Anda di halaman 1dari 24

Adeq, Saraq dan Mappabotting:

Kajian Sosial, Budaya dan Agama dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Bugis di
Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan

Oleh;
Hj. Hasmah
Balai Pelestarian Nilai Budaya
Jl. Sultan Alauddin Km. 7 Talasalapang Makassar, 90221
Telp. (0411) 885119, Fax (0411) 865166
Email; hasmahmawi@gmail.com
Hp. 0852-5590-2370

Abstrak

Perkawinan sebagai salah satu fase dalam kehidupan manusia, merupakan hal
yang sakral dan urgent, dalam realitas sosial budaya masyarakat pada umumnya, adat
dan agama menjadi dua landasan hidup yang dipegang dan diyakini, nilai
implementasi kedua wujud ini dapat terlihat dalam prosesi upacara perkawinan.
Kajian ini berusaha mengungkap perwujudan adat (adeq) dan agama (saraq) dalam
prosesi upacara perkawinan (mappabotting) Pada masyarakat Bugis di Kab.
Sidenreng Rappang. Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kualitatif dengan
metode etnografi. Metode etnografi dengan sendirinya menyediakan perangkat-
perangkat yang memungkinkan proses penelitian berlangsung secara lebih baik,
selain itu studi etnografi (ethnographic studies) dianggap sesuai dengan fokus kajian
ini yaitu untuk mendeskripsikan dan menginterpretasi peristiwa budaya yang
berlangsung dalam prosesi upacara perkawinan pada masyarakat Bugis di Kab.
Sidenreng Rappang.
Prosesi upacara perkawinan masyarakat Bugis di Kab. Sidenreng Rappang
dapat dikategorikan menjadi tiga tahap; (a) Pra Perkawinan dengan prosesi
Mammanu-manu, Madduta atau Massuro, Mappasiarekeng, Mappassau
botting/Cemme passili, Mappanr temme dan Mappacci atau tudammpenni; (b)
Pesta Perkawinan dengan prosesi Mappnr Botting dan Marola atau mapparola;
dan (c) Pasca Perkawinan dengan prosesi Mallukka botting, Ziarah kubur dan
Massita bseng. Kajian ini menggambarkan bahwa posisi Islam dalam masyarakat
Bugis di Kab. Sidenreng Rappang dapat diterima sebagai pegangan hidup. Hal
tersebut menjelaskan bahwa adat (adeq) dan agama (saraq) mampu berjalan bersama
sebagai perwujudan nilai-nilai sosial budaya masyarakat Bugis di Kab. Sidenreng
Rappang.
Keyword; adat (adeq), agama (saraq), perkawinan (mappabotting) dan masyarakat
Bugis

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Realitas sosial budaya masyarakat indonesia pada umumnya, dijalankan,
diajarkan dan dipraktekkan melalui rekonstruski budaya dengan unit terkecil
(keluarga). Meskipun dalam konteksnya terlebih mengutamakan nilia-nilai dasar
budaya, namun jika ditelisik lebih dalam, terdapat banyak perwujudan sinkretis antara
agama dan budaya, dengan penyederhanaan bahwa agama juga dilihat sebagai
pedoman bagi ketetapan dari kebudayaan: suatu pedoman yang beroperasi melalui
sistem-sistem simbol pada tingkat emosional, kognitif, subyektif, dan individual (Ali,
2013; 12). Usaha untuk mengaplikasikan agama khususnya agama diyakini
mayoritas masyarakat Indonesia, Islam- dalam tiap unsur kehidupan masyarakat tidak
terlepas dari budaya, kebiasaaan, dan hukum adat yang masih sangat dipertahankan di
sebagian daerah. Setiap suku di Indonesia memiliki adat istiadat atau kebiasaan
tersendiri yang berbeda. Salah satu perbuatan dimana negara juga mewajibkan untuk
melakukannya menurut agama dan kepercayaannya masing-masing ialah
perkawinan.
Fokus kajian ini adalah mengkaji analisis sosial budaya dan agama dalam upcara
perkawinan masyarakat Bugis. Kepatuhan masyarakat Bugis terhadap adat dan
agama dilakukan secara bersamaan dan sama kuatnya. Dalam konsep
pangngaderreng (undang-undang sosial) terdiri atas lima unsur yang saling
mengukuhkan. Dua di antaranya adalah adeq (adat-istiadat) dan saraq (syariat
Islam). Asumsi tersebut menjadi menarik jika disandarkan dalam konteks perkawinan
(Mappabotting) dengan pernyataan Nurhayati Rahman (dalam buku Cinta, Laut dan
Kekuasaan dalam Epos Lagaligo, 2006), bahwa kedua lembaga ini mempunyai tugas
dan fungsi yang sesuai dengan tugasnya masing-masing (Rahman, 2006; 387).
Pampawa adeq dipangku raja sekaligus mengatur roda pemerintahan. Sementara
pampawa saraq dipangku kadi, imam, khatib, bilal dan doja penjaga masjid akan
menangani persoalan yang berhubungan dengan fiqh Islam. Tradisi ini merupakan
praktek pengaturan sosial yang berlangsung turun-temurun sampai sekarang. Adeq
dan saraq merupakan bagian dari kelangsungan kehidupan orang Bugis. Hal ini
dipandang oleh Berger sebagai tradisi yang diterima suatu masyarakat merupakan
memori kolektif. Ini merupakan hasil dari potensi yang ada dalam setiap individu
untuk mengaktualisasikan makna bermasyarakat. Bagian-bagian kecilnya termasuk
dalam simbol-simbol yang menyertai sebuah peristiwa. Jika kemudian makna
kolektif yang ada dihayati secara kelompok, maka dapat saja berfungsi untuk
menjaga keutuhan tradisi yang berlangsung turun-temurun (Berger, 1969; 53).
Dengan adanya keterhubungan antara masa lalu dan masa kini, maka ada produksi
makna baru atas berlangsungnya peristiwa. Selanjutnya timbul solidaritas dan
emosional berkat peristiwa yang ada sebelumnya. Tidak saja disatukan oleh ritual
yang ada dalam agama, tetapi juga telah menjadi solidaritas masyarakat. Namun
demikian, simbol-simbol ini tidak dapat melepaskan diri dari modernitas yang mulai
berkembang secara cepat dengan kehadiran pelbagai elemen teknologi. Jika
mengikuti kritik Habermas, maka tumbuh kembangnya modernitas akan memberikan
distorsi bagi tradisi tersebut (Habermas, 1987; 116). Jika kebudayaan, masyarakat
dan sosialisasi berjalan secara seiring, maka akan terjadi integrasi masyarakat dan
sosialisasi.
Keterbukaan orang Bugis dalam menerima Islam dalam konteks
pangngaderreng, kemudian menambahkan saraq dalam konsep tersebut
membuktikan bahwa ada keterbukaan dalam dinamika kehidupan mereka. Jika
penjelasan Kleden dapat diterima, maka ini disebut dengan proses alami di mana
dunia sosial yang dibentuk manusia berdasarkan pengalaman dan proses belajar
(Kleden, 1982; 12). Cara ini dilakukan oleh setiap individu untuk melengkapi
kekurangan yang ada. Adapun pengalaman belajar semata-mata akan tumbuh dari
pengembaraan dalam ruang dan waktu. Sementara orang Bugis adalah di antara
kategori yang suka mengembara dalam menghadapi lingkungan alam.
Masyarakat Bugis menganggap bahwa adat tidak sekedar berarti kebiasaan.
Dalam pemahaman Matthes, adat dalam tradisi Bugis sebagai kebiasaan (dalam
Rahman, 2006; 254). Dengan demikian maka tidak saja adat berarti kebiasaan tetapi
menjadi esensi sebuah kehidupan. Ketika dilanggar, maka seluruh anggota
masyarakat yang akan ikut menanggungnya. Berbeda dengan Matthes, Mattulada
justru memahami adat sebagai sesuatu yang luhur dengan kalimat adat itulah yang
memberikan bentuknya dalam wujud watak masyarakat dan kebudayaan serta orang-
orang yang menjadi pendukungnya (Mattulada, 1975; 315). Dengan demikian,
posisi adat menjadi penting dalam kalangan orang Bugis. Adat merupakan salah satu
gagasan yang senantiasa menopang keberlangsungan kehidupan pranata sosial.
Dengan demikian, menjadi relevan untuk meneliti konsep adat, dalam hal ini adalah
kajian perkawinan. Salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang hingga saat ini
menggunakan adat istiadat Bugis tersebut adalah Kabupaten Sidenreng Rappang,
yang dalam prosesi perkawinannya baik sebelum maupun di dalamnya masih
mempertahankan adat istiadat tersebut. Kajian ini berusaha mengungkap perwujudan
saraq (agama) dan adeq (adat), wujud aplikasinya dan nilai-nilai dalam prosesi
upacara perkawinan (Mappabotting) masyarakat Bugis. Dari sudut pandang sosial
budaya, adat istiadat yang masih dipertahankan hingga kini tentunya mempunyai
maksud dan tujuan tertentu, terdapat kebiasaan-kebiasaan yang secara tersirat
mempunyai makna filosofis dalam konteks adat dan agama yang terkandung di
dalamnya.

B. Manusia Bugis
Bugis adalah salah satu suku bangsa yang mendiami wilayah bagian Selatan
pulau Sulawesi yang saat ini dikenal dengan Sulawesi Selatan. Orang Bugis
merupakan etnis terbesar dengan prosentase 41.90% dari jumlah penduduk Sulawesi
Selatan (Sewang, 2005:65). Di Sulawesi Selatan sendiri, selain orang Bugis juga
terdapat orang Makassar, Toraja, dan Mandar. Mandar saat ini berada di Sulawesi
Barat setelah pemekaran wilayah. Wilayah yang didiami oleh orang Bugis meliputi
Kabupaten/Kota Bone, Soppeng, Wajo, Sidenreng Rappang, Pinrang, Luwu, Pare-
Pare, Barru, dan Sinjai. Sementara kabupaten seperti Maros, Pangkajene Kepulauan,
Bantaeng, dan Bulukumba didiami oleh orang Bugis dan sebagian Makassar. Adapun
daerah seperti Tana Toraja, orang Bugis merupakan etnis minoritas. Terdapat dua
pendapat utama mengenai asal-usul orang Bugis (To Ugi). Pertama, orang Bugis
berasal dari India Belakang seperti halnya suku bangsa lain di nusantara. Menurut
pendukung pendapat ini bahwa orang India datang secara bergelombang ke nusantara
ribuan tahun lalu.
Orang Bugis menurut pendapat ini digolongkan dalam rumpun atau turunan
Melayu Muda (Deutero Melayu) yang datang ke wilayah Sulawesi Selatan. Sebelum
mereka datang, Melayu Tua (Proto Melayu) terlebih dahulu memasuki wilayah ini
(Hamzah, 1984:34). Pendapat ini juga didukung oleh fakta bahwa saat ini orang
Bugis banyak yang telah beranak-pinak di beberapa daerah Melayu seperti Sumatera
dan Kalimantan, bahkan di Malaysia. Pendapat pertama ini juga mendukung asumsi
bahwa Islam masuk ke Indonesia berasal dari India. Kedua, orang Bugis merupakan
salah satu rumpun dari orang Austronesia yang tersebar di beberapa tempat di Asia
Tenggara (Pelras, 2006; 14).
Penyebaran rumpun ini dalam perkembangannya melahirkan suku bangsa seperti
Melayu, Bali, dan Jawa. Namun, mereka lebih terkenal dibandingkan Bugis. Pada
abad ke-19, penyebaran orang Bugis telah merambah Singapura hingga Papua, dari
bagian Selatan Filipina hingga ke pantai Barat Australia. Adapula yang mengatakan
bahwa orang Bugis pernah menyeberangi samudera Hindia sampai ke Madagaskar.
Dari keterangan ini, orang pun mengatakan bahwa orang Bugis merupakan pelaut
ulung di masanya karena kemampuan mengarungi lautan dengan keterbatasan alat
pelayaran yang dimiliki. Pendapat ini merupakan pendapat yang banyak dijadikan
rujukan mengenai asal-usul orang Bugis.
Kedua pendapat di atas setidaknya memberikan gambaran mengenai asal-usul
orang Bugis meskipun terdapat perbedaan persepsi. Tidak hanya pada persoalan asal-
usul, batasan mengenai siapakah yang termasuk orang Bugis pun sulit ditetapkan.
Untuk memberikan batasan terhadap orang Bugis, penulis meminjam kerangka yang
digunakan oleh Muhammad Damami (2002; 35) untuk memberikan gambaran
mengenai definisi masyarakat Jawa. Menurutnya, masyarakat Jawa adalah
masyarakat yang beretnis Jawa yang masih memiliki komitmen terhadap kebudayaan
Jawa, apakah mereka tinggal di Jawa atau pun di luar Jawa. Mengacu pada pendapat
ini, dapat dikatakan bahwa orang Bugis adalah orang yang memiliki ikatan dengan
kebudayaan Bugis, baik yang tinggal di Sulawesi Selatan maupun yang tinggal di
luar daerah tersebut. Definisi ini mencakup bahasa dan geneologi atau silsilah
keluarga orang Bugis.
Mengingat penyebaran orang Bugis yang sampai ke beberapa wilayah di luar
Sulawesi Selatan, mereka sering diidentikkan dengan pelaut ulung. Informasi seperti
ini merupakan informasi yang keliru. Alasan ini didasarkan pada fakta bahwa
aktivitas maritim orang Bugis baru benar-benar berkembang pada abad ke-18.
Adapun perahu pinisi, yang sering didentikkan dengan kepelautan orang Bugis, baru
ditemukan antara penghujung abad ke-19 hingga dekade 1930-an (Pelras, 2006:4).
Demikian pula, predikat bajak laut yang diberikan kepada orang Bugis merupakan
sesuatu yang keliru. Justru, orang Bugis merupakan petani yang ulet. Aktivitas
maritim hanya digandrungi oleh mereka yang tinggal di sekitar pantai yang
kuantitasnya minoritas, sedangkan mayoritas orang Bugis justru berada jauh dari laut
yang mayoritas berprofesi sebagai petani sawah. Kebiasaan orang Bugis merantau
dan menetap di negeri lain kemungkinan menjadi pemicu utama persepsi pelaut
terhadap mereka.
Bagi suku-suku bangsa yang tinggal di sekitar orang Bugis, mengenal mereka
sebagai orang yang berkarakter keras dan menjunjung tinggi kehormatan. Bahkan
demi kehormatan (siriq), orang Bugis rela melakukan tindak kekerasan karena siriq
merupakan harga diri yang mesti dipertahankan. Karakter keras menjadi label orang
Bugis karena keteguhan mempertahankan sesuatu dan keberanian menghadapi
tantangan. Terlepas dari stigma karakter keras, orang Bugis juga dikenal dengan
penghargaan yang tinggi terhadap orang lain dan memiliki kesetiakawanan yang kuat.
Di berbagai wilayah di nusantara, orang Bugis dapat ditemukan dengan berbagai
bentuk aktivitas. Mereka sibuk dengan aktivitas pelayaran, perdagangan, pertanian,
dan berbagai pekerjaan yang lain. Berbagai persepsi terhadap orang Bugis merupakan
penilaian dari luar komunitas yang setidaknya dapat dijadikan salah satu referensi
melihat orang Bugis.

C. Budaya Masyarakat Bugis dan Pengaruh Islam


Budaya adalah hasil transmisi yang berjalan dalam pola kesejarahan. Di
dalamnya terkandung simbol sekaligus adanya sebuah sistem yang turun-temurun.
Keberlangsungan ini tentu terjadi secara otomatis sebagai sikap manusia terhadap
kehidupan. Geertz mengistilahkannya dengan sistem kebudayaan (Geertz, 1985;
39). Sementara Chaterjee memberinya istilah dengan nilai budaya (Chaterjee,
2007; 92) Ini merupakan konsepsi apa yang dipandang dalam sebuah komunitas
sebagai nilai yang berharga. Sehingga berwujud dalam bentuk idealisme karena
berasal dari alam pikiran. Secara bersama-sama Geertz dan Koentjaraningrat
memandang bahwa budaya merupakan proses memaknai realitas kehidupan yang
khas masing-masing dalam lingkup waktu dan tempat tertentu. Dalam kehidupan
tersebut, proses sejarah menjadi bagian dimana keberlangsungan aspek-aspek
material yang menjadi warisan.
Islam (saraq) dan adat (adeq) telah menjadi bagian integral dari kehidupan orang
Bugis (Pelras, 2006; 55). Di tengah sikap fanatik orang Bugis dalam menjalankan
Islam, keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat juga dapat ditemukan.
Mereka tidak hanya dikenal sebagai penganut Islam fanatik, mereka juga dikenal
sangat loyal terhadap adat. Dalam kehidupan orang Bugis, antara adat dan Islam tidak
hanya diperlawankan, tetapi juga dikompromikan. Adat merupakan warisan nenek
moyang yang diakui masih memiliki fungsi yang luhur sehingga masih
dipertahankan karena merupakan pedoman untuk mendapatkan kebahagiaan dunia
(Abdullah, 1985:7). Adapun agama, dianggap sebagai sebuah media untuk memenuhi
kebutuhan batin dan pegangan yang memiliki nilai agung yang dapat menuntun
penganutnya ke arah yang benar (Geertz, 1973; Durkheim, 1926).

D. Metodologi dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kualitatf (qualitative research)
yang sumber datanya terutama diambil dari obyek penelitian (masyarakat atau
komunitas sosial) secara langsung pada lokasi penelitian yang terletak di Kabupaten
Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian etnografi.
Tentu saja sebagai suatu rancagan penelitian, metode etnografi dengan sendirinya
menyediakan perangkat-perangkat yang memungkinkan proses penelitian
berlangsung secara lebih baik (Sopyan, 2009; 28). Terdapat dua kelompok dalam
memandang etnografi (etnografi sebagai paradigma filosofis dan etnografi sebagai
sebuah metode dalam penelitian). Namun ada yang yang menganggap etnografi
sebagai keduanya, artinya di satu sisi sebagai paradigma filosofis, sedangkan di lain
sisi merupakan rancangan penelitian yang hendak dilakukan (Idrus, 2009; 59)
Analisis data penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip studi
etnografi (ethnographic studies) dengan melakukan upaya untuk mendeskripsikan
dan menginterpretasi peristiwa budaya yang berlangsung dalam perkawinan pada
masyarakat Bugis di Kab. Sidenreng Rappang. Acara yang dilangsungkan selama
perkawinan merupakan ritual atau cara hidup yang khas yang dipraktekkan orang
Bugis di Kab. Sidenreng Rappang. Maka, penelitian ini menggunakan observasi dan
wawancara yang dibentuk secara alamiah. Dalam berbagai kesempatan perkawinan
berupaya memahami simbol-simbol yang ada sehingga kemudian tertuang sebagai
hasil penelitian. Studi etnografi yang dilakukan ini masuk dalam kategori mikro
etnografi dimana peneliti secara khusus hanya mengamati satu aspek saja dalam
perkawinan orang Bugis yaitu kaitannya dengan agama Islam.

PEMBAHASAN
I. Prosesi Upacara Perkawinan (Mappabotting) dalam Masyarakat Bugis di Kab.
Sidenreng Rappang
Prosesi upacara perkawinan dalam masyarakat Bugis dikenal dengan istilah
Mappabotting. Mappabotting secara harfiah terbagi dalam dua suku kata, yaitu Ma
yang ditambahkan imbuhan Pa sebagai wujud penegasan dalam makna proses-
adalah awalan dalam bahasa Bugis yang biasanya digunakan untuk mengindikasikan
kegiatan atau proses yang sedang berlangsung dan Botting diartikan sebagai kawin
atau nikah (Pelras, 2006:178). Secara garis besar, pelaksanaan upacara adat ini dibagi
menjadi tiga tahap, yaitu upacara pra-perkawinan, pesta perkawinan dan pasca
perkawinan.

A. Upacara Pra Perkawinan


Pada tahap pra perkawinan ini, dilaksanakan beberapa kegiatan, yaitu; (a)
Pemilihan Jodoh, Proses paling awal menuju perkawinan dalam adat Bugis adalah
pemilihan jodoh. Orang Bugis umumnya mempunyai kecenderungan memilih jodoh
dari lingkungan keluarga sendiri karena dianggap sebagai hubungan perkawinan atau
perjodohan yang ideal. Perjodohan ideal yang dimaksud adalah siala
massaposiseng (perkawinan antar sepupu satu kali), siala massapokadua
(perkawinan antarsepupu dua kali), dan siala massoppokatellu (perkawinan
antarsepupu tiga kali) (Pelras, 2006:178, lihat juga Mattulada,1985:44).
Kendati demikian, ketiga jenis perjodohan tersebut di atas bukanlah suatu hal
yang diwajibkan. Dewasa ini, pria yang akan menikah dapat memilih jodoh dari luar
lingkungan kerabat. Adapun perjodohan ideal selain dari kerabat adalah perjodohan
yang didasarkan pada kedudukan assikapukeng, yaitu kedua mempelai memiliki
stratifikasi sosial yang sederajat di dalam masyarakat, baik dilihat dari segi keturunan
(bangsawan atau orang biasa), pendidikan, kedudukan dalam struktur pemerintahan,
maupun harta kekayaan. Setelah jodoh yang telah dipilih dirasa sudah cocok, maka
proses selanjutnya adalah mammanu-manu
a. Mammanu-manu (penjajakan)
Mammanu-manu atau biasa juga disebut mappse-pse, mattiro, atau
mabbaja laleng adalah suatu kegiatan penyelidikan yang biasanya dilakukan
secara rahasia oleh seorang perempuan dari pihak laki-laki untuk memastikan
apakah gadis yang telah dipilih sudah ada yang mengikatnya atau belum.
Kegiatan penyelidikan ini juga bertujuan untuk mengenali jati diri gadis itu dan
kedua orang tuanya, terutama hal-hal yang berkaitan dengan keterampilan rumah
tangga, adab sopan-santun, tingkah laku, kecantikan, dan juga pengetahuan
agama gadis tersebut.
b. Madduta atan Massuro (meminang)
Madduta atau massuro artinya pihak laki-laki mengutus beberapa orang
terpandang, baik dari kalangan keluarga, untuk menyampaikan lamaran kepada
pihak keluarga gadis. Utusan ini disebut To Madduta sedangkan pihak keluarga
gadis yang dikunjungi disebut To Riaddutai. To Madduta memiliki peranan yang
sangat penting dalam menentukan diterima atau tidaknya suatu pinangan. Oleh
karena itu, To Madduta harus berhati-hati, bijaksana dan pandai membawa diri
agar kedua orang tua gadis itu tidak tersinggung (Mame, et. al. 1977/1978:62).
Kegiatan madduta biasa juga disebut dengan istilah mappetuada, yaitu
pertemuan antara kedua belah pihak keluarga untuk merundingkan dan
memutuskan segala sesuatu yang bertalian dengan upacara perkawinan putra-
putri mereka. Hal-hal yang dibicarakan dalam acara mappettuada tersebut di
antaranya mahar (meliputi dui menr dan sompa) dan tanr esso (penentuan
hari) (Mame, et. al. 1978: 64). Besar kecilnya jumlah dui menr dalam
perkawinan orang Bugis di Kab. Sidenreng Rappang sangat dipengaruhi oleh
status sosial pihak perempuan. Semakin tinggi status sosial keluarga perempuan
semakin besar pula jumlah dui menr yang harus diserahkan oleh pihak laki-laki
(Abdullah, 1983:267). Oleh karena itu, pihak laki-laki yang diwakili oleh To
Madduta harus pandai-pandai melakukan negosiasi kepada pihak keluarga
perempuan. Jika kedua belah pihak telah menuai kesepakatan bersama masalah
jumlah mahar berarti pinangan To Madduta diterima. Setelah pinangan diterima,
acara mappettuada dilanjutkan dengan membicarakan masalah tanr esso atau
penentuan hari perkawinan. Penentuan hari pada saat ini biasanya disesuaikan
dengan penanggalan Islam.
c. Mappasiarekeng (mengukuhkan kesepakatan)
Mappasiarekeng berarti mengukuhkan kembali kesepakatan-kesepakatan yang
telah dibuat sebelumnya. Acara ini dilaksanakan di tempat mempelai perempuan.
Pengukuhan kesepakatan ditandai dengan pemberian hadiah pertunangan dari
pihak mempelai pria kepada pihak mempelai wanita sebagai passio atau
pengikat berupa sebuah cincin emas dan sejumlah pemberian simbolis lainnya
seperti tebu sebagai simbol kebahagiaan, panasa (buah nangka) sebagai
simbol minasa (pengharapan), sirih pinang, sokko (nasi ketan), dan berbagai
kue-kue tradisional lainnya (Pelras, 2006:181). Pada
acara mappasiarekeng tersebut pihak laki-laki juga menyerahkan dui menr
-yang jumlahnya berdasarkan kesepakatan-kepada pihak perempuan untuk
digunakan dalam pesta perkawinan. Penyerahan dui menr dan hadiah-hadiah
lainnya diwakili oleh kerabat atau sahabat terdekat orang tua mempelai laki-laki.
Jika dalam proses Mappasiarekeng pihak laki-laki dan pihak perempuan telah
bulat, maka prosesi selanjutnya adalah menyebarkan undangan
(Mappaisseng atau Mattampa) dan mendirikan bangunan baruga dan hiasan
pengantin (Mappatettong sarapo dan Lamming).
d. Mappassau botting dan cemm passili (merawat dan memandikan pengantin)
Mappasau botting berarti merawat pengantin. Kegiatan ini dilakukan dalam satu
ruangan tertentu selama tiga hari berturut-turut sebelum hari H perkawinan.
Perawatan ini dilakukan dengan menggunakan berbagai ramuan seperti daun
sukun, daun coppng (sejenis anggur), daun pandan, rempah-rempah, dan akar-
akaran yang berbau harum. Sementara itu, cemm passili berarti mandi tolak
balak, yaitu sebagai bentuk permohonan kepada Allah SWT agar kiranya kedua
mempelai dijauhkan dari segalam macam bahaya atau bala. Upacara ini biasanya
dilaksanakan sehari sebelum hari H perkawinan, yaitu sekitar pukul 10.00
pagi. Setelah mandi tolak bala, mempelai wanita masih harus melaksanakan
ritual maccko, yaitu mencukur bulu-bulu halus.
e. Mappanr temme (khatam al-Quran) dan pembacaan barzanji
Sebelum memasuki acara mappaci, masyarakat bugis di Kab. Sidenreng
Rappang percaya, bahwa segala keberkahan berasala dari Puang Allah TaAala
(Tuhan Allah SWT), maka sebelum masuk keprosesi yang lebih sakral mappaci
(mensucikan diri) terlebih dahulu dilakukan acara khatam al-Quran dan
pembacaan barzanji sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT dan
sanjungan kepada Nabi Muhammad SAW. Acara ini biasanya dilaksanakan pada
sore hari atau sesudah shalat ashar dan dipimpin oleh seorang imam. Setelah itu,
dilanjutkan acara makan bersama dan sebelum pulang, para pembaca barzanji
dihadiahi kaddo, yaitu nasi ketan berwarna kuning yang dibungkus dengan daun
pisang sebagai oleh-oleh untuk keluarga di rumah.

f. Mappacci atau tudammpenni (mensucikan diri)


Pada malam menjelang hari H perkawinan, kedua mempelai melakukan
kegiatan mappaci atau tudammpenni di rumah masing-masing. Acara ini dihadiri
oleh kerabat, pegawai saraq (imam, kadi atau tokoh keagamaan), orang-orang
terhormat, dan para tetangga. Kata mappaci berasal dari kata pacci, yaitu daun
pacar (lawsania alba). Pacci dalam kata bahasa Bugis berarti bersih atau suci
sedangkan tudammpenni secara harfiah berarti duduk malam. Dengan
demikian, mappacci dapat diartikan mensucikan diri pada malam menjelang hari
H perkawinan. Dikatakan dalam ungkapan ungkapan orang Bugis:
Mappacci iyanaritu gau ripakkonroi nallari ade, mancaji gau mabbiasa,
tampu sennu-sennuang, ri nia akkatta madcng mammuari nalti
pammas Dwata Suwa

Artinya: Mappacci merupakan upacara yang sangat kental dengan nuansa


bathin. Dimana proses ini merupakan upaya manusia untuk membersihkan
dan mensucikan diri dari segala hal yang tidak baik. Dengan keyakinan
bahwa segala tujuan yang baik harus didasari oleh niat dan upaya yang baik
pula.
Acara mappacci dimulai dengan penjemputan (padduppa) mempelai untuk
dipersilakan duduk di pelaminan. Acara penjemputan biasanya disampaikan oleh
juru bicara keluarga melalui ungkapan berikut:
Patarakkai mai blo tudangeng Naripatudang siapi siata Tau sill uttu
patudangeng Padattudan mappacci silo-lo Riwenni tudammpenni kuaritu
Paccingi sia datu blo tudangeng Ripatajang mai bottingng Naripatteru
cokkong di lamming lakko ulaweng

Artinya: Calon mempelai dipersilakan menuju pelaminan. Pelaminan di sisi


para pendamping. Duduk saling berdekatan satu sama lain. Mereka duduk
bersuka ria di malam tudammpenni. Mappaci pada sang raja/ratu mempelai
nan rupawan. Tuntun dan bimbinglah sang raja/ratu menuju pelaminan yang
bertahtakan emas (Badruzzaman, 2007; 55).
Setelah mempelai pengantin duduk di pelaminan berbagai perlengkapan
disiapkan di depannya dengan cara disusun dari bawah ke atas yaitu satu buah
bantal sebagai simbol mappakalebbi (penghormatan), tujuh lembar sarung sutera
sebagai simbol harga diri, selembar pucuk daun pisang sebagai simbol kehidupan
yang berkesinambungan, tujuh sampai sembilan daun nangka sebagai
simbol mnasa (harapan), sepiring wenno (padi yang disangrai hingga
mengembang) sebagai simbol berkembang dengan baik, sebatang lilin yang
dinyalakan sebagai simbol penerangan, daun pacar yang telah dihaluskan sebagai
simbol kebersihan atau kesucian, dan bekkeng (tempat pacci yang terbuat dari
logam) sebagai simbol penyatuan dua insan.
Jumlah orang yang diundang disesuaikan dengan status sosial calon mempelai.
Untuk golongan bangsawan tertinggi terdiri dari sembilan orang dan setiap orang
harus mengusapkan pacci ke tangan calon mempelai sebanyak dua kali. Dalam
adat Bugis, jumlah tersebut biasanya disebutkan dalam bentuk angka yaitu 2 x 9
orang (duakkasra). Untuk golongan bangsawan menengah berjumlah 2 x 7
orang (duakkapitu), sedangkan golongan di bawahnya berjumlah 1 x 9 atau 1 x 7
orang (Badruzzaman, 2007; 24).
Adapun tata cara pelaksanaan pacci yaitu mula-mula orang yang telah ditunjuk
mengambil daun pacci dari dalam bekkeng (wadah penyimpanan) kemudian
meletakkan atau mengusapkannya pada kedua telapak tangan calon mempelai
yang dimulai dari telapak tangan kanan ke telapak tangan kiri dengan disertai
doa semoga calon mempelai kelak dapat hidup bahagia. Pada saat orang-orang
tersebut meletakkan pacci, sesekali indo botting (inang pengantin) yang duduk
di samping mempelai menghamburkan wenno kepada calon mempelai maupun
kepada orang-orang yang melettakkan pacci. Kemudian kepada orang telah
memberikan pacci dihadiahi rokok sebagai penghormatan atau ucapan terima
kasih doa restu yang telah diberikan kepada calon mempelai (Badruzzaman,
2007; 25).

B. Pesta Perkawinan
Secara garis besar, upacara atau resepsi perkawinan dibagi menjadi dua tahap
yaitu mappnr botting dan marola.
a. Mappnr Botting (mengntar pengantin)
Mappnr botting adalah mengantar mempelai pria ke rumah mempelai wanita
untuk melaksanakan beberapa serangkaian kegiatan seperti madduppa botting
(menyambut kedatangan pengantin), akad nikah dan Mappasikarawa atau
mappasiluka (persentuhan pertama). Mempelai pria diantar oleh iring-iringan
tanpa kehadiran kedua orang tuanya. Adapun orang-orang yang ikut dalam iring-
iringan tersebut di antaranya indo botting (Inang Pengantin atau yang
mewakili), dua orang passeppi (pendamping mempelai) yang terdiri dari anak
laki-laki, beberapa kerabat atau orang-orang tua sebagai saksi-saksi pada acara
akad nikah, pembawa mas kawin, dan pembawa hadiah-hadiah lainnya. Dalam
prosesi ini, ada beberapa kegiatan yang biasanya dilakukan dalam prosesi
perkawinan masyarakat Bugis Kab. Sidenreng Rappang, antara lain;
- Madduppa botting (menyambut kedatangan pengantin)
Madduppa botting berarti menyambut kedatangan mempelai pria di rumah
mempelai wanita. Acara penyambutan tersebut dilakukan oleh beberapa
orang yaitu dua orang paddupa atau penyambut (satu remaja pria dan satu
wanita remaja), dua orang pakkusu-kusu (perempuan yang sudah menikah),
dua orang pallipa sabb (orang tua pria dan wanita setengah baya
mengenakan sarung sutra sebagai wakil orang tua mempelai wanita), seorang
wanita pangampo wenno (penebar wenno), serta satu atau dua orang
paddupa botting yang bertugas menjemput dan menuntun mempelai pria
turun dari mobil menuju ke dalam rumah (Badruzzaman, 2007; 33).
- Akad nikah
Orang Bugis di Kab. Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan umumnya
beragama Islam. Oleh karena itu, acara akad nikah dilangsungkan menurut
tuntunan ajaran Islam dan dipimpin oleh imam kampung atau seorang
penghulu dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Sebelum akad nikah
atau ijab qabul dilaksanakan, mempelai laki-laki, orang tua laki-laki (ayah)
atau wali mempelai wanita, dan dua saksi dari kedua belah pihak dihadirkan
di tempat pelaksanaan akad nikah yang telah disiapkan. Setelah semuanya
siap, acara akad nikah segera dimulai, dalam pelaksanaan akad nikah
terdapat urutan acara seperti pembacaan ayat suci al-Quran, kemudian
dilanjutkan pemeriksaan berkas perkawinan oleh penghulu, dan penanda
tanganan berkas oleh kedua mempelai, wali, dan saksi-saksi. Khusus untuk
mempelai wanita, penandatanganan berkas dilakukan di dalam kamar karena
ia tidak boleh keluar kamar selama proses akad nikah berlangsung. Setelah
itu, acara dilanjutkan dengan penyerahan perwalian dari orang tua atau wali
mempelai wanita kepada imam atau penghulu untuk proses ijab kabul.
Ijab kabul dimulai dengan khutbah nikah oleh imam atau penghulu. Dengan
bimbingan imam, mempelai pria mulai mengucapkan beberapa bacaan
seperti istigfar, dua kalimat syahadat, shalawat, dan ijab kabul. Sighat atau
kalimat ijab kabul yang disampaikan oleh mempelai pria harus jelas
kedengaran oleh para saksi untuk sahnya akad nikah. Oleh karena itu, tak
jarang mempelai pria harus mengulanginya hingga dua tiga kali
(Pelras,2006:183).
- Mappasikarawa atau mappasiluka (persentuhan pertama)
Setelah proses akad nikah selesai, mempelai pria dituntun oleh orang yang
dituakan menuju ke dalam kamar mempelai wanita untuk ipasikawara
(dipersentuhkan). Kegiatan ini disebut dengan mappasikarawa,
mappasiluka atau madusa jnn, yaitu mempelai pria harus menyentuh
salah satu anggota tubuh mempelai wanita. Kegiatan ini dianggap penting
karena menurut anggapan sebagian masyarakat Bugis bahwa keberhasilan
kehidupan rumah tangga kedua mempelai tergantung pada sentuhan pertama
mempelai pria terhadap mempelai wanita. Menurut Mame (1978:78), ada
banyak variasi mengenai bagian tubuh mempelai wanita yang
harus disentuh, yaitu di antaranya: (a) Buah dada sebagai lambang gunung,
yaitu dengan harapan rezeki kedua mempelai kelak menggunung; (b) Ubun-
ubun atau leher belakang, yaitu mengandung makna agar wanita itu tunduk
kepada suaminya; (c) Menggenggam tangan mempelai wanita, yaitu
mengandung makna agar kelak hubungankeduanya kekal atau langgeng; dan
(d) Perut, yaitu mengandung makna agar kehidupan mereka kelak tidak
mengalami kelaparan dengan angggapan bahwa perut selalu diisi.
Selanjutnya upacara mappnr botting ditutup dengan upacara jamuan santap
bersama. Pada zaman dahulu, upacara perjamuan dilakukan dengan cara
melantai atau lesehan. Hidangan nasi dengan berbagai lauk-pauknya serta kue-
kue tradisional khas Bugis digelar di lantai yang diberi alas kain panjang
berwarna-warni. Namun, sejak adanya persewaan gedung dan tenda dengan
segala perlengkapannya, perjamuan dilakukan dengan cara prasmanan. Dengan
selesainya upacara perjamuan, maka seluruh rangkaian acara mappnr
botting telah selesai. Rombongan mempelai pria berpamitan kepada pihak
keluarga mempelai wanita. Sementara itu, pengantin pria tidak ikut serta dalam
rombongannya karena ia harus melakukan acara mapparola bersama mempelai
wanita.
b. Marola atau mapparola
Marola atau mapparola adalah kunjungan balasan dari pihak mempelai wanita
ke rumah mempelai pria. Pengantin wanita diantar oleh iring-iringan yang
biasanya membawa hadiah sarung tenun untuk keluarga suaminya. Setelah
mempelai wanita dan pengiringnya tiba di rumah mempelai pria, mereka
langsung disambut oleh seksi padduppa (penyambut) untuk kemudian dibawa ke
pelaminan. Kedua orang tua mempelai pria segera menemui menantunya untuk
memberikan hadiah paddupa berupa perhiasan, pakaian, dan sebagainya sebagai
tanda kegembiraan. Biasanya, beberapa kerabat dekat turut memberikan hadiah
berupa cincin atau kain sutera kepada mempelai wanita, kemudian disusul oleh
tamu undangan memberikan passolo (kado). Setelah pemberian hadiah selesai,
acara dilanjutkan dengan nasehat perkawinan oleh seorang ustadz yang
tujuannya sama seperti nasehat perkawinan di tempat mempelai wanita.
Selanjutnya, upacara mapparola ditutup dengan perjamuan kepada rombongan
mempelai wanita dan para tamu undangan. Mereka disuguhi berbagai macam
hidangan makanan dan kue-kue tradisional Bugis. Usai acara perjamuan, kedua
mempelai bersama rombongannya massimang (mohon diri) kepada kedua orang
tua mempelai pria untuk kembali ke rumah mempelai wanita.

C. Upacara Pasca Perkawinan


Setelah upacara perkawinan dilangsungkan, masih terdapat sejumlah kegiatan
yang juga perlu dilakukan sebagai bagian dari adat perkawinan Bugis di Kab.
Sidenreng Rappang, di antaranya adalah mallukka, ziarah kubur, dan massita bseng.
a. Mallukka botting (melepas pakaian pengantin)
Setelah tiba di rumah mempelai wanita, busana adat pengantin dan segala
aksesoris yang dikenakan oleh kedua mempelai dilepaskan. Pengantin pria
kemudian mengenakan celana panjang berwarna hitam, kemeja panjang
berwarna putih, dan kopiah. Sementara pengantin wanita mengenakan rok atau
celana panjang, kebaya, dan kudung. Setelah itu, pengantin pria dilingkari
tubuhnya dengan tujuh lembar sarung sutera untuk kemudian dilepas satu persatu
dan dilemparkan ke arah bujang atau gadis-gadis yang ada di sekelilingnya.
Menurut kepercayaan orang Bugis, bujang atau gadis yang terkena lemparan
sarung tersebut diharapkan segera mendapat jodoh.
b. Ziarah kubur
Sehari setelah perkawinan berlangsung, kedua pengantin baru tersebut bersama
keluarga sang istri melakukan ziarah ke makam-makam leluhur. Kegiatan ini
dimaksudkan sebagai penghormatan dan rasa syukur bahwa keluarga mereka
telah melaksanakan pesta perkawinan.
c. Massita bseng (bertemu besan)
Massita bseng adalah kunjungan kedua orang tua pengantin laki-laki bersama
beberapa kerabat dekat ke rumah pengantin wanita untuk bertemu dengan
besannya (orang tua pengantin wanita). Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada
malam harinya yakni seusai acara mallukka atau satu hari setelah pesta
perkawinan selesai. Tujuannya adalah untuk bersilaturrahmi dan saling mengenal
antarkedua keluarga secara lebih dekat. Dalam kunjungan tersebut rombongan
orang tua pengantin pria membawa lisek rantang (isi rantang) yang terdiri dari
dua belas macam lauk-pauk dan kue-kue tradisional Bugis untuk keluarga
pengantin wanita. Acara silaturrahmi biasanya ditutup dengan jamuan santap
siang/malam bersama antara kedua belah pihak keluarga sebagai tanda syukur
kepada Allah SWT atas terselenggaranya upacara perkawinan dengan sukses.
Acara santap bersama ini menandai berakhirnya seluruh rangkaian upacara
perkawinan.

II. Nilai-Nilai dalam Upacara Upacara Perkawinan (Mappabotting) dalam


Masyarakat Bugis di Kab. Sidenreng Rappang
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita
dalam suatu rumah tangga berdasarkan kepada tuntutan agama. Ada juga yang
mengartikan suatu perjanjian atau aqad (ijab dan qabul) antara seorang laki-laki dan
perempuan untuk menghalalkan hubungan badaniah sebagaimana suami isteri yang
sah yang mengandung syarat-syarat dan rukun-rukun yang ditentukan oleh syariat
Islam (Saleh, 2008; 3). Mappabotting dalam bahasa Bugis berarti
melaksanakan upacara perkawinan. Sementara itu, istilah perkawinan dalam bahasa
Bugis disebut siala yang berarti saling mengambil satu sama lain. Dengan demikian,
perkawinan adalah ikatan timbal balik antara dua insan yang berlainan jenis kelamin
untuk menjalin sebuah kemitraan (Pelras, 2006:178). Menurut Ibrahim A (dalam
Badruzzaman, 2007; 76), istilah perkawinan dapat juga disebut siabbinng dari
kata bin yang berarti benih padi. Dalam tata bahasa Bugis, kata bin jika mendapat
awalan ma menjadi mabbin berarti menanam benih. Kata bin atau mabbin ini
memiliki kedekatan bunyi dan makna dengan kata bain (istri) atau mabbain
(beristri). Maka dalam konteks ini, kata siabbinng mengandung makna menanam
benih dalam kehidupan rumah tangga pada masyarakat Bugis Kab. Sidenreng
Rappang.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam upacara adat perkawinan orang Bugis di
Kab. Sidenreng Rappang, antaranya adalah: Sakralitas. Nilai ini terlihat jelas dari
pelaksanaan berbagai macam ritual-ritual khusus seperti mandi tolak bala, pembacaan
berzanji, acara mappacci, dan lain sebagainya. Ritual-ritual tersebut dianggap sakral
oleh orang Bugis dan bertujuan untuk memohon keselamatan kepada Allah SWT.
Penghargaan terhadap kaum perempuan. Nilai ini terlihat pada keberadaan proses
peminangan yang harus dilakukan oleh mempelai pria. Hal ini menunjukkan suatu
upaya untuk menghargai kaum perempuan dengan meminta restu dari kedua orang
tuanya. Nilai penghargaan terhadap perempuan juga dapat dilihat dengan adanya
pemberian mahar berupa mas kawin dan dui balanca yang cukup tinggi dari pihak
laki-laki kepada pihak perempuan. Keberadaan mahar sebagai hadiah ini merupakan
isyarat atau tanda kemuliaan perempuan.
Bagi orang Bugis di Kab. Sidenreng Rappang, perkawinan bukan sekedar
menyatukan dua insan yang berlainan jenis menjadi hubungan suami-istri, tetapi lebih
kepada menyatukan dua keluarga besar. Dengan demikian, perkawinan merupakan
salah satu sarana untuk menjalin dan mengeratkan hubungan kekerabatan. Selain itu,
semangat gotong royong dapat terlihat pada prosesi pelaksanaan pesta perkawinan
yang melibatkan kaum kerabat, handai taulan, dan para tetangga. Mereka tidak saja
memberikan bantuan berupa pikiran dan tenaga, tetapi juga dana untuk membiayai
pesta tersebut.
Pesta perkawinan bagi orang Bugis di Kab. Sidenreng Rappang bukan sekedar
upacara perjamuan biasa, tetapi lebih kepada peningkatan status sosial. Semakin
meriah sebuah pesta, semakin maka semakin tinggi status sosial seseorang. Oleh
karena itu, tak jarang sebuah keluarga menjadikan pesta perkawinan sebagai ajang
untuk meningkatkan status sosial mereka.
PENUTUP
Mappabotting merupakan upacara adat perkawinan orang Bugis di Kab.
Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Perkawinan menurut orang Bugis bukanlah
sekedar untuk menyatukan kedua mempelai pria dan wanita, tetapi lebih daripada itu
adalah menyatukan dua keluarga besar sehingga terjalin hubungan kekerabatan yang
semakin erat. Untuk itulah, budaya perkawinan orang Bugis perlu tetap dipertahankan
karena dapat memperat hubungan silaturrahmi antarkerabat. Perkawinan bagi orang
Bugis di Kab. Sidenreng Rappang adalah perpaduan antara kuatnya adat dan juga
pelaksanaan ajaran Islam. Islam yang datang setelah terbangunnya peradaban Bugis
melalui fase yang panjang tidak sertamerta mengubah kebiasaan dan prosesi yang
sudah ada. Namun, apa yang bertentangan dengan ajaran Islam kemudian
ditinggalkan. Sementara hal-hal yang tidak diatur secara kaku dalam Islam kemudian
diaptasi ke dalam prinsip-prinsip yang tetap islami tetapi kemasannya disesuaikan
dengan bingkai adat. Beberapa hal yang menjadi aturan dasar Islam dalam
perkawinan justru diakulturasikan ke dalam prosesi Bugis yang lebih dikenal dalam
kehidupan sehari-hari. Islam yang dianut digunakan secara ketat tetapi menjadi
bagian dari pranata sosial, tidak berdiri sendiri sebagi satu pilar yang berbeda.
Beberapa prosesi perkawinan tidak menggunakan bahasa Arab, tetapi tetap selaras
dengan ajaran Islam dan dibingkai dalam suasana kedaerahan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa Islam diterima sebagai pegangan hidup
walaupun tidak menggunakan tata cara yang digunakan dalam tradisi Arab. Ini
menunjukkan bahwa sejak awal orang Bugis sudah memiliki cara hidup tersendiri
yang sesungguhnya tetap tidak ditolak dalam pelaksanaan hukum Islam. Perkawinan
cara orang Bugis di Kab. Sidenreng Rappang tetap dipertahankan dalam
lingkungannya masing-masing. Adat dan Islam menyatu sehingga sulit untuk
membedakan atau memilah antara keduanya. Sementara prosesi perkawinan dipandu
dengan ajaran agama, pengiriman undangan, penghormatan terhadap orang tua,
pemilihan pasangan, jamuan makan, dan persiapan menjadi pasangan keluarga baru,
semuanya dilangsungkan dengan spirit Islam. Adapun implementasi dan prosesi yang
ada semata-mata menggunakan cara pandang orang Bugis terhadap lingkungannya.
Penelitian ini menunjukkan bahwa Islam diterima sebagai pegangan hidup walaupun
tidak menggunakan tata cara yang digunakan dalam tradisi Arab. Ini menunjukkan
bahwa sejak awal orang Bugis sudah memiliki cara hidup tersendiri yang
sesungguhnya tetap tidak ditolak dalam pelaksanaan hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis Makassar. Jakarta: Inti Idayu Press.
Ali, Zainuddin. Antropologi Hukum. Palu: Yayasan Indonesia Baru. 2013.
Badruzzaman. 2007. Peranan syara dalam perkembangan Islam di Sulawesi
Selatan
Berger, Peter L. The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of
Religion. Newyork: Doubleday Company Inc, 1969.
Damami, Muhammad. 2002. Makna Agama dalam Masyarakat Jawa.
Yogyakarta: LESFI.
Durkheim, Emile. 1926. The Elementary Forms of Religious Life. New York: The
Free Press.
Chaterjee, S. R. Human Resouces in Management in India: Where from and
where to?, dalam Research and Practice in Human Resource Management,
Vol. 15, No. 15, 2007.
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic.
______________. 1983. Abangan, Santri, Priyayi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hadikusuma, Hilman. 2003. Hukum perkawinan adat dengan adat istiadat dan
upacara adatnya. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Hamzah, P. dkk. 1984. Monografi Kebudayaan Bugis di Sulawesi Selatan. Ujung
Pandang: Pemerintah Daerah Tk. I Sulawesi Selatan.
Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif. Yogyakarta: Penerbit Erlangga. 2009.
Kelsen, Hans. Dasar-Dasar Hukum Normatif, Penerjemah Nurulita Yusron. Cet.
II. Bandung: Nusa Media, 2009.
Kleden, Ignas. Agama Dalam Perubahan Sosial Prisma, No. 9, September,
1982.
Mame, A. Rahim, 1978. Adat dan upacara perkawinan Sulawesi
Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mattulada, Latoa. 1975. Suatu Lukisan Analitis terhadap Atropologi Politik
Orang Bugis. Jakarta: Universitas Indonesia,.
Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar-Forum Jakarta-Paris.
Saleh, H.E. Hassan dkk. 2008. Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer.
Jakarta: Rajawali Pers.
Sewang, Ahmad. 2005. Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai Abad XVII.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sopyan, Yayan. Metode Penelitian
Hukum. Jakarta:t.t.p. 2009.
Rahman, Nurhayati. 2006. Cinta, Laut dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo. La
Galigo Press: Makassar.

Anda mungkin juga menyukai