Anda di halaman 1dari 26

CASE BASE DISCUSSION

(CBD)

SEROTINUS

Pembimbing :

dr.Muslich Ashari, Sp. OG

Disusun oleh :

Farkhana Dwi Ariyani

1
01.209.5906

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2013

KEHAMILAN POST TERM (SEROTINUS)

A. Definisi Kehamilan Postterm

Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians


and Gynecologists (2004), kehamilan postterm adalah kehamilan yang
berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama
siklus haid terakhir (HPHT). (Cunningham, et al., 2010)

B. Patogenesis Kehamilan Postterm

Penyebab pasti dari kehamilan postterm sampai saat ini masih belum
diketahui dengan pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk menerangkan
penyebab terjadinya kehamilan postterm antara lain:

1. Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya


kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh
progesteron melewati waktu yang semestinya. (Mochtar, et al., 2004)
2. Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita
hamil pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu fakor penyebab
terjadinya kehamilan postterm. (Mochtar, et al., 2004)
3. Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta
sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi
estrogen. Proses ini selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya
produksi prostaglandin. Pada kasus-kasus kehamilan dengan cacat bawaan
janin seperti anensefalus atau hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar
hipofisis janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan
baik sehingga kehamilan berlangsung lewat bulan. (Mochtar, et al., 2004)
4. Treori syaraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm
terjadi pada keadaan tidak terdapatnya tekanan pada ganglion servikalis,
seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian
terbawah janin. (Mochtar, et al., 2004)
5. Teori heriditer. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm
telah dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya. Kitska et al (2007)
menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang pernah
mengami kehamilan postterm akan memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami kehamilan postterm pada kehamilan berikutnya. Hasil
penelitian ini memunculkan kemungkinan bahwa kehamilan postterm juga
dipengaruhi oleh faktor genetik. (Kistka, et al., 2007)

Adanya pengaruh genetik terhadap kehamilan postterm tersebut telah


dibuktikan pada penelitian Biggar et al (2010). Biggar et al (2010) melakukan
penelitian tentang penyebab terjadinya kehamilan postterm dan telah
membuktikan adanya pengaruh sistem imunitas terhadap inisiasi persalinan
secara spontan. Biggar et al (2010) menemukan bahwa antigen HLA A dan B
pada janin postterm lebih memiliki persamaan dengan antigen maternal-nya
dibanding janin aterm. Kemungkinan pada kehamilan postterm terjadi
keterlambatan sistem imunitas maternal dalam mengenali antigen paternal
yang terdapat pada sel janin yang masuk ke dalam sirkulasi maternal melalui
mikrosirkulasi transplasental, khususnya antigen HLA tipe A dan B.
Keterlambatan ini menyebabkan tertundanya proses cascade yang dibutuhkan
untuk mengawali terjadinya tahapan persalinan secara spontan. (Biggar, et al., 2010)

C. Diagnosis Kehamilan Postterm

Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19%


dari seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh
(Cunningham, et al., 2010)
karena kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan. Oleh
sebab itu, pada penegakkan diagnosis kehamilan postterm, informasi yang
tepat mengenai lamanya kehamilan menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan
karena semakin lama janin berada di dalam uterus maka semakin besar pula
risiko bagi janin dan neonatus untuk mengalami morbiditas maupun mortalitas.
Namun sebaliknya, pemberian intervensi/terminasi secara terburu-buru juga
bisa memberikan dampak yang merugikan bagi ibu maupun janin.

1. Riwayat haid

Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk


ditegakkan apabila keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis
kehamilan postterm berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai dengan
definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and
Gynecologists (2004), yaitu kehamilan yang berlangsung lebih dari 42
minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir
(HPHT). (Cunningham, et al., 2010)

Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat


atau tidak bisa dipercaya. Menurut Mochtar et al (2004), jika berdasarkan
riwayat haid, diagnosis kehamilan postterm memiliki tingkat keakuratan
hanya 30 persen. Riwayat haid dapat dipercaya jika telah memenuhi
beberapa kriteria, yaitu: (a) ibu harus yakin betul dengan HPHT-nya; (b)
siklus 28 hari dan teratur, (c) tidak minum pil anti hamil setidaknya 3
bulan terakhir. (Mochtar, et al., 2004)

Hasil penelitian Savitz, et al (2002) menunjukkan bahwa usia


kehamilan yang ditentukan berdasarkan HPHT cenderung lebih sering
salah didiagnosa sebagai kehamilan postterm dibanding dengan
pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi yang terlambat. Penentuan usia
kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada asumsi bahwa kehamilan
akan berlangsung selama 280 hari (40 minggu) dari hari pertama siklus
(Cunningham, et al., 2010)
haid yang terakhir. Pendekatan ini berpotensi
menyebabkan kesalahan karena sangat bergantung kepada keakuratan
tanggal HPHT dan asumsi bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-14 siklus
menstruasi. Padahal, ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-14 siklus
karena adanya variasi durasi fase folikular, yang bisa berlangsung selama
7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang memiliki siklus 28 hari, masih ada
kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus. Akibatnya, terjadi
kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang seharusnya dihitung
mulai dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya bayi. (Bennett, et al., 2004) Tingkat
kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan HPHT
adalah 1,37 minggu. (Cohn, et al., 2010)

2. Riwayat pemeriksaan antenatal

Pernoll, et al (2007) menyatakan bahwa kehamilan dapat dinyatakan


sebagai kehamilan postterm bila didapat 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil
pemeriksaan sebagai berikut: (Pernoll, et al., 2007)

a. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif


b. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali
c. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler
d. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan
stetoskop Laennec

3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan


telah banyak menggantikan metode HPHT dalam mempertajam diagnosa
kehamilan postterm. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan
bahwa penentuan usia kehamilan melalui pemeriksaan USG memiliki
tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibanding dengan metode HPHT.

Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan


yang didapatkan akan semakin akurat sehingga kesalahan dalam
mendiagnosa kehamilan postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan
estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG
trimester I (crown-rump length) adalah 0,67 minggu. (Cohn, et al., 2010) Pada
usia kehamilan antara 16-26 minggu, ukuran diameter biparietal
(biparietal diameter/BPD) dan panjang femur (femur length/FL)
memberikan ketepatan 7 hari dari taksiran persalinan. (Mochtar, et al., 2004)

Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III


menurut hasil penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan
yang lebih rendah dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan
II. Ukuran-ukuran biometri janin pada trimester III memiliki tingkat
variabilitas yang tinggi sehingga tingkat kesalahan estimasi usia kehamilan
pada trimester ini juga menjadi tinggi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal
perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester III
bahkan bisa mencapai 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan usia
kehamilan pada trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan
melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban. (Cohn, et al., 2010)

4. Pemeriksaan cairan amnion

a. Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat


sel lemak dalam cairan amnion. Apabila jumlah sel yang mengandung
lemak melebihi 10%, maka kehamilan diperkirakan sudah berusia 36
minggu dan apabila jumlahnya mencapai 50% atau lebih, maka usia
kehamilan 39 minggu atau lebih. (Mochtar, et al., 2004)
b. Amniskopi. Melalui amnioskop yang dimasukkan ke kanalis yang
sudah membuka dapat dinilai keadaan air ketuban didalamnya. (Mochtar, et
al., 2004)
c.
Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian
terdahulu berhasil membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat
waktu pembekuan darah. Aktivitas ini meningkat dengan
bertambahnya usia kehamilan. Pada usia kehamilan 41-42 minggu,
ACTA berkisar antara 45-65 detik sedangkan pada usia kehamilan >42
minggu, didapatkan ACTA <45 detik. Bila didapatkan ACTA antara
42-46 detik, ini menunjukkan bahwa kehaminan sudah postterm. (Mochtar,
et al., 2004)

d. Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan kadar


L/S pada usia kehamilan sekitar 22-28 minggu adalah sama (1:1).
Pada usia kehamilan 32 minggu, perbandingannya menjadi 1,2:1 dan
pada kehamilan genap bulan menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat
dipakai untuk menentukan kehamilan postterm tetapi hanya
digunakan untuk menentukan apakan janin cukup usia/matang untuk
dilahirkan. (Mochtar, et al., 2004)

D. Komplikasi Kehamilan Postterm

Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan


amnion, plasenta, maupun janin. Pengetahuan mengenai perubahan-perubahan
tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengelola kasus persalinan postterm.

1. Disfungsi plasenta

Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi


pada kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi
plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian
mulai menurun terutama setelah 42 minggu. Rendahnya fungsi plasenta ini
berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 3 kali
lebih tinggi. Pemasokan makanan dan oksigen akan menurun akibat proses
penuaan plasenta disamping adanya spasme arteri spiralis. Janin akan
mengalami hambatan pertumbuhan dan penurunan berat hingga disebut
sebagai dismatur. (Cunningham, et al., 2010)

2. Oligohidramnion

Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas


cairan amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia
kehamilan 38 minggu, yaitu sekitar 1000 ml dan menurun menjadi sekitar
800 ml pada usia kehamilan 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion
berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml, 250 ml, hingga 160 ml pada usia
kehamilan 42, 43, dan 44 minggu. (Cunningham, et al., 2010)

Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm


berhubungan dengan penurunan produksi urin janin. Dilaporkan bahwa
berdasarkan pemeriksaan Doppler velosimetri, pada kehamilan postterm
terjadi peningkatan hambatan aliran darah (resistance index/RI) arteri
renalis janin sehingga dapat menyebabkan penurunan jumlah urin janin
(Oz, et al., 2002)
dan pada akhirnya menimbulkan oligohidramnion. Oleh sebab
itu, evaluasi volume cairan amnion pada kasus kehamilan postterm
menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian perinatal
meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi
tali pusat. Pada persalinan postterm, keadaan ini dapat menyebabkan
keadaan gawat janin saat intra partum. (Mochtar, et al., 2004)

Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi cairan


amnion sehingga menjadi lebih kental dan keruh. Hal ini terjadi karena
lepasnya vernik kaseosa dan komposisi fosfolipid. Pelepasan sejumlah
badan lamellar dari paru-paru janin akan mengakibatkan perbandingan
Lesitin terhadap Sfingomielin menjadi 4:1 atau lebih besar. Selain itu,
adanya pengeluaran mekonium akan mengakibatkan cairan amnion
menjadi hijau atau kuning dan meningkatkan risiko terjadinya aspirasi
mekonium. (Cunningham, et al., 2010)

Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan USG.


Salah satu metode yang cukup populer adalah pengukuran diameter
vertikal dari kantung amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4 kuadran
uterus. Hasil penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal dengan
sebutan indeks cairan anmion (Amnionic Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI
telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya
oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)
3. Perubahan pada janin

Selain risiko pertambahan berat badan yang berlebihan, janin pada


kehamilan postterm juga mengalami berbagai perubahan fisik khas disertai
dengan gangguan pertumbuhan dan dehidrasi yang disebut dengan
sindrom postmaturitas. Perubahan-perubahan tersebut antara lain;
penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit menjadi keriput, dan
hilangnya vernik kaseosa. Keadaan ini menyebabkan kulit janin
berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lainnya yaitu;
rambut panjang, kuku panjang, serta warna kulit kehijauan atau
kekuningan karena terpapar mekonium. Namun demikian, Tidak seluruh
neonatus kehamilan postterm menunjukkan tanda postmaturitas tergantung
fungsi plasenta. Umumnya didapat sekitar 12-20 % neonatus dengan tanda
postmaturitas pada kehamilan postterm. Tanda postterm dibagi dalam 3
stadium: (Mochtar, et al., 2004)

a. Stadium 1 : Kulit kehilangan verniks


kaseosa dan maserasi berupa kulit kering, rapuh, dan
mudah mengelupas.
b. Stadium 2 : Gejala di atas disertai
pewarnaan mekonium pada kulit.
c. Stadium 3 : Pewarnaan kekuningan pada
kuku, kulit, dan tali pusat.

E. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm

Sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak
perbedaan pendapat. Masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan
kehamilan postterm antara lain karena pada beberapa penderita, usia kehamilan
tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur
sebagaimana yang diperkirakan. Selain itu, saat usia kehamilan mencapai 42
minggu, pada 70% penderita didapatkan serviks belum matang/unfavourable
dengan skor Bishop rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi
rendah. Oleh karena itu, setelah diagnosis kehamilan postterm ditegakkan,
permasalahan yang harus dipecahkan selanjutnya adalah apakah dilakukan
pengelolaan secara aktif dengan induksi ataukah sebaliknya dilakukan
pengelolaan secara ekspektatif dengan pemantauan terhadap kesejahteraan
janin, baik secara biofisik maupun biokimia sampai persalinan berlangsung
dengan spontan atau timbul indikasi untuk mengakhiri kehamilan. (Mochtar, et al., 2004)

1. Pemantanauan kesejahteraan janin


Manning dkk (1980) telah mengajukan pemakaian kombinasi dari 5
variabel biofisik untuk menilai kesejahteraan janin dan menyatakan bahwa
kombinasi ini memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan
pemakaian salah satu variabel saja. Secara umum, tes ini membutuhkan
waktu sekitar 30-60 menit. Variabel yang digunakan dalam penilaian profil
biofisik adalah; (a) tes tanpa beban (non-stress test/NST), (b) gerak nafas
janin, (c) gerakan janin, (d) tonus janin, dan (e) volume cairan amnion.
Setiap variabel diberikan skor 2 bila normal dan skor 0 bila abnormal.
Oleh sebab itu, seorang janin sehat akan memiliki skor 10 pada
pemeriksaan profil biofisiknya. (Cunningham, et al., 2010)

a. Tes Tanpa Beban (Non-Stress Test/NST)

Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun menurun


sebagai akibat pengaruh dari sistem saraf simpatis-parasimpatis yang
impulsnya berasal dari batang otak. Menurut hipotesis, denyut jantung
janin yang tidak berada dalam keadaan asidosis akibat hipoksia
ataupun depresi saraf akan mengalami akselerasi sementara sebagai
respon terhadap gerakan janin. Adanya akselerasi ini dipegaruhi oleh
usia kehamilan. Menurut hasil penelitian, besarnya tingkat akselerasi
denyut jantung akibat gerakan janin akan meningkat seiring dengan
peningkatan usia kehamilan. (Cunningham, et al., 2010)

Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes beban


kontraksi (contraction stress test/oxytocin stress test/OST). Secara
sederhana, NST adalah tes untuk mengetahui kondisi janin sedangkan
OST digunakan untuk menilai fungsi uteroplasenta. Sampai saat ini,
NST adalah tes utama yang paling sering digunakan untuk menilai
kesejahteraan janin. (Cunningham, et al., 2010)
b. Pemeriksaan gerakan nafas janin (fetal breathing)

Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan janin


adalah gerakan dinding dada yang paradoks (paradoxical chest wall
movement). Pada janin, ketika proses inspirasi, dinding dada secara
paradoks mengempis sedangkan dinding perut mengembung. Hal ini
berkebalikan dengan proses inspirasi yang terjadi pada neonatus dan
orang dewasa. Gerakan ini dihubungkan dengan kemungkinan adanya
gerakan janin untuk mengeluarkan debris cairan amnion yang
menyerupai gerakan pada saat batuk. (Cunningham, et al., 2010)

Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian mengenai


adanya keterkaitan antara gerakan nafas janin melalui pemeriksaan
USG dengan proses evaluasi kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan
nafas janin terjadi secara episodik, maka interpretasi hasil tes pada
saat tidak ditemukan gerakan nafas menjadi tidak dapat dipercaya.
Patrick dkk (1980) melakukan penelitian observasi selama 24 jam
menggunakan ultrasonografi real time untuk mendapatkan gambaran
karakteristik gerakan nafas janin selama 10 minggu terakhir
kehamilan. Hasilnya menunjukkan bahwa pada janin normal pun bisa
saja tidak ditemukan gerakan nafas bahkan sampai 122 menit
lamanya. Penelitian ini mengindikasikan bahwa untuk dapat
mendiagnosis tidak ditemukannya gerakan nafas membutuhkan waktu
observasi yang panjang. Oleh sebab itu, untuk menilai kesejahteraan
janin, pemeriksaan gerakan nafas sering digabungkan dengan
pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan denyut jantung janin.
(Cunningham, et al., 2010)
c. Pemeriksaan gerakan janin (fetal movements)

Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah mulai


ada sejak minggu ke-7 dan akan menjadi lebih kompleks serta
terkoordinasi pada akhir kehamilan. Bahkan setelah minggu ke-8 usia
kehamilan, gerakan janin tidak pernah berhenti dengan waktu lebih
dari 13 menit. Namun demikian, ibu hamil baru bisa merasakan
pergerakan janin pertama kali sekitar usia kehamilan 18-20 minggu.
Mula-mula gerakannya jarang, lemah, dan terkadang tidak dapat
dibedakan dengan sensasi abdomen lainnya seperti gerakan usus.
(Cunningham, et al., 2010)

Antara minggu ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum


menjadi lebih teratur dan janin mulai memperlihatkan siklus istirahat-
aktivitas. Pada trimester ketiga, pematangan gerakan janin terus
berlanjut sampai sekitar 36 minggu, saat sikap tubuh normal telah
terbentuk pada 80% janin. (Cunningham, et al., 2010)

Pergerakan rata-rata harian janin selama kehamilan bervariasi.


Pada umur kehamilan 20 minggu, pergerakan janin rata-rata adalah
sekitar 200 gerakan per 12 jam. Pergerakan janin mencapai nilai
maksimal sekitar minggu ke-32 kehamilan, yaitu 500 gerakan per 12
jam. Setelah itu, pergerakan menjadi kurang dirasakan setelah minggu
ke-36 karena janin tumbuh dan volume cairan amnion berkurang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya aktivitas pada
kehamilan aterm mungkin juga disebabkan oleh pertambahan waktu
tidur janin seiring dengan makin maturnya janin. Keadaan ini
merupakan hal yang terjadi secara fisiologis pada trimester ke- tiga.
(Cunningham, et al., 2010)

d. Pemeriksaan volume cairan amnion


Pemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian dari
pemeriksaan antepartum pada kehamilan yang memiliki risiko
kematian janin. Pelaksanaan tes ini didasari pada pemikiran bahwa
penurunan perfusi uteroplasenta akan menurunkan aliran darah ginjal
janin, menurunkan produksi urin janin, dan pada akhirnya akan
menimbulkan oligohidramnion. (Oz, et al., 2002; Cunningham, et al., 2010)

Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan


pemeriksaan USG dengan cara menilai indeks cairan amnion
(amniotic fluid index/AFI). Penilaian dengan indeks ini dilakukan
dengan cara menambahkan ukuran kedalaman dari setiap kantung
vertikal terbesar pada tiap kuadran uterus. Bila nilai AFI telah turun
hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya
oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)

Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu kantung


cairan amnion vertikal yang terbesar (single deepest pocket). Menurut
pemeriksaan ini, volume cairan amnion dikatakan berkurang bila
didapatkan ukuran kantong 2 cm. (Cunningham, et al., 2010)

Gambar 1. Amniotic Fluid Index (Cunningham, et al., 2010)


Berdasarkan penilaian kelima variabel yang telah dijelaskan di atas,
maka didapatkanlah skor profil biofisik dari janin yang dinilai
kesejahteraanya. Skor profil biofisik yang didapatkan berkisar antara nilai
minimal 0 dan maksimal 10.
Tabel 1. Penilaian Skor Profil Biofisik (Cunningham, et al., 2010)

Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan skor profil biofisik dapat


berupa penanganan ekspektatif tanpa melakukan intervensi apapun sambil
melakukan pemeriksaan ulangan. Namun jika didapatkan gambaran
keadaan asfiksia, maka penanganan diberikan secara aktif dengan
terminasi kehamilan.

Tabel 2. Manajemen kehamilan berdasarkan skor profil biofisik


(Cunningham, et al., 2010)

2. Induksi persalinan
Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering menjadi
indikasi untuk pelaksanaan induksi persalinan. Induksi persalinan menjadi
salah satu prosedur medis yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat
dengan proporsi yang meningkat dari 9% pada tahun 1989 menjadi 19% di
tahun 1998. (Heimstad, 2007)

Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang


belum inpartu, baik secara tindakan atau medisinal, untuk merangsang
timbulnya kontraksi uterus sehingga diharapkan terjadi persalinan atau
penipisan dan dilatasi serviks yang progresif disertai penurunan bagian
presentasi janin. Tindakan induksi persalinan ini adalah untuk keselamatan
ibu dan anak, tetapi walaupun dilakukan dengan terencana dan hati-hati,
kemungkinan untuk menimbulkan risiko terhadap ibu dan janin tetap ada.
(Heimstad, 2007)

Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh


beberapa keadaan sebelum dilakukan induksi, salah satunya dari
kematangan serviks (favorable). Penilainan kematangan serviks ini dapat
dilakukan dengan menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai berdasarkan
lima faktor yang didapatkan dari pemeriksaan dalam dan akan digunakan
untuk memperkirakan keberhasilan induksi persalainan. Lima faktor yang
diperiksa adalah (1) dilatasi serviks, (2) penipisan serviks/effacement, (3)
konsistensi serviks, (4) posisi serviks, dan (5) station dari bagian terbawah
janin.

Tabel 3. Pelviks skor menurut Bishop. (Cunningham, et al., 2010)

Skor Bishop >8 memberikan kemungkinan keberhasilan induksi


persalinan yang tinggi. Sementara itu, skor Bishop 4 biasanya
menunjukkan keadaan serviks yang belum matang (unfavorable) sehingga
membutuhkan pematangan serviks yang bisa dilakukan secara
farmakologis (prostaglandin, nitrit oksida) ataupun teknik (kateter
transervikal, dilator higroskopis, stripping). (Cunningham, et al., 2010)
Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk induksi
(Heimstad, 2007)
persalinan dalam bidang obstetri. Oksitosin mempunyai efek
yang poten terhadap otot polos uterus dan kelenjar mammae. Kepekaan
terhadap oksitosin meningkat pada saat persalinan. Induksi persalinan
dengan oksitosin yang diberikan melalui infus secara titrasi ternyata efektif
dan banyak dipakai. Titrasi ini biasanya dilakukan dengan cara
memberikan 10-20 unit oksitosin (10.000-20.000 mU) yang dilarutkan
dalam 1000 cc larutan Ringer laktat. Rejimen ini akan menghasilkan kadar
oksitosin 10-20 mU/mL. (Cunningham, et al., 2010) Terdapat berbagai macam metode
induksi dengan menggunakan drip oksitosin, baik yang menggunakan
dosis rendah maupun dosis tinggi.

Tabel 4. Rejimen drip induksi dengan oksitosin. (Cunningham, et al., 2010)

Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis oksitosin


20 mU/menit. Apabila dengan pemberian dosis oksitosin 30-40 mU/menit
masih tidak didapatkan his yang adakuat, maka indusi tak perlu lagi
dilanjutkan. Pemberian dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan
ikatan oksitosin dengan reseptor vasopresin sehingga akan menimbulkan
kontraksi yang tetanik atau hipertonik. Selain itu, dapat juga muncul efek
antidiuretik sehingga meningkatkan risiko terhadap keracunan air. Induksi
dianggap berhasil kalau didapatkan kontraksi uterus yang adekuat, yaitu
his sekitar 3 kali dalam 10 menit dengan kekuatan sekitar 40 mmHg atau
lebih (200 Montevidio). (Cunningham, et al., 2010)

3. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm dengan Oligohidramnion


Penatalaksanaan kasus oligohidramnion pada kehamilan postterm
tergantung pada situasi klinik pasien yang bersangkutan. Pada tahap awal,
harus dilakukan evaluasi terhadap anomali janin dan gangguan
pertumbuhan. Pada kehamilan postterm yang diperberat dengan
komplikasi oligohidramnion harus dilakukan pengawasan ketat karena
tingginya risiko morbiditas janin. (Heimstad, 2007)

Hasil dari kehamilan dengan oligohidramnion intrapartum menurut


beberapa penelitian memiliki hasil yang berbeda-beda. Chauhan dkk
(1999) yang dikutip dari (Cunningham, et al., 2010), melakukan penelitian
terhadap lebih dari 10.500 ibu hamil yang memiliki nilai AFI intrapartum
<5 cm dibandingkan dengan kontrol yang memiliki nilai AFI >5 cm.
Menurut hasil penelitian didapatkan bahwa risiko seksio sesarea atas
indikasi gawat janin pada kelompok oligohidramnion lebih tinggi 2 kali
lipat. Selain itu, risiko janin dengan skor APGAR 5 menit dibawah 7 pada
kelompok ini lebih tinggi 5 kali lipat. Hasil penelitian Divon dkk (1995)
yang dikutip dari Cunningham et al, (2010) juga menyatakan bahwa hanya
ibu paturien postterm yang memiliki nilai AFI 5 cm yang mengalami
deselerasi denyut jantung janin dan aspirasi mekonium. (Cunningham, et al., 2010)

Sebaliknya, Zhang dkk (2004) yang dikutip dari Cunningham et al.,


(2010) melaporkan bahwa kondisi oligohidramnion dengan nilai AFI 5
cm tidak berhubungan dengan kondisi perinatal yang buruk. Begitu juga
dengan Magann dkk (1999) yang tidak menemukan peningkatan risiko
komplikasi intrapartum pada kondisi oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)

Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya bagi
janin postterm sehingga setiap persalinan postterm harus dilakukan
pengawasan ketat dan sebaiknya dilaksanakan di Rumah Sakit dengan
pelayanan operatif dan neonatal yang memadai.

Menurut Mochtar, et al (2004) pengelolaan persalinan pada kehamilan


postterm mencakup:

a. Pemantauan yang baik terhadap kontraksi uterus dan kesejahteraan


janin. Pemakaian alat monitor janin secara kontinu sangat bermanfaat.
b. Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama persalinan.
c. Persiapan oksigen dan tindakan seksio sesarea bila sewaktu-waktu
terjadi kegawatan janin
d. Cegah terjadinya aspirasi mekonium dengan segera mengusap wajah
neonatus dan penghisapan pada tenggorokan saat kepala lahir
dilanjutkan resusitasi sesuai prosedur pada janin dengan cairan
ketuban bercampur mekonium.
e. Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda postmaturitas

Gambar 2. Skema penatalaksanaan kehamilan postterm. (Cunningham, et


al., 2010)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2013

A. IDENTITAS
1. Nama penderita : Ny. A
2. Umur : 26 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Pendidikan : SMA
6. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
7. Status : Menikah
8. Alamat : Tugu Rt 02/01 Sayung Demak
9. Tanggal Masuk : 21-6-2013
10. Masuk Jam : 10.30
11. Ruang : VK
12. Kelas : Jampersal

B. ANAMNESA
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 21-06-2013 pukul 10.30
WIB.

1. Keluhan Utama :
Pasien hamil 42 minggu usia 26 tahun datang dengan keluhan perut terasa
kenceng-kenceng dan dirasa sejak 1 minggu yll, lalu dirasa hilang timbul belum
keluar air ketuban dan lendir darah
2. Riwayat Kehamilan Sekarang
Pasien G3P2A0 hamil 42 minggu usia 26 tahun datang dengan keluhan perut
terasa kenceng-kenceng dan dirasa sejak 1 minggu yll, lalu dirasa hilang timbul belum
keluar air ketuban dan lendir darah
3. Riwayat Kehamilan
HPHT : 7 September 2012
HPL : 14 Juni 2013
1 bulan setelah terlambat haid pasien melakukan tes kehamilan di bidan dengan test
pack kehamilan dan hasilnya positif.
4. Riwayat ANC
ANC dilakukan rutin di bidan setelah pasien dinyatakan hamil.
5. Riwayat Obstetri
G3P2A0
G1: laki-laki 4000 gr, spontan 7 tahun
G2 : laki-laki 3800 gr, normal, 1 hari meninggal
G3 : hamil sekarang

6. Riwayat Menstruasi
- Menarche : 12 tahun
- Siklus haid : 28 hari
- Lama haid : 7 hari
- Dismenore : (-)
- HPHT : 7 September 2012

7. Riwayat KB: (-)


8. Riwayat Perkawinan : pernah menikah 1 (satu) kali dengan lama pernikahan 8 tahun
9. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
- Riwayat Penyakit Paru : disangkal
- Riwayat DM : disangkal

10. Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
- Riwayat Penyakit Paru : disangkal
- Riwayat DM : disangkal

11.Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, suami pasien bekerja swasta.
Kesan ekonomi cukup, biaya pengobatan ditanggung sendiri.
C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Present

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Vital Sign :

TD : 110/80 mmHg

Nadi : 80 x/menit TB : 150 cm

RR : 20 x/menit BB : 59 Kg

Suhu : 36,3 0C

b. Status Internus

- Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)


- Mulut : Bibir sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-)
- Tenggorokan : Faring hiperemesis (-), pembesaran tonsil (-)
- Leher : Simetris, pembesaran kelenjar limfe (-)
- Kulit : Turgor baik, ptekiae (-)
- Mamae : Simetris, benjolan abnormal (-), hiperpigmentasi areola (-),
puting menonjol (+), besar cukup
- Paru :
Inspeksi : Hemithorax dextra dan sinistra simetris
Palpasi : Stem fremitus dextra dan sinistra sama, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler, suara tambahan (-)
- Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Redup
Auskultasi : Suara jantung I dan II murni, reguler, suara tambahan
(-)
- Abdomen :
Inspeksi : Cembung, striae gravidarum (+), bundle ring (-)
Palpasi : teraba bagian-bagian janin
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : denyut jantung janin (+)
- Extremitas :
Superior Inferior

Oedem -/- -/-

Varises -/- -/-

Reflek fisiologis +/+ +/+

Reflek patologis -/- -/-

c. Status Obstetri

- Abdomen
Inspeksi : Perut datar, striae gravidarum (-)
Palpasi :
- - Leopold I : - TFU 1 jari di bawah processus xiphoideus
- - didapatkan massa bulat, lunak.
- - Leopold II : - pengembangan uterus ke lateral sesuai sumbu ibu
- -Teraba tahanan memanjang sebelah kanan dan bagian-bagian kecil pada
sebelah kiri.
- - Leopold III :- Teraba massa bulat, besar, keras
- - Bagian bawah janin masih bisa digoyang.
- - Leopold IV :- Pendindingan telapak tangan pada bagian bawah janin
didapatkan bentuk konvergen.
- Auskultasi : DJJ 12-12-12.
- TFU : 31
- His : jarang.

- Genitalia
Externa : Darah segar (-)
Interna : Vagina licin (+), pembukaan 2 jari longgar, portio tebal
lembut, KK (+)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah ()
a. Pemeriksaan Hematologi
Darah Rutin
Hb : 12,7 g/dL

Hematokrit : 38.2%

Leukosit : 8,45/uL

Trombosit : 146.000/uL

Golongan Darah O Rh (+)

Waktu Perdarahan/BT 1:48

Waktu Pembekuan/CT 4:00

E. RESUME
Pasien G3P2A0 hamil 42 minggu, datang dengan keluhan perut terasa kenceng-
kenceng dan dirasa sejak 1 minggu yll, lalu dirasa hilang timbul belum keluar air
ketuban dan lendir darah

Riwayat Kehamilan

HPHT : 7 September 2012

Tanggal kedatangan ke RS : 21-06 -2013

Umur Kehamilan : 42 minggu

Status Present :

Keadaan Umum : baik


TD : 110/80 mmHg

Status Obstetri :

Inspeksi : Cembung, striae gravidarum (+)

Palpasi :

Palpasi :
- - Leopold I : - TFU 1 jari di bawah processus xiphoideus
- - didapatkan massa bulat, lunak.
- - Leopold II : - pengembangan uterus ke lateral sesuai sumbu ibu
- -Teraba tahanan memanjang sebelah kanan dan bagian-bagian kecil pada
sebelah kiri.
- - Leopold III :- Teraba massa bulat, besar, keras
- - Bagian bawah janin masih bisa digoyang.
- - Leopold IV :- Pendindingan telapak tangan pada bagian bawah janin
didapatkan bentuk konvergen.
- Auskultasi : DJJ 12-12-12.
- TFU : 31
- His : jarang.
Genitalia :
Externa : Darah segar (-)

Interna : Vagina licin (+), pembukaan 2 jari longgar, portio tebal


lembut, KK (+)
Pemeriksaan Penunjang: Hb : 12,7 g/dl

F. DIAGNOSA AWAL
Pasien G3P2A0, gravida 40 minggu janin tunggal hidup intra uterin letak kepala, belum
inpartu dengan serotinus

G. SIKAP
1. Pasien rawat inap
2. Pengawasan: KU, Vital Sign, Hb, PPV
3. Induksi Oksitosin
Oksitosin drip 5 U oksitosin dalam 500cc RL di mulai 8 tpm dinaikkan 4 tetes
tiap 15 menit sampai maksimal 40tpm, dengan memperhatikan evaluas ibu dan
janin. Bilabotol I habis sementara pasien belum inpartu, teruskan dengan botol II
berisi 5 U dengan tetesan tetap atau 10 U dengan 20tpm dan dinaikkan tiap15
menit sampai maksimal 40 tpm.Bil abotol II gagal, maka penderita diistirahatkan
selama 24 jam, kemudian diulangi lagi.

4. Tindakan SCTP

H. PROGNOSA
Kehamilan : ad bonam
Persalinan : ad bonam

I. EDUKASI
1. Memberi tahu kondisi ibu dan janin pada keluarga
2. Memberitahu ibu untuk menjaga higiene diri dan bayi.

J. DIAGNOSA AKHIR
Tindakan Post SCTP dengan induksi gagal

Anda mungkin juga menyukai