Anda di halaman 1dari 5

Ibu

Aku akan kembali, wahai Ibu


dan mencium kening sucimu
dan menyalahkan hawa nafsuku
dan merasakan harumnya doa-doamu
mengotori pipiku dengan kesempurnaan kakimu
tatkala kubertemu denganmu
membanjiri tanah dengan air mataku
merasakan kebahagiaan karena engkau masih hidup

Berapa banyak malam yang kau terjaga hingga larut


agar aku dapat tidur dengan lelap?

Dan berapa kali engkau dahaga


hanya agar kau dapat menghilangkan dahagaku
dengan segala kelembutanmu?

Dan suatu hari tatkala aku sakit, aku tidak melupakannya


air matamu mengalir deras seperti hujan
dan kedua matamu tetap dan tetap terjaga
karena khawatir jika aku mungkin dalam bahaya

Dan hari tatkala kita berpisah di subuh hari


dan oh betapa kasarnya subuh kala itu

Tidak ada kata-kata yang dapat menjelaskan


apa yang aku rasakan,
tatkala aku meninggalkanmu

Dan kau mengatakan sesuatu yang aku masih mengingatnya sepanjang hidupku
-- Kamu tidak akan pernah menemukan hati yang lebih lembut padamu
daripada hatiku...

Kamu tidak akan pernah menemukan hati yang lebih lembut padamu daripada
hatiku...

Kepatuhan padamu
oh itulah yang kuinginkan
dalam hidupku
seperti ketetapan ALLAH
yang diperintahkan kepadaku
untuk patuh restumu,
adalah rahsia kejayaanku

dan cintaku padamu adalah rahsia keyakinanku


dan doa-doa yang engkau panjatkan untukku
menghilangkan kegagalan
dan kesedihanku

Cintaku untukmu
tidak ada orang yang kucintai seperti itu
engkau adalah sandaran hatiku
dan engkau adalah cahaya penglihatanku
dan engkau adalah irama bibirku
masalah-masalahku lenyap ketika kulihat wajahmu
kepadamu aku akan kembali wahai ibu..
Esok ku akan beristirahat dari perjalananku
dan usia kedua akan dimulai untukku
dan cabang-cabang akan berkembang penuh
dengan bunga wangi mengharum...

Ahmed Bukhatir

. .
. .

Sungguh, ku kan kembali wahai ibu, kan kucium kepala(kening)mu nan suci.
Kan kutumpahkan semua rinduku, dan cium wanginya tangan kananmu. Kan
kubersihkan tanah di kedua telapak kakimu dengan pipiku ketika aku bertemu
denganmu. Ku kan mengairi tanah dengan airmataku karena bahagia engkau
masih hidup.

. .
. . .
. . .

Betapa sering engkau bergadang malam agar aku tidur terlelap. Betapa sering
kerongkonganmu kehausan asal aku bisa minum dengan puas, dengan
kelembutanmu. Pada hari sakitku, aku tidak pernah melupakan airmatamu
yang bercucuran seperti hujan. Matamu selalu bergadang karena
menghawatirkan keselamatanku. Pada hari perpisahan di suatu fajar, betapa
lamanya waktu fajarku bagiku. Aku tak bisa berkata-kata mengungkapkan apa
yang sudah engkau korbankan demi aku anakmu. Engkau mengatakan kekata
yang manis, mengingatkan memori sepanjang hari-hariku. Tidak mungkin
engkau melihat dada yang lebih membuatmu rindu selain dadaku.

. .

Tuhan semesta alam berpesan kepadaku untuk berbakti padamu wahai harapan
umurku baca; hidupku. Ridhamu adalah rahasia kesuksesanku dan cintamu
adalah pembakar imanku
. .
. . .
. .

Karena ketulusan doamu, kesusahan dan sedihku lenyap. Jika ada orang yang
memisahkan aku. Maka engkaulah denyut nadi di jantungku, engkaulah cahaya
di mataku. Dan engkaulah nada di bibirku, dengan melihat wajahmu
kecemasanku menghilang. Ku kan kembali duhai ibu. Dan aku tidak akan
pernah betah dengan safarku. Janji keduaku baru dimulai ketika ranting telah
tumbuh dengan bunga.

. . . .
..

Jangan bersedih duhai ibuku. Aku kan datang menjengukmu dengan


berlinang airmata. Jangan berucap selamat tinggal duhai ibuku. Setelah hari
ini, tiada lagi perpisahan kecuali perpisahan karena kematian. Ibu

Anda mungkin juga menyukai