Anda di halaman 1dari 27

RESUME

PERKEMBANGAN, PEMEROLEHAN, DAN PEMBELAJARAN BAHASA


ANAK

Disusun dalam Rangka Memenuhi salah satu Tugas Kelompok


Mata Kuliah Pendidikan Bahasa Indonesia di Kelas Rendah SD

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 4:

1. YESISKA MIKARIS CITRA TAMARA


2. TITRI HARTINA
3. RIA AFRI ASTUTI
4. DESSY INDAH PERATA SARI

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2017
A. PERKEMBANGAN BAHASA ANAK
1. HAKIKAT PERKEMBANGAN BAHASA ANAK

Darjowidjojo (dalam Tarigan dkk.,1998.,dalam Faisal dkk, 2009:2-16)


mengungkapkan bahwa pemerolehan bahasa anak itu tidaklah tiba-tiba atau sekaligus,
tetapi bertahap. Kemajuan maupun berbahasa merekan berjalan seiring dengan
perkembangan fisik, mental, intelektual, dan sosialnya. Oleh karena itu, perkembangan
bahasa anak ditandai oleh keseimbangan dinamis atau suatu rangkaian kesatuan yang
bergerak dari bunyi-bunyi atau ungkapan yang sederhana menuju tuturan yang lebih
kompleks. Tangisan, bunyi-bunyi atau ucapan yang sederhana tak bermakna, dan
celotehan bayi merupakan jembatan yang memfasilitasi alur perkembangan bahasa anak
menuju kemampuan berbahasa yang lebih sempurna. Bagi anak, celotehan merupakan
semacam latihan untuk menguasai gerak artikulatoris (alat ucap) yang lama kelamaan
dikaitkan dengan kebermaknaan bentuk bunyi yang diujarkannya.

Keterampilan berpikir diperlukan agar semua aspek keterampilan berbahasa


berkembang. Piaget, Bruner, dan Vygantsky telah mengemukakan teori-teori
perkembangan kognitif yang paling komprehensif (Athey, lewat Ross dan Roe, 1990:30,
dalam Darmiyati dkk, 1996:5). Ketiga pakar tersebut mengetahui bahwa ada hubungan
antara pikiran dan bahasa, tetapi mereka berbeda dalam hal cara pikiran dan bahasa itu
berhubungan. Vygatsky yakin bahwa bahasa merupakan dasar bagi pembentukan konsep
dan pikiran. Kegiaran tidak mungkin terjadi tanpa menggunakan kata-kata untuk
mengungkapkan buah pikiran. Dia menegaskan bahwa bahasa diperlukan untuk setiap
jenis kegiatan belajar. Berbeda dengan Vygatsky, Piaget (dalam Darmiyati, 1996:6)
mengatakan bahwa bahasa itu penting untuk beberapa jenis kegiatan belajar tetapi tidak
untuk semua kegiatan belajar. Piaget yakin bahwa perkembangan kognitif anak
mendahului perkembangan bahasanya.

Piaget membagi perkembangan kognitif ke dalam empat fase, yaitu fase


sensorimotor, fase praoperasional, fase operasi konkret, dan fase operasi formal (Piaget,
1972: 49-91.,dalam http://toyo-utoy.blogspot.com/2009/05/kognitif-anak-usia-dini.html).
a. Fase Sensorimotor (usia 0 - 2 tahun)

Pada masa dua tahun kehidupannya, anak berinteraksi dengan dunia di sekitarnya,
terutama melalui aktivitas sensoris (melihat, meraba, merasa, mencium, dan mendengar)
dan persepsinya terhadap gerakan fisik, dan aknvitas yang berkaitan dengan sensoris
tersebut. Koordinasi aktivitas ini disebut dengan istilah sensorimotor.

Fase sensorimotor dimulai dengan gerakan-gerakan refleks yang dimiliki anak sejak
ia dilahirkan. Fase ini berakhir pada usia 2 tahun. Pada masa ini, anak mulai membangun
pemahamannya tentang lingkungannya melalui kegiatan sensorimotor, seperti
menggenggam, mengisap, melihat, melempar, dan secara perlahan ia mulai menyadari
bahwa suatu benda tidak menyatu dengan lingkungannya, atau dapat dipisahkan dari
lingkungan di mana benda itu berada. Selanjutnya, ia mulai belajar bahwa benda-benda
itu memiliki sifat-sifat khusus.

Keadaan ini mengandung arti, bahwa anak telah mulai membangun pemahamannya
terhadap aspek-aspek yang berkaitan dengan hubungan kausalitas, bentuk, dan ukuran,
sebagai hasil pemaharnannya terhadap aktivitas sensorimotor yang dilakukannya.

Pada akhir usia 2 tahun, anak sudah menguasai pola-pola sensorimotor yang bersifat
kompleks, seperti bagaimana cara mendapatkan benda yang diinginkannya (menarik,
menggenggam atau meminta), menggunakan satu benda dengzur tujuan yangb erbeda.
Dengan benda yanga da di tangannya,ia melakukan apa yang diinginkannya. Kemampuan
ini merupakan awal kemampuan berpilar secara simbolis, yaitu kemampuan untuk
memikirkan suatu objek tanpa kehadiran objek tersebut secara empiris.

b. Fase Praoperasional (usia 2 - 7 tahun)

Pada fase praoperasional, anak mulai menyadari bahwa pemahamannya tentang


benda-benda di sekitarnya tidak hanya dapat dilakukan melalui kegiatan sensorimotor,
akan tetapi juga dapat dilakukan melalui kegiatan yang bersifat simbolis. Kegiatan
simbolis ini dapat berbentuk melakukan percakapan melalui telepon mainan atau berpura-
pura menjadi bapak atau ibu, dan kegiatan simbolis lainnva Fase ini rnemberikan andil
yang besar bagi perkembangan kognitif anak. Pada fase praoperasional, anak trdak
berpikir secara operasional yaitu suatu proses berpikir yang dilakukan dengan jalan
menginternalisasi suatu aktivitas yang memungkinkan anak mengaitkannya dengan
kegiatan yang telah dilakukannya sebelumnya.

Fase ini merupakan slasa permulaan bagi anak untuk membangun kemampuannya
dalam menyusun pikirannya. Oleh sebab itu, cara berpikir anak pada fase ini belum stabil
dan tidak terorganisasi secara baik. Fase praoperasional dapat clibagi ke dalam tiga
subfase, yaitu subfase fungsi simbolis, subfase berpikir secara egosentris dan subfase
berpikir secara intuitif.

Subfase fungsi simbolis terjadi pada usia 2 - 4 tahun. Pada masa ini, anak telah
memiliki kemampuan untuk menggarnbarkan suatu objek yang secara fisik tidak hadir.
Kemampuan ini membuat anak dapat rnenggunakan balok-balok kecil untuk membangun
rumah-rumahan, menyusun puzzle, dan kegiatan lainnya. Pada masa ini, anak sudah
dapat menggambar manusia secara sederhana. Subfase berpikir secara egosentris terjadi
pada usia 2-4 tahun. Berpikir secara egosentris ditandai oleh ketidakmampuan anak untuk
memahami perspektif atau cara berpikir orang lain. Benar atau tidak benar, bagl anak
pada fase ini, ditentukan oleh cara pandangnya sendiri yang disebut dengan istilah
egosentris.

Subfase berpikir secata intuitif tenadi pada usia 4 - 7 tahun. Masa ini disebut subfase
berpikir secara intuitif karena pada saat ini anah kelihatannva mengerti dan mengetahui
sesuatu, seperti menyusun balok meniadi rumah-rumahan, akan tetapi pada hakikatnya
tidak mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan balok itu dapat disusun meniadi
rumah. Dengan kata lain, anak belum memiliki kemampuan untuk berpikir secara kritis
tentang apa yang ada dibalik suatu kejadian.

c. Fase Operasi Konkret (usia 7- 12 tahun)


Pada fase operasi konkret, kemampuan anak untuk berpikir secara logis sudah
berkembang, dengan syarat, obyek yang menjadi sumber berpikir logis tersebut hadir
secara konkret. Kemampuan berpikir logis ini terwujud dalarn kemampuan
mengklasifikasikan obyek sesuai dengan klasifikasinya, mengurutkan benda sesuai
dengan urutannya, kemampuan untuk memahami cara pandang orang lain, dan
kemampuan berpikir secara deduktif.

d. Fase Operasi Formal (12 tahun sampai usia dewasa)

Fase operasi formal ditandai oleh perpindahan dari cara berpikir konkret ke cara
berpikir abstrak. Keulampuan berpikir abstrak dapat dilihat dari kemampuan
mengemukakan ide-ide, memprediksi kejadian yang akan terjadi, dan melakukan proses
berpikir ilmiah, yaitu mengemukakan hipotesis dan menentukan cara untuk membuktikan
kebenaran hipotesis.

2. TAHAPAN-TAHAPAN PERKEMBANGAN BAHASA ANAK

Kemampuan berbahasa anak tidak diperoleh sekaligus


(http://pustaka.ut.ac.id/puslata/online.php?menu=bmpshort_detail2&ID=265).
Keterampilan berbicara misalnya, dimiliki anak melalui tahap-tahap berikut ini:

a. Tahap pralinguistik, yaitu fase perkembangan bahasa di mana anak belum mampu
menghasilkan bunyi-bunyi yang bermakna. Bunyi yang dihasilkan seperti tangisan,
rengekan, dekutan, dan celotehan hanya merupakan sarana anak untuk melatih gerak
artikulatorisnya sampai ia mampu mengucapkan kata-kata yang bermakna.

b. Tahap satu-kata, yaitu fase perkembangan bahasa anak yang baru mampu
menggunakan ujaran satu-kata. Satu-kata itu mewakili ide dan tuturan yang lengkap.

c. Tahap dua-kata, yaitu fase anak telah mampu menggunakan dua kata dalam
pertuturannya.
d. Tahap banyak-kata, yaitu fase perkembangan bahasa anak yang telah mampu bertutur
dengan menggunakan tiga-kata atau lebih dengan penguasaan gramatika yang lebih
baik.

Pada tahap-tahap di atas secara implisit berkembang pula pengetahuan anak tentang
subsistem-subsistem bahasa seperti fonologi, gramatika, semantik, dan pragmatik.

Menurut Piaget dan Vygotsky (dalam http://bahauddin


amyasi.blogspot.com/2008/11/perkembangan-bahasa-anak.html), tahap-tahap
perkembangan bahasa anak adalah sebagai berikut:

a. Tahap Meraban (Pralingustik) Pertama (0,0 0,5)

Pada tahap meraban pertama, selama bulan-bulan awal kehidupan, bayi-bayi


menangis, mendekut, mendenguk, menjerit, dan tertawa. Bunyian-bunyian seperti itu
dapat ditemui dalam segala bahasa di dunia.

Pada hakikatnya komprehensi adalah proses interaktif yang melibatkan berbagai


koalisi antara lima faktor, yakni: sintetik, konteks lingkungan, konteks sosial, informasi
leksikal dan prosodi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahasa tidak diturunkan
melainkan dapat dikuasai melalui proses pemerolehan yang harus dipelajari dan ada yang
mengajari.
b. Tahap Meraban Kedua (0,5-1,0)

Pada tahap ini anak mulai aktif tidak sepasif sewaktu berada pada tahap meraban
pertama. Secara fisik ia sudah dapat melakukan gerakan-gerakan seperti memegang dan
mengangkat benda atau menunjuk. Berkomunikasi dengan mereka mulai mengasyikan
karena mereka mulai aktif memulai komunikasi.

c. Tahap Linguistik

Jika pada tahap pralinguistik pemerolehan bahasa anak belum menyerupai bahasa
orang dewasa maka pada tahap ini anak mulai bisa mengucapkan bahasa menyerupai
ujaran orang dewasa. Para ahli psikolinguistik membagi tahap ini kelima tahapan yaitu:

1) Tahap I, Tahap Holofrastik (tahap linguistik pertama)

Tahap holofrase ini dialami oleh anak normal yang berusia sekitar 1-2 tahun. Waktu
berakhirnya tahap ini tidak sama pada setiap anak. Ada anak yang lebih cepat
mengakhirinya, tetapi ada pula yang sampai umur anak 3 tahun. Pada tahap ini
gerakan fisik seperti menyentuh, menunjuk, mengangkat benda dikombinasikan
dengan satu kata. Seperti halnya gerak isyarat, kata pertama yang dipergunakan
bertujuan untuk memberi komentar terhadap objek atau kejadian di dalam
lingkungannya. Satu kata itu dapat berupa perintah, pemberitahuan, penolakan,
pertanyaan, dan lain-lain. Adapun kata-kata pertama yang diucapkan berupa objek
atau kejadian yang sering ia dengar dan ia lihat. Contoh kata-kata pertama yang
biasanya dikuasai anak adalah: pipis (buang air kecil), mamam atau maem (makan),
mah (mamah), pak (bapak), bo (tidur).

2) Tahap Linguistik II: Kalimat Dua Kata

Tahap linguistik kedua ini biasanya menjelang hari ulang tahun kedua. Pada usia
sekitar 2-3 tahun. Anak-anak memasuki tahap ini dengan pertama sekali
mengucapkan dua holofrase dalam rangkaian yang cepat, misal: mama masak, adik
minum, papa pigi (ayah pergi). Ketrampilan anak pada akhir tahap ini makin luar
biasa. Komunikasi yang ingin disampaikan adalah bertanya dan meminta. Kata-kata
yang digunakan untuk itu sama seperti perkembangan awal yaitu: sini, sana, lihat, itu,
ini, lagi, mau dan minta.

3) Tahap Lingusitik III, Pengembangan Tata Bahasa

Tahap ini dimulai sekitar usia anak 2,6 tahun, tetapi ada juga sebagian anak yang
memasuki tahap ini ketika memasuki usia 2,0 tahun, bahkan ada juga anak yang
melambat yaitu ketika anak berumur 3,0 tahun. Pada tahap ini makin luar biasa.
Tahap ini pada umumnya dialami oleh anak berusia sekitar 2,5 tahun-5 tahun.
Sebenarnya perkembangan bahasa anak pada tahap ini bervariasi. Umumnya pada
tahap ini anak sudah dapat bercakap-cakap dengan teman sebaya dan aktif memulai
percakapan.

4) Tahap Lingusitik IV: Tata Bahasa Menjelang Dewasa/Pradewasa

Tahap perkembangan bahasa anak yang cepat ini biasanya dialami anak yang sudah
berumur oleh anak yang sudah berumur antara 4-5 tahun. Pada tahap ini anak-anak
sudah mulai menerapkan struktur tata bahasa dan kalimat-kalimat yang agak lebih
rumit, misal, kalimat majemuk sederhana, seperti dibawah ini:

Mau nonton sambil makan keripik


Aku disini, kakak disana
Mama beli sayur dan kerupuk
Ani lihat kakek dan nenek dijalan
Ayo nyanyi dan nari
Kakak, adik dari mana

Dari contoh kalimat-kalimat di atas, tampak anak sudah terampil bercakap-cakap.


Kemampuan menghasilkan kalimat-kalimatnya sudah beragam, ada kalimat
pernyataan/kalimat berita, kalimat perintah dan kalimat tanya. Kemunculan kalimat-
kalimat rumit diatas menandakan adanya peningkatan kemampuan bahasa anak.
5) Tahap Linguistik V: Kompetensi Penuh

Sekitar usia 5-7 tahun, anak-anak mulai memasuki tahap yang disebut sebagai
kompetensi penuh. Sejak usia 5 tahun pada umumnya anak-anak yang
perkembangannya normal telah menguasai elemen-elemen sintaksis bahasa ibunya
dan telah memiliki kompentensi (pemahaman dan produktivitas bahasa) secara
memadai. Walau demikian, perbendaharaan katanya masih terbatas tetapi terus
berkembang/bertambah dengan kecepatan yang mengagumkan. Selama periode ini,
anak-anak dihadapkan pada tugas utama mempelajari bahasa tulis. Hal ini
dimungkinkan setelah anak-anak menguasi bahasa lisan. Perkembangan bahasa anak
pada periode usia sekolah dasar ini meningkat dari bahasa lisan ke bahasa tulis.
Kemampuan mereka menggunakan bahasa berkembang dengan adanya pemerolehan
bahasa tulis atu written language acquisition. Bahasa yang diperoleh dalam hal ini
adalah bahasa yang ditulis oleh penutur bahasa tersebut, dalam hal ini guru tau
penulis. Jadi anak mulai mengenal media lain pemerolehan bahasa yaitu tulisan,
selain pemerolehan bahasa lisan pada masa awal kehidupannya.

Ada tiga faktor paling signifikan yang mempengaruhi anak dalam berbahasa, yaitu
biologis, kognitif dan lingkungan. Faktor biologis adalah salah satu landasan
perkembangan bahasa untuk membentuk manusia menjadi seorang manusia linguistik.
Setiap anak mempunyai language acquisition device (LAD), yaitu kemampuan alamiah
anak untuk berbahasa. Tahun-tahun awal masa anak-anak merupakan periode yang
penting untuk belajar bahasa. Faktor kognitif individu merupakan satu hal yang tidak bisa
dipisahkan pada perkembangan bahasa anak. Para ahli kognitif juga menegaskan bahwa
kemampuan anak berbahasa tergantung pada kematangan kognitifnya (Piaget,1954 dalam
http://kuliahpsikologi.dekrizky.com/psikologi-perkembangan-kognisi-dan-bahasa). Tahap
awal perkembangan intelektual anak terjadi dari lahir-2 tahun, pada masa itu anak
mengenal dunianya melalui sensasi yang didapat dari inderanya dan membentuk persepsi
mereka akan segala hal yang berada di luar dirinya.
Secara umum, perkembangan keterampilan berbahasa pada individu menurut Berk
(1989) dalam http://kuliahpsikologi.dekrizky.com/psikologi-perkembangan-kognisi-dan-
bahasa , dapat dibagi ke dalam empat komponen, yaitu:

a. Fonologi (phonology)
b. Semantik (semantic)
c. Tata bahasa (grammar)
d. Pragmatic (pragmatics)

a. Fonologi

Individu memahami dan menghasilkan bunyi bahasa, Jika kita pernah mengunjungi
daerah lain atau Negara lain yang bahasanya tidak kita mengerti boleh jadi kita akan
kagum, heran, atau bingung karena bahasa orang asli di sana terdengar begitu cepat dan
sepertinya tidak putus-putus antara satu kata dengan kata yang lain. Sebaliknya, orang
asing yang sedang belajar bahasa kita juga sangat mungkin mengalami hambatan karena
tidak familier dengan bunyi kata-kata dan pola intonasinya. Bagaimana seseorang
memperoleh fasilitas kemampuan memahami bunyi kata dan intonasi merupakan sejarah
perkembangan fonologi.

b. Semantik

Merujuk kepada makna kata atau cara yang mendasari konsep-konsep yang
ekspresikan dalam kata-kata atau kombinasi kata. Setelah selesai masa prasekolah, anak-
anak memperoleh sejumlah kata-kata baru dalam jumlah yang banyak. Penelitian intensif
tentang perkembangan kosa kata pada anak-anak diibaratkan oleh Berk (1989) sebagai
sejauh mana kekuatan anak untuk memahami ribuan pemetaan kata-kata ke dalam
konsep-konsep yang dimiliki sebelumnya meskipun belum tertabelkan dalam dirinya dan
kemudian menghubungkannya dengan kesepakatan dalam bahasa masyarakatnya.
c. Tata Bahasa

Penguasaan kosa kata adalah salah satu cara untuk berkomunikasi. Pengetahuan tata
bahasa meliputi dua aspek utama.

1. Sintak (syntax), yaitu aturan-aturan yang mengatur bagaimana kata-kata disusun ke


dalam kalimat yang dipahami.

2. Morfologi (morphology), yaitu aplikasi gramatikal yang meliputi jumlah, tenses, kasus,
pribadi, gender, kalimat aktif, kalimat pasif, dan berbagai makna lain dalam bahasa.

d. Pragmatik

Pragmatik berkenaan dengan bagaimana menggunakan bahasa dengan baik ketika


berkomunikasi dengan orang lain. Di dalamnya meliputi bagaimana mengambil
kesempatan yang tepat, mencari dan menetapkan topik yang relevan, mengusahakan agar
benar-benar komunikatif, bagaimana menggunakan bahasa tubuh (gesture), intonasi
suara, dan menjaga konteks agar pesan-pesan verbal yang disampaikan dapat dimaknai
dengan tepat oleh penerimanya.

Pragmatik juga mencakup di dalamnya pengetahuan sosiolinguistik, yaitu bagaimana


suatu bahasa harus diucapkan dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Agar dapat
berkomunikasi dengan berhasil, seseorang harus memahami dan menerapkan cara-cara
interaksi dan komunikasi yang dapat diterima oleh masyarakat tertentu, seperti ucapan
selamat datang dan selamat tinggal serta cara mengucapkannya. Selain itu, seseorang
juga harus memperhatikan tata krama berkomunikasi berdasarkan hirarki umur atau
status sosial yang masih dijunjung tinggi dalam suatu masyarakat tertentu.
B. PEMEROLEHAN BAHASA ANAK
1. HAKIKAT PEMEROLEHAN BAHASA ANAK

Pemerolehan bahasa anak melibatkan dua keterampilan, yaitu kemampuan untuk


menghasilkan tuturan secara spontan dan kemampuan memahami tuturan orang lain. Jika
dikaitkan dengan hal itu maka yang dimaksud dengan pemerolehan bahasa adalah proses
pemilikan kemampuan berbahasa, baik berupa pemahaman ataupun pengungkapan,
secara alami, tanpa melalui kegiatan pembelajaran formal (Tarigan dkk. , 1998 dalam
Faisal dkk, 2009:2-3). Selain pendapat tersebut Kiparsky dalam Tarigan (1988) dalam
Faisal dkk (2009:2-3) mengatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah suatu proses yang
digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis dengan ucapan
orang tua sampai dapat memilih kaidah tata bahasa yang paling baik dan paling
sederhana dari bahasa persangkutan.

Dengan demikian, proses pemerolehan adalah proses bawah sadar. Penguasaan


bahasa tidak disadari dan tidak dipengaruhi oleh pengajaran yang secara eksplisit tentang
system kaidah yang ada didalam bahasa kedua. Berbeda dengan proses pembelajaran,
adalah proses yang dilakukan secara sengaja atau secara sadra dilakukan oleh pembelajar
di dalam menguasai bahasa.

Adapun karakteristik pemerolehan bahasa menurut Tarigan dkk (1998) dalam Faisal
dkk (2009:2-4) adalah :

a. Berlangsung dalam situasi formal, anak-anak belajar bahasa tanpa beban dan di
luar sekolah;
b. Pemilikan bahasa tidak melalui pembelajaran formal dilembaga-lembaga
pendidikan seperti sekolah atau kursus;
c. Dilakukan tanpa sadar atau spontan; dan
d. Dialami langsung oleh anak dan terjadi dalam konteks berbahasa yang bermakna
bagi anak.
2. PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA DAN KEDUA

a. Pemerolehan Bahasa Pertama

Pemerolehan bahasa anak dimulai ketika anak mengenal komunikasinya secara


verbal. Pemerolehan bahasa pertama terjadi bila anak pada awal kehidupannya tanpa
bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa perolehan bahasa tersebut, bahasa
anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk atau struktur bahasanya.
Anak akan mengucap kata berikutnya untuk keperluan komunikasinya dengan orang tua
atau kerabat dekatnya.

Gracia (http://massofa.wordpress.com/2008/01/28/pemerolehan-bahasa-pertama-dan-
bahasa-kedua/) mengatakan bahwa pemerolehan bahasa anak dapat dikatakan
mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari
ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit (sintaksis).

Ada dua pandangan mengenai pemerolehan bahasa (McGraw


http://massofa.wordpress.com/2008/01/28/pemerolehan-bahasa-pertama-dan-bahasa-
kedua/). Pertama pemerolehan bahasa mempunyai permulaan mendadak atau tiba-tiba.
Kebebasan berbahasa dimulai sekitar satu tahun ketika anak-anak menggunakan kata-
kata lepas atau terpisah dari simbol pada kebahasaan untuk mencapai aneka tujuan sosial
mereka. Pandangan kedua menyatakan bahwa pemerolehan bahasa memiliki suatu
permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial dan
kemampuan kognitif pralinguistik.

Lenneberg salah seorang ahli teori bahasa yang sangat terkenal (1969) (dalam
http://massofa.wordpress.com/2008/01/28/pemerolehan-bahasa-pertama-dan-bahasa-
kedua/), mengatakan bahwa perkembangan bahasa bergantung pada pematangan otak
secara biologis. Pematangan otak memungkinkan ide berkembang dan selanjutnya
memungkinkan pemerolehan bahasa anak berkembang. Terdapat banyak bukti, manusia
memiliki warisan biologis yang sudah ada sejak lahir berupa kesanggupannya untuk
berkomunikasi dengan bahasa, khusus untuk manusia, bukti yang memperkuat
pendapatnya itu antara lain:
1. Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan
fisiologi manusia, seperti bagian otak tertentu yang mendasari bahasa. Tingkat
perkembangan bahasa anak sama bagi semua anak normal.
2. Kelainan hanya sedikit berpengaruh terhadap keterlambatan perkembangan bahasa
anak.
3. Bahasa tidak dapat diajarkan kepada makhluk lain.
4. Bahasa bersifat universal, setiap bahasa dilandasi unsur fonologi, semantik dan
sintaksis yang universal.

Lebih lanjut Steinberg (1990) dalam


http://massofa.wordpress.com/2008/01/28/pemerolehan-bahasa-pertama-dan-bahasa-
kedua/, seorang ahli psikolinguistik, menjelaskan perihal hubungan bahasa dan pikiran.
Menurutnya sistem pikiran yang terdapat pada anak-anak dibangun sedikit-demi sedikit
apabila ada rangsangan lingkungan sekitarnya sebagai masukan.

Strategi pemerolehan Bahasa Pertama

Anak-anak dalam proses pemerolehan bahasa pertama pada umumnya


menggunakan 4 strategi.

Strategi pertama adalah meniru/imitasi. Tiruan akan digunakan anak terus,


meskipun ia sudah dapat sempurna melafalkan bunyi. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa strategi tiruan atau strategi imitasi ini akan menimbulkan masalah
besar. Mungkin ada orang berkata bahwa imitasi adalah mengatakan sesuatu yang
sama seperti yang dikatakan orang lain. Akan tetapi ada banyak pertanyaan yang
harus dijawab berkenaan dengan hal ini.

Berbagai penelitian menemukan ada berbagai ragam peniruan atau imitasi seperti:

1. Imitasi Spontan atau Spontaneous Imitation.


2. Imitasi perolehan atau Elicited Imitation.
3. Imitasi Segera atau Immediate Imitation.
4. Imitasi Lambat atau Delayed Imitation.
5. Imitasi Perluasan atau Imitation With Expansion.
Strategi kedua dalam pemerolehan bahasa adalah strategi produktivitas.
Produktivitas berarti kefektifan dan keefisienan dalam pemerolehan bahasa melalui
sarana komunikasi linguistik dan nonlinguistik (mimik, gerak, isyarat, suara, dsb).
Produktivitas adalah ciri utama bahasa. Dengan satu kata seorang anak dapat
bercerita atau mengatakan sebanyak mungkin hal. Kata papa misalnya dapat
mengandung berbagai makna bergantung pada situasi dan intonasi.

Strategi ketiga adalah strategi umpan balik, yaitu umpan balik antara strategi
produksi ujaran (ucapan) dengan responsisi. Dengan strategi ini anak-anak
dihadapkan pada pedoman: hasilkanlah ujaran dan lihatlah bagaimana orang lain
memberi responsi. Stategi produktif bersifat sosial dalam pengertian bahwa strategi
tersebut dapat meningkatkan interaksi dengan orang lain dan sementara itu bersifat
kognitif juga. Hal itu dapat memberikan umpan balik kepada pelajar mengenai
ekspresinya sendiri terhadap makna dan juga memberinya sampel yang lebih banyak,
yaitu sampel bahasa untuk digarap atau dikerjakan.

Strategi keempat adalah apa yang disebut prinsip operasi. Dalam strategi ini anak
dikenalkan dengan pedoman. Gunakan beberapa prinsip operasi umum untuk
memikirkan serta menggunakan bahasa(hindarkan kekecualian, prinsip khusus;
seperti kata; berajar menjadi belajar).

b. Pemerolehan Bahasa Kedua

Pemerolehan bahasa kedua dimaknai saat seseorang memperoleh sebuah bahasa lain
setelah terlebih dahulu ia menguasai sampai batas tertentu bahasa pertamanya (bahasa
ibu). Ada juga yang menyamakan istilah bahasa kedua sebagai bahasa asing.

Terdapat perbedaan dalam proses belajar bahasa pertama dan bahasa kedua. Proses
belajar bahas pertama memiliki ciri-ciri:

1. Belajar tidak disengaja.


2. Berlangsung sejak lahir.
3. Lingkungan keluarga sangat menentukan.
4. Motivasi ada karena kebutuhan.
5. Banyak waktu untuk mencoba bahasa.
6. Banyak kesempatan untuk berkomunikasi.

Pada proses belajar bahasa kedua terdapat ciri-ciri;

1. Belajar bahasa disengaja, misalnya karena menjadi salah satu mata pelajaran di
sekolah.
2. Berlangsung setelah pelajar berada di sekolah.
3. Lingkungan sekolah sangat menentukan.
4. Motivasi pelajar untuk mempelajarinya tidak sekuat mempelajari bahasa pertama.
5. Waktu belajar terbatas.
6. Pelajar tidak mempunyai banyak waktu untuk mempraktikkan bahasa yang
dipelajari.
7. Bahasa pertama mempengaruhi proses belajar bahasa kedua.
8. Umur kritis mempelajari bahasa kedua kadang-kadang telah lewat sehingga
proses belajar bahasa kedua berlangsung lama.
9. Disediakan alat bantu belajar.
10. Ada orang yang mengorganisasikannya, yakni guru dan sekolah.

Strategi Belajar Bahasa Kedua

Perlu diingat bahwa strategi-strategi yang telah dikenal perlu dibagi ke dalam
komponen-komponennya.

Strategi pertama berpegang, pada semboyan: gunakanlah pemahaman


nonlinguistik Anda sebagai dasar untuk penetapan atau pemikiran bahasa, Strategi ini
berlangsung dan beroperasi pada tahap umum dalam karya Brown mengenai dasar
kognitif ujaran tahap I. Strategi pertama ini memiliki rerata Panjang Ucapan; rata-rata
(PUR) sebesar 1,75, dan Loncatan Atas (LA) sebesar 5. Adapun objek dan persona
terus-menerus ada walaupun di luar jangkauan pandangan yang merupakan
pemahaman nonlinguistik yang menjadi dasar atau landasan bagi pengarah bahasa
atau terjemahan anak-anak terhadap ketidakstabilan atau kemudahan mengalirkan
pemikiran ke dalam kategori-kategori bahasa yang lebih pasti. Penggunaan
pemahaman nonlinguistik untuk memperhitungkan serta menetapkan hubungan-
hubungan makna-ekspresi bahasa merupakan suatu strategi yang amat persuasif atau
dapat merembes pada diri anak-anak.

Strategi kedua berpegang pada semboyan: gunakan apa saja atau segala sesuatu
yang penting, yang menonjol dan menarik hati Anda. Ada dua ciri yang kerap kali
penting dan menonjol bagi anak-anak kecil dan berharga bagi sejumlah kata-kata
pertama mereka yaitu objek-objek yang dapat membuat anak-anak aktif dan giat
(misalnya kunci, palu, kaos kaki, topi) dan objek-objek yang bergerak dan berubah
(seperti mobil, jam). Sifat-sifat atas ciri-ciri perseptual dapat bertindak sebagai butir-
butir atau titik-titik vokal bagi anak-anak (misalnya bayangan, ukuran, bunyi, rasa,
bentuk). Anak-anak memperhatikan objek-objek yang mewujudkan hal-hal yang
menarik hati ini; dan mereka memperhatikan cara menamai objek-objek itu dalam
masyarakat bahasa. Perhatian anak-anak juga bisa pada unsur bahasa yang
memainkan peranan penting sintaksis dan semantik dalam kalimat. Pusat perhatian
tertentu bagi seorang anak mungkin saja berbeda pada periode yang berbeda pada
setiap anak.

Strategi ketiga berpegang pada semboyan: anggaplah bahwa bahasa dipakai


secara referensial atau ekspresif dan dengan demikian menggunakan data bahasa.
Anak-anak kelompok referensial memiliki 50 kata pertama mencakup suatu proporsi
nomina umum yang tinggi dan yang seakan-akan melihat fungsi utama bahasa
sebagai penamaan objek-objek. Anak kelompok ekspresif memiliki 50 kata pertama
secara proporsional mencakup lebih banyak kata yang dipakai dalam ekspresi-
ekspresi sosial (seperti terima kasih, jangan begitu) dan lebih sedikit nama-nama
objek yang melihat bahasa (terutama sekali) sebagai pelayanan fungsi-fungsi sosial
efektif. Kedua kelompok anak itu menyimak bahasa sekitar mereka secara berbeda.
Kelompok yang satu memperlakukan bahasa yang dipakai untuk mengacu, sedangkan
kelompok yang satu lagi, kepada bahasa yang dipakai untuk bergaul, bersosialisasi.
Ada tujuh fungsi bahasa yaitu fungsi instrumental, fungsi regulasi, fungsi
representasi, fungsi interaksi, fungsi personal, fungsi heuristik, dan fungsi imajinatif.
Fungsi instrumental bahasa berkaitan dengan pengelolaan lingkungan,
mengkomunikasikan tindak. Fungsi regulasi atau pengaturan berkenaan dengan
pengendalian peristiwa, penentuan hukum dan kaidah, pernyataan setuju tidak setuju.
Fungsi representasi berkenaan dengan pernyataan, menjelaskan melaporkan. Fungsi
interaksi berkaitan dengan hubungan komunikasi sosial. Fungsi personal berkenaan
dengan kemungkinan seorang pembicara mengemukakan perasaan, emosi, dan
kepribadian. Fungsi heuristik berkaitan dengan perolehan pengetahuan dan belajar
tentang lingkungan. Fungsi imajinatif berkaitan dengan daya cipta imajinasi dan
gagasan.

Strategi keempat berpegang pada semboyan: amatilah bagaimana caranya orang


lain mengekspresikan berbagai makna. Strategi ini baik diterapkan pada anak yang
berbicara sedikit dan seakan-akan mengamati lebih banyak, bertindak selektif,
menyimak, mengamati untuk melihat bagaimana makna dan ekspresi verbal saling
berhubungan. Strategi ini mengingatkan kepada gaya atau preferensi belajar yang
berbeda pada anak-anak yang berlainan usia dalam situasi belajar yang lain pula.

Strategi kelima berpegang pada semboyan: ajukanlah pertanyaan-pertanyaan


untuk memancing atau memperoleh data yang Anda inginkan, anak berusia sekitar
dua tahun akan sibuk membangun dan memperkaya kosakata mereka. Banyak di
antara mereka mempergunakan siasat bertanya atau strategi pertanyaan. Siasat ini
seolah-olah merupakan sesuatu yang efektif, karena setiap kali dia bertanya: apa nih?
apa tu? maka teman bicaranya mungkin menyediakan label atau, nama yang tepat.

C. PEMBELAJARAN BAHASA ANAK

METODE PEMBELAJARAN BAHASA DI KELAS RENDAH


a. Metode Eja
Pembelajaran MMP dengan metode eja memulai pengajarannya dengan mem-
perkenalkan huruf-huruf secara alpabetis. Huruf-huruf tersebut dihafalkan dan
dilafalkan murid sesuai dengan bunyinya menurut abjad. Sebagai contoh A a, B b, C c,
D d, E e, F f dan seterusnya, dilafalkan sebagai a, be, ce, de, e, ef, dan seterusnya.
Kegiatan ini diikuti dengan latihan menulis lambang tulisan, seperti a, b, c, d, dan
seterusnya atau dengan huruf rangkai, a, b, c, d, dan seterusnya.
Setelah melalui tahapan ini, para murid diajarkan untuk berkenalan dengan suku
kata dengan cara merangkaikan beberapa huruf yang sudah dikenalnya.
Misalnya : b, a ba (dibaca be. a ba)
d, u du (dibaca de. u du)
ba-du dilafalkan badu
b, u, k,u menjadi b,u bu (dibaca be, u bu)
k,u ku (dibaca ka,u ku)
Proses ini sama dengan menulis permulaan, setelah murid-murid dapat menulis
huruf-huruf lepas, kemudian dilanjutkan dengan belajar menulis rangkai huruf yang
berupa suku kata. Sebagai contoh, ambillah kata badu tadi. Selanjutnya, murid
diminta menulis seperti ini: ba du badu.
Proses pembelajaran selanjutnya adalah pengenalan kalimat-kalimat sederhana.
Contoh-contoh perangkaian huruf menjadi suku kata, suku kata menjadi kata, dan kata
menjadi kalimat diupayakan mengikuti prinsip pendekatan spiral, pendekatan
komunikatif, dan pendekatan pengalaman berbahasa. Artinya, pemilihan bahan ajar
untuk pembelajaran MMP hendaknya dimulai dari hal-hal yang konkret menuju hal-hal
yang abstrak, dari hal-hal yang mudah, akrab, familiar dengan kehidupan murid
menuju hal-hal yang sulit dan mungkin merupakan sesuatu yang baru bagi murid.
Kelemahan yang mendasar dari penggunaan metode eja ini meskipun murid
mengenal dan hafal abjad dengan baik, namun murid tetap mengalami kesulitan dalam
mengenal rangkaian-rangkaian huruf yang berupa suku kata atau kata. Anak yang baru
mulai belajar membaca, mungkin akan mengalami kesukaran dalam memahami sistem
pelafalan bunyi b dan a dilafalkan /a/. Mengapa kelompok huruf ba dilafalkan /ba/,
bukan /bea/, seperti tampak pada pelafalan awalnya? Hal ini, tentu akan
membingungkan murid. Penanaman konsep hafalan abjad dengan menirukan bunyi
pelafalannya secara mandiri, terlepas dari konteksnya, menyebab-kan murid
mengalami kebingungan manakala menghadapi bentukan-bentukan baru, seperti
bentuk kata dan bentuk kata tadi.
Di samping hal tersebut, hal lain yang dipandang sebagai kelemahan dari
penggunaan metode ini adalah dalam pelafalan diftong dan fonem-fonem rangkap,
seperti ng , ny , kh, au, oi, dan sebagainya. Sebagai contoh fonem ng, murid-murid
mengenal huruf tersebut sebagai /en/ dan /ge/. Dengan demikian, mereka
berkesimpulan bahwa fonem itu jika dilafalkan akan menjadi /enge/ atau /neg/ atau
/nege/.
Bertolak dari kedua kelemahan tersebut, tampaknya proses pembelajaran melalui
sistem tubian dan hafalan akan mendominasi proses pembelajaran MMP dengan
metode ini. Pada hal, seperti yang Anda ketahui, pendekatan CBSA meru-pakan ciri
utama dari pelaksanaan Kurikulum SD yang saat ini berlaku. Prinsip menemukan
sendiri sebagai cerminan dari pendekatan CBSA dalam proses pem-belajaran menjadi
terabaikan bahkan terhapus dengan penggunaan metode ini.

2. Metode Suku Kata dan Metode Kata


Proses pembelajaran MMP dengan metode ini diawali dengan pengenalan suku kata,
seperti ba, bi, bu, be, bo, ca, ci, cu, ce, co, da, di, du, de, do, ka, ki, ku, ke, ko dan
seterusnya. Suku-suku kata tersebut kemudian dirangkaikan menjadi kata-kata bermakna.
Sebagai contoh, dari daftar suku kata tadi, guru dapat membuat berbagai variasi paduan
suku kata menjadi kata-kata bermakna, untuk bahan ajar MMP. Kata-kata tadi misalnya:
ba - bi cu - ci da - da ka - ki
ba - bu ca - ci du - da ku - ku
bi - bi ci - ca da - du ka - ku
ba - ca ka - ca du - ka ku - da
Kegiatan ini dapat dilanjutkan dengan proses perangkaian kata menjadi kalimat
sederhana. Contoh perangkaian kata menjadi kalimat dimaksud, seperti tampak pada pada
contoh di bawah ini.
ka - ki ku - da
ba - ca bu - ku
cu - ci ka - ki (dan seterusnya)
Proses perangkaian suku kata menjadi kata, kata menjadi kalimat sederhana,
kemudian ditindaklanjuti dengan proses pengupasan atau penguraian bentuk-bentuk
tersebut menjadi satuan bahasa terkecil di bawahnya, yakni dari kalimat ke dalam kata dan
kata ke dalam suku-suku kata. Proses pembelajaran MMP yang melibatkan kegiatan
merangkai dan mengupas, kemudian dilahirkan istilah lain untuk metode ini, yakni Metode
Rangkai Kupas.
Jika kita simpulkan, langkah-langkah pembelajaran MMP dengan metode suku
adalah:
a. tahap pertama, pengenalan suku-suku kata;
b. tahap kedua, perangkaian suku-suku kata menjadi kata;
c. tahap ketiga, perangkaian kata menjadi kalimat sederhana
d. tahap keempat, pengitegrasian kegiatan perangkaian dan pengupasan
(kalimat kata-kata suku-suku kata)
Metode suku kata/silaba, saat ini tampaknya sedang populer dalam pembelajaran
baca tulis Al-Quran. Dalam pembelajaran baca tulis Al-Quran, metode ini dikenal dengan
istilah Metode Iqro
Proses pembelajaran MMP seperti yang digambarkan dalam langkah-langkah di atas
dapat pula dimodifikasi dengan mengubah objek pengenalan awalnya. Sebagai contoh,
proses pembelajaran MMP diawali dengan pengenalan sebuah kata tertentu. Kata ini,
kemudian dijadikan lembaga sebagai dasar untuk pengenalan suku kata dan huruf. Artinya
kata dimaksud diuraikan (dikupas) menjadi suku kata, suku kata menjadi huruf-huruf.
Selanjutnya, dilakukan proses perangkaian huruf menjadi suku kata dan suku kata menjadi
kata. Dengan kata lain, hasil pengupasan tadi dikembalikan lagi ke bentuk asalnya sebagai
kata lembaga (kata semula).
Proses pembelajaran MMP dengan metode ini melibatkan serangkaian proses
pengupasan dan perangkaian. Oleh sebab itu, metode ini dikenal juga sebagai
Metode Kupas Rangkai. Sebagian orang menyebutnya Metode Kata atau Metode
Kata lembaga.

3. Metode Global
Sebagian orang mengistilahkan metode ini sebagai Metode Kalimat. Global artinya
secara utuh dan bulat. Dalam metode global yang disajikan pertama kali kepada murid
adalah kalimat seutuhnya. Kalimat tersebut dituliskan di bawah gambar yang sesuai
dengan isi kalimatnya. Gambar itu ditujukan untuk mengingat-kan murid kepada kalimat
yang ada di bawahnya. Setelah berkali-kali membaca, murid dapat membaca kalimat-
kalimat itu secara global tanpa gambar.
Sebagai contoh, di bawah ini dapat Anda lihat bahan ajar untuk MMP yang
menggunakan metode global.
a. Memperkenalkan gambar dan kalimat
b. Menguraikan salah satu kalimat menjadi kata; kata menjadi suku kata;suku
c. Kata menjadi huruf-huruf.
ini mama
ini mama
i-ni ma ma
i-n-i m-a m-a

4. Metode Struktural Analisis Sintesis (SAS)


Pada bagian ini, Anda akan mempelajari tentang pengertian metode SAS; landasan
metode SAS; peranan metode SAS; kebaikan dan kelemahan metode; pemilihan bahan dan
urutan pembelajaran dengan metode SAS; prinsip pengajaran dengan metode SAS; teknik
pembelajaran dengan metode SAS; dan prosedur penggunaan metode SAS.
Pengertian
Metode SAS merupakan singkatan dari Struktural Analitik Sintetik. Metode SAS
merupakan salah satu jenis metode yang biasa digunakan untuk proses pembelajaran MMP
bagi siswa pemula. Pembelajaran MMP dengan metode ini mengawali pembelajarannya
dengan dua tahap, yakni menampilkan dan memper-kenalkan sebuah kalimat utuh. Mula-
mula anak disuguhi sebuah struktur yang memberi makna lengkap, yakni struktur kalimat.
Hal ini dimaksudkan untuk mem-banguan konsep-konsep kebermaknaan pada diri anak.
Akan lebih baik jika struktur kalimat yang disajikan sebagai bahan pembelajaran MMP
dengan metode ini adalah struktur kalimat yang digali dari pengalaman berbahasa si
pembelajar itu sendiri. Untuk itu, sebelum kegiatan belajar-mengajar (KBM) MMP yang
sesungguhnya dimulai, guru dapat melakukan pra-KBM melalui berbagai cara. Sebagai
contoh, guru dapat memanfaatkan gambar, benda nyata, tanya jawab in-formal untuk
menggali bahasa siswa. Setelah ditemukan suatu struktur kalimat yang dianggap cocok
untuk materi MMP dimulai dengan pengenalan struktur kalimat.
Kemudian, melalui proses analitik, anak-anak diajak untuk mengenal konsep kata.
Kalimat utuh dijadikan tonggak dasar untuk pembelajaran membaca permulaan ini
diuraikan ke dalam satuan-satuan bahasa yang lebih kecil yang disebut kata. Proses
penganalisisan atau penguraian ini terus berlanjut hingga sampai pada wujud satuan bahasa
terkecil yang tidak bisa diuraikan lagi, yakni huruf-huruf. Dengan demikian, proses
penguraian/pengalisisan dalam pembelajaran MMP dengan metode SAS, meliputi:
1. kalimat menjadi kata-kata;
2. kata menjadi suku-suku kata; dan
3. suku kata menjadi huruf-huruf.
Metode SAS ini bersumber dari ilmu jiwa Gestalt, suatu aliran dalam ilmu jiwa
totalitas yang timbul sebagai reaksi atas ilmu jiwa unsuri. Psikologi Gestalt menganggap
segala penginderaan dan kesadaran sebagai suatu keseluruhan. Artinya, keseluruhan lebih
tinggi nilainya daripada jumlah bagian masing-masing. Jadi, pengamatan pertama atau
penglihatan orang-orang atas sesuatu bersifat menyeluruh atau global.
Landasan Metode SAS
Pengembangan metode SAS dilandasi oleh filsafat strukturalisme, psikologi Gestalt,
landasan pedagogik, dan landasan kebahasaan (Subana, tanpa tahun : 178-180)
1. Landasan Filsafat Strukturalisme
Filsafat strukturalisme merumuskan bahwa segala sesuatu yan ada di dumia
merupakan suatu struktur yang terdiri atas berbagai kompomnen yag terorganisasikan
secara teratur. Setiap komponen terdiri atas bagian yang kecil, yang satu dan lainnya
saling berkaitan. Karena merupakan suatu sistem yang berstruktur, maka bahasa sesuai
dengan pandangan dan prinsip strukturalisme.
2. Landasan Psikologi Gestalt
Psikologi Gestalt merumuskan bahwa menulis adalah mengenal sesuatu di luar
dirinya melalui bentuk keseluruhan (totalitas). Penganggapan manusia terhadap sesuatu
yang berada di luar dirinya mula-mula secara global, kemudian mengenali bagian-
bagiannya, makin sering seseorang mengamati suatu bentuk, makin tampak pula dengan
jelas bagian-bagiannya. Penyandaran manusia atas bagian-bagain dari totalitas bentuk
itu merupakan proses analisis-sintesis. Jadi, proses analisis-sintesis dalam diri manusia
adalah proses yang wajar karena manusia memiliki sifat melek (ingin tahu).
3. Landasan Pedagogis
Landasan pedagogis meliputi: (1) mendidik adalah membantu siswa untuk me-
ngembangkan potensi yang ada dalam dirinya serta pengalamannya. Artinya, dalam
membelajarkan murid, guru harus mampu membimbing siswa untuk mengembangkan
kedua potensi itu, khususnya dalam aspek bahasa dan kebahasaan; (2) membimbing
murid untuk menemukan jawaban dalam memecahkan masalah. Hal ini sejalan dengan
prinsip metode SAS yang mengemukakan bahwa mendidik pada dasarnya
mengorganisasikan potensi dan pengalaman siswa.
4. Landasan Linguistik
Secara totalitas, bahasa adalah tuturan dan bukan tulisan. Fungsi bahasa adalah
alat komunikasi maka selayaknya bila bahasa itu berbentuk percakapan. Bahasa
Indonesia mempunyai struktur tersendiri. Unsur bahasa dalam metode ini adalah
kalimat. Karena sebagiain besar penutur bahasa adalah penutur dua bahasa, yaitu bahasa
ibu dan bahasa Indonesia, penggunaaan metode SAS dalam membaca dan menulis
permulaaan sangat tepat digunakan. Pembelajaran yang dianjurkan adalah analisis
secara normatif, artinya murid diajak untuk membedakan penggunaan bahasa yang
salah dan yang benar, serta membedakan bahasa baku dan bahasa nonbaku.

Peranan Metode SAS


Prinsip-prinsip yang terkandung dalam metode SAS pada hakikatnya sesuai dengan
prinsip cara berpikir manusia. Berpikir secara analisis-sintesis dapat mem-berikan arah
pada pemikiran yang tepat sehingga murid dapat mengetahui kedudukan dirinya dalam
hubungannya dengan masyarakat dalan alam sekitarnya.
Kebaikan Metode SAS
Melihat prosesnya, tampaknya metode SAS merupakan campuran dari metode-
metode MMP seperti yang telah kita bicarakan di atas. Oleh karena itu, penggunaan
metode SAS dalam pengajaran MMP pada sekolah-sekolah kita di tingkat SD pernah
dianjurkan, bahkan diwajibkan pemakaiannya oleh pemerintah.
Beberapa manfaat yang dianggap sebagai kelebihan dari metode ini, di antaranya
sebagai berikut. (1) Metode ini sejalan dengan prinsip linguistik (ilmu bahasa) yang
memandang satuan bahasa terkecil yang bermakna untuk berkomunikasi adalah kalimat.
Kalimat dibentuk oleh satuan-satuan bahasa di bawahnya, yakni kata, suku kata, kata, dan
akhirnya fonem (huruf-huruf). (2) Menyajikan bahan pelajaran yang sesuai dengan
perkembangan dan pengalaman bahasa siswa yang selaras dengan situasi lingkungannya.
(3) Metode ini sesuai dengan prinsip inkuiri. Murid mengenal dan memahami sesuatu
berdasarkan hasil temuannya sendiri. Dengan begini, murid akan merasa lebih percaya diri
atas kemampuannya sendiri, sikap seperti ini akan membantu murid dalam mencapai
keberhasilan belajar.
Pemilihan Bahan dan Urutan Pembelajaran
Sesuai dengan kandungan Kurikulum Pendidikan dasar bahwa proses pem-belajaran
dilaksanakan secara tematis dan kontekstual, pemilihan bahasan pembelajaran bahwa
Indonesia dengan menggunakan metode SAS ini disandarkan pada konteks kehidupan
sehari-hari.Hal ini dilakukan dengan memilih tema yang sesuai. Selain itu, perlu juga
dipertimbangkan urutan perkembangan murid dalam mempelajari bahasa, yaitu dengan
menyajikan urutan menyimak atau mendengarkan, memahami, menirukan, dan
menggunakan bahasa sesuai dengan lingkungannya.
Pemilihan bahan ajar tersebut harus memenuhi kaidah-kaidah: (1) taraf per-
kembangan jiwa; (2) fungsinya sebagai alat komunikasi; dan (3) minat murid agar
terangsang untuk menggunakan bahasa.
Urutan pembelajaran, baik secara lisan maupun tulisan, disandarkan pada aspek
keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, wicara, membaca, dan menulis.

Prinsip Pengajaran dengan Metode SAS


Ada beberapa prinsip-prinsip dalam pembelajaran menggunakan metode SAS.
Prinsip tersebut adalah : (1) kalimat adalah unsur bahasa terkecil sehingga pengajaran
dengan menggunakan metode ini harus dimulai dengan menampilkan kalimat secara utuh
dan lengkap berupa pola-pola kalimat dasar; (2) struktur kalimat yang ditampilkan harus
menimbulkan konsep yang jelas dalam pikiran/pemikiran murid. Hal ini dapat dilakukan
dengan menampilkannya secara berulang-ulang sehingga merangsang murid untuk
mengetahui bagian-bagiannya; (3) adakan analisis terhadap struktur kalimat tersebut untuk
unsur-unsur struktur kalimat yang ditampilakan; (4) unsur-unsur yang ditemukan tersebut
kemudian dikembalikan pada bentuk semula (sintesis). Pada taraf ini, murid harus mampu
menemukan fungsi setiap unsur serta hubungannya satu dan lain sehingga kembali
terbentuk unsur semula; (5) struktur yang dipelajari hendaknya merupakan pengalaman
bahasa murid sehingga mereka mudah memahami serta mampu menggunakannya dalam
berbagai situasi.
Teknik pembelajaran dengan Metode SAS
Teknik pelaksanaan metode SAS ialah keterampilan memilih kartu huruf, kartu kata,
kartu suku kata, dan kartu kalimat. Sementara sebagaian murid mencari huruf, suku kata,
kata, guru dan sebagian murid lainnya menempelkan kata-kata yang tersusun sehingga
menjadi kalimat yang berarti. Demikian seterusnya sehingga seluruh murid memperoleh
giliran untuk menyusun kalimat, membacanya, dan mengutipnya sebagai pelajaran
keterampilan menulis.
Prosedur Penggunaan Metode SAS
Pembelajaran membaca permulaan bagi siswa kelas 1 SD dapat dibedakan ke dalam
dua tahapan, yakni belajar membaca tanpa buku dan belajar membaca dengan
menggunakan buku. Mengenai hal itu Momo dalam Zuchdi (1997: 55) mengemukakan
beberapa cara.
DAFTAR PUSTAKA

Darmiyat dan Budiasih. (1996). Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Rendah.
Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Diakses dari .http://bahauddin amyasi.blogspot.com/2008/11/perkembangan-bahasa-


anak.html/11/09/09/13.32/

Diakses dari. http://kuliahpsikologi.dekrizky.com/psikologi-perkembangan-kognisi-dan-


bahasa/11/09/09/13.33/

Diakses dari. http://massofa.wordpress.com/2008/01/28/pemerolehan-bahasa-pertama-dan-


bahasa-kedua/11/09/09/14.01/

Diakses dari. http://nahulinguistik.wordpress.com/2009/04/14/pemerolehan-bahasa-


pertama/10/09/09/17.05/

Diakses dari. http://toyo-utoy.blogspot.com/2009/05/kognitif-anak-usia-


dini.html/10/09/09/16.02/

Diaksesdari.http://pustaka.ut.ac.id/puslata/online.php?menu=bmpshort_detail2&ID=265/10/09/0
9/16.15/

Faisal dkk. (2009). Kajian Bahasa Indonesia SD. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Puspita, Linda. 2007. Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD. Jakarta : Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
Zuchdi, Darmiyati dan Budi Asih. 2001. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di kelas
rendah. Yogyakarta: PAS

Anda mungkin juga menyukai