Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


PENYAKIT JANTUNG KORONER

Disusun guna memenuhi tugas pada Program Profesi Ners (P2N)


Stase Keperawatan Medikal

Oleh

Wahyu Dini Candra Susila, S.Kep


NIM 122311101043

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
1. Anatomi Fisiologi Jantung
a. Pengertian
Jantung adalah organ berotot yang berongga dan berbentuk kerucut.
Jantung terletak di rongga toraks (dada) sekitar garis tengah antara sternum
(tulang dada) disebelah anterior dan vertebra (tulang punggung) di sebelah
posterior. Jantung memiliki pangkal yang lebar di sebelah atas dan
meruncing membentuk ujung yang disebut apeks di dasar (Price, 2005).
b. Bagian-bagian Jantung
Jantung terletak dalam rongga dada agak sebelah kiri, di antara paru-paru
kanan dan paru-paru kiri. Massanya kurang lebih 300 gram, besarnya
sebesar kepalan tangan. Jantung adalah satu otot tunggal yang terdiri dari
lapisan endothelium. Jantung terletak di dalam rongga torakik, di balik
tulang dada. Struktur jantung berbelok ke bawah dan sedikit ke arah kiri.
Jantung hampir sepenuhnya diselubungi oleh paru-paru, namun tertutup
oleh selaput ganda yang bernama perikardium, yang tertempel pada
diafragma. Lapisan pertama menempel sangat erat kepada jantung,
sedangkan lapisan luarnya lebih longgar dan berair, untuk menghindari
gesekan antar organ dalam tubuh yang terjadi karena gerakan memompa
konstan jantung. Jantung dijaga di tempatnya oleh pembuluh-pembuluh
darah yang meliputi daerah jantung yang merata/datar, seperti di dasar dan
di samping. Dua garis pembelah (terbentuk dari otot) pada lapisan luar
jantung menunjukkan di mana dinding pemisah di antara serambi dan bilik
jantung (Price, 2005).

Gambar 1. Jantung

2. Lapisan pembuluh darah


Pembuluh darah biasanya terdiri atas lapisan-lapisan sebagai berikut (Price, 2005):
1. Tunika intima (tunika interna) terdiri atas selapis sel endotel yang membatasi
permukaan dalam pembuluh. Di bawah endotel adalah lapisan subendotel,
terdiri atas jaringan penyambung jarang halus yang kadang-kadang mengandung
sel otot polos yang berperan untuk kontraksi pembuluh darah.
2. Tunika media terdiri dari sel-sel otot polos yang tersusun melingkar (sirkuler).
Pada arteri, tunika media dipisahkan dari tunika intima oleh suatu membrana
elastik interna. Membran ini terdiri atas elastin, biasanya berlubang-lubang
sehingga zat-zat dapat berdifusi melalui lubang-lubang yang terdapat dalam
membran dan memberi makan pada sel-sel yang terletak jauh di dalam dinding
pembuluh. Pada pembuluh besar, sering ditemukan membrana elstika externa
yang lebih tipis yang memisahkan tunika media dari tunika adventitia yang
terletak di luar.
3. Tunika adventitia terdiri atas jaringan penyambung dengan serabut-serabut
elastin. Pada pembuluh yang lebih besar, vasa vasorum (pembuluh dalam
pembuluh) bercabang-cabang luas dalam adventitia.
4. Vasa vasorum memberikan metabolit-metabolit untuk adventitia dan tunika
media pembuluh-pembuluh besar, karena lapisan-lapisannya terlalu tebal untuk
diberi makanan oleh difusi dari aliran darah.

Gambar 2. Lapisan Pembuluh Darah

3. Mekanisme Peredaran Darah


Darah berjalan melalui sistim sirkulasi ke dan dari jantung melalui 2 lengkung
vaskuler (pembuluh darah) yang terpisah. Sirkulasi paru terdiri atas lengkung tertutup
pembuluh darah yang mengangkut darah antara jantung dan paru. Sirkulasi sistemik
terdiri atas pembuluh darah yang mengangkut darah antara jantung dan sistim organ.
Jantung terbagi atas separuh kanan dan kiri serta memiliki empat ruang, bilik bagian atas
dan bawah di kedua belahannya. Bilik bagian atas disebut dengan atrium yang menerima
darah yang kembali ke jantung dan memindahkannya ke bilik bawah, yaitu ventrikel yang
berfungsi memompa darah dari jantung. Pembuluh yang mengembalikan darah dari
jaringan ke atrium disebut dengan vena, dan pembuluh yang mengangkut darah menjauhi
ventrikel dan menuju ke jaringan disebut dengan arteri. Kedua belahan jantung
dipisahkan oleh septum atau sekat, yaitu suatu partisi otot kontinu yang mencegah
percampuran darah dari kedua sisi jantung. Pemisahan ini sangat penting karena separuh
jantung janan menerima dan memompa darah beroksigen rendah sedangkan sisi jantung
sebelah kiri memompa darah beroksigen tinggi (Mansjoer, dkk, 2001).
Perjalanan Darah dalam Sistim Sirkulasi Jantung berfungsi sebagai pompa ganda.
Darah yang kembali dari sirkulasi sistemik (dari seluruh tubuh) masuk ke atrium kanan
melalui vena besar yang dikenal sebagai vena kava. Darah yang masuk ke atrium kanan
berasal dari jaringan tubuh, telah diambil O2-nya dan ditambah dengan CO2. Darah yang
miskin akan oksigen tersebut mengalir dari atrium kanan melalui katup ke ventrikel
kanan, yang memompanya keluar melalui arteri pulmonalis ke paru. Dengan demikian,
sisi kanan jantung memompa darah yang miskin oksigen ke sirkulasi paru. Di dalam paru,
darah akan kehilangan CO2-nya dan menyerap O2 segar sebelum dikembalikan ke atrium
kiri melalui vena pulmonalis. Darah kaya oksigen yang kembali ke atrium kiri ini
kemudian mengalir ke dalam ventrikel kiri, bilik pompa yang memompa atau mendorong
darah ke semus sistim tubuh kecuali paru. Jadi, sisi kiri jantung memompa darah yang
kaya akan O2 ke dalam sirkulasi sistemik. Arteri besar yang membawa darah menjauhi
ventrikel kiri adalah aorta. Aorta bercabang menjadi arteri besar dan ke berbagai jaringan
tubuh (Mansjoer, dkk, 2001).
Sirkulasi sistemik memompa darah ke berbagai organ, yaitu ginjal, otot, otak, dan
semuanya. Jadi darah yang keluar dari ventrikel kiri tersebar sehingga masing-masing
bagian tubuh menerima darah segar. Darah arteri yang sama tidak mengalir dari jaringan
ke jaringan. Jaringan akan mengambil O2 dari darah dan menggunakannya untuk
menghasilkan energi. Dalam prosesnya, sel-sel jaringan akan membentuk CO2 sebagai
produk buangan atau produk sisa yang ditambahkan ke dalam darah. Darah yang
sekarang kekurangan O2 dan mengandung CO2 berlebih akan kembali ke sisi kanan
jantung (Mansjoer, dkk, 2001).
4. Penyakit
jantung Koroner
Pengertian
Penyakit
Jantung
Koroner (PJK)
adalah
penyakit
jantung yang
menyangkut
gangguan dari
pembuluh
darah koroner. Penyakit jantung koroner atau penyakit arteri koroner
(penyakit jantung artherostrofik) merupakan suatu manifestasi khusus dan
arterosclerosis pada arteri koroner. Plaque terbentuk pada percabangan
arteri yang ke arah aterion kiri, arteri koronaria kanan dan agak jarang
pada arteri sirromflex. Aliran darah ke distal dapat mengalami obstruksi
secara permanen maupun sementara yang di sebabkan oleh akumulasi
plaque atau penggumpalan. Sirkulasi kolateral berkembang di sekitar
obstruksi arteromasus yang menghambat pertukaran gas dan nutrisi ke
miokardium (Price & Wilson, 2005).
Gambar 2. Jantung koroner

Penyebab dan factor resiko


1. Factor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain :
a. Usia
Bertambahnya usia akan menyebabkan meningkat pula penderita
PJK, karena pembuluh darah mengalami perubahan progresif dan
berlangsung lama dari lahir sampai mati. Perubahan yang paling dini
mulai pada usia 20 tahun adalah pada pembuluh arteri koroner. Arteri
lain mulai bermodifikasi hanya setelah usia 40 tahun, terjadi pada laki-
laki umur 35-44 tahun dan meningkat dengan bertambahnya umur. Juga
didapatkan hubungan antara umur dan kadar kolesterol yaitu kadar
kolesterol total akan meningkat dengan bertambahnya umur (Dede,
2006).
b. Jenis Kelamin
Merupakan kenyataan bahwa wanita labih sedikit mengalami serangan
jantung dibandingkan pria. Rata-rata kematian akibat serangan jantung
pada wanita terjadi 10 tahun lebih lama dari pria. Secara umum factor
resiko lebih sedikit menyebabkan kelainan jantung PJK, namun
ketahanan wanita berubah setelah menopause. Hal ini diduga factor
hormonal seperti estrogen melindungi wanita (Dede, 2006).

c. Keturunan / genetika
Jika ada anggota keluarga yang terkena PJK pada usia yang relative
muda, dibawah 50 tahun. Meskipun demikian agaknya factor ini lebih
banyak disebabkan kesamaan gaya hidup (Dede, 2006).

1 Faktor-faktor yang dapat dimodifikasi (Price dan Wilson, 2005):


a. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk
jantung, sehigga menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau
pembesaran ventrikel kiri (factor miokard). Keadaan ini tergantung
berat dan lamanya hipertensi. Serta tekanan darah tinggi dan
menetap akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding
pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya
aterosklerosis koroner (factor koroner). Hal ini menyebabkan
angina pectoris, insufisiensi koroner dan miokard infark lebih
sering didapatkan pada penderita hipertensi dibandingkan orang
normal (Price dan Wilson, 2005).
b. Hiperkolesterolmia
Kolesterol, lemak dan substansi lainnya dapat menyebabkan
penebalan dinding pembuluh darah arteri, sehingga lumen dari
pembuluh darah tersebut menyempit aterosklerosis. Penyempitan
pembuluh darah ini akan menyebabkan aliran darah menjadi lambat
bahkan dapat tersumbat sehingga aliran darah pada pembuluh darah
koroner yang fungsinya memberi O2 ke jantung menjadi berkurang.
Kurangnya O2 akan menyebabkan otot jantung menjadi lemah, sakit
dada, serangan jantung bahkan kematian (Price dan Wilson, 2005).
c. Merokok
Efek rokok adalah menyebabkan beban miokard bertambah karena
rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya konsumsi O2 akibat
inhalasi CO. Katekolamin juga dapat menambah reaksi trombosis
dan juga menyebabkan kerusakan dinding arteri, sedangkan
glikoprotein tembakau dapat menimbulkan reaksi hipersensitif
dinding arteri (Price dan Wilson, 2005).
d. Obesitas
Obesitas meningkatkan kerja jantung dan kebutuhan oksigen dan
berperan gaya hidup yang pasif. Lemak tubuh yang berlebih
(terutama obesitas abdominal) dan ketidakaktifan fisik berperan
dalam terbentuknya resistensi insulin (Price dan Wilson, 2005).
e. Kurang bergerak
berbagai penelitian menunjukkan orang yang kurang bergerak lebih
mudah terkena PJK dibandingkan dengan yang aktif bergerak atau
aktif bekerja fisik, baik karena berolahraga secara teratur,
bertukang, berkebun maupun kegiatan fisik lainnya. Aktifitas fisik
akan meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan factor resiko
koroner lainnya seperti Tekanan Darah Tinggi, kegemukan maupun
diabetes (Price dan Wilson, 2005).
f. Diabetes Melitus
Intoleransi terhadap glukosa sejak dulu telah diketahui sebagai
predisposisi penyakit pembuluh darah. Mekanismenya belum jelas,
akan tetapi terjadi peningkatan tipe IV hiperlipidemi dan
hipertrigliserid, pembentukan platelet yang abnormal dan DM yang
disertai obesitas dan hipertensi (Price dan Wilson, 2005).
g. Stres
Stres akan merangsang hormone adrenalin yang akibatnya akan
mengubah metabolisme lemak dimana kadar HDL akan menurun.
Adrenalin juga akan menyebabkan perangsangan kerja jantung dan
menyempitkan pembuluh darah (spasme). Disamping itu adrenalin
akan menyebabkan terjadinya pengelompokan trombosit. Sehingga
semua proses penyempitan akan terjadi (Price dan Wilson, 2005).

Patologi dan Patofisiologi


1. Patologi
Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri
koronaria paling sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan
penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteri koronaria, sehingga
secara progresif mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen
menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan
membahayakan alian darah miokardium. Bila penyakit ini semakin
lanjut, maka penyempitan lumen akan diikuti perubahan pembuluh
darah yang mengurangi kemampuan pembuluh untuk melebar. Dengan
demikian keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan oksigen
menjadi tidak stabil sehingga membahayana miokardium yang terletak
di sebelah distal dari daerah lesi (Price dan Wilson, 2005).
Lesi diklasifikasikan sebagai endapan lemak, plak fibrosa, dan
lesi komplikata, sebagai berikut :
a. Endapan lemak, yang terbentuk sebagai tanda awal aterosklerosis,
dicirikan dengan penimbunan makrofag dan sel-sel otot polos terisi
lemak (terutama kolesterol oleat) pada daerah fokal tunika intima
(lapisan terdalam arteri). Endapan lemak mendatar dan bersifat
non-obstruktif dan mungkin terlihat oleh mata telanjang sebagai
bercak kekuningan pada permukaan endotel pembuluh darah.
Endapan lemak biasanya dijumpai dalam aorta pada usia 10 tahun
dan dalam arteri koronaria pada usia 15 tahun. Sebagian endapan
lemak berkurang, tetapi yang lain berkembang menjadi plak
fibrosa.

b. Plak fibrosa (atau plak ateromatosa) merupakan daerah penebalan


tunika intima yang meninggi dan dapat diraba yang mencerminkan
lesi paling khas aterosklerosis lanjut dan biasanya tidak timbul
hingga usia decade ketiga. Biasanya, plak fibrosa berbentuk kubah
dengan permukaan opak dan mengilat yang menyembul k eke arah
lumen sehingga menyebabkan obstrukksi. Plak fibrosa terdiri atas
inti pusat lipid dan ddebris sel nekrotik yang ditutupi oleh jaringan
fibromuskular mengandung banyak sel-sel otot polos dan kolagen.
Plak fibrosa biasanya terjadi di tempat percabangan, lekukan atau
penyempitan arteri. Sejalan dengan semakin matangnya lesi,
terjadinya pembatasan aliran darah koroner dari ekspansi
abluminal, remodeling vascular, dan stenosis luminal. Setelah itu
terjadi perbaikan plak dan disrupsi berulang yang menyebabkan
rentan timbulnya fenomena yang disebut rupture plak dan
akhirnya trombosis vena.
c. Lesi lanjut atau komplikata terjadi bila suatu plak fibrosa rentan
mengalami gangguan akibat kalsifikasi, nekrosis sel,
perdarahan,trombosis, atau ulserasi dan dapat menyebabkan infark
miokardium (Price dan Wilson, 2005).
Nilai gizi lemak ditentukan oleh komposisi dan distribusi asam-
asam lemaknya pada molekul gliserol. Sebagai zat gizi lemak berfungsi
sebagai sumber energi dan sumber asam lemak esensial. Konsumsi seluruh
lemak yang dianjurkan adalah tidak lebih 30% dari total energi jika
konsumsi lebih dari 30% dapat memicu munculnya berbagai penyakit
antara lain obesitas (kegemukan), peningkatan kolesterol (cholesterolemia)
yang merupakan salah satu faktor resiko dari PJK dan stroke. Pengaruh
negatif dari konsumsi lemak terutama yang berkaitan dengan sifat
aterogenik (penyempitan pembuluh darah) dapat dicegah antara lain
dengan mengurangi konsumsi lemak dibawah 30% dari total energi, tetapi
akan lebih baik meningkatkan jumlah asam lemak tak jenuh supaya
tercapai komposisi jenis asam lemak yang ideal. Asam lemak jenuh rantai
panjang yang banyak akan meningkatkan kolesterol darah. Sebaliknya,
PUFA dapat menurunkan kadar kolesterol LDL (Griel dan Etherton, 2006;
Wardlaw, 2003).
Asam lemak tak jenuh bentuk trans sebaiknya tidak terdapat dalam
minyak nabati dan lemak hewani karena tidak hanya meningkatkan LDL
tetapi juga menurunkan HDL, sedangkan asam lemak jenuh rantai panjang
hanya meningkatkan LDL tanpa mempengaruhi HDL. Oleh karena itu,
pengaruh asam lemak trans jauh lebih buruk dibanding asam lemak jenuh
rantai panjang (Silalahi, 2011).
Peranan gizi yang tepat dalam pencegahan PJK perlu diperhatikan
terutama pada asupan diet. Beberapa faktor yang berkaitan dengan PJK
adalah (1) total kalori yang dikonsumsi, (2) banyaknya konsumsi
karbohidrat, (3) peminum alkohol, (4) jenis lemak dalam diet, (5)
banyaknya oksidasi pada diet dan oxidative stress pada individu, (6)
mineral, vitamin dan serat dalam diet, (7) jenis protein yang dikonsumsi.
Akan tetapi yang paling dominan memberikan pengaruh terhadap PJK
adalah lemak karena dapat menyebabkan hipertrigliseridemia atau
tingginya kadar lemak dalam darah. Hipertrigliseridemia dapat membentuk
plak pada pembuluh darah sehingga menghambat aliran darah
menyebabkan terjadinya aterosklerosis (Bruckner, 2008).
Jenis asam lemak mempengaruhi konsentrasi LDL dan HDL dalam
darah (Uauy, 2009). Jenis asam lemak berdasarkan golongannya
ditentukan oleh (1) SFA yaitu asam lemak miristat dan palmitat yang dapat
meningkatkan LDL (2) MUFA yaitu oleat tidak mempengaruhi LDL, (3)
PUFA meliputi omega-6 (asam linoleat dan arakidonat) dan omega-3
(asam linolenat, eikosapentaenoat atau EPA, dan dokosaheksanoat atau
DHA) yang dapat menurunkan LDL, dan (4) asam lemak trans (asam
elaidat) yang dapat meningkatkan LDL sekaligus menurunkan HDL
(Silalahi dan Nurbaya, 2011).
Di dalam pembuluh darah, kolesterol beredar bersama lemak
berselaput protein yang disebut lipoprotein (kombinasi antara lipid/lemak
dengan protein). Lipoprotein terdiri dari dua jenis, yaitu HDL dan LDL.
1. HDL (High Density Lipoprotein)
HDL atau Lipoprotein berkepadatan tinggi sering disebut kolesterol
baik. HDL mengandung banyak protein yang berfungsi untuk
mengeluarkan kelebihan kolesterol dari dalam arteri (pembuluh darah yang
mengalirkan darah dari jantung ke seluruh tubuh) agar tidak terjadi
penumpukan kolesterol di dalam tubuh. HDL akan membawa sekitar
sepertiga sampai seperempat dari kolesterol dalam darah ke hati dan
selanjutnya dibuang/dikeluarkan dari dalam tubuh. Semakin tinggi kadar
kolesterol HDL akan semakin baik karena akan semakin memperkecil
risiko timbulnya penyakit jantung koroner. Oleh karena itu, kolesterol
HDL dianggap sebagai kolesterol baik. Kadar normal HDL dalam tubuh
manusia adalah sekitar 40 50 mg/dl (milligram per desiliter) untuk pria
dan 50 60 mg/dl untuk wanita. Untuk setiap kenaikan HDL sebesar 1
mg/dl dapat menurunkan resiko timbulnya serangan jantung sebesar 2 4
%, dimana resiko tersebut juga dipengaruhi oleh riwayat keluarga, tekanan
darah dan pola hidup (Suharto, 2004).
2. LDL (Low Density Lipoprotein)
LDL atau Lipoprotein berkepadatan rendah sering disebut
kolesterol jahat. LDL terdiri dari sekitar 75% kolesterol dan sedikit
protein. LDL mengangkut kolesterol yang dihasilkan organ hati dan
sumber kolesterol tubuh lainnya menuju seluruh jaringan tubuh. LDL
merupakan kolesterol yang berbahaya karena sifatnya yang beredar dalam
darah, menimbun lemak dan meninggalkan kelebihannya pada dinding
pembuluh darah. Jika kadar LDL tinggi, maka penimbunan yang terjadi
akan mempersempit pembuluh darah (aterosklerosis) dan menyebabkan
penyakit jantung dan stroke (Suharto, 2004).
Semakin rendah nilai LDL akan semakin baik, karena akan
semakin memperkecil resiko serangan jantung dan stroke. Dan sebaliknya,
semakin tinggi nilai LDL maka akan semakin buruk dan berbahaya. Kadar
kolesterol LDL adalah (Suharto, 2004):
LDL normal : kurang dari 100 mg/dl
LDL di atas normal : 100 129 mg/dl
LDL cukup tinggi (sebelum beresiko) : 130 159 mg/dl
LDL tinggi (beresiko tinggi) : 160 189 mg/dl
LDL sangat tinggi : lebih dari 190 mg/dl

Selain HDL dan LDL, ada juga istilah kolesterol total. Kolesterol
total darah adalah ukuran dari kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan
komponen lipid/lemak lainnya dalam tubuh. Level kolesterol total normal
adalah di bawah 200 mg/dl. Dengan kata lain, kolesterol total adalah
jumlah seluruh kolesterol di dalam darah. Namun, nilai kolesterol total
bukan berarti jumlah dari kolesterol HDL dan LDL. Masih ada komponen-
komponen lemak lainnya yang perlu diperhitungkan. Kolesterol total
tubuh bisa meningkat bila sering menyantap makanan yang banyak
mengandung lemak, tinggi kolesterol, dan tinggi karbohidrat. Level
kolesterol total terbagi menjadi:
Nilai normal/yang diinginkan : kurang dari 200 mg/dl
Cukup tinggi : 200 239 mg/dl
Tinggi : 240 mg/dl (Suharto, 2004).

d. Patofisiologi
Penyakit jantung koroner dan micardiail infark merupakan respons
iskemik dari miokardium yang di sebabkan oleh penyempitan arteri
koronaria secara permanen atau tidak permanen. Oksigen di perlukan
oleh sel-sel miokardial, untuk metabolisme aerob di mana Adenosine
Triphospate di bebaskan untuk energi jantung pada saat istirahat
membutuhakn 70 % oksigen. Banyaknya oksigen yang di perlukan
untuk kerja jantung di sebut sebagai Myocardial Oxygen Cunsumption
(MVO2), yang dinyatakan oleh percepatan jantung, kontraksi miocardial
dan tekanan pada dinding jantung. Jantung yang normal dapat dengan
mudah menyesuaikan terhadap peningkatan tuntutan tekanan oksigen
dangan menambah percepatan dan kontraksi untuk menekan volume
darah ke sekat-sekat jantung. Pada jantung yang mengalami obstruksi
aliran darah miocardial, suplai darah tidak dapat mencukupi terhadap
tuntutan yang terjadi. Keadaan adanya obstruksi letal maupun sebagian
dapat menyebabkan anoksia dan suatu kondisi menyerupai glikolisis
aerobic berupaya memenuhi kebutuhan oksigen (Price dan Wilson,
2005).
Penimbunan asam laktat merupakan akibat dari glikolisis aerobik
yang dapat sebagai predisposisi terjadinya disritmia dan kegagalan
jantung. Hipokromia dan asidosis laktat mengganggu fungsi ventrikel.
Kekuatan kontraksi menurun, gerakan dinding segmen iskemik menjadi
hipokinetik. Kegagalan ventrikel kiri menyebabkan penurunan stroke
volume, pengurangan cardiac out put, peningkatan ventrikel kiri pada
saat tekanan akhir diastole dan tekanan desakan pada arteri pulmonalis
serta tanda-tanda kegagalan jantung. Kelanjutan dan iskemia tergantung
pada obstruksi pada arteri koronaria (permanen atau semntara), lokasi
serta ukurannya. Tiga menifestasi dari iskemi miocardial adalah angina
pectoris, penyempitan arteri koronarius sementara, preinfarksi angina,
dan miocardial infark atau obstruksi permanen pada arteri koronari
(Price dan Wilson, 2005).
PATHWAY

Aterosklerosis Pajanan stres Latihan Makan makanan


spasme pembuluh terhadap s fisik berat
darah dingin
Adrenalin Kebutuhan o2 Aliran o2
meningkat jantung meningkat ke
vasokontri
meningkat mesentrikus
ksi

Aliran o2 ke
Aliran O2 arteri
jantung menurun
koronaria
menurun Jantung kekurangan
Suplai darah ke
Ganggu oksigen
ginjal turun Aliran O2 ke otak an Perlu menghindari
GFR turun menurun pertuka komplikasi
Ketidakefektifan ran Gas Iskemia otot
Retensi natrium perfusi jaringan jantung
Kontraksi Metabolisme
cerebral Kurang
Cairan Ekstra jantung anaerob
Lumen pembuluh penhgetahua
Seluler menurun Asam laktat
darah menyempit n
meningkat
Curah
Tekanan kapiler jantung Resisten Akumulasi asam
meningkat menurun terhadap aloiran hasil disosiasi
Hipertrofi
darah asam laktat
ventrikel kiri
Volume kelelahan
Penurunan
interstisial Aliran darah kemampuan Intoleransi
meningkat ginjal pembuluh darah
aktivitas
menurun melebar vaskuler
Edema Ketidakseimbang
Retensi Na an antara suplai
Preload naik dan kebutuhan
dan H2o
O2
Beban jantung Takut
Kelebihan Ganggu cemas nyer
meningkat mati
volume an pola i
tidur
e. Manifestasi Klinis Penyakit jantung Koroner
1. Asimptomatik (Silent Myocardial Ischemia),
Kadang penderita penyakit jantung koroner diketahui secara kebetulan
misalnya saat dilakukan check up kesehatan. Kelompok penderita ini
tidak pernah mengeluh adanya nyeri dada (angina) baik pada saat
istirahat maupun saat aktifitas. Secara kebetulan penderita
menunjukkan iskemia saat dilakukan uji beban latihan. Ketika EKG
menunjukkan depresi segmen ST, penderita tidak mengeluh adanya
nyeri dada. Pemeriksaan fisik, foto dada dan lain-lain dalam batas-
batas normal. Mekanisme silent iskemia diduga oleh karena ambang
nyeri yang meningkat, neuropati otonomik (pada penderita diabetes),
meningkatnya produksi endomorfin, derajat stenosis yang ringan
(Dede, 2006).

Gambar 4. Pemeriksaan EKG mengalami depresi ST

2. Angina Pektoris Stabil (Stable Angina)


Nyeri dada yang timbul saat melakukan aktifitas, bersifat kronis (> 2
bulan). Nyeri precordial terutama di daerah retrosternal, terasa seperti
tertekan benda berat atau terasa panas, seperti di remas ataupun seperti
tercekik.rasa nyeri sering menjalar ke lengan kiri atas atau bawah
bagian medial, ke leher, daerah maksila hingga ke dagu atau ke
punggung, tetapi jarang menjalar ke lengan kanan. Nyeri biasanya
berlangsung seingkat (1-5) menit dan rasa nyeri hilang bila penderita
istirahat. Selain aktifitas fisik, nyeri dada dapat diprovokasi oleh stress
atau emosi, anemia, udara dingin dan tirotoksikosis. Pada saat nyeri,
sering disertai keringat dingin. Rasa nyeri juga cepat hilang dengan
pemberian obat golongan nitrat. Jika ditelusuri, biasanya dijumpai
beberapa faktor risiko PJK. Pemeriksaan elektrokardiografi sering
normal (50 70% penderita). Dapat juga terjadi perubahan segmen ST
yaitu depresi segmen ST atau adanya inversi gelombang T (Arrow
Head). Kelainan segmen ST (depresi segmen ST) sangat nyata pada
pemeriksaan uji beban latihan.
Mekanisme terjadinya iskemia
Pada prinsipnya iskemia yang terjadi pada PJK disebabkan oleh
karena terjadi gangguan keseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen miokard. Dengan adanya aterosklerosis maka aliran darah
koroner akan berkurang, terutama pada saat kebutuhan meningkat (saat
aktifitas) sehingga terjadilah iskemia miokard (Ischemia On Effort)
(Dede, 2006).

3. Angina Pektoris Tidak Stabil (Unstable Angina)


Pada subset klinis ini, kualitas, lokasi, penjalaran dari nyeri dada sama
dengan penderita angina stabil. Tetapi nyerinya bersifat progresif
dengan frekuensi timbulnya nyeri yang bertambah serta pencetus
timbulnya keluhan juga berubah. Sering timbul saat istirahat.
Pemberian nitrat tidak segera menghilangkan keluhan. Keadaan ini
didasari oleh patogenesis yang berbeda dengan angina stabil. Angina
tidak stabil sering disebut sebagai Pre-Infarction sehingga
penanganannya memerlukan monitoring yang ketat. Pada angina tidak
stabil, plaque aterosklerosis mengalami trombosis sebagai akibat
plaque rupture (fissuring), di samping itu diduga juga terjadi spasme
namun belum terjadi oklusi total atau oklusi bersifat intermitten. Pada
pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan adanya depresi segmen ST,
kadar enzim jantung tidak mengalami peningkatan (Dede, 2006).

4. Variant Angina (Prinzmetals Angina)


Variant angina atau Prinzmetals angina pertama kali dikemukakan
pada tahun 1959 digambarkan sebagai suatu sindroma nyeri dada
sebagai akibat iskemia miokard yang hampir selalu terjadi saat
istirahat. Hampir tidak pernah dipresipitasi oleh stress / emosi dan
pada pemeriksaan EKG didapatkan adanya elevasi segmen ST.
Mekanisme iskemia pada Prinzmetals angina terukti disebabkan
karena terjadinya spasme arteri koroner. Kejadiannya tidak didahului
oleh meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Hal ini dapat terjadi
pada arteri koroner yang mengalami stenosis ataupun normal. Proses
spasme biasanya bersifat lokal hanya melibatkan satu arteri koroner
dan sering terjadi pada daerah arteri koroner yang mengalami stenosis.
Manifestasi klinis
Penderita dengan Prinzmetals angina biasanya terjadi pada penderita
lebih muda dibandingkan dengan angina stabil ataupun angina tdiak
stabil. Seringkali juga tidak didapatkan adanya faktor risiko yang
klasik kecuali perokok berat. Serangan nyeri biasanya terjadi antara
tengah malam sampai jam 8 pagi dan rasa nyeri sangat hebat.
Pmeriksaan fisik jantung biasanya tidak menunjukkan kelainan.
Pemeriksaan elektrokardiografi menunjukkan adanya elevasi segmen
ST (kunci diagnosis). Pada beberapa penderita bisa didahului depresi
segmen ST sebelum akhirnya terjadi elevasi. Kadang juga didapatkan
perubahan gelombang T yaitu gelombang T alternan, dan tidak jarang
disertai dengan aritmia jantung (Dede, 2006).

f. Komplikasi
1. Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif merupakan sirkulasi akibat disfungsi
miokardium. Tempat kongesti bergantung pada ventrikel yang terlibat.
Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri, menimbulkan kongeti
pada vena pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal
jantung kanan mengakibatkan kongesti vena sistemik. Kegagalan pada
kedua ventrikel disebut kegagalan beventrikuler. Gagal jantung kiri
merupakan komplikasi yang paling sering terjadi setelah infark
miokardium.
Infarm miokardium menggangu fungsi miokardium karena
menyebabkan menurunnya kekuatan kontraksi, menimbulkan
abnormalitas gerakan dinding dan mengubah daya kembang ruang
jantung. Dengan berkurangnya kemampuan ventrikel kiri untuk
mengosongkan diri, maka besar volume sekuncup berkurang sehingga
volume sisa ventrikel meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan
jantung sebelah kiri. Kenaikan tekanan ini disalurkan ke belakang ke
vena pulmonalis. Bila tekanan hidrostatik dalam kapiler paru melebihi
tekanan onkotik vaskular maka terjadi proses transudasi ke dalam ruang
interstisial. Bila tekanan ini masih meningkat lagi, terjadi edema paru-
paru akibat perembesan cairan ke dalam alveoli.
1 Syok Kordiogenik
Syok kardiogenik terjadi akibat disfungsi nyata ventrikel sesudah
mengalami infark yang masif, biasanya mengenai dari 40% ventrikel
kiri.
1 Disfungsi Otot Papilaris
Penutupan katup mitralis selama sistolik ventrikel bergantung pada
integritas fungsional otot papilaris ventrikel kiri dan korda tendinea.
Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu
fungsi katup mitralis, memungkinkan eversi daun katup ke dalam
atrium selama sistol. Inkompetensi katup mengakibatkan aliran
retrograd dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua akibat:
pengurangan aliran ke aorta, dan peningkatan kongesti pada atrium kiri
dan vena pulmonalis (Mansjoer, dkk, 2001).

g. Pemeriksaan Penunjang
Tergantung kebutuhannya beragam jenis pemeriksaan dapat dilakukan
untuk menegakkan diagnosis PJK dan menentukan derajatnya. Dari
yang sederhana sampai yang invasive sifatnya.
1. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan aktifitas listrik jantung atau gambaran
elektrokardiogram (EKG) adalah pemeriksaan penunjang untuk
memberi petunjuk adanya PJK. Dengan pemeriksaan ini kita dapat
mengetahui apakah sudah ada tanda-tandanya. Dapat berupa
serangan jantung terdahulu, penyempitan atau serangan jantung
yang baru terjadi, yang masing-masing memberikan gambaran
yang berbeda (Carko, 2009).
2. Foto Rontgen Dada
Dari foto rontgen, dokter dapat menilai ukuran jantung, ada-
tidaknya pembesaran. Di samping itu dapat juga dilihat gambaran
paru. Kelainan pada koroner tidak dapat dilihat dalam foto rontgen
ini. Dari ukuran jantung dapat dinilai apakah seorang penderita
sudah berada pada PJK lanjut. Mungkin saja PJK lama yang sudah
berlanjut pada payah jantung. Gambarannya biasanya jantung
terlihat membesar (Carko, 2009).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan untuk mengetahui kadar trigliserida sebagai faktor
resiko. Dari pemeriksaan darah juga diketahui ada-tidaknya
serangan jantung akut dengan melihat kenaikan enzim jantung
(Carko, 2009).
4. Bila dari semua pemeriksaan diatas diagnosa PJK belum berhasil
ditegakkan, biasanya dokter jantung/ kardiologis akan
merekomendasikan untuk dilakukan treadmill. Alat ini digunakan
untuk pemeriksaan diagnostic PJK. Berupa ban berjalan serupa
dengan alat olah raga umumnya, namun dihubungkan dengan
monitor dan alat rekam EKG. Prinsipnya adalah merekam aktifitas
fisik jantung saat latihan. Dapat terjadi berupa gambaran EKG saat
aktifitas, yang memberi petunjuk adanya PJK. Hal ini disebabkan
karena jantung mempunyai tenaga serap, sehingga pada keadaan
sehingga pada keadaan tertentu dalam keadaan istirahat gambaran
EKG tampak normal.
Dari hasil treadmill ini telah dapat diduga apakah seseorang
menderita PJK. Memang tidak 100% karena pemeriksaan dengan
treadmill ini sensitifitasnya hanya sekitar 84% pada pria sedangka
untuk wanita hanya 72%. Berarti masih mungkin ramalan ini
meleset sekitar 16%, artinya dari 100 orang pria penderita PJK
yang terbukti benar hanya 84 orang. Biasanya perlu pemeriksaan
lanjut dengan melakukan kateterisasi jantung (Carko, 2009).
5. Kateterisasi Jantung
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan kateter
semacam selang seukuran ujung lidi. Selang ini dimasukkan
langsung ke pembuluh nadi (arteri). Bisa melalui pangkal paha,
lipatan lengan atau melalui pembuluh darah di lengan bawah.
Kateter didorong dengan tuntunan alat rontgen langsung ke muara
pembuluh koroner. Setelah tepat di lubangnya, kemudian
disuntikkan cairan kontras sehingga mengisi pembuluh koroner
yang dimaksud. Setelah itu dapat dilihat adanya penyempitan atau
malahan mungkin tidak ada penyumbatan. Penyempitan atau
penyumbatan ini dapat saja mengenai beberapa tempat pada satu
pembuluh koroner. Bisa juga sekaligus mengenai beberapa
pembuluh koroner. Atas dasar hasil kateterisasi jantung ini akan
dapat ditentukan penanganan lebih lanjut. Apakah apsien cukup
hanya dengan obat saja, disamping mencegah atau mengendalikan
bourgeois resiko. Atau mungkin memerlukan intervensi yang
dikenal dengan balon. Banyak juga yang menyebut dengan istilah
ditiup atau balonisasi. Saat ini disamping dibalon dapat pula
dipasang stent, semacam penyangga seperti cincin atau gorng-
gorong yang berguna untuk mencegah kembalinya penyempitan.
Bila tidak mungkin dengan obat-obatan, dibalon dengan atau tanpa
stent, upaya lain adalah dengan melakukan bedah pintas koroner.
(Carko, 2009).

h. Deteksi Awal Penyakit Jantung Koroner


a. Ciri-ciri
1. Nyeri pada dada, ini dikarenakan otot jantung tidak mendapatkan pasokan
darah yang cukup dan membuat jantung tersebut menjadi nyeri.
2. Mengeluarkan keringat, pada saat tidak melakukan aktivitas
3. Merasa lelah berlebihan, meskipun tidak melakukan tindakan fisik berat
apapun
4. Sesak nafas, karena kontraksi jantung yang tidak normal
5. Sakit kepala, pada gejala awal PJK biasanya sakit sekali dikarenakan aliran
darah ke otak terganggu dan tidak normal.
6. Nafsu makan menurun, biasanya disertai mual
7. Bagian tubuh bengkak, dikarenakan adanya retensi natrium di dalam tubuh.
b. Pemeriksaan Fisik
mengindentifikasi faktor pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari
PJK. Hipertensi tidak terkontrol, takikardi, anemis, retinopati hipertensi atau
diabetic. Terdapat tanda-tanda gagal jantung ( hipotensi, mur-mur dan gallop
S3).
c. Laboratorium
SGOT meningkat
d.Foto dada
Kardiomegali, aortosklerosis, edema paru
e. Pemeriksaan EKG
Akut koroner sindrom : STEMI = ST elevasi > 2 mmminimal pada 2 sandapan
prekordial yang berdampingan atau > 1 mm pada sadapan ekstremitas, ada
evolusi EKG (Dede, 2006).

Gambar 5. Elevasi ST
G. Penatalaksanaan
1 Farmakologi
2 Non-farmakologi
1. Farmokologi
a. Analgetik yang diberikan biasanya golongan narkotik (morfin)
diberikan secara intravena dengan pengenceran dan diberikan
secara pelan-pelan. Dosisnya awal 2,0 2,5 mg dapat diulangi jika
perlu
b. Nitrat dengan efek vasodilatasi (terutama venodilatasi) akan
menurunkan venous return akan menurunkan preload yang berarti
menurunkan oksigen demam. Di samping itu nitrat juga
mempunyai efek dilatasi pada arteri koroner sehingga akan
meningkatakan suplai oksigen. Nitrat dapat diberikan dengan
sediaan spray atau sublingual, kemudian dilanjutkan dengan
peroral atau intravena.
c. Aspirin sebagai antitrombotik sangat penting diberikan. Dianjurkan
diberikan sesegera mungkin (di ruang gawat darurat) karena
terbukti menurunkan angka kematian.
d. Trombolitik terapi, prinsip pengelolaan penderita infark miokard
akut adalah melakukan perbaikan aliran darah koroner secepat
mungkin (Revaskularisasi / Reperfusi).Hal ini didasari oleh proses
patogenesanya, dimana terjadi penyumbatan / trombosis dari arteri
koroner. Revaskularisasi dapat dilakukan (pada umumnya) dengan
obat-obat trombolitik seperti streptokinase, r-TPA (recombinant
tissue plasminogen ativactor complex), Urokinase, ASPAC (
anisolated plasminogen streptokinase activator), atau Scu-PA
(single-chain urokinase-type plasminogen activator).Pemberian
trombolitik terapi sangat bermanfaat jika diberikan pada jam
pertama dari serangan infark. Dan terapi ini masih masih
bermanfaat jika diberikan 12 jam dari onset serangan infark.
e. Betablocker diberikan untuk mengurangi kontraktilitas jantung
sehingga akan menurunkan kebutuhan oksigen miokard. Di
samping itu betaclocker juga mempunyai efek anti aritmia (Tjay,
2007).
Penatalaksanaan Jantung Koroner yaitu dengan MONACO: morfin
(penghilang nyeri), oksigen, nitrat (vasodilator), aspirin
(antiplatelet), Clopidogrel dan segera lakukan pemeriksaan lab
untuk lebih memastikan ( troponin, CK, myoglobin,dll).
Obat Inotropik Dan Kronotropik
Inotropik adalah agen obat yang berperan untuk kontraksi otot
jantung (miokardium), untuk meningkatkan heart rate. Inotropik
dibagi yaitu:
1. Agen inotropik positif : Agen yang meningkatkan kontraktilitas
miokard, dan digunakan untuk review dalam mendukung fungsi
fungsi jantung dslam kondisi seperti Gagal Jantung, syok
kardiogenik, septik syok, kardiomiopati. Contoh agen inotropik
positif meliputi: Berberin, Omecamtiv, Dopamin, epinefrin
(adrenalin), isoprenalin (isoproterenol), Digoxin, Digitalis,
Amrinon, teofilin
2. Agen inotropik negatif: agen untuk menurunkan kontraktilitas
miokard, dan digunakan untuk mengurangi beban jantung Contoh
agen inotropik negatif meliputi: Carvedilol, bisoprolol, metoprolol,
Diltiazem, Verapamil, Clevidipine, Quinidin.
Kronotropik adalah agen obat yang berperan dalam meningkatkan
kontraktilitas jantung. Kronotropik dibagi yaitu:
1. Agen kronotropik positif: Agen yang meningkatkan denyut
jantung dengan mempengaruhi saraf. Contoh agen kronotropik
positif meliputi: Sebagian adrenergik yg tdk membuat sudut,.
Antropin, Dopamin, epinefrin, Isoproterenol
2. Agen kronotropik negatif: Agen yang menurunkan denyut
Jantung dengan mengubah irama. Agen contoh kronotropik negatif
meliputi: Metoprolol. Asetilkolin, Digoxin, Diltiazem Dan
Verapamil
2. Non-farmakologi
a. Merubah gaya hidup, memberhentikan kebiasaan merokok
b. Olahraga dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol dan
memperbaiki kolateral koroner sehingga PJK dapat dikurangi,
olahraga bermanfaat karena :
1. Memperbaiki fungsi paru dan pemberian O2 ke miokard
2. Menurunkan berat badan sehingga lemak lemak tubuh yang
berlebih berkurang bersama-sama dengan menurunnya LDL
kolesterol
3. Menurunkan tekanan darah
4. Meningkatkan kesegaran jasmani
c. Diet merupakan langkah pertama dalam penanggulangan
hiperkolesterolemi (Ekawati. 2010).
h. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Anamnesa
1) Biodata
Terjadi tiga kali lebih sering pada pria dibanding wanita, usia > 40 tahun,
keturunan, faktor modifikasi seperti hipertensi, hiperkolesterolemia,
merokok, obesitas, kurang bergerak, DM, stress.
2) Keluhan utama
Nyeri dada yang berat, sesak nafas, mual, muntah, nyeri kepala yang
hebat, kelemahan.
3) Riwayat penyakit masa lalu
Riwayat hipertensi, merokok pengguna alkohol, pola hidup yang tidak
sehat.
4) Riwayat kesehatan masa lalu
Keluarga yang menderita riwayat hipertensi, penyakit jantung,
kegemukan
5) Pola aktivitas sehari-hari
Banyak makan makanan yang mengandung lemak tinggi, kebiasaan
merokok, minum alkohol serta serta tidak rutin dalam melakukan
aktivitas olahraga.
6) Keadaan umum pasien
Keadaan umum lemah dan dapat membaik.

2. Pemeriksaan fisik
1) Breating (B1 = pernafasan)
Dispnea dengan atau tanpa aktivitas aktivitas, batuk produktif, riwayat
merokok.
Tanda : distres pernafasan, meningkat pada frekuensi/irama dan gangguan
kedalaman.
2) Bleeding (B2 = kardiovaskuler)
Riwayat hipertensi, riwayat penyakit jantung, kegemukan.
Tanda : takikardia, disritmia, tekanan darah normal, meningkat atau
menurun. Bunyi jantung mungkin normal ; S4 lambat atau murmur
sistolik transien lambat (disfungsi otot papilaris) mungkin ada saat nyeri.
Kulit atau membran mukosa lembab, dingin, pucat pada adanya
vasokontriksi.
3) Brain (B3 = persarafan)
Perubahan status mental, orientassi, pola bicara, afek, proses pikir
Tanda : nyeri kepala yang hebat
4) Blader (B4 = perkemihan)
Gangguan ginjal saat ini atau sebelumnya.
Tanda : disuria, oliguria, anuria poliuria sampai hematuria.
5) Bowel (B5 = pencernaan)
Tanda : mual, kehilangan nafsu makan, penurunan turgor kulit, muntah,
perubahan berat badan
6) Bone (B6 = tulang-otot-integumen)
Hipotensi postural, frekuensi jantung meningkat, takipnea.
Diagnosa Keperawatan :
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1. Gangguan NOC : 1. Monitordan kaji
rasa nyaman : Setelah dilakukan asuhan karakteristik
nyeri keperawatan selam 1x 24 jam dan lokasi nyeri
berhubungan makan terjadi penurunan 2. Monitor ttv
dengan adanya nyeri 3. Anjurkan
iskema Kriteria hasil : pasien untuk
jaringan Pasien menunjukan penurunan melapor apabila
jantung atau sklaa nyeri muncul nyeri
4. Ajarkan dan
sumbatan Menunjukan adanya enurunan
anjurkan pada
pada arteri tekanan darah
pasien untuk
koronaria
melakukan
tekhnik
relaksasi
5. Kolaborasi
dalam
pemberian
oksigen ,obat
betabloker, anti
angina,
analgesic.
2. Penurunan NOC: NIC:
curah jantung Setelah dilakukan asuhan Cardiac care
b/d respon keperawatan pump 1. Evaluasi adanya
fisiologis otot effectiveness selama 2x 24 nyeri dada
jantung, maka cardiac output kembali 2. Catat adanya
peningkatan efektif disritmia
frekuensi, jantung
dilatasi, 3. Monitor status
hipertrofi, kardivaskuler
4. Monitor status
atau
pernafasan yang
peningkatan
menandakan
isi sekuncup.
gagal jantung
5. Monitor adaya
perubahan
tekanan darah
6. Monitor adanya
toleransi
aktivitas
7. Anjurkan untuk
menurunkan
stress
3. Perfusi NOC : NIC :
jaringan tidak Setelah dilakukan 1x 24 jam Manajemen sensasi
efektive b/d asuhan keperawatan maka perifer
menurunnya perfusi jaringan membaik. 1. Monitor adanya
curah jantung, Kriteria Hasil : daerha tertentu
hipoksemia Mendemonstrasikan status yang peka
jaringan, sirkulasi yang ditandai terhadap panas,
asidosis dan dengan : dingin, tajam,
kemungkinan 1. Tekanan systole dan tumpul
trombus atau diastole dalam rentang 2. Kaji adanya
emboli. yang diharapkan paretese
2. Tidak ada 3. Instruksikan
ortotastikhipertensi keluarga untuk
3. Tidak ada tanda-tanda mengobservasi
peningkatan tekanan kullit jika ada
intrakranial lesi
4. Mendemonstrasikan 4. Anjurkan
kemampuan kognitif kepada pasien
seperti berkomunikasi untuk batasi
dengan jelas, gerakan pada
menunjukan kepala, leher
konsentrasi. dan punggung
5. Kolaborasi
pemberian
analgesik

4. Gangguan NOC : Airway management :


pertukaran gas Setelah dilakukan asuhan 1. Buka jalan
b/d kongesti keperawatan selama 1X24 nafas,
paru, maka pertukaran gas kembali 2. Posisikan
hipertensi, efektife. pasien untuk
pulmonal Kriteria hasil : memaksimalka
1. Mendemonstrasikan n ventilasi
peningkatan ventilasi dan 3. Kaji pasien
oksigenasi yang adekuat apabila perlu
2. Batuk efektife dan suara pemasangan
nafas bersih alat jalan nafas
3. TTV normal buatan
4. Lakukan
fisioterapi dada
bila perlu
5. Keluarkan
secret dengan
batuk atau
suction
6. Monitor
respirasi dan
status O2
5. Kelebihan NOC : NIC :
volume cairan Voleme cairan dalam tubuh Fluid management
b/d seimbang. 1. Kaji kondisi pasien
berkurangnya Kriteria hasil : 2. Pertahankan
curah jantung, 1. Tervbebas dari edema, catatan intake dan
retensi cairan efusi, anasarka outputakurat
dan natrium 2. Bunyi dafas bersih, 3. Pasang rin kateter
oleh ginjal, tidak ada dyspneu/ jika perlu
ortopneu 4. Monitor vital sign
hipoperfusi ke
3. Terbebas dari 5. Kaji adanya lokai
jaringan
kelelahan, kecemasan, edema
perifer dan 6. Monitor status
hipertensi dan ttv normal
nutrisi
DAFTAR PUSTAKA

Dede Kusmana. 2006. Pencegahan dan Rehabilitas Penyakit Jantung Koroner.


Jurnal Kardiologi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Ekawati. 2010. Upaya Mencegah Penyakit Jantung dengan Olahraga. Pendidikan


Universitas Sebelas Maret Surakarta: Pendidikan Olahraga danKesehatan,
Fakultas Keguruan dan Ilmu.

Tjay . H dan Kirana, R. 2007. Obat-obat Penting Edisi VI. Jakarta Elex Media
Komputindo.

Mansjoer Arif dkk.2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III, Jakarta: Media
Aesculapius.

Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis,


Proses-proses, dan Penyakit. Edisi 6. Jakarta. EGC.

Anda mungkin juga menyukai