Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Fungsi utama sistem pencernaan adalah untuk memindahkan zat gizi
atau nutrien, air, dan elektrolit dari makan yang dimakan ke dalam lingkungan
internal tubuh guna sebagai sumber energi, perbaikan, pembaruan, dan
penambahan jaringan tubuh. Adapun terdapat proses pencernaan dasar, yaitu:
motilitas, sekresi, pencernaan, dan penyerapan.
Motilitas mengacu pada kontraksi otot yang mempunyai kemampuan
untuk mencampur, dan mendorong isi saluran pencernaan. Sedangkan selama
proses pendorongan dari satu organ ke organ pencernaan lain, sejumlah getah
pencernaan akan disekresikan ke dalam lumen saluran pencernaan oleh
kelenjar-kelenjar eksokrin yang terdiri dari air, elektrolit, dan konstituen
organik spesifik yang penting dalam proses pencernaan, seperti enzim, garam
empedu, atau mukus. Di samping itu, pencernaan sendiri mengacu pada proses
penguraian makanan dari yang strukturnya kompleks (makromolekul)diubah
menjadi satuan-satuan lebih kecil (mikromolekul) yang dapat diserap oleh
tubuh. Melalui proses penyerapan (absorpsi), satuan-satuan kecil yang dapat
diserap tersebut bersama dengan air, vitamin, dan elektrolit akan dipindahkan
dari lumen saluran pencernaan ke dalam darah atau limfe guna menjaga
keseimbangan gizi tubuh.
Begitu pentingnya manfaat dari sistem pencernaan, gangguan pada
saluran pencernaan tentu saja membutuhkan perhatian lebih secara medis.
Kasus diare merupakan manifestasi klinis gangguan sistem pencernaan yang
paling sering ditemui. Selain itu, penyakit-penyakit seperti gastritis dan ulkus
peptikum juga tidak kalah menarik untuk dibahas selain angka kejadiannya
yang semakin meningkat, juga karena banyaknya teori baru mengenai
patofisiologi kedua penyakit gangguan sistem pencernaan ini yang berkaitan

0
dengan infeksi Helicobacter pylori. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai
penyakit-penyakit ini sangat diperlukan demi menjadi dasar pengobatannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem pencernaan dilihat dari sudut pandang anatomi,
histologi, biokimia, dan fisiologi?
2. Bagaimana patogenesis diare?
3. Bagaimana hubungan antara keadaan asidosis metabolik dengan diare?
4. Bagaimana diare dapat menyebabkan dehidrasi dan syok hipovolemik?
5. Bagaimana patofisiologi gastritis dan ulkus peptikum?
6. Bagaimana cara kerja obat maag dan obat anti-muntah?
7. Bagaimana penatalaksanaan yang tepat pada kasus dehidrasi?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan laporan individu ini bertujuan untuk membahas patofisiologi
gastritis dan ulkus peptikum kaitannya dengan H. pylori, serta patogenesis
diare hingga menyebabkan dehidrasi.
D. Manfaat Penulisan
1. Mahasiswa diharapkan mampu mengenal dan memahami penegakkan
diagnosis gastritis dan ulkus peptikum sehingga terapinya dapat dilakukan
dengan baik dan sesuai dengan porsinya.
2. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui etiologi diare agar tepat dalam
pengobatannya.
E. Skenario
Seorang wanita umur 30 tahun datang ke unit gawat darurat RS Dr.
Moewardi Surakarta dengan keluhan sakit perut dan diare. Riwayat penyakit
sekarang: satu bulan sebelum masuk rumah sakit penderita sering merasakan
perut tidak enak, nyeri daerah epigastrium, nausea kadang-kadang vomitus,
terlambat makan juga sakit, nocturnal pain positif sehingga terbangun.
Penderita sering minum obat maag (lambung) dan anti muntah bila merasakan
keluhan di atas. Penderita pernah berobat ke dokter dan dikatakan menderita
sakit gastritis atau ulkus peptikum.

1
Sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit penderita mengalami diare
sehari rata-rata 10 kali, konsistensi encer, tanpa disertai lendir dan darah,
warna kuning berbau amis, juga disertai nausea dan vomitus. Vomitus terjadi
setiap kali penderita makan atau minum. Badan lemah, kalau makan terasa
pahit, sehingga penderita semakin tidak mau makan dan minum. Kencing
sedikit.
Pemeriksaan fisik: keadaan umum lemah, gizi cukup, kesadaran apatis.
Tekanan darah 80/50 mmHg, nadi 110 kali permenit, respirasi 28 kali
permenit (pernafasan kussmaul). Suhu 37,0 derajat celcius. Mata cekung, bibir
kering, abdomen: epigastric tenderness positif, turgor perut menurun. Kedua
tangan keriput. Oleh dokter, pasien tersebut diberikan terapi cairan.
F. Hipotesis
Diare yang diderita oleh pasien menyebabkan dehidrasi hingga kondisi syok
hipovolemik dan asidosis metabolik. Keluhan seperti perut tidak enak, nyeri
daerah epigastrium, nausea kadang-kadang vomitus, dan nocturnal pain positif
sehingga terbangun merupakan manifestasi klinis gastritis atau ulkus peptikum
yang dideritanya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Pencernaan
1. Dasar-dasar Absorbsi
Jumlah cairan total yang harus diabsorbsi setiap hari sebanding
dengan cairan yang dicerna (kira-kira 1,5 liter) ditambah dengan cairan
yang disekresikan oleh bermacam-macam sekresi gastrointestinal (kira-
kira 7 liter). Jadi jumlah totalnya kira-kira 8 sampai 9 liter. Semua kecuali
kira-kira 1,5 liter dari cairan ini diabsorbsi di usus halus, dan menyisakan
hanya 1,5 liter untuk melalui katup ileosekal ke dalam kolom setiap
harinya. (Guyton, 2007)
Lambung merupakan daerah saluran pencernaan yang absorbsinya
buruk karena tidak memiliki jenis vili yang khas dari membran absorbsi
dan juga karena taut antara sel-sel epitel merupakan jaringan ikat padat.
Hanya ada beberapa zat yang sangat larut dalam lemak, seperti alkohol
dan beberapa obat seperti aspirin, dapat diabsorbsi dalam jumlah kecil.
(Guyton, 2007)
Permukaan absorbsi mukosa usus, mempunyai banyak lipatan-
lipatan yang disebut valvula koniventes (atau lipatan kerckring), yang
meningkatkan daerah permukaan absorpsi mukosa menjadi tiga kali lipat.
Lipatan-lipatan ini sebagian besar meluas secara sirkular di sekitar usus
dan terutama berkembang di dalam duodenum dan jejunum, di mana
lipatan ini sering menonjol ke dalam lumen sepanjang 8 milimeter.
(Guyton, 2007)
Terletak di seluruh permukaan usus halus, kira-kira mulai dari
tempat di mana duktus koledokus mengosongkan isinya ke dalam
duodenum turun ke katup ileosekal, terdapat berjuta-juta vili kecil, yang

3
menonjol kira-kira 1 milimeter dari permukaan valvula koniventes. Vili-
vili ini terletak sangat dekat satu sama lain pada usus halus bagian atas
sehingga benar-benar melekat pada sebagian besar daerah, tetapi
distribusinya kurang merata pada usus halus bagian distal. Adanya vili
pada permukaan mukosa memperluas daerah absorpsi 10 kali lipat lagi.
(Guyton, 2007)
Akhirnya, setiap sel-sel epitel usus ditandai oleh satu brush border,
yang kira-kira terdiri atas 1000 mikrovili dengan panjang 1 mikrometer
dan berdiameter 0,1 mikrometer, menonjol ke dalam kimus usus;
Mikrovili ini meningkatkan daerah permukaan yang terpapar terhadap
material-material usus paling sedikit 20 kali lipat lagi. Jadi,gabungan
lipatan kerckring, vili dan mikrovili akan meningkatkan daerah absorpsi
mukosa 1000 kali lipat, menghasilkan daerah total yang sangat besar, 250
meter persegi atau lebih untuk seluruh usus halus_kira-kira satu daerah
lapangan tennis. (Guyton, 2007)
Vesikel pinositik kecil, yang merupakan bagian terlepas dari
membran eritrosit yang terlipat ke arah dalam, yang mengandung materi-
materi ekstraseluler yang telah terperangkap di dalam vesikel. Sebagian
kecil zat di absorpsi melalui proses fisik pinositosis ini, walaupun
jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan keseluruhan absorpsi. Juga,
terdapat berbagai filamen aktin yang meluas secara linear ke dalam
masing-masing mikrovili brush border yang berkontraksi secara intermiten
dan menyebabkan pergerakan mikrovili yang terus menerus, menjaga
mikrovili agar secara konstan terpapar dengan sejumlah cairan usus yang
baru. (Guyton, 2007)

2. Mekanisme Dasar Absorbsi


Absorpsi melalui mukosa gastrointestinal terjadi melalui :
a. Difusi, yaitu transpor zat secara sederhana melalui membran sebagai
suatu hasil pergerakan molekul bersama dan bukan melawan suatu
gradien elektrokimia. Ada 2 macam difusi :

4
Difusi sederhana : gerakan kinetik molekuler dari molekul ataupun
ion menembus membran atau melalui ruang intermolekuler terjadi
tanpa perlu berikatan dengan protein pembawa dalam membran.
Contoh : absorbsi air
Difusi yang dipermudah : gerakan kinetik molekuler dari molekul
ataupun ion menembus membran atau melalui ruang
intermolekuler yang membutuhkan interaksi dengan molekul
pembawa.
Contoh : absorbsi glukosa dan asam-asam amino
b. Transpor aktif, yaitu pemberian tenaga terhadap zat sewaktu zat
dihantarkan untuk kepentingan pemekatan pada sisi lain membran
atau menggerakan zat berlawanan dengan potensial listriknya.
c. Solven drag. Kapan pun suatu zat pelarut diserap akibat tenaga fisik
penyerapan, pergerakan pelarut akan menarik zat-zat yang terlarut
pada saat bersamaan. Contoh : ketika nutrient dan ion-ion diabsorbsi,
air dengan isoosmotik yang sama juga ikut diabsorbsi. (Sherwood,
2003)

3. Penyerapan air dan elektrolit


Keseimbangan air keseluruhan dalam saluran cerna diringkas
dalam Tabel 25-3. Setiap hari usus halus terisi dengan kurang lebih 2000
mL cairan yang dimakan tambah 7000 mL sekresi dari mukosa saluran
cerna dan kelenjar-kelenjar yang berkaitan. Sembilan puluh delapan persen
cairan ini mengalami reabsorbsi, dengan kehilangan cairan harian hanya
200 mL dalam feses. Hanya sejumlah kecil air bergerak melalui mukosa
lambung, tetapi air bergerak dalam dua arah melalui mukosa usus halus
dan usus besar sebagai respons terhadap perbedaan osmotik. Sebagian Na+
berdifusi ke dalam atau ke luar usus halus bergantung pada beda
konsentrasi. Oleh karena membran luminal semua enterosit dalam usus
dan kolon permeabel terhadap Na+ dan membran basolateralnya

5
mengandung Na+-K+ATPase, Na+ juga diserap secara aktif sepanjang usus
halus dan usus besar. (Guyton, 2007)
Di dalam usus halus, transpor aktif sekunder Na+ penting untuk
penyerapan glukosa, beberapa asam amino, dan zat-zat lainnya (lihat di
atas). Sebaliknya, dengan terdapatnya glukosa di dalam lumen usus akan
mempermudah penyerapan kembali Na+. Hal ini merupakan dasar
fisiologis untuk pengobatan kehilangan Na+ dan air pada diare dengan
pemberian per oral larutan yang mengandung NaCl dan glukosa. Biji-
bijian (cereal) yang mengandung karbohidrat dapat digunakan juga untuk
pengobatan diare. Cara pengobatan ini terbukti menguntungkan pada
pengobatan kolera, suatu penyakit yang berhubungan dengan diare yang
sangat parah dan bila tidak diobati, sering mematikan. (Guyton, 2007)
Cl- secara normal masuk enterosit dari cairan interostisial melalui
ke dalam lumen usus halus melalui kotransporter Na+-K+-2Cl disekresi ke
dalam (Gambar 25-7) dan kemudian Cl- disekresi kedalam lumen usus
halus melalui kanal yang diatur oleh berbagai kinase protein. Salah
satunya digiatkan oleh kinase protein A dan selanjutnya oleh AMP-siklik.
Kadar AMP-siklik meningkat pada penyakit kolera. Vibrio kolera tetap
tinggal di dalam lumen usus, tetapi membuat toksin yang berikatan dengan
reseptor gangliosida GM-1, dan hal lain memungkinkan bagian A (A1
peptida) toksin masuk ke dalam sel. Peptida A1 mengikatan ribosa
adenosin difosfat pada subunit- Gs, sehingga menghambat kegiatan
GTPase (lihat Bab 1). Akibatnya protein G aktif ini menyebabkan
perangsangan adenilil siklase yang berkepanjangan sehingga terjadi
peningkatan AMP-siklik intraseluler yang jelas. Selain peningkatan sekresi
Cl-, fungsi karier Na+ mukosa menurun, sehingga mengurangi penyerapan
NaCl. Peningkatan kadar elektrolit dan air yang terjadi di usus ini
menyebabkan diare. Tetapi, Na+-K+ ATPase dan kotransporter glukosa/Na+
tidak terpengaruhi, sehingga coupling penyerapan kembali glukosa dengan
Na+ merupakan jalan pintas gangguan tersebut. (Guyton, 2007)

6
Air bergerak masuk atau keluar dari usus sampai tekanan osmotik
dalam usus sama dengan tekanan osmotik dalam usus sama dengan
tekanan osmotik plasma. Osmolalitas ini duodenum dapat hipertonik atau
hipotonik, bergantung pada makanan yang dimakan, tetapi pada saat
makanan masuk ke jejunum, osmolalitasnya mendekati plasma.
Osmolalitas ini dipertahankan sepanjang sisa usus halus; partikel-partikel
osmotik aktif hasil pencernaan dihilangkan melalui penyerapan, dan air
bergerak pasif keluar usus sesuai dengan beda osmotik yang terbentuk. Di
kolon, Na+ dipompa keluar dan air mengikutinya secara pasif, sesuai
dengan beda osmotik. Katartik salin seperti magnesium sulfat merupakan
garam-garam yang sulit diserap yang mempertahankan ekivalen osmotik
air di dalam usus, jadi meningkatkan volume usus dan akibatnya
menimbulkan efek laksatif. (Guyton, 2007)
Terjadi sedikit sekresi K+ ke dalam lumen usus, terutama sebagai
komponen mukus, tetapi bagian terbesar, pergerakan K+ melewati mukosa
saluran cerna disebabkan oleh difusi. Sebaliknya, terdapat saluran-saluran
K+ dalam lumen seperti juga di membran basolateral enterosit kolon,
sehingga K+ disekresi ke dalam kolon. Selain itu, K+ bergerak pasif
mengikuti beda elektrokimia. Akumulasi K+ di dalam kolon sebagian
diimbangi oleh H+-K+ ATPase di membran sel luminal kolon distal, dengan
akibat transpor aktif K+ ke dalam sel. Meskipun demikian, kehilangan
cairan ileum atau kolon pada diare menahun dapat mengarah ke
hipokalemia berat. (Guyton, 2007)
Bila masukan K+ makanan tinggi untuk jangka waktu lama, sekresi
aldosteron meningkat dan lebih banyak K+ masuk ke dalam kolon. Hal ini
sebagian disebabkan oleh timbulnya lebih banyak pompa Na +-K+ ATPase
di dalam membran basolateral sel, dengan akibat meningkatnya K+
intraselular dan difusi K+ melewati membran luminal sel. (Guyton, 2007)
Karena getah yang diekskresikan dalam keadaan normal diserap
kembali ke dalam plasma, proses pencernaan tidak mengubah asam basa
tubuh. Namun apabila sekresi dan absorbsi tidak seimbang satu sama lain,

7
dapat timbul ketidakseimbangan asam-basa. Darah arteri yang masuk ke
lambung diantaranya mengandung Cl-, CO2, H2O, dan Na+. Selama
sekresi HCl, sel-sel parietal lambung mengekstraksi Cl-, CO2, dan H2O
dari plasma (CO2 dan H2O adalah esensial untuk sekresi H+) dan
menambahkan HCO3- kedalam plasma (HCO3- terbentuk dalam proses
pembuatan H+). Ion HCO3- berdifusi ke dalam plasma untuk
menggantikan Cl- yang diekskresikan dan untuk mengimbangi secara
elektris Na+ dalam plasma. Kadar Na+ plasma tidak berubah oleh proses
sekresi lambung. Karena HCO3- adalah ion alkalis, darah vena yang
meninggalkan lambung lebih basa daripada darah arteri yang menuju
lambung. Namun, keseimbangan asam basa tubuh keseluruhan tidak
terganggu, karena sel-sel duktus pancreas mengekstrasi HCO3- (bersama
dengan Na+) dalam jumlah setara daripada saat kismus tersebut masuk
kedalam usus halus. Di dalam lumen usus halus, sekresi NaHCO 3 pankreas
yang alkalis menetralkan sekresi HCl lambung, menghasilkan NaCl dan
H2CO3. Kedua molekul tersebut masing-masing membentuk Na+ dan Cl-
serta CO2 dan H2O. Keempat konstituen ini (Na+, Cl-, CO2, dan H2O)
diserap oleh epitel usus ke dalam plasma. Perhatikan bahwa konstituen-
konstituen tersebut sama persis dengan yang terdapat dalam darah arteri
yang masuk ke lambung. Dengan demikian, melalui interaksi ini dalam
keadaan normal tubuh tidak mengalami tambahan atau pengurangan netto
asam atau basa selama proses pencernaan. (Guyton, 2007)

B. Gastritis
1. Klasifikasi dan Etiologi
Erosif dan hemoragik gastritis, yang dapat disebabkan oleh banyak
faktor, yaitu intake AINS, iskemia, stress, penggunaan alkohol yang
menyebabkan korosi kimiawi, trauma (seperti gastroscope), dan
trauma radiasi.

8
Nonerosif (Chronic active gastritis). Tipe ini biasa terjadi pada antrum
yang pada dekade terakhir ini telah diketahui peningkatannya
disebabkan oleh Helicobacter pylori.
Atropik (Fundal gastritis). Pada tipe ini hampir selalu terbatas pada
fundus ventrikuli dengan penyebab komplet yang berbeda. Pada
kondisi ini, cairan lambung terkontaminasi autoantibodi (Ig G yang
terinfiltrasi dari plasma dan limfosit B) dan produksi dari sel parietal
sangat berpegaruh. (Silbernagi and Lang, 2000)

2. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis berdasarkan tingkat keprahan penyakit dapat dibedakan
menjadi akut dan kronik. Pada gastritis akut, gejala berupa nyeri
epigastrium, mual, kembung, dan muntah. Dapat juga dutemukan
perdarahan saluran cerna berupa hematemesis dan melena yang disusul
dengan tanda-tanda anemia pasca perdarahan. Biasanya dilakukan
anamnesis lebih mendalam tentang riwayat penggunaan obat dan bahan
kimia tertentu. Pada gastritis kronis, kebanyakan pasien tidak memiliki
keluhan dan hanya sebagian kecil mengeluh nyeri ulu hati, anoreksia,
nausea, serta tidak ada kelainan pada pemeriksaan fisik. (Mansjoer dkk,
2000)

3. Diagnosis
a. Anamnesis tentang gejala-gejala
gastritis.
b. Pemeriksaan fisik, meliputi vital
sign.
c. Pemeriksaan penunjang. Uji
serologi H. Pylori (misal dengan uji napas urea), tes radiologi, dan
endoskopi jika diperlukan. (Price, 2005)

4. Penatalaksanaan

9
Penanganan pertama gastritis adalah pemberian antasida (misalnya
magnesium hidroksida maupun aluminium hidroksida), obat penenang,
dan analgesik. Antibiotik terhadap H. Pylori dapat diberikan setelah uji
serologi. Obat antikolinergik yang menghambat efek langsung saraf vagus
terhadap sel-sel parietal lambung pensekresi HCl dapat diberikan apabila
pasien muntah. Penghambat pompa proton dan antagonis reseptor berupa
H2 juga dapat diberikan apa bila penyakit pasien progresif. (Price, 2005;
Mansjoer dkk, 2000)

C. DIARE
1. Definisi
Diare adalah peningkatan frekuensi dan kuantitas tinja abnormal (normal
100-200 ml tiap jam tinja) yang disertai penurunan konsistensi tinja
selama kurang dari 2 sampai 3 minggu. Mekanisme patologik diare dibagi
menjadi
Osmotik, yang disebabkan oleh ingesti zat terlarut yang kurang diserap
(malabsorpsi karbohidrat : ingesti manitol, sorbitol, laktulosa;
malabsorpsi umum: ingesti antasida yang mengandung magnesium..
Diare eksudatif. Peningkatan sekresi usus halus atau penurunan
absorpsi yang dapat disebabkan oleh enterotoksin bakteri sekretagog
hormonal, hipersekresi gaster, laksatif, insufisiensi pancreas, atau
penyakit mukosa usus halus yang biasanya bervolume besar, tinja cair
tanpa darah maupun sel darah putih.
Diare sekretorik. Keadaan peradangan, misalnya penyakit usus
meradang, infeksi organisme invasive, sitotoksin, iskemia, atau
vaskulitis. Mukosa usus yang meradang menyebabkan terjadinya
kebocoran mucus, darah, dan nanah ke dalam lumen.
Gangguan motilitas. Diare terkait dengan hipertiroidisme, karsinoid,
atau sindrom dumping pascagastrektomi. (Graber, 2006; Mansjoer,
2000; Budi, 2006)

10
2. Etiologi
Infeksi. Meskipun air merupakan reservoir yang jelas, makanan yang
tercemar merupakan sumber organisme yang paling sering
menyebabkan diare.
Bakteri
Bakteri noninvasif (enterotoksigenik)
V. cholera, Enterotoksigenik E.coli (ETEC), C.perfingers,
S.aureus, dan vibrio-nonaglutinabel mengeluarkan toksik yang
akan terikat pada mukosa usu halus, namun tidak merusak
mukosa. Toksin ini meningkatkan kadar siklik AMP di dalam
sel, menyebabkan sekresi aktif anion klorida ke lumen usus
yang diikuti air, ion bikarbonat, kation natrium, dan kalium.
Secara klinis diare yang ditemukan berupa seperti cucian beras
dan meninggalkan anus secara deras dan banyak (voluminous)
sehingga disebut juga diare sekretorik isotonik voluminal.
Bakteri invasif
Bakteri ini menyebabkan kerusakan dinding usus berupa
nekrosis dan ulserasi, dan bersifat sekretorik eksudatif sehingga
menyebabkan feses bercampur lender dan darah. Bakteri yang
termasuk dalam golongan ini adalah Enteroinvasive E.coli
(EIEC), S.paratyphi B, S.typhyimurium, S.enteriditis,
S.choleraesuis, Shigela, Yersinia, dan C.perfingers tipe C.
Parasit, misalnya Necator americanus, Ancylostoma duodenale,
Giardia lamblia, Entamoeba histolytica, Criptosporidium,
Strongyloides.
Virus, misalnya Rotavirus, agen Norwalk, enterovirus, virus
hepatitis.
Jamur, misalnya Candida, Actinomyces, Histoplasma.
Toksin

11
Toksin bakteri. Staphylococcus (keracunan makanan), Clostridium
perfringens, C.botulinum, C.difficile, Cryptosporidium, E.coli.
Racun kimia. Logam berat, keracunan cendawan.
Makanan. Pengganti gula yang tidak dapat diserap (sorbitol),
intoleransi atau alergi makanan, makanan yang mengiritasi, kafein
berlebihan.
Obat. Laksatif, antasida yang mengandung magnesium, kolkisin,
antibiotik, agen kolinergik, laktulosa, kuinidin.
Penyebab visera. Apendisitis, diverticulitis, perdarahan saluran cerna,
impaksi feses, colitis iskemik, colitis pseudomembranosa. (Grabber,
2006)

3. Manifestasi klinis
Manifestasi diare tergantung penyebabnya. Pada pasien diare akut infeksi
sering mengalami nausea, muntah, nyeri perut sampai kejang perut,
demam, dan defekasi abnormal. Hipotensi, takikardi, aritmia jantung,
penurunan tekanan turgor juga biasa ditemui pada pemeriksaan fisik.
(Mansjoer, 2000)

4. Diagnosis
a. Anamnesis
b. Pemerisaan fisik
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tinja: cair, setengah cair atau bercampur darah,
pemeriksaan parasit (amuba, giardia, cacing/telur cacing, jamur)
leukosit, eritrosit, Iemak tinja, pH tinja, bau tinja, volume tinja,
kultur kuman tinja.
Pemeriksaan darah: darah perifer lengkap (Hb, MCV,MCH,
MCHC), kadar Feri'tin darah, SI-IBC, Kadar Vit B12 darah, kadar
asam folat darah, albumin serum, eosinofil darah, serologi amuba
(IDT), widal, pemeriksaan Imunodefisiensi (CD4, CDS).

12
Pemeriksaan anatomi usus
Pemeriksaan usus dan pankreas

5. Penatalaksanaan
a. Nonfarmakologi
- Diet lunak tidak merangsang, TKTP.
- Bila alergi susu hewani, bila tidak tahan laktosa diberikan rendah
laktosa, bila maldigesti lemak diberikan rendah lemak dan lain-lain.
- Bila penyakit Crohn dan kolitis ulserosa diberikan rendah serat.
- Istirahat dan tirah baring
- Pertahankan minum yang baik untuk mencegah dehidrasi, bila perlu
infus cairan untuk dehidrasi

b. Farmakologi
- Antispasmodik
- Antidiare, yaitu antimotilitas (loperamid, difenoksilat, kodein fosfat),
oktreoid, dan anti diare pengeras tinja (charcoal dan anhydrous
morphine).
- Antiemetik bila muntah.
- Vitamin dan mineral, meliputi vitamin B12, A, K.
- Asam folat, preparat besi bila anemia, zinc, dll.
- Antasida bila diserta gastritis
- Fenotiazin dan asam nikotinat untuk menghambat sekresi anion usus.
(Mansjoer, 2000)

13
BAB III
PEMBAHASAN

Pada skenario, seorang wanita umur 30 tahun datang ke unit gawat darurat
RS Dr. Moewardi Surakarta dengan keluhan sakit perut dan diare. Diare adalah
meningkatnya frekuensi buang air besar dan konsistensi feces menjadi cair. Pada
dasarnya, mekanisme yang menyebabkan diare, antara lain:
1. Gangguan osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi
pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang
berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul
diare.
2. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan terjadi
peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya
diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
3. Gangguan motilitas usus.
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk
menyerap makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya, bila peristaltik usus

14
menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan yang selanjutnya
dapat menimbulkan diare pula.
Diare yang terjadi terus-menerus mengakibatkan suatu keadaan yang
disebut dehidrasi. Dehidrasi adalah suatu keadaan di mana berkurangnya volume
air tanpa elektrolit (natrium) atau berkurangnya air jauh melebihi berkurangnya
natrium dari cairan ekstraseluler. Akibatnya, terjadi peningkatan natrium ekstrasel
sehingga cairan intrasel akan masuk ke ekstrasel (volume intrasel berkurang). Hal
ini menyebabkan sel-sel menjadi menciut.
Hipertonitas cairan ekstraseluler (CES), atau konsentrasi zat terlarut CES
yang berlebihan, biasanya berkaitan dengan dehidrasi, atau keseimbangan negatif
H2O bebas. Hal ini disesbabkan oleh insufisiensi asupan H2O dan pengeluaran
H2O yang berlebihan seperti diare dan muntah yang dialami oleh pasien. Apabila
kompartemen CES menjadi hipertonik, H2O bergerak ke luar dari sel melalui
osmosis ke dalam CES yang lebih pekat sampai osmolaritas cairan intraseluler
(CIS) setara dengan CES. Sel menciut ketika H2O meninggalkannya.
Yang perlu diperhatikan adalah kenyataan bahwa penciutan neuron-neuron
otak menyebabkan gangguan fungsi otak yang dapat bermanifestasi sebagai
kebingungan mental dan ketidakrasionalan pada kasus-kasus sedang dan delirium,
kejang, atau koma pada keadaan hipertonik yang lebih berat. Gejala-gejala saraf
yang sama seriusnya adalah gangguan sirkulasi yang terjadi akibat penurunan
volume plasma berkaitan dengan dehidrasi.
Respon fisiologisnyang normal adalah mempertahankan perfusi terhadap
otak dan jantung sambil memperbaiki volume darah dalam sirkulasi dengan
efektif. Disini akan terjadi peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh
vena yang kolaps, pelepasan hormon stres serta ekspansi besar guna pengisian
volume pembuluh darah dengan menggunakan cairan interstisial, intraseluler, dan
menurunkan produksi urin. Dari sini diketahui bahwa penurunan tekanan darah,
hiperventilasi, dan kencing yang sedikit merupakan gejala klinis syok
hipovolemik.
Mata cekung, bibir kering, turgor perut menurun, dan kedua tangan keriput
merupakan gejala-gejala lain yang dapat juga ditemukan, bahkan pada kasus

15
dehidrasi yang ringan. Semua gejala ini membuktikan telah terjadi pengeluaran
H2O dari jaringan lunak di bawahnya. Selain itu, dalam keadaan dehidrasi, lidah
menjadi kering dan pecah-pecah akibat penurunan sekresi air liur. Hal ini sedikit
mempengaruhi sensasi rasa lidah sehingga kalau makan terasa pahit, sehingga
penderita semakin tidak mau makan dan minum.
Selama proses pencernaan normal, getah pencernaan yang kaya HCO3-
yang disekresikan ke dalam saluran pencernaan kemudian akan direabsorpsi
kembali ke plasma ketika pencernaan selesai. Namun, selama diare, HCO 3- hilang
dari tubuh dan tidak direabsorpsi. Penurunan HCO 3- dalam plasma tanpa disertai
penurunan CO2 yang setara akan menurunkan pH darah. Karena HCO 3- yang
keluar berlebihan, HCO3- yang tersedia dalam tubuh untuk menyangga H+
berkurang , sehingga lebih banyak terdapat H+ bebas dalam cairan tubuh. Dari
sudut yang berbeda, kehilangan HCO3- menggeser reaksi H+ + HCO3- CO2 +
H2O ke kiri untuk mengkompensasi defisit HCO3-, sehingga meningkatkan H+
melebihi normal.
Asidosis metabolik dikompensasi dengan dua hal, yaitu oleh ginjal dan
sistem penafasan. Melalui ginjal, kelebihan H+ akan dikeluarkan guna
menurunkan kadar H+ dalam tubuh. Di samping itu, dalam mengkompensasi
asidosis metabolik, paru secara sengaja menggeser CO2 dari normal sebagai usaha
untuk memulihkan H+ ke arah normal. Caranya dengan pengeluaran CO2 yang
berlebih dalam tubuh yang memunculkan reaksi pernafasan yang cepat dan dalam
(pernafasan Kussmaul). Peningkatan kadar H+ dalam darah dapat mengakibatkan
depresi susunan saraf pusat hingga terjadi penurunan kesadaran pasien. Oleh
karena itu, diperlukan penatalaksanaan berupa pemberian cairan ringer laktar yang
mengandung natrium bikarbonat guna menambah jumlah bikarbonat tubuh untuk
menyangga kelebihan H+. Namun pemberiannya juga tidak boleh berlebihan
untuk mencegah timbulnya gejala akibat hipernatremia.
Satu bulan sebelum masuk rumah sakit penderita sering merasakan perut
tidak enak, nyeri daerah epigastrium, nausea kadang-kadang vomitus, terlambat
makan juga sakit, nocturnal pain positif sehingga terbangun. Dispepsia merupakan
kumpulan keluhan atau gejala klinis yang tidak enak atau sakit di perut bagian

16
atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Klasifikasi klinis praktis,
didasarkan atas keluhan atau gejala yang dominan, membagi dispepsia menjadi
tiga tipe:
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus, dengan gejala: nyeri epigastrium
terlokalisasi, nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid, nyeri saat
lapar, dan nyeri episodik.
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas, dengan gejala: mudah kenyang,
perut cepat terasa penuh saat makan, mual, muntah, upper abdominal bloating,
dan rasa tak nyaman betambah saat makan.
3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)
Nyeri pada epigastrium sendiri tidak sepenuhnya menggambarkan adanya
gangguan pada lambung saja. Namun, gejala ini bisa terjadi pada penyakit lain,
misalnya pada penyakit jantung, penjalaran nyeri akibat apendisitis, dan hepatitis.
Mual (nausea) adalah pengenalan secara sadar terhadap eksitasi bawah
sadar pada daerah medula yang secara erat berhubungan dengan atau merupakan
bagian dari pusat muntah, dan mual dapat disebabkan oleh impuls iritasi yang
datang dari traktus gastointestinal, impuls yang berasal dari otak bawah yang
berhubungan dengan motion sickness, atau impuls dari korteks serebri untuk
memulai muntah.
Akibat-akibat abnormal dari obstruksi bergantung pada tempat di dalam
traktus gastrointestinal yang mengalami obstruksi. Jika obstruksi terjadi di pilorus,
yag sering terjadi akibat konstriksi fibrotik setelah ulserasi peptik, terjadi
muntahan isi lambung yang persisten. Nutrisi yang tertekan ini, juga
menyebabkan hilangnya ion hidrogen yang berlebihan dari tubuh dan dapat
menyebabkan berbagai tingkatan alkalosis.
Jika obstruksi terjadi di bawah lambung, gerakan antiperistaltik yang
berasal dari usus halus menyebabkan cairan usus bergerak mundur masuk ke
dalam lambung, dan cairan-cairan ii dimuntahkan bersama sekresi lambung. Pada
keadaan ini, pasien kehilangan banyak air dan elektrolit sehingga pasien
mengalami dehidrasi berat, tetapi hilangnya asam dan basa mungkin lebih kurang

17
sebanding, sehingga hanya terjadi perubahan keseimbangan asam basa yang kecil.
Oleh karena itu, asidosis metabolik kemungkinan bisa saja terjadi.
Muntah (emesis), yaitu ekspulsif secara paksa isi lambung keluar melalui
mulut, secara umum dianggap disebabkan oleh motilitas lambung yang abnormal.
Namun, muntah tidak ditimbulkan oleh peristaltik terbalik, seperti yang semula
diperkirakan. Sebenarnya lambung itu sendiri tidak berpartisipasi aktif dalam
tindakan muntah. Lambung, oesofagus, sfingter gastroesofagus, dan sfingter
pilorus semua melemas sewaktu muntah. Gaya utama yang mendorong keluar isi
lambung, secara mengejutkan, datang dari kontraksi otot-otot pernafasan, yaitu:
diafragma dan otot abdomen.
Muntah diawali dengan inspirasi dalam dan penutupan glotis. Diafragma
yang berkontraksi turun menekan lambung sementara kontraksi otot-otot abdomen
secara simultan menekan rongga abdomen, sehingga teanan intra-abdomen
meningkat dan isi abdomen terdorong ke atas. Karena lambung yang lunak itu
tertekan antara diafragma dari atas dan tekanan rongga abdomen dari bawah, isi
lambung terdorong ke dalam oesofagus dan keluar melalui mulut. Glotis menutup,
sehingga muntahan tidak masuk ke saluran pernafasan. Uvula juga terangkat
untuk menutup rongga hidung.
Kadang-kadang, pada waktu isi muntah pertama kali memasuki oesofagus,
sfingter faringoesofagus sering masih tertutup, sehingga tidak ada isi lambung
yang masuk ke mulut. Peregangan oesofagus oleh vomitus menginduksi
gelombang peristaltik sekunder yang mendorong isi lambung kembali ke dalam
lambung. Siklus tersebut berulang-ulang sendiri pada saat isi lambung terperas
naik ke dalam oesofagus.
Rangkaian keadaan ini adalah tindakan retching atau dorongan (heaves).
Setelah serangkaian dorongan, pada saat tekanan sudah cukup besar, yang
bersangkutan menyorongkan rahangnya, membuka sfingter faringoesofagus. Isi
lambung kemudian terdorong melalui oesofagus, melewati sfingter
faringoesofagus, dan keluar melalui mulut. Selama waktu tersebut, duodenum
berkontraksi secara kuat, yang mungkin mendorong sebagian isi usus kembali ke
dalam lambung dan keluar bersama muntah. Dengan demikian, bahan yang

18
dimuntahkan dapat berwarna kekuningan akibat adanya empedu yang masuk ke
usus halus dari hati dan kandung empedu.
Mengenai diagnosis gastritis atau ulkus peptikum.yang diberikan dokter
pada pasien, pada pembahasan kali ini akan lebih diutamakan mengenai hubungan
kedua penyakit tersebut dengan infeksi H. Pylori. H. Pylori ialah suatu basilus,
gram negatif, berbentuk spiral, mikroaerofilik bertanggung jawab untuk bentuk
gastritis akut dan kronis. Kolonisasi lambung juga pernah berhubungan dengan
ulkus duodeni dan ulkus lambung. Dengan kolonisasi lambung, H. Pylori
ditemukan pada bagian yang dalam dari lapisan jeli lendir yang melapisi mukosa
lambung dan di antara lapisan jeli lendir dari permukaan apikal sel epitelial
mukosa lambung. Basil ini juga mungkin terletak pada daerah pertautan yang erat
antara sel epitelial mukosal yang berdekatan. H. Pylori dapat menempel pada
permukaan luminal sel epitelial lambung, tetapi tidak menyerbu mukosa lambung.
H. Pylori menghasilkan suatu varietas protein yang tampaknya
memperantarai atau memudahkan efek merusaknya pada mukosa lambung.
Urease yang dihasilkan oleh H. Pylori mengkatalisasi hidrolisis urea untuk
menghasilkan amonia dan karbondioksida. Hal ini memberikan lingkungan mikro
yang lebih alkali yang melindungi H. Pylori dari efek asam lambung, yang
mencegah kolonisasi lambung oleh bakteri lain. Urease mengakibatkan kerusakan
sel epitelial mukosa lambung oleh ion hidroksida yang disebabkan oleh
keseimbangan air dengan amonia. H. Pylori menghasilkan protein permukaan
yang merupakan kemotaktik untuk monosit dan neutrofil manusia dan mensekresi
faktor yang mengaktivasi trombosit inflamatori, sebaik urease, yang juga
merupakan proinflamatori. H. Pylori mengaktivasi monosit yang menandakan
reseptor HLA-DR dan interleukin 2 (IL-2) pada permukaan selnya dan
menghasilkan speroksida, IL-1, dan TNF. H. Pylori menghasilkan protease dan
fosfolipase yang menurunkan kompleks glikoprotein-lipid dari lapisan jeli mukus.
Hal ini mengurangi ketebalan dan kekentalan jeli mukus yang bersifat melindungi
lambung yang melapisi sel epitelial mukosa lambung meskipun sintesis dan
sekresi mukus meningkat. H. Pylori juga menghasilkan suatu adhesi yang
memudahkan pengikatan bakterium pada sel epitelial lambung.

19
Pada awal infeksi H. Pylori, mungkin terdapat peningkatan sementara
sekresi asam lambung; namun demikian, ini sering diikuti oleh hipoklorhidria
yang bertahan selama beberapa bulan, diikuti oleh kembalinya ke tingkat sekretori
asam preinfeksi dalam satu tahun. Infeksi H. Pylori mungkin berhubungan dengan
peningkatan kadar serum gastrin dan sekresi asam lambung normal; dengan
eradikasi H. Pylori, kadar gastrin serum kembali ke normal, menyatakan secara
tidak langsung gangguan mekanisme umpan balik yang diperantarai asam yang
mengatur pelepasan gastrin oleh H. Pylori. Pada pasien dengan infeksi H. Pylori,
kadar somatostatin mukosa lambung berkurang dan berhubungan secara terbalik
dengan amonia luminal lambung. Keadaan ini menunjukkan defisiensi
somatostatin dan mekanisme yang bertanggung jawab atas peningkatan pelepasan
gastrin pada pasien dengan infeksi H. Pylori.
H. Pylori dapat diidentifikasi dalam sampel mukosa lambung dengan
pemeriksaan histologik, biakan, aktivitas urease, dan analisis endonuklease. Pada
irisan jaringan yang diwarnai, H. Pylori adalah Giemsa-positif dan sedikit
hematoksilin-positif. Organismenya dapat dibiakkan dengan berhasil baik dari
bahan biopsi tetapi biasanya tidak dari sekresi lambung. H. Pylori menghasilkan
urease dalam jumlah besar. Tes urease yang cepat dari bahan biopsi lambung
relatif sederhana dan dapat dipercaya untuk identifikasi H. Pylori yang
diperkirakan. Tes urease biopsi melibatkan penggunaan kaldu yang mengandung
urea tempat biopsi lambung diletakkan. Tes positif yang menyebabkan
peningkatan dalam pH, dengan indikator fenol merah berubah dari oranye muda
menjadi merah dalam lima menit. Tes tidaklah mahal, dengan sensitivitas sekitar
90% dan spesifisitas mendekati 100%. Tes bernafas urea yang menggunakan 13C
atau 14C juga telah dikembangkan untuk identifikasi H. Pylori. Antibodi (IgG dan
IgA) terhadap H. Pylori telah diidentifikasikan dalam sera individu dengan
kolonisasi H. Pylori. Terdapat suatu korelasi derajat tinggi di antara antibodi
serum ini dan gastritis histologik.
Penderita sering minum obat maag (lambung) dan anti muntah bila
merasakan keluhan perut tidak enak, nyeri daerah epigastrium, nausea kadang-
kadang vomitus, terlambat makan juga sakit, nocturnal pain positif sehingga

20
terbangun. Antasida (obat maag) sering digunakan untuk menghilangkan keluhan
rasa sakit (dispepsis). Tersedia banyak tipe antasida, namun idealnya antasida
harus bisa menetralisasi asam lambung, tidak mahal, tidak diserap dari saluran
makanan, dan mengandung natrium dalam jumlah yang dapat diabaikan.
Sediaan antasida yang paling luas digunakan adalah campuran aluminium
hidroksida dan magnesium hidroksida, dalam beberapa hal dengan obat tambahan.
Aluminium hidroksida menetralisasi asam hidroklorida dengan hasil aluminium
klorida dan air. Penggunaan aluminium hidroksida cenderung menyebabkan
konstipasi. Sedangkan magnesium hidroksida adalah suatu antasida kuat yang
mentralisasi asam hidroklorida dan menyebabkan mencret (diare). Efek pencahar
dari magnesium hidroksida dan efek menyembelit dari aluminium hidroksida
dapat dihilangkan dengan jalan mengkombinasikan kedua komponen tersebut.
Obat anti-muntah (obat antiemetik) merupakan golongan antihistamin
dimenhidrinat. Reseptor sel parietal lambung untuk histamin telah diklasifikasikan
sebagai suatu reseptor H-2. Antagonis reseptor H-2 merupakan inhibitor kuat
sekresi asam lambung basal (tak-dirangsang) dan yang dirangsang. Antagonis
reseptor H-2 menunjukkan beberapa kemiripan struktural dengan histamin dan
dengan satu sama lain, dengan variasi dalam struktur cincin dan rantai sisi.
Contoh obat yang termasuk dalam golongan ini meliputi: simetidin, ranitidin,
famotidin, dan nizatidin.
Di samping obat maag dan obat anti-emetik, pengetahuan mengenai obat
inhibisi pompa proton (proton pump inhibitor/ PPI) juga diperlukan. Tahap akhir
sekresi ion hidrogen oleh sel parietal dicapai dengan enzim H +,K+-ATPase yang
membantu sebagai pompa proton, yang menukarkan hidrogen dengan kalium.
H+,K+-ATPase terletak pada membrana apikal dan aparatus tubulo-vesikular sel
parietal. Permukaan luminal enzim transmembrana tidak terlindung dari pH asam
luminal lambung.
Omeprazol suatu inhibitor khas dari H+,K+-ATPase sel parietal, telah
terbukti luar biasa kuatnya dalam mengurangi sekresi asam lambung. Omeprazol,
suatu benzimidazol yang disubstitusikan mengikat pada H +,K+-ATPase, secara
tidak reversibel menginaktifkan enzim itu. Omeprazol, suatu basa lemah, ialah

21
suatu prodrug yang menjadi terkonsentrasi dalam lingkungan asam, menghasilkan
ikatan gugus sulfur aktif yang membentukdisulfida kovalen dengan H +,K+-
ATPase, dengan demikian mendenaturasikan dan menginaktifkan enzim itu.

BAB IV
PENUTUP

Pasien tersebut menderita gastritis atau ulkus peptikum. Untuk


mendiagnosis pasti apakah penyakit pasien disebabkan oleh H. Pylori, maka
diperlukan beberapa tes yang satu diantaranya yang paling spesifik adalah tes
urease. Penatalaksanaan yang tepat bagi penderita gastritis atau ulkus peptikum
meliputi pemberian antasida, antihistamin (antagonis reseptor H-2), dan PPI yang
berguna dalam menghambat sekresi HCl lambung. Diare yang diderita oleh pasien
diduga merupakan efek samping dari antasida yang diminum oleh pasien karena
tidak menggunakan dosis kombinasi. Dehidrasi dan syok hipovolemik yang
dialami pasien merupakan akibat dari pengeluaran air dan elektrolit yang
berlebihan akibat diare. Oleh karena itu, pasien hendaknya segera diberi cairan
ringer laktat guna memperbaiki keadaan umum pasien.

22
DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H.


Hartanto, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Erbersdobler, Andreas., Petri, Susan., Lock, Guntram. Russell Body Gastritis An
Unusual, Tumor-like Lesion of the Gastric Mucosa Arch Pathol Lab Med.
2004;128:915917
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran: Pengaturan
Jangka Pendek Tekanan Arteri Rata-rata Refleks Saraf dan Mekanisme
Hormonal untuk Pengaturan Tekanan yang Tepat. Edisi 11. Terjemahan
Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 195-203.
Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran: Regulasi
Tekanan Arteri Rata-rata Jangka Panjang dan Hipertensi. Edisi 11.
Terjemahan Irawati, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp:
205-215.
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Jakarta : Media
Aesculapius
ODonnel, Madeline M., Penny F. C. 2005. Disfungsi Mekanis Jantung dan
Bantuan Sirkulasi. Dalam: Price, S. A., L. M. Wilson. 2005.
PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume
1. Terjemahan B. U. Pendit, et.al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. pp: 630-652.

23
Silbernagi, Stefan., Lang, Florian. 2000. Color Atlas of Pathophysiology.
Stuttgart: Thieme
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem: Pembuluh
Darah dan Tekanan Darah. Jakarta: EGC.
Sitompul, Barita, J. I. Sugeng. 2003. Gagal Jantung. Dalam: Rilantono, L. I. 2003.
Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FK UI

24

Anda mungkin juga menyukai