Anda di halaman 1dari 18

TRAUMA CAPITIS-GADAR

TRAUMA KAPITIS

EPIDEMIOLOGI
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa cedera kepala terjadi dan datang ke ruang gawat
darurat antara jam 16 sampai dengan tengah malam.Kemudian frekuensi paling tinggi terdapat
antara hari Jumat dan Minggu.Prevalensi kejadian pada pria adalah 2-4 kali lebih tinggi daripada
wanita. Terutama pada pria muda dan pada usia tua. Hal ini terutama dikarenakan kekerasan dan
kecelakaan lalu lintas.
Secara umum kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama trauma kepala dengan
prosentase diatas 50%.
Data dari Health Interview Survey menunjukkan bahwa sekitar seperlima trauma kepada
masuk kategori moderate sampai parah. Hanya 15% dari total trauma kepala di populasi yang
dirawat di Rumah Sakit, dan hanya 9,6% dari yang masuk rumah sakit mempunyai GCS antara 3-
11.
Angka kematian trauma kepala di Amerika Serikat berkisar antara 14-30 per 100.000
penduduk. Angka kematian dari pasien yang masuk rumah sakit berkisar sangat lebar antara 4
25%. Lebih dari 60% kematian terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit.
DEFINISI
Trauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung
mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis.
Trauma capitis adalah bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak dalam
menghasilkan keseimbangan aktivitas fisik, intelektual, emosi, sosial atau sebagai gangguan
traumatik yang dapat menimbulkan perubahan pada fungsi otak. (Black, 1997).
Cedera kepala adalah cedera yang menimbulkan kerusakan atau perlukaan pada kulit
kepala, tulang tengkorak, dan jaringan otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan.
(Lukman, 1993).
Trauma kepala (Trauma Capitis) adalah cedera daerah kepala yang terjadi akibat
dipukul atau terbentur benda tumpul. Untuk mengatasi trauma kepala, maka tengkorak kepala
sangat berperan penting sebagai pelindung jaringan otak. Cedera pada otak bisa berasal dari
trauma langsung atau tidak langsung pada kepala. Trauma tidak langsung disebabkan karena
tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma
langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan
pembentukan rongga. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya. Kekuatan
itu bisa terjadi seketika atau rusaknya otak oleh kompresi, goresan atau tekanan (At a glance,
2006 ).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala.
(Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
Cedera kepala adalah suatu cedera yang terjadi pada daerah kepala yang dapat mengenai
kulit kepala, tulang tengkorak, atau otak. 2 Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat
kecelakaan lalu lintas, disusul dengan jatuh (terutama pada anak-anak). 1 Meskipun pada
kenyataannya sebagian besar kasus trauma kepala bersifat ringan dan tidak memerlukan
perawatan khusus, tetapi pada kasus trauma kepala yang berat tidak jarang berakhir dengan
kematian atau kecacatan.
ETIOLOGI
Cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar (Arif Musttaqin, 2008) berupa:

a. Benturan/jatuh karena kecelakaan

b. Kompresi/penetrasi baik oleh benda tajam, benda tumpul, peluru dan ledakan panas.

Akibat cedera ini berupa memar, luka jaringan lunak, cedera muskuloskeletal dan kerusakan
organ.

KLASIFIKASI TRAUMA KAPITIS


Klasifikasi Cedera Kepala (Arif Muttaqin, 2008):
a) Cedera kepala primer
Cedera kepala primer mencakup : fraktur tulang, cedera fokal dan cedera otak difusa, yang
masing-masing mempunyai mekanisme etiologis dan patofisiologi yang unik.
Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak, namun biasanya ini bukan
merupakan penyebab utama timbulnya kacacatan neurologis.
Cedera fokal merupakan akibat kerusakan setempat yang biasanya dijumpai pada kira-kira
separuh dari kasus cedera kepala berat. Kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom
subdural, epidural dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata telanjang
sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas.
Cedera otak dufusa pada dasarnya berbeda dengan cedera vokal, dimana keadaan ini berkaitan
dengan disfungsi otak yang luas serta biasanya tidak tampak secara mikroskopis. Mengingat
bahwa kerusakan yang terjadi kebanyakan melibatkan akson-akson, maka cedera ini juga dikenal
dengan cedera aksional difusa.
b) Kerusakan otak sekunder
Cedera kepala berat seringkali menampilkan gejala abnormalitas/gangguan sistemik akibat
hipoksia dan hipotensi, dimana keadaan-keadaan ini merupakan penyebab yang sering dari
kerusakan otak sekunder. Hipoksia dan hipotensi semata akan menyebabkan perubahan-
perubahan minimal, yang kemudian bersamaan dengan efek cedera mekanis memperberat
gangguan-gangguan metabolisme serebral.
Hipoksia dapat merupakan akibat dari kejadian aspirasi, obstruksi jalan nafas atau cedera toraks
yang terjadi bersamaan dengan trauma kepala, namun sering juga terjadi hipoksia pasca cedera
kepala dengan ventilasi normal dan tanpa adanya keadaan-keadaan tersebut di atas.
Hipotensi pada penderita cedera kepala biasanya hanya sementara yaitu sesaat setelah konkusi
atau merupakan tahap akhir dari kegagalan meduler yang berkaitan dengan herniasi cerebral.
c) Edema cerebral
Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepala adalah edema vasogenik dan edema iskemik.
Edema vasogenik disebabkan oleh adanya peningkatan permeabilitas kapiler akibat sawar darah
otak sehingga terjadi penimbunan cairan plasma ekstraseluler terutama di massa putih serebral.
Edema iskemik merupakan penimbunan cairan intraseluler sehingga sel tersebut tidak dapat
mempertahankan keseimbangan cairannya.
Edema cerebral yang mencapai maksimal pada hari ke tiga pasca cedera, dapat menimbulkan
suatu efek massa yang bermakna. Di samping itu edema ini sendiri dapat juga terjadi, tanpa
adanya tampilan suatu konstusi atau pendarahan intraserebral. Keadaan ini dapat terjadi akibat
gangguan sekunder dari hipotensi sistemik dan hipoksia, cedera arterial atau hipertensi
intracranial. Gangguan aliran darah cerebral trauma yang mengakibatkan anoksia jaringan juga
tampil sebagai daerah swelling hipodens difus.
d) Pergeseran otak(Brain Shift)-herniasi batang otak
Adanya satu massa yang berkembang membesar (hemotom, abses atau pembengkakan otak) di
semua lokasi dalam kavitas intracranial (epidural/ubdural/intracerebral supra/infratentorial)
biasanya akan menyebab pergeseran dan distori otak, bersamaan dengan peningkatan intracranial
akan mengarah terjadinya herniasi otak.

Jenis-jenis trauma capitis


Menurut Brunner dan suddarth, 2002 jenis-jenis trauma capitis yaitu :
a. Fraktur
Fraktur kalvaria atau atap tengkorak apabila tidak terbuka tidak ada hubungan dengan dunia luar
tidak memerlukan perhatian segera yang lebih penting adalah intracranialnya. Fraktur basis
cranium dapat berbahaya terutama karena perdarahan yang ditimbulkan sehingga menimbulkan
ancaman pada jalan nafas.
b. Comosio cerebri (gegar otak)
Komosio serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan oleh trauma kapitis
tanpa menunjukkan kelainan mikroskopis jaringan otak. Patologi dan Simptomatologi
Benturan pada kepala menimbulkan gelombang tekanan di dalam rongga tengkorak yang
kemudian disalurkan ke arah lobang foramen magnum ke arah bawah canalis spinalis dengan
demikian batang otak teregang dan menyebabkan lesi iritatif/blokade sistem reversible
terhadap sistem ARAS. Pada komosio serebri secara fungsional batang otak lebih menderita
daripada fungsi hemisfer. Keadaan ini bisa juga terjadi oleh karena tauma tidak langsung
yaitu jatuh terduduk sehingga energi linier pada kolumna vertebralis diteruskan ke atas
sehingga juga meregangkan batang otak. Akibat daripada proses patologi di atas maka terjadi
gangguan kesadaran (tidak sadar kurang dari 20 menit) bisa diikuti sedikit penurunan tekanan
darah, pols dan suhu tubuh. Muntah dapat juga terjadi bila pusat muntah dan keseimbangan di
medula oblongata terangsang. Gejala :
pening/nyeri kepala
tidak sadar/pingsan kurang dari 20 menit
amnesia retrograde : hilangnya ingatan pada peristiwa beberapa lama sebelum kejadian
kecelakaan (beberapa jam sampai beberapa hari). Hal ini menunjukkan keterlibatan/gangguan
pusat-pusat di korteks lobus temporalis.
Post trumatic amnesia : (anterograde amnesia) lupa peristiwa beberapa saat sesudah trauma.
Derajat keparahan trauma yang dialaminya mempunyai korelasi dengan lamanya waktu
daripada retrograde amnesia, post traumatic amnesia dan masa-masa confusionnya. Amnesia
ringan disebabkan oleh lesi di hipokampus, akan tetapi jika amnesianya berat dan menetap
maka lesi bisa meluas dari sirkuit hipokampus ke garis tengah diensefalon dan kemudian ke
korteks singulate untuk bergabung dengan lesi diamigdale atau proyeksinya ke arah garis
tengah talamus dan dari situ ke korteks orbitofrontal. Amnesi retrograde dan anterograde
terjadi secara bersamaan pada sebagian besar pasien (pada kontusio serebri 76 % dan
komosio serebri 51 %). Amnesia retrograde lebih sering terjadi daripada amnesia retrograde.
Amnesia retrograde lebih cepat pulih dibandingkan dengan amnesia anterograde. Gejala
tambahan : bradikardi dan tekanan darah naik sebentar, muntah-muntah, mual, vertigo.
(vertigo dirasakan berat bila disertai komosio labirin). Bila terjadi keterlibatan komosio
medullae akan terasa ada transient parestesia ke empat ekstremitas. Gejal-gejala penyerta
lainnya (sindrom post trauma kapitis), adalah nyeri kepala, nausea, dizziness, sensitif
terhadap cahaya dan suara, iritability, kesukaran konsentrasi pikiran, dan gangguan memori.
Sesudah beberapa hari atau beberapa minggu ; bisa di dapat gangguan fungsi kognitif
(konsentrasi, memori), lamban, sering capek-capek, depresi, iritability. Jika benturan
mengenai daerah temporal nampak gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol.
c. Kontusio cerebri
Kehilangan kesadaran lebih lama, dalam kepustakaan saat ini dikenal sebagai DAI (Difus
Absonal Injury) yang mempunyai prognosis yang lebih buruk.
d. Perdarahan intracranial
Perdarahan intracranial dapat berupa perdarahan epidural, perdarahan subdural atau perdarahan
intracranial. Perdarahan epidural dapat berbahaya karena perdarahan berlanjut atau menyebabkan
peninggian tekanan intracranial yang semakin berat.

Klasifikasi klinis cedera kepala


Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.
1. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas:
Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau pukulan benda
tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang cepat menyebabkan otak
bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak.
Cedera tembus, biasanya disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
2. Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi;
Fraktur tengkorak; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak. Fraktur dapat
berupa garis/linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan membentuk fragmen-
fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup yang secara normal
tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan perlakuan untuk
memperbaiki tulang tengkorak.
Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural, kontusio,
dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan.
Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala digunakan Glasgow
Coma Scale (GCS). Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6), respon verbal (1-5)
dan buka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15.
3. Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkam menjadi:
a. Cedera kepala berat: nilai GCS <8
b. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13, lama kejadian kurang dari 8 jam. Kesadaran
menurun namun masih dapat mengikuti perintah-perintah yang sederhana, dan dijumpai adanya
defisit neurologis vocal
c. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15, Bila dijumpai adanya riwayat
kehilangan kesadaran/pingsan yang sesaat setelah mengalami trauma, kemudian sadar kembali.
Pada waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi baik dan tidak ada defisit neurologist.
GEJALA KLINIS
Tanda dan gejala cedera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama (Hoffman, dkk,
1996):
1) Tanda dan gejala fisik/somatik: nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus
2) Tanda dan gejala kognitif: gangguan memori, gangguan perhatian dan berfikir kompleks
3) Tanda dan gejala emosional/kepribadian: kecemasan, iritabilitas
Gambaran klinis secara umum pada trauma kapitis :
Pada kontusio segera terjadi kehilangan kesadaran
Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal
Respon pupil mungkn lenyap.
Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap seiring dengan peningkatan TIK
Dapat timbul mual-muntah akibat peningkatan tekanan intracranial
Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul
segera atau secara lambat.
PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi
yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak
punya cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar
metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma
turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral.
Faktor kardiovaskuler
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal miokardial,
perubahan tekanan vaskuler dan edema paru.
Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel.
Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya
tubuh berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan
tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.
Faktor Respiratori
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru atau hipertensi paru
menyebabkan hiperapnoe dan bronkokonstriksi
Konsentrasi oksigen dan karbon dioksida mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah, aliran
darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2, akan terjadi alkalosis yang
menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF (cerebral blood fluid).
Edema otak ini menyebabkan kematian otak (iskemik) dan tingginya tekanan intra kranial (TIK)
yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau medulla oblongata.
Faktor metabolisme
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma tubuh lainnya yaitu
kecenderungan retensi natrium dan air dan hilangnya sejumlah nitrogen
Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang
menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron.
Faktor gastrointestinal
Trauma kepala juga mempengaruhi sistem gastrointestinal. Setelah trauma kepala (3 hari)
terdapat respon tubuh dengan merangsang aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini akan
merangsang lambung menjadi hiperasiditas.
Faktor psikologis
Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien, trauma kepala pada pasien adalah suatu
pengalaman yang menakutkan. Gejala sisa yang timbul pascatrauma akan mempengaruhi psikis
pasien. Demikian pula pada trauma berat yang menyebabkan penurunan kesadaran dan
penurunan fungsi neurologis akan mempengaruhi psikososial pasien dan keluarga.
Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan yaitu:
a) Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak,
b) Kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan,
c) Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain dibentur oleh benda
yang bergerak (kepala tergencet).
Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala diterangkan oleh beberapa
hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak, pergeseran otak dan rotasi otak. Dalam
mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup. Contre coup dan coup
pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang yang mengalami percepatan
pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada
sisi yang terkena sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah
benturan.
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera
kepala skunder.
Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian
cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi
permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel
yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal.
Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan
fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala skunder
dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran penderita.
Penyebab cedera kepala skunder antara lain penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia,
hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intracranial (tekanan intrakranial
meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi).
Aspek patologis dari cedera kepala antara lain, hematoma epidural (perdarahan yang terjadi
antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan subdural (perdarahan yang terjadi antara
dura mater dan arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan antara dura mater dan
arakhnoidea), perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan yang terjadi di dalam ruangan
antara arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma serebri (massa darah yang mendesak
jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah arteri), edema otak (tertimbunnya cairan secara
berlebihan didalam jaringan otak), kongesti otak (pembengkakan otak yang tampak terutama
berupa sulsi dan ventrikel yang menyempit), cedera otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia
dan hematoma serenri setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK:
1. CTScan, mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel pergeseran cairan
otak
2. MRI, sama dengan CT Scan dengan atau tanpa kontraks
3. Angiografi Serebral, menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan dan trauma
4. EEG, memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang
5. Sinar X, mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan garis
tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang)
6. BAER (Brain Eauditory Evoked), menentukan fungsi dari kortek dan batang otak
7. PET (Pesikon Emission Tomografi), menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak
8. Pungsi Lumbal CSS, dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid
9. Kimia/elektrolit darah, mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam peningkatan
TIK
10. GDA (Gas Darah Arteri), mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat
meningkatkan TIK
11. Pemeriksaan toksitologi, mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan
kesadaran
12. Kadar antikonvulsan darah, dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif
untuk mengatasi kejang
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan
umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala, Adveanced Cedera Life Support (2004)
telah menepatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang
dan berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam
penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain : A (airway), B (breathing),
C (circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental control) yang kemudian
dilanjutkan dengan resusitasi.
Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis otak.
Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus diperhatikan. Jika penderita
dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan
napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing,
muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan
jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh
melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat
melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui
hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau
suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa
orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke
mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah
yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas
belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan
intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan
denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya
perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut
nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif
normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya
dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut
nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri
radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang
dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba
pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna,
segera hentikan dengan penekanan pada luka.
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang
dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian
cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera
otak dibandingkan keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang
baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena
dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan keluaran penderita.
Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan
keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos
buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (dolls eye
phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler)
dan refleks kornea.
Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit.
Indikasi perawatan di rumah sakit antara lain;
fasilitas CT scan tidak ada,
hasil CT scan abnormal,
semua cedera tembus,
riwayat hilangnya kesadaran,
kesadaran menurun,
sakit kepala sedang-berat,
intoksikasi alkohol/obat-obatan,
kebocoran liquor (rhinorea-otorea),
cedera penyerta yang bermakna,
GCS < 15.
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana yang
optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian
cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan
antikonvulsan.
Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom intrakranial >30 ml, midline
shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm.

Penatalaksanaan Khusus
a. Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah
tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria berikut:
Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal
Foto servikal jelas normal
Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan
instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan
Kriteria perawatan di rumah sakit:
Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
Intoksikasi obat atau alcohol
Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.
b. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan skala korna
Glasgow 15 dan CT Scan normal, tidak pertu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk
observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko
timbuInya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah
minimal.
c. Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada
pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial
yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi.
Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif.
Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi
Pertahankan posisi kepala sejajar atau gunakan tekhnik chin lift atau jaw trust.
Monitor tekanan darah
Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila
memungkinkan.
Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat) yang
diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau
dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan
keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan
asetaminofen atau kompres dingin.
Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari intravena. Jika
pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7- 10 hari. Steroid: steroid tidak
terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan risiko
infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, Steroid hanya dipakai sebagai pengobatan
terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena sebap 4-6 jam selama 48-72
jam).
Profilaksis trombosis vena dalam
Profilaksis ulkus peptic
Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi risiko meningitis
pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi
dapat meningkatkan risiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
CT Scan lanjutan
Komplikasi Cedera Kepala Berat
Kebocoran cairan serebrospinal
Fistel karotis-kavemosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis, dan bruit orbita, dapat
timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
Diabetes insipidus oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis.

Kejang pasca trauma

http://ryosthalopheforever.blogspot.com/2013/10/trauma-capitis-gadar.html

Trauma pada struktur anatomi maxillofacial sangat membutuhkan perahatian khusus. Hal ini dikarenakan muka
mendukung beberapa fungsi tubuh yang vital,seperti melihat, mendengar, membau, bernafas,
makan,berbicara.Regio maxillofacial dibagi menjadi 3 bagian :

Upper face : fraktur (patah tulang) mencngkup os frontal dan sinus frontal

Midface : midface dibagi menjadi 2 bagian

Upper part, terdiriatas os nasal, os zygomaticus, os ethmoid,bagian os axilla yang tidak


ada gigi nya. Pada bagian ini terjadi fraktur os maxilla tipe Le Fort II dan Le Fort II, yang mencangkup
fraktur pada os nasal, komplek nasoethmoidal atau kompleks Zygomaticomaxillari dan dinding orbital

Lower midface : trdiri dari alveolus maxilla, gigi, dan terjadi frkatur maxilla tipe Le Fort I

Lower face : Terdiri dari mandibula

Frekuensi
Lebih dari 3 juta orang di amerika mengalami trauma / cidera seperti ini.

Etiologi

Facial trauma pada daerah urban disebabkan oleh perkelahian, kecelakaan kendaraan bermotor, dan
kecelakaan industry. Penyebab lain yan penting meliputi, trauma penetrasi (luka pisau atau luka tembak),
domestic violence, dan kekerasan pada anak dan orang tua
Os nasal, mandibula, dan zygoma, merupakan tulang yang paling sering mengalami frakturselama perkelahian.

Patofisiologi
Gaya yang menyebabkan cidera dapat dibedakan jadi 2, yaitu high impact atau low impact. Keduanya dibedakan
apakah lebih besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Setiap region pada wajah membutuhkan gaya
tertentu hingga menyebabkan kerusakan dan masing masing region berbeda beda. Margo Supraorbital,
maxilla, dan mandibula (bagian syimphisis dan angulus) dan frontal membutuhkan gaya yang high impact agar
bias mengalami kerusakan. Sedangkan os zygoma dan os nasal dapat mngalami kerusakan hanya dengan
terkena gaya yang low impact.

Berikut ini masing masing penyebab fraktur pada maxilla facial trauma :

Fraktur os frontal : Disebabkan oleh pukulan yang keras pada bagian dahi. Mencangkup Tabula
anterior dan tabula posterior sinus frontalis. Apabila tabula posterior mengalami fraktur, diperkirakan akan
menyebabka luka pada dura mater (meninges). Selain itu sering juga terjadi kerusakan duktus naso frontal

Fraktur dinding bawah / lantai orbita : cidera pada lantai orbita dapat terjadi sebagai fraktur yang
sendiri, namun dapat juga menyebabkan fraktur dinding medial. Adanya fraktur tersebut menyebabkan
adanya peningkatan tekanan pada intraorbita yang dapat merusak aspek terlemah dari dinding orbit, yaitu
dinding medial dan lantai. AKibatnya herniasi dari struktur yang terdapat didalam orbita ke dalam sinus
maxillary dapat terjadi dan insidensi yang tinggi pada cidera mata, namun bulbus oculi jarang sapai rupture.

Fraktur nasal : disebabkan oleh gaya yang ditransmisikan oleh trauma langsung
Fraktur nasoethmoidal : perluasan dari tulang nasal hingg tulang etmoid dan dapat mnyebabka
kerusakan canthus medial mata, apparatus lacrimal ata ductus nasofronta lis. Dapat juga menyebabkan
laserasi pada lamina cribrosa os frontal

Fraktur arcus zygomaticus : disebabkan karena pukulan langsung pada arcus zygomaticus dapat
mnyebabkan fraktur pada sutura zygomaticotemporal

Fraktur kompleks zygomaticomaxilla : fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung. Garis fraktur
meluas melalui sutura zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, zygomaticomaxlla dan artikulasi dengan ala
magna os sphenoid. Garis fraktur biasanya meluas hingga foramen intraorbita dan lantai orbita. Cidera ocular
yang bersamaan juga sering terjadi.

Fraktur maxilla : Diklasifikasikan menjadi Le Fort I, II atau III


Fraktur Le Fort I merupakan fraktur maxilla horizontal yang menyilangi aspek inferior
maxilla dan memisahkan procesus alveolar yang mengandung gigi maxilla dan palatum durum dari
bagian lain maxilla. Fraktur meluas melalui 1/3 bawah septum dan mecangkup sinus maxilla medial dan
lateral meluas ke os alatum dal pterigoid

Fraktur Le Fort II merupakan fraktur pyramidal yang dimulai dari os nasal dan meluas
melalui os etmoid dan os lacrimal, turun kebawah melalui sutura zygomaticofacial, berlanjut ke posterior
dan lateral melalui maxilla, dibawah zygomaticus dan kedalam pterigoid

Fraktur Le Fort III atau disebut juga craniofacial dysjunction merupakan terpisahnya
semua tulang muka dari basis crania dengan fraktus simultan zygoma, maxilla, dan os nasal. Garis
fraktur meluas ke posterolateral melaui os etmoid, orbits, dan sutura pterygomaxilla samapi kedalam
fossa sphenopalatina.

Fraktur Mandibula : Dapat terjadi pada banyak lokasi disebabkan bentuknya yang seperti huruf U
dan lemahnya condylar neck. Fraktur dapat terjadi bilateral pada tepat yang terpisah dari tempat mengalami
trauma langsung.
Fraktur Alveolar : dapat terjadi akibat gaya Low impact atau dapat disebabkan dari perluasan garis
fraktur melalui porsio alveolar dari maxilla dan mandibula

Fraktur panfacial : biasanya disebabkan akibat mekanisme yang high impact yang menyebabkan
cedera pada wajah bagian atas, mid face, dan lower face. Farktur ini dapat teriri dari 3 dari 4 unit facial.
Presentasi klinis
Fraktur os frontal

Presentasi : gangguan atau adanya krepitasi pada margo supraorbita, emphsema subcutan dan parestesia
nervus supraorbita dan nervus supratrochlear. Pada pasien yang sadar, nyeri wajah merupakan gejala yang
lazim. Laserasi, kontusio atau heatoma pada dahi merupakan tanda cidera sinus frontal. Depresi yang tampak
pada dahi merupakan tanda yang penting, namun dapat dengan mudah tidak teramati pda presentasi akut
karena berkaitandengan edema jaringan luna. CSF (Cerebrospinal fluid) rhinorrhea. Halo sign atau B2
transferring untuk konfimasi kebocoran

Fraktur lantai orbita

Presentasi : edemaperiorbita, crepitasi, ecch mosis, enophtalmos dan cidera ocular. Nervus infraorbita sering
juga mengalami kerusaka kerusakan nervus infraorbita dapat mnyebabkan paresthesia atau anesthesia pada sisi
lateral hidung, bibir bagian atas dan g inggiva maxilla pada sisi yang terkena. Adanya disfungsi pergerakan bola
mata ke atas dank e arah lateral akibat terjebaknya musculus rectus inferior. Apabila entrapment nervus terjadi,
intervensi surgical emergency harus segera dilakuakan, untuk mencegah atrofi m.rectus inferior.

Fraktur nasal

Presentasi : hidung mengalami edema dan nyeri tekan, terdapat displacement, crepitasi dan epitaxis. Inspeksi
septum untuk ekslusi septal hematomayang terjadi pada anak.

Fraktur Nasoethmoidal
Presentasi : Telecathus (peningkatan jarak antara canthus medial kedua mata), epitaxis, cerebrospinal fluid
rhinorrhea, dan epiphora yang disebabkan oleh terhalangnya ductus naso lacrimal

Fraktur arcus zygomaticum


Presentasi : nyeri saat palpasi dan keterbatasan gerak mandibula disebabkan interferensi pergerakan processus
coronoideus mandibula pada pemeriksaan fisik

Fraktur kompleks zygomaticomaxilla

Presentasi : depersi malar, pendataran tulang pipi, nyeri tekan penonjolan zygoma. Flame sign : jerusakan dan
depresi tendon canthal lateral, pendarahan sub conjunctival, paresthesi pada sisi lateral hidung dan bibir bagian
atas, diplopia akibat m. rectus inferior, intraoral ecchimosis

Faktur maxilla

Presentasi :

Le Fort I : edema facial dan mobilitas padi palatum durum dan alveolus maxilla dan gigi

Le Fort II : Edem Facial, Tele canthus, pendarahan subconjunctival, mobilitas maxilla, pada sutura
nasofrontal,epitaxis, dan kemungkinan rhinorrea CSF

Le Fort III : Edema massive, dengan wajah tampak membulat, memanjang da mendatar, Epitaxis, rhinorrea CSF,
dan pergerakan tulang wajah akibat manipulasi gigi, dan palatum durum

Fraktur Alveolus

Presentasi : pendarahan gingival, mobilitas alveolus, dan longgarnya gigi

Fraktur Mandibula

Presentasi : Fraktur Condilus (tampak nyeri saat palpasi anterior Meatus acusticus externa), COnylus yang
fraktur gak akan bergerak ketika mandibula membuka atau menutup. Fitur yang lazim: nyeri saat menggerakan
rahang, malocculusi gigi, dan ketidak mampuan membuka mulut, mobilitas dan crepitasi pada symphisis,angulus
atau corpus. Intraoral edema, ecchymosis, pendarahan gusi. Kerusakan nervus alveolar,mencangkup rus mental
dapat menyebabkan paresthesia atau anesthesia setengah dar bibir bagian bawah, gigi dan gusi.

Referensi :
http://emedicine.medscape.com/article/434875-overview#a1

google

Anda mungkin juga menyukai