Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN

PRAKTIKUM GENETIKA
KEANEKARAGAMAAN HEWAN

Nama : Azat Sudrajat


NIM : 1157020011
Kelas/Kelompok : Biologi A/ 6 (Enam)
Dosen : Opik Taupiqurahman, S.Si., M. Biotek.
Asisten Praktikum : Afriansyah F.
Tgl. Praktikum : 2 Maret 2017
Tgl. Masuk Laporan : 8 Maret 2017

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2017M/ 1348 H
III. HASIL & PEMBAHASAN

Tabel 1. Pengamatan Morfologi

No Karakteristik SP1 SP2 SP3


1 Warna Tubuh Hitam Hitam Putih
2 Bentuk Bulat Simetris Simetris
3 Kaki Renang 1 pasang 5 Pasang 4 Pasang
4 Kaki Jalan 2 pasang 6 Pasang 4 Pasang
5 Tubuh menyatu antara kaki dan Ada Tidak ada Tidak ada
kepala
6 Antena Tidak ada 1 pasang 1 Pasang
7 Jumlah segmen abdomen 5 6 6
8 Bentuk mata Oval Bulat Bulat
9 Jumlah Carapace Ada Tidak ada Tidak ada
10 Ekor Tidak ada ada ada

Keterangan: - SP1: Rajungan Bulat (Portunus Pelagicus)


- SP2: Udang Pancet (Penacus Monodon)
- SP3: Lobster hias (Procambarus Clarkii)

Tabel 2. Perbandingan

No SP1 SP2 SP3


1 0 0 1
2 0 1 1
3 0 1 1
4 1 0 1
5 0 1 1
6 0 1 1
7 0 1 1
8 0 1 1
9 0 1 1
10 0 1 1
Jumla 1 8 10
h
Perhitungan Matriks
Indeks Kesamaan
S = 2C X 100
%
A+
B
Keterangan: - C : Kesamaan
- A + B : jumblah spesies versus
Perhitungan matriks 1:
2 (0)
SP1 Vs SP2 = S = x 100
1+8

= 0%
2 (1)
SP1 Vs SP3 = S = x 100
1+10

= 18%
2 ( 8)
SP2 Vs SP3 = S = x 100
8+10

= 88%

Tabel 3. Perbandingan Metriks 1


SP1 SP2 SP3
SP1 * 0% 18
%
SP2 * * 88
%
SP3 * * *
Nilai tertinggi nya adalah SP2 Vs SP1

4. Perhitungan matriks 2

SP (2,3) Vs SP1
( SP 2 x SP 1 ) + SP3 x SP 1 0+18
= =9
2 2

Tabel 4. Perbandingan Matriks 2

SP2,3 SP1
SP2,3 * 9%
SP1 * *

Grafik 1. Dendogram

Berdasarkan dendogram tersebut, dapat diketahui bahwa Pancus


monodor dan Procamborus clarkii memiliki tingkat kekerabatan sedekat 88%.
Ini disebabkan keduanya merupakan jenis udang-udangan, dimana memiliki
kesamaan yang cukup banyak dibandingkan dengan Portunus pelagicus.
Persamaan tersebut antara lain bentuk tubuh, jumlah kaki renang dan jalan,
persatuan abdomen-chephaltorax, bentuk mata, jumlah segmen dan jumlah
antenna (tabel 5).
Portunus pelagicus hanya memiliki tingkat kekerabatan 9% dengan
kedua specimen lainnya. Hal ini disebabkan persamaan yang dimiliki oleh
spesies ini terhadap dua lainnya sedikit. Diantara perbedaannya ialah
ketidadaan ekor, bentuk tubuh, antenna, jumlah kaki renang dan jalan,
segmen abdomen, hingga bentuk tubuh (tabel 5).
Analisa kekerabatan ini berdasarkan atas pengamatan morfologi.
Morfologi sangat berperan dalam penganalisaan kekerabatan. Sebab,
kesamaan dalam morfologi pada suatu specimen merupakan tolak ukur dari
kesamaan genus, ordo hingga kingdomnya. Kesamaan morfologi pada suatu
specimen terhadap specimen lain yang menandakan kedekatan kekerabatan
disebabkan banyak factor seperti evolusi ataupun adaptasi morfologi.
Morfologi sangat berperan dalam penentuan keanekaragaman hayati
terutama hewan. Semakin banyak perbedaan yang terdapat pada suatu
organisme terhadap lainnya, maka semakin banyak pula
keanekaragamannya. Meskipun kini dalam pengidendifikasian tingkat
kekerabatan lebih akurat dengan menggunakan molekuler. Ini dikarenakan
perbedaan morfologi yang tidak mutlak yang disebabkan adaptasi-adaptasi
dari organisme.

Tabel 5. Hasil dan Klasifikasi Crustacea


N Foto Spesies Klasifikasi
o
1 Udang Pancet (Penaeus Kingdom : Animalia
monodon) Phyllum : Arthropoda
Class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Family : Penaeidae
Genus : Penaeus
Species : Penaeus monodon
Fabricus
(Dok. Pribadi, 2017)
(Purnamasari, 2008)
2 Lobster Hias (Procambarus Kingdom : Animalia
clarkii) Phylum : Arthropoda
Class : Malacostraca
Order : Decapoda
Family : Cambaridae
Genus : Procambarus
Species : Procambarus clarkii
(Pedto , et., al, 2005).

(Dok. Pribadi, 2017)


3 Rajungan Bulat (Portunus Kingdom : Animalia
pelagicus) Phyllum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Portunus
Spesies : Portunus pelagicus
(Prianto, 2007)
(Dok. Pribadi, 2017)

Sehingga, dalam upaya pengetahuan akan kekerabatan ini dikenal


dengan Taksonomi. Adisoemarto (2006), menjelaskan taksonomi adalah
suatu cara upaya manusia untuk mengenal makhluk di sekitarnya dalam
skala kecil, dan makhluk di dunia dalam skala besar. Pada awalnya, tujuan ini
dikembangkan karena adanya kebutuhan manusia untuk memanfaatkan
makhluk yang ada di sekitarnya. Pengembangan ini lama kelamaan menjadi
suatu sistem universal yang didasarkan kaidah yang makin lama makin
mantap. Taksonomi menjadi ilmu yang canggih, tetapi yang harus
dipertahankan agar tidak lepas dari akar perkembangannya.
Dari proses taksonomi diperoleh beberapa hasil, di antaranya adalah
diberikannya nama ilmiah (dalam Bahasa Latin) pada setiap spesies makhluk
dan penataannya dalam klasifikasi. Kekeliruan yang melekat pada
pemahaman ini terletak pada keterbatasan hanya mengenal nama makhluk
dan menghafal tatanan dalam klasifikasi. Kedua aspek ini, secara keliru telah
dikembangkan menjadi seolah-olah taksonomi adalah suatu disiplin yang
dipusatkan untuk mengetahui nama dan susunan klasifikasi makhluk
(Adisoemarto, 2003). Dengan demikian, tingkat keanekaragaman hayati
terutama hewan dapat diukur dengan taksonomi.
Dalam pengidentifikasian tingkat keanekaragaman digunakan metode-
metode baik kuantitatif maupun kaulitatif. Berdasar dari peneletian oleh
Pratiwi dan Astuti (2012), Pengambilan contoh (sample) dan data di
lapangan dilakukan menggunakan metode sampling koleksi bebas dengan
cara membongkar batu-batu, membongkar batang pohon yang lapuk,
menggali pasir dan mengoleksi krustasea di akar dan di batang mangrove.
Lokasi dimana didapatkan krustasea dicatat menggunakan GPS dan difoto
secara langsung menggunakan kamera Cannon. Krustasea yang sulit
ditangkap, dicatat dan dilakukan pemotretan. Sampel dimasukkan ke dalam
botol contoh atau kantong plastik dan diawetkan dengan alkohol 70%.
Semua biota yang dikoleksi dibawa ke laboratorium diidentifikasi dengan
Holthuis, Hall, Sakai, Burukovskii, Brower, Ng Peter dan Rahayu dan Setyadi
serta dihitung jumlah individunya dan dianalisa dengan cara mengitung
Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman dan Indeks Dominansi
menggunakan rumus Shannon-Wiener. Untuk mengukur kelimpahan
dilakukan pengambilan sampel secara acak menggunakan bingkai 20 x 20
cm di daerah sample.
Data jenis yang ditemukan pada petak-petak pengamatan digunakan
untuk menghitung frekuensi, data jumlah pohon pada petak-petak
pengamatan digunakan untuk menghitung kerapatan. Untuk mengetahui
kesamaan komposisi jenis digunakan nilai indeks kesamaan jenis cara
Jaccard, untuk mengetahui tingkat penguasaan jenis digunakan nilai indeks
dominansi jenis, untuk mengetahui keanekaragaman jenis dihitung
berdasarkan rumus indeks diversitas dari Shannon-Wienne (Mawazzin dan
Subiakto, 2013). Pada penghitungannya, terdapat factor indeks Sorensen.
Indeks Sorensen merupakan tingkat atau nilai kesamaan pada sampel. Untuk
mengetahui indeks kesamaan jenis antar dua komunitas contoh yang
berbeda dihitung dengan rumus Sorenson (1948) dalam Odum (1996):
S 2C/(ABC) Dimana:
S = Indeks kemiripan komunitas
A = Jumlah jenis pada hutan bekas tebangan
B = Jumlah jenis pada hutan yang belum ditebang
C = Jumlah jenis yang terdapat pada hutan yang belum ditebang dan hutan
bekas tebangan.
Semakin besar nilai indeks kesamaan komunitas (S), maka kesamaan jenis
kedua komunitas yang dibandingkan semakin seragam komposisi jenisnya.
Tingkat keanekaragaman suatu wilayah dipengaruhi oleh beberapa
factor yang meliputi abiotic dan biotik. Menurut Christanto (2017), yang
termasuk faktor fisik (abiotik) adalah iklim (suhu, kelembaban udara, angin),
air, tanah, dan ketinggian, dan yang termasuk faktor non fisik (biotik) adalah
manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Namun, secara luas dan langsung
factor yang menyebabka keanekaragaman hayati secara luas berupa ekologi
dan distribusi. Sebagaimana Adisoemarto (2006), mengungkapkan
keanekaragaman spesies fauna terjadi karena beberapa faktor, sehingga
terbentuk keanekaragaman yang terpolakan dalam distribusinya, yang
tergolong dalam dua aspek, yaitu spatial (berdasarkan ruangan/tempat),
yang disebabkan oleh faktor geografi dan/atau oleh faktor ekologi, serta
temporal, dengan dimensi waktu. Faktor-faktor ini terserap ke dalam setiap
spesies dan terkembang untuk membentuk ciri dan sifat masingmasing
spesies.
Keanekaragaman ini tidak lepas atas sejarah perkembangan fauna.
Christanto (2017), menceritakan Sejarah terbentuknya daratan di Indonesia
berawal pada zaman es. Pada awal zaman es tersebut, suhu permukaan
bumi turun sehingga permukaan air laut menjadi turun. Pada masa itu,
wilayah Indonesia bagian Barat yang disebut juga Dataran Sunda masih
menyatu dengan Benua Asia,sedangkan Indonesia bagian Timur yang
disebut juga Dataran Sahul menyatu dengan Benua Australia. Dataran Sunda
dan Dataran Sahul juga masih berupa daratan belum dipisahkan oleh laut
dan selat. Keadaan tersebut menyebabkan keanekaan flora dan fauna di
Indonesia bagian Barat seperti Jawa, Bali Kalimantan, dan Sumatera pada
umumnya menunjukkan kemiripan dengan flora di Benua Asia. Begitu pula
denga flora dan fauna di Indonesia bagian Timur seperti Irian Jaya dan pulau-
pulau disekitarnya pada umumnya mempunyai kemiripan dengan flora dan
fauna di benua Australia. Jadi Indonesia pada masa itu menjadi jembatan
penghubung persebaran hewan dari Asia dan Australia. Kemudian, pada
akhir zaman es, suhu permukaan bumi naik sehingga permukaan air laut
naik kembali. Naiknya permukaan air laut mengakibatkan Jawa terpisah
dengan Benua Asia, kemudian terpisah dari Kalimantan dan terakhir dari
Sumatera. Selanjutnya Sumatera terpisah dari Kalimantan kemudian dari
Semenanjung Malaka dan terakhir Kalimantan terpisah dari Semenanjung
Malaka. Seorang berkebangsaan Inggris bernama Wallace mengadakan
penelitian mengenai penyebaran hewan di Indonesia. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada perbedaan hewan di Indonesia bagian Barat
dengan hewan di Indonesia bagian Timur. Batasnya di mulai dari Selat
Lombok sampai ke Selat Makasar. Oleh sebab itu garis batasnya dinamakan
garis Wallace. Batas ini bersamaan pula dengan batas penyebaran binatang
dan tumbuhan dari Asia ke Indonesia.
IV. KESIMPULAN
Berdasarakan pengamatan kali ini dapat diketahui Pancus monodor dan
Procamborus clarkii memiliki tingkat kekerabatan sedekat 88%. Portunus
pelagicus hanya memiliki tingkat kekerabatan 9% dengan kedua specimen
lainnya. Kesamaan morfologi pada suatu specimen terhadap specimen lain
yang menandakan adanya kedekatan kekerabatan. Taksonomi adalah suatu
cara upaya manusia untuk mengenal makhluk di sekitarnya dalam skala
kecil, dan makhluk di dunia dalam skala besar. Dari proses taksonomi
diperoleh beberapa hasil, di antaranya adalah diberikannya nama ilmiah
(dalam Bahasa Latin) pada setiap spesies makhluk dan penataannya dalam
klasifikasi. Pada penghitungan tingkat keanekaragaman, terdapat factor
indeks Sorensen yang merupakan tingkat atau nilai kesamaan pada
spesimen. Tingkat keanekaragaman suatu wilayah dipengaruhi oleh
beberapa factor yang meliputi abiotic dan biotik, faktor geografi dan/atau
oleh faktor ekologi, serta temporal, dengan dimensi waktu.

DAFTAR PUSTAKA
Adisoemarto, S. 2003. Membumikan Taksonomi : Mengapa Harus
Dibumikan Dan Bagaimana Membumikannya. Makalah Kunci Pada
Semi-Loka Membumikan Taksonomi, Di UKSW Salatiga, 22 Maret
2003.
Adisoemarto, S. 2006. Penerapan dan Pemanfaatan Taksonomi Untuk
Mendayagunakan Fauna Daerah. Zoo Indonesia. 15(2): 87 100.
Christanto, I. 2017. Flora dan Fauna. UPI. Bandung.
Mawazzin Dan Subiakto. 2013. Species Diversity And Composition Of
Logged Over Peat Swamp Forest In Riau. Forest Rehabilitation Journal.
1(1): 59-73
Odum, E.P. (1996). Dasar-Dasar Ekologi (T. Samingan, Terjemahan). Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Pedto M. Anastacio, Vasco S. Parente dan Alexandra M. Correia. 2005.
Crayfish Effects On Seeds And Seedlings: Identification And
Quantification Of Damage. Freshwater Biology. Vol. 50 (4): 697704.
Pratiwi, R., Dan Astuti, O. 2012. Biodiversitas Krustasea (Decapoda,
Brachyura, Macrura) Dari Ekspedisi Perairan Kendari 2011. Ilmu
Kelautan. 17 (1): 8-14.
Prianto, E. 2007. Peran Kepiting sebagai Spesies Kunci (Keystone Spesies)
pada Ekosistem Mangrove. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia
IV. Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Banyuasin.
Purnamasari, G.H. 2008. Analisis Permintaan Benur Udang Windu Di
Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Skripsi. IPB.
Bogor.

Anda mungkin juga menyukai