Anda di halaman 1dari 11

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Afiks dalam Bahasa Indonesia

Putrayasa (2008: 5) mengatakan afiks adalah bentuk linguistik yang pada

suatu kata merupakan unsur langsung dan bukan kata atau pokok kata, yang

memiliki kemampuan melekat pada bentuk-bentuk lain untuk membentuk kata

atau pokok kata baru. Ramlan (1987 : 56) mengatakan bahwa setiap afiks tentu

berupa satuan terikat, artinya dalam tuturan biasa tidak dapat berdiri sendiri, dan

secara gramatika selalu melekat pada satuan lain.

Chaer (2008: 23) mengatakan morfem afiks adalah morfem yang tidak dapat

menjadi dasar dalam pembentukan kata, tetapi hanya menjadi unsur pembentuk

dalam proses afiksasi. Dalam proses afiksasi sebuah afiks diimbuhkan pada

bentuk dasar sehingga hasilnya menjadi sebuah kata.

Jadi, afiks ialah suatu bentuk terikat apabila ditambahkan pada suatu bentuk

lain akan mengubah makna gramatikalnya dan membentuk kata baru. Afiks

disebut juga imbuhan. Misalnya, pada kata menulis, mainan, dan sadarkan

terdapat afiks men-, -an, dan kan.

2.1.2 Gangguan Berbahasa

Gangguan berbahasa pada dasarnya disebabkan adanya keretakan atau

kelainan medan-medan bahasa di korteks yang mendasari bahasa. Gangguan

8
berbahasa (language disorder) dipakai sebagai istilah umum yang luas untuk

melukiskan perilaku berbahasa tertentu yang abnormal, dan kekurangan perilaku

lainnya yang dialami seorang anak yang berlainan atau menyimpang dari perilaku

anak-anak yang seumur dengannya (Simanjuntak, 2009: 248).

Chaer (2009: 148) menjelaskan gangguan berbahasa ini secara garis besar

dapat dibagi dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis; dan kedua, akibat

faktor lingkungan sosial. Gangguan akibat faktor medis adalah gangguan baik

akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicara, sedangkan

gangguan akibat faktor lingkungan sosial adalah lingkungan kehidupan yang tidak

alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan

masyarakat manusia yang sewajarnya.

2.1.3 Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan bangsa Indonesia, sebagaimana

tersirat dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan bahasa negara sebagaimana

dinyatakan dalam UUD RI 1945 Bab XV Pasal 36.

Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara

lisan maupun tulisan. Tuturan bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa yang

lazim dipakai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia terutama dalam

percakapan.

Bahasa Indonesia digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai alat

komunikasi verbal dalam hubungan antarwarga, antardaerah, dan antarsuku

bangsa. Bahasa Indonesia bukan hanya dipakai sebagai alat komunikasi timbal

9
balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja sebagai alat

perhubungan antardaerah dan antarsuku tetapi juga sebagai alat perhubungan di

dalam masyarakat yang sama latar belakang sosial budaya dan bahasanya

(Salliyanti, 2011: 5).

2.1.4 Autisme

Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu

auto yang berarti diri sendiri dan ism yang secara tidak langsung menyatakan

orientasi atau arah atau keadaan (state). Sehingga autisme dapat didefinisikan

sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asyik dengan dirinya sendiri (Reber,

1985 dalam Trevarthen dkk, 1998).

Kata autisme mengacu pada gangguan atau kelainan. Autisme pertama kali

diperkenalkan dalam suatu makalah pada tahun 1943 oleh seorang psikiatris

Amerika yang bernama Leo Kanner (Simanjuntak, 2009: 249). Ia menemukan

sebelas anak yang memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu tidak mampu berkomunikasi

dan berinteraksi dengan individu lain dan sangat tak acuh terhadap lingkungan di

luar dirinya, sehingga perilakunya tampak seperti hidup dalam dunianya sendiri.

Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang

berhubungan dengan komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi.

Gejalanya tampak sebelum anak berusia tiga tahun. Ciri-cirinya menunjukkan

adanya hambatan kualitatif dalam interaksi sosial yang terjadi sebelum umur tiga

tahun yaitu, komunikasi dan terobsesi pada satu kegiatan atau obyek, yang mana

10
mereka memerlukan layanan pedidikan khusus untuk mengembangkan

potensinya.

Jadi, anak autisme merupakan penyandang autisme yang mengalami

masalah gangguan perkembangan otak yang memengarungi banyak fungsi,

terutama memengaruhi fungsi komunikasi verbalnya.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Afiksasi

Afiksasi adalah proses pembentukan kata dengan membubuhkan afiks

(imbuhan) pada bentuk dasar, baik bentuk dasar tunggal maupun kompleks

(Putrayasa, 2008: 5). Proses pengafiksan dapat dibedakan menjadi (1)

pembubuhan depan, dengan melibatkan prefiks atau awalan, (2) pembubuhan

akhir, dengan melibatkan sufiks atau akhiran, (3) pembubuhan tengah, dengan

melibatkan infiks atau sisipan, dan (4) pembubuhan terbelah dengan melibatkan

konfiks (Cahyono, 1995: 110).

Menurut Verhaar (2001 : 107-108) afiks dalam proses afiksasi ada 4

macam, yaitu:

a. Prefiks, yang diimbuhkan di sebelah kiri dasar dalam proses yang disebut

prefiksasi. Contoh: prefiks {men-} seperti: mencuri; prefiks {pen-} seperti

dalam pengurus; prefiks {ke-} dalam kedua; prefiks {se-} seperti dalam

setinggi; {ber-} seperti dalam berjuang, belajar; {memper-} seperti dalam

memperbanyak atau memperkuat.

11
b. Sufiks, yang diimbuhkan di sebelah kanan dasar dalam proses yang disebut

sufiksasi. Contoh: sufiks {-an}, seperti dalam akhiran dan tuntutan, {-wan}

dan {-wati} seperti dalam wartawan dan wartawati; {-ku}, {-mu} dan {-nya}

seperti dalam mainanku, mainanmu dan mainannya.

c. Infiks, yang diimbuhkan dengan penyisipan di dalam dasar itu, dalam proses

yang namanya infiksasi. Contoh: infiks {-el-} dalam kata telunjuk; dan

{-em-} dalam kata gemetar.

d. Konfiks, atau simulfiks, atau ambifiks, atau sirkumfiks, yang diimbuhkan

untuk sebagian di sebelah kiri dasar dan untuk sebagian di sebelah kanannya,

dalam proses yang dinamai konfiksasi, atau simulfiksasi, atau

ambifiksasi, atau sirkumfiksasi. Contoh: konfiks {men-kan}, {memper-

kan}, {men-i}, {memper-i} seperti dalam menyembelihkan, mempermainkan,

menduduki, dan memperingati; {ke-an}seperti dalam keindahan, ketinggian.

2.2.2 Neurolinguistik

Bahasa berdomisili di hemisfer kiri otak. Penemuan pertama pusat bahasa

di hemisfer kiri otak ini adalah Carl Wernicke. Pada tahun 1874 Carl Wernicke

memastikan dengan jelas sebuah fakta, bahwa terdapat perbedaan linguistik di

antara afasia yang ditimbulkan oleh kerusakan pada lobus temporal kiri (Medan

Wernicke) dengan afasia yang ditimbulkan oleh kerusakan pada lobus frontal

(depan) kiri (Medan Broca). Medan Wernicke ini dianggap terlibat dalam

pengenalan pola-pola bahasa ucapan. Kerusakan pada medan Wernicke

mengakibatkan kegagalan untuk memahami bahasa ucapan (bahasa lisan).

12
Pada tahun 1861 Paul Broca memulai pengkajian hubungan afasia dengan

otak. Broca yang pertama kali membuktikan, bahwa afasia berhubungan dengan

keretakan otak yang spesifik dan juga menunjukkan, bahwa keretakan-keretakan

ini terjadi di hemisfer kiri otak. Broca membuktikan bahwa terdapat lokalisasi

khusus di hemisfer kiri otak untuk memeroduksi bahasa. Broca mengajukan tiga

rumusan mengenai hubungan otak dengan bahasa: 1) artikulasi bahasa diproses di

hemisfer kiri otak bagian depan; 2) terdapat dominasi hemisfer kiri dalam

artikulasi bahasa; 3) memahami bahasa merupakan tugas kognitif yang berlainan

dari memproduksi bahasa. Selanjutnya, Wernicke menemukan bahwa medan

Broca dan medan Wernicke dihubungkan oleh sebuah lajur syaraf yang besar

yaitu busur fasikulus (arcuate fasciculus).

2.2.3 Gangguan Berbahasa

Haron (1997) mengelompokkan gangguan berbahasa (kecacatan artikulasi)

yang dihasilkan oleh para penderita gangguan berbahasa ke dalam empat macam

tipe, yakni substitussion (pertukaran unsur bahasa), distortion (salah urut unsur

bahasa), omission (pelesapan atau penghilangan unsur bahasa), dan addition

(penambahan unsur bahasa).

Anak autisme mengalami keterbatasan dalam berbahasa. Kita tidak dapat

berkomunikasi verbal secara normal dengan anak autisme karena terjadinya

kerusakan bahasa. Kerusakan bahasa yang terjadi pada anak autisme itu dapat

juga disebut afasia. Afasia adalah kehilangan sebagian atau seluruh kemampuan

bicara karena penyakit, cacat, atau cedera pada otak (KBBI, 2008: 13). Dalam

13
Chaer (2009: 156-158) kajian tentang afasia atau afasiologi dalam

perkembangannya menghasilkan berbagai taksonomi yang sangat

membingungkan, tetapi taksonomi yang telah disederhanakan oleh Benson, afasia

dibedakan atas afasia ekspresi atau afasia motorik, yang dulu dikenal sebagai

afasia tipe Broca, dan afasia reseptif atau afasia sensorik yang dulu dikenal

sebagai afasia Wernicke. Berikut dibicarakan jenis-jenis afasia itu.

a. Afasia Motorik

Kerusakan pada belahan otak yang dominan yang menyebabkan terjadinya

afasia motorik dapat terletak pada lapisan permukaan (lesikortikal) daerah Broca.

Atau pada lapisan di bawah permukaan (lesi subkortikal) daerah Broca atau juga

di daerah otak antara daerah Broca dan daerah Wernicke (lesi transkortikal). Oleh

karena itu, didapati adanya tiga macam afasia motorik ini, antara lain:

1. Afasia motorik Kortikal

Tempat menyimpan sandi-sandi perkataan adalah korteks daerah Broca.

Maka apabila gudang penyimpanan itu musnah, tidak akan ada lagi perkataan

yang dapat dikeluarkan. Jadi, afasia motorik kortikal adalah hilangnya

kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan.

Penderitanya masih mengerti bahasa lisan dan tulisan. Namun, ekspresi verbal

tidak dapat sama sekali; sedangkan ekspresi visual (bahasa tulis dan bahasa

isyarat) masih dapat dilakukan.

2. Afasia Motorik Subkortikal

Sandi-sandi perkataan disimpan di lapisan permukaan (korteks) daerah

Broca, maka apabila kerusakan terjadi pada bagian bawahnya (subkortikal) semua

14
perkataan masih tersimpan utuh di dalam gudang. Namun, perkataan itu tidak

dapat dikeluarkan karena terputus, sehingga perintah untuk mengeluarkan

perkataan tidak dapat disampaikan. Melalui jalur lain, perintah untuk

mengeluarkan perkataan masih dapat disampaikan ke gudang penyimpanan

perkataan itu (gudang Broca) sehingga ekspresi verbal masih mungkin dengan

pancingan. Jadi, penderitanya tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan

menggunakan perkataan, tetapi masih dapat berekspresi verbal dengan membeo.

Selain itu, pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu, dan ekspresi

visual pun berjalan normal.

3. Afasia Motorik Transkortikal

Afasia motorik transkortikal terjadi karena terganggunya hubungan

langsung antara daerah Broca dan Wernice. Ini berarti, hubungan langsung antara

pengertian dan ekspresi bahasa terganggu. Pada umumnya afasia motorik

transkortikal ini merupakan lesikortikal yang merusak sebagian daerah Broca.

Jadi, penderitanya dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat; tetapi

masih mungkin menggunakan perkataan substitusinya. Misalnya untuk

mengatakan pensil sebagai jawaban atas pertanyaan Barang yang saya pegang ini

namanya apa? Dia tidak mampu mengeluarkan perkataan itu. Namun, mampu

untuk mengeluarkan perkataan,itu ,tu ,tu ,tu ,untuk menulis. Afasia ini disebut

juga afasia nominatif.

b. Afasia Sensorik

Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat adanya kerusakan pada

lesikortikal di daerah Wernicke pada hemisferium yang dominan. Daerah itu

15
terletak di kawasan asosiatif antara daerah visual, daerah sensorik, daerah

motorik, dan daerah pendengaran. Kerusakan di daerah Wernicke ini

menyebabkan bukan saja pengertian dari apa yang didengar (pengertian auditorik)

terganggu, tetapi juga pengertian dari apa yang dilihat (pengertian visual) ikut

terganggu. Jadi, penderita afasia sensorik ini kehilangan pengertian bahasa lisan

dan bahasa tulis. Namun, dia masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak

dipahami oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain.

Curah verbalnya itu merupakan bahasa baru (neologisme) yang tidak

dipahami oleh siapa pun. Curah verbalnya itu terdiri atas kata-kata, ada yang

mirip, ada yang tepat dengan perkataan suatu bahasa; tetapi kebanyakan tidak

sama atau sesuai dengan perkataan bahasa apa pun.

Neologisme itu diucapkannya dengan irama, nada, dan melodi yang sesuai

dengan bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun wajar-wajar saja, seakan-akan

dia berdialog dalam bahasa yang saling dimengerti. Dia bersikap biasa, tidak

tegang, marah, atau depresif. Sesungguhnya apa yang diucapkannya maupun apa

yang didengarnya (bahasa verbal yang normal), keduanya sama sekali tidak

dipahaminya.

2.3 Tinjauan Pustaka

Gustianingsih (2009) dalam disertasi berjudul Produksi dan Komprehensi

Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia pada Anak Penyandang Autistic Spectrum

Disorder, menyimpulkan bahwa anak autisme sering melakukan penyimpangan

pada awal dan akhir kata, mengindikasikan bahwa anak autisme mengalami

16
gangguan inisiasi (initiation disorder) dan mengalami kesulitan untuk

menuntaskan ujaran. Anak autisme ini sering mengulang-ulang ujarannya dan

akhirnya tidak tuntas.

Rajagukguk (2012) dalam skripsinya berjudul Kalimat Inti Bahasa

Indonesia pada Penderita Afasia Broca, menjelaskan bahwa kalimat inti bahasa

Indonesia pada penderita Afasia Broca tidak sempurna karena adanya gangguan

pada saraf medan Broca di hemisfer kiri otak. Skripsinya menggunakan teori

sintaksis Abdul Chaer 2007 dan neurolinguistik. Hasil penelitiannya menyebutkan

bahwa penderita Afasia Broca mengucapkan kalimat inti dengan hanya pada

bagian yang paling inti dari sebuah kalimat yang memiliki empat pola, yaitu

pola FN + FN, FN + Fnum, FV + FN, dan FP. Gangguan berbahasa yang

dialami adalah pelesapan/penghilangan unsur kebahasaan dan pertukaran unsur

kebahasaan kalimat inti bahasa Indonesia.

Girsang (2013) dalam skripsinya yang berjudul Gangguan Penggunaan

Kalimat Dasar Bahasa Indonesia pada Penyandang Spektrum Autisme,

menjelaskan bahwa penyandang autisme mengalami gangguan berbahasa dalam

penggunaan kalimat dasar bahasa Indonesia. Skripsinya menggunakan teori

sintaksis Sugono dan neurolinguistik. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa

penyandang spektrum autisme mengalami gangguan berbahasa seperti

substitussion (pertukaran unsur bahasa), distortion (salah urut unsur bahasa), dan

omission (pelesapan atau penghilangan unsur bahasa). Pola kalimat dasar yang

mereka ucapkan ada tiga, yaitu P K, P Pel, dan S O. Kalimat dasar yang

17
diucapkan oleh penyandang spektrum autisme berbeda dengan kalimat dasar yang

diucapkan oleh manusia normal.

Aritonang (2014) dalam skripsinya berjudul Kosakata Kerja Bahasa

Indonesia dalam Bahasa Lisan Anak Autistik : Analisis Psikolinguistik

Behaviorisme, menjelaskan tentang kosakata kerja kerja bahasa Indonesia yang

paling sering digunakan pada anak autistik ringan. Skripsinya menggunakan teori

psikolinguistik behaviorisme oleh Watson yang mengemukakan tentang dua

prinsip yaitu recency principle (prinsip kebaruan), dan frequency principle

(prinsip frekuensi). Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa kosakata kerja

bahasa Indonesia yang paling banyak dikuasai anak autistik ringan usia 3-15

tahun adalah kosakata kerja keadaan dibandingkan dengan kosakata proses dan

tindakan.

Beberapa tinjauan pustaka di atas merupakan sumber yang relevan untuk

dikaji dalam penelitian ini. Kajian dalam tinjauan pustaka di atas menjadi sumber

referensi bagi peneliti dalam meneliti gangguan berbahasa pada anak autisme,

terutama melihat teori-teori untuk mengkaji tentang ganggguan berbahasa dan

anak autisme. Tinjauan pustaka tersebut menunjukkan bahwa penelitian terhadap

gangguan berbahasa pada anak autisme sudah pernah dilakukan sebelumnya.

Akan tetapi penelitian tentang gangguan pembentukan afiks pada anak autisme

belum pernah ditemukan. Tinjauan pustaka di atas menjelaskan bahwa gangguan

berbahasa terjadi pada anak autisme karena adanya kerusakan syaraf otak pada

hemisfer kiri. Oleh karena itu, anak autisme dalam berbagai aspek kebahasaan

memiliki kekurangan yang beraneka ragam.

18

Anda mungkin juga menyukai