Anda di halaman 1dari 20

TUGAS ILMU PENYAKIT DALAM

REFERAT
Demam Tifoid

Perceptor:
dr. Rina Kriswiastiny, Sp.PD

Oleh:

M Agung Yudistira Permana, S.Ked


Noviyanti C H, S.Ked

KEPANITERAAN KLINIK SMF PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT DR.H. ABDUL MOELOEK LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2017

1
BAB I

Pendahuluan

1.1. Latar belakang

Tifus abdominalis atau demam tifoid merupakan infeksi demam sistemik akut.

Demam ini disebabkan oleh bakteri patogen Salmonellae typhi yang secara

morfologi identik dengan Escherichia coli. Walaupun patogen kuat, kuman ini

tidak bersifat piogenik, namun bersifat menekan pembentukan sel

polimorfonuklear dan eosinofil. Sumber infeksi S. typhi umumnya manusia, baik

orang sakit maupun orang sehat yang dapat menjadi pembawa kuman. Infeksi

umumnya disebarkan melalui jalur fekal-oral dan berhubungan dengan higienis

dan sanitasi yang buruk yaitu melalui makanan yang terkontaminasi kuman yang

berasal dari tinja, kemih atau pus yang positif terkontaminasi oleh bakteri.

Penyebaran umumnya terjadi melalui air atau kontak langsung, oleh karena itu

pencegahan harus diusahakan melalui perbaikan sanitasi lingkungan, kebiasaan

makanan, MCK (Mandi, Cuci, Kakus), dan pendidikan kesehatan di puskesmas

dan posyandu.

Penyebab demam tifoid secara klinis hampir selalu Salmonella yang beradaptasi

pada manusia maka sebagian besar kasus dapat ditelusuri pada karier manusia.

Penyebab yang terdekat kemungkinan adalah air (jalur yang paling sering) atau

makanan yang terkontaminasi oleh karier manusia. Carrier adalah orang yang

sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi Salmonella typhi dalam

feses dan urine selama > 1 tahun. Karier menahun umumnya berusia lebih dari 50

2
tahun, lebih sering pada perempuan, dan sering menderita batu empedu. S. typhi

biasanya akan dorman di empedu, bahkan di dalam batu empedu, dan secara

intermiten mencapai lumen usus dan diekskresikan ke feses, sehingga

mengkontaminasi air atau makanan.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Etiologi

Salmonella merupakan genus dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella

berbentuk batang, gram negatif, anaerob fakultatif, tidak berkapsul dan hampir

selalu motil dengan menggunakan flagela, yang menimbulkan dua atau lebih

bentuk antigen-H. Selain antigen H, ada 2 polisakarida antigen permukaan yang

membantu mengkarakteristikan Salmonella Thypi. Antigen yang pertama yaitu

antigen O somatik yang terlibat dalam sero-grouping (S. typhi termasuk sero-

grouping D) dan antigen yang satu lagi adalah antigen Vi (virulen) capsular yang

berhubungan dengan resistensi terhadap lisis yang dimediasi oleh komplemen dan

resistensi terhadap aktivasi komplemen oleh jalur yang lain. / melindungi O

antigen terhadap fagositosis. Etiologi lainnya : Salmonella paratyphi A, B, C.

2.2. Patogenesis

Setelah tertelan inokulum yang sesuai, S. typhi melintasi sawar lambung mencapai

usus halus. Infeksi manusia secara eksperimental dengan strain Quailes telah

menyatakan bahwa 103 kuman tidak dapat menyebabkan penyakit simtomatik

tetapi 105 bakteri dapat menyebabkan gejala pada 27 persen relawan. Dosis yang

lebih tinggi dapat menyebabkan penyakit yang lebih sering, terutama jika kuman

menghasilkan antigen polisakarida kapsuler Vi. Kuman ditelan oleh fagosit

mononuklear, lalu bertahan hidup dan memperbanyak diri dalam sel sehingga

menimbulkan penyakit.

4
Masa inkubasi bervariasi dan tergantung pada ukuran inokulum dan keadaan

pertahanan pejamu. Variasi masa inkubasi antara 3 sampai 60 hari telah

dilaporkan. Ketiadaan antibodi bakterisid memungkinkan kuman untuk

difagositosis dalam keadaan hidup. Daya tahan dalam sel tergantung pada faktor

mikroba yang menunjang resistensi terhadap pembinasaan dan pada imunitas

yang diaktifkan oleh sel limfosit T pejamu, yang berada di bawah kendali genetik.

Jika jumlah bakteri intraselular melampaui ambang batas kritis, bakteremia

sekunder dapat terjadi dan menimbulkan invasi pada kelenjar empedu dan Plaque

Peyeri pada usus halus. Bakteremia yang menetap menjadi penyebab demam yang

menetap pada tifoid klinis, sementara reaksi radang terhadap invasi jaringan

menentukan pola pengungkapan klinis (kolesistitis, perdarahan usus atau

perforasi). Dengan invasi kelenjar empedu dan Plaque Peyeri, kuman kembali

masuk ke dalam lumen usus, dan dapat ditemukan pada biakan feses pada awal

minggu kedua penyakit klinis.

Pertumbuhan dalam ginjal menyebabkan biakan urin positif, tetapi dalam jumlah

yang jauh lebih kecil daripada biakan darah yang positif. Endotoksin liposakarida

pada S. typhi dapat menyebabkan demam, leukopenia dan gejala sistemik lain,

tetapi kejadian gejala ini pada individu yang dibuat toleran terhadap endotoksin

menunjang peranan untuk faktor lain, seperti sitokin yang dilepaskan dari fagosit

mononuklear yang terinfeksi, yang dapat memperantarai peradangan.

Bakteriemi I (1-7 hari)

Melalui mulut makanan dan air yang tercemar Salmonella typhi (106-109) masuk

ke dalam tubuh manusia melalui esofagus, kuman masuk ke dalam lambung

5
dan sebagian lagi kuman masuk ke dalam usus halus Di usus halus, kuman

mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang sudah

mengalami hipertrofi (ditempat ini sering terjadi perdarahan dan perforasi)

Kuman menembus lamina propia, kemudian masuk ke dalam aliran limfe dan

mencapai kelenjar mesenterial yang mengalami hipertrofi melalui ductus

thoracicus, sebagian kuman masuk ke dalam aliran darah yang menimbulkan

bakteriemi I dan melalui sirkulasi portal dari usus halus, dan masuk kembali ke

dalam hati.

Bakteriemi II (6 hari 6 minggu)

Melalui sirkulasi portal dan usus halus, sebagian lagi masuk ke dalam hati

kuman ditangkap dan bersarang di bagian RES : plaque peyeri di ileum

terminalis, hati, lien, bagian lain sistem RES kemudian masuk kembali ke

aliran darah menimbulkan bakteriemia II dan menyebar ke seluruh tubuh.

Penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid adalah

disebabkan oleh endotoksin Salmonella typhi yang berperan pada patogenesis

demam tifoid karena Salmonella typhi membantu terjadinya proses inflamasi

lokal pada jaringan tempat Salmonella typhi berkembang biak dan endotoksin

Salmonella typhi merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit

pada jaringan yang meradang.

2.3. Patofisiologi

Pada dasarnya tifus abdominalis merupakan penyakit sistem retikuloendotelial

yang menunjukkan diri terutama pada jaringan limfoid usus, limpa, hati, dan

6
sumsum tulang. Di usus, jaringan limfoid terletak di antemesenterial pada

dindingnya, dan dinamai Plaque Payeri.

Usus yang terserang tifus umumnya ileum terminal / distal, tetapi terkadang

bagian lain usus halus dan kolon proksimal juga dapat terinfeksi (Minggu I). Pada

permulaaan Plaque Payeri penuh dengan fagosit, membesar, menonjol, dan

tampak seperti infiltrat atau hiperplasia di mukosa usus. Pada akhir minggu

pertama infeksi terjadi nekrosis dan tukak. Tukak ini lebih besar di ileum daripada

di kolon sesuai dengan ukuran Plaque Payeri yang ada disana. Kebanyakan

tukaknya dangkal, tetapi kadang lebih dalam sampai menimbulkan perdarahan.

Perforasi terjadi pada tukak yang menembus serosa. Setelah penderita sembuh

7
biasanya ulkus membaik tanpa meninggalkan jaringan parut dan fibrosis.

Jaringan retikuloendotelial lain juga mengalami perubahan. Kelenjar limfe

mesenterial penuh fagosit sehingga kelenjar membesar dan melunak. Limpa

biasanya juga membesar dan melunak. Hati menunjukkan proliferasi sel

8
polimorfonuklear dan mengalami nekrosis fokal. Jaringan sistem lain hampir

selalu terlibat. Kandung empedu selalu terinfeksi dan bakteri hidup dalam

empedu. Sesudah sembuh, empedu penderita dapat tetap mengandung bakteri dan

Penderita menjadi pembawa kuman.

2.4. Manifestasi Klinis

Gambaran klinik tifus abdominalis

Keluhan :
- Nyeri kepala (frontal) 100%
- Kurang enak di perut 50%
- Nyeri tulang, persendian dan otot 50%
- BAB 50%
- Muntah 50%
Gejala :
- Demam 100%
- Nyeri tekan perut 75%
- Bronkitis 75%
- Toksik > 60%
- Letargik > 60%
- Lidah tifus (kotor) 40%

Gejala klinik yang pertama timbul disebabkan oleh bakteri yang mengakibatkan

gejala toksik umum, seperti letargi, sakit kepala, demam dan bradikardia. Demam

ini khas karena gejala peningkatan suhu setiap hari seperti naik tangga sampai

dengan 40 atau 410C, yang dikaitkan dengan nyeri kepala, malaise dan menggigil.

Ciri utama demam tifoid adalah demam menetap yang persisten (4 sampai 8

minggu pada pasien yang tidak diobati).

Selanjutnya gejala disebabkan oleh gangguan sistem retikuloendotelial, misalnya

kelainan hematologi, gangguan faal hati dan nyeri perut. Kelompok gejala lainnya

disebabkan oleh komplikasi seperti ulserasi di usus dengan penyulitnya. Masa

tunas biasanya lima sampai empat belas hari, tetapi dapat dapat sampai lima

9
minggu. Pada kasus ringan dan sedang, penyakit biasanya berlangsung empat

minggu. Timbulnya berangsur, mulai dengan tanda malaise, anoreksia, nyeri

kepala, nyeri seluruh badan, letargi dan demam.

Pada minggu pertama terdapat demam remitten yang berangsur makin tinggi

(Gambar 1-11 dan 1-12) dan hampir selalu disertai dengan nyeri kepala. Biasanya

terdapat batuk kering dan tidak jarang ditemukan epistaksis. Hampir selalu ada

rasa tidak enak atau nyeri pada perut. Konstipasi sering ada, namun diare juga

ditemukan.

Pada minggu kedua, demam umumnya tetap tinggi (demam kontinu) dan

penderita tampak sakit berat. Perut tampak distensi dan terdapat gangguan

pencernaan. Diare dapat mulai, kadang disertai perdarahan saluran cerna. Keadaan

berat ini berlangsung sampai dengan minggu ketiga. Selain letargi, penderita

mengalami delirium bahkan sampai koma akibat endotoksemia. Pada minggu

ketiga ini tampak gejala fisik lain berupa bradikardia relatif dengan limpa

membesar lunak. Perbaikan dapat mulai terjadi pada akhir minggu ketiga dengan

suhu badan menurun dan keadaan umum tampak membaik. Tifus abdominalis

dapat kambuh satu sampai dua minggu setelah demam hilang. Kekambuhan ini

dapat ringan namun dapat juga berat, dan mungkin terjadi sampai dua atau tiga

kali.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan :

Demam yang tinggi.

Kelainan makulopapular berupa roseola (rose spot) berdiameter 2-5 mm

terdapat pada kulit perut bagian atas dan dada bagian bawah. Rose spot

tersebut agak meninggi dan dapat menghilang jika ditekan. Kelainan yang

10
berjumlah kurang lebih 20 buah ini hanya tampak selama dua sampai empat

hari pada minggu pertama. Bintik merah muda juga dapat berubah menjadi

perdarahan kecil yang tidak mudah menghilang yang sulit dilihat pada pasien

berkulit gelap (jarang ditemukan pada orang Indonesia).

Perut distensi disertai dengan nyeri tekan perut.

Bradikardia relatif.

Hepatosplenomegali.

Jantung membesar dan lunak.

Bila sudah terjadi perforasi maka akan didapatkan tekanan sistolik yang

menurun, kesadaran menurun, suhu badan naik, nyeri perut dan defens

muskuler akibat rangsangan peritoneum.

Perdarahan usus sering muncul sebagai anemia. Pada perdarahan hebat

mungkin terjadi syok hipovolemik. Kadang ada pengeluaran melena atau darah

segar.

Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak distensi,

bising usus hilang, pekak hati hilang dan perkusi daerah hati menjadi

timpani. Selain itu, pada colok dubur terasa sfingter yang lemah dan

ampulanya kosong. Penderita biasanya mengeluh nyeri perut, muntah dan

kurva suhu-denyut nadi menunjukkan tanda salib maut (Gambar 1-12).

Pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya udara bebas di bawah

diafragma, sering disertai gambaran ileus paralitik.

2.5. Laboratorium

11
Pemeriksaan apus darah tepi penderita memperlihatkan anemia normokromik,

leukopenia dengan hilangnya sel eosinofil dan penurunan jumlah sel

polimorfonuklear. Pada sebagian besar pasien, jumlah sel darah putih normal,

walaupun jumlah tersebut rendah jika dikaitkan dengan tingkat demam.

Leukopenia (<2000 sel per mikroliter) dapat terjadi tetapi jarang sekali. Pada

kejadian perforasi usus atau penyulit piogenik, leukositosis sekunder dapat terjadi.

Albuminuria terjadi pada fase demam. Uji benzidin pada tinja biasanya positif

pada minggu ketiga dan keempat.

Kultur Salmonella typhi dari darah pada minggu pertama positif pada 90%

penderita, sedangkan pada akhir minggu ketiga positif pada 50% penderita.

Terkadang pembiakan tetap positif sehingga ia menjadi pembawa kuman.

Pembawa kuman lebih banyak pada orang dewasa daripada anak dan pria lebih

banyak daripada wanita.

Pada akhir minggu kedua dan ketiga pembiakan darah menjadi positif untuk

basil usus. Ini menunjukkan adanya ulserasi di ileum. Jika terjadi perforasi yang

diikuti peritonitis terdapat toksemia basil aerob (E. coli) dan basil anaerob (B.

fragilis). Titer aglutinin O dan H (reaksi Widal) biasanya sejajar dengan grafik

demam dan memuncak pada minggu ketiga. Interpretasinya kadang sulit karena

ada imunitas silang dengan kuman salmonela lain atau karena titer yang tetap

meninggi setelah diimunisasi. Antibodi H dapat ditemukan bahkan pada titer yang

lebih tinggi, tetapi karena reaksi silangnya yang luas maka sulit untuk ditafsirkan.

Peninggian antibodi empat kali lipat pada sediaan berpasangan adalah kriteria

yang baik tetapi sedikit kegunaannya pada pasien yang sakit akut dan dapat

menjadi tidak bermanfaat akibat pengobatan antimikroba yang dini. Semakin dini

12
sediaan awal diambil, maka semakin mungkin ditemukan peningkatan yang nyata.

Antibodi Vi secara khas meningkat kemudian, setelah 3 sampai 4 minggu sakit,

dan kurang berguna pada diagnosis dini infeksi.

1. Leukosit.

Pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk demam tifoid karena

kebanyakan pada demam tifoid ditemukan jumlah leukosit dalam batas-batas

normal. Pada demam tifoid tidak ditemukan adanya leukopenia, tetapi kadang-

kadang dapat ditemukan leukositosis.

2. SGOT dan SGPT.

SGOT dan SGPT dapat meningkat, tetapi dapat kembali normal setelah

demam tifoid sembuh, sehingga tidak memerlukan pengobatan.

3. Biakan darah.

Biakan darah (+) dapat memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah ()

tidak menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan

darah tergantung pada beberapa faktor, yaitu :

a. Teknik pemeriksaan laboratorium.

b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.

c. Vaksinasi di masa lampau.

d. Pengobatan dengan obat antimikroba.

4. Uji Widal.

Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antibodi (aglutinin) dan antigen

yang bertujuan untuk menentukan adanya antibodi, yaitu aglutinin dalam

serum pasien yang disangka menderita demam tifoid.

13
Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang

sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.

Antibodi (aglutinin) yang spesifik terhadap Salmonella akan positif dalam

serum pada :

a. tifoid. Pasien demam

b. Orang yang pernah tertular Salmonella.

c. Orang yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid.

Akibat infeksi oleh Salmonella typhi, maka di dalam tubuh pasien membuat

antibodi (aglutinin), yaitu :

a. Aglutinin O.

Aglutinin O adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen O

yang berasal dari tubuh kuman.

b. Aglutinin H.

Aglutinin H adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen H

yang berasal dari flagela kuman.

c. Aglutinin Vi.

Aglutinin Vi adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen Vi

yang berasal dari simpai kuman.

Dari ketiga aglutinin di atas, hanya aglutinin O dan aglutinin H yang

ditentukan titernya untuk menegakkan diagnosis.

Faktor-faktor yang mempengaruhi uji Widal, yaitu :

a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien.

- Keadaan umum pasien.

14
- Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.

- Pengobatan dini dengan antibiotik.

- Penyakit-penyakit tertentu.

- Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid.

- Vaksinasi dengan kotipa atau tipa.

- Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya.

- Reaksi anamnestik.

Interprestasi uji Widal, yaitu :

Makin tinggi titernya, maka makin besar kemungkinan pasien menderita

demam tifoid.

Tidak ada konsensus mengenai tingginya titer uji Widal yang mempunyai

nilai diagnostik pasti untuk demam tifoid.

Uji Widal positif atau negatif dengan titer rendah tidak menyingkirkan

diagnosis demam tifoid.

Uji Widal positif dapat disebabkan oleh septikemia karena Salmonella lain.

Uji Widal bukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan kesembuhan

pasien, karena pada seseorang yang telah sembuh dari demam tifoid,

aglutinin akan tetap berada dalam darah untuk waktu yang lama.

Uji Widal tidak dapat menentukan spesies Salmonella sebagai penyebab

demam tifoid, karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung

antigen O dan H yang sama, sehingga dapat menimbulkan reaksi aglutinasi

yang sama pula.

2.6. Diagnosis

15
Diagnosis biasanya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan gejala klinik

serta pemeriksaan laboratorium serologi. Bila didapati titer O yang tinggi tanpa

imunisasi sebelumnya, maka diagnosis demam tifoid dapat dianggap positif.

Diagnosis dapat dipastikan bila biakan dari darah, tinja, urin, sumsum tulang,

sputum atau eksudat purulen positif.

a. Titer uji Widal meningkat 4 kali lipat selama 2 3 minggu.


- Titer antibodi (aglutinin) O = 1 : 320 4 x (1 : 80)
- Titer antibodi (aglutinin) H = 1 : 640 4 x (1 : 160)

Demam tinggi dengan atau tanpa bronkitis, disertai keluhan sakit kepala dan nyeri

samar-samar di perut dapat disebabkan banyak penyakit seperti salmonelosis pada

umumnya, tuberkulosis diseminatus, malaria, demam dengue, bronkitits akut,

influenza dan pneumonia.

2.7. Komplikasi

1. Komplikasi Intestinal

- Perdarahan usus (bila gawat harus dilakukan pembedahan

- Perforasi usus (harus dilakukan pembedahan)

- Ileus paralitik

2. Komplikasi Ekstra-Intestinal

1. Darah : Anemia hemolitik, trombositopenia, DIC, Sindroma uremia

hemolitik

2. Kadiovaskular : Syok septik, miokarditis, trombosis, tromboflebitis

16
3. Paru-paru : Empiema, pneumonia, pleuritis, bronkhitis

4. Hati dan kandung empedu : Hepatitis, kholesistitis

5. Ginjal : Glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis

6. Tulang : Osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis

7. Neuropsikiatrik : Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer,

encephalopaty, Sindrome Guillian Barre, psikosis,

impairment of coordination, sindroma katatonia.

Terapi Obat

Kloramfenikol yang merupakan standar emas

Reaksinya nyata dalam 24 sampai 48 jam setelah dimulainya pengobatan

dalam dosis yang sesuai (3 sampai 4 g/hari pada orang dewasa atau 50 sampai

75 mg/kgBB per hari pada anak yang lebih muda). Obat diberikan per os

selama 2 minggu, dan dosis dapat dikurangi sampai 2 g/hari atau 30 mg/hari

jika pasien menjadi tidak demam, yang biasanya terjadi setelah hari kelima

pengobatan.

Amoksisilin (4 sampai 6 g/hari dalam empat dosis terbagi pada orang dewasa

atau 100 mg/kg per hari pada anak).

Trimetoprim-sulfametoksazol (640 dan 3200 mg, berurutan, dalam dua dosis

harian terbagi pada orang dewasa atau 185 mg/m2 luas permukaan tubuh per

hari dari komponen trimetoprim pada anak-anak).

4-fluorokuinolon seperti siprofloksasin atau oflosaksin pada individu yang

berusia lebih dari 17 tahun.

17
Berbagai obat intravena juga efektif, dan baik kloramfenikol maupun trimetoprim-

sulfametoksazol dapat diberikan secara intravena pada individu yang tidak mampu

menelan obat per os.

Prevalensi S.typhi yang resisten terhadap obat oral garis pertahanan pertama telah

meningkat pada negara sedang berkembang, kadang secara menyolok, karena

kemahiran plasmid menjadikan -laktamase yang tidak aktif dan enzim

kloramfenikol asetil transferase.

Di daerah dengan resistensi banyak obat ini merupakan masalah, seftiakson atau

4-fluorokuinolon sebaiknya digunakan pada permulaan untuk orang dewasa yang

berusia lebih dari 17 tahun, dengan seftriakson sebagai pilihan terbaik untuk anak-

anak, sekurang-kurangnya sampai kuinolon baru dibuktikan aman untuk anak-

anak yang lebih muda.

Terapi Nutrisi

Pada pasien demam tifoid akan terjadi hiperkatabolisme sehingga akan terjadi

proses pemecahan nutrien dalam jaringan untuk memenuhi kebutuhan energi.

Proses peningkatan kebutuhan energi tidak diikuti dengan pemasukan enegi yang

cukup karena adanya penurunan nafsu makan pada pasien dan gangguan saluran

pencernaan, sehingga pada pemeriksaan nutrisi akan didapatkan penurunan berat

badan dan kekurangan gizi (malnutrisi).

Keadaan kekurangan gizi tersebut akan menyebabkan resiko terjadinya perforasi

dan perdarahan usus. Selain gizi yang buruk, perforasi dan perdarahan dapat

terjadi bila pasien tifoid diberikan makanan padat lebih dini. Oleh karena itu,

pasien tifoid dianjurkan untuk diet makanan yang lunak dan cair (lampiran).

18
Makanan yang dianjurkan untuk pasien tifoid biasanya makanan yang tinggi

kalori, tinggi protein, tinggi karbohidrat, rendah lemak, cairan yang banyak,

rendah serat dan makanan lunak. Pada saat awal makanan yang diberikan harus

mengandung banyak cairan, tinggi energi dan tinggi protein. Makanan yang

diberikan biasanya dalam porsi yang kecil dan sering setiap 2-3 jam. Intake yang

cukup dari cairan dan garam harus diperhatikan. Setelah demam menurun,

makanan lunak, rendah serat dan makanan yang mudah dicerna dan diabsorbsi

harus diberikan pada pasien, yaitu seperti puding dan bubur. Makanan yang

diberikan boleh dalam porsi yang lebih besar dan diberikannya setiap 4 jam atau 4

kali dalam sehari.

19
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita Dr. M.Sc. 2004. Penuntun Diet. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka

Utama.

Behrman, RE; Vaughan, VC: Nelson Textbook of Pediatrics. WB Saunders

Philadelphia 2002, 540

Braunwald, Eugene, MD., et al. 2013. Harrisons Principles of Internal Medicine

18th Edition. New York : McGraw Hill Medical Publishing Division.

Rampengan TH, Laurentz IR. 1993. Penyakit infeksi tropik pada anak. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Shils, Maurice. M. D. Sc.d. 2006. Modern Nutritional in Health and Disease 10th

Edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Watkins.

20

Anda mungkin juga menyukai