REFERAT
IMUNISASI
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Definisi :
Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer antibody secara pasif.
Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam bentuk yaitu
immunoglobulin non spesifik atau gamaglobulin dan immunoglobulin yang spesifik
yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh dari penyakit tertentu atau baru
saja mendapatkan vaksinasi penyakit tertentu. Imunisasi adalah suatu cara untuk
meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila
kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit. Dilihat dari cara
timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitu kekebaln pasif dan kekebalan
aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat
oleh tubuh itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari
ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan immunoglobulin.
Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh.
Waktu paruh IgG 28 hari, sedangkan waktu paruh immunoglobulin lainnya lebih
pendek. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat
terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan
aktif berlangsung lebih lama daripada kekebalan pasif karena adanya memori
imunologik.vaksinasi memiliki arti yang berbeda dengan imunisasi. Vaksinasi adalah
pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas (antibody)
dari system imun di dalam tubuh. Vaksinasi merupakan suatu tindakan yang dengan
sengaja memberikan paparan dengan antigen yang bersala dari mikroorganisme
2
pathogen. Antigen yang diberikan telah dibuat sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan sakit namun mampu mengaktivasi limfosit menghasilkan antibody dan
sel memori.
b. Tujuan imunisasi
Untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan
menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau
menghilangkan penyakit tertentu dari dunia.
3
Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas seluler dan imunitas
humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibody bila dirangsang oleh
antigen. Semua antibody adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut
immunoglobulin (Ig). Respon imun terdiri dari dua fase yaitu fase pengenalan
yang diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen (APC), sel limfosit B
dan sel limfosit T dan fase efektor yang diperankan oleh antibody dan limfosit T
efektor
Limfosit Th umumnya mengenal antigen bila dipresntasikan bersama molekul
MHC (major histocompability complex) kelas I dan II yaitu molekul yang antara
lain terdapat pada membran sel makrofag. Setelah antigen diproses oleh sel
makrofag akan dipresntasikan bersama MHC kelas I atau kelas II kepada sel Th
sehingga terjadi ikatan antara TCR ( T cell receptor) dengan antigen. Kemudian
akan terjadi diferensiasi menjadi sel Th efektor, sel Tc efektor serta sel Th memori
atas pengaruh sitokin di jaringan perifer. Sel th efektor mengaktivasi makrofag.
Peran utama sel Th ialah membantu sel limfosit B menghasilkan antibody.
Pada manusia terdapat dua jenis sel Th yaitu sel Th1 dan sel Th2 yang dapat
dibedakan dengan sitokin yang dihasilkannya dan fungsi efektornya. Misalnya
Th1 mensekresi sitokin IL-2, IL-3, TNFa dan Th2 mensekresi IL-4, IL-5, IL-6,
IL-10, dan IL-13. Sedangkan peran utama sel Tc atau sel CD8 ialah untuk
mengenal dan kemudian melisis sel target yang terinfeksi sehingga disebut juga
sel cytotoxic lymphosit (CTLs) yang berperan pada infeksi virus, bakteri dan
parasit. Antigen akan berikatan dengan immunoglobulin permukaan sel B dan
dengan bantuan sel Th ( bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B
sedemikian rupa hingga terjadilah tranformasi blast, proliferasi dan diferensiasi
menjadi sel plasma yang mensekresi antibody dan membentuk sel B memori.
Sedangkan antigen T1 dapat secara langsung mengaktivasi sel B tanpa bantuan
sel Th. Antibody yang disekresi dapat menetralkan Ag sehingga virulensinya
menghilang, atau berikatan dengan Ag sehingga lebih mudah difagositosis oleh
makrofag dalam proses opsonisasi. Kadang fagositosis dapat dibantu dengan
4
melibatkan komplemen sehingga terjadi penghacuran Ag. Selain itu ikatan
antibody dengan Ag juga mempermudah lisis oleh sel Tc. Peristiwa ini disebut
antibody dependent celluler mediated cytotoxicity (ADCC). Hasil aktivasi sel B
adalah eliminasi Ag dan pembentukan sel memori yang kelak bila terpapar lagi
dengan Ag serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi. Hal inilah yang
diharapkan pada imunisasi. Peran utama vaksinasi ialah menimbulakn memori
imunologik yang banyak. Sel B memori terbentuk di jaringan limfois di bagian
sentral germinal. Antigen asinmg yang sudah terikat dengan antibody akan
membentuk komplek Ag-antibodi dan akan terikat dengan komplemen .
Komplek ag-ab-C akan menempel pada sel dendrite folikel (FDC= follicular
dendritic cells) karena terdapat reseptor C di permukaan sel dendrite terjadi
proliferasi dan diferensiasi sel limfosit B dan akan terbentuk sel plasma yang
menghasilkan antibody dan sel B memori yang mempunyai afinitas antigen yang
tinggi. Sel B memori akan berada di sirkulasi sedangkan sel plasma akan migrasi
ke sum-sum tulang. Bila sel B memori kembali ke jaringan limfoid yang
mempunyai antigen serupa maka akan terjadi proses proliferasi dan dan
diferensisasi seperti semula dengan menghasilkan antibidi yang lebih banyak
dengan afinitas yang lebih tinggi.
Sel T memori dibentuk dengan melalui beberapa tahapan. Sel APC akan
mempresentasikan antigen yang sudah diprosesnya bersama molekul MHC di
jaringan limfoid perifer pada sel limfosit T ; bersamaan ini akan disekresi sitokin.
Salah satu fungsi sitokin adalah proliferasi sel T dengan Ag spesifik dan
diferensiasi yang menghasilkan sel efektor dan sel T memori. Sel T efektor akan
meninggalkan jarinngan limfoid dan berada di sirkulasi dan bermigrasi ke tempat
terjadi infeksi untuk mengeliminasi infeksi sedangkan sel T memori yang tidak
aktif akan berada di sirkulasi untuk jangka yang lama. Antigen ekstraseluler akan
diproses di APC menjadi peptide yang akan dikenal oleh molekul MHC kelas II,
Ag intraseluler oleh MHC kelas I.
d. Prosedur Imunisasi
5
Prosedur imunisasi dimulai dari menyiapkan dan membawa vaksin,
mempersiakan anak dan orang tua, teknik penyuntikan yang aman, pencatatan,
pembuangan limbah sampai pada teknik penyimpanan dan penggunaan sisa
vaksin dengan benar.
Tata cara pemberian imunisasi:
Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara seperti
berikut :
Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila
tidak divaksinasi.
Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila
terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan.
Baca dengan teliit informasi tentang yang akan diberikan dan jangan lupa
mendapat persetujuan orang tua.
Tinjau kembali apakah ada indikasi kontra terhadap vaksin yang akan
diberikan
Periksa identitas penerima vaksin dan diberikan antipiretik bila diperlukan
Periksa jenis vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda
perubahan.
Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan
pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertingal (catch up
vaccination) bila diperlukan.
Berikan vaksin dengan teknik yang benar
Setelah pemberian vaksin berikan edukasi pada orang tua mengenai
kejadian pasca imunisasi.
Catat imunisasi dalam rekan medis secara rinci
Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi
untuk mengejar ketertinggalan bila diperlukan.
Penyimpanan
Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan kehilangan potensinya.
Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, bahwa vaksin harus didinginkan pada
temperature 2-80 C dan tidak membeku. Secara umum ada 2 jenis vaksin yaitu vaksin
hidup (polio oral, BCG, campak, MMR, varisella dan demam kuning) dan vaksi mati
6
atau inaktif (DPT,Hib, pneimokokus, Typhoid, influenza, polio inaktif,
meningokokus).
Secara umum semua vaksin sebaiknya disimpan pada suhu +2 s/d +80C vaksin
hidup akan cepat mati, vaksin polio hanya bertahan 2 hari, vaksin BCG dan campak
yang belum dilarutkan mati dalam 7 hari. Vaksin hidup potensinya masih tetap baik
pada suhu kurang dari 20 C s/d beku. Vaksin polio oral yang belum dibuka lebih
bertahan lama (2tahun) bila disimpan pada suhu -250 C s/d -150 C, namun hanya
bertahan 6 bulan pada suhu +20 C s/d +80 C. vaksin BCG dan campak berbeda,
walaupun disimpan pada suhu -250 C s/d -150 C, umur vaksin tidak lebih lama dari
suhu +20 C s/d +80 C, yaitu BCG tetap 1 tahun dan campak tetap 2 tahun. Oleh karena
itu vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan tidak perlu disimpan di -250 C s/d
-150 C atau di dalam freezer.
Vaksin inaktif (mati) sebaiknya disimpan dalam suhu +20 C s/d +80 C juga,
pada suhu dibawah +20 C (beku) vaksin mati akan cepat rusak. Bila beku dalam suhu
-0,50 C vaksin hepatitis B dan DPT-Hepatitis B (kombo) akan rusak dalam jam,
tetapi dalam suhu diatas 80 C vaksin Hepatitis B bias bertahan sampai 30 hari, DPT-
Hepatitis B kombinasi sampai 14 hari. Dibekukan dalam suhu -50 C s/d -100 C vaksin
DPT, DT dan TT akan rusak dalam 1,5 s/d 2 jam, tetapi bias bertahan sampai 14 hari
dalam suhu diatas 80 C.
Tekhnik dan ukuran jarum
Pada tiap suntikan harus digunakan tabung suntikan dan jarum baru, sekali
pakai dan steril. Sebaiknya tidak digunakan botol vaksin yang multidosis, karena
resiko infeksi. Apabila memakai botol multidosis maka jarum suntik yang telah
digunakan menyuntik tidak boleh dipakai lagi mengambil vaksin.
Standar jarum suntik ialah ukuran 23 dengan panjang 25 mm, tetapi ada
perkecualian lain dalam beberapa hal seperti berikut :
- pada bayi-bayi kurang bulan, umur dua bulan atau yang lebih muda dan bayi-
bayi kecil lainnya, dapat pula dipakai jarum ukuran 26 dengan panjang 16
mm.
7
- untuk suntikan subkutan pada lengan atas, dipakai jarum ukuran 25 dengan
panjang 16mm, untuk bayi-bayi kecil dipakai jarum ukuran 27 dengan
panjang 12 mm.
- untuk suntikan intramuscular pada oaring dewasa yang sangat gemuk (obese)
diapakai jarum ukuran 23 dengan panjang 38 mm.
- untuk suntikan intradermal pada vaksinasi BCG dipakai jarum ukuran 25-27
dengan panjang 10 mm.
8
imunogenik; hal ini berlaku untuk semua umur. Sedangkan untuk vaksin BCG, harus
disuntik pada kulit diatas insersi otot deltoid (lengan atas), sebab suntikan-suntikan
diatas puncak pundak memeberi resiko terjadinya keloid.
Posisi anak dan lokasi suntikan
Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur di bawahh 12 bulan
adalah:
- Menghindari resiko kerusakan saraf ischiadika pada suntikan daerah gluteal.
- Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan
secara adekuat.
- Sifat imunogenesitas vaksin hepatitis B dan rabies berkurang bila disuntikkan
di daerah gluteal.
- Menghindari resiko reaksi local dan terbentuk pembengkakan ditempat
suntikan yang menahun.
- Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.
9
Gambar 3. Diagram Lokasi Suntikan Yang Dianjurkan pada otot paha.
10
bawah sedikit menekuk, maka lekukan yang dibuat oleh tractus iliotibialis
menyebabkan garis bagian distal lebih jelas)
- Supaya vaksin yang disuntikkan masuk ke dalam otot pada batas antara
sepertiga bagian atas dan tengah, jarumditusukkan satu jari diatas batas
tersebut.
Untuk mendapatkan lokasi deltoid yang baik, membuka lengan atas dari pundak ke
siku. Lokasi yang paling baik adalah pada tengah otot, yaitu separuh antara akromion
dan insersi pada tengah humerus. Jarum suntik ditusukkan membuat sudut 450-600
mengarah pada akromion. Bila bagian bawah deltoid yang disuntik, ada resiko trauma
saraf radialis karena saraf tersebut melingkar dan muncul dari otot trisep.
11
Gambar 5. Lokasi Penyuntikan Subkutan Pada Bayi (a) dan Anak Besar (b)
Gambar 6. Lokasi Penyuntikan intramuscular Pada Bayi (a) dan Anak Besar (b)
12
Pedoman penyuntikan subkutan
Umur Tempat Ukuran jarum
Bayi (0-12 bulan) Paha daerah antolateral Ukuran 23-25 panjang 16-
19 mm
1-3 tahun Paha daerah antolateral Ukuran 23-25 panjang 16-
atau daerah lateral lengan 19 mm
atas
>3 tahun Daerah lateral lengan atas Ukuran 16-19 panjang 16-
19 mm
13
konstituen vaksin, indikasi kontra Prematuritas
pemberian semua vaksin yang Terpajan terhadap suatu penyakit
14
Imunodefisiensi penghuni
serumah
Perhatian khusus
Kehamilan
Vaksin Polio Inactivated (IPV)
Reaksi anafilaktik terhadap neomisin,
streptomisin atau polimiksin B
Perhatian khusus :
Kehamilan
Measles, Mumps and Rubela (MMR)
Reaksi anafilaksis terhadap Tuberculosis atau uji tuberculin
neomisin atau gelatin positif
Imunodefisiensi (keganasan Uji tuberculin bersamaan dengan
hematologi atau tumor padat, imunisai
Menyusui
imunodefisiensi congenital, terapi
Kehamilan ibu atau penghuni
imunosupresan jangka panjang,
serumah
infeksi HIV dengan imunosipresi Imunodefisiensi dalam keluarga
berat) atau penghuni serumah
Perhatian khusus : Infeksi HIV tanpa imunosupresi
Baru mendapat tranfusi darah /
berat
produk darah atau immunoglobulin Alergi telur
(3-11 bulan) Reaksi non anafilaksis terhadap
15
Imunodefisiensi (keganasan serumah
hematologi atau tumor padat,
imunodefisiensi congenital, terapi
imunosupresan jangka panjang)
Perhatian khusus :
Baru mendapat immunoglobulin
(dalam 5 bulan)
Riwayat imunodefisiensi dalam
keluarga
e. Jadwal Imunisasi
Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DTP dan
campak.
1. BCG
Bacille Calmete-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium
Bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan basil yang
tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksinasi BCG
menimbulkan sensitivitas terhadap tuberculin.
16
Efek proteksi timbul 8-12 minggu setelah penyuntikkan. Berhubungan dengan
beberapa factor yaitu mutu vaksin yang dipakai, lingkungan dengan
Mycobacterium atipik atau factor pejamu (umur, keadaan gizi dan lain-lain)
Penyuntikan BCG intradermal akan menimbulkan ulkus local yang superficial
3 minggu setelah penyuntikkan. Ulkus tertutup krusta, akan sembuh dalam 2-
3 bulan, dan meninggalkan parut bulat dengan diameter 4-8 mm, apabila dosis
terlalu tinggi maka ulkus yang timbul lebih besar, namun apabila
penyuntikkan terlalu dalam maka parut yang terjadi tertarik ke dalam.
o Limfadenitis
Limfadenitis supuratif di aksila atau di leher kadang-kadang dijumpai
setelah penyuntikan BCG. Limfadenitis akan sembuh sendiri, jadi tidak perlu
diobati. Apabila limfadenitis melekat pada kulit atau timbul fistula maka dapat
dibersihkan (drainage) dan diberikan obat anti tuberculosis oral. Pemberian
obat anti tuberculosis sistemik tidak efektif.
o BCG-itis diseminasi
Jarang terjadi, seringkali berhubungan dengan imunodefisiensi berat.
Komplikasi lainnya adalah eritema nodosum, iritis, lupus vulgaris dan
osteomielitis. Komplikasi ini harus diobati dengan kombinasi obat anti
tuberculosis.
Kontra indikasi BCG
o Reaksi uji tuberculin >5 mm.
o Menderita infeksi HIV atau dengan resiko tinggi infeksi HIV,
imunokompromais akibat penggunaan kortikosteroid, obat
imunosupresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit keganasan yang
mengenai sumsum tulang atau system limfe.
o Menderita gizi buruk.
o Menderita demam tinggi.
o Menderita infeksi kulit yang luas.
o Pernah sakit tuberculosis.
17
o Kehamilan.
Rekomendasi
o BCG diberikan pada bayi < 2bulan.
o Pada bayi yang kontak erat dengan penderita TB denagn BTA +3
sebaiknya diberikan INH profilaksis dulu, apabila pasien kontak sudah
tenang bayi dapat diberi BCG.
2. Hepatitis B
Vaksin hepatitis B (hep B) harus segera diberikan setelah lahir, mengingat
vaksinasi hepB merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk
memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada
bayinya.
Vaksin diberikan secara intramuscular dalam. Pada neonatus dan bayi
diberikan di anterolateral paha, sedangkan pada anak besar dan dewasa,
diberikan di region deltoid
Imunisasi aktif
o Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam)
setelah lahir.
o Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi
hepB-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respon imun
optimal, interval imunisasi hepB-2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan,
terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepB-3 diberikan pada umur 3-6
bulan.
o Bila sesudah dosis pertama, imunisasi terputus, segera berikan
imunisasi kedua. Sedangkan imunisasi ketiga diberikan dengan jarak
terpendek 2 bukan dari imunisasi kedua.
o Bila dosis ketiga terlambat, diberikan segera setelah memungkinkan.
o Bayi lahir dari ibu dengan Hbs-Ag yang tidak diketahui, hepB-1 harus
diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan dilanjutkan pada umur
1 bulan dan 3-6 bulan. Apabila semula status Hbs-Ag ibu tidak
18
diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui ibu
dengan Hbs-Ag positif, maka ditambahkan hepatitis B
immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari.
o Bayi lahir dari ibu dengan Hbs-Ag positif, diberikan vaksin hepB-1
dan HBIg 0,5 ml secara bersamaan dalam waktu 12 jam setelah lahir.
o Anak dari ibu pengidap hepatitis B, yang telah memperoleh imunisasi
dasar 3x pada masa bayi, maka pada saat usia 5 tahun tidak perlu
imunisasi ulang (booster). Hanya dilakukan pemeriksaan kadar anti
HBs
o Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh
imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan imunisasi Hep B
dengan jadwal 3x pemberian (catch up vaccination).
Catch up vaccination merupakan upaya imunisasi pada anak
atau remaja yang belum pernah di imunisasi atau terlambat > 1
bulan dari jadwal yang seharusnya. Khusus pada imunisasi
hepatitis B, imunisasi catch up ini diberikan dengan interval
minimal 4 minggu antara dosis pertama dan kedua, sedangkan
interval antara dosis kedua dan ketiga minimal 8 minggu atau
16 minggu sesudah dosis pertama.
o Ulangan imunisasi (hepB-4) dapat dipertimbangkan pada umur 10-12
tahun, apabila kadar pencegahan belum tercapai (anti Hbs< 10g/ml).
Imunisasi pasif
o Hepatitis B immune globulin (HBIg) dalam waktu singkat akan
memeberikan proteksi meskipun hanya untuk jangka pendek (3-6
bulan). HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan. Sebaiknya
HBIg diberikan bersama vaksin VHB sehingga proteksinya
berlangsung lama. Pada needle stick injury maka diberikan HBIg 0,06
19
ml/kg maksimum 5 ml dalam 48 jam pertama setelah kontak. Pada
penularan dengan cara kontak seksual HBIg diberikan 0,06 ml/kg
maksimum 5 ml dalam waktu <14 hari sesudah kontak terakhir.
Efek samping
o Umumnya berupa reaksi local yang ringan dan bersigat sementara.
Kadang-kadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari.
Kontra indikasi
o Tidak ada kontra ondikasi yang absolute.
Imunisasi DTP primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP tidak boleh
diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Interval
terbaik diberikan 8 minggu, jadi DTP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2
pada umur 4 bulan dan DTP-3 padaumur 6 bulan. Ulangan booster DTP
selanjutnya diberikan satu tahun setelah DTP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan
dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun.
Pada booster umur 5 tahun harus tetap diberikan vaksin dengan komponen
pertusis (sebaiknya diberikan DTaP untuk mengurangi demam pasca
imunisasi) mengingat kejadian pertusis pada dewasa muda meningkat akibat
ambang proteksi telah sangat rendah sehingga dapat menjadi sumber
penularan pada bayi dan anak.
DT-5 diberikan pada kegiatan imunisasi di sekolah dasar. Ulangan DT-6
diberikan pada 12 tahun, mengingat masih dijumpai kasus difteria pada umur
lebih dari 10 tahun.
Dosis DTwP atau DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuscular, baik untuk
imunisasi dasar maupun ulangan.
Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5 dosis pada
usia 2,4,6,15-18 bulan dan usia 5 tahun atau saat masuk sekolah. Dosis ke 4
harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah dosis ke 3. kombinasi
20
toksoid difteria dan tetanus(DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan
pada anak yang memiliki kontra indikasi terhadap pemberian yang pertusis.
Kejadian ikutan pasca imunisasi DTP
o Reaksi local kemerahan, bengkak dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi
pada separuh penerima DTP.
o Proporsi Demam ringan dengan reaksi local sama dan diantaranya
dapat mengalami hiperpireksia.
o Anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam paska
suntikan (inconsolable crying).
o Dari suatu penelitian ditemukan adanya kejang demam sesudah
vaksinasi yang dihubungkan dengan demam yang terjadi.
o Kejadian ikutan yang paling serius adalah terjadinya ensefalopati akut
atau reaksi anafilaksis dan terbukti disebabkan oleh pemberian vaksin
pertusis.
Kontra indikasi
o Saat ini didapatkan dua hal yang diyakini sebagai kontra indikasi
mutlak terhadap pemberian vaksin pertusis baik whole cell maupun
acelular. Yaitu :
o anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya.
o Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya.
o Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus (precaution).
Misalnya pemberian vaksin pertusis berikutnya bila pada pemberian
pertama dijumpai riwayat hiperpireksia, keadaan hipotonik-
hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 3
jam dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DTP
o Riwayat kejang dalam keluarga dan kejang yang tidak berhubungan
dengan pemberian vaksin sebelumnya, kejadian ikutan paska
imunisasi atau alergi terhadap vaksin bukanlah suatu indikasi kontra
21
terhadap pemberian vaksin DTaP. Walaupun demikian keputusan
untuk pemberian vaksin pertusis harus dipertimbangkan secara
individual dengan memperhitungkan keuntungan dan resiko
pemberiannya.
4. POLIO
Terdapat 2 macam vaksin polio:
- IPV (Inactivated Polio Vaccine, Vaksin Salk), mengandung virus polio
yang telah dimatikan dan diberikan melalui suntikan.
- OPV (Oral Polio Vaccine, Vaksin Sabin), mengandung vaksin hidup yang
telah dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil atau cairan.
Bentuk trivalen (TOPV) efektif melawan semua bentuk polio, bentuk
monovalen (MOPV) efektif melawan 1 jenis polio. Imunisasi dasar polio
diberikan 4 kali (polio I,II, III, dan IV) dengan interval tidak kurang dari 4
minggu. Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun setelah imunisasi polio IV,
kemudian pada saat masuk SD (5-6 tahun) dan pada saat meninggalkan SD
(12 tahun).
Di Indonesia umumnya diberikan vaksin Sabin. Vaksin ini diberikan sebanyak
2 tetes (0,1 mL) langsung ke mulut anak atau dengan menggunakan sendok
yang berisi air gula. Dosis pertama dan kedua diperlukan untuk menimbulkan
respon kekebalan primer, sedangkan dosis ketiga dan keempat diperlukan
untuk meningkatkan kekuatan antibody sampai pada tingkat yang tertinggi.
Kepada orang yang pernah mengalami reaksi alergi hebat (anafilaktik) setelah
pemberian IPV, streptomisin, polimiksin B atau neomisin, tidak boleh
diberikan IPV. Sebaiknya diberikan OPV. Kepada penderita gangguan sistem
kekebalan (misalnya penderita AIDS, infeksi HIV, leukemia, kanker,
limfoma), dianjurkan untuk diberikan IPV. IPV juga diberikan kepada orang
yang sedang menjalani terapi penyinaran, terapi kanker, kortikosteroid atau
obat imunosupresan lainnya. IPV bisa diberikan kepada anak yang menderita
diare.
22
Jika anak sedang menderita penyakit ringan atau berat, sebaiknya pelaksanaan
imunisasi ditunda sampai mereka benar-benar pulih. IPV bisa menyebabkan
nyeri dan kemerahan pada tempat penyuntikan, yang biasanya berlangsung
hanya selama beberapa hari. Masa inkubasi virus antara 6-10 hari. Setelah
demam 2-5 hari, umumnya akan mengalami kelumpuhan mendadak pada
salah satu anggota gerak. Namun tak semua orang yang terkena virus polio
akan mengalami kelumpuhan, tergantung keganasan virus polio yang
menyerang dan daya tahan tubuh si anak. Imunisasi polio akan memberikan
kekebalan terhadap serangan virus polio.
Usia Pemberian:
Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan. Dilanjutkan pada
usia 18 bulan dan 5 tahun. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin polio selalu
dibarengi dengan vaksin DTP.
Cara Pemberian:
Bisa lewat suntikan (Inactivated Poliomyelitis Vaccine/IPV), atau lewat mulut
(Oral Poliomyelitis Vaccine/OPV). Di tanah air, yang digunakan adalah OPV.
Efek Samping:
Hampir tak ada. Hanya sebagian kecil saja yang mengalami pusing, diare
ringan, dan sakit otot. Kasusnya pun sangat jarang. Dapat mungkin terjadi
berupa kelumpuhan dan kejang-kejang.
5. CAMPAK (MORBILLI)
Vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Setiap dosis
(0,5ml) mengandung tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain CAM
70, dan tidak lebih dari 100 mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu
erythromycin. Vaksin ini berbentuk vaksin beku kering yang harus dilarutkan
hanya dengan pelarut steril yang tersedia secara terpisah untuk tujuan tersebut.
Vaksin ini telah memenuhi persyaratan WHO untuk vaksin campak.
Indikasi
Untuk Imunisasi aktif terhadap penyakit campak.
Komposisi
Tiap dosis vaksin yang sudah dilarutkan mengandung : Virus Campak >=
1.000 CCID50, Kanamycin sulfat <= 100 mcg, Erithromycin <= 30 mcg
23
Dosis dan Cara Pemberian
Imunisasi campak terdiri dari dosis 0,5 ml yang disuntikkan secara
SUBKUTAN, lebih baik pada lengan atas. Pada setiap penyuntikan harus
menggunakan jarum dan syringe yang steril. Vaksin yang telah dilarutkan
hanya dapat digunakan pada hari itu juga (maksimum untuk 8 jam) dan itupun
berlaku hanya jika vaksin selama waktu tersebut disimpan pada suhu 2-8C
serta terlindung dari sinar matahari. Pelarut harus disimpan pada suhu sejuk
sebelum digunakan.
Satu dosis vaksin campak cukup untuk membentuk kekebalan terhadap
infeksi.Di negara-negara dengan angka kejadian dan kematian karena
penyakit campak tinggi pada tahun pertama setelah kelahiran, maka
dianjurkan imunisasi terhadap campak dilakukan sedini mungkin setelah usia
9 bulan (270 hari). Di negara-negara yang kasus campaknya sedikit, maka
imunisasi boleh dilakukan lebih dari usia tersebut.
Vaksin campak tetap aman dan efektif jika diberikan bersamaan dengan
vaksin-vaksin DT, Td, TT, BCG, Polio, (OPV dan IPV), Hepatitis B, dan
Yellow Fever.
Usia & Jumlah Pemberian:
Sebanyak 2 kali; 1 kali di usia 9 bulan, 1 kali di usia 6 tahun. Dianjurkan,
pemberian campak ke-1 sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah
menurun di usia 9 bulan, penyakit campak umumnya menyerang anak usia
balita. Jika sampai 12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, maka
pada usia 12 bulan harus diimunisasi MMR (Measles Mumps Rubella).
Efek Samping:
Umumnya tidak ada. Pada beberapa anak, bisa menyebabkan demam dan
diare, namun kasusnya sangat kecil. Biasanya demam berlangsung seminggu.
Kadang juga terdapat efek kemerahan mirip campak selama 3 hari.
Sediaan
Vaksin tersedia dalam kemasan vial 10 dosis + 5 ml pelarut dalam ampul.
24
1. Imunisasi HIB
Sesuai namanya, imunisasi ini bermanfaat untuk mencekal kuman HiB
(Haemophyllus influenzae type B). Kuman ini menyerang selaput otak
sehingga terjadilah radang selaput otak yang disebut meningitis. Meningitis
sangat berbahaya karena dapat merusak otak secara permanen sampai kepada
kematian. Selain mengakibatkan radang selaput otak, kuman ini juga dapat
menyebabkan radang paru dan radang epiglotis.
Terdapat dua jenis vaksin Hib konjungat yang beredar di Indonesia yaitu
vaksin Hib yang berisi PRP-T (capsular polysaccharide polyriibosyl ribitol
phosphate- konjugasi dengan protein tetanus) dan PRP-OMP (PRP
berkonjugasi outer membrane protein complex).
Jadwal imunisasi
o Vaksin Hib yang berisi PRT-P diberikan umur 2,4, dan 6 bulan.
o Vaksin Hib yang berisi PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan 4 bulan,
dosis ketiga (6 bulan) tidak diperlukan.
o Vaksin Hib dapat diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi
(DTwP/Hib, DTaP/Hib/IPV)
Dosis
o Satu dosis Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara intramuscular.
o Tersedia vaksin kombinasi (DTwP/Hib, DTaP/Hib, DTaP/Hib/IPV
(vaksin kombinasi yang beredar berisi vaksin Hib PRT-P) dalam
kemasan prefilled syringe 0,5 ml.
Ulangan
o Vaksin Hib baik PRT-P ataupun PRP-OMP perlu diulang pada umur 18
bulan.
o Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan satu
kali.
2. Imunisasi PCV
Jenis imunisasi ini tergolong baru di Indonesia. PCV atau Pneumococcal
Vaccine alias imunisasi pneumokokus memberikan kekebalan terhadap
serangan penyakit IPD (Invasive Peumococcal Diseases), yakni meningitis
(radang selaput otak), bakteremia (infeksi darah), dan pneumonia (radang
25
paru). Ketiga penyakit ini disebabkan kuman Streptococcus Pneumoniae atau
Pneumokokus yang penularannya lewat udara. Gejala yang timbul umumnya
demam tinggi, menggigil, tekanan darah rendah, kurang kesadaran, hingga tak
sadarkan diri. Penyakit IPD sangat berbahaya karena kumannya bisa
menyebar lewat darah (invasif) sehingga dapat memperluas organ yang
terinfeksi. Diperlukan imunisasi Pneumokukus untuk mencekal penyakit ini.
Terdapat 2 jenis vaksin pneumokokus yang beredar di Indonesia, yaitu vaksin
pneumokokus polisakarida berisi polisakarida murni, 23 serotipe disebut
pneumococus polysaccharide vaccine (PPV23). Vaksin pneumokokus generasi
kedua berisi vaksin polisakarida konjungasi, 7 serotipe disebut pneumococcal
conjungate vaccine (PCV7).
Vaksin PCV7 dikemas dalam prefilled syringe 5 ml dieberikan intramuskular.
Dosis pertama tidak berikan sebelum umur 6 minggu
Untuk bayi BBLR (<1500 gram) vaksin diberikan setelah umur kronologik 6-
8 minggu, tanpa memperhatikan umur atau apabila berat badan telah
mencapai.>2000 gram
Dapat diberikan bersama vaksin lain. Untuk setiap vaksin pada sisi badan
yang berbeda.
3. Imunisasi MMR
Memberikan kekebalan terhadap serangan penyakit Mumps
(gondongan/parotitis), Measles (campak), dan Rubella (campak Jerman).
Terutama buat anak perempuan, vaksinasi MMR sangat penting untuk
mengantisipasi terjadinya rubela pada saat hamil. Sementara pada anak lelaki,
nantinya vaksin MMR mencegah agar tak terserang rubella dan menulari sang
istri yang mungkin sedang hamil. Penting diketahui, rubela dapat
menyebabkan kecacatan pada janin.
Toksin MMR diberikan pada umur 15 -18 bulan minimal interval 6 bulan
antara imunisasi campak (9 bulan) dan MMR. Dosis satu kali 0,5 ml secara
sub kutan. MMR diberikan minimal satu bulan sebelum atau setelah
penyuntikan imunisasi lain. Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi
MMR pada umur 12 -18 bulan dan 6 tahun, imunisasi campak tambahan pada
26
umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan. Ulangan imunisasi MMR diberikan
pada umur 6 tahun.
4. Imunisasi Influenza
Influenza merupakan penyakit infeksi saluran napas yang disebabkan virus.
Penyakit ini dapat menular dengan mudah karena virusnya bisa menyebar
lewat udara yang bila terhirup dan masuk ke saluran pernapasan kita langsung
tertular. Sebenarnya, influenza tergolong ringan karena sifatnya yang self-
limiting disease alias bisa sembuh sendiri tanpa diobati. Penderita hanya perlu
beristirahat, banyak minum air putih, dan meningkatkan daya tahan tubuh
dengan konsumsi makanan bergizi seimbang.
Jadwal
Vaksin influenza diberikan pada anak umur 6 sampai 23 bulan, baik anak
sehat maupun dengan risiko (asma, penyakit jantung, penyakit sel sickle, HIV,
dan Diabetes).
Dosis tergantung umur anak,
o Umur 6-35 bulan 0,25 ml.
o Umur 3 tahun 0,5 ml
o Umur 8 tahun: untuk pemberian pertama kali diperlukan 2 dosis
dengan interval minimal 4 -6 minggu, pada tahun beriktunya hanya
diberikan satu dosis
Vaksin influenza diberikan secara intramuskular pada paha antero lateral atau
deatoid
5. Imunisasi Tifoid
Ada 2 jenis vaksin tifoid yang bisa diberikan ke anak, yakni vaksin oral
(Vivotif) dan vaksin suntikan (TyphimVi). Keduanya efektif mencekal demam
tifoid alias penyakit tifus, yaitu infeksi akut yang disebabkan bakteri
Salmonella typhi. Bakteri ini hidup di sanitasi yang buruk seperti lingkungan
kumuh, dan makanan-minuman yang tidak higienis. Dia masuk melalui mulut,
lalu menyerang tubuh, terutama saluran cerna. Gejala khas terinfeksi bakteri
tifus adalah suhu tubuh yang berangsur-angsur meningkat setiap hari, bisa
sampai 400c. Basanya di pagi hari demam akan menurun tapi lalu meningkat
di waktu sore/malam. Gejala lainnya adalah mencret, mual berat, muntah,
27
lidah kotor, lemas, pusing, dan sakit perut, terkesan acuh tak acuh bahkan
bengong, dan tidur pasif (tak banyak gerak). Pada tingkat ringan atau disebut
paratifus (gejala tifus), cukup dirawat di rumah. Anak harus banyak istirahat,
banyak minum, mengonsumsi makanan bergizi, dan minum antibiotik yang
diresepkan dokter. Tapi kalau berat, harus dirawat di rumah sakit. Penyakit ini,
baik ringan maupun berat, harus diobati hingga tuntas untuk mencegah
kekambuhan. Selain juga untuk menghindari terjadi komplikasi karena dapat
berakibat fatal.
Jenis vaksin
o Vaksin kapsuler Vi polisakarida
Diberikan pada umur lebih dua tahun, ulangan dilakukan setiap
3 tahun.
Kemasan dalam prefilled syringe 0,5 ml pemberian secara
intramuskular.
o Tifoid oral Ty21a
Diberikan pada umur lebih dari 6 tahun.
Dikemas dalam kapsul, diberikan 3 dosis dengan interval
selang sehari (hari 1,3,5).
Imunisasi ulangan diberikan setiap 3-5 tahun.
6. Imunisasi Hepatitis A
Penyebaran virus hepatitis A (VHA) sangat mudah. Penderita akan
mengeluarkan virus ini saat meludah, bersin, atau batuk. Bila virus ini
menempel di makanan, minuman, atau peralatan makan, kemudian dimakan
atau digunakan oleh anak lain maka dia akan tertular. Namun, untuk
memastikan apakah anak mengidap VHA atau tidak, harus dilakukan tes
darah.
Vaksin Hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun. Vaksin kombinasi
HepB atau HepA diberikan pada bayi kurang dari 12 bulan. Maka vaksin
kombinasi di indikasikan pada anak umur lebih dari 12 bulan terutama catch-
up immunization yaitu mengejar imunisasi pada anak yang belum pernah
28
mendapatkan imunisasi Hep B sebelumnya atau imunisasi Hep B yang tidak
lengkap.
Kemasan liquid satu dosis/vial prefilled syringe 0,5 ml. Dosis pediatrik 720
ELISA units diberikan 2 kali dengan interval 6-12 bulan, intramuskular di
daerah deltoid. Kombinasi HepB/HepA (berisi Hep B 10g dan Hep A 720
ELISA units) dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml intramuskular. Dosis
HDosis Hep A untuk dewasa (19 tahun) 1440 ELISA units dosis 1 ml, 2
dosis, interval 6-12 bulan.
7. Imunisasi Varisela
Memberikan kekebalan terhadap cacar air atau chicken pox, penyakit yang
disebabkan virus varicella zooster. Termasuk penyakit akut dan menular, yang
ditandai dengan vesikel (lesi/bintik berisi air) pada kulit maupun selaput
lendir. Penularannya sangat mudah karena virusnya bisa menyebar lewat
udara yang keluar saat penderita meludah, bersin, atau batuk. Namun yang
paling potensial menularkan adalah kontak langsung dengan vesikel, yaitu
ketika mulai muncul bintik dengan cairan yang jernih. Setelah bintik-bintik itu
berubah jadi hitam, maka tidak menular lagi.
Imunisasi varisela diberikan pada anak umur lebih dari 5 tahun. Untuk anak
yang mengalami kontak dengan pasien varisela, imunisasi dapat mencegah
apabila diberikan dalam kurun 72 jam setelah kontak. Dosis 0,5 ml subkutan
satu kali. Untuk umur lebih dari 13 tahun atau dewasa, diberikan 2 kali
dengan jarak 4-8 minggu.
f. Jadwal Imunisasi Tidak Teratur
Pada keadaan tertentu imunisasi tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal
yang sudah disepakati. Keadaan ini tidak merupakan hambatan untuk melanjutkan
imunisasi. Vaksin yang sudah diterima oleh anak tidak menjadi hilang manfaatnya
tetapi tetap sudah menghasilkan respon imunologis sebagaimana yang diharapkan
tetapi belum mencapai hasil yang optimal.
Rekomendasi jadwal untuk vaksinasi yang tidak tertaur
Vaksin Rekomendasi bila vaksinasi terlambat
BCG Umur <12 bulan , boleh diberikan kapan saja
29
Umur > 12 bulan imunisasi kapan saja namun sebaiknya
dilakukan terlebih dahulu uji tuberkulin apabila negatif
berikan BCG dengan dosis 0,1ml intrakutan
DPwT atau Bila dimulai dengan DPwT boleh dilanjutkan dengan DpaT
Berikan dT pada anak 7 tahun jangan DPwT atau DpaT
DPaT
walaupun vaksin tersedia
Bila terlambat jangan mengulang pemberian dari awal tetapi
lanjutkan dan lengkapi imunisasi seperti jadwal tidak peduli
berapapun jarak waktu/ interval keterlambatan dari pemberian
sebelumnya
Bila belum pernah imunisasi dasar pada usia < 12 bulan
imunisasi diberikan sesuai imunisasi dasar baik jumlah
maupun intervalnya
Bila pemberian ke 4 sebelum ulang tahun ke 4 maka
pemberian ke 5 secepatnya 6 bulan sesudahnya.
Bila pemberian ke 4 setelah umur 4 tahun maka pemberian ke
5 tidak perlu lagi
30
berapapun jarak waktu/interval dari pemberian sebelumnya.
Anak dan remaja yang pernah imunisasi hepatitis b pada masa
bayi,bisa mendapat serial imunisasi hepatitis b kapan saja saat
berkunjung.
Hib Umur saat ini Riwayat Rekomendasi imunisasi
(bulan)
vaksinasi
(dosis)
6-11 1x umur 6-11 bulan;
1
ulang 1x setelah 2 bulan
atau umur 12-15 bulan.
12-14
1
Sebelum umur 12 bulan
berikan 2 dosis, interval 2
15-59 bulan
Berikan 1
dosis Jadwal tidak lengkap
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa imunisasi merupakan cara
preventif yang efektif untuk mengurangi angka mortalitas dan morbiditas pada anak
dan balita. Peningkatan angka kecukupan imunisasi akan meningkatkan angka
harapan hidup. Imunisasi bertujuan untuk merangsang sistem imunologi tubuh untuk
membentuk antibodi spesifik sehingga dapat melindungi tubuh dari serangan
penyakit. Walaupun cakupan imunisasi tidak sama dengan 100% tetapi sudah
31
mencapai 70% maka anak anak yang tidak mendapatkan imunisasi pun akan
terlindungi oleh adanya suatu herd immunity.
32
DAFTAR PUSTAKA
33