Anda di halaman 1dari 9

Tugas Eksplorasi Minyak dan Gas

PSC vs Gross Split, serta Kajian Analisis Cekungan pada blok


Masela

Sebuah Resume Singkat


Diajukan sebagai tugas mata kuliah Eksplorasi Minyak dan
Gas Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjajaran

Disusun oleh
Stephen
270110140141
Kelas A
Program Studi Teknik Geologi

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjajaran

Tahun ajaran 2014/2015


PSC vs Gross Split
Indonesia selama ini menggunakan skema kontrak bagi hasil atau Production Sharing
Contract (PSC). Skema PSC lahir karena adanya ketidakpuasan dengan sistem
pertambangan migas di Indonesia yang sebelumnya yakni konsesi dan kontrak karya.
(Baca: Luhut: Kontraktor Tak Bisa 'Mainkan' Produksi di Skema Gross Split)

Ide PSC tercetus dari Ibnu Sutowo, setelah menjadi Presiden Direktur PERMINA dan
Menteri Minyak dan Gas Bumi tahun 1965. Dua pihak yakni pemerintah dan
perusahaan minyak bisa berbagi hasil produksi migas, bukan bagi hasil penjualan
migas seperti kontrak karya. Pemerintah selaku tuan rumah juga mempunyai
kewenangan manajemen.

Skema PSC sudah mengalami beberapa perubahan. Yang saat ini dipakai merupakan
generasi ketiga sejak 1988. Dalam skema ini, negara mendapatkan bagi hasil sebesar
85 persen, sisanya kontraktor. Sedangkan untuk kontrak gas, sebanyak 70 persen bagi
negara.

PSC juga menerapkan cost recovery. Penggantian biaya operasi dilakukan setelah
produksi migas dipotong First Tranche Petroleum. (Baca:Pengusaha Masih Keberatan
Penetapan Skema Bagi Hasil Gross Split)

Namun, skema cost recovery ini kerap menimbulkan perdebatan. Penggantian biaya
kepada kontraktor sering dipersoalkan dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) dan dituding berpotensi merugikan negara.

Dalam menentukan besaran cost recovery, juga kerap terjadi saling curiga antara
kontraktor dan pemerintah yang diwakili oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). Siapa yang berkompeten menentukan
nilai sebuah teknologi dan besaran cost recovery, kata seorang pejabat di
Kementerian Energi.

Untuk itu, pemerintah merancang skema kontrak baru yakni gross split. Skema ini
tidak lagi menyertakan komponen cost recovery. Alhasil, Kontraktor Kontrak Kerja
Sama (KKKS) akan menanggung seluruh biaya operasi hulu migas. Sebaliknya,
pemerintah hanya mendapatkan pembagian produksi.
Cara ini diklaim lebih efektif dan efisien karena tidak perlu lagi mengawasi anggaran
cost recovery dan pemilihan teknologi yang digunakan. Pemerintah
cukup mengawasi besaran produksi. Apalagi, Kementerian Energi telah
mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 39 Tahun 2016 yang mewajibkan
pemasangan alat ukur produksi di setiap lapangan. (Baca: Pelaku Migas Kaji
Untung-Rugi Skema Bagi Hasil Gross Split)

Skema gross split sebenarnya juga bukan barang baru di industri hulu migas dalam
negeri. Tahun lalu, Kementerian Energi menerbitkan Peraturan Menteri ESDM
Nomor 38 Tahun 2015 tentang percepatan pengusahaan migas nonkonvensional.
Dalam aturan itu terdapat opsi skema bagi hasil dengan memakai gross split sliding
scale.

Skema kontrak bagi hasil ini berdasarkan prinsip pembagian produksi kotor secara
progresif setiap tahun. Jadi, tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi.
Untuk blok migas konvensional, pemberlakuan skema ini hanya untuk kontrak migas
baru. Alasannya, pemerintah akan tetap menghormati kontrak-kontrak migas yang
tengah berjalan. Jadi, kontrak migas yang ada saat ini tidak akan diutak-atik dan
masih menggunakan skema bagi hasil migas (PSC) hingga kontraknya berakhir.

Sebelum skema gross split berlaku untuk blok konvensional, pemerintah sedang
merumuskan besaran bagi hasilnya. Dengan begitu, ada formula yang jelas dalam
menentukan besaran. Selama ini tidak ada alasan yang cukup kuat untuk menentukan
bagi hasil minyak untuk negara sebesar 85 persen, sedangkan gas 70 persen.

Jadi, perlu ada formula yang tetap untuk menghitung bagi hasil migas. Skema gross
split ini akan berbeda untuk tiap lapangan. Pemerintah menetapkan variabel dasar dan
variabel pendukungnya. Namun, saat ini, pemerintah masih menghitung besaran
variabel dasar dan pendukungnya dengan menggunakan model ekonomi.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengungkapkan, setidaknya ada lima kriteria
untuk menentukan bagi hasil dengan skema gross split. Pertama, besaran reservoir
migas yang terkandung di dalam perut bumi. Kedua, lokasi proyek migas yang akan
dikelola oleh kontraktor. Ketiga, kondisi lapangan.

Keempat, tingkat kesulitan berdasarkan kondisi geologis. Kelima, karakteristik


cadangan yang akan ada, yaitu blok migas konvensional atau nonkonvensional serta
penggunaan teknologi yang akan dipakai kontraktor di suatu wilayah kerja migas.
Tak hanya mencakup lima kriteria itu, pemerintah juga mempertimbangkan
komponen lokal sebagai salah satu penentu besaran bagi hasil dengan skema gross
split. Prinsipnya, semakin banyak kontraktor migas menyertai Tingkat Kandungan
Dalam Negeri (TKDN) dalam kegiatan hulu migasnya maka semakin berpeluang
mendapatkan bagi hasil yang lebih besar.

Jonan mencontohkan, kontraktor menggunakan komponen lokal sebanyak 30 persen


maka bagi hasilnya bisa bertambah empat persen. Jadi real, kalau sekarang ini kan
setengah memaksa, katanya. (Baca: Komponen Lokal Jadi Penentu Besaran Bagi
Hasil Skema Gross Split)

Sementara itu Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia
Bidang Migas Bobby Gafur mengatakan pemerintah harus tetap mengawasi tingkat
komponen dalam negeri (TKDN). Jika tidak, industri lokal akan kalah bersaing
dengan barang impor.

Apalagi menurut Bobby, barang luar negeri seperti Cina yang harganya lebih murah
dibandingkan produk lokal. "Kalau Sumber Daya Manusia (SDM), kita tidak kalah
dibanding Amerika Serikat. Tapi dibanding Cina, itu kalah lebih murah," ujar dia.

Fungsi kelembagaan SKK Migas

Penerapan skema gross split ini juga memunculkan banyak pertanyaan mengenai
fungsi kelembagaan SKK Migas. Tidak adanya lagi cost recovery membuat fungsi
pengawasan SKK Migas berkurang.

Namun, Jonan memastikan keberadaan SKK Migas meski tidak ada lagi cost
recovery. Meski begitu, tugasnya memang berubah. Dari yang sekarang memeriksa
biaya orang, sekarang fokusnya ke produksi, safety, dan security, fokus ke
eksplorasi, kata dia
Sedangkan Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi menjelaskan, penerapan skema
gross split tetap akan di bawah pengawasan lembaganya. Misalnya, untuk pengajuan
rencana kerja kontraktor, maka perlu melalui persetujuan SKK Migas. Bedanya,
dalam skema gross split, kontraktor tidak perlu mengajukan detail anggaran biaya
yang perlu diganti pemerintah. Sebab, seluruh biaya operasi ditanggung oleh
kontraktor. Di sisi lain, SKK Migas berperan mengawasi penggunaan komponen
lokal dan rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang akan dipakai
kontraktor migas. Bahkan, SKK Migas juga tetap mengawasi aspek kesehatan,
keselamatan kerja, keamanan dan lingkungan (HSSE) kontraktor migas. Kalau ada
yang ngawur dan ada kecelakaan macam-macam kan yang disalahkan Menteri
ESDM juga, ujar Amien.
Kajian Analisis Cekungan pada Kasus Blok Masela

Blok
Blok Masela merupakan lapangan minyak bumi yang berada anda sebelah timur
pulau papua. Suatu saat dilakukan pemboran pada bagian utara blok Masela dengan
jumlah 3 sumur. Namun setelah dilakukan pemboran, ternyata hasilnya ialah Dry
well. Hal ini menjadi suatu anomali yang harus diteliti. Untuk mengetahui apa hal
yang menjadi penyebab pemboran sumur kering, maka kita sebagai Geologist harus
mengidentifikasi lima komponen Petroleum System:
Source Rock Tidak bermasalah, karena berasal dari satu source pada satu
daerah
Migration Tidak masalah, dibuktikan dengan bermigrasinya minyak pada
blok Natuna
Reservoir Bermasalah, karena seharusnya jika reservoir ada, tidak akan
dry
Seal Tidak bermasalah, karena litologi sama sama inpermeable
Trap Tidak bermasalah, sama sama memiliki Structural Trap maupun
Stratigraphic Trap
Alasan penempatan sumur bor A, B, dan C ialah karena sepanjang Blok Masela
sampai C dipercayai sebagai Bay/ Pantai, yaitu lingkungan pengendapan yang
sangat cocok untuk. Setelah dilakukan interpretasi berdasarkan peta Paleogeografi,
maka dapat ditemukan masalah utamanya:
Berdasarkan peta Paleogeografi, letak sumur bor A, B, dan C ialah pada teluk.
Dimana teluk memiliki litologi lempung yang inpermeable sehingga tidak bisa
menjadi reservoir. Sedangkan blok Masela sendiri terletak pada Tanjung yang
didominasi oleh batupasir sehingga dapat menjadi Reservoir. Berikut di bawah ini
contoh sederhana dari Peta Paleogeografi.
Tanjung Teluk

Anda mungkin juga menyukai