Anda di halaman 1dari 23

WALAUPUN KEUANGAN BUMN BUKAN KEUANGAN NEGARA; KPK,

KEJAKSAAN, DAN KEPOLISIAN TETAP BERWENANG MEMERIKSA


KORUPSI DI BUMN

Oleh : Erman Rajagukguk

Kepastian hukum adalah prasarat bagi berhasilnya pembangunan ekonomi.


Kerancuan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang
menyatakan keuangan BUMN adalah keuangan negara dan kegiatan yang mendapat
fasilitas dari negara adalah keuangan negara telah menghambat kemajuan pembangunan
ekonomi. Hal ini disebabkan pejabat-pejabat BUMN adakalanya tidak berani melakukan
hubungan bisnis, karena mungkin saja bisnis tersebut akan menderita kerugian. Bisnis
BUMN yang merugi dapat dikategorikan sebagai merugikan keuangan negara, yang
menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi termasuk korupsi.

Pasal 2 g Undang-Undang Keuangan Negara adalah keliru


Pertanyaan yang mendasar adalah, apakah Pasal 2 hurug g dan huruf i Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 6 ayat (1), Pasal 9
ayat (1) huruf b, dan Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan tersebut bertentangan dengan UUD 1945, khususnya dengan
Pasal 23 ayat (1), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Penafsiran Pasal 2 g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, ialah kekayaan BUMN adalah kekayaan negara yang dipisahkan, artinya,
kekayaan BUMN itu adalah keuangan negara. Pasal 2 huruf g tidak diartikan bahwa
kekayaan negara yang dipisahkan itu adalah saham, karena saham sudah dimasukan
dalam surat berharga seperti disebutkan dalam Pasal 2 huruf g itu sendiri : Kekayaan
negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat
berharga (huruf tebal dari penulis).
Bukti dari pendapat Pasal 2 g kekayaan BUMN adalah kekayaan negara ialah :
1. Badan Pemeriksa Keuangan mempunyai wewenang untuk memeriksa keuangan
BUMN (Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 11 huruf a Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan).
2. Sementara Komisi di DPR meminta DPR harus memberikan persetujuan dalam
pelepasan aktiva BUMN yang jumlahnya 100 milyar atau lebih

1
Definisi ini menciptakan ketidakpastian hukum yang menghambat kelancaran
tugas-tugas Direksi dan Komisaris BUMN dalam menjalankan aktivitas bisnisnya,
karena merugikan keuangan BUMN berarti merugikan keuangan negara, sehingga dapat
dituduhkan melakukan korupsi. Jika keuangan BUMN bukan keuangan negara, maka
kerugian suatu BUMN bukan kerugian negara; tetapi kerugian BUMN sendiri sebagai
suatu perusahaan yang berbadan hukum. Kerugian BUMN bisa merugikan Pemegang
Saham, karena dividennya kecil atau tidak ada sama sekali. Negara sebagai pemegang
saham tetap dapat menggugat kerugian tersebut, sebagaimana disebutkan oleh Pasal 61
ayat (1) dan Pasal 97 ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, jika BUMN tersebut berbentuk persero.
Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
menyatakan : Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan
ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak
adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan
Komisaris.
Pasal 97 ayat (6) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
menyatakan : Atas nama Perseroan, Pemegang Saham yang mewakili paling sedikit
10% dari jumlah seluruh sahamnya dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui
Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya
menimbulkan kerugian pada Perseroan.
Sebagian besar BUMN berbentuk Perseroan Terbatas, dimana sahamnya 100%
dimiliki negara.
Jika BUMN tersebut berbentuk Perum (Perusahaan Umum), maka negara sebagai
pemilik modal dapat menggugat pengurus Perum sebagai Badan Hukum.
Keuangan BUMN bukanlah keuangan negara, melainkan keuangan BUMN itu
sendiri sebagai Badan Hukum.
Subjek hukum yaitu yang mempunyai hak dan kewajiban serta mempunyai harta
kekayaan sendiri adalah manusia (natuurlijk persoon) dan Badan Hukum (rechtsperson,
legal personality). Badan Hukum sebagai subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban
serta mempunyai harta kekayaan sendiri sebagaimana manusia. Harta kekayaan yang
terpisah dari pendiri Badan Hukum itu, terpisah dari harta kekayaan pemilik, pengawas
dan pengurusnya. Inilah doktrin hukum, baik dalam sistem Civil Law maupun Common
Law.

2
Istilah Badan Hukum sudah merupakan istilah yang resmi. Istilah ini dapat
dijumpai dalam perundang-undangan, antara lain1 :
1. Dalam hukum pidana ekonomi istilah Badan Hukum disebut dalam Pasal 12
Hamsterwet (UU Penimbunan Barang) L.N. 1951 No. 90 jo. L.N. 1953 No. 4.
Keistimewaan Hamsterwet ini ialah Hamsterwet menjadi peraturan paling pertama di
Indonesia yang memberi kemungkinan menjatuhkan hukuman menurut hukum
pidana terhadap Badan Hukum. Kemudian kemungkinan tersebut secara umum
ditentukan dalam Pasal 15 L.N. 1955 No. 27.
2. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 antara lain Pasal 4 ayat
(1).
3. Dalam Perpu No. 19 Tahun 1960 dan lain sebagainya.
Pendapat para sarjana, antara lain, Meijers menyatakan Badan Hukum itu adalah
meliputi yang menjadi pendukung hak dan kewajiban. Begitu juga pendapat Logemann,
dan E. Utrecht.2
Yang menjadi penting bagi pergaulan hukum ialah Badan Hukum itu mempunyai
kekayaan (vermogen) yang sama sekali terpisah dari kekayaan anggotanya. Hak dan
kewajiban Badan Hukum sama sekali terpisah dari hak dan kewajiban anggotanya. Bagi
bidang perekonomian, terutama lapangan perdagangan, hal ini sangat penting.3
Sama dengan pendapat itu, menurut R. Subekti, Badan Hukum pada pokoknya
adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan
perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri (huruf tebal dari
penulis), dapat digugat atau menggugat didepan hakim.
Dalam pada itu R. Rochmat Soemitro mengatakan, Badan Hukum
(rechtspersoon) ialah suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban
seperti orang pribadi.
Sarjana Hukum lainnya, Sri Soedewi Maschum Sofwan menjelaskan, bahwa
manusia adalah badan pribadi itu adalah manusia tunggal. Selain dari manusia tunggal,
dapat juga oleh hukum diberikan kedudukan sebagai badan pribadi kepada wujud lain
disebut Badan Hukum, yaitu kumpulan dari orang-orang bersama-sama mendirikan suatu
badan (perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan, yang ditersendirikan untuk tujuan
tertentu (yayasan). Kedua-duanya merupakan Badan Hukum.

1
Chidir Ali, Badan Hukum (Bandung : Penerbit P.T. Alumni, 2005), h. 17.
2
Ibid, h. 18.
3
Ibid, h. 19.

3
H.Th.Ch. Kal dan V.F.M. Den Hartog menerangkan, bahwa manusia ialah subjek
hukum. Akan tetapi lain daripada manusia, ada juga subjek hukum yang lain, Organisasi
yang memperoleh sifat subjek hukum itu ialah Badan Hukum. Ia boleh mempunyai hak
milik, boleh berunding, boleh mengikat perjanjian, boleh bertindak dalam persengketaan
hukum dan sebagainya serta memikul tanggung jawab dalam arti hukum tentang segala
perbuatannya.
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pengertian suatu Badan Hukum, yaitu
badan yang di samping menusia perseorangan juga dianggap dapat bertindak dalam
hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dalam perhubungan hukum
terhadap orang lain atau badan lain.
Sudiman Kartohadiprodjo menjelaskan, tiap manusia (natuurlijk persoon), adalah
lawan subjek hukum lainnya, ialah Badan Hukum (rechtpersoon).
Menurut J.J. Dormeier istilah Badan Hukum dapat diartikan sebagai berikut :
a. persekutuan orang-orang, yang di dalam pergaulan hukum bertindak selaku seorang
saja;
b. yayasan, yaitu suatu harta atau kekayaan, yang dipergunakan untuk suatu maksud
yang tertentu.
Dari pendapat-pendapat di atas, dapatlah disimpulkan tentang pengertian Badan
Hukum sebagai subjek hukum itu mencakup hal berikut, yaitu4 :
a. perkumpulan orang (organisasi);
b. dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan
hukum (rechtsbetrekking);
c. mempunyai harta kekayaan tersendiri;
d. mempunyai pengurus;
e. mempunyai hak dan kewajiban;
f. dapat digugat atau menggugat di depan Pengadilan.
Negara-negara Common Law sebagaimana legislasi di Eropa Kontinental (Civil
Law) mengenal teori yang sophisticated mengenai konsep Badan Hukum (legal
personality) termasuk :
1. Badan Hukum sebagai Fiksi Hukum.

4
Ibid, h. 19-21.

4
Menurut konsep ini Badan Hukum adalah selain dari manusia, artificial, yaitu hasil
dari fiksi. Kapasitas hukum dari legal personality adalah berdasarkan hukum
positif dan tidak a predetermined standard as in case of natural person.
2. Corporate realism.
Menurut konsep ini, badan hukum bukan artifisial atau fiksi, tetapi nyata dan
alamiah seperti pribadi manusia. Menurut Ziweckvermogen, Badan Hukum terdiri
dari seperangkat kekayaan (assets) yang ditujukan untuk keperluan tertentu.
Istilah Badan Hukum (legal personality) sekarang ini selalu didefinisikan :

in the sense of a unit separate from its members in such away that it has gained
legal capacity and litigation capacity. To be a legal person means therefore to be
the subject of rights and duties capable of owning real property, entering into
contracts, and suing and being such in its own name separate and distinct from
its shareholders.5

Sebagai kesimpulan Badan Hukum sama dengan manusia sebagai subjek hukum
yang mempunyai harta kekayaan sendiri. Sebagai contoh, saya sebagai pensiunan guru
besar mendapat gaji dari APBN setiap bulan. Ketika belanja di Pasar Senen uang gaji
saya itu dicopet. Pertanyaannya adalah, apakah pencopet mencopet uang saya atau uang
negara? Tentu ia mencopet uang saya, bukan uang negara.
Begitu juga BUMN yang mendapat modal dari APBN, ketika sudah dimasukan
sebagai modal, uang tersebut bukan uang negara lagi; negara memiliki saham BUMN
tersebut karena memasukan modal itu; tetapi kekayaan BUMN bukanlah kekayaan
negara, melainkan kekayaan BUMN itu sendiri sebagai Badan Hukum.
Kerancuan pengertian Keuangan Negara dimulai oleh definisi keuangan negara
dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan
keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 angka
1).
Pasal 2g Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan :

Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak


lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang

5
Daniel Zimmer, LEGAL PERSONALITY dalam Ella Gepken Jager (Eds) VOC 1602-2002,
400 Years of Company Law (Nijmegen : Kluwer Legal Publishing, 2005), h. 267-269.

5
dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/perusahaan daerah.

Penjelasan Pasal 2 g sendiri adalah cukup jelas.


Tampaknya pemerintah menyadari kekeliruan pemikiran tersebut di atas ketika
menghadapi kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) bank PT. BRI (Persero) Tbk,
PT. Bank BNI (Persero) Tbk, PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Pemerintah merencanakan penghapusan pasal 19 dan Pasal 20 PP No. 14 Tahun 2005.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pada waktu itu menyatakan :

Selanjutnya, pengurusan piutang perusahaan negara/daerah dilakukan


berdasarkan UU Perseroan Terbatas dan UU Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Jadi disebutkan bahwa aturan yang mengatur bank-bank BUMN
adalah UU Perseroan dan UU BUMN.

Usulan perubahan PP No. 14 Tahun 2005 tersebut menjadi perdebatan di dalam


Komisi XI DPR karena dianggap membatalkan Pasal 2 huruf g UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara. Ada usul anggota DPR, untuk perubahan PP No. 14 Tahun
2005 perlu meminta fatwa Mahkamah Agung RI. Namun ada pula yang berpendapat,
Pemerintah harus membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
untuk membatalkan Pasal 2g UU Keuangan Negara.6
Menteri Keuangan meminta Fatwa Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dalam
fatwanya No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 tertanggal 16 Agustus 2006, menyatakan
bahwa tagihan bank BUMN bukan tagihan negara karena bank BUMN Persero tunduk
pada UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Dengan demikian Mahkamah
Agung berpendapat kekayaan negara terpisah dari kekayaan BUMN Persero.
Selanjutnya tentu keuangan BUMN Persero bukan keuangan negara.
Mahkamah Agung dalam fatwanya menyatakan :

1. Bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan


Usaha Milik Negara berbunyi:

Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara
melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan

6
Media Indonesia 11 Juli 2006

6
Pasat 4 ayat (l) undang-undang yang sama menyatakan bahwa BUMN
merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan
Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa Yang dimaksud
dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara
pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi
didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun
pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan
yang sehat;

2. Bahwa dalam pasal-pasal tersebut di atas, yang merupakan undang-undang


khusus tentang BUMN, jelas dikatakan bahwa modal BUMN berasal dari
kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya pembinaan
dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN melainkan didasarkan
pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat;

3.

4.

5. Begitu pula halnya dengan Pasal 2 huruf g Undang-Undang No. 17 Tahun


2003 yang berbunyi :
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi :

g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak


lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan
pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

yang dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN


maka ketentuan dalam Pasal 2 huruf g khusus mengenai kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah juga tidak
mempunyai kekuatan mengikat secara hukum;

6.

Menyusul Fatwa Mahkamah Agung tersebut Pemerintah menerbitkan Peraturan


Pemerintah No. 33 Tahun 2006, tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 14
Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Peraturan
Pemerintah tersebut menghapuskan Pasal 19 dan Pasal 20 dalam Peraturan Pemerintah
No. 14 Tahun 2005.
Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
No. 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah,
menyatakan:

7
Pasal I, ketentuan Pasal 19 dan Pasal 20 dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, dihapus.
Pasal II :
1. Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah untuk selanjutnya dilakukan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Perseroan
Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksanaannya.
b. Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang telah diserahkan kepada
Panitia Urusan Piutang Negara c.q. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara
dan usul penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang telah diajukan
kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara
tetap dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960
tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun
2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah beserta peraturan
pelaksanaannya.
2. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Fatwa Mahkamah Agung bukanlah sumber hukum menurut peraturan perundang-
undangan Indonesia, fatwa hanya merupakan pendapat Mahkamah Agung sehingga tidak
mengikat secara hukum. Begitu juga Peraturan Pemerintah tidak bisa
mengenyampingkan undang-undang, karena peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah tidak bisa mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Inilah yang menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum dalam bidang Undang-
Undang Keuangan Negara dan Piutang Negara.
Namun syukur alhamdulillah, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor
77/PUU-IX/2011 tertanggal 25 September 2012 menyatakan bahwa piutang Bank
BUMN bukanlah piutang negara dan hutang Bank BUMN bukanlah hutang negara.
Akan tetapi putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak bisa diterapkan sebagaimana
mestinya, karena ada pihak yang masih berpendapat bahwa keuangan BUMN adalah
keuangan negara sebagaimana pengertiannya atas Pasal 2 huruf g Undang-Undang
Keuangan Negara yang masih berlaku kini.
Bila kekayaan BUMN bulanlah kekayaan negara, tindak pidana korupsi tetap dapat
diterapkan kepada BUMN. KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian tetap mempunyai
wewenang untuk menyelidiki korupsi di BUMN, karena berdasarkan United Nations
Convenstion Against Corruption 2003 yang kita ratifikasi dengan Undang-Undang No. 7
8
Tahun 2006, menyatakan bahwa korupsi berlaku terhadap keuangan siapa saja, termasuk
keuangan swasta. Dengan demikian korupsi bukan terhadap keuangan negara saja.
Ruang lingkup Konvensi ini antara lain, perbuatan-perbuatan yang diklarifikasikan
sebagai tindak pidana korupsi yaitu penyuapan pejabat-pejabat publik nasional,
penyuapan pejabat-pejabat asing dan pejabat-pejabat organisasi internasional publik.
Tindakan lainnya adalah penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain
kekayaan oleh pejabat publik, memperdagangkan pengaruh, penyalahgunaan fungsi,
memperkaya diri secara tidak sah. Penyuapan disektor swasta, penggelapan kekayaan di
sektor swasta, pencucian hasil-hasil kejahatan (money laundering), termasuk juga ruang
lingkup Konvensi ini.
Tindak pidana korupsi bukan saja berlaku terhadap keuangan negara, tetapi juga
kepada keuangan siapa saja termasuk keuangan swasta. Guna mencegah korupsi,
masing-masing Negara Anggota wajib mengambil tindakan-tindakan sedemikian
sebagaimana mungkin diperlukan, sesuai dengan hukum dan peraturan internalnya
mengenai penyimpanan buku-buku dan catatan-catatan, pengungkapan-pengungkapan
laporan keuangan dan standar-standar akuntansi dan audit, untuk melarang tindakan-
tindakan berikut yang dilakukan untuk tujuan pelaksanaan pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan sesuai dengan Konvensi ini :

(a) Penyelenggaraan akuntansi ekstra pembukuan;


(b) Penyelenggaraan transaksi-transaksi ekstra pembukuan atau yang tidak cukup jelas;
(c) Pencatatan pengeluaran yang tidak nyata;
(d) Pemasukan kewajiban-kewajiban dengan identifikasi tujuan yang tidak benar;
(e) Penggunaan dokumen-dokumen palsu; dan
(f) Perusakan sengaja atas dokumen-dokumen pembukuan terlebih dahulu dari yang
direncanakan oleh undang-undang.7
Masing-masing Negara Anggota wajib untuk tidak mengizinkan pengurangan pajak
atas biaya-biaya yang merupakan korupsi, yang disebut belakangan ini adalah satu dari
unsur utama dari pelanggaran yang dilakukan sesuai dengan pasal-pasal 15 dan 16
Konvensi ini dan, sebagaimana layaknya, pengeluaran-pengeluaran lain yang terhimpun
dalam kelanjutan tindakan korup.8

7
United Nations Convenstion Against Corruption 2003, Article 12 Paragraph 3.
8
United Nations Convenstion Against Corruption 2003, Article 12 Paragraph 4.

9
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sendiri sudah mencakup tindak
pidana korupsi dikalangan swasta; antara lain ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 melahirkan Undang-Undang APBN.
Undang-Undang APBN menyatakan bahwa kekayaan negara tersebut, antara lain, adalah
setoran negara kedalam modal BUMN yang berasal dari APBN dan dividen yang
diterima oleh negara dimasukan kedalam APBN. Undang-Undang APBN tidak ada yang
menyatakan kekayaan BUMN adalah kekayaan negara yang dimasukan dalam APBN.
Saya kutipkan Pasal 23 UUD 1945 yang menyatakan :
(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan
negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara
terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh
Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.
(3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan
dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
Dalam Undang-Undang APBN hanya modal BUMN bersumber dari APBN dan
dividen yang diterima oleh Negara dari BUMN masuk APBN. Keuangan BUMN tidak
masuk dalam APBN, sehingga bukan menjadi keuangan negara.
Pasal 2 huruf i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
juga tidak memberikan kepastian hukum, karena Pasal 2 huruf i menyatakan, Keuangan
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

10
i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan
pemerintah.

Semua industri yang berada di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) diperbolehkan


mengajukan insentif melalui Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 Tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang Usaha Tertentu dan
Daerah. Pemerintah juga menjanjikan pembebasan Pajak Penghasilan bagi karyawan
pada industri padat karya. Pajak karyawan dari industri padat karya akan dihapus karena
ditanggung pemerintah.9
Pemerintah segera mengeluarkan paket kebijakan insentif fiscal untuk menjaga
momentum pertumbuhan ekonomi domestik ditengah perlambatan ekonomi global yang
diproyeksi berlanjut tahun depan. Pertama, pemberian tax holiday diperbanyak. Kedua,
merelaksasi prosedur tax allowance. Ketiga, pemberian insentif untuk bahan baku
setengah jadi yang selama ini banyak diimport. Insentif direncanakan berupa
pengurangan pajak dan pembebasan bea masuk. Keempat, insentif untuk Kawasan
Ekonomi Khusus. Kelima, insentif pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk
import buku non fiksi guna memajukan pendidikan dalam negeri. Keenam, pengurangan
Pajak Penghasilan (PPh) untuk memajukan kegiatan penelitian dan pengembangan.
Ketujuh, insentif untuk eksplorasi minyak dan gas guna mencapai target peningkatan
produksi menjadi 1 juta barel per hari.10
Jika dihubungkan dengan Pasal 2 huruf i tersebut di atas, apakah kekayaan semua
perusahaan itu yang mendapat fasilitas pajak, menjadi keuangan negara? Tentu tidak
bukan?
Menurut pendapat saya untuk adanya kepastian hukum tersebut sebagaimana
diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sudah tepatlah kiranya bila Mahkamah
Konstitusi R.I menyatakan Pasal 2 hurug g dan huruf i Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara tidak mempunyai kekuatan hukum.
Oleh karena keuangan BUMN bukanlah keuangan negara, maka haruslah
dinyatakan pula Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, dan Pasal 11 huruf a Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan; juga tidak
mempunyai kekuatan hukum.

9
PPh Pekerja Sektor Padat Karya bakal Dihapus, Media Indonesia, 12 Agustus 2013.
10
Insentif Fiskal Diperbanyak, Bisnis Indonesia, 1 Agustus 2013.

11
Pasal 6 (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan menyatakan, BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga
Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum,
Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan
negara. (huruf tebal dari penulis)
Pasal 9 (1) huruf b menyatakan : meminta keterangan dan/atau dokumen yang
wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan
Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola
keuangan negara. (huruf tebal dari penulis)
Pasal 11 huruf a menyatakan, pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah
Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik
Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga
atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya. (huruf tebal dari penulis)
BUMN sebagai Perseroan Terbatas harus diperiksa oleh Akuntan Publik
berdasarkan Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. Dalam kenyataannya diperiksa oleh BPK berdasarkan Pasal 6 ayat (1), Pasal 9
ayat (1) huruf b, dan Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Kepastian hukum merupakan syarat mutlak bagi pembangunan ekonomi yang
memerlukan predictability, stability, and fairness.11
Tidak adanya kepastian hukum akan menghambat pembangunan ekonomi
Indonesia, yang keadaannya saat ini mengkhawatirkan.

Kriminalisasi Transaksi Bisnis


Berikut ini adalan beberapa contoh yang menurut pendapat saya masuk ruang
lingkup perdata, tetapi dalam prakteknya dikenakan tindak pidana korupsi.

Pertama, dalam Republik Indonesia v. Sutrisno, terdakwa dituduh melakukan


tindak pidana korupsi karena telah merugikan keuangan negara dan memperkaya orang
lain. Duduk perkaranya adalah sebagai berikut.
11
Leonard J. Theberger, Law and Economic Development, Journal of International Law and
Policy, Vol. 9:231 (1980)

12
Terdakwa sebagai Direktur PT. Krakatau Steel (Persero) telah menyewa
kendaraan sedan Toyota Soluna dan Suzuki Baleno sebanyak 40 unit pada tahun 1999
yang akan digunakan oleh BUMN tersebut untuk selama 60 bulan, melalui penunjukkan
langsung. Total biaya sewa kendaraan tersebut dianggap Jaksa Penuntut Umum sebagai
kemahalan dan merugikan keuangan BUMN tersebut. Karena keuangan BUMN adalah
keuangan negara maka merugikan BUMN adalah merugikan negara. Padahal laporan
tahunan BUMN yang bersangkutan pada waktu itu adalah menguntungkan. Perbuatan
terdakwa tersebut diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo. Pasal 18
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana jo. Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana.
Menurut analisa saya, penunjukan langsung dalam pengadaan barang dan jasa
dibolehkan karena keadaan yang mendesak atau keadaan khusus. Melanggar suatu
keputusan Presiden tentang Pengadaan Barang dan Jasa bukan tindak pidana, hanya
merupakan pelanggaran adminitratif. Perbuatan itu baru menjadi tindak pidana korupsi
kalau terbukti pelakunya menerima suap.
Suatu transaksi mungkin harganya menjadi tinggi karena didalam harga
penjualannya terdapat atau diperhitungkan apa yang disebut trasaction cost.
Majelis Hakim tingkat pertama dalam perkara ini dalam putusannya
membebaskan terdakwa dari segala tuntutan. Begitu juga dalam tingkat kasasi,
Mahkamah Agung membebaskan terdakwa dari segala tuntutan.
Kedua, Dalam perkara Republik Indonesia v. TG, Terdakwa dituduh melakukan
atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Duduk perkaranya adalah MS selaku Kepala Seksi Akseptasi dan
Produksi Bagian L/C Divisi Penjaminan PT. AKI menerima permohonan penjaminan
atau surat kredit berdokumen yang diajukan oleh RS untuk pembelian sejumlah rotan.
RS mencantumkan jaminan beberapa bidang tanah. MS yang sebelumnya telah mengenal
RS membuat disposisi atas surat tersebut. Atas jaminan tersebut tidak pernah dilakukan
pengecekan baik mengenai tanah yang dijaminkan maupun pabrik pengelohan rotan.
Hanya berdasarkan kepada pengecekan lapangan yang tidak akurat HH permohonan
jaminan itu disetujui. Ternyata RS yang membeli rotan dan yang meminta jaminan tidak
membayar pembelian rotan tersebut. Oleh karena itu PT. AKI harus membayarnya.
13
Selanjutnya PT. AKI berniat untuk mengeksekusi jaminan berupa tanah-tanah,
tetapi ternyata tanah-tanah tersebut milik orang lain. RS telah menghilang. Terdakwa
dituduh karenanya merugikan perusahaan sebesar dua milyar lebih. Karena merugikan
perusahaan yang merupakan PT Persero, berarti merugikan negara. Padahal laporan PT.
AKI pada tahun itu mendapatkan laba.
Saya berpendapat perkara ini bisa menjadi perkara korupsi kalau ternyata TG
menerima suap dari RS. Kalau tidak menerima suap ia hanya dikenakan tanggung jawab
perdata yaitu bertanggung jawab pribadi karena telah lalai menjalankan tugasnya.
Dalam perkara lain Republik Indonesia v. OKW (2010), Republik Indonesia
v. AA (2010), dan Republik Indonesia v. S (2010). Ketiga perkara tersebut adalah
berasal dari suatu peristiwa rusaknya rotor dari GTG milik PT. KDM pada bulan
Pebruari 2004. Atas bantuan GE selaku pabrikan ditunjukklah CV. SJU selaku agen GE
di Indonesia untuk mengatasi hal tersebut. Para Terdakwa dituduh melakukan korupsi
karena adanya kerugian keuangan negara pada transaksi tersebut, didasarkan kepada
alasan kemahalan membeli rotor. PT. KDM adalah anak perusahaan PT. PKT, dan PT.
PKT adalah anak perusahaan PT. Pusri (Persero). Dakwaannya adalah menimbulkan
kerugian keuangan negara, karena perbuatan terdakwa menguntungkan PT. KDM.12
Dalam perkara ini bekas Direktur Utama PT. Pupuk Kaltim anak perusahaan dari
PT. Pusri (Persero) didakwa telah melakukan penunjukan langsung dalam pembelian
rotor untuk pembangkit tenaga listrik. Duduk perkaranya bermula dari generator listrik
dari PT. Kaltim Daya Mandiri (anak perusahaan PT. Pupuk Kaltim) mengalami
kerusakan pada Gas Turbin Generatornya. PT. Kaltim Daya Mandiri mengajukan
permohonan untuk meminjam rotor cadangan (spare) milik PT. Pupuk Kaltim dan PT.
Pupuk Kaltim bersedia meminjamkan rotor yang sedang terpasang di Gas Turbin
Generator Kaltim II milik PT. Pupuk Kaltim dengan sistem sewa yang selanjutnya
dipasang di Gas Turbin PT. Kaltim Daya Mandiri.
Selanjutnya untuk memperbaiki rotor tersebut saksi Ir. AA selaku Ketua Panitia
Lelang A mengajukan surat kepada General Electric International Inc. (perwakilan
Indonesia) untuk menawarkan pekerjaan perbaikan tersebut dengan surat Nomor : 2278-
SDJI-T4-0208 tanggal 28 Juli 2004, namun dijawab oleh General Electric Internasional
Operations Company Inc. dengan Letter of Support tanggal 30 Juli 2004 yang pada
intinya menyerahkan perbaikan rotor kepada CV. Sumi Jaya Utama dan General Electric

12
Republik Indonesia v. OKW (2010).

14
Internasional Operations Company Inc. akan menyediakan spare part, repair, field
engineer and technical engineering untuk perbaikan rotor tersebut, karena CV. Sumi
Jaya Utama telah memperbaiki stator (bagian tidak bergerak) dari Gas Turbin Generator.
Kemudian berdasarkan Letter of Support tersebut Panitia Lelang A menunjuk
langsung CV. Sumi Jaya Utama untuk memperbaiki rotor tersebut sesuai Order
Pembelian Nomor : 2088-I-04-BE-ZAC tanggal 06 Mei 2004. Untuk perbaikan rotor
tersebut, kemudian CV. Sumi Jaya Utama membawa rotor tersebut ke General Electric
Keppel di Singapura dan memperoleh hasil yaitu biaya perbaikan rotor sebesar USD
2,678,098.30 dengan delivery time 30 minggu sesuai dengan surat penawaran harga dari
saudara M selaku Direktur CV. Sumi Jaya Utama kepada Kepala Biro Pengadaan yakni
saksi Ir. AA, SPPH Nomor : 2278-SJD1-T4-0208 tanggal 02 Agustus 2004 mengenai
spare parts rotor.
Atas balasan surat dari CV. Sumi Jaya Utama tersebut Kepala Biro Pengadaan
PT. Pupuk Kaltim yaitu saksi Ir. AA membuat surat kepada Direktur Teknik yaitu saksi
Ir. RD, IPM Nomor : 1244/DAAN/VIII/2004 tanggal 03 Agustus 2004 untuk
menginformasikan :
1. Harga perbaikan rotor tersebut ex work Singpore senilai US$ 2,678,098.30 dengan
delivery time 30 minggu.
2. Sedangkan untuk rotor baru senilai US$ 3,900,000 dengan delivery time 2 bulan.
Oleh karena harga rotor Assembly for Gas Turbine Generator (GTG-KDM) lebih
dari Rp. 500.000.000,-, maka saksi Ir. AA menyampaikan penawaran tersebut kepada
saksi Ir. RD, selaku Direktur Tehnik dan selanjutnya Ir. RD meneruskan penawaran
tersebut kepada terdakwa Drs. H. OKW, selaku Direktur Utama PT. Pupuk Kaltim untuk
mendapatkan persetujuannya selaku pejabat yang memiliki kewenangan dalam
menentukan pembelian barang diatas Rp. 500.000.000,-. Kemudian terdakwa Drs. H.
OKW. selaku Direktur Utama PT. Pupuk Kaltim menyetujui usulan yang disampaikan
oleh saksi Ir. RD dan meminta penurunan harga serta meminta penawaran harga untuk
pembelian dengan cara trade in (tukar tambah).
Atas persetujuan terdakwa Drs. H. OKW selanjutnya saksi Ir. AA membuat surat
Nomor : 169/Daan/VIII/04 tentang Penurunan dan Diskon Pembelian Rotor Baru dan
dibalas oleh CV. Sumi Jaya Utama dengan suratnya Nomor : 080/SJU-PKT/LET-2004
tanggal 5 Agustus 2004 yang menyatakan bahwa CV. Sumi Jaya Utama bisa
memberikan diskon harga sebesar 3% dari harga barang, yang oleh saksi Ir. AA surat
tersebut disampaikan kepada Kepala Kompartemen Pemeliharaan sesuai dengan surat
15
pengantarnya Nomor: 1260/DAAN/VIII.04 tanggal 05 Agustus 2004 dan meminta harga
rotor apabila dilakukan pembelian rotor sesuai dengan cara trade in (tukar tambah).
Dengan adanya surat dari CV. Sumi Jaya Utama tentang diskon tersebut, saksi Ir.
AA menyurati kembali CV. Sumi Jaya Utama dengan surat Nomor : 169/Daan/VIII.04
tanggal 12 Agustus 2004 yang pada pokoknya meminta masukan untuk harga pembelian
rotor baru (brand new), dan pembelian rotor baru (brand new) dengan sistem tukar
tambah. Atas surat tersebut CV. Sumi Jaya Utama memberikan surat balasan Nomor :
082/SJU-PKT/LET-2004 tanggal 14 Agustus 2004 yaitu pembelian rotor baru (band
new) yaitu senilai USD 3,850,000,- dan pembeelian rotor baru (brand new) dengan
sistem tukar tambah senilai USD 3,640,000.00.
Selanjutnya dibuat Order Pembelian Nomor : 2088-I-04-BE-ZAC tanggal
06Pembelian Nomor : 2088-I-04-BE-ZAC tanggal 06 Mei 2004 untuk pembelian Rotor
Assembly for Gas Turbine Generator (GTG-KDM) kondisi brand new.
Kemudian CV. Sumi Jaya Utama menghubungi PT. Imeco Inter Sarana selaku
distributor resmi spare part produk asli General Elctric di Indonesia untuk proses
pengadaan rotor baru tersebut, dimana rotor rotor yang diadakan oleh CV. Sumi Jaya
Utama tersebut berasal dari PT. General Electric Indonesia selaku produsen dan General
Electric menjual rotor baru eks work Eropa tersebut kepada PT. Imeco Inter Sarana yang
merupakan distributor General Electric Indonesia dengan harga US$ 2,396,000.00
selanjutnya PT. Imeco Inter Sarana menawarkan dan menjual rotor baru eks work Eropa
kepada CV. Sumi Jaya Utama dengan harga US$ 2,520,000.00,- Franco Jakarta,
sedangkan CV. Sumi Jaya Utama menjual rotor baru eks work Eropa tersebut kepada PT.
Pupuk Kaltim Tbk. Dengan harga US$ 3,640,000.00,-.
Saya didengar keterangannya sebagai ahli dalam perkara ini di Pengadilan Negeri
Bontang. Saya menerangkan antara lain, bahwa penunjukan langsung oleh suatu
perusahaan adalah diperbolehkan dalam keadaan tertentu, keadaan khusu, ataupun
dalam keadaan darurat yang tidak bisa ditunda pengadaan barang/jasanya. Dalam hal ini
selalu diperhitungkan kerugian yang lebih besar akan terjadi bila penunjukan langsung
tidak diadakan. Begitu juga penunjukan langsung bisa diadakan dengan alasan teknologi
yang diperlukan. Saya menerangkan pula bahwa PT. Pupuk Kaltim bukanlah BUMN,
begitu juga anak perusahaan PT. Pupuk Kaltim yaitu PT. Karya Daya Mandiri.
Keuangan perusahaan-perusahaan tersebut bukanlah keuangan negara. Begitu juga
keuangan PT. Pusri (Persero) sebagai BUMN bukanlah keuangan negara. Pendapat saya

16
ini didasarkan kepada doktrin Badan Hukum, Undang-Undang Perseroan Terbatas, dan
Fatwa Mahkamah Agung.
Jaksa Penuntut Umum menyatakan dalam tuntutannya, bahwa terdakwa telah
menguntungkan PT. Karya Daya Mandiri, dengan demikian telah merugikan PT. Pupuk
Kaltim, selanjutnya merugikan PT. Pusri (Persero), karena keuangan PT. Pusri (Persero)
adalah keuangan negara, maka perbuatan terdakwa merugikan keuangan negara, berarti
melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Menurut pendapat saya, anak perusahaan BUMN, bukanlah BUMN melainkan
Perseroan Terbatas (PT) biasa. Keuangan BUMN bukanlah keuangan negara, melainkan
keuangan BUMN itu sendiri sebagai Badan Hukum. Keuangan negara adalah pajak yang
dibayar BUMN dan dividen yang diterima negara sebagai pemagang saham. Keuangan
anak perusahaan BUMN bukanlah keuangan negara. Majelis Hakim Pengadilan Negeri
dalam perkara ini dalam putusannya membebaskan para terdakwa dari segala tuntutan.
Dalam Tindak Pidana Korupsi No. : 39/PID.SUS/TIPIKOR/2013/PN.PBR. di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Pekanbaru, saya memberikan
keterangan ahli bahwa keuangan bank milik Pemerintah Daerah yang berbentuk
Perseroan Terbatas adalah bukan keuangan negara. Dasar hukumnya adalah, pertama,
bank milik Pemerintah Daerah tersebut adalah suatu Badan Hukum. Suatu Badan Hukum
sebagai subyek hukum mempunyai harta kekayaan sendiri terpisah dari kekeyaan direksi,
harta kekayaan komisaris, dan harta kekayaan pemegang sahamnya atau pemiliknya.
Bank milik Pemerintah Daerah yang berbentuk Persroan Terbatas, berdasarkan Pasal 1
angka 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Perseroan
Terbatas adalah Badan Hukum. Kedua, keuangan BUMD adalah bukan keuangan negara
dalam hal ini keuangan Pemerintah Daerah. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUU-
IX/2011 tanggal 25 September 2012 menyatakan piutang Bank BUMN setelah
berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN serta Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah bukan lagi piutang negara.
Badan Usaha Milik Daerah adalah suatu BUMN yang dimiliki oleh Pemerintah
Daerah, Pemerintah Daerah adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945). Namun, keuangan BUMD adalah juga
bukan keuangan negara dalam hal ini keuangan Pemerintah Daerah.
BPKP tidak mempunyai wewenang untuk memeriksa keuangan Bank BUMD,
karena :
17
1). Pasal 1 butir 4 Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah menyatakan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan, yang selanjutnya disingkat BPKP, adalah aparat pengawasan
intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
2). Pasal 49 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah menyatakan BPKP melakukan pengawasan
intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu yang
meliputi:
a. kegiatan yang bersifat lintas sektoral;
b. kegiatan kebendaharaan umum negara berdasarkan penetapan oleh Menteri
Keuangan selaku Bendahara Umum Negara; dan
c. kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden.
Bank BUMD bukanlah instansi Pemerintah dan tidak ada Keputusan Presiden
yang memberikan wewenang kepada BPKP untuk memeriksa keuangan Bank BUMD.
Keuangan BUMD diperiksa oleh akuntan publik berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang
No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Apabila suatu Bank Pembangunan Daerah mengalami satu kredit macet, bank
tersebut belum dapat dikatakan menderita kerugian; karena kerugian bank tersebut
dihitung dalam satu tahun buku, bukan dari satu kredit macet, atau satu bulan kredit
macet, atau satu triwulan kredit macet, atau satu semester kredit macet.
Dasar hukumnya adalah Pasal 66 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, antara lain menyatakan, laporan keuangan atas sekurang-kurangnya
necara akhir buku yang baru lampau dalam perbandingan dengan tahun buku
sebelumnya, laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan; wajib diaudit dan
mendapat pengesahan oleh Rapat Umum Pemegang Saham.
Sebelumnya Putusan Mahkamah Agung dalam Bambang Riyadi Sugomo v.
Handi Sujanto, No. 2743 K/Pdt/1995 (1996), berpendapat sama. Mahkamah Agung,
antara lain menyatakan, bahwa persoalan untung rugi suatu Perseroan Terbatas haruslah
diputuskan dan disahkan terlebih dahulu dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Mahkamah Agung juga berpendapat agar hasil neraca untung rugi Perseroan Terbatas
haruslah diaudit terlebih dahulu oleh seorang Akuntan Publik.
Bila ternyata dalam tahun buku bank milik Pemerintah Daerah yang berbentuk
PT tersebut dinyatakan mengalami kerugian, kerugian tersebut bukan merupakan
kerugian negara dalam hal ini Pemerintah Daerah.
18
Bila Direksi bank milik Pemerintah Daerah yang berbentuk PT tersebut
melakukan pemberian kredit lagi kepada pihak lain dalam usaha untuk mengatasi kredit
yang macet tadi, kebijakan Direksi tersebut tidak melanggar Undang-Undang Perbankan.
Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
menyatakan, bahwa anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan
dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut.
Penjelasan Pasal 97 ayat (5) huruf d menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan
mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian termasuk juga
langkah-langkah untuk memperoleh informasi mengenai tindakan pengurusan yang
dapat mengakibatkan kerugian, antara lain melalui forum rapat Direksi.
Menurut pendapat saya, kebijakan Direksi yang memberikan kredit lagi kepada
pihak lain untuk mengatasi kredit yang macet tadi masuk dalam tindakan untuk
mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Bila pemberian kredit yang kedua kepada pihak lain tersebut ternyata mengalami
kemacetan pula; Direksi bank milik Pemerintah Daerah yang berbentuk PT tersebut tidak
dapat dipersalahkan, karena keputusan tersebut adalah keputusan Direksi untuk
mengambil tindakan mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian.
Apabila kredit itu macet, bank sebagai kreditur dapat menyuruh lelang barang-
barang anggunan yang diikat dengan perjanjian Hak Tanggungan untuk benda tetap,
diikat dengan perjanjian Fidusia untuk benda-benda bergerak, diikat dengan dengan
perjanjian Gadai atas saham yang dijaminkan.
Negara sebagai pemegang saham dapat menggugat kerugian karena kredit macet
tersebut, sebagaimana disebutkan oleh Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 97 ayat (6) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, jika BUMN tersebut
berbentuk persero.
Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
menyatakan : Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap
19
Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang
dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS,
Direksi, dan/atau Dewan Komisaris. (huruf tebal dari saya).
Pasal 97 ayat (6) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
menyatakan : Atas nama Perseroan, Pemegang Saham yang mewakili paling sedikit
10% dari jumlah seluruh sahamnya dengan hak suara dapat mengajukan gugatan
melalui Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau
kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan. (huruf tebal dari saya).
Debitur yang tidak dapat membayar pinjaman kreditnya tidak dapat dinyatakan
telah melakukan tindak pidana korupsi; kecuali ia melanggar Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Apabila ada perbuatan memberi dan menerima suap (Pasal 5), penggelapan uang
atau surat berharga atau membiarkan orang lain melakukan penggelapan (Pasal 8),
memalsukan buku-buku atau daftar khusus untuk pemeriksaan adminitrasi (Pasal 9).
Pasal 10 menyatakan juga sebagai tindak pidana korupsi :
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan
di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
b. membiarkan orarg lain menghilangkan, menghancurkan merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkau, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut.
Sebagaimana saya katakan di atas, tindak pidana korupsi bukan saja berlaku
terhadap keuangan negara tetapi juga kepada keuangan siapa saja termasuk keuangan
swasta. Guna mencegah korupsi, masing-masing Negara Anggota Anti Korupsi PBB,
wajib mengambil tindakan-tindakan sedemikian sebagaimana mungkin diperlukan,
sesuai dengan hukum dan peraturan internalnya mengenai penyimpanan buku-buku dan
catatan-catatan, pengungkapan-pengungkapan laporan keuangan dan standar-standar
akuntansi dan audit, untuk melarang tindakan-tindakan berikut yang dilakukan untuk
tujuan pelaksanaan pelenggaran-pelanggaran yang dilakukan sesuai dengan Konvensi
ini:
a) Penyelenggaraan akuntansi ekstra pembukuan;
20
b) Penyelenggaraan transaksi-transaksi ekstra pembukuan atau yang tidak cukup jelas;
c) Pencatatan pengeluaran yang tidak nyata;
d) Pemasukan kewajiban-kewajiban dengan identifikasi tujuan yang tidak benar;
e) Penggunaan dokumen-dokumen palsu; dan
f) Perusakan sengaja atas dokumen-dokumen pembukuan terlebih dahulu dari yang
direncanakan oleh undang-undang.
Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption 2003 dengan
Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention
Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).
Dalam kasus yang menyangkut PT. PLN (Persero) di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Negeri Semarang tanggal 10 Oktober 2013 saya menyatakan
tindakan PT. PLN (Persero) yang membayar ganti rugi kepada masyarakat bersangkutan
adalah sah karena masyarakat yang tanah dan tanam tumbuhnya yang terkena proyek
pembangunan berhak mendapat ganti rugi sebagaimana yang disebutkan dalam Peraturan
Presiden No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum.
Untuk pemberian ganti rugi tanaman yang terkena proyek tenaga listrik tertuang
dalam Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 975K/47/MPE/1999 jo.
Peraturan Mentamben No. 01.P/47/1992 tentang Ruang Bebas Saluran Udara Tegangan
Ekstra Tinggi (RBSUTET) dan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) untuk
penyaluran tenaga listrik.
Pimpinan PT PLN (Persero) dapat mengambil kebijakan dalam pembayaran ganti
rugi demi kelancaran pembayaran ganti rugi dan pembangunan proyek, karena peraturan
yang lebih tinggi mengharuskan pembayaran ganti rugi tersebut; yaitu Peraturan
Presiden No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum.
Kebijakan PLN yang membayar ganti rugi tanam tumbuh yang tingginya
dibawah 3 meter adalah sah. Tanaman bayam, kangkung, padi, tidak ada yang tingginya
3 meter. Namun harus dibayar ganti ruginya. Surat Keputusan Menteri Pertambangan
dan Energi tentang Ganti Rugi dapat disimpangi oleh kebijakan Pimpinan PT PLN
(Persero), demi kelancaran pembayaran ganti rugi dan kelancaran pembangunan proyek
yang bersangkutan. Peraturan yang lebih tinggi mengharuskan pembayaran ganti rugi

21
tersebut; yaitu Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Pimpinan PT PLN (Persero) tidak dapat dituduh melakukan tindak pidana
korupsi karena ia tidak terbukti menerima suap atau memberi suap, menggelapkan atau
mendapatkan keuntungan untuk dirinya sendiri. Tindakannya tidak memenuhi unsur-
unsur tindak pidana korupsi seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Konvesi Anti Korupsi
PBB Tahun 2003 yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia dengan Undang-
Undang No. 7 Tahun 2006.

Presiden Dapat Dituduh Ikut Merugikan Keuangan Negara


Instruksi Presiden agar Pertamina menurunkan harga Gas Tabung 12 kg dalam
satu hari, menurut orang awam hukum, telah merugikan keuangan negara. Dengan
menurunkan kenaikan harga Gas Tabung 12 kg menjadi Rp. 1.000,-, Pertamina
mengalami kerugian sekitar Rp. 6,7 triliun (kecuali Pemerintah memberikan subsidi
lagi). Pertamina adalah BUMN yang 100% modalnya milik negara.
Dengan Instruksi tersebut Presiden bisa melanggar Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Pasal 2 huruf g Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
menyatakan uang BUMN adalah uang negara. Selanjutnya Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Kemudian Pasal 3 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan : Setiap orang
yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat

22
1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
Dengan demikian merugikan keuangan BUMN adalah tindak pidana korupsi.
Seperti yang saya katakan di atas tadi uang BUMN bukanlah uang negara.

Kesimpulan
Direksi karena keputusannya telah merugikan suatu P.T., tetapi karena keputusan
tersebut telah diambil melalui prosedur yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar P.T.,
tidak mempunyai pertentangan kepentingan dengan dirinya, dan telah mengambil
keputusan tersebut dengan hati-hati; maka ia tidak dapat dimintai pertanggung jawab
pribadi atas kerugian tersebut. Kerugian suatu P.T. didasarkan kepada transaksi dalam
satu tahun buku, bukan transaksi dalam enam bulan, atau tiga bulan, atau satu transaksi.
Pemegang Saham yang merasa dirugikan oleh Direksi, antara lain, dapat menggugatnya
atas nama pribadi atau atas nama perseroan.
Gugatan tersebut adalah gugatan perdata. Kerugian P.T. menjadi tindak pidana
kalau Direksi terbukti memberi atau menerima suap, memutar balikkan pembukuan, atau
menghilangkan bukti-bukti pembukuan tersebut.
Sebaiknya Presiden segera mengeluarkan PERPU (Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang) yang menyatakan Pasal 2 huruf g Undang-Undang No. 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara tidak berlaku.
Karangan ini saya peruntukan kepada Prof. Dr. Valerine J.L. Kriekhoff, SH. MA.
dalam rangka hari ulang tahunnya yang ke-70. Sahabat saya sejak masa remaja, ketika
kami bertetangga sebagai anak kramat. Saya tinggal di Kompleks Pegadaian Kramat
Raya No. 162 dan beliau tinggal di Kramat VIII Jakarta. Semoga panjang usia serta
mulia.

______

23

Anda mungkin juga menyukai