Kajian Sosial, Budaya dan Agama dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Bugis di
Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan
Oleh;
Hj. Hasmah
Balai Pelestarian Nilai Budaya
Jl. Sultan Alauddin Km. 7 Talasalapang Makassar, 90221
Telp. (0411) 885119, Fax (0411) 865166
Email; hasmahmawi@gmail.com
Hp. 0852-5590-2370
Abstrak
Perkawinan sebagai salah satu fase dalam kehidupan manusia, merupakan hal
yang sakral dan urgent, dalam realitas sosial budaya masyarakat pada umumnya, adat
dan agama menjadi dua landasan hidup yang dipegang dan diyakini, nilai
implementasi kedua wujud ini dapat terlihat dalam prosesi upacara perkawinan.
Kajian ini berusaha mengungkap perwujudan adat (adeq) dan agama (saraq) dalam
prosesi upacara perkawinan (mappabotting) Pada masyarakat Bugis di Kab.
Sidenreng Rappang. Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kualitatif dengan
metode etnografi. Metode etnografi dengan sendirinya menyediakan perangkat-
perangkat yang memungkinkan proses penelitian berlangsung secara lebih baik,
selain itu studi etnografi (ethnographic studies) dianggap sesuai dengan fokus kajian
ini yaitu untuk mendeskripsikan dan menginterpretasi peristiwa budaya yang
berlangsung dalam prosesi upacara perkawinan pada masyarakat Bugis di Kab.
Sidenreng Rappang.
Prosesi upacara perkawinan masyarakat Bugis di Kab. Sidenreng Rappang
dapat dikategorikan menjadi tiga tahap; (a) Pra Perkawinan dengan prosesi
Mammanu-manu, Madduta atau Massuro, Mappasiarekeng, Mappassau
botting/Cemme passili, Mappanr temme dan Mappacci atau tudammpenni; (b)
Pesta Perkawinan dengan prosesi Mappnr Botting dan Marola atau mapparola;
dan (c) Pasca Perkawinan dengan prosesi Mallukka botting, Ziarah kubur dan
Massita bseng. Kajian ini menggambarkan bahwa posisi Islam dalam masyarakat
Bugis di Kab. Sidenreng Rappang dapat diterima sebagai pegangan hidup. Hal
tersebut menjelaskan bahwa adat (adeq) dan agama (saraq) mampu berjalan bersama
sebagai perwujudan nilai-nilai sosial budaya masyarakat Bugis di Kab. Sidenreng
Rappang.
Keyword; adat (adeq), agama (saraq), perkawinan (mappabotting) dan masyarakat
Bugis
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Realitas sosial budaya masyarakat indonesia pada umumnya, dijalankan,
diajarkan dan dipraktekkan melalui rekonstruski budaya dengan unit terkecil
(keluarga). Meskipun dalam konteksnya terlebih mengutamakan nilia-nilai dasar
budaya, namun jika ditelisik lebih dalam, terdapat banyak perwujudan sinkretis antara
agama dan budaya, dengan penyederhanaan bahwa agama juga dilihat sebagai
pedoman bagi ketetapan dari kebudayaan: suatu pedoman yang beroperasi melalui
sistem-sistem simbol pada tingkat emosional, kognitif, subyektif, dan individual (Ali,
2013; 12). Usaha untuk mengaplikasikan agama khususnya agama diyakini
mayoritas masyarakat Indonesia, Islam- dalam tiap unsur kehidupan masyarakat tidak
terlepas dari budaya, kebiasaaan, dan hukum adat yang masih sangat dipertahankan di
sebagian daerah. Setiap suku di Indonesia memiliki adat istiadat atau kebiasaan
tersendiri yang berbeda. Salah satu perbuatan dimana negara juga mewajibkan untuk
melakukannya menurut agama dan kepercayaannya masing-masing ialah
perkawinan.
Fokus kajian ini adalah mengkaji analisis sosial budaya dan agama dalam upcara
perkawinan masyarakat Bugis. Kepatuhan masyarakat Bugis terhadap adat dan
agama dilakukan secara bersamaan dan sama kuatnya. Dalam konsep
pangngaderreng (undang-undang sosial) terdiri atas lima unsur yang saling
mengukuhkan. Dua di antaranya adalah adeq (adat-istiadat) dan saraq (syariat
Islam). Asumsi tersebut menjadi menarik jika disandarkan dalam konteks perkawinan
(Mappabotting) dengan pernyataan Nurhayati Rahman (dalam buku Cinta, Laut dan
Kekuasaan dalam Epos Lagaligo, 2006), bahwa kedua lembaga ini mempunyai tugas
dan fungsi yang sesuai dengan tugasnya masing-masing (Rahman, 2006; 387).
Pampawa adeq dipangku raja sekaligus mengatur roda pemerintahan. Sementara
pampawa saraq dipangku kadi, imam, khatib, bilal dan doja penjaga masjid akan
menangani persoalan yang berhubungan dengan fiqh Islam. Tradisi ini merupakan
praktek pengaturan sosial yang berlangsung turun-temurun sampai sekarang. Adeq
dan saraq merupakan bagian dari kelangsungan kehidupan orang Bugis. Hal ini
dipandang oleh Berger sebagai tradisi yang diterima suatu masyarakat merupakan
memori kolektif. Ini merupakan hasil dari potensi yang ada dalam setiap individu
untuk mengaktualisasikan makna bermasyarakat. Bagian-bagian kecilnya termasuk
dalam simbol-simbol yang menyertai sebuah peristiwa. Jika kemudian makna
kolektif yang ada dihayati secara kelompok, maka dapat saja berfungsi untuk
menjaga keutuhan tradisi yang berlangsung turun-temurun (Berger, 1969; 53).
Dengan adanya keterhubungan antara masa lalu dan masa kini, maka ada produksi
makna baru atas berlangsungnya peristiwa. Selanjutnya timbul solidaritas dan
emosional berkat peristiwa yang ada sebelumnya. Tidak saja disatukan oleh ritual
yang ada dalam agama, tetapi juga telah menjadi solidaritas masyarakat. Namun
demikian, simbol-simbol ini tidak dapat melepaskan diri dari modernitas yang mulai
berkembang secara cepat dengan kehadiran pelbagai elemen teknologi. Jika
mengikuti kritik Habermas, maka tumbuh kembangnya modernitas akan memberikan
distorsi bagi tradisi tersebut (Habermas, 1987; 116). Jika kebudayaan, masyarakat
dan sosialisasi berjalan secara seiring, maka akan terjadi integrasi masyarakat dan
sosialisasi.
Keterbukaan orang Bugis dalam menerima Islam dalam konteks
pangngaderreng, kemudian menambahkan saraq dalam konsep tersebut
membuktikan bahwa ada keterbukaan dalam dinamika kehidupan mereka. Jika
penjelasan Kleden dapat diterima, maka ini disebut dengan proses alami di mana
dunia sosial yang dibentuk manusia berdasarkan pengalaman dan proses belajar
(Kleden, 1982; 12). Cara ini dilakukan oleh setiap individu untuk melengkapi
kekurangan yang ada. Adapun pengalaman belajar semata-mata akan tumbuh dari
pengembaraan dalam ruang dan waktu. Sementara orang Bugis adalah di antara
kategori yang suka mengembara dalam menghadapi lingkungan alam.
Masyarakat Bugis menganggap bahwa adat tidak sekedar berarti kebiasaan.
Dalam pemahaman Matthes, adat dalam tradisi Bugis sebagai kebiasaan (dalam
Rahman, 2006; 254). Dengan demikian maka tidak saja adat berarti kebiasaan tetapi
menjadi esensi sebuah kehidupan. Ketika dilanggar, maka seluruh anggota
masyarakat yang akan ikut menanggungnya. Berbeda dengan Matthes, Mattulada
justru memahami adat sebagai sesuatu yang luhur dengan kalimat adat itulah yang
memberikan bentuknya dalam wujud watak masyarakat dan kebudayaan serta orang-
orang yang menjadi pendukungnya (Mattulada, 1975; 315). Dengan demikian,
posisi adat menjadi penting dalam kalangan orang Bugis. Adat merupakan salah satu
gagasan yang senantiasa menopang keberlangsungan kehidupan pranata sosial.
Dengan demikian, menjadi relevan untuk meneliti konsep adat, dalam hal ini adalah
kajian perkawinan. Salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang hingga saat ini
menggunakan adat istiadat Bugis tersebut adalah Kabupaten Sidenreng Rappang,
yang dalam prosesi perkawinannya baik sebelum maupun di dalamnya masih
mempertahankan adat istiadat tersebut. Kajian ini berusaha mengungkap perwujudan
saraq (agama) dan adeq (adat), wujud aplikasinya dan nilai-nilai dalam prosesi
upacara perkawinan (Mappabotting) masyarakat Bugis. Dari sudut pandang sosial
budaya, adat istiadat yang masih dipertahankan hingga kini tentunya mempunyai
maksud dan tujuan tertentu, terdapat kebiasaan-kebiasaan yang secara tersirat
mempunyai makna filosofis dalam konteks adat dan agama yang terkandung di
dalamnya.
B. Manusia Bugis
Bugis adalah salah satu suku bangsa yang mendiami wilayah bagian Selatan
pulau Sulawesi yang saat ini dikenal dengan Sulawesi Selatan. Orang Bugis
merupakan etnis terbesar dengan prosentase 41.90% dari jumlah penduduk Sulawesi
Selatan (Sewang, 2005:65). Di Sulawesi Selatan sendiri, selain orang Bugis juga
terdapat orang Makassar, Toraja, dan Mandar. Mandar saat ini berada di Sulawesi
Barat setelah pemekaran wilayah. Wilayah yang didiami oleh orang Bugis meliputi
Kabupaten/Kota Bone, Soppeng, Wajo, Sidenreng Rappang, Pinrang, Luwu, Pare-
Pare, Barru, dan Sinjai. Sementara kabupaten seperti Maros, Pangkajene Kepulauan,
Bantaeng, dan Bulukumba didiami oleh orang Bugis dan sebagian Makassar. Adapun
daerah seperti Tana Toraja, orang Bugis merupakan etnis minoritas. Terdapat dua
pendapat utama mengenai asal-usul orang Bugis (To Ugi). Pertama, orang Bugis
berasal dari India Belakang seperti halnya suku bangsa lain di nusantara. Menurut
pendukung pendapat ini bahwa orang India datang secara bergelombang ke nusantara
ribuan tahun lalu.
Orang Bugis menurut pendapat ini digolongkan dalam rumpun atau turunan
Melayu Muda (Deutero Melayu) yang datang ke wilayah Sulawesi Selatan. Sebelum
mereka datang, Melayu Tua (Proto Melayu) terlebih dahulu memasuki wilayah ini
(Hamzah, 1984:34). Pendapat ini juga didukung oleh fakta bahwa saat ini orang
Bugis banyak yang telah beranak-pinak di beberapa daerah Melayu seperti Sumatera
dan Kalimantan, bahkan di Malaysia. Pendapat pertama ini juga mendukung asumsi
bahwa Islam masuk ke Indonesia berasal dari India. Kedua, orang Bugis merupakan
salah satu rumpun dari orang Austronesia yang tersebar di beberapa tempat di Asia
Tenggara (Pelras, 2006; 14).
Penyebaran rumpun ini dalam perkembangannya melahirkan suku bangsa seperti
Melayu, Bali, dan Jawa. Namun, mereka lebih terkenal dibandingkan Bugis. Pada
abad ke-19, penyebaran orang Bugis telah merambah Singapura hingga Papua, dari
bagian Selatan Filipina hingga ke pantai Barat Australia. Adapula yang mengatakan
bahwa orang Bugis pernah menyeberangi samudera Hindia sampai ke Madagaskar.
Dari keterangan ini, orang pun mengatakan bahwa orang Bugis merupakan pelaut
ulung di masanya karena kemampuan mengarungi lautan dengan keterbatasan alat
pelayaran yang dimiliki. Pendapat ini merupakan pendapat yang banyak dijadikan
rujukan mengenai asal-usul orang Bugis.
Kedua pendapat di atas setidaknya memberikan gambaran mengenai asal-usul
orang Bugis meskipun terdapat perbedaan persepsi. Tidak hanya pada persoalan asal-
usul, batasan mengenai siapakah yang termasuk orang Bugis pun sulit ditetapkan.
Untuk memberikan batasan terhadap orang Bugis, penulis meminjam kerangka yang
digunakan oleh Muhammad Damami (2002; 35) untuk memberikan gambaran
mengenai definisi masyarakat Jawa. Menurutnya, masyarakat Jawa adalah
masyarakat yang beretnis Jawa yang masih memiliki komitmen terhadap kebudayaan
Jawa, apakah mereka tinggal di Jawa atau pun di luar Jawa. Mengacu pada pendapat
ini, dapat dikatakan bahwa orang Bugis adalah orang yang memiliki ikatan dengan
kebudayaan Bugis, baik yang tinggal di Sulawesi Selatan maupun yang tinggal di
luar daerah tersebut. Definisi ini mencakup bahasa dan geneologi atau silsilah
keluarga orang Bugis.
Mengingat penyebaran orang Bugis yang sampai ke beberapa wilayah di luar
Sulawesi Selatan, mereka sering diidentikkan dengan pelaut ulung. Informasi seperti
ini merupakan informasi yang keliru. Alasan ini didasarkan pada fakta bahwa
aktivitas maritim orang Bugis baru benar-benar berkembang pada abad ke-18.
Adapun perahu pinisi, yang sering didentikkan dengan kepelautan orang Bugis, baru
ditemukan antara penghujung abad ke-19 hingga dekade 1930-an (Pelras, 2006:4).
Demikian pula, predikat bajak laut yang diberikan kepada orang Bugis merupakan
sesuatu yang keliru. Justru, orang Bugis merupakan petani yang ulet. Aktivitas
maritim hanya digandrungi oleh mereka yang tinggal di sekitar pantai yang
kuantitasnya minoritas, sedangkan mayoritas orang Bugis justru berada jauh dari laut
yang mayoritas berprofesi sebagai petani sawah. Kebiasaan orang Bugis merantau
dan menetap di negeri lain kemungkinan menjadi pemicu utama persepsi pelaut
terhadap mereka.
Bagi suku-suku bangsa yang tinggal di sekitar orang Bugis, mengenal mereka
sebagai orang yang berkarakter keras dan menjunjung tinggi kehormatan. Bahkan
demi kehormatan (siriq), orang Bugis rela melakukan tindak kekerasan karena siriq
merupakan harga diri yang mesti dipertahankan. Karakter keras menjadi label orang
Bugis karena keteguhan mempertahankan sesuatu dan keberanian menghadapi
tantangan. Terlepas dari stigma karakter keras, orang Bugis juga dikenal dengan
penghargaan yang tinggi terhadap orang lain dan memiliki kesetiakawanan yang kuat.
Di berbagai wilayah di nusantara, orang Bugis dapat ditemukan dengan berbagai
bentuk aktivitas. Mereka sibuk dengan aktivitas pelayaran, perdagangan, pertanian,
dan berbagai pekerjaan yang lain. Berbagai persepsi terhadap orang Bugis merupakan
penilaian dari luar komunitas yang setidaknya dapat dijadikan salah satu referensi
melihat orang Bugis.
PEMBAHASAN
I. Prosesi Upacara Perkawinan (Mappabotting) dalam Masyarakat Bugis di Kab.
Sidenreng Rappang
Prosesi upacara perkawinan dalam masyarakat Bugis dikenal dengan istilah
Mappabotting. Mappabotting secara harfiah terbagi dalam dua suku kata, yaitu Ma
yang ditambahkan imbuhan Pa sebagai wujud penegasan dalam makna proses-
adalah awalan dalam bahasa Bugis yang biasanya digunakan untuk mengindikasikan
kegiatan atau proses yang sedang berlangsung dan Botting diartikan sebagai kawin
atau nikah (Pelras, 2006:178). Secara garis besar, pelaksanaan upacara adat ini dibagi
menjadi tiga tahap, yaitu upacara pra-perkawinan, pesta perkawinan dan pasca
perkawinan.
B. Pesta Perkawinan
Secara garis besar, upacara atau resepsi perkawinan dibagi menjadi dua tahap
yaitu mappnr botting dan marola.
a. Mappnr Botting (mengntar pengantin)
Mappnr botting adalah mengantar mempelai pria ke rumah mempelai wanita
untuk melaksanakan beberapa serangkaian kegiatan seperti madduppa botting
(menyambut kedatangan pengantin), akad nikah dan Mappasikarawa atau
mappasiluka (persentuhan pertama). Mempelai pria diantar oleh iring-iringan
tanpa kehadiran kedua orang tuanya. Adapun orang-orang yang ikut dalam iring-
iringan tersebut di antaranya indo botting (Inang Pengantin atau yang
mewakili), dua orang passeppi (pendamping mempelai) yang terdiri dari anak
laki-laki, beberapa kerabat atau orang-orang tua sebagai saksi-saksi pada acara
akad nikah, pembawa mas kawin, dan pembawa hadiah-hadiah lainnya. Dalam
prosesi ini, ada beberapa kegiatan yang biasanya dilakukan dalam prosesi
perkawinan masyarakat Bugis Kab. Sidenreng Rappang, antara lain;
- Madduppa botting (menyambut kedatangan pengantin)
Madduppa botting berarti menyambut kedatangan mempelai pria di rumah
mempelai wanita. Acara penyambutan tersebut dilakukan oleh beberapa
orang yaitu dua orang paddupa atau penyambut (satu remaja pria dan satu
wanita remaja), dua orang pakkusu-kusu (perempuan yang sudah menikah),
dua orang pallipa sabb (orang tua pria dan wanita setengah baya
mengenakan sarung sutra sebagai wakil orang tua mempelai wanita), seorang
wanita pangampo wenno (penebar wenno), serta satu atau dua orang
paddupa botting yang bertugas menjemput dan menuntun mempelai pria
turun dari mobil menuju ke dalam rumah (Badruzzaman, 2007; 33).
- Akad nikah
Orang Bugis di Kab. Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan umumnya
beragama Islam. Oleh karena itu, acara akad nikah dilangsungkan menurut
tuntunan ajaran Islam dan dipimpin oleh imam kampung atau seorang
penghulu dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Sebelum akad nikah
atau ijab qabul dilaksanakan, mempelai laki-laki, orang tua laki-laki (ayah)
atau wali mempelai wanita, dan dua saksi dari kedua belah pihak dihadirkan
di tempat pelaksanaan akad nikah yang telah disiapkan. Setelah semuanya
siap, acara akad nikah segera dimulai, dalam pelaksanaan akad nikah
terdapat urutan acara seperti pembacaan ayat suci al-Quran, kemudian
dilanjutkan pemeriksaan berkas perkawinan oleh penghulu, dan penanda
tanganan berkas oleh kedua mempelai, wali, dan saksi-saksi. Khusus untuk
mempelai wanita, penandatanganan berkas dilakukan di dalam kamar karena
ia tidak boleh keluar kamar selama proses akad nikah berlangsung. Setelah
itu, acara dilanjutkan dengan penyerahan perwalian dari orang tua atau wali
mempelai wanita kepada imam atau penghulu untuk proses ijab kabul.
Ijab kabul dimulai dengan khutbah nikah oleh imam atau penghulu. Dengan
bimbingan imam, mempelai pria mulai mengucapkan beberapa bacaan
seperti istigfar, dua kalimat syahadat, shalawat, dan ijab kabul. Sighat atau
kalimat ijab kabul yang disampaikan oleh mempelai pria harus jelas
kedengaran oleh para saksi untuk sahnya akad nikah. Oleh karena itu, tak
jarang mempelai pria harus mengulanginya hingga dua tiga kali
(Pelras,2006:183).
- Mappasikarawa atau mappasiluka (persentuhan pertama)
Setelah proses akad nikah selesai, mempelai pria dituntun oleh orang yang
dituakan menuju ke dalam kamar mempelai wanita untuk ipasikawara
(dipersentuhkan). Kegiatan ini disebut dengan mappasikarawa,
mappasiluka atau madusa jnn, yaitu mempelai pria harus menyentuh
salah satu anggota tubuh mempelai wanita. Kegiatan ini dianggap penting
karena menurut anggapan sebagian masyarakat Bugis bahwa keberhasilan
kehidupan rumah tangga kedua mempelai tergantung pada sentuhan pertama
mempelai pria terhadap mempelai wanita. Menurut Mame (1978:78), ada
banyak variasi mengenai bagian tubuh mempelai wanita yang
harus disentuh, yaitu di antaranya: (a) Buah dada sebagai lambang gunung,
yaitu dengan harapan rezeki kedua mempelai kelak menggunung; (b) Ubun-
ubun atau leher belakang, yaitu mengandung makna agar wanita itu tunduk
kepada suaminya; (c) Menggenggam tangan mempelai wanita, yaitu
mengandung makna agar kelak hubungankeduanya kekal atau langgeng; dan
(d) Perut, yaitu mengandung makna agar kehidupan mereka kelak tidak
mengalami kelaparan dengan angggapan bahwa perut selalu diisi.
Selanjutnya upacara mappnr botting ditutup dengan upacara jamuan santap
bersama. Pada zaman dahulu, upacara perjamuan dilakukan dengan cara
melantai atau lesehan. Hidangan nasi dengan berbagai lauk-pauknya serta kue-
kue tradisional khas Bugis digelar di lantai yang diberi alas kain panjang
berwarna-warni. Namun, sejak adanya persewaan gedung dan tenda dengan
segala perlengkapannya, perjamuan dilakukan dengan cara prasmanan. Dengan
selesainya upacara perjamuan, maka seluruh rangkaian acara mappnr
botting telah selesai. Rombongan mempelai pria berpamitan kepada pihak
keluarga mempelai wanita. Sementara itu, pengantin pria tidak ikut serta dalam
rombongannya karena ia harus melakukan acara mapparola bersama mempelai
wanita.
b. Marola atau mapparola
Marola atau mapparola adalah kunjungan balasan dari pihak mempelai wanita
ke rumah mempelai pria. Pengantin wanita diantar oleh iring-iringan yang
biasanya membawa hadiah sarung tenun untuk keluarga suaminya. Setelah
mempelai wanita dan pengiringnya tiba di rumah mempelai pria, mereka
langsung disambut oleh seksi padduppa (penyambut) untuk kemudian dibawa ke
pelaminan. Kedua orang tua mempelai pria segera menemui menantunya untuk
memberikan hadiah paddupa berupa perhiasan, pakaian, dan sebagainya sebagai
tanda kegembiraan. Biasanya, beberapa kerabat dekat turut memberikan hadiah
berupa cincin atau kain sutera kepada mempelai wanita, kemudian disusul oleh
tamu undangan memberikan passolo (kado). Setelah pemberian hadiah selesai,
acara dilanjutkan dengan nasehat perkawinan oleh seorang ustadz yang
tujuannya sama seperti nasehat perkawinan di tempat mempelai wanita.
Selanjutnya, upacara mapparola ditutup dengan perjamuan kepada rombongan
mempelai wanita dan para tamu undangan. Mereka disuguhi berbagai macam
hidangan makanan dan kue-kue tradisional Bugis. Usai acara perjamuan, kedua
mempelai bersama rombongannya massimang (mohon diri) kepada kedua orang
tua mempelai pria untuk kembali ke rumah mempelai wanita.