarahan, bronkoskopi
akan menimbulkan batuk yanglebih impulsif, sehingga dapat memperhebat
perdarahan disampingmemperburuk fungsi pernapasan. Lavase dengan
bronkoskop fiberoptik dapatmenilai bronkoskopi merupakan hal yang
mutlak untuk menentukan lokasiperdarahan.2
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop
serat optikjauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal sangat
bermanfaat dalammembersihkan jalan napas dari bekuan darah serta
mengambil benda asing,disamping itu dapat melakukan penamponan
dengan balon khusus di tempatterjadinya perdarahan.2
2.8 Penatalaksanaan
2.9 Komplikasi
2.10 Prognosis
BAB III
KESIMPULAN
1. Hemoptisis merupakan salah satu gejala pada penyakit paru saluran
pernapasan dan atau kardiovaskuler yang disebabkan oleh berbagai macam
etiologi.
2. Untuk mengetahui penyebab batuk darah kita harus memastikan bahwa
perdarahan tersebut berasal dari saluran pernafasan bawah, dan bukan berasal
dari nasofaring atau gastrointestinal.
3. Pada umumnya hemoptosis ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan
biasanya berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis
yang masif.
4. Tujuan pokok terapi hemoptisis ialah mencegah asfiksia, menghentikan
perdarahan dan mengobati penyebab utama perdarahan
5. Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala dari penyakit dasar
sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih teliti.
6. Pada prinsipnya penanganan hemoptisis ditujukan untuk memperbaiki
kondisi kardiopulmoner dan mencegah semua keadaan yang dapat
menyebabkan kematian. Penanganan tersebut dilakukan secara konservatif
maupun dengan operasi, tergantung indikasi serta berat ringannya hemoptisis
yang terjadi.
7. Prognosis dari hemoptisis ditentukan oleh tingkatan hemoptisis, macam
penyakit dasar dan cepatnya tindakan yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
3. Swanson KL, Johnson CM, Prakash UB, McKusick MA, Andrews JC,
Stanson AW.Bronchial artery embolization, experience with 54 patients. Chest
2002; 121: 789-95.
8. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. Tuberkulosis paru dalam buku at a
glance Sistem respirasi. Jakarta: Erlangga; 2008.hal.80-81.
9. Snell, SS. Thorak dalam buku anatomi klinik. Jakarta: EGC; 2009.Hal : 94-95
10. Eddy, JB. Clinical assessment and management of massive hemoptysis. Crit
Care Med 2010; 28(5):1642-7
12. Kosasih A., Susanto AD., Pakki TR., Martini T., Diagnosis dan tatalaksana
kegawatdaruratan paru dalam praktek sehari-hari, Jakarta : Sagung Seto, 2008.
Hal 1-15.