Anda di halaman 1dari 238

SKRIPSI

Memahami Modal Sosial dalam Pengentasan Kemiskinan:


Studi Kasus PNPM Mandiri Perkotaan
di Kelurahan Muntilan dan Desa Gunungpring, Kabupaten Magelang

Disusun Oleh:

Aulia Widya Sakina


07/ 253954/ SP/ 22140

JURUSAN PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011
LEMBAR PENGESAII,dN

Skripsi ini tclrh diuji dan dipertahankan di depan

fi. nlgp;i.fffu'san
embanguna Sostsl d*n Koseiahtllele

Feliultas llmu Sosial dan lhnu Folitik

Untuer*itns Gadiah Mda

Padahari Rabu

Tanggat 28

Pukul 09.3

Ternpat

tuPwguii

Kotua Tim

Drs. Soeto$o;l[. Si
Iloscn Penguii I

Ilempri Snrmtm" S. Sos. M. Si


Doscn Peryuji II
Sebuah karya kecil ini kupersembahkan untuk

mereka yang selalu menyayangiku

…lebih dari yang aku tahu

ii
KATA PENGANTAR

“Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil,


Tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna…”
Einstein
Bismillahirrahmanirrahiim

Alhamdulillah, puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas

limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul: “Memahami

Modal Sosial dalam Pengentasan Kemiskinan: Studi Kasus PNPM Mandiri Perkotaan di

Kelurahan Muntilan dan Desa Gunungpring, Kabupaten Magelang” dapat terselesaikan

dengan baik.

Pada awalnya memang penulis berpikir skripsi ini akan menjadi sebuah hal yang

berat mengingat penulis harus memotret secara menyeluruh dua karakteristik masyarakat

yang begitu kompleks dengan berbagai permasalahan yang terjadi. Namun, kembali

penulis berpikir bahwa segala sesuatu yang ingin dicapai harus dengan kemauan dan

usaha yang sungguh-sungguh. Sehingga ketika kemauan itu sudah ada, hanya usaha keras

beserta doa yang mengiringi perjuangan penulis dalam mencapai keberhasilan.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan,

dukungan dan bantuan yang diberikan berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini

penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ungkapan terima kasih kepada:

1. Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan inayah-Nya.

2. Bapak Drs. Suparjan, M.Si yang dengan kemurahan hatinya telah bersedia

meluangkan banyak waktunya untuk terus memberikan bimbingan dan arahan

kepada penulis yang malas ini. Terimakasih karena Bapak selalu membesarkan

iii
hati, mendorong dan tiada henti memberikan semangat kepada penulis sehingga

wawasan penulis terbuka dan bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

3. Bapak Prof. Dr. Susetiawan selaku Ketua Jurusan Pembangunan Sosial dan

Kesejahteraan; Mas Danang Arif Darmawan, S.Sos, M.Si selaku Sekretaris

Jurusan sekaligus Dosen Pembimbing Lapangan semasa KKN dulu, terimakasih

telah memberikan pengalaman dan pelajaran yang sangat berharga kepada penulis,

sungguh pengalaman yang takkan pernah terlupakan dimana telah mengajarkan

penulis tentang arti sebuah kepercayaan, ketulusan, kesetiakawanan, dan

pengabdian untuk bisa menjadi sosok yang berguna dan bertanggungjawab di

masyarakat.

4. Seluruh Pengajar dan Civitas Akademika Jurusan Pembangunan Sosial dan

Kesejahteraan yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, terimakasih atas

segala ilmu, nasehat, dan pengalaman yang telah diberikan kepada penulis selama

belajar di Jurusan PSdK UGM.

5. Pemerintah Kecamatan Muntilan, khususnya Kelurahan Muntilan dan Desa

Gunungpring; segenap masyarakat yang selalu direpotkan dengan kegiatan

penelitian ini; serta jajaran pengurus BKM Amanah Warga Kelurahan Muntilan

dan BKM Mandiri Desa Gunungpring yang senantiasa membantu penulis dalam

menggali informasi selama penelitian berlangsung.

6. Sahabat-sahabat penulis di Jurusan PSdK yang selalu membawa pencerahan

ketika penulis down sebelum waktunya; Alumni “Circle Six” ex SMADA

Yogyakarta dan Alumni “KAUS” ex SPENSA Muntilan, yang selalu berusaha

iv
membantu dan mendukung penulis meskipun jarak dan waktu memisahkan kita,

tanpa bantuan dan dukungan kalian penulis tidak akan bisa melangkah sejauh ini.

7. Terima kasih yang tidak terhingga untuk Bapak, Ibu, Adik-adik, Keluarga Bani

Asnawi tercinta, Keluarga Mbah Anwar Hidayat, Umak dan Papa di Kampung,

serta seluruh keluarga besar yang selalu mendoakan, memberikan dukungan, dan

limpahan kasih sayang yang tidak ada hentinya kepada penulis. Terimakasih juga

untuk Abigan yang selalu sabar dan tak pernah mengeluh menjadi sopir, asisten,

tempat berkeluh kesah, serta tempat berbagi susah dan senang selama proses

“jatuh bangun” penyusunan skripsi yang begitu lama ini.

8. Seluruh pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini, yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu.

Tiada gading yang tak retak. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kata

sempurna, untuk itu kritik dan saran adalah dua kata yang sangat diharapkan untuk lebih

meningkatkan kesempurnaan dimasa mendatang. Akhirnya penulis berharap semoga

tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Mohon maaf apabila selama penyusunan skripsi

dan pelaksanaan penelitian terdapat kesalahan serta telah mengganggu dan merepotkan

berbagai pihak.

“Man Jadda Wajada,


Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan menuai hasilnya…”

Aulia Widya Sakina

v
DAFTAR ISI

Halaman Judul…………………………………………………………………………...i

Lembar Pengesahan……………………………………………………………………..ii

Surat Pernyataan………………………………………………………………………..iii

Halaman Persembahan………………………………………………………………....iv

Kata Pengantar…………………………………………………………………….........v

Daftar Isi………………………………………………………………………………..viii

Daftar Tabel…………………………………………………………………………......xi

Daftar Gambar………………………………………………………………………....xii

Intisari…………………………………………………………………………………..xiii

BAB I. Modal Sosial dan Kemiskinan di Masyarakat

A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………...…1

1. Kemiskinan: Realita yang Tak Kunjung Usai……………………………1

2. Gaung Program Pengentasan Kemiskinan dan Surutnya Modal Sosial….4

B. Rumusan Masalah…..…………………………………………………….....11

C. Tujuan Penelitian………………………………………………………...….12

D. Manfaat Penelitian…………………………………………………………..14

E. Studi Pustaka…………………………………………………….………….15

1. Mimpi Pengentasan Kemiskinan………………………………………..15

2. Konsep Modal Sosial dalam Pengentasan Kemiskina di Indonesia…….24

3. Penguatan Modal Sosial untuk Pengentasan Kemiskinan: Sebuah

Tantangan……………………………………………………………….43

vi
BAB II. Metode Penelitian

A. Jenis Penelitian……………………………………………………..…..…...55

B. Lokasi Penelitian………………………………………………………....…57

C. Pemilihan Informan………………………………………………..….….....58

D. Pengumpulan Data……………………………………………………..…...59

E. Teknik Analisa Data………………………………………………………...67

F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data………………………………………69

G. Hambatan Penelitian…………………………………………………….......74

BAB III. Potret Pelaksanaan Program Pengentasan Kemiskinan di Kelurahan

Muntilan dan Desa Gunungpring

A. Dari Warisan Hingga Semangat Kebersamaan…………………………......78

B. Model Pengentasan Kemiskinan ala Pemerintah: PNPM Mandiri

Perkotaan........................................................................................................95

C. Pelaksanaan Siklus PNPM Mandiri Perkotaan di Kelurahan Muntilan dan

Desa Gunungpring…………………………………………………………104

BAB IV. Memahami Modal Sosial dalam Pengentasan Kemiskinan

A. PNPM Mandiri Perkotaan: Beda Konsep Beda Realita…………..…...…..124

1. Pengembangan Kemampuan Kelembagaan…………………………...128

2. Pengembangan Bidang Ekonomi………………..…………………….144

3. Pengembangan Bidang Sosial…………………………………………149

4. Pengembangan Bidang Lingkungan…………………...……………...152

B. Analisis Sikap dan Cara Pandang Masyarakat dalam Memahami Modal

Sosial Setempat……………………………………………………………162

vii
1. Partisipasi dalam jaringan sosial…………………………………..…..162

2. Pranata Sosial…………………………………………………..…..….168

3. Sikap Saling Percaya………………………………………………......170

4. Saling Tukar Kebaikan…………………………………………...........176

5. Kohesifitas Sosial………………………………………………...........177

6. Akses Informasi dan Komunikasi…………………………………..…179

7. Tindakan Proaktif……………………………………………………...180

C. Modal Sosial: Kunci Pembuka Mengatasi Masalah Kemiskinan………….183

D. Penguatan Modal Sosial: Melindungi Masyarakat dari Kerentanan………198

BAB V. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan………………………………………………………………....209

B. Saran………………………………………………………………………..213

Daftar Pustaka………………………………………………………………………..215

Lampiran………………………………………………………………………..…….219

viii
DAFTAR TABEL

TABEL 1.1 : Social Capital : Bonding and Bridging……………………………….33

TABEL 1.2 : Kontinum Modal Sosial……………………………………………….35

TABEL 4.1 : Beberapa Perbedaan Komponen Model Pengentasan Kemiskinan dalam

PNPM Mandiri Perkotaan…………………………………………….161

TABEL 4.2 : Perbandingan Masyarakat Berdasarkan Kontinum Modal Sosial……182

TABEL 4.3 : Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengentasan Kemiskinan di Desa

Gunungpring (Wilayah Rural)…………………………………....…..189

TABEL 4.4 : Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengentasan Kemiskinan di

Kelurahan Muntilan (Wilayah Pheri Urban)……………………….....195

TABEL 4.5 : Dinamika Masyarakat Berdasarkan Social Bonding.............................203

TABEL 4.6 : Dinamika Masyarakat Berdasarkan Social Bridging............................205

TABEL 4.7 : Dinamika Masyarakat Berdasarkan Social Linking…………………..207

ix
DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1.1 : Interaksi antara Bentuk-Bentuk Modal/Capital……………….34

GAMBAR 1.2 : Kohesi Sosial: Penggabungan dari Bonding, Bridging dan

Linking Social Capital…………………………………………34

GAMBAR 1.3 : Unsur-unsur Pembentuk Modal Sosial………………………...38

GAMBAR 3.1 : Struktur Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin….....................82

GAMBAR 3.2 : Struktur Penduduk Berdasarkan Tingkat Kepercayaan……….83

GAMBAR 3.3 : Struktur Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan…………83

GAMBAR 3.4 : Struktur Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin……………….88

GAMBAR 3.5 : Struktur Penduduk Berdasarkan Tingkat Kepercayaan……….88

GAMBAR 3.6 : Struktur Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan………....89

GAMBAR 3.7 : Struktur Organisasi BKM Amanah Warga Kelurahan

Muntilan………………………………………………………103

GAMBAR 3.8 : Struktur Organisasi BKM Mandiri Desa Gunungpring……...104

GAMBAR 3.9 : Besaran Dana BLM dari Pemerintah untuk Kelurahan

Muntilan………………………………………………………105

GAMBAR 3.10 : Besaran Dana BLM dari Pemerintah untuk Desa

Gunungpring………………………………………………….106

GAMBAR 3.11 : Siklus Pemberdayaan Masyarakat dalam PNPM Mandiri

Perkotaan……………………………………………………..109

x
INTISARI

Setiap masyarakat berbeda-beda, mereka memiliki karakteristik sosial, budaya,


ekonomi, politik, geografi, dan demografi yang unik, sehingga pengalaman pengentasan
kemiskinan di suatu komunitas masyarakat belum tentu dapat berjalan di masyarakat
yang lain, bahkan sangat beresiko mengalami kegagalan dan melemahkan pengalaman
anggota masyarakat ketika hal tersebut bukan proses yang sesuai untuk mereka.
Penelitian ini ingin membuktikan bahwa pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan di
Kabupaten Magelang yang secara umum dinilai berhasil, ternyata masih menyisakan
berbagai persoalan. Desa/kelurahan yang memiliki modal sosial besar, diikuti dengan etos
kerja yang tinggi, biasanya keberhasilan program pengentasan kemiskinan akan terasa
secara nyata dan pelaksanaannya bisa berjalan dengan lancar. Hal yang sebaliknya terjadi
pada desa/kelurahan dengan modal sosial yang kurang.
Jenis penelitian yang digunakan untuk mengkaji tentang perkembangan modal
sosial, serta bagaimana posisinya ketika disandingkan dengan program pengentasan
kemiskinan yang digulirkan oleh pemerintah adalah studi kasus (case study). Studi kasus
yang dimaksud adalah studi kasus kualitatif. Studi kasus kualitatif merupakan metode
eksploratif dan analisis yang sangat cermat dan intensif mengenai suatu keadaan unit
sosial berupa individu, keluarga, kelompok atau masyarakat. Penelitian ini dilakukan
secara mendalam di dua wilayah yang memperoleh PNPM Mandiri Perkotaan Kabupaten
Magelang, yakni di Kelurahan Muntilan dan Desa Gunungpring. Penentuan informan
dilakukan dengan teknik purposif, di mana informan tertentu dianggap mewakili pihak-
pihak yang terlibat di dalam pelaksanaan program. Wawancara dan observasi digunakan
sebagai data primer, sedangkan data sekunder diperoleh melalui pengumpulan dokumen.
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa masuknya PNPM Mandiri
Perkotaan di wilayah ini masih mengabaikan masyarakat dari sistem yang telah dibangun.
Pengelolaan struktur yang diciptakan oleh pemerintah secara seragam di seluruh wilayah
Indonesia tersebut ternyata masih berfokus pada pemenuhan hasil dibanding pemenuhan
kebutuhan masyarakat. Belum maksimalnya peran fasilitator dalam mengangkat peran
kelompok marjinal yang notabene merupakan sasaran utama program mengakibatkan
proses institusionalisasi yang diterapkan tidak sesuai dengan perencanaan di level
pemerintah paling bawah. Belum optimalnya pemanfaatan modal sosial yang merupakan
nilai-nilai dan hubungan-hubungan sosial yang mengakar dalam struktur masyarakat
mengakibatkan pelaksanaan program pengentasan kemiskinan berjalan “sendiri-sendiri”.
Ada beberapa aspek yang menunjukkan penguatan modal sosial, yaitu: adanya
sikap saling percaya, terbentuknya kerja sama dan kohesifitas, pranata sosial yang kuat,
saling tukar kebaikan, serta perluasan jaringan yang bermakna peningkatan partisipasi
guna peningkatan daya saing kolektif secara berkelanjutan. Di lapangan teramati bahwa
kekuatan modal sosial dibangkitkan oleh sejumlah nilai yang membentuk jaringan mutual
trust, mutual respect dan mutual benefit. Modal sosial dapat bekerja sebagai sebuah
mekanisme operasional yang berkontribusi pada upaya pengentasan kemiskinan. Hal ini
dapat dipahami menggunakan tiga kerangka modal sosial yakni social bonding, social
bridging, dan social linking.

Kata kunci : modal sosial, pengentasan kemiskinan, PNPM Mandiri Perkotaan.

xi
BAB I

MODAL SOSIAL DAN KEMISKINAN DI MASYARAKAT

A. Latar Belakang Masalah

1. Kemiskinan: Realita yang Tak Kunjung Usai

Perkembangan kota yang dinamis diiringi oleh perubahan positif dan

negatif menciptakan heterogenitas yang menunjukkan perbedaan sosial

penduduknya. Masyarakat perkotaan yang seharusnya bisa lebih cepat

menyesuaikan diri dengan perubahan disekitarnya, justru banyak yang hidup

dibawah garis kemiskinan. Salah satu penyebabnya adalah karena akses antara

masyarakat perkotaan di level bawah (grassroot) dengan pemerintah masih

sangat dibatasi dengan jaringan yang minim atau ketidakberdayaan mereka

untuk melobi pemerintah. Hal ini dipengaruhi oleh trust (rasa saling

mempercayai) diantara anggota masyarakat yang sudah mulai luntur, sehingga

memicu terjadinya tindakan yang bersifat individualistik yang tentunya

melemahkan unsur kebersamaan untuk mencapai tujuan dan kemajuan bersama.

Padahal, adanya kebersamaan itu amat diperlukan sebagai salah satu obat

penawar kekurangberhasilan pemerintah dalam mengatasi ketidakmampuan dan

kemiskinan (Ritonga, 2007). Penyebab lainnya adalah karena tidak adanya

akses ke sarana dan prasarana pelayanan dasar dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya, dengan kualitas perumahan dan permukiman yang jauh dibawah

standar kelayakan, serta mata pencaharian yang tidak menentu (PNPM Mandiri

Perkotaan, 2007), dan berbagai faktor kultural lainnya yang begitu kompleks.

Permasalahan-permasalahan tersebut menjadikan kriminalitas tumbuh subur,

1
investasi sulit berkembang, program-program pemerintah tidak berjalan optimal,

sehingga pada akhirnya membuat pembangunan terasa seperti berjalan di

tempat.

Pemerintah sejak awal telah menitikberatkan pembangunan pada upaya

pengentasan kemiskinan. Hanya saja, gaung upaya pengentasan kemiskinan ini,

tidak semerdu alunan prestasi yang diraih. Keadaan ini menuntut kolaborasi

seluruh pihak untuk bisa melakukan usaha-usaha pengentasan kemiskinan secara

sungguh-sungguh. Pengentasan kemiskinan yang merupakan isu global

menuntut adanya pemenuhan kebutuhan hidup minimum berupa sandang,

pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Akan tetapi, program-

program pemerintah yang diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan

masyarakat masih belum optimal, baik pada masa Pemerintahan Orde Baru

maupun pada masa Reformasi saat ini.

Menurut Hureirah (2005) upaya pengentasan kemiskinan selama tiga

dekade dilakukan dengan penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan

kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian,

pemberian dana bergulir melalui sistem kredit, pemberian bantuan langsung

tunai, pembangunan sarana prasarana dan pendampingan, penyuluhan sanitasi,

usaha promosi kesehatan masyarakat dan lain sebagainya, melalui

pengembangan Inpres Desa Tertinggal (IDT), Kredit Usaha Rakyat (KUR),

Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Raskin dan mengalirnya program

Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang merupakan subsidi atas kenaikan Bahan

Bakar Minyak (BBM) masih menuai tanda tanya. Dari serangkaian cara dan

strategi tersebut, keseluruhannya berorentasi material, sehingga

2
keberlanjutannya sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen

pemerintah. Di samping itu, tidak adanya tatanan pemerintahan yang demokratis

menyebabkan rendahnya akseptabilitas dan inisiatif masyarakat untuk

menanggulangi kemiskinan dengan cara mereka sendiri.

Keinginan pemerintah pusat untuk mengentaskan kemiskinan, khususnya

di perkotaan, sebenarnya tidak pernah surut. Walau ternyata program-program

yang dijalankan banyak menuai hasil yang memprihatinkan. Hal ini

dikarenakan, pemerintah pusat lebih memfokuskan perhatian terhadap

bagaimana caranya mengalirkan sumber dana untuk membangun, sedangkan

bagaimana tahapan sampainya dana ke masyarakat atau bagaimana

pengoptimalan dana dari setiap program atau proyek pembangunan masih

kurang diperhatikan.

Bila dicermati, terdapat beberapa kelemahan mendasar dari berbagai

program pengentasan kemiskinan selama ini. Pertama, tidak optimalnya

mekanisme pemberdayaan warga miskin. Hal ini terjadi karena program lebih

bersifat dan berorientasi pada “belas kasihan” sehingga dana bantuan lebih

dimaknai sebagai “dana bantuan cuma-cuma” dari pemerintah. Penanggulangan

kemiskinan yang cenderung bersifat charity tersebut, pada akhirnya justru

menjadikan orang miskin semakin tergantung pada bantuan pihak luar dan

sangat sedikit sekali program penangulangan kemiskinan yang benar-benar

memenuhi tujuan pemberdayaan kemiskinan. Kedua, asumsi yang dibangun

lebih menekankan bahwa warga miskin membutuhkan modal. Konsep ini

dianggap menghilangkan kendala sikap mental dan kultural yang dimiliki oleh

warga miskin. Muaranya adalah rendahnya tingkat perubahan terhadap cara

3
pandang, sikap, dan perilaku warga miskin dan warga masyarakat lainnya dalam

memahami akar kemiskinan. Ketiga, program pemberdayaan lebih dimaknai

secara parsial, misalnya titik berat kegiatan program hanya mengintervensi pada

satu aspek saja, seperti aspek ekonomi atau aspek fisik, belum diintegrasikan

dalam suatu program pemberdayaan yang terpadu (Faturochman, 2007: 5).

Pendekatan pembangunan masyarakat yang bersifat karikatif tersebut

akan memperlemah modal sosial yang ada di masyarakat, oleh sebab itu tidak

salah apabila dikatakan sebagai program anti partisipasi, karena program

tersebut lebih bersifat delivery approach dan kurang mendidik untuk

mengembangkan kapasitas masyarakat (dalam Soetomo, 2009: 232-234). Ini

berarti program pengentasan kemiskinan tidak bertumpu pada komunitas

setempat. Akibatnya perekonomian mereka rentan dan mereka dengan mudah

kembali ke garis kemiskinan. Faktor lain adalah berkaitan dengan kelemahan

organisasi pelaksana seperti Pemerintah Lokal dan Pemerintah Kelurahan/Desa

(Suyatna, 2008).

2. Gaung Program Pengentasan Kemiskinan dan Surutnya Modal Sosial

Sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Magelang yang

semakin meningkat, ternyata permasalahan mengenai kemiskinan semakin

nyata. Pemerintah Kabupaten Magelang telah melaksanakan berbagai program

pengentasan kemiskinan, salah satunya melalui PNPM Mandiri Perkotaan,

sebagai suatu upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan

pemerintah daerah dengan menyiapkan landasan kemandirian masyarakat

berupa lembaga kepemimpinan masyarakat yang representatif, mengakar, dan

kondusif bagi perkembangan modal sosial (social capital) masyarakat di masa

4
mendatang, serta menyiapkan program masyarakat jangka menengah dalam

penanggulangan kemiskinan yang menjadi pengikat dalam kemitraan

masyarakat dengan pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat

(Departemen Pekerjaan Umum, 2008).

Kondisi sosial, budaya, politik, ekonomi, dan aset merupakan hal yang

mempengaruhi perbedaan program-program penanganan kemiskinan. Hal ini

sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Oscar lewis bahwa kemiskinan

bukanlah semata-mata berupa kekurangan dalam ukuran ekonomi, tetapi juga

melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan psikologi, yang juga

memberikan warna tersendiri terhadap proses sosialisasi yang diwariskan oleh

generasi sebelumnya kepada generasi muda, yang pada akhirnya melanggengkan

kebudayaan kemiskinan (dalam Suparlan, 1984: 20-21). Pelaksanaan PNPM

Mandiri Perkotaan di Kabupaten Magelang yang secara umum dinilai berhasil,

ternyata masih menyisakan berbagai persoalan.

Keberhasilan yang dirasakan oleh Desa Gunungpring, Kecamatan

Muntilan, Kabupaten Magelang ternyata bagai satu sisi mata uang yang saling

bertolak belakang dengan realita “miring” yang yang terjadi di Kelurahan

Muntilan. Desa Gunungpring merupakan salah satu lokasi yang menuai

keberhasilan dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan di Kabupaten

Magelang. Keberhasilan tersebut ditunjukkan dengan adanya integrasi dalam

pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan dengan penyelenggaraan pemerintahan

desa; peningkatan ekonomi yang menunjukan ke arah yang cukup baik dengan

tingkat pengambalian (RR) dalam perputaran dana bantuan bergulir yang

konsisten (100%); terbukanya akses warga miskin dalam memperoleh pelayanan

5
publik; rendahnya pengangguran yang telah terserap pada bidang kerajinan dan

industri kecil yang inovatif, kreatif, dan sangat bersinergi dalam menunjang

kemajuan pariwisata dan pendidikan. Desa Gunungpring sebagai desa wisata

sekaligus pendidikan berbasis nilai-nilai budaya dan religi merupakan suatu hal

yang sangat langka. Hal ini menjadikan Desa Gunungpring sebagai desa

unggulan yang memicu dan memacu gerak program pembangunan di berbagai

bidang, sebagai suatu bentuk dan upaya dalam membangun peningkatan

kesejahteraan masyarakat, khususnya di Kabupaten Magelang (Kontributor

Kabupaten Magelang, 2010). Dilihat dari pelaksanaan kegiatan yang sesuai

agenda-agenda yang telah direncanakan baik dalam kegiatan pemberdayaan

masyarakatnya maupun dalam kegiatan pembangunan fisik lingkungannya, Desa

Gunungpring memiliki progress yang cukup baik.

Sedangkan di Kelurahan Muntilan yang merupakan pusat dari berbagai

aktivitas di Kecamatan Muntilan, dengan kondisi masyarakat yang rata-rata

memiliki background pendidikan lebih tinggi, justru mengalami berbagai

kendala dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Hal ini tentu

merupakan sesuatu yang unik, ketika masyarakat dengan rata-rata tingkat

pendidikan lebih rendah ternyata justru berhasil melaksanakan program

dibanding masyarakat yang rata-rata berpendidikan lebih tinggi. Dalam kondisi

yang ideal program pengentasan kemiskinan harus dijalankan dengan

menyesuaikan kemampuan dan karakteristik masyarakat setempat, sehingga bisa

jadi proses tersebut memerlukan waktu dan pendekatan yang berbeda-beda antar

satu komunitas dengan komunitas lainnya.

6
Untuk memberikan pemahaman dan mengajak masyarakat berpartisipasi

demi kemajuan mereka sendiri, juga tidak bisa disamaratakan antara satu

anggota masyarakat dengan anggota masyarakat yang lain, hal ini disebabkan

karena latar belakang pemikiran yang dipengaruhi oleh status sosial, jenis

kelamin, usia, pekerjaan dan tingkat pendidikan sangatlah beragam. Oleh karena

itu derajat keberdayaan masyarakat akan sangat bervariasi meskipun program

yang ada dilakukan dengan pendekatan yang sama dan dalam waktu yang

bersamaan, seperti apa yang telah digulirkan melalui PNPM Mandiri.

Apa yang diharapkan dari program ini, yaitu adanya sebuah sistem dan

mekanisme penanggulangan kemiskinan ternyata sampai saat ini belum optimal.

Belum nampak adanya sebuah model penanggulangan kemiskinan yang bisa

direplikasi secara massal sebagai hasil dari proses belajar di PNPM Mandiri.

Justru yang membuat miris ialah laporan-laporan statistik dan penelitian yang

mengabarkan tentang kemiskinan yang semakin mendera orang-orang

terpinggirkan. Menurut data kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) angka

kemiskinan tahun 2010 tercatat sebesar 13,33%, yang berarti ada penurunan

0,8%. Suatu angka penurunan dibanding tahun 2008 dan 2009. Sementara

sumber lain dari Kementerian Kesra mengatakan ada penurunan akan tetapi

lambat, dan mereka mengakui apabila angka penurunan yang lambat itu tiak ada

peningkatan dalam tahun-tahun berikutnya maka akan sulit mencapai target

tahun 2014 sebesar 8%. Beberapa informasi tersebut secara umum menunjukkan

bahwa kalaupun betul ada penurunan angka kemiskinan, akan tetapi belum

mencapai kondisi yang diharapkan. Artinya, program PNPM Mandiri yang

sudah eksis sejak tahun 2007 bahkan P2KP, PPK, PDM DKE, dan IDT tahun

7
1998 yang semuanya dibiayai dari hutang (Bank Dunia, JBIC, dan ADB) itu

belum secara substansi menggeser kemiskinan walaupun programnya berjalan

efektif (dalam Soetomo, 2011: 238).

Berbagai kegiatan pemberdayaan yang lahir dari forum konsultasi seperti

pembuatan jembatan, gorong-gorong, jalan, MCK, dan saluran-saluran air

realitanya belum menyentuh aspek kebutuhan dasar masyarakat di wilayah

program. Hal tersebut bisa kita cermati dari beberapa hasil penelitian berikut ini.

Pertama, studi evaluasi mengenai PPK (asal mula PNPM Mandiri) yang

dilakukan McLaughlin, Satu dan Hoppe (2007) menyimpulkan bahwa

mekanisme pembuatan keputusan dalam program ini cenderung menguntungkan

pilihan yang dibuat kelompok mayoritas dan kelompok kaya dibandingkan

dengan kelompok miskin pedesaan dan mereka yang tinggal di lokasi terpencil.

Kedua, penelitian yang dilakukan Gibson et.al. (2008) menemukan bahwa mutu

partisipasi kelompok miskin, termasuk perempuan kepala keluarga dan

kelompok yang tidak mendapatkan pendidikan dasar, sangat rendah dalam rapat-

rapat PNPM Mandiri, dengan tingkat partisipasi pasif (hanya mendengarkan)

mencapai 75%. Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Yayasan AKATIGA,

Bandung menemukan bahwa kelompok marginal sebenarnya tidak berpartisipasi

dalam menentukan keputusan penggunaan dana PNPM Mandiri dibandingkan

dengan kelompok lainnya. Penelitian ini sekaligus memperkuat penelitian

sebelumnya yang semakin menguatkan keyakinan kita bahwa makna

partisipasinya menjadi sangat prosedural dan artifisial (dalam Situru, 2010).

Masuknya PNPM Mandiri dengan kelembagaan dan nilai-nilai baru

(Badan Keswadayaan Masyarakat dan Kelompok Swadaya Masyarakat) yang

8
dibawanya, secara tidak langsung berpengaruh terhadap existing kondisi di suatu

wilayah program. Pada kenyataannya, proses institusionalisasi dan berbagai

upaya yang dilakukan oleh pihak eksternal dalam rangka pemberdayaan kurang

mampu menumbuhkembangkan potensi modal sosial yang ada di masyarakat,

bahkan tidak jarang karena kesalahan dalam pendekatan, yang terjadi justru

sebaliknya, mereduksi potensi modal sosial (dalam Soetomo, 2011: 11).

Akibatnya, terjadi benturan-benturan sosial, baik dalam bentuk konflik,

kekerasan, bahkan praktek korupsi yang mengacak-acak modal sosial di akar

rumput, sehingga kelembagaan lokal yang ada di masyarakat mengalami

degradasi.

Modal sosial merupakan komponen kultural bagi kehidupan masyarakat

modern. Dimana perspektif ini lebih menekankan kepada kebersamaan dan

energi sosial dalam suatu masyarakat. Unsur-unsur utama yang terkandung

dalam modal sosial antara lain: partisipasi dalam suatu jaringan, resiprocity

(timbal balik/membantu orang lain), trust (rasa saling mempercayai), norma

sosial, nilai-nilai serta tindakan yang proaktif (dalam Hasbullah, 2006). Modal

sosial merupakan kekuatan yang membentuk suatu jaringan sosial sesama kaum

miskin untuk bahu-membahu mengentaskan kemiskinan dengan memanfaatkan

solidaritas sosial untuk mengatasi keterbatasan modal material. Modal sosial

yang baik dapat menjadi bekal terbentuknya soliaritas sosial yang kuat di

masyarakat. Hal ini bisa kita lihat dari apa yang selama ini berhasil diinisiasi

oleh Grameen Bank melalui penguatan modal sosial kaum miskin di Bangladesh

untuk dapat bersatu-padu memecahkan kemiskinan, yakni dengan membentuk

9
kelompok-kelompok kaum miskin, khususnya kelompok perempuan (Rozaki et

al., 2006).

Modal sosial merupakan energi “terdahsyat” bagi proses pengembangan

masyarakat. Masing-masing masyarakat tidak saja memiliki tipologi melainkan

juga konfigurasi nilai dan norma yang sangat menentukan derajat kerekatan

sosial dan kolaborasi sosial dalam masyarakat. Dimensi ini akan berpengaruh

kuat pada karakteristik perilaku masyarakat dan respon yang mereka tunjukkan

terhadap setiap kebijakan pemberdayaan masyarakat yang dibuat oleh

pemerintah. Apapun rencana dan proyek yang dirancang akan senantiasa

berhadapan dengan faktor-faktor tersebut. Faktor tersebut dapat memperlancar

atau bahkan menggerogoti proses pengembangan masyarakat itu sendiri

(Mawardi, 2007; dalam Jurnal Pengembangan Komunitas, 2011: 5). Di sini

peran modal sosial sangat mentukan.

Melihat realita di atas, harus selalu disadari bahwa modal sosial yang

bisa menjadi kunci pembuka (master keys) (Kliksberg, 1999) untuk mengatasi

masalah kemiskinan, hingga kini masih belum mendapat perhatian yang

memadai. Semakin melemahnya sejumlah elemen pranata sosial bisa dijadikan

sebagai gambaran bahwa harapan terhadap penguatan modal sosial setempat

semakin sulit dicapai (Pranadji, 2006; dalam Jurnal Agro Ekonomi, 2006: 181).

Atas dasar berbagai masalah dan hambatan dalam implementasi program

pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan saat ini, diperlukan alternatif

pendekatan baru yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk bahu-membahu

menciptakan sebuah skema bantuan maupun perlindungan bagi anggotanya.

10
Penguatan modal sosial dalam pembangunan masyarakat dapat dinilai

sebagai pembaruan pendekatan yang sangat penting dan harus mendapat

perhatian khusus dari Pemerintah. Menurut Pranadji (2006), jika pembangunan

tidak disertai dengan penguatan lembaga dan organisasi (Tjondronegoro, 1977),

partisipasi masyarakat terbanyak (Sajogyo, 1974), dan pemberdayaan ekonomi

rakyat (Mubyarto, 2002), maka apapun program atau proyek pembangunan

masyarakat yang dijalankan pemerintah akan sulit mencapai hasil yang

diharapkan (dalam Jurnal Agro Ekonomi, 2006: 181), bahkan hal tersebut justru

akan menggerogoti proses pembangunan.

B. Rumusan Masalah

Setiap masyarakat berbeda-beda, mereka memiliki karakteristik budaya,

geografi, sosial, politik, dan demografi yang unik, sehingga pengalaman

pengembangan kapasitas di suatu komunitas masyarakat belum tentu dapat berjalan

di masyarakat yang lain bahkan sangat beresiko mengalami kegagalan dan

melemahkan pengalaman orang-orang dari masyarakat tersebut karena hal itu bukan

proses yang cocok untuk mereka (Ife dan Tesoriero, 2008: 342). Oleh karenanya,

Pemerintah maupun masyarakat harus benar-benar memahami tujuan dari setiap

pelaksanaan program pembangunan. Tujuan tersebut antara lain adalah untuk

membangun kembali masyarakat sebagai tempat pengalaman penting masyarakat,

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, dan membangun kembali struktur-struktur

negara (dalam hal kesejahteraan, ekonomi global, birokrasi, elit profesional, dan

sebagainya) yang selama ini kurang berperikemanusiaan dan sulit diakses.

Tujuan dari suatu usaha pembangunan dikatakan berhasil apabila proses

yang dilaksanakan menuju ke arah pencapaian tujuan, yang tentunya harus

11
disesuaikan dengan kebutuhan dan modal sosial setempat. Hal inilah yang belum

bisa diakomodir secara utuh oleh program-program pengentasan kemiskinan yang

digulirkan oleh Pemerintah. Sebagai upaya memperbaiki kelemahan dan melakukan

penyempurnaan terhadap program pembangunan, utamanya yang diinisiasi oleh

Pemerintah, maka studi yang dilakukan dalam rangka menyusun tulisan ini

diarahkan untuk menjawab permasalahan sebagai berikut:

1. Pertama, mengapa dinamika pelaksanaan program pengentasan kemiskinan di

Desa Gunungpring relatif lebih berhasil dibanding di Kelurahan Muntilan yang

notabene berada dalam satu wilayah kecamatan yang sama?

2. Kedua, bagaimana derajat modal sosial masyarakat yang dinilai strategis dalam

mengembangkan model pengentasan kemiskinan secara berkelanjutan di kedua

wilayah tersebut?

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih detail, pertanyaan kedua tersebut

dipertegas dengan menggali informasi mengenai:

a. Bagaimana peran modal sosial dalam usaha pengentasan kemiskinan di

kedua wilayah tersebut?

b. Mampukah penguatan modal sosial melindungi masyarakat dari kerentanan

yang dihadapi ditengah perubahan yang terjadi pada saat ini?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian diatas, maka tujuan dari penelitian

ini adalah:

1) Tujuan Operasional

Sesuai dengan visi Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

Universitas Gadjah Mada dimana penulis tengah melakukan studi yaitu, menjadi

12
lembaga pendidikan yang mengembangkan ilmu pengetahuan sosial yang

mengkaji tentang fenomena pembangunan masyarakat (sosial development)

yang berbasis pada penelitian sosial dan berorientasi pada pemecahan masalah-

masalah sosial, maka berdasarkan uraian tersebut diatas penulis merasa tertarik

melakukan penelitian sebagai:

 Salah satu upaya dalam pengsinergian, peningkatan dan pengelolaan

sumberdaya baik internal maupun eksternal untuk memecahkan masalah

sosial yang tengah melanda masyarakat Indonesia dalam rangka

mencapai kesejahteraan masyarakat.

 Sebagai sumbangan pemikiran dan referensi untuk penelitan selanjutnya

yang lebih mendalam, khususnya mengenai dinamika modal sosial dalam

pengentasan kemiskinan.

 Mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan Ilmu Pembangunan

Sosial dan Kesejahteraan dalam upaya pengembangan pelayanan sosial

yang baik bagi masyarakat.

2) Tujuan Substansial

 Melakukan monitoring terhadap proses pembangunan masyarakat di

Kabupaten Magelang, khususnya terhadap Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan yang mendukung Program

Dasar pembangunan Partisipatif (PDPP).

 Mendorong terciptanya proses pembangunan yang berdasar pada

kebutuhan dan kemampuan masyarakat lokal untuk menjalankan dan

melaksanakan kewenangan yang diperolehnya.

13
 Mendorong berkembangnya peran modal sosial setempat sebagai suatu

usaha dalam mencapai Good Governance dan Clean Government, yang

nantinya diharapkan dapat menjadi salah satu kunci keberhasilan untuk

mengatasi permasalahan kemiskinan di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat dari penelitian ini adalah:

1) Manfaat Bagi Masyarakat: bisa ikut serta berperan dalam menumbuhkan

modal sosial positif secara optimal sehingga tercipta ikatan sosial dan

kolaborasi di masyarakat.

2) Manfaat NGO yang bersangkutan: dapat memberikan informasi kepada

masyarakat dan Pemerintah bagaimana peran modal sosial bagi keberhasilan

program pengembangan masyarakat, serta dapat bersama-sama penulis

dalam merumuskan solusi yang tepat bagi permasalahan di masyarakat.

3) Manfaat Bagi Pemerintah:. sebagai bahan masukan bagi Pemerintah,

Dinas dan Instansi terkait, khususnya Pemerintah Kabupaten Magelang yang

berada pada kawasan penelitian ataupun Pemerintah Kabupaten/Kota di

kawasan lain agar dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan

keputusan tentang kebijakan menyangkut implementasi program-program

pengentasan kemiskinan di masyarakat.

4) Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya: mendapatkan pengetahuan yang

mendalam mengenai kehidupan dan permasalahan-permasalahan yang

terjadi dalam proses pengembangan masyarakat, khususnya bagi program

yang diinisiasi oleh Pemerintah.

14
E. Studi Pustaka

1. Mimpi Pengentasan Kemiskinan

Permasalahan kemiskinan di Indonesia, khususnya kemiskinan

perkotaan, sudah sangat mendesak untuk ditangani. Kemiskinan perkotaan

merupakan salah satu isu pembangunan yang kompleks dan kontradiktif.

Kemiskinan dipandang sebagai dampak “ikutan” dan bagian dari permasalahan

pembangunan. Tipologi kemiskinan perkotaan dicirikan oleh berbagai dimensi

baik dimensi sosial maupun ekonomi yang sangat beragam serta memiliki

kebijakan yang rumit Renggapratiwi (2009:17). Salah satu ciri umum dari

kondisi fisik masyarakat miskin di wilayah perkotaan adalah tidak memiliki

akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan yang memadai, dengan kualitas

perumahan dan permukiman yang jauh dibawah standar kelayakan, serta mata

pencaharian yang tidak menentu (PNPM Mandiri Perkotaan, 2007). Disadari

bahwa selama ini banyak pihak lebih melihat persoalan kemiskinan hanya pada

tataran gejala-gejala yang tampak terlihat dari luar atau di tataran permukaan

saja. Padahal persoalan kemiskinan mencakup persoalan multidimensi, baik

dimensi sosial, budaya, politik, ekonomi, ekologi, dan lain-lain.

Karakteristik sosial, budaya, politik, ekonomi, ekologi, aset tersebut

merupakan hal yang bisa berpengaruh dalam suatu keberhasilan program

pengentasan kemiskinan. Hal ini sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Oscar

Lewis bahwa kemiskinan bukanlah semata-mata berupa kekurangan dalam

ukuran ekonomi, tetapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan

dan psikologi, yang juga memberikan warna tersendiri terhadap proses

sosialisasi yang diwariskan oleh generasi tua kepada generasi anak-anak mereka

15
dan seterusnya, yang pada akhirnya melanggengkan kebudayaan kemiskinan

(dalam Suparlan, 1984:20-21). Kebudayaan kemiskinan (cultural poverty) yang

berasal dari dalam diri masyarakat adalah sebagai konsekuensi dari masyarakat

dengan kepadatan tinggi, keterbatasan akses terhadap barang-barang konsumsi,

layanan kesehatan dan sarana pendidikan. Hal ini bisa terwujud dalam situasi

ekonomi yang terdeferensiasi, berkembangnya sistem ekonomi uang, buruh

upahan dan sistem produksi untuk mencapai keuntungan. Selain itu, hal ini juga

terjadi pada masyarakat yang mempunyai institusi sosial yang lemah untuk

mengontrol dan memecahkan masalah sosial kependudukan, yang juga

merupakan konsekuensi dari “ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial

menyediakan kesempatan bagi masyarakat secara luas, miskin dan terbelakang

atau biasa disebut structural poverty (Alfian et al., 1980).

Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar

ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan

memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang

lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Menurut Soekanto (1987:

406) kemiskinan adalah sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup

untuk memelihara dirinya sendiri yang sesuai dengan taraf hidup kelompoknya

dan juga tidak mampu untuk memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya

dalam kelompok tersebut. Menurut Kartasasmita (1996: 234) kemiskinan

merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai oleh pengangguran dan

keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat

miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatasnya akses

kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang

16
mempunyai potensi lebih tinggi. Masih menurut Kartasasmita (1996: 235)

mengutarakan sejumlah perbedaan tentang kemiskinan di suatu daerah

berdasarkan pola waktu, diantaranya:

1. Persistent poverty, yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun

temurun. Daerah seperti ini pada umumnya merupakan daerah-daerah

yang kritis sumber daya alamnya, atau daerahnya yang terisolasi.

2. Cyclical poverty, kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara

keseluruhan.

3. Seasonal poverty, kemiskinan musiman seperti sering dijumpai pada

kasus nelayan dan pertanian tanaman pangan.

4. Accidental poverty, yaitu kemiskinan karena terjadinya bencana alam

atau dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan

menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat

Selain berdasarkan pola waktu, Kartasasmita (1996: 235) mengutarakan

kemiskinan berdasarkan tingkat pendapatan, diantaranya sebagai berikut:

1. Kemiskinan absolut, yaitu seseorang dikatakan miskin secara absolut

apabila tingkat pendapatannya lebih rendah daripada garis kemiskinan

absolut atau dengan kata lain jumlah pendapatannya tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan hidup minimum yang dicerminkan oleh garis

kemiskinan absolut. Kriteria yang digunakan untuk mengukur garis

kemiskinan tersebut adalah pengeluaran minimum yang diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan pengeluaran untuk

makanan setara 2.100 kalori per kapita per hari ditambah pengeluaran

17
untuk kebutuhan non-makanan yang meliputi perumahan, berbagai

barang dan jasa, pakaian serta barang tahan lama.

2. Kemiskinan relatif, yaitu keadaan perbandingan antara kelompok

pendapatan dalam masyarakat, yaitu antara kelompok yang mungkin

tidak miskin karena mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi

daripada garis kemiskinan dan kelompok masyarakat yang lebih kaya.

Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kemiskinan

adalah suatu kondisi sosial yang dapat menyebabkan lemahnya fisik dan mental

manusia yang tentunya berdampak negatif terhadap kondisi pembangunan di

negara yang sedang berkembang. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa

kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu

masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan

ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh

suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan

tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika khalayak

umum ramai berbicara tentang kemiskinan, biasanya yang dimaksud adalah

kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang dikategorikan

miskin jika tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk

dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan

dengan sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan

memenuhi kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi

kehidupan manusia yang lain, baik dalam dimensi sektoral yakni dalam seluruh

aspek kehidupan manusia, dimensi kemasyarakatan yang meliputi jangkauan

18
kesejahteraan dari materiil hingga non materiil, dimensi waktu dan kualitas

yakni jangka pendek hingga jangka panjang dan peningkatan kemampuan dan

kualitas untuk pelayanannya, serta dimensi sasaran yakni dapat menjangkau dari

seluruh strata masyarakat. Karenanya, kemiskinan hanya dapat ditanggulangi

apabila dimensi-dimensi tersebut diperhitungkan.

Berdasarkan hal tersebut, pemerintah meluncurkan berbagai program

untuk mengentaskan kemiskinan yang dijalankan oleh berbagai kementerian dan

lembaga. Salah satu program yang terkenal di masa Orde Baru adalah Program

Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas

kesejahteraan masyarakat miskin melalui pengembangan sumber daya manusia,

modal dan usaha produktif, serta pengembangan kelembagaan. Ruang lingkup

dari program IDT menyangkut kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang berada

di daerah tertinggal. Akselerasi kegiatan sosial ekonomi dilakukan melalui

pengembangan sumber daya ekonomi di pedesaan, suplai kebutuhan dasar,

pelayanan jasa, dan penciptaan lingkungan pendukung bagi proses pengentasan

kemiskinan. Program IDT, selain memberikan dukungan dana 20 juta per desa

tertinggal, juga memberikan dukungan dalam bentuk pelatihan, supervisi dan

tenaga pendamping. Lebih dari itu, program IDT juga membantu

mengembangkan infrastruktur seperti jalan, jembatan, air bersih dan kebutuhan

lainnya sesuai dengan kondisi pedesaan.

Program-program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan

masyarakat lainnya adalah: PPK (Program Pengembangan Kecamatan) yang

dilaksanakan Departemen Dalam Negeri, P2KP (Program Penanggulangan

Kemiskinan di Perkotaan) yang dilaksanakan Departemen Pekerjaan Umum,

19
P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil) yang

dilaksanakan Departemen Pertanian, PEMP (Pemberdayaan Ekonomi

Masyarakat Pesisir) yang dilaksanakan Departemen Kelautan dan Perikanan,

KUBE (Kelompok Usaha Bersama) yang dilaksanakan Departemen Sosial, dan

lain-lain. Program-program tersebut berjalan sendiri-sendiri menurut kebijakan

Departemen yang bersangkutan, tidak terintegrasi, parsial dan sektoral.

Program-program pengentasan kemiskinan tersebut juga dibarengi dengan

pemberian bantuan secara karikatif melalui program Jaminan Kesehatan

Masyarakat (Jamkesmas), Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Bantuan

Operasional Sekolah (BOS).

Memperhatikan konsep dan pendekatan berbagai program

penanggulangan kemiskinan di atas, secara konseptual kesemuanya

mengedepankan adanya penguatan modal sosial masyarakat dan mengutamakan

pemberdayaan dalam setiap langkah kegiatannya. Namun demikian, dalam

implementasinya nilai-nilai social capital dan pemberdayaan masyarakat ini

masih menjadi nomor dua dibandingkan dengan pencapaian target program dan

proyek. Meskipun dalam kadar yang jauh berkurang dibandingkan dengan

praktek-praktek pembangunan Pemerintahan Orde Baru, namun pendekatan

target dan topdown, pengabaian nilai-nilai lokal dan bias outsiders, kurangnya

partisipasi, dan pendekatan yang parsial, masih dirasakan dalam pelaksanaan

proyek-proyek tersebut.

Misalnya, setiap kali diluncurkan program, setiap kali pula institusi baru

dibentuk di tingkat desa, seperti Kelompok Petani-Nelayan Kecil (KPK) pada

Proyek P4K, Unit Pengelola Keuangan Desa (UPKD) pada Proyek NTAADP,

20
dan pembentukan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang disyaratkan

oleh P2KP dan PPK. Butuh proses dan waktu yang lama untuk membuat

lembaga-lembaga baru ini tumbuh dan matang, sehingga perhatian akhirnya

lebih banyak tercurah kepada penguatan kelembagaan baru tersebut.

Untuk mengatasi masalah ego sektoral dan menghindari pendekatan yang

parsial pada masyarakat sasaran yang sama, pada tahun 2005 Pemerintah mulai

merancang Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM

Mandiri) sebagai wadah program-program pemberdayaan yang tersebar di

berbagai instansi. PNPM Mandiri merupakan instrumen program untuk

pencapaian Millenium Development Goals atau MDGs, yaitu memberantas

kemiskinan dan kelaparan (Bappenas, 2007), Oleh karena itu, kurun waktu

PNPM Mandiri akan dilaksanakan setidaknya hingga tahun 2015 sesuai target

pencapaian MDGs, khususnya dalam memberantas kemiskinan dan kelaparan.

Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan diharapkan dapat mendukung

program pengentasan kemiskinan yang sedang digalakkan pemerintah, utamanya

bagi masyarakat perkotaan. Sejalan dengan hal tersebut maka pengembangan

masyarakat sewajarnya perlu diarahkan sebagai upaya peningkatan daya saing.

Konsekuensi inilah yang menjadikan masyarakat di Kabupaten Magelang

dihadapkan pada kebutuhan yang mendesak di berbagai bidang, misalnya:

pembangunan infrastruktur umum, baik sarana/prasarana lingkungan

permukiman, sosial, dan ekonomi yang belum memadai; pengembangan

kapasitas lembaga-lembaga pendukung; peningkatan kemampuan sumber daya

manusia yang minim; maupun pengelolaan potensi lokal yang belum maksimal.

21
Namun sayangnya hingga saat ini tanggung jawab tersebut kurang bisa

dilaksanakan dengan baik. Menurut pengalaman dari berbagai penelitian, dapat

disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab kegagalan program pengentasan

kemiskinan dalam proses pembangunan di negara-negara berkembang adalah

karena pendekatan target dan top-down, pengabaian nilai-nilai lokal dan bias

outsiders, kurangnya partisipasi, serta pendekatan yang tidak holistik. Menurut

Purbathin, keadaan yang demikian mengakibatkan sekurangnya tiga situasi atau

titik rawan yang mengurangi laju optimalitas sekaligus menggagalkan hakekat

dan substansi pelaksanaan program tersebut, yakni:

1. Implementasi PNPM berjalan di tengah reputasi pelaksanaan program

Jaring Pengaman Sosial (JPS) sebelum-sebelumnya yang dinilai buruk

(terutama program bantuan langsung berupa uang tunai atau biasa

disebut BLT pada program penanggulangan kemiskinan akibat

pengurangan subsidi bahan bakar minyak). Kesan dan bahkan mungkin

kenyataan yang ditangkap oleh masyarakat bahwa program JPS

merupakan program “bagi-bagi duit gratis” yang sarat korupsi dan

manipulasi, “mau tidak mau”, berimbas dan mengiringi serta menghantui

pelaksanaan PNPM Mandiri. Image semacam ini, pada akhirnya,

berpotensi menjadi hambatan bagi bergulirnya dana (revolving fund)

sebagai syarat kemandirian masyarakat secara ekonomi.

2. Ketidaksiapan mentalitas (oknum) birokrasi dalam melaksanakan

program-program berbasis masyarakat. Kuatnya nuansa proyek sebagai

”sumber pendapatan” oknum birokrat, menyebabkan banyak proses yang

datang dari masyarakat mengalami kendala ketika sampe di “tangan”

22
oknum birokrat. Sehingga, fungsi pelayanan masyarakat masih belum

menjadi pegangan utama dalam melaksankaan fungsi birokrasi.

3. Ketidaksiapan peran institusi konsultansi dan fasilitasi proyek masih jauh

dari kata “serius”. Desain PNPM Mandiri yang diorientasikan sebagai

wahana pengembangan masyarakat, membuat peran institusi konsultansi

dan para fasilitator sebagai agen perubahan (agen of change) dan ujung

tombak dalam pengembangan masyarakat (community development)

menjadi sangat penting. Kurang optimalnya peran fasilitator dalam

pendampingan masyarakat diakibatkan oleh lemahnya pemahaman

ideologi pembangunan berbasis komunitas dan lemahnya pemahaman

community development di antara pelaku program.

Situasi tersebut seringkali mengabaikan masyarakat dari sistem yang

telah mereka bangun. Perubahan atau pengelolaan struktur yang diciptakan oleh

pemerintah di seluruh wilayah Indonesia tersebut justru mendegradasi modal

sosial setempat. Padahal, modal sosial dinilai cukup efektif untuk

mengakomodasi kebutuhan masyarakat dalam menciptakan kesejahteraan sosial.

Sebagai akibatnya, masyarakat miskin semakin tidak berdaya terhadap sistem

yang diterapkan oleh pemerintah, sehingga mereka berada pada posisi yang

sangat lemah, tereksploitasi ruang geraknya, serta tidak dapat menikmati

sumber-sumber kesejahteraan secara ”bebas”.

Hal ini seharusnya menyadarkan semua pihak bahwa pendekatan dan

cara yang dipilih dalam penanggulangan kemiskinan selama ini perlu diperbaiki,

yaitu ke arah pengokohan modal sosial di masyarakat, hal ini sejalan dengan

adanya pengalaman sekitar keberhasilan program pengentasan kemiskinan yang

23
menunjukkan bahwa kesadaran untuk mengembangkan modal sosial setempat

menjadi faktor penting dan dominan. Hal ini dibutuhkan dalam rangka

membangun kerjasama yang baik di masyarakat, sehingga bisa tercipta wadah

perjuangan kaum miskin, yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan

aspirasi serta kebutuhan mereka dan mampu mempengaruhi proses pengambilan

keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal, baik aspek

sosial, budaya, politik, ekonomi maupun lingkungan.

2. Konsep Modal Sosial dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Sosial yang telah

dilaksanakan di Kopenhagen 12 Maret 1995 menyentil kita dengan sebuah kosa

kata yang seolah baru, “modal sosial”. Jenis modal inilah yang selama ini luput

dari pertimbangan penyelenggara pemerintahan yang umumnya terkesima

bahkan terhanyut dalam ritus ideologisasi atas apa yang mereka percayai sebagai

“pembangunan”. Modal sosial tiba-tiba tampil menjadi kata kunci menanggap

tiga agenda pokok konferensi: mengurangi kemiskinan, menciptakan angkatan

kerja yang produktif, dan meningkatkan integrasi sosial (Hermawanti dan

Rinandari, 2003). Dalam upaya membangun sebuah bangsa yang kompetitif

peranan modal sosial semakin penting. Modal sosial sebagai bagian dari modal

maya (virtual capital) akan semakin menonjol dan banyak memberikan

kontribusi untuk kesuksesan suatu masyarakat (dalam Ancok, 1998: 5-17).

Masyarakat Indonesia yang majemuk mempunyai banyak sekali nilai-

nilai yang mendukung pengembangan dan penguatan modal sosial. Oleh

karenanya, modal sosial menjadi suatu alternatif pembangunan dan

pemberdayaan masyarakat yang diharapkan bisa memberikan pencerahan

24
tentang makna kepercayaan, kebersamaan, toleransi dan partisipasi sebagai pilar

penting pengembangan masyarakat sekaligus pilar bagi demokrasi dan tata

pemerintahan yang baik. Modal sosial yang tercermin dari berbagai

kekhasanahan lokal seperti budaya gotong royong, kelembagaan bagi hasil,

berbagai bentuk kearifan lokal (local wisdom) yang dimiliki semua etnis,

merupakan prasyarat keberhasilan suatu program pembangunan (Ostrom, 1990;

dalam Sutoro, 2003).

Menurut Serageldin (dalam Cullen dan Whiteford, 2001) modal sosial

juga memfasilitasi pertemuan antara tujuan ekonomi, sosial dan ekologi serta

pengaruhnya antar mereka. Semakin tinggi modal sosial yang ada maka akan

semakin kuat juga terhadap pertumbuhan nilai ekonomi, sosial dan ekologinya,

demikian juga sebaiknya.

Sumber: Serageldin, dalam Cullen dan Whiteford, 2001.


GAMBAR 1.1
INTERAKSI ANTARA BENTUK-BENTUK MODAL/CAPITAL

Modal sosial telah teruji oleh sejarah sebagai mekanisme penting dalam

upaya mencapai kesejahteraan rakyat. Modal sosial juga dipandang sebagai

bumbu vital bagi perkembangan pemberdayaan masyarakatnya. Definisi yang

dikemukan oleh Fukuyama adalah definisi yang melihat modal sosial itu sebagai

25
sesuatu traits (sifat) yang melekat (embedded) pada diri individu yang berupa

tata nilai kehidupan dan aturan yang dianut dan dijalankan oleh individu yang

memfasilitasi kerjasama yang baik. Fukuyama (2002: ix), menunjukkan hasi-

hasil studi di berbagai negara bahwa modal sosial yang kuat akan merangsang

pertumbuhan di berbagai sektor karena adanya rasa percaya yang tinggi dan

kerekatan hubungan alam jaringan yang lebih luas tumbuh antar sesama pelaku.

Oleh karena itu, rasa saling percaya (trust) menjadi manifestasi yang sangat

penting dari norma-norma sosial kooperatif yang memunculkan modal sosial.

Artinya, bila upaya pengentasan kemiskinan ingin berhasil, maka pembangunan

di era reformasi ini harus sepenuhnya didasari oleh adanya sediaan rasa saling

percaya, dan selanjutnya pembangunan tersebut harus mampu mengkreasi

sedemikian rupa sehingga trust terus terakumulasi. Jika melalui hubungan

kepercayaan sosial masyarakat bisa saling menjaga komitmen, mengembangkan

norma-norma saling menolong, maka berbagai kelompok yang terbentuk akan

mampu mencapai tujuan bersama secara lebih efisien (Fukuyama, 2002: ix).

Sebagai contoh, seorang anggota Rukun Tetangga (RT) yang aktif di

lingkungannya akan memiliki banyak akses ke informasi tentang situasi di

sekitarnya, termasuk siapa yang akan menjual tanah, siapa yang membeli mobil

dan perabotan baru, siapa yang bertengkar dengan suami atau istri mereka, dan

sebagainya. Ini merupakan “modal” yang memungkinkannya bertindak lebih

baik daripada anggota lain yang pasif atau yang “disingkirkan” oleh RT-nya.

Tidak jarang, modal sosial ini dengan mudah diterjemahkan menjadi keuntungan

bisnis manakala si anggota yang aktif tersebut ternyata adalah seorang pialang

tanah, atau yang sering secara kasar disebut “calo”.

26
Guna percepatan pengentasan kemiskinan maka perlu dilakukan upaya

pendirian masyarakat melalui penguatan modal sosial setempat. Hal ini

dikarenakan modal sosial merupakan sumber daya yang dapat dipandang

sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Modal sosial berbeda

dengan istilah populer lainnya yaitu modal manusia (human capital). Pada

modal manusia segala sesuatunya lebih merujuk ke dimensi individu yaitu daya

dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu, dan merupakan satu-satunya

aset masyarakat miskin yang bisa diberdayakan untuk meningkatkan

kesejahteraan keluarganya.

Sedangkan modal sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan

antar kelompok, serta berbagai hubungan antar sesama yang lahir dari anggota

kelompok, yang merujuk pada dimensi struktural, relasional, dan kognitif.

Ketiga dimensi tersebut saling berkaitan dan dalam kenyataannya tak mudah

dipisahkan. Pemisahan ketiganya hanya perlu dilakukan untuk kepentingan

analisis. Penjelasan secara rinci mengenai ketiga dimensi tersebut adalah:

a. Dimensi structural, menyangkut pola hubungan antar anggota jaringan

yang dapat dilihat dari konfigurasi, hirarki, dsb. Misalnya, dalam contoh

di atas, boleh jadi anggota yang paling aktif di sebuah RT akhirnya

diangkat menjadi Ketua RT dan dengan demikian ia berada di hirarkhi

paling tinggi.

b. Dimensi relasional, merujuk kepada sifat hubungan (misalnya rasa

hormat, saling menghargai, dan persahabatan) yang menentukan perilaku

anggota jaringan. Seorang ketua RT yang pandai menjaga hubungan

27
akan mudah pula mendapatkan rasa hormat dan penghargaan, yang pada

gilirannya menambah tinggi nilai modal sosial yang dimilikinya.

c. Dimensi kognitif, mengacu pada berbagai sumberdaya yang menyediakan

simbol komunikasi, cara interpretasi, dan sistem pemaknaan yang

dipakai bersama oleh anggota jaringan. Dengan masih memakai contoh

di atas, maka aneka bahasa dan istilah yang mungkin tercipta secara

khusus di lingkungan RT tersebut merupakan dimensi kognitif dari

modal yang dimiliki Ketua RT, misalnya ketika dirinya menjembatani

transaksi tanah antara warganya dengan calon pembeli. Seringkali, peran

Ketua RT semata-mata menjadi penerjemah bagi keinginan-keinginan

kedua belah pihak yang tidak selalu mudah diinterpretasikan, walaupun

keduanya memakai Bahasa Indonesia.

Keberadaan modal sosial sebagai mana dicontohkan di atas

mempengaruhi kinerja orang perorangan maupun organisasi secara keseluruhan.

Modal sosial dapat meningkatkan efisiensi tindakan. Misalnya, jaringan

hubungan sosial, meningkatkan efisiensi penyebaran informasi dengan

mengurangi keterulangan. Selain itu, rasa saling percaya dapat menghapus

oportunisme dan mengurangi kebutuhan untuk melakukan pemantauan yang

mahal ongkosnya. Dengan demikian, modal sosial mengurangi biaya transaksi.

Selain itu, modal sosial juga membantu anggota jaringan beradaptasi, belajar,

dan menjadi kreatif. Ini dimungkinkan oleh perilaku kooperatif setiap anggota,

sehingga anggota yang kreatif mendapat dukungan penuh dari rekannya.

Dalam hubungan interpersonal sehari-hari, sebenarnya dapat tercipta

social bonding, social brigding, dan social linking. Akan tetapi hal tersebut

28
dipengaruhi oleh frekuensi, fokus, niat, moralitas, dan awareness dari para

pelakunya. Meskipun hubungan social bonding yang terjalin antara pemerintah

dan masyarakat di level bawah cenderung lemah, namun jaringan sosial,

solidaritas, kepercayaan, reprositas yang terjalin di masyarakat level bawah

menandakan adanya kapasitas individu untuk saling merangkul dan

menumbuhkan nilai-nilai. Sehingga, meskipun tidak ada campur tangan dari

pemerintah, masyarakat senantiasa dapat menciptakan modal sosial setempat

yang kuat untuk bersama-rasa melawan kemiskinan.

Dibandingkan dengan bentuk capital lainnya, modal sosial adalah capital

yang asal usulnya bersifat sosial, yaitu relasi sosial itu dianggap sinergi atau

kompetisi dimana kemenangan seseorang hanya dapat dicap di atas kekalahan

orang lain (Hermawanti dan Rinandari, 2003). Berdasarkan eksplorasi diatas kita

bisa menemukan komponen modal sosial dalam tiga tipologi yaitu:

a. Social Bonding (Nilai, Kultur, Persepsi dan Tradisi)

Social bonding adalah tipe modal sosial dengan karakteristik

adanya ikatan yang kuat (adanya perekat sosial) dalam suatu sistem

kemasyarakatan. Social bonding cenderung bersifat ekslusif. Apa yang

menjadi karakteristik dasar yang melekat pada tipologi ini, sekaligus

sebagai ciri khasnya, yaitu baik kelompok maupun anggota kelompok,

dalam konteks ide, relasi dan perhatian, lebih berorientasi ke dalam

(inward looking) dibandingkan berorientasi ke luar (outward looking).

Ragam masyarakat atau individu yang menjadi anggota kelompok ini

umumnya homogenius. Misalnya, seluruh anggota kelompok berasal dari

suku yang sama. Apa yang menjadi perhatian terfokus pada upaya

29
menjaga nilai-nilai yang turun-temurun telah diakui dan dijalankan

sebagai bagian dari tata prilaku (code of conducts) dan perilaku moral

(code of ethics) dari suku atau entitas sosial tersebut. Mereka cenderung

konservatif dan lebih mengutamakan solidarity making daripada hal-hal

yang lebih nyata untuk membangun diri dan kelompok sesuai tuntutan

nilai dan norma masyarakat yang lebih terbuka (Hasbullah, 2006).

Misalnya, kebanyakan anggota keluarga mempunyai hubungan

kekerabatan dengan keluarga yang lain, yang mungkin masih berada

dalam satu etnis. Disini masih berlaku adanya sistem kekerabatan dengan

sistem klen. Klen merupakan kelompok kerabat tradisional, unilateral

dan eksogam. Disebut Eksogam karena perkawinan dalam klen tidak

dibenarkan. Unilateral karena garis keturunan diperhitungkan mulai

garis patrilineal saja atau matrilineal saja. Tradisional karena klen juga

meliputi warga atau kerabat yang tidak bisa lagi ditelusuri hubungannya

(Hermawanti dan Rinandari, 2003). Hubungan kekerabatan ini bisa

menyebabkan adanya rasa empati/kebersamaan. Bisa juga mewujudkan

rasa simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas, pengakuan

timbal balik nilai kebudayaan yg mereka percaya.

Aturan atau kesepakatan bersama yang ada dalam masyarakat

bisa berbentuk formal dengan sanksi yang jelas seperti undang-undang.

Namun ada juga sanksi non-formal yang akan diberikan masyarakat

kepada anggota masyarakatnya berupa pengucilan, rasa tidak hormat

bahkan dianggap tidak ada dalam suatu lingkungan komunitasnya. Hal

ini menimbulkan ketakutan anggota masyarakat yang tidak bertanggung

30
jawab. Hal ini dapat menjadikan keteraturan di masyarakat karena norma

tersebut tercermin dalam kehidupan sehari-hari.

Modal sosial ada yang memberikan pengaruh baik dan ada yang

memberikan pengaruh yang kurang baik. Tradisi atau adat-istiadat yang

juga masih tertanam kuat dalam kehidupan masyarakat kita. Adat-istiadat

merupakan tata kelakuan yang kekal serta memiliki integrasi yang kuat

dengan pola-pola perilaku masyarakat, yang mempunyai kekuatan untuk

mengikat dengan beban sanksi bagi pelanggarnya. Hal ini berkaitan

dengan karakteristik sosio-psikologis masyarakat yang meyakini

kepercayaan tertentu secara homogen (Hermawanti dan Rinandari,2003).

b. Social Bridging (bisa berupa institusi maupun mekanisme)

Social Bridging (jembatan sosial) merupakan suatu ikatan sosial

yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik

kelompokknya. Ia bisa muncul karena adanya berbagai macam

kelemahan yang ada disekitarnya sehingga mereka memutuskan untuk

membangun suatu kekuatan dari kelemahan yang ada. Bentuk modal

sosial ini juga biasa disebut bentuk modern dari suatu pengelompokan,

group, jaringan, asosiasi atau masyarakat. Social Bridging bisa juga

dilihat dengan adanya keterlibatan umum sebagai warga negara untuk

mengembangkan potensi agar mampu menggali dan memaksimalkan

kekuatan sumber daya manusia maupun sumber daya alam yang dimiliki.

Modal utama dari ketercapaiannya adalah melalui interaksi sosial.

Dengan demikian institusi sosial tetap eksis sebagai tempat artikulasi

kepentingan bagi masyarakat. Misalnya dengan adanya lembaga arisan,

31
yang sering dikategorikan sebagai rotating saving and credit

associations, asosiasi yang menyediakan fasilitas menabung secara

periodik dan menyediakan fasilitas kredit bagi anggotanya. Interaksi

yang terjalin bisa berwujud kerjasama atau sinergi antar kelompok,

sebagai upaya penyesuaian dan koordinasi tingkah laku yang diperlukan

untuk mengatasi konflik ketika tingkah laku seseorang atau kelompok

dianggap menjadi hambatan oleh orang atau kelompok lain, sehingga

akhirnya tingkah laku mereka cocok.

Kapasitas modal sosial termanifestasikan dalam bentuk nilai,

institusi, dan mekanisme yang dapat memfasilitasi dan menjadi arena

dalam hubungan antar warga dan antar kelompok berasal dari latar

belakang berbeda, baik dari sudut etnis, agama, maupun tingkatan sosial

ekonomi. Ketidakmampuan untuk membangun nilai, institusi, dan

mekanisme bersifat lintas kelompok akan membuat masyarakat yang

bersangkutan tidak mampu mengembangkan modal sosial untuk

membangun integrasi sosial (Hermawanti dan Rinandari, 2003).

Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada

prinsip-prinsip universal tentang persamaan dan kemanusiaan, terbuka

dan mandiri. Prinsip pertama yaitu persamaan bahwasanya setiap

anggota dalam suatu kelompok memiliki hak-hak dan kewajiban yang

sama. Kedua, adalah kebebasan, bahwasanya setiap anggota kelompok

bebas berbicara, mengemukakan pendapat dan ide yang dapat

mengembangkan kelompok tersebut. Ketiga, adalah kemajemukan dan

humanitarian. Bahwasanya nilai-nilai kemanusiaan, penghormatan

32
terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain merupakan prinsip-

prinsip dasar dalam pengembangan asosiasi, grup, kelompok atau suatu

masyarakat tertentu. Dengan adanya sikap yang outward looking

memungkinkan untuk menjalin koneksi dan jaringan kerja yang saling

menguntungkan dengan asosiasi atau kelompok di luar kelompoknya

(Hasbullah, 2006). Wilayah kerja social bridging lebih luas dari social

bonding. Dia bisa bekerja lintas kelompok etnis maupun kelompok

kepentingan, sehingga keanggotaannya lebih luas dan tidak hanya

berbasis pada kelompok tertentu.

TABEL 1.1
SOCIAL CAPITAL : BONDING AND BRIDGING

Sumber: Hasbullah, 2006.

c. Social Linking (hubungan atau jaringan sosial)

Merupakan hubungan sosial yang dikarakteristikkan dengan

adanya hubungan di antara beberapa level dari kekuatan sosial maupun

status sosial yang ada dalam masyarakat. Social linking merujuk pada

sifat dan luas hubungan vertikal diantara kelompok orang yang

mempunyai saluran terbuka untuk mengakses sumberdaya dan

kekuasaan dengan siapa saja. Hubungan antara pemerintah dan

komunitas termasuk di dalam social linking. Sektor umum (seperti

33
negara dan institusinya) adalah pusat untuk kegunaan dan kesejahteraan

masyarakat (Cullen dan Whiteford, 2001). Negara maupun di

pemerintahan dipandang khalayak sebagai tokoh, dan mempunyai status

sosial dari pada masyarakat kebanyakan. Namun mereka sama-sama

mempunyai kepentingan untuk mengadakan hubungan. Elit politik

membutuhkan massa untuk mendapatkan suara dan dukungan, sementara

masyarakat berusaha mendapatkan orang yang dipercaya dan bisa

menjadikan penyalur aspirasi mereka.

Pada dasarnya ketiga tipe modal sosial ini dapat bekerja

tergantung dari keadaannya. Ia dapat bekerja dalam kelemahan maupun

kelebihan dalam suatu masyarakat. Ia dapat digunakan dan dijadikan

pendukung sekaligus penghambat terjadinya ikatan sosial, tergantung

bagaimana individu dan masyarakat memaknainya. Kohesi atau

penggabungan antara ketiga tipologi tersebut disajikan oleh Coletta pada

gambar berikut (dalam Cullen dan Whiteford, 2001):

Sumber: Colletta, dalam Cullen dan Whiteford, 2001.


GAMBAR 1. 2
KOHESI SOSIAL: PENGGABUNGAN DARI BONDING,
BRIDGING DAN LINKING SOCIAL CAPITAL
Berdasarkan ketiga tipologi tersebut inti telaah modal sosial terletak pada

bagaimana kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk

34
bekerja sama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama.

Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interrelasi yang timbal balik dan

saling menguntungkan, dan dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh

norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan

maksimal jika didukung oleh semangat proaktif untuk menciptakan jalinan

hubungan di atas prinsip-prinsip yang disepakati. Besar atau kecilnya modal

sosial yang melekat di suatu masyarakat dapat diukur dari kepemilikan modal

sosial minimum, rendah, sedang, atau tinggi. Uphoff diacu dalam Lenggono

(2004) menjelaskan kontinum modal sosial tersebut (lihat Tabel 1).

TABEL 1. 2
KONTINUM MODAL SOSIAL

Sumber: Uphoff, dalam Lenggono 2004.

35
Untuk mencapai tingkat modal sosial yang tinggi diperlukan komitmen

terhadap kesejahteraan, kerjasama yang dilandasi kepercayaan, sifat altruisme,

serta hal-hal lain yang memberikan manfaat dalam memaksimalkan kepentingan

bersama. Komitmen ke arah tersebut dilakukan oleh pemerintah sebagai

institusi yang diberi mandat oleh rakyat Indonesia, seperti dikeluarkannya UU

No.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang direvisi dengan UU No.32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang perencanaan dan

pelaksanaannya harus berorientasi ke bawah dan melibatkan masyarakat luas

sehinga kebutuhan masyarakat bisa terjawab yang diharapkan mampu

menumbuhkan modal sosial masyarakat terhadap setiap proses pembangunan

yang dianggap buruk pada era sebelumnya. Dengan otonomi daerah diharapkan

setiap program pembangunan menjadi lebih berpihak pada masyarakat dan

pemerintah daerah bisa lebih memahami apa yang menjadi kebutuhan

masyarakatnya.

Tujuan mulia tersebut ternyata belum sepenuhnya dirasakan oleh

masyarakat, meskipun ada beberapa daerah yang relatif lebih baik dari

sebelumnya, namun sebagian besar masyarakat belum merasakan adanya

perbaikan dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan yang diinisiasi

oleh pemerintah, salah satunya melalui PNPM Mandiri. Berbagai usaha untuk

mengentaskan kemiskinan yang digulirkan oleh pemerintah tersebut, walau

mungkin maksudnya baik, tetapi apabila pendekatannya bersifat karikatif akan

berdampak negatif bagi keberadaan modal sosial. Program-program seperti itu

ibaratnya memanjakan masyarakat dan dengan demikian akan memperlemah

energi sosial yang ada. Selanjutnya, hal ini bisa melunturkan solidaritas sosial

36
karena dapat meningkatkan rasa prasangka antar warga masyarakat sendiri,

bahkan dapat menjerumus potensi konflik (Soetomo, 2009: 233).

Situasi-situasi tersebut berkontribusi terhadap semakin melemahnya

modal sosial antar masyarakat, yang pada akhirnya bermuara pada

ketidakefektifan jalannya pembangunan. Meski harus diakui pula bahwa di

beberapa daerah implementasi program pengentasan kemiskinan pemerintah

telah meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, seperti yang dirasakan oleh

masyarakat di Kabupaten Jembrana (Pemkab Jembrana, 2010), namun jika

fenomena “gunung es” tersebut tidak segera dituntaskan akan berdampak pada

proses pembangunan secara keseluruhan seperti rendahnya tingkat partisipasi

masyarakat, tradisi gotong royong yang terus meredup, solidaritas masyarakat

yang memudar, menurunya tata-nilai di masyarakat, dan lain sebagainya.

Sehingga, perlu dicatat bahwa dalam kehidupan yang positif diperlukan adanya

perubahan di dalam masyarakat. Modal sosial eksklusif dalam suatu kelompok

harus bisa berkembang menjadi modal sosial inklusif yang merupakan esensi

penting dalam sebuah masyarakat yang madani (Soetomo, 2011: 83-84).

Di dalam kehidupan bersosial, beberapa unsur pembentuk modal sosial

menjadi titik balik dari berbagai aktivitas interaksi di dalam masyarakat itu

sendiri. Modal sosial merupakan suatu refleksi dari seberapa besar sistem

tradisional dan nilai-nilai lokal mempengaruhi interaksi di dalam kehidupan

suatu masyarakat. Unsur utama dan terpenting dari modal sosial adalah

kepercayaan (trust). Trust dapat dipandang sebagai syarat keharusan (necessary

condition) dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang kuat atau lemah

dalam suatu masyarakat. Pada masyarakat yang memiliki kapabilitas trust yang

37
tinggi (high trust), atau memiliki spectrum of trust yang lebar (panjang), maka

akan memiliki potensi modal sosial yang kuat. Sebaliknya pada masyarakat yang

memiliki kapabilitas trust yang rendah (low trust), atau memiliki spectrum of

trust yang sempit (pendek), maka akan memiliki potensi modal sosial yang

lemah (lihat Gambar 3, diacu dalam Supriono et al., 2010: 8).

Sumber: Supriono et al., 2010


GAMBAR 1. 3
UNSUR-UNSUR PEMBENTUK MODAL SOSIAL

Dalam sebagian besar kasus, seseorang percaya kepada orang yang

menunjukkan bahwa dia layak untuk mendapat kepercayaan. Sekalipun begitu

kepercayaan tidak selalu berasal dari pengalaman masa lalu dengan orang lain.

Dan kepercayaan berbeda dari percaya diri. Percaya diri berasal dari hasil

pengetahuan yang dibangun dari alasan dan fakta. Sebaliknya, kepercayaan

merupakan bagian dari keyakinan. Kepercayaan lebih mudah retak atau rapuh

daripada keyakinan. Dalam suatu hubungan diperlukan adanya kepercayaan.

Kepercayaan menjadi dasar sebagai jaminan awal dari suatu hubungan dua

orang atau lebih dalam bekerjasama. Sikap saling percaya (trust) sebagai salah

satu elemen dari modal sosial adalah merupakan sikap salah satu dasar bagi

lahirnya sikap saling percaya yang terbangun antar beberapa golongan

38
komunitas dan merupakan dasar bagi munculnya keinginan untuk berpartisipasi

dalam membentuk jaringan sosial yang akhirnya dimapankan dalam wujud

pranata. Jadi, trust merupakan suatu bentuk keinginan untuk mengambil risiko

dalam hubungan hubungan sosial yang didasari oleh perasaan ”yakin”, bahwa

yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa

bertindak dalam suatu pola tindakan saling mendukung, minimal dengan

bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putman, 1993: 35-42).

Semakin besar eksternalitas positif yang ditimbulkan, maka akan

semakin baik pula dampak yang akan terjadi. Oleh karenanya, pemanfaatan

modal sosial perlu menyesuaikan diri dan ditransformasikan sesuai

perkembangan masyarakat kekinian. Hal ini telah diuraikan secara kritis oleh

Kartodirdjo (1987) dalam pembahasannya tentang gotong royong. Unsur utama

gotong royong adalah resipositas sebagai prinsip moralitas memperkuat apa

yang disebut common conscience atau collective conscience. Pada masa lalu,

kehidupan masyarakat selalu digambarkan sebagai masyarakat yang homogen

dalam mentalitas dan moralitasnya, mempunyai totalitas kepercayaan dan

sentimen yang sama, dimana belum terdiferensiasi fungsi atau pembagian

pekerjaan secara terinci. Walaupun belum cukup tajam, kehidupan masyarakat,

khususnya masyarakat desa saat ini, telah mulai mengenal berbagai variasi dan

diferensiasi (dalam Soetomo, 2009: 229).

Kecenderungan itu digambarkan sebagai berikut: (1) diferensiasi

struktural sudah lebih maju kearah diferensiasi fungsional, meskipun baru tahap

tradisional dan belum mencapai tingkat diferensiasi seperti pada masyarakat

industri; (2) diferensiasi fungsi sudah mulai bertambah banyak tidak semata-

39
mata berupa pemisahan unsur yang sama; (3) karena ada moralitas dan collective

conscience, meskipun diferensiasi fungsional masih terbatas, bahkan masih leih

berat dari diferensiasi struktural, namun sudah ada solidaritas organis; (4) hal ini

memungkinkan timbulnya integrasi fungsional yang lebih kuat, sehingga

masyarakat tidak hanya merupakan integrasi struktural saja. Atas dasar

pergeseran ke arah diferensiasi sosial yang lebih heterogen tersebut, semestinya

tanpa meninggalkan moralitas aslinya pelaksanaan gotong-royong tetap

dilakukan dengan mengadakan berbagai penyesuaian (Soetomo, 2009: 229-231).

Di sektor pertanian misalnya, upaya pemerintah untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat seringkali mengalami kegagalan walaupun berbagai

input modal seperti pupuk, peralatan-peralatan modern, irigasi modern, dan

berbagai fasilitas kredit yang melimpah telah mengucur. Tanpa mengabaikan

beberapa tekanan struktural, misalnya yang bersumber dari disparitas yang

tinggi atas penguasaan lahan, kegagalan meningkatkan produksi sangat berkait

erat dengan spektrum modal sosial yang sangat lemah. Semangat gotong-

royong, tolong-menolong, dan saling peduli antarindividu dalam suatu entitas

masyarakat di pedesaan mulai menurun, bahkan lebih dari itu, hilangnya rasa

dan semangat untuk saling memberi (reciprosity), tidak adanya rasa saling

percaya (trust), dan menipisnya jaringan-jaringan sosial (social networking) di

pedesaan, sekaligus merefleksikan hilangnya kohesifitas sosial masyarakat

(dalam Mawardi, 2007: 12-13).

Dahulu, sering diadakan kegiatan seperti gotong royong, arisan, ronda,

dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi.

Namun saat ini arisan dan gotong royong telah bergeser dari makna dasarnya.

40
Semangat arisan untuk menjalin hubungan antar anggota sambil menggilir dana

yang dapat meringankan beban seorang anggotanya, yang selanjutnya bisa

menghasilkan kesepakatan bersama untuk melakukan sesuatu, kini telah

“melenceng” menjadi sarana pamer kekayaan, bahkan muncul “arisan tender”.

Begitu halnya dengan gotong royong kebersihan kampung. Pada masa lalu,

kegiatan ini dilakukan spontan oleh masyarakat. Namun, terjadi perubahan

karena dorongan kompetisi dalam perlombaan kebersihan nasional atau gotong

royong yang dipaksakan kepala desa dalam rangka menyambut kunjungan

pejabat tinggi. Hasil akhirnya adalah kebersihan untuk perlombaan, bukan

kebersihan untuk kesehatan. Dalam contoh tersebut, terlihat bahwa faktor

eksternal lebih kuat dalam mendorong modal sosial. Misalnya, arisan yang

berubah karena pola hidup konsumtif dan kesemuan gotong royong akibat

tekanan hubungan vertikal.

Meurut Soetomo (2009: 232), derasnya kontak sosial baik melalui kontak

langsung maupun melalui media telah menyebabkan masuknya berbagai unsur

baru. Unsur-unsur baru tersebut sebagian dapat menggeser unsur lama yang

sudah ada termasuk modal sosial dan kearifan lokal. Pembangunan Industri, baik

skala besar, sedang, maupun kecil akan mengalami hambatan di negara yang

memiliki tingkat modal sosial yang rendah. Modal sosial akan menghasilkan

energi kolektif yang memungkinkan berkembangnya jiwa dan semangat

kewirausahaan di tengah masyarakat, yang selanjutnya akan mendorong

berkembangnya dunia usaha. Industri besar yang dimiliki para investor lokal

maupun asing akan tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat yang

memiliki tradisi dan nilai kejujuran, terbuka dan memiliki tingkat empati yang

41
tinggi. Pada masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial yang lemah, dalam

keterisolasian budaya, maka tradisi-tradisi, dalam hal ini terutama kaitannya

dengan ritus-ritus tertentu, akan sangat sulit untuk menyesuaikan diri (Mawardi,

2007: 13).

Masyarakat ini biasanya terisolasi oleh sikap mereka yang kurang

memperbanyak jaringan ke luar, khususnya dengan ikut serta aktif menjadi

pengurus atau anggota suatu organisasi keagamaan, partai politik, perkumpulan

olahraga, organisasi masyarakat dan keaktifan menghadiri rapat atau pertemuan.

Dimana apabila jaringan ini nantinya bisa terbentuk, maka akses yang ada baik

dari segi peluang usaha, pendidikan, komunikasi dan sebagainya akan ikut

meningkat sehingga kemiskinan akan semakin berkurang seiring

berkembangnya jaringan mereka. Akan tetapi, sementara ini hal tersebut cukup

sulit dilakukan mengingat warga miskin berada pada posisi yang sangat lemah

dan tereksploitasi ruang geraknya, serta tidak dapat mengakses sumber-sumber

kesejahteraan secara “bebas”.

Realita tersebut menunjukkan bahwa banyak komponen positif dari

modal sosial mulai luntur. Bahkan, tak bisa dipungkiri jika kini modal sosial

justru merefleksikan sisi negatif. Fanatisme kelompok yang mendiskriminasikan

kelompok lain adalah refleksi dari sisi negatif modal sosial. Kondisi di Indonesia

setelah berlakunya undang-undang otonomi daerah tampaknya semakin menuju

kearah ini. Banyak daerah yang hanya mementingkan orang dari daerahnya

sendiri, dengan mendiskriminasikan orang lain yang berasal dari luar daerah.

Penelitian yang dilakukan oleh Gargiulo & Bernassi (1999) menunjukkan bahwa

solidaritas yang kuat di dalam sebuah kelompok menimbulkan sikap

42
diskriminatif pada kelompok lain (dalam Ancok, 2003: 26). Hal itulah yang kini

menjadi isu hangat di Negara kita. Modal sosial di Indonesia justru berkembang

dalam sisi gelap. Contohnya adalah dominasi praktik kolusi-nepotisme dan

berbagai bentuk praktik mafia. Indikasi nyata dari gejala ini adalah semakin

berkembangnya kasus korupsi di Indonesia yang semakin merenggut

kesejahteraan rakyat. Hal ini jugalah yang menyebabkan program pengentasan

kemiskinan yang diinisiasi oleh pemerintah semakin jauh dari kata berhasil.

3. Penguatan Modal Sosial untuk Pengentasan Kemiskinan: Sebuah

Tantangan

Dari pembahasan sebelumnya mengenai modal sosial, diketahui bahwa

modal sosial selain bersifat inklusif, namun juga bisa menjadi eksklusif pada

level tertentu, sehingga menjadi barrier bagi anggota masyarakat di luar

kelompoknya untuk bisa bergabung dan berpartisipasi. Dari berbagai pendapat

yang telah disebutkan sebelumnya, diketahui bahwa banyak manfaat dari

keberadaan modal sosial dalam masyarakat. Eksistensi modal sosial memberikan

pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan,

pemerintah dan penyelenggaraan pemerintahan.

Jika konsep modal sosial digunakan dalam upaya pengentasan

kemiskinan, keterbatasan kapasitas dari efektivitas jaringan kerja yang dimiliki

oleh kelompok masyarakat miskin harus menjadi perhatian (UNESCO, 2002a).

Jaringan yang dimiliki masyarakat miskin tentu saja berbeda dengan jaringan

yang dimiliki oleh masyarakat mampu, dan seringkali masyarakat miskin tidak

diijinkan untuk bergabung dan terlibat dalam jaringan masyarakat mampu.

Sebagai catatan, stratifikasi dalam kelas-kelas sosial terdapat pada seluruh

43
kelompok masyarakat dimana masyarakat miskin berada pada level terbawah

dari hirarki sosial, dan mengalami social exclusion.

Lembaga-lembaga sosial (sistem kekeluargaan, organisasi-organisasi

masyarakat, dan jaringan-jaringan informal) sangat mempengaruhi terhadap

outcomes kemiskinan. Lembaga-lembaga sosial tersebut memiliki pengaruh

terhadap aset-aset ekonomi, strategi dalam menyelesaikan masalah, memiliki

kapasitas dalam meraih keuntungan, dan memiliki pengaruh dalam pembuatan

keputusan. Disatu sisi lembaga-lembaga sosial ini bisa menolong orang miskin,

namun mereka juga bisa menjadi penghalang bagi masyarakat miskin dan

terpinggirkan. Masyarakat miskin memiliki modal sosial dalam level bonding

melibatkan keluarga, kekerabatan, jaringan komunitas yang membantu dalam

upaya strategi manajemen resiko yang cukup penting. Namun, mereka tidak

memiliki modal sosial dalam level bridging, apalagi linking. Membentuk format

bridging dan linking bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan membutuhkan

keterlibatan pemerintah untuk melibatkan mereka dalam struktur kekuasaan

(UNESCO, 2002b).

Meski secara historis negara tidak memiliki tradisi penciptaan modal

sosial, namun prakarsa, keterlibatan dan peran pemerintah secara sungguh-

sungguh dalam rangka pengembangan modal sosial di masyarakat sangatlah

dibutuhkan. Seperti yang dikemukakan dalam penelitian-penelitian Fukuyama,

modal sosial tersebut bersumber atau by product dari agama, tradisi, adat

istiadat, dan pengalaman-pengalaman bersama yang selalu berulang di tengah

masyarakat, dan ini di luar kemampuan dan kontrol pemerintah. Ketika

kebijakan-kebijakan dirancang, semestinya pemerintah menyadari bahwa modal

44
sosial yang tumbuh di masyarakatnya merupakan produk dari masyarakat itu

sendiri. Pemerintah tetap dapat berperan sebagai pendorong untuk tumbuh dan

munculnya energi modal sosial itu kembali, tetapi bukan penciptaan.

Modal sosial dibutuhkan dalam rangka membangun kerjasama yang baik

di masyarakat, sehingga bisa tercipta wadah perjuangan kaum miskin, yang

mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhan mereka

dan mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berkaitan

dengan kebijakan publik di tingkat lokal, baik aspek sosial, budaya, politik,

ekonomi, maupun lingkungan. Oleh karena itu diperlukan startegi yang sesuai

untuk mengentaskan kemiskinan, yang berfokus pada pengoptimalan potensi

dan modal sosial setempat.

Berdasarkan penelitian Pranadji (2001), beberapa indikator modal sosial

adalah kuat atau lemahnya solidaritas, manajemen sosial, keorganisasian

jaringan kerja, struktur sosial dan kegotong-royongan masyarakat setempat.

Modal sosial relatif tajam bisa diamati di tingkat masyarakat kecil (misalnya

masyarakat ditingkat dusun). Hal ini dikarenakan jalinan mutual trust, mutual

respect dan mutual benefit masih ditemukan pada masyarakat dusun; namun

jalinan ini mulai memudar pada masyarakat tingkat desa. Oleh sebab itu,

penguatan modal sosial, untuk pemberdayaan masyarakat pedesaan, hendaknya

dimulai dari masyarakat tingkat paling bawah, yaitu dusun.

Upaya membangun modal sosial di masyarakat tingkat paling bawah

dapat dimulai dari masyarakat sipil, dimana kelompok sukarelawan, gerakan-

gerakan sosial kemasyarakatan, dan warga negara mencoba mengartikulasikan

nilai-nilai solidaritas serta berani memperjuangkan kepentingannya. Setidaknya

45
ada enam hal yang dapat kita lakukan untuk mewujudkan optimisme di atas

(Hartono, 2010). Pertama, meletakkan masyarakat sebagai motor pembangunan

dengan modal yang mereka miliki (kepercayaan, kebersamaan, kepemimpinan,

jaringan sosial, dll). Tujuannya adalah untuk membuka partisipasi dan

keiikutsertaan masyarakat secara langsung dalam pembagunan. Kedua,

Penggalian kembali potensi dan sumber daya yang ada di desa, baik yang belum

maksimal maupun potensi yang belum tergali sama sekali. Penggalian ini

meliputi 2 (dua) hal yaitu SDA dan SDM.

Ketiga, melibatkan masyarakat secara langsung dalam perencanaan,

pelaksanaan dan evaluasi terhadap pembanguan yang ada di sekitar mereka. Ini

sangat diperlukan karena masyarakat sebagai sumber informasi sekaligus

pelaksana pembangunan itu sendiri. Keempat, adanya interaksi sosial yang

membawa mekanisme ekonomi pembangunan dalam masyarakat. Karena itu

tidaklah mengherankan jika modal sosial seringkali diidentikkan dengan

pembangunan ekonomi. Walaupun sebenarnya pembangunan ekonomi hanya

salah satu bagian dari modal sosial. Kelima, menghidupkan dan membangun

kembali hubungan sosial di desa. Dengan kembalinya hubungan sosial yang ada

di desa akan membawa dampak vertikal bagi anggotanya, yaitu hubungan yang

bersifat hierarki dan kekuasaan yang mutlak bagi anggota. Keenam, membangun

jaringan bersama antara masyarakat sebagai tempat berdiskusi, tukar

pengalaman dan pengetahuan. Ini dapat dilakukan pada tingkat lokal, nasional

maupun internasional.

Perubahan yang ingin dicapai dari pengembangan modal sosial adalah:

adanya partisipasi self governing community, menerima keberagaman, mandiri

46
secara ekonomi, toleransi, penguatan otonomi, menemukan identitas asli dari

masyarakat, menguatkan jaringan sosial, dan membangun keterampilan

berdemokrasi. Antisipasi ke depan, atau dengan kata lain untuk mengatasi

masalah ketidakberdayaan masyarakat, ditawarkan pendekatan melalui struktur

atau lembaga mediasi (Hartono, 2010). Tujuannya adalah agar tercipta kembali

demokrasi sosial di desa. Pendekatan ini tampaknya lebih memadai ketimbang

harus memulainya di tingkat elit, karena institusi lokal semacam ini lebih

dikenal dan lebih memasyarakat serta dapat diterima oleh semua lapisan. Dan

yang terpenting adalah karena masyarakat di tingkat lokal belum terkontaminasi

oleh kepentingan elit, sehingga ideal jika pendekatan ini merupakan jalan tengah

untuk mengatasi permasalahan ketidakberdayaan masyarakat tersebut.

Sedangkan jika harus memulai di tingkat elit akan membutuhkan waktu yang

panjang untuk membuat masyarakat kembali percaya pada kebijakan yang telah

terkontaminasi dengan berbagai kepentingan.

Pengembangan model penguatan modal sosial memerlukan latar

belakang pemahaman yang mendalam tentang penguatan tata-nilai,

keorganisasian masyarakat berbasis komunitas kecil, manajemen sosial yang

sehat, kepemimpinan nonformal, dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

Oleh sebab itu, pembangunan masyarakat melalui penguatan modal sosial perlu

diletakkan dalam bingkai transformasi atau pembangunan masyarakat secara

berkelanjutan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemeliharaan

lingkungan tempat berseminya modal sosial perlu dijadikan indikator utama

keberlanjutan pembangunan secara keseluruhan. Oleh karenanya, untuk

melakukan pengembangan terhadap modal sosial setempat, lingkungan yang

47
menjadi tempat berinteraksi antarindividu harus mendukung pertumbuhannya.

Menurut Ancok (2003: 20-24) lingkungan tempat berseminya modal sosial

dibedakan menjadi dua jenis, yakni lingkungan masyarakat dan lingkungan

organisasi.

1. Lingkungan masyarakat

Masyarakat yang bisa menumbuhkan modal sosial dan

menghasilkan karya besar adalah masyarakat yang berorientasi “kita”

bukan masyarakat yang berorientasi “kami”. Masyarakat yang

berorientasi “kita” akan memfokuskan perhatian dan tindakannya pada

upaya penigkatan kemajuan dan kesejahteraan bersama. Masyarakat

yang berorientasi pada “kita” akan menghasilkan suatu ciri masyarakat

yang ideal, yakni:

a. Masyarakat yang bebas dari penindasan (opresi).

Banyak penindasan yang dilakukan di dalam masyarakat,

antara lain adalah penindasan para penguasa pada rakyatnya,

penindasan oleh pemilik modal pada mereka yang tidak

bermodal, penindasan oleh negara berkuasa pada negara yang

lemah, penindasan oleh mereka yang mempunyai pengetahuan

pada mereka yang tidak mempunyai pengetahuan.

b. Masyarakat yang bebas dari rasa takut.

Kebebasan akan rasa takut tersebut meliputi bebas dari

rasa takut akan diculik dihukum, atau dihabiskan nyawanya oleh

oknum Negara dikarenakan oleh perbedaan pendapat dengan

pihak penguasa. Bebas dari rasa takut akan teror yang ditebarkan

48
oleh pihak lain pada anggota masyarakat yang dianggap berbeda

pandangan politik, kepercayaan dan agama. Bebas dari rasa takut

akan ancaman dari suku, agama atau kelompok lain yang

berbeda.

c. Masyarakat yang bebas dari perlakuan diskriminatif.

Dalam masyarakat yang ideal, tugas pemerintah adalah

membangun komitmen kebersamaan dengan menghilangkan

diskriminasi berdasarkan ikatan primordial. Pandangan seperti ini

kelihatannya sangat ekstrim karena sebuah masyarakat terdiri atas

keluarga, kerabat, suku, dan agama yang diikat oleh ikatan

primordial. Namun demi terbangunnya sebuah masyarakat yang

berkualitas anggota masyarakat harus berani menomorduakan

kepentingan primordial dan mengutamakan kepentingan bersama.

Pada Negara yang multi kultur, multi agama, dan multi golongan

seringkali terjadi perilaku yang mendiskriminasi suatu golongan.

Sebagai contoh, di Indonesia warga keturunan diwajibkan untuk

memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia,

walaupun mereka sudah turun temurun lahir di Indonesia.

Berlakunya UU. No 22, Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah

terasa mulai ada pengaruhnya terhadap diskriminasi suku.

Pengutamaan putra daerah dalam jabatan pemerintah ataupun

peluang ekonomi adalah salah satu bentuk diskriminasi atas orang

dari suku luar.

49
d. Masyarakat yang transparan dalam proses berbangsa dan

bernegara.

Masyarakat berhak mengetahui kegiatan pemerintah,

penganggaran, dan kemana dana dihabiskan. Masyarakat harus

diberi tahu secara transparan atas segala penyelewengan yang

dilakukan oleh pejabat negara. Dalam sejarah Indonesia setelah

merdeka kasus korupsi tidak pernah dibuka pada masyarakat

secara transparan. Temuan-temuan BPK hanya disimpan dan

tidak ditindak lanjuti secara hukum. Kalau sekiranya dibuka pada

publik, masyarakat tidak bisa melakukan upaya tuntutan hukum.

Upaya untuk menutupi kasus korupsi ini disertai dengan

penekanan pada lembaga pers melalui pemberangusan. Dalam

suatu masyarakat madani tidak ada pemberangusan terhadap pers.

Pers menjadi alat kontrol karena diberikan kebebasan untuk

membuka informasi secara transparan pada masyarakat. Selama

informasi yang disampaikan adalah benar (tentu saja dengan

pertimbangan keselamatan rakyat, bukan pejabat) maka tidak ada

pelarangan pemberian informasi pada rakyat oleh pers.

e. Pemerintah yang bermitra dengan masyarakat.

Kegairahan anggota masyarakat di dalam kegiatan

pembangunan yang konstruktif ditentukan oleh sejauh mana

mereka diajak berpartisipasi sebagai mitra, sejak perencanaan

pembangunan sampai pada pelaksanaan serta evaluasi hasilnya.

Giddens (1998) melihat kemitraan antara masyarakat dan

50
pemerintah ini adalah salah satu ciri dari masyarakat yang

berkualitas. Sehingga pemerintah harus memberdayakan

masyarakat dalam kegiatan pembangunan, pemerintah hanya

mengarahkan masyarakat bukan menggiring masyarakat atas

kemauan pemerintah, dan pemerintah memberi wewenang

kepada masyarakat bukannya memberikan segala atas kemauan

pemerintah.

f. Masyarakat yang membangun kepedulian (caring).

Kepedulian (caring) adalah hal yang sangat dibutuhkan

oleh siapa saja. Kepedulian ini dinyatakan pada kepedulian atas

sesama, kepedulian si kaya pada si miskin, kepedulian mereka

yang memiliki kesempatan pada kekuasaan atas mereka yang

tidak memilikinya, kepedulian pada kelestarian lingkungan, dan

kepedulian pada aturan norma hidup bermasyarakat (ethics).

Tujuan membangun sebuah komunitas (termasuk negara) adalah

untuk mensejahterakan setiap anggota komunitas tersebut.

Program sosial yang berasal dari masyarakat untuk masyarakat

seperti community development (pegembangan masyarakat) yang

disponsori oleh kalangan industri adalah contoh dari kepedulian

tersebut. Selain itu membangun institusi bisnis yang berdasarkan

etika bisnis adalah salah satu wujud dari kepedulian. Kepedulian

para pengusaha menjadi sangat penting untuk dikembangkan. Hal

ini dikarenakan sistem kapitalis akan membuat orang menjadi

serakah dan hanya menjadi binatang ekonomi saja. Kritik tajam

51
atas sistem kapitalis yang tidak memiliki kepedulian ini dengan

gamblang disampaikan oleh banyak pakar (Korten, 1997). Sistem

kapitalis telah membuat orang kaya semakin kaya, orang miskin

semakin miskin, dan membuat kerusakan lingkungan yang sangat

besar. Adalah tidak adil kalau pihak korporasi menjadi kaya raya

dengan melakukan kerusakan lingkungan dan pemiskinan pada

masyarakat.

2. Lingkungan organisasi

Untuk membangun masyarakat yang berorientasi pada “kita”

bukannya “kami” diperlukan adanya struktur organisasi dan

kepemimpinan yang sesuai. Dalam kehidupan organisasi masyarakat,

apakah itu organisasi publik, organisasi politik, organisasi sosial,

organisasi bisnis, dan lembaga swadaya masyarakat, pengkotakan

kegiatan adalah ciri utama organisasi. Masing-masing kotak berjalan

sendiri-sendiri tanpa ada pegangan visi dan misi bersama. Kondisi yang

demikian ini akan menyulit pencapaian cita-cita bersama dalam

kehidupan masyarakat. Seharusnya pengorganisasian kegiatan

masyarakat harus bersifat lintas batas (borderless) dengan membentuk

sinergi antar kegiatan. Dengan demikian sumberdaya yang dimiliki oleh

masing-masing unit organisasi akan dapat digunakan secara bersama-

sama agar diperoleh efisiensi dan nilai tambah yang tinggi.

Oleh karena suatu masyarakat memiliki banyak organisasi,

seharusnya ada cara untuk mempertemukan kepentingan masyarakat

yang berbeda-beda dalam suatu wadah, sehingga sebuah sinergi yang

52
positif bisa diperoleh. Misalnya, kepemimpinan daerah yang seringkali

disebut dengan Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) diperluas tidak

hanya orang dalam birokrasi pemerintah baik legislatif, yudikatif, dan

eksekutif, tetapi juga ditambah dengan pimpinan kelompok pelaku

bisnis, majelis ulama, lembaga sosial keagamaan, lembaga pendidikan,

LSM, dll. Organisasi yang sifatnya polisentrik ini akan lebih mampu

menampung keinginan warga masyarakat. Organisasi polisentrik ini

ibarat lima jari tangan. Jari jempol adalah eksekutif pemerintah, jari

telunjuk adalah lembaga pendidikan, jari tengah adalah lembaga

keagamaan, jari manis adalah para pelaku bisnis, dan jari kelingking

adalah rakyat jelata yang diwakili. Tanpa salah satu jari tersebut akan

sangat berkurang kekuatan sebuah genggaman tangan. Inilah gambaran

sebuah modal sosial yang bisa bersinergi positif.

Selain itu organisasi harus pula dipimpin oleh seorang pemimpin

transformasional yang memiliki ciri sifat melayani masyarakat, yang

bersifat egaliter, dan melihat sukses adalah hasil kerja semua pihak, serta

yang didorong oleh motif spritual ingin menjadi rahmat untuk orang

banyak. Pendapat Raka (2003) tentang persyaratan sebuah komunitas

yang baik tampaknya dapat dijadikan acuan untuk

menumbuhkembangkan modal sosial. Persyaratan itu adalah (1)

menghilangkan sifat ekslusivisme yang lebih menonjolkan semangat

„kami‟ daripada semangat „kita‟; (2) menghilangkan budaya sinis; (3)

menghilangkan penekanan pada formalitas dengan berlindung dibalik

peraturan organisasi, (4) dan tidak terjebak pada semangat transaksional

53
yang bersifat sementara; dan (5) menghilangkan kebiasaan diskriminatif

dengan memberikan perlakuan khusus pada kelompok tertentu. Contoh

lingkungan organisasi yang kecil yang kondusif untuk pertumbuhan

individu yang memiliki modal sosial yang baik adalah keluarga yang

harmonis dan memberi kasih sayang kepada sesama anggota keluarga.

Kualitas masyarakat dalam proses pembangunan tidak hanya ditentukan

oleh lingkungan dan kemampuannya dalam memanfaatkan sumber daya maupun

modal yang dimiliki, tapi juga kemampuannya dalam memelihara, bahkan

mengembangkannya. Untuk keperluan pembangunan, aktualisasi modal sosial

baik dalam fenomena struktural maupun dalam fenomena kognitif perlu digali

secara sungguh-sungguh dari dalam kehidupan masyarakat (Soetomo, 2009:

207), untuk selanjutnya dikembangkan dan dimanfaatkan dalam usaha

peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan, yang pada akhirnya diharapkan bisa

menuntaskan berbagai pemasalahan kemiskinan di Indonesia.

54
BAB II

METODE PENELITIAN

Metode penelitian didefinisikan sebagai ajaran mengenai cara-cara yang

digunakan dalam proses penelitian. Dalam melakukan penelitian, metode yang tepat

akan mempermudah peneliti untuk mengungkapkan kebenaran yang akan diteliti. Untuk

itu, penelitian ini akan memaparkan beberapa cara sebagai batasan untuk mencapai

kebenaran ilmiah, yakni: jenis penelitian, lokasi penelitian, teknik pengumpulan data,

instrument penelitian, dan teknik analisa data.

Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji tentang perkembangan modal

sosial yang berlaku di masyarakat, serta bagaimana posisinya ketika disandingkan

dengan program pengentasan kemiskinan yang digulirkan oleh pemerintah adalah studi

kasus. Studi kasus (case study) merupakan metode eksploratif dan analisis yang sangat

cermat dan intensif mengenai suatu keadaan unit sosial berupa pribadi/person, suatu

keluarga, kelompok atau suatu masyarakat.

Studi kasus merupakan tipe pendekatan dalam penelitian yang yang diharapkan

mampu menghasilkan uraian mendalam tentang ucapan suatu individu, kelompok,

masyarakat, dan atau suatu organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang

dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehenshif, dan holistik (Basowi dan

Suawandi, 1997: 23). Studi kasus yang dimaksud di sini adalah studi kasus kualitatif,

yakni studi kasus yang menekankan pada kepentingan fenomenologis, kultural, holistik,

dan natural. Penelitian dalam studi kasus adalah penelitian yang dilakukan dengan

intensif, terinci, dan mendalam. Bentuk penulisan ini diharapkan dapat memberikan

55
kontribusi yang sesuai terhadap suatu individu, organisasi, keadaan sosial, dan gejala

tertentu lainnya. Oleh karena itu, metode studi kasus kualitatif dinilai cukup relevan.

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitis. Penggunaan pendekatan ini

dikarenakan bentuk penelitian berupa studi kasus harus bisa mengungkapkan

deskripsi tentang kasus yang dihadapi. Penelitian deskriptif adalah jenis

penelitian yang berkaitan dengan pengumpulan data (baik tertulis maupun lisan)

untuk memberikan gambaran atau penegasan suatu konsep atau gejala,

bagaimana perilaku objek penelitian sehubungan dengan gejala secara lengkap

dalam aspek yang diselidiki dan dikembangkan dengan memberikan penafsiran

terhadap data objek yang ditemukan. Prinsip deskriptif analitis adalah peneliti

berusaha mencari pemecahan masalah dengan mengadakan analisa dari

gambaran hubungan sebab akibat dari faktor-faktor tertentu yang berhubungan

dengan fenomena yang diteliti. Dengan kata lain, penelitian ini berusaha untuk

masuk ke dalam dunia konseptual para subyek yang diteliti, memahami dan

mengerti bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar

peristiwa dalam kehidupan sehari-hari (dalam Bogdan dan Taylor, 1992: 21-22).

Berdasarkan atas penjelasan diatas, nantinya peneliti mencoba menggali

secara mendalam apa yang menjadi modal sosial dalam kehidupan masyarakat

Kelurahan Muntilan dan Desa Gunungpring berdasarkan atas latar belakang

masyarakatnya. Berawal dari konsep-konsep yang sudah dijelaskan dalam bab

sebelumnya, akan menjadi bekal awal bagi peneliti untuk menggali lebih dalam

penjelasan dari konsep-konsep tersebut sehingga nantinya temuan-temuan di

lapangan akan memberikan penjelasan lebih mendalam atas konsep-konsep yang

56
sudah ada untuk menjawab pertanyaan penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti

tidak menggunakan teori-teori secara sepenuhnya untuk kemudian dibuktikan

kebenarannya di lapangan. Teori ataupun konsep yang sudah ada hanya

digunakan untuk landasan awal berpikir peneliti yang nantinya akan

dikembangkan selama penelitian dengan melihat secara utuh realitas yang

muncul dalam penelitian ini.

Dalam penelitian ini, data kualitatif tersebut diperoleh dari hasil

wawancara dengan pihak-pihak yang dianggap mampu untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan tersebut. Wawancara tidak hanya dilakukan kepada satu

pihak saja, namun kepada pihak lain mempunyai pandangan berbeda yang

dimaksudkan agar data tersebut tidak bias dan tidak berat sebelah. Dengan

mewawancarai pihak-pihak yang berseberangan akan memberikan sebuah

keseimbangan data. Hasil wawancara tersebut akan dikonfrontasikan untuk

mendapatkan informasi yang lengkap.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini diadakan di dua lokasi, yakni di Kelurahan Muntilan dan di

Desa Gunungpring, Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Dipilihnya

lokasi ini karena beberapa pertimbangan, diantaranya: 1) Lokasi ini merupakan

wilayah yang menerima paket PNPM Mandiri Perkotaan dari tahun 2007 hingga

tahun 2009, yang juga merupakan kelanjutan dari program P2KP yang dimulai

sejak tahun 2004; 2) Salah satu desa di lokasi penelitian dianggap merupakan

lokasi berhasil dalam melaksanakan program-program pengentasan kemiskinan,

di sisi lain terdapat juga kelurahan yang belum berhasil menyelenggarakan

program-program tersebut; 3) Merupakan pusat ekonomi menengah ke bawah

57
yang berada pada jalur strategis (menghubungkan antara Propinsi Jawa Tengah

dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta), sehingga jika keseluruhan program

yang digulirkan menuai keberhasilan maka wilayah ini dapat dijadikan

percontohan bagi pembangunan daerah di sekitarnya yang belum berkembang;

dan 4) Lebih mudah dijangkau dan dekat dengan akses informasi lain yang

berhubungan dengan penelitian ini.

C. Pemilihan Informan

Dalam penelitian ini, instrument yang digunakan dalam menggali data

adalah “human instrument”, dimana yang digunakan sebagai alat mengali data

adalah manusia tersebut. Human instrument ini biasa disebut dengan

“informan”. Pemilihan informan yang tepat, akan menjamin validitas data yang

didapat dari wawancara. Sebaliknya, pemilihan informan yang salah akan

mengakibatkan data yang diperoleh akan samar dan tidak valid. Penelitian ini

mengambil beberapa informan tertentu (key informan) sebagai subyek penelitian

yang dianggap mampu mewakili stakeholder yang terlibat dalam program

tersebut. Dan teknik pengambilan informan dalam penelitian ini menggunakan

teknik porpusif. Dalam pelaksanaannya, peneliti dapat memanfaatkan

pengetahuan dan pengalamannya sebagai dasar menentukan informan.

Guna menjawab rumusan masalah, informan tersebut nantinya

diwawancarai dengan interview guide (pedoman wawancara). Informan dalam

penelitian ini yaitu aktor-aktor penting yang menjadi bagian pelaksanaan

program pengentasan kemiskinan, baik dari pihak pemerintah, masyarakat,

maupun aktivis program pemberdayaan masyarakat (fasilitator, LSM, dll).

Mewakili pemerintah, penelitian ini dilakukan dengan melakukan wawancara

58
dengan Aparat Kecamatan Muntilan, Kepala Desa Gunungpring, Lurah

Muntilan, Kepala Dukuh di Dusun Santren dan Dusun Gatak Karaharjan, Ketua

RW IX Kauman, Ketua RT di beberapa RW/dusun di kedua wilayah penelitian,

serta aparat masing-masing desa/kelurahan yang bertanggungjawab terhadap

program pengentasan kemiskinan. Sementara dari sisi masyarakat, informan

dalam penelitian ini diwakili oleh tokoh-tokoh yang tergabung dalam Badan

Keswadayaan Masyarakat (BKM), Anggota Kelompok Swadaya Masyarakat

(KSM), tokoh PKK, para penggerak LSM di Kabupaten Magelang, Tokoh

Masyarakat dan Sesepuh Desa, serta masyarakat secara umum baik yang

menerima maupun yang tidak menerima program.

Wawancara dilakukan tidak hanya sebatas pada keberadaan PNPM

Mandiri Perkotaan sebagai salah satu model pengentasan kemiskinan di

Kelurahan Muntilan dan Desa Gunungpring, tetapi juga menggali perspektif

masyarakat mengenai betapa pentingnya modal sosial setempat bagi berbagai

usaha pembangunan, khususnya sebagai upaya pengentasan kemiskinan.

Penelitian ini mencoba membangun kerangka pikir yang obyektif dengan tidak

hanya melakukan wawancara terhadap Pemerintah, BKM maupun pelaksana

program, namun juga kepada masyarakat baik penerima program-program

PNPM Mandiri Perkotaan, maupun yang bukan penerima namun memiliki

keterkaitan dan memahami keadaan masyarakat secara menyeluruh.

D. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang digunakan oleh peneliti

dalam penelitian ini untuk memperoleh informasi atau data yang akurat sehingga

dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu penelitian sosial yang ilmiah.

59
Menurut Sugiyono (2010:224), teknik pengumpulan data merupakan langkah

yang paling stategis dalam penelitian, karena tujuan utama penelitian adalah

mendapatkan data. Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagi setting,

sumber dan cara. Namun, secara umum terdapat empat macam teknik

pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yaitu: observasi atau pengamatan,

wawancara mendalam atau in-depth interview, kepustakaan, dan

gabungan/triangulasi (Sugiyono, 2010: 225). Dalam penelitian ini teknik

pengumpulan data mencakup tiga hal, yaitu observasi atau pengamatan,

wawancara mendalam, kepustakaan. Observasi dan wawancara mendalam

berfungsi sebagai data primer, sedangkan kepustakaan berfungsi sebagai data

sekunder.

1. Observasi

Observasi adalah teknik atau cara pengumpulan data melalui

pengamatan terhadap fenomena-fenomena sosial dan gejala-gejala alam

(Kartono, 1996). Menurut Faisal (2001), pengamatan dapat juga

dilakukan terhadap benda, keadaan, kondisi, situasi, kegiatan, proses, dan

penampilan tingkah laku seseorang. Dalam kasus tertentu, teknik

komunikasi secara langsung tidak dapat diaplikasikan sehingga

pengamatan menjadi hal yang perlu dan bermanfaat. Menurut Yehoda

dan kawan-kawan (Narbuko dan Achmadi dalam Moleong, 2000: 70),

observasi bisa menjadi alat pengumpul data yang baik apabila mengabdi

kepada tujuan penelitian dan direncanakan secara sistematik, dapat dicek

dan dikontrol validitas, reliabilitas dan ketelitiannya.

60
Observasi yang dilakukan adalah observasi langsung (K. Yin,

2003). Di mana peneliti melakukan kunjungan langsung ke lapangan

berkaitan dengan perilaku atau kondisi lingkungan yang relevan dengan

maksud penelitian ini sebagai tambahan dimensi-dimensi baru dalam

konteks memahami fenomena yang diteliti tersebut. Observasi yang

dilakukan bisa bersifat formal maupun kurang formal (K. Yin, 2003).

Observasi formal dilakukan untuk mengukur peristiwa tipe pelaku

tertentu dalam periode waktu tertentu di lapangan. Sedangkan observasi

kurang formal dilakukan selama melangsungkan kunjungan lapangan,

termasuk kesempatan-kesempatan selama pengumpulan bukti yang lain

(wawancara dan dokumentasi).

Dalam proses dilapangan, langkah awal yang dilakukan adalah

melalui serangkaian observasi mengenai keadaan masyarakat secara

menyeluruh dalam menumbuhkan modal sosial, khususnya dalam rangka

mengentaskan kemiskinan dan mencapai keberhasilan program

pembangunan, yakni melalui program PNPM Mandiri Perkotaan.

Observasi diarahkan sebagai suatu usaha dalam memperoleh informasi

awal mengenai karakteristik masyarakat, gaya hidup, dan pola pemikiran

mereka.

Dalam observasi ini peneliti terlibat langsung dalam kegiatan

sehari-hari yang dilakukan oleh masyarakat di kedua wilayah tersebut.

Peneliti mengamati perilaku dan kegiatan sehari-hari masyarakat dan ikut

melakukan beberapa hal yang dikerjakan oleh masyarakat. Hal ini karena

peneliti juga merupakan warga asli yang berdomisili di salah satu

61
wilayah penelitian, sehingga secara garis besar peneliti telah memahami

seluk-beluk masyarakat dan berbagai masalah yang terjadi di kedua

wilayah tersebut. Secara umum, peneliti juga mengamati berbagai

kegiatan yang digulirkan melalui PNPM Mandiri, baik kegiatan yang

dilakukan oleh fasilitator, BKM, maupun masyarakat dalam KSM itu

sendiri. Dalam penelitian ini observasi dilakukan dalam kurun waktu

kurang lebih 4 (empat) bulan secara intensif dengan mengikuti berbagai

kegiatan di masyarakat, salah satunya dengan mengikuti pelaksanaan

PNPM Padat Karya (PNPM Bencana) yang digulirkan oleh pemerintah

karena adanya erupsi Gunung Merapi. Penelitian ini cukup memakan

waktu, tenaga, pikiran, dan dibutuhkan kecermatan dalam mengamati,

mendengarkan serta mencatat informasi yang didapat tersebut.

2. Wawancara Mendalam (in - depth interview)

Yaitu proses tanya jawab lisan antar pribadi dengan bertatapmuka

(face-to-face), yang dikerjakan berlandaskan pada tujuan penelitian, serta

masing-masing pihak dapat menggunakan saluran-saluran komunikasi

secara wajar dan lancar. Tanpa wawancara, peneliti akan kehilangan

informasi yang hanya dapat diperoleh dengan jalan bertanya langsung

kepada responden. Dalam proses wawancara ada beberapa faktor yang

berpengaruh, antara lain: pewawancara, responden, dan topik penelitian

yang tertuang dalam daftar pertanyaan, serta situasi wawancara. Dalam

menyampaikan pertanyaan kepada responden, pewawancara harus dapat

merangsang responden untuk menjawabnya, menggali jawaban lebih

jauh jika dikehendaki kemudian mencatatnya.

62
Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan

wawancara tidak terstruktur, sesuai dengan urutan wawancara, dan tidak

memakai sistem angket atau kuesioner. Teknik wawancara mendalam

berguna untuk memperoleh data dengan jalan mengajukan pertanyaan-

pertanyaan tentang segala sesuatu kepada informan untuk mendapatkan

penafsiran yang utuh tentang suatu informasi. Dalam teknik ini, yang

paling ditekankan adalah komunikasi antara peneliti dengan informan

berjalan lancar dan tidak terkesan formal.

Untuk memperoleh validitas data, wawancara dilakukan secara

berulang terhadap informan yang berbeda dengan item atau masalah

yang sama. Dengan demikian, diharapkan data-data yang diperoleh dapat

dipertanggungjawabkan validitasnya. Selain itu, untuk mendukung

validitas data, dalam pengertian yang diungkapkan oleh K.Yin (2003),

penelitian ini menggunakan dua tipe wawancara, yaitu: wawancara yang

bertipe open-ended dan wawancara terfokus.

Wawancara open-ended dilakukan dengan bertanya secara

langsung kepada informan kunci tentang suatu peristiwa tertentu dan

opini atau pendapat mereka tentang hal tertentu tersebut. Sedangkan

wawancara terfokus dilakukan dalam jangka waktu terbatas (satu jam

atau dua jam), walaupun masih bersifat open-ended tetapi tidak

mengikuti serangkaian daftar pertanyaan tertentu dari protokol

wawancara yang telah disiapkan. Tujuan wawancara ini adalah untuk

mendapatkan data pendukung terhadap fakta-fakta tertentu (K.Yin,

2003). Dengan teknik ini, peneliti dapat memperoleh data yang valid dan

63
juga komentar-komentar yang segar dari informan tentang suatu hal yang

dapat mendukung data penelitian.

Wawancara terhadap aparat pemerintah setempat dilakukan untuk

memperoleh gambaran secara menyeluruh mengenai karakteristik

masyarakat di kedua wilayah tersebut, mulai dari: latar belakang

masyarakat; keadaan geografi, sosial, ekonomi dan budaya; pemanfaatan

modal sosial di masyarakat dalam mengatasi permasalahan kemiskinan;

serta implementasi program pengentasan kemiskinan yang diinisiasi oleh

pemerintah.

Wawancara ini pun bersifat terbuka, oleh karena itu tidak tertutup

kemungkinan memunculkan pertanyaan yang berkembang dari jawaban

para informan. Jawaban ini merupakan tambahan dari pertanyaan yang

telah dipersiapkan sebelumnya. Dalam wawancara ini, tidak mengalami

kesulitan yang cukup berarti. Hanya saja harus menyesuaikan waktu

senggang yang dimiliki oleh informan, khususnya informan kunci.

Wawancara inipun terkadang terlihat seperti wawancara bebas (ngobrol)

dibandingkan dengan wawancara formal. Namun, dari hasil tersebut

diperoleh informasi-informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

Tokoh-tokoh tersebut juga ditempatkan sebagai sumber informasi

mengenai dinamika dan hasil dari program pengentasan kemiskinan

dalam mengembangkan peran modal sosial di masyarakat, serta mencoba

mengetahui sejauh mana perspektif aparat pemerintah lokal terhadap

keberhasilan program pengentasan kemiskinan yang selama ini

64
dikembangkan oleh pemerintah pusat, khususnya melalui PNPM Mandiri

Perkotaan.

Sedangkan wawancara dengan BKM dan pelaksanan PNPM

Mandiri Perkotaan dilakukan untuk menggali informasi mengenai proses

pelaksanaan program, mulai dari perencanaan hingga proses monitoring

dan evaluasi, yang merupakan bagian penting dari eksistensi PNPM

Mandiri dalam upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan secara

seragam di kedua wilayah tersebut. Hal tersebut juga disinggung ketika

berbicara dengan masyarakat melalui wawancara yang bersifat bebas/tak

terpimpin (free-talk), dimana dalam proses wawancara ini peneliti tidak

sengaja mengarahkan tanya-jawab pada pokok-pokok persoalan dari

fokus penelitian dan interviewer.

Tujuan wawancara bebas ini untuk memberikan ruang gerak yang

nyaman kepada informan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan,

sehingga masyarakat yang menjadi informan bebas berkeluh-kesah

mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan pokok-pokok

persoalan dari fokus penelitian yang diarahkan oleh peneliti. Dalam

wawancara bebas ini dapat juga diperoleh informasi-informasi yang

bersifat rahasia. Informasi-informasi tersebut dapat digunakan sebagai

pendukung data-data wawancara lainnya. Wawancara yang dilakukan

secara bebas dengan informan masyarakat setempat diperdalam melalui

penggalian informasi mengenai potret kehidupan masyarakat, dinamika

perkembangan modal sosial di masyarakat sebelum dan sesudah

menerima program pengentasan kemiskinan, bagaimana membangun

65
komitmen dan kesadaran masyarakat dalam mengembangkan modal

sosial setempat tersebut, serta pengaruh program pengentasan

kemiskinan yang digulirkan oleh pemerintah terhadap pengembangan

modal sosial setempat tersebut.

Dalam penelitian ini, wawancara mengunakan beberapa

instrumen yaitu berupa panduan wawancara, catatan lapangan dan alat

perekam audio. Instrumen-instrumen tersebut digunakan untuk

mempermudah dan memperjelas data yang diperoleh dari kegiatan

wawancara. Sehingga pada akhirnya peneliti dapat mengumpulkan data

dan informasi yang lengkap, akurat dan valid dari kegiatan wawancara

tersebut.

3. Kepustakaan

Salah satu metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah studi kepustakaan dengan menggunakan buku-buku sebagai

media sumber informasi. Pemanfaatan kepustakaan ini diperlukan, baik

untuk penelitian lapangan maupun penelitian bahan dokumentasi.

Manfaatnya antara lain: menggali teori-teori dan konsep yang telah

dikemukakan oleh para ahli terdahulu; mengikuti perkembangan

penelitian sesuai dengan topik diteliti; memperoleh orientasi yang lebih

luas mengenai topik yang dipilih; menghindari duplikasi penelitian,

memanfaatkan data sekunder; dan melalui penelusuran dan penelaahan

kepustakaan, dapat dipelajari bagaimana cara mengungkapkan buah

pikiran secara sistematis, kritis dan ekonomis.

66
Idealnya sebuah penelitian tidak lepas dari kepustakaan. Di dalam

menentukan penelitian pasti membutuhkan informasi awal. Disinilah

kepustakaan berperan untuk memberikan informasi awal, kemudian

selanjutnya kepustakaan dapat berperan sebagai semacam referensi agar

dapat memperkaya pengolahan data hasil penelitian, sehingga bisa

dihasilkan informasi yang komprehensif. Referensi tersebut berasal dari

buku, jurnal, artikel, majalah, surat kabar dan browsing dari internet.

Referensi tersebut digunakan untuk mendukung peneliti dalam

menyusun laporan penelitian.

Dalam penelitian ini pustaka yang digunakan oleh peneliti

sebagai pendukung dalam penyusunan laporan berasal dari berbagai

referensi. Baik dari buku, jurnal, surat kabar, artikel di internet, maupun

dari dokumen-dokumen yang diperoleh dari pemerintah setempat.

Keseluruhan referensi tersebut relevan dan berkaitan dengan penelitian

yang dilakukan oleh peneliti, khususnya mengenai berbagai pengetahuan

tentang modal sosial, usaha-usaha pengentasan kemiskinan, dan

berbagai pengalaman dari pengembangan masyarakat.

E. Teknik Analisa Data

Analisa kualitatif didasakan pada argumentasi logika dimana materi

argumentasi tersebut didasarkan pada data yang diperoleh melalui kegiatan dan

dalam teknik pengumpulan data (Faried, 1997: 151). Data yang diperoleh

tersebut merupakan fakta empiris dalam penelitian ini. Proses analisa data

dimulai dengan menelaah informasi atau data yang telah didapat, baik yang

diperoleh dari wawancara, pengamatan, maupun dari studi kepustakaan.

67
Keseluruhan data yang di dapat tersebut dirangkum dan dikategorisasikan sesuai

dengan masalah dan tujuan penelitian. Selanjutnya, kategori-kategori yang telah

diklasifikasikan tersebut dikontruksikan dengan pendekatan kualitatif ke dalam

sebuah deskripsi untuk kemudian dianalisis sehingga memungkinkan diambil

kesimpulan yang utuh dari fenomena yang telah diteliti. Teknik analisis data

dalam penelitian ini adalah seperti yang dikemukan oleh Miles dan Heberman

(dalam Bogdan dan taylor, 1992: 21-22), yang mencakup tiga tahap, yaitu:

1. Reduksi data

Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian,

pengabstraksian dan pentransformasian data kasar dari lapangan.

Proses ini berlangsung selama penelitian dilakukan, dari awal sampai

akhir penelitian. Fungsinya untuk menajamkan, menggolongkan,

mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi

sehingga interpretasi bisa ditarik. Data yang diperoleh dari hasil

observasi dan wawancara, ditulis ke dalam catatan lapangan, lalu

dirangkum kembali dalam catatan substansi dengan tujuan

memaknai hasil temuan data-data tersebut. Setelah itu ditulis dalam

laporan sementara, dipilih hal-hal pokok, difokuskan pada hal-hal

penting untuk dicari tema dan polanya.

2. Penyajian data

Setelah mereduksi data, hal selanjutnya adalah menyajikan

data. Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang

memberi kemungkinan untuk menarik kesimpulan dan pengambilan

tindakan. Bentuk penyajian data antara lain berupa teks naratif,

68
matrik, grafik, jaringan, dan bagan. Tujuan display data adalah untuk

mempermudah membaca dan menarik kesimpulan. Data yang telah

melalui proses reduksi, selanjutnya dipilih dan dikategorikan sesuai

dengan tema. Data tersebut kemudian diolah menjadi bentuk tulisan,

bagan, gambar dan tabel yang akan memberikan deskripsi analitis

mengenai fokus permasalahan penelitian.

3. Mengambil kesimpulan/verifikasi

Penarikan kesimpulan memang telah dilakukan sejak

klasifikasi data, namun kesimpulan tersebut masih diragukan. Hal itu

dikarenakan data yang didapat masih minim dan belum lengkap.

Tetapi dengan bertambahnya data yang diperoleh, kesimpulan dapat

terlihat lebih jelas, sebab data-data tersebut semakin mendukung

jawaban atas pertanyaan penelitian. Selama penelitian berlangsung

verifikasi pun harus selalu dilakukan, baik dengan mencari data-data

baru, maupun dengan melakukan wawancara beberapa kali.

F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Menurut Moleong (2000: 174), dalam menetapkan keabsahan data dalam

suatu penelitian diperlukan teknik pemeriksaan yang didasarkan pada derajat

kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan

(credibility), dan kepastian (confirmability). Teknik-teknik yang digunakan

untuk pemeriksaan data yaitu:

1. Triangulasi

Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan data dengan cara

memanfaatkan sesuatu di luar data itu sebagai pembanding atau

69
untuk pengecekan, misalnya data yang diperoleh di lapangan

dibandingkan dengan teori terkait permasalahan penelitian.

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong,

2000: 174). Triangulasi dalam uji kredibilitas diartikan sebagai

pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai alat, cara dan

waktu (Sugiyono, 2010: 273).

Triangulasi dalam penelitian ini dilakukan dengan

mempertanyakan pendapat dari satu informan kepada informan lain.

Pendapat dari pemerintah misalnya, jika dibandingkan dengan

jawaban dari masyarakat atas pertanyaan yang sama. Di dalam

masyarakat pun data akan selalu dibandingkan antara pendapat dari

BKM, penerima program, dan aktivis program pemberdayaan di

masyarakat yang terkait dengan persoalan penelitian. Salah satu

contoh triangulasi yang peneliti lakukan adalah membandingkan

informasi tentang keberhasilan program yang diklaim oleh pelaksana

PNPM Mandiri dan Pemerintah. Pihak pelaksanan PNPM Mandiri

Perkotaan di Kabupaten Magelang, mengatakan bahwa kegiatan yang

diinisisasi oleh PNPM Mandiri Perkotaan secara keseluruhan, baik di

bidang kelembagaan, lingkungan, sosial maupun ekonomi dapat

dikategorikan dalam good practices.

Sedangkan hasil observasi menunjukkan bahwa kelembagaan

yang dilakukan oleh sebagian besar desa/kelurahan masih sebatas

70
mengajak masyarakat penerima program datang ke forum-forum

konsultasi warga, tanpa adanya pemberian “kuasa” bagi mereka

untuk mengembangkan dan mengambil keputusan atas dirinya.

Alasannya adalah karena pengetahuan dan pemahaman KSM

(masyarakat) tentang program ini masih rendah, sehingga membuat

keterlambatan dan kendala di lapangan ketika kuasa sepenuhnya

dilakukan oleh mereka.

Hingga saat ini masih banyak masyarakat di Kelurahan

Muntilan belum bisa memahami sistem administrasi “yang rumit”

dalam pelaksanaan program yang telah berjalan selama kurang lebih

3 (tiga) tahun ini. Padahal berdasarkan tujuan dari PNPM Mandiri

Perkotaan, pengembangan kapasitas masyarakat merupakan tolak

ukur penting dari keberhasilan program ini. Oleh karenanya, jika

masyarakat saja masih belum bisa memahami dan megerti seluk-

beluk dari program yang rumit ini berarti klaim atas keberhasilan

program masih harus dipertanyakan

Sementara hasil wawancara dengan beberapa anggota BKM

menyebutkan bahwa masih banyak hal yang harus “dipertanyakan”

dari model pengentasan kemiskinan ini. Meskipun PNPM Mandiri

Perkotaan dirasa cukup “membantu” masyarakat miskin dalam

memperbaiki kualitas hidupnya, namun kenyataannya masih belum

bisa menjadikan kehidupan masyarakatnya sendiri berkualitas karena

menjadi bergantung dengan bantuan dari pemerintah.

71
Hasil observasi dan wawancara dengan pihak masyarakat dan

anggota BKM tersebut, kemudian dibandingkan dengan hasil

wawancara dari pihak Kecamatan dan juga dari hasil Laporan

Pertanggung Jawaban (LPJ) BKM Amanah Warga Kelurahan

Muntilan. Ternyata pihak Kecamatan Muntilan pun mengakui bahwa

program tersebut kurang berhasil karena belum menyentuh aspek

kebutuhan dasar masyarakat di wilayah program. Hal ini

menandakan bahwa sebenarnya keberhasilan PNPM Mandiri

Perkotaan Kabupaten Magelang yang selama ini digaungkan oleh

Pemerintah, dan pernyataan dalam LPJ BKM Amanah Warga

tersebut belum sepenuhnya bisa dirasakan oleh masyarakat penerima

program. Program tersebut sebetulnya lebih layak dikatakan bad

practices daripada good practices.

2. Konfirmabilitas

Dalam penelitian ini konfirmabilitas dilakukan dengan

observasi secara mendalam dan bukan hanya sekilas saja, serta

dengan melakukan pengecekan terhadap data atau informasi yang

didapat. Observasi tidak hanya dilakukan sekilas atau hanya beberapa

hari saja, namun dilakukan secara rutin selama penelitian

berlangsung. Peneliti memerlukan waktu yang cukup panjang untuk

lebih memahami hasil observasi dan dibutuhkan kecermatan dalam

mengamati, mendengarkan serta mencatat informasi yang didapat

tersebut.

72
Salah satu contoh konfirmabilitas yang dilakukan peneliti

adalah tentang sumber daya manusia yang ada di pihak fasilitator

terkait kemampuannya dalam mengangkat peran kelompok marjinal

yang notabenenya merupakan sasaran utama program PNPM Mandiri

Perkotaan. Selama penelitian, peneliti mengobservasi kemampuan

yang dimiliki oleh fasilitator, khususnya fasilitator teknis/lapangan

dirasa masih jauh dari prinsip keberpihakan. Dari beberapa kegiatan

yang peneliti amati, seperti misalnya dalam melakukan survei dan

pemetaan wilayah, fasilitator masih sering terlibat perdebatan dengan

para anggota BKM yang berada di posisi kurang strategis dan lemah,

sehingga terkesan lebih berpihak pada anggota BKM yang dominan.

Hal ini berakhir dengan adanya konfrontasi antar anggota BKM dan

fasilitator, yang berujung dengan munculnya ketidakpercayaan

masyarakat kepada fasilitator.

Fasilitator seolah-olah tidak ingin menciptakan harmonisasi

dengan masyarakat, sehingga terkesan bahwa beberapa dari mereka

hanya “kejar target proyek”. Hal ini semakin jelas membuktikan

bahwa proses pemberdayaan dan partisipasi hanya dilaksanakan

secara prosedural administratif semata. Keberpihakan fasilitator yang

tertuang dalam Petunjuk Teknis Operasional belum dapat dilakukan

secara optimal, sehingga kebutuhan kaum lemah tidak dapat

diakomodir.

Konsep pemberdayaan yang mereka miliki masih minim,

mereka belum mengetahui seperti apa konsep pemberdayaan secara

73
menyeluruh. Hal ini dapat dilihat ketika saya menanyakan kepada

mereka apakah PNPM Mandiri Perkotaan memberdayakan

masyarakat? Jawaban mereka hampir sama, yaitu dapat

memberdayakan. Padahal, yang mereka lakukan hanya “sekedar”

mengajak masyarakat penerima program datang ke forum-forum

konsultasi warga, tanpa adanya pemberian kuasa bagi mereka untuk

mengembangkan dan mengambil keputusan atas dirinya. Apalagi

dalam forum warga itu ada upaya mobilisasi “terhadap” orang-orang

tertentu yang merupakan orang-orang dekat elit desa yang memiliki

segudang kepentingan. Dari beberapa aspek tersebut peneliti dapat

melihat bahwa kapasitas dan kinerja fasilitator PNPM Mandiri

Perkotaan, khususnya di Kabupaten Magelang, masih perlu

ditingkatkan.

G. Hambatan Penelitian

Kendala-kendala yang dihadapi dalam penelitian ini adalah kesulitan

mendapatkan data-data tertulis dan juga kesulitan dalam melakukan wawancara

dengan key informan di Kelurahan Muntilan. Beberapa key informan seperti

Sekretaris Camat, Fasilitator Kelurahan Muntilan, Koordinator BKM Amanah

Warga Kelurahan Muntilan, dan beberapa anggota BKM lainnya, terkesan

enggan diwawancarai setelah mengetahui asal peneliti yang juga merupakan

warga asli Muntilan. Sebagian diantaranya terlihat kurang nyaman ketika

peneliti datang meminta ijin untuk melakukan wawancara, sebagian yang lain

menolak dengan halus dan memberikan rekomendasi sejumlah informan lain

yang dianggapnya lebih memiliki “kuasa” untuk diwawancarai. Mereka juga

74
terkesan menyembunyikan informasi mengenai adanya penyimpangan

penggunaan dana bergulir oleh salah satu Unit Pelaksanan Keuangan (UPK)

yang sebenarnya sudah menjadi rahasia umum.

Sedangkan di pihak fasilitator, mereka cenderung menahan informasi

yang berhubungan dengan pendampingan terhadap warga miskin dan sedikit

melakukan komunikasi dengan peneliti. Kebanyakan dari mereka saling

melempar tanggung jawab ketika dimintai informasi mengenai permasalahan

pembagian dana Bantuan langsung Mandiri (BLM) padat karya PNPM Mandiri.

Ada yang mengatakan bahwa dirinya bukanlah pelaksana lapangan sehingga

tidak mengetahui teknis pembagian, ada juga yang mengatakan bahwa hal

tersebut bukan wewenang fasilitator untuk menjelaskan, tapi yang lebih

berwenang adalah Koordinator Kota (Korkot). Peneliti kemudian dilempar ke

fasilitator yang lain yang dirasa lebih mengetahui tentang kebijakan dan teknis

pembagian dana BLM tersebut. Pada akhirnya peneliti berusaha menemui

Koordinator Kabupaten yang ketika itu dilansir telah dialihtugaskan karena

adanya tanggap darurat Gunung Merapi.

Beberapa aparat kecamatan pun terlihat kurang ramah ketika peneliti

bermaksud melakukan ijin pencarian data. Data-data tertulis seperti data

kependudukan, data monografi, dan data berbagai program pemerintah di

Kecamatan Muntilan yang seharusnya bisa dinikmati oleh publik justru hanya

bisa dinikmati oleh kalangan terbatas saja. Alhasil peneliti pun harus berusaha

keras untuk membuka jaringan seluas-luasnya tanpa harus berhubungan dengan

sulitnya birokrasi di kecamatan.

75
Kendala-kendala tersebut sempat menjadikan peneliti yang awalnya

optimis akan diterima dan mendapatkan data-data tertulis dengan mudah

mengalami keraguan. Namun akhirnya, berbekal rasa penasaran terhadap

penolakan dari berbagai pihak, serta karena adanya dukungan dari Kasi Kesra

Kecamatan Muntilan yang secara kebetulan bersama-sama menjadi relawan

dalam kegiatan tanggap darurat bencana Gunung Merapi, akhirnya peneliti bisa

melakukan wawancara dengan 3 (tiga) orang anggota BKM, sekaligus bisa

memperoleh fakta-fakta mencengangkan di Kelurahan Muntilan. Semenjak itu

peneliti mulai mengubah strategi dengan tidak lagi mengaku sebagai warga asli

salah satu RW di Kelurahan Muntilan ketika mewawancarai pihak-pihak

tertentu.

Di Desa Gunungpring sendiri, peneliti tidak mengalami kendala yang

begitu berarti. Aparat Desa, anggota BKM Mandiri, warga masyarakat, bahkan

Fasilitator Kelurahan sangat terbuka dan benar-benar menerima keberadaan

peneliti untuk melakukan observasi maupun pencarian data-data. Peneliti benar-

benar diberi akses yang luas dan sebebas-bebasnya. Bahkan, beberapa aparat

desa mengaku sangat terbantu jika untuk kedepannya hasil penelitian ini bisa

memberikan strategi-strategi baru bagi upaya pengentasan kemiskinan, serta

memberikan manfaat bagi usaha pengembangan masyarakat secara keseluruhan.

Di Desa Gunugpring, peneliti live in di 3 (tida) dusun, yakni Dusun

Santren, Gatak Karaharjan dan di Perumahan Pring Asri selama kurang lebih 17

hari. Hal ini dimaksudkan agar peneliti bisa benar-benar memahami seluk beluk

kehidupan masyarakat Desa Gunungpring, ketika secara langsung merasakan

aktivitas dan kehidupan sehari-hari mereka. Dalam proses live in di Desa

76
Gunungpring, peneliti secara otomatis juga berbaur dengan harmonisasi budaya,

alam, dan seluruh kearifan lokal yang ada didalamnya. Meski waktu live in

terbatas, namun secara garis besar peneliti benar-benar bisa merasakan apa yang

sebelumnya telah dipaparkan oleh warga dan Tokoh Masyarakat setempat

mengenai kehidupan di Desa Gunungpring yang mereplikasikan slogan

Kabupaten Magelang, yakni Magelang Gemilang, “gemah ripah iman

cemerlang”.

77
BAB III

POTRET PELAKSANAAN PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN

DI KELURAHAN MUNTILAN DAN DESA GUNUNGPRING

A. Dari Warisan Hingga Semangat Kebersamaan

Selama ini banyak pihak lebih melihat persoalan kemiskinan hanya pada

tataran gejala-gejala yang tampak terlihat dari luar atau di tataran permukaan saja,

pendekatan yang selama ini dilakukan pun lebih bersifat struktural dan mengabaikan

variabel-variabel kultural yang sedang dan terus berkembang di masyarakat.

Padahal, kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan

sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan dimensi ekonomi

(kemampuan memenuhi kebutuhan material), tetapi juga sangat berkaitan dengan

dimensi kehidupan manusia yang lain baik dimensi sosial, budaya, politik,

kesehatan, demografi, maupun aksesibilitas kebutuhan dasar. Penyebab kemiskinan

tersebut selanjutnya mempengaruhi karakteristik kemiskinan di suatu wilayah.

Berdasarkan penyebab kemiskinan yang diungkapkan oleh Bappenas (2004),

Bank Dunia (2003) dan Baharoglu dan Kessides (2001) dapat dijabarkan dimensi

kemiskinan yang dapat dijadikan sebagai indikator dalam mengetahui karakteristik

kemiskinan terdiri dari pendapatan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan

kemampuan. Satu dimensi kemiskinan sering menyebabkan atau berkontribusi pada

dimensi lain. Dalam buku “Kecamatan Muntilan Dalam Angka 2010/2011”

mencatat bahwa kesejahteraan dapat tercapai dalam kondisi masyarakat yang ideal,

dimana antara satu dimensi dengan dimensi yang lain saling mempengaruhi.

78
Sebagai contohnya di Kelurahan Muntilan dan Desa Gunungpring, Kabupaten

Magelang.

Selama ini, berkembang opini di masyarakat Kecamatan Muntilan bahwa

modal sosial setempat mengalami penurunan akibat berbagai permasalahan

kehidupan yang semakin berat. Kebijakan dan program pemerintah juga diduga

turut menurunkan kapasitas modal sosial, seperti misalnya program Bantuan

Langsung Tunai (BLT) sebagai bagian dari program kompensasi penghapusan

subsidi bahan bakar minyak yang diberikan Pemerintah Pusat kepada masyarakat

miskin.

Di Kelurahan Muntilan sendiri terdapat 355 KK (22 %) penerima BLT dari

total 1646 KK. Hal ini setara dengan persentase penerima BLT di Desa

Gunungpring, yakni 625 KK (24%) dari total 2566 KK yang ada di desa tersebut.

Secara sederhana dapat terlihat bahwa keadaan masyarakat di kedua wilayah

tersebut sama. Namun tolak ukur tersebut tidaklah mutlak, karena dalam proses

pendataannya masih banyak ditemukan perbedaan persepsi petugas dan aparat di

tingkat RW/dusun mengenai kriteria calon penerima, sehingga data yang dihasilkan

justru menjadi suatu perdebatan di masyarakat itu sendiri.

Pemberian BLT berupa uang tunai sebesar Rp 300.000,- per orang yang

diinisiasi sebagai salah satu kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan ini, pada

praktiknya justru menimbulkan berbagai efek negatif. Batasan kriteria kemiskinan

absolut pemerintah seringkali tidak mampu dipahami oleh realita di masyarakat,

sehingga banyak terjadi kasus dimana bantuan yang diberikan tidak tepat sasaran.

Masyarakat yang seharusnya masuk kriteria miskin justru tidak memperoleh

bantuan, begitu juga sebaliknya. Kendati belum pernah menimbulkan perilaku

79
kekerasan antarwarga, pemberian BLT ternyata memunculkan konflik terpendam,

yang mengakibatkan banyak anggota masyarakat yang menjadi enggan

berpartisipasi dalam kegiatan komunitas karena tidak mendapat BLT. Masyarakat

yang merasa sudah tercukupi dengan adanya bantuan pun menjadi malas dan mulai

tidak peduli dengan apa yang terjadi di lingkungannya.

Dalam dinamika masyarakat yang heterogen dan berkarakteristik, maka latar

belakang budaya serta kearifan lokal sering bertabrakan dengan hukum positif.

Masyarakat di Kelurahan Muntilan yang cenderung lebih heterogen dibanding

masyarakat Desa Gunungpring tentu akan lebih rentan terkena imbas dari

perubahan. Kondisi heterogenitas ini dapat dilihat dari status sosial ekonomi

masyarakat, yang diindikasikan oleh jenis pekerjaan, tingkat pendidikan dan

etnisitas masyarakatnya.

Perkembangan perkotaan di Kelurahan Muntilan lebih cepat dibanding di

Desa Gunungpring. Hal ini berbanding lurus dengan kondisi kemiskinan di wilayah

tersebut. Semakin banyaknya masyarakat yang bermatapencaharian di sektor

informal, misalnya sebagai petani, buruh bangunan, supir angkot, tukang becak, dan

sejenisnya, menunjukkan bahwa kondisi kemiskinan yang dialami mayoritas

masyarakat disebabkan oleh tingkat pendapatan yang relatif tidak stabil karena

mereka bekerja di sektor informal dengan pendapatan yang tidak menentu. Di sisi

lain, masyarakat mapan yang bermatapencaharian di sektor formal seperti PNS,

TNI, dan POLRI sebagian terkesan kurang peduli dengan apa yang terjadi dengan

lingkungan sekitarnya, sehingga apa yang seharusnya bisa mereka kawal justru

terabaikan.

80
Kondisi kemiskinan di kedua wilayah tersebut tidak hanya dapat dilihat dari

jenis pekerjaannya, tapi juga dari tingkat pendidikan. Masih sedikit masyarakat yang

bisa menikmati bangku pendidikan tinggi, hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat

yang berhasil mengenyam pendidikan hingga SMA/SMK sederajat cenderung lebih

memilih untuk langsung bekerja guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari

dibanding melanjutkan pendidikan tinggi yang dirasa mahal. Secara menyeluruh

masyarakat di Kelurahan Muntilan cenderung dianggap lebih berpendidikan dan

lebih maju dibanding masyarakat di Desa Gunungpring. Hal ini dikarenakan

Kelurahan Muntilan berada di pusat pendidikan, pemerintahan, kesehatan dan pusat

mobilisasi ekonomi, sehingga warga masyarakatnya memiliki kemudahan akses

terhadap sarana-prasarana yang seharusnya dapat berimplikasi positif terhadap

eksistensi modal sosial di wilayah tersebut.

Untuk lebih memahami kondisi daerah yang dijadikan lokasi penelitian,

berikut ini akan diuraikan terlebih dahulu gambaran umum tiap daerah penelitian.

Gambaran umum ini mencakup deskripsi kondisi geografis, demografis, dan sosial

budaya masyarakat di dua wilayah yang menjadi lokasi penelitian. Informasi

tersebut diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai konteks sosial yang

melatarbelakangi setting hubungan sosial di Kelurahan Muntilan dan Desa

Gunungpring.

Kelurahan Muntilan adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Muntilan

Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Kelurahan ini berada di pusat kota

Muntilan yang memiliki batas-batas administrasi di sebelah utara berbatasan dengan

Desa Ketunggeng Kecamatan Dukun, sebelah timur berbatasan dengan Sungai

Blongkeng dan Desa Gulon Kecamatan Salam, sebelah selatan berbatasan dengan

81
Desa Pucungrejo dan Desa Gunungpring Kecamatan Muntilan, serta di bagian barat

berbatasan dengan Desa Sedayu Kecamatan Muntilan.

Kelurahan Muntilan terbagi menjadi 12 RW dan 47 RT dengan luas wilayah

sebesar 206,24 Hektar, yang terdiri dari 115,65 Hektar lahan pertanian dan 90.59

Hektar lahan kering baik yang digunakan sebagai perumahan, perkantoran,

pertokoan, sekolahan maupun prasarana umum lainnya. Kelurahan Muntilan

merupakan daerah yang bercorak urban di wilayah selatan dan rural-pertanian di

wilayah utara sehingga masyarakatnya cenderung lebih heterogen daripada

masyarakat Desa Gunungpring.

Struktur Penduduk Kelurahan Muntilan


Berdasarkan Jenis Kelamin

Perempuan Laki-laki
49% 51%

Sumber: hasil analisis penulis, 2011.


GAMBAR 3.1
STRUKTUR PENDUDUK BERDASARKAN JENIS KELAMIN

Dari Profil Kelurahan Muntilan tahun 2010 diketahui jumlah penduduk

Kelurahan Muntilan adalah sebanyak 5889 jiwa yang terdiri dari 2989 penduduk

laki-laki dan 2900 penduduk perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak

1646 KK. Berdasarkan data mengenai agama yang dianut penduduk, diketahui

bahwa 52% penduduk beragama Islam, 39% Kristen/Protestan, dan sisanya

beragama Hindu/Budha.

82
Struktur Penduduk Kelurahan Muntilan
Berdasarkan Tingkat Kepercayaan

Lain-lain
9%
Kristen / Islam
Protestan 52%
39%

Sumber: hasil analisis penulis, 2011.


GAMBAR 3.2
STRUKTUR PENDUDUK BERDASARKAN TINGKAT KEPERCAYAAN

Sebagian besar penduduk di Kelurahan Muntilan sudah menempuh

pendidikan lanjutan, dimana untuk penduduk berusia di atas 5 tahun sebanyak 329

orang tamat perguruan tinggi, 1.966 orang tamat SLTA, 952 orang tamat SLTP, 919

orang tamat SD, 392 orang tidak tamat SD, 336 orang belum tamat SD dan 332

orang lain tidak bersekolah. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai pedagang,

pengangkutan, buruh bangunan, dan PNS/TNI/POLRI.

Struktur Penduduk Kelurahan Muntilan


Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Perguruan Tidak Tidak Tamat
Tinggi Bersekolah SD
6% 6% 8%
Belum Tamat
SLTA SD
SD 6%
38%
18%
SLTP
18%

Sumber: hasil analisis penulis, 2011.


GAMBAR 3.3
STRUKTUR PENDUDUK BERDASARKAN TINGKAT PENDIDIKAN

83
Kondisi sarana dan prasarana lingkungan di Kelurahan Muntilan saat ini

sudah cukup baik dan memadai. Sarana dan prasarana jalan yang ada di Kelurahan

Muntilan adalah jalan lingkungan, jalan poros antar desa, dan juga ruas jalan

kabupaten yang sekaligus merupakan ruas jalan provinsi maupun jalan negara.

Kondisi jalan poros saat ini sudah menggunakan konstruksi jalan aspal dan

kondisinya sangat baik terutama setelah ada pengaspalan ulang jalan yang

bersumber dari dana APBD tahun 2010.

Kondisi jalan lingkungan di Kelurahan Muntilan bagian selatan sudah

berupa jalan aspal dan paving yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat

maupun melalui program PNPM Mandiri Perkotaan. Namun demikian, kondisi

tersebut terlihat kontras dengan jalan lingkungan di bagian utara, dimana jalan

lingkungan tak lagi terpayungi oleh aspal. Konstruksi aspal yang kurang baik

mengakibatkan jalan rusak parah dan terjal untuk dilewati. Di beberapa gang bahkan

masih berupa jalan tanah dan seringkali becek ketika musim hujan.

Sarana ibadah yang terdapat di Kelurahan Muntilan cukup banyak, dimana

terdapat 11 masjid, 3 gereja, 10 musholla, 2 kapel dan 1 klenteng. Sarana

pendidikan pun cukup komplit, dimana terdapat 6 TK, 5 SD/MI, 4 SLTP/MTs, 1

SLTA. 7 Playgroup, 2 Pondok Pesantren, 1 Madrasah Diniyah, 1 Perpustakaan, dan

juga terdapat 1 Biara Suster serta Pastor. Sarana Kesehatan di Kelurahan Muntilan

cukup memadai karena terdapat RSU Tipe B yang hingga kini menjadi rujukan bagi

1626 orang warga penerima Jamkesmas maupun Jamkesda. Sarana olahraga yang

terdapat di Kelurahan Muntilan antara lain 1 lapangan sepakbola, 12 lapangan

bulutangkis, 6 lapangan bola voli, 4 lapangan basket dan 1 lapangan tenis.

84
Dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia, Muntilan mempunyai tempat

tersendiri, terutama dengan kehadiran Pastor FGJ Van Lith SJ yang berkarya di

Muntilan. Van Lith tinggal di Dusun Semampir, pinggir Kali Lamat, dan mendirikan

sebuah gereja sederhana dan sekolah kecil yang kemudian berkembang menjadi

gereja megah yang menjadi simbol perkembangan dan kejayaan Agama Katolik di

Muntilan. Gereja Katolik bersejarah tersebut diberi sebutan Gereja St. Antonius,

yang di masanya pernah menjadi gereja terbesar di Indonesia serta menjadi pusat

misioner di Asia Tenggara. Di tahun 1926, Romo Van Lith wafat dan dimakamkan

di Muntilan, kota yang ia namakan Bethlehem van Java. Selain Van Lith, ada juga

Pastor Richardus Kardis Sandjaja, Pr. Pastor Sandjaja dibunuh oleh milisi demi

membela iman yang diyakininya dan menjadi martir pertama di Indonesia. Makam

mereka kini menjadi tujuan ziarah. Ketika umat berziarah ke Sendangsono, makam

ini juga menjadi tujuan berikutnya.

Muntilan memang dikenal sebagai salah satu kota yang merupakan tonggak

dari awal berdirinya Gereja Katolik Indonesia. Sebagai jalan transformasi dan

optimalisasi peran kaum awam dalam hidup menggereja yang makin signifikan dan

relevan tidaklah heran jika hingga saat ini para misioner tumbuh subur dari

lingkungan yang sejatinya dikenal sebagai kota cadas dengan nilai-nilai religiusitas

Islam yang sukar ditembus oleh penginjil. Selain Gereja Katolik, Jemaat Gereja

Kristen Indonesia (GKI) juga berkembang pesat di Muntilan. Meski harus

menempuh sebuah perjalanan yang cukup panjang, serta mengalami pengasuhan

yang berpindah-pindah antara GKI Magelang dan GKI Ngupasan Yogyakarta.

Namun ternyata Jemaat GKI Muntilan telah bertumbuh di kota yang dikenal seperti

batu cadas ini.

85
Kemajemukan warga masyarakat di Kelurahan Muntilan seolah-olah

memang terlihat begitu akur, rukun dan damai. Hal ini terlihat pada saat diadakan

doa bersama memperingati 40 hari meninggalnya Gus Dur yang diadakan di

Klenteng Hok An Kiong Muntilan pada Januari 2010 yang lalu dengan diikuti oleh

setiap perwakilan dari kelima kepercayaan yang ada yaitu: Agama Budha, Katholik,

Kristen, Khonghucu, dan Islam. Namun dibalik kerukunan yang diperlihatkan

ternyata sejarah perkembangan masyarakat di masa lalu masih menyisakan

persoalan menyangkut hubungan antar umat beragama yang bisa menjadi duri dalam

daging bagi kehidupan masyarakat Muntilan.

Modernisasi dan kebudayaan barat yang masuk serta berbagai macam

pembangunan di berbagai bidang, memang menantang warga Muntilan untuk secara

selektif memilah dan memilih. Sehingga diharapkan kehidupan sosial budaya tetap

dapat digenggam dan dipertahankan, tanpa takut termakan perubahan. Kearifan

lokal di Kelurahan Muntilan hanya dapat terwujud dari adanya kolaborasi antara

masyarakat dan pemerintah. Meskipun hingga saat ini hubungan tersebut belum bisa

terjalin secara optimal.

Hubungan sosial yang terjadi di masyarakat tidak terlampau erat, meski

praktik tolong-menolong dan gotong royong masih dilakukan di beberapa RW,

terutama bila terkait dengan fasilitas yang bisa digunakan bersama. Karena

kelompok yang ada di masyarakat lebih banyak bercorak kelompok keagamaan

(pengajian dan kebhaktian) dan arisan, maka hal-hal yang berkaitan dengan gotong

royong lebih didasarkan pada asas keagamaan.

Di luar hal tersebut, kelompok-kelompok yang ada di lingkungan

permukiman memang variatif, namun banyak tidak aktif karena tidak memiliki

86
program yang terpadu dan hanya bersifat insidental. Minat masyarakat untuk ikut

dalam kelompok relatif kecil, terutama di kalangan yang tergolong Pra-KS dan KS-1

yang cenderung bersikap pasif. Sedangkan, mereka yang mengenyam pendidikan

tinggi terkesan enggan kembali ke daerah karena tidak adanya lapangan pekerjaan.

Tingkat kemiskinan khususnya di wilayah utara relatif tinggi, meskipun di

wilayah selatan masyarakatnya sudah mulai mapan. Pola permukiman yang terpisah

antara kalangan penduduk asli Jawa dan penduduk keturunan Cina serta antara

warga muslim dan non-muslim, mengakibatkan hubungan sosialnya agak lemah

(sebatas transaksi ekonomi dan “basa-basi”), masyarakat tersebut berkelompok dan

cenderung memiliki lingkungan masing-masing. Meski begitu akses terhadap

fasilitas pelayanan publik relatif mudah karena wilayah ini terletak di jantung Kota

Muntilan.

Gunungpring adalah sebuah desa sederhana yang berada tepat di jalur wisata

Borobudur dan Yogyakarta. Desa Gunungpring merupakan salah satu desa di

Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang, yang berbatasan dengan Kelurahan

Muntilan di sebelah utara, Sungai Blongkeng dan Desa Gulon Kecamatan Salam di

sebelah timur, Desa Ngawen di sebelah selatan, serta berbatasan dengan Desa

Pucungrejo yang juga masih dalam wilayah Kecamatan Muntilan di bagian barat.

Desa Gunungpring terbagi menjadi 27 RW dan 66 RT dengan luas wilayah

sebesar 217,49 Hektar, yang terdiri dari 60,89 Hektar lahan pertanian dan sisanya

lahan kering. Desa Gunungpring merupakan daerah yang bercorak rural dengan

potensi wisata alam religi yang mulai berkembang. Karakteristik masyarakat relatif

homogen, sehingga corak budaya masih kental.

87
Struktur Penduduk Desa Gunungpring
Berdasarkan Jenis Kelamin

Perempuan Laki-laki
50% 50%

Sumber: hasil analisis penulis, 2011.


GAMBAR 3.4
STRUKTUR PENDUDUK BERDASARKAN JENIS KELAMIN

Dari Data Monografi Desa Gunungpring tahun 2010 diketahui jumlah

penduduk Desa Gunungpring adalah sebanyak 9302 jiwa yang terdiri dari 4643

penduduk laki-laki dan 4659 penduduk perempuan dengan jumlah kepala keluarga

sebanyak 2566 KK. Berdasarkan data mengenai agama yang dianut penduduk

diketahui bahwa 95,5% yakni sebanyak 8883 orang penduduk beragama Islam, dan

4% sisanya beragama Kristen/Protestan.

Struktur Penduduk Desa Gunungpring


Berdasarkan Tingkat Kepercayaan
Kristen/ Lain-lain
Protestan 1%
4%

Islam
95%

Sumber: hasil analisis penulis, 2011.


GAMBAR 3.5
STRUKTUR PENDUDUK BERDASARKAN TINGKAT KEPERCAYAAN

88
Sebagian besar penduduk berusia di atas 5 tahun yakni 4796 orang sudah

menempuh pendidikan SLTA, 1110 orang tamat SLTP, 573 orang tamat TK, 520

orang tamat SD, 171 orang menempuh pendidikan tinggi, 153 orang menempuh

pendidikan khusus, 392 orang tidak tamat SD, dan sisanya tidak bersekolah.

Proporsi pekerjaan dari mayoritas penduduknya adalah sebagai pedagang, dimana

potensi pariwisata religi yang ada di Desa Gunungpring sudah dapat dinikmati oleh

pedagang lokal, sehingga hal tersebut berdampak positif untuk peningkatan

perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di wilayah ini.

Struktur Penduduk Desa Gunungpring


Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan
Perguruan Khusus
Tinggi 2% Tidak Tidak Tamat
2% SD
Bersekolah
4%
17%
TK
SLTA 6%
51%
SLTP SD
12% 6%

Sumber: hasil analisis penulis, 2011.


GAMBAR 3.6
STRUKTUR PENDUDUK BERDASARKAN TINGKAT PENDIDIKAN

Kondisi sarana dan prasarana lingkungan di Desa Gunungpring saat ini

sudah cukup baik dan memadai. Sarana dan prasarana jalan yang ada di Desa

Gunungpring adalah jalan lingkungan, jalan poros antar desa, dan juga ruas jalan

kabupaten yang sekaligus merupakan ruas jalan provinsi maupun jalan negara.

Kondisi jalan poros saat ini sudah menggunakan konstruksi jalan aspal dan

kondisinya sangat baik, sedangkan untuk jalan lingkungan sebagian besar sudah

89
berupa jalan aspal dan paving yang dibangun melalui program-program PNPM

Mandiri Perkotaan meskipun ada beberapa gang yang masih berupa jalan tanah.

Sarana ibadah yang terdapat di desa para santri ini relatif banyak, dimana

terdapat 13 masjid, 40 musholla, dan 1 gereja. Sarana pendidikan di Desa

Gunungpring pun cukup memadai meski tak sekomplit di Kelurahan Muntilan,

terdapat 8 TK, 3 SD/MI, 3 SLTP/MTs, 2 SLTA, dan 7 Pondok Pesantren. Sarana

Kesehatan dinilai masih kurang karena hanya memiliki 1 Balai Pelayanan

Masyarakat yang baru dibangun melalui progam PNPM Mandiri Perkotaan. Sarana

olahraga yang terdapat di Desa Gunungpring antara lain 1 lapangan sepakbola, 5

lapangan bulu tangkis, 2 lapangan bola voli, dan 4 lapangan basket.

. Masyarakat Gunungpring terbilang sangat religius, sehingga kegiatan

sehari-harinya nyaris tidak lepas dari ritual keagamaan. Beruntunglah desa ini

ditakdirkan mempunyai sejarah yang kuat sebagai desa religius yang dikenal

seantero Indonesia. Keberadaan makam tokoh-tokoh agama hebat menjadi daya

tarik para peziarah untuk datang dan bertamu. Inilah mengapa Gunungpring

memasang mimpi untuk menjadi Desa Wisata.

Masuk ke Desa Gunungpring dapat disaksikan sebuah gunung tempat

berziarah yang tak pernah sepi pengunjung. Gunung inilah yang kemudian menjadi

nama desa ini, Gunung Pring (gunung bambu), karena gunung ini memang rimbun

oleh bambu. Di puncak gunung, terdapat beberapa makam wali (kyai) yang

melegenda di kawasan Magelang, dan bahkan se-Jawa Tengah dan DIY. Beberapa

orang di silsilah keturunan Kraton Yogyakarta juga disemayamkan di makam

tersebut, hal inilah yang menjadikan makam tersebut sebagai salah satu makam

Kerajaan Yogyakarta.

90
Di Gunungpring terdapat pondok pesantren yang cukup terkenal seantero

negeri. Pondok pesantren tersebut adalah pondok Pesantren Watu Congol, pesantren

ini merupakan pesantren salaf yang sudah sangat tua. Saat ini pondok pesantren

Watucongol dipimpin oleh Kyai Ahmad Abdul Haq (Mbah Mad). Beliau sangat

disegani oleh banyak ulama lainnya karena kharisma dan “kewalian” yang

dipercayai masyarakat ada dalam dirinya. Tatkala ada yang sakit, ada hajat, mau

mencalonkan diri jadi pejabat, kebanyakan orang akan “sowan” ke Mbah Mad guna

minta doa restu. Bahkan para pesohor negeri ini seringkali datang ke Pondok

Pesantren ini.

Desa Gunungpring dikenal sebagai Desa yang memiliki daya tarik tersendiri

terutama dari sisi religi, dan juga menjadi salah satu bagian pendidikan terbaik di

Kabupaten Magelang. Hal ini menjadi salah satu faktor yang melatar belakangi Desa

Gunungpring dijadikan sebagai desa wisata dan pendidikan. Kawasan yang menjadi

prioritas yaitu koridor antara terminal Dawung hingga Masjid Santren. Diharapkan

kawasan tersebut dapat menjadi bagian untuk pengembangan dan kemajuan desa

Gunungpring secara keseluruhan.

Hubungan sosial masyarakat di Desa Gunungpring relatif erat sehingga rasa

saling percaya antarwarga masih tinggi dan tradisi gotong royong masih kental. Hal

ini dikarenakan adanya keterbukaan di masyarakat dalam menerima perubahan yang

terjadi. Peran tokoh masyarakat yang cukup besar dalam mendorong keterlibatan

masyarakat untuk kegiatan bersama, adanya transparansi dan keterbukaan dari

aparatur desa yang berfungsi sebagai pengayom masyarakat, menciptakan suatu

kolaborasi aksi antar berbagai pihak dalam setiap program pembangunan. Hal ini

91
juga berimbas terhadap peningkatan akses pelayanan publik bagi masyarakat

miskin.

Ketersediaan kelompok dan jejaring kerja dalam lingkungan masyarakat

cukup memadai, karena beberapa kelompok yang ada efektif untuk meningkatkan

kesejahteraan warga miskin. Banyak anggota masyarakat yang tergabung dalam

kelompok-kelompok tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa minat masyarakat untuk

ikut dalam kelompok cenderung tinggi, terutama di kalangan yang tergolong Pra-KS

dan KS-1 mereka sudah memiliki prakarsa untuk memberikan usulan secara kolektif

yang ditunjukkan dengan banyaknya proposal usulan program pembangunan yang

masuk ke pemerintah.

Secara historis, modal sosial yang ada di kedua wilayah tersebut merupakan

warisan dari apa yang terjadi di masa lalu, yakni dari budaya yang telah turun

temurun, yang diwarnai oleh berkembangnya nilai-nilai tertentu di masing-masing

kelompok yang terus dipupuk selama hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai

yang menghendaki persamaan, keadaban, kemanusiaan, dan pencapaian. Kekuatan

setiap entitas sosial dalam wujud warna-warninya kebudayaan etnis-etnis adalah

kekayaan dari kebudayaan di suatu wilayah.

Komposisi etnis dari masyarakat di lokasi penelitian dinilai cukup

mempengaruhi dinamika perubahan masyarakat. Kendati mayoritas masyarakat

beretnis Jawa, namun jumlah masyarakat yang beretnis Cina khususnya di

Kelurahan Muntilan cukup banyak. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik

masyarakatnya sangat beragam. Sehingga kapasitas modal sosial yang terjalin di

antara masyarakat dengan budaya yang beragam ini menjadi menarik untuk diteliti,

92
terutama jika dibandingkan dengan homogenitas masyarakat yang ada di Desa

Gunungpring.

Latar belakang pondok pesantren yang kental menjadikan nuansa

kebersamaan yang terjalin diantara masyarakat Gunungpring tumbuh kuat. Hal

tersebut yang kemudian menjadikan Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat sangat

disegani. Adanya sikap yang inklusif di masyarakat memungkinkan diperluasnya

jaringan-jaringan kerjasama dengan berbagai pihak dari luar. Sehingga tidak dapat

dipungkiri lagi bahwa agama telah memberikan inspirasi terhadap perubahan-

perubahan sosial yang saat ini tumbuh kuat, khususnya di dunia Islam. Menurut

dokumen monografi desa, mencatat bahwa mayoritas penduduk di wilayah

Gunungpring beragama Islam, yakni sebanyak 8873 orang (96%). Sehingga,

tidaklah heran jika modal sosial yang berlandaskan dengan prinsip-prinsip

“religiusitas” di wilayah Gunungpring berkembang begitu pesat hingga saat ini.

Prinsip keterbukaan, kebebasan, persamaan, dan kemajemukan yang merupakan

intisari ajaran Islam yang dibawa oleh para Kyai sesepuh desa, sangat berkaitan erat

dengan dimensi modal sosial yang tercipta di masyarakat.

Berdasarkan realita tersebut maka dapat dipastikan bahwa agama merupakan

salah satu sumber utama terbangunnya modal sosial. Perkumpulan-perkumpulan

keagamaan sangat potensial untuk menghadirkan dan membangun suatu bentuk dan

ciri tertentu dari modal sosial. Ajaran agama merupakan salah satu sumber dari nilai

dan norma yang menuntun perilaku masyarakat, sekaligus menjadi sumber utama

inspirasi, energi sosial, serta yang memberikan ruang bagi terciptanya orientasi

hidup penganutnya. Tradisi yang telah berkembang secara turun temurun juga

sebagai sumber terciptanya norma-norma dan nilai, hubungan-hubungan relasional

93
antar masyarakat serta kelompok-kelompok sosial. Tatanan yang terbangun

merupakan produk kebiasaan yang turun temurun, dan kemudian membentuk

kualitas modal sosial. Kelompok-kelompok masyarakat yang terbangun oleh suatu

organisasi sosial yang khas dan berbasis kepada garis keturunan merupakan salah

satu dari sekian sumber yang melahirkan modal sosial.

Modal sosial yang terbentuk dari produk turun-temurun tesebut juga perlu

dicermati. Hal ini dikarenakan kehidupan kelompok pada masyarakat yang memiliki

pandangan “konservatif” biasanya memiliki radius modal sosial yang pendek yang

dapat menghasilkan pandangan-pandangan negatif terhadap kelompok di luarnya

(negative externalities), seperti apa yang terjadi di masyarakat Muntilan. Warisan

sejarah yang ada di masyarakat justru menimbulkan efek yang negatif bagi

perkembangan modal sosial setempat. Jumlah penduduk beragama Islam dan

penduduk beragama Kristen/Protestan yang sebanding ternyata mewarisi gejolak

negatif dari masa lalu. Sehingga, tidaklah mustahil jika perkembangan modal sosial

yang ada di wilayah ini cenderung berada pada titik kebuntuan. Perkembangan

modal sosial yang terlihat sangat dipaksakan ini, lambat laun dapat menimbulkan

konflik besar jika di salah satu kelompok tidak bisa menjaga keharmonisan dalam

hidup berdampingan. Karakteristik masyarakat yang demikian jika tidak diimbangi

dengan perasaan senasib perlahan-lahan justru akan melemahkan setiap potensi

modal sosial di masyarakatnya.

Agar potensi modal sosial yang bersumber dari agama tidak terdegradasi,

diperlukan juga lembaga-lembaga pendidikan sebagai wadah penguatan modal

sosial. Idealnya lembaga pendidikan tidak hanya memberikan pelajaran-pelajaran

keilmuan semata, tetapi juga sebagai tempat membangun modal sosial dalam bentuk

94
aturan-aturan, norma, dan nilai. Kemungkinan ini tidak hanya dapat digali melalui

lembaga-lembaga pendidikan di tingkat dasar dan menengah, tetapi juga melalui

lembaga pendidikan tinggi. Produk lembaga pendidikan tinggi sebaiknya tidak

hanya berurusan dengan keilmuan semata, tetapi juga menciptakan nilai-nilai baru

yang berorientasi pada dimensi kebebasan berpendapat, kesamaan kedudukan, dan

etika yang tinggi. Disisi lain, keberadaan program-program pengentasan kemiskinan

ala pemerintah juga diharapkan bisa menjadi wadah bagi perjuangan masyarakat

dalam penguatan modal sosial setempat.

B. Model Pengentasan Kemiskinan ala Pemerintah: PNPM Mandiri Perkotaan

Sesuai ulasan pada bab sebelumnya, secara historis tradisi penciptaan modal

sosial memang tidak memiliki oleh negara. Hal ini dikarenakan modal sosial

bersumber atau by product dari agama, tradisi, adat istiadat, nilai-nilai, dan

pengalaman-pengalaman bersama yang selalu berulang di tengah masyarakat,

sehingga eksistensinya berada di luar kemampuan dan kontrol pemerintah. Ketika

kebijakan-kebijakan dirancang, semestinya pemerintah menyadari bahwa modal

sosial yang tumbuh di masyarakatnya merupakan produk dari masyarakat itu

sendiri. Pemerintah tetap dapat berperan sebagai pendorong untuk tumbuh dan

munculnya energi modal sosial itu kembali, tetapi bukan pencipta. Sehingga secara

otomatis prakarsa, keterlibatan, dan peran pemerintah secara sungguh-sungguh

dalam rangka pengembangan modal sosial di masyarakat sangatlah dibutuhkan,

meski realitanya masih jauh dari harapan.

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan

pada hakikatnya merupakan proses pembelajaran bagi masyarakat dan pemerintah

95
untuk memulihkan dan melembagakan kembali modal sosial yang telah ada untuk

membangun tatanan masyarakat madani (good governance) yang mampu mandiri

dan berkelanjutan menangani kegiatan pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan

melalui pengembangan kapasitas masyarakat. Kegiatan pengembangan kapasitas

tersebut dilaksanakan dalam bentuk sosialisasi-sosialisasi, pelatihan-pelatihan dan

pelaksanaan siklus pemberdayaan. Ketiga macam rangkaian kegiatan

pengembangan kapasitas dalam rangka program pemberdayaan masyarakat tersebut

telah dilaksanakan seluruhnya di Kabupaten Magelang, khusunya di Kelurahan

Muntilan dan di Desa Gunungpring.

Keberadaan PNPM Mandiri Perkotaan di Kabupaten Magelang selama

perjalanannya dari tahun 2007 hingga tahun 2010, yang juga merupakan kelanjutan

dari program P2KP yang telah dimulai sejak tahun 2004 lalu, telah mampu

membangun infrastruktur di 127 lokasi dengan total anggaran sebesar Rp.

17.257.285.850,- yang tersebar di 27 desa pada 2 Kecamatan yaitu Kecamatan

Muntilan dan Kecamatan Mertoyudan. Menurut Bupati Magelang, dari 127 lokasi

tersebut terdapat 9 jenis kegiatan meliputi: pembangunan atau rehabilitasi jalan di

56 lokasi, saluran irigasi 21 lokasi, sarana kesehatan di 13 lokasi, sarana pendidikan

12 lokasi, drainase 10 lokasi, jembatan 9 lokasi, sarana perdagangan 3 lokasi, sarana

air bersih 2 lokasi, serta rehabilitasi rumah 1 lokasi (Kontributor Kabupaten

Magelang, 2011).

Seiring dengan keberlajutan dan perluasan program, semakin besar pula

alokasi dana yang dikucurkan. Dari alokasi dana Bantuan Langsung Masyarakat

(BLM) reguler tahun 2006 sebesar 2,3 Milyar sampai dengan BLM reguler dan

BLM paket tahun 2009 sebesar 8,5 milyar total alokasi selama 4 tahun mencapai

96
26,4 milyar. Kemudian pada tahun 2010 Pemerintah Kabupaten Magelang

melakukan upaya scalling up dengan mereplikasi PNPM Mandiri Perkotaan dengan

dana Rehabilitasi Paket sebesar 500 juta yang bersumber dari APBD dan Swadaya

Masyarakat (Kontributor Kabupaten Magelang, 2011). Hal ini sebagai suatu bentuk

komitmen pemerintah daerah dalam mendekatkan program dengan berbagai

kebutuhan di masyarakat.

Dengan kata lain, pola pengentasan kemiskinan berbasis pemberdayaan

masyarakat dalam arti yang sebenarnya mulai dirasakan manfaatnya oleh

Pemerintah Kabupaten Magelang, sehingga perlu dilakukan pengembangan.

Anggaran pengembangan daerah perkotaan yang dialokasikan untuk desa dan

kelurahan di tingkat kecamatan dalam upaya scalling up dengan mereplikasi

program-program yang digulirkan melalui PNPM Mandiri Perkotaan, diharapkan

bisa menjadi pijakan bagi Pemerintah Kabupaten Magelang dan seluruh lapisan

masyarakat untuk dapat berkolaborasi dalam penyusunan rencana strategis program

penanggulangan kemiskinan daerah serta dalam pengelolaan berbagai potensi

berbasis pemberdayaan masyarakat.

Masyarakat harus secara bertahap dan berkelanjutan mengikuti proses yang

diagendakan pemerintah melalui pembelajaran dan pelatihan yang difasilitasi oleh

Tim Fasilitator desa/kelurahan. Dalam proses tersebut, program yang digulirkan

diawali dengan pengikisan akar kemiskinan yang terjadi di masyarakat. Masyarakat

dibangkitkan semangatnya untuk mengkaji dan menganalisa serta dimotivasi untuk

mengatasi kemiskinan secara bersama. Sehingga, pelaksanaan programnya harus

berorientasi ke bawah, lebih tepat sasaran, tidak ada lagi kebocoran, melibatkan

komunitas di masyarakat (miskin, mampu, pemuda dan perempuan) dalam setiap

97
siklus, menghilangkan kesenjangan dan perbedaan status sosial, serta menciptakan

nilai-nilai modal sosial, seperti gotong royong, musyawarah, dan keswadayaan.

Rangkaian kegiatan sosialisasi PNPM Mandiri Perkotaan di Kabupaten

Magelang dilaksanakan selama lima bulan. Kegiatan ini terdiri dari kegiatan

sosialisasi awal, rembug kesiapan masyarakat, dan sosialisasi lanjutan pada bulan

Maret sampai dengan Juli 2007. Sosialisasi awal oleh fasilitator pendamping

dilaksanakan di tingkat desa/kelurahan dan di tingkat masyarakat basis (RT, RW,

Dusun, kelompok masyarakat tertentu), bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan-

kegiatan rutin di tingkat masyarakat, antara lain pertemuan rutin RT, pengajian

tingkat RT, pengajian ibu-ibu, pertemuan PKK, dan pertemuan-pertemuan

masyarakat lainnya. Sosialisasi awal program ini mendapatkan tanggapan yang

cukup baik dari masyarakat, karena masyarakat merasa senang akan mendapatkan

bantuan dari pemerintah dimana pengelolaan dan pelaksanaannya akan dilakukan

sendiri oleh masyarakat.

Rangkaian kegiatan sosialisasi berikutnya adalah Rembug Kesiapan

Masyarakat (RKM), yang intinya adalah menghimpun pernyataan masyarakat untuk

memutuskan menerima atau menolak program pemberdayaan masyarakat PNPM

Mandiri Perkotaan di desa/kelurahannya. Hasil rembug kesiapan masyarakat di

kedua wilayah tersebut memutuskan untuk menerima PNPM Mandiri dan

menyatakan siap mengikuti siklus pemberdayaan sebagaimana yang dipersyaratkan

oleh program. Sikap menerima program ini disamping dipengaruhi oleh keinginan

masyarakat untuk merubah kondisi warganya agar menjadi lebih baik, juga

dipengaruhi oleh besaran dana bantuan langsung masyarakat yang akan diterima.

98
Kegiatan RKM ini juga berfungsi sebagai pembelajaran awal bagi

masyarakat dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan dimana keputusan untuk

menerima atau menolak program tidak hanya diputuskan oleh kelompok elit

masyarakat namun melibatkan seluruh komponen masyarakat, termasuk masyarakat

miskin. Pada tahapan ini masyarakat telah memasuki tahap awal dari siklus

pemberdayaan masyarakat, yaitu masyarakat telah memiliki keinginan untuk

berubah. Pada tahap sosialisasi ini juga berhasil terhimpun relawan yang selanjutnya

akan menjadi pioneer di tingkat desa/kelurahan dalam rangkaian kegiatan-kegiatan

pemberdayaan masyarakat.

Kemudian, tahap selanjutnya adalah sosialisasi lanjutan berupa pemberian

pemahaman yang lebih mendalam kepada masyarakat tentang prinsip-prinsip

pembangunan berbasis masyarakat dan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan

melalui siklus-siklus pemberdayaan yang telah dirancang dalam program PNPM

Mandiri Perkotaan. Seluruh Kepala Desa/Lurah di Kabupaten Magelang mendukung

dilaksanakannya PNPM Mandiri Perkotaan di masing-masing wilayahnya. Beberapa

dari mereka bahkan melakukan sinergi antara PNPM Mandiri Perkotaan dengan

program-program yang diinisiasi oleh desa. Alhasil, kegiatan pembangunan yang

dilakukan melalui PNPM Mandiri Perkotaan dapat terfasilitasi dalam rencana

pembangunan daerah dan program-program pemerintah setempat dapat mendukung

rencana penanggulangan kemiskinan secara lebih holistik dan dapat mengakomodir

kebutuhan-kebutuhan yang belum tercantum dalam dokumen perencanaan desa. Hal

inilah yang pada akhirnya mempengaruhi konsep pembangunan yang dilaksanakan

di tiap-tiap desa/kelurahan, salah satunya adalah pemberdayaan masyarakat melalui

pembelajaran bersama seluruh komponen masyarakat guna penguatan modal sosial.

99
Penerapan PNPM Mandiri Perkotaan di Kabupaten Magelang dinilai

pemerintah cukup berhasil. Hal ini ditunjukkan dengan adanya keterlibatan

masyarakat hampir dalam setiap tahapan pembangunan. Pada proses perencanaan,

pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan operasionalisasi, masyarakat mampu

menjadi owner. Rasa kepemilikan terhadap program ditunjukkan dengan dengan

tingginya sharing pembiayaan pada setiap kegiatan, meski pada dasarnya hal

tersebut tidak benar-benar bisa dilaksanakan dan dirasakan oleh masyarakat,

khususnya penerima program. Pengamatan di lapangan memperlihatkan bahwa

pemilihan jenis program yang sesuai dengan masyarakat, walaupun juga

mendapatkan “arahan dari atas”, merupakan salah satu kunci keberhasilan

pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan. Hal ini selanjutnya berhasil

mendayagunakan potensi ekonomi keluarga miskin, yang didukung oleh kondisi

sosial budaya yang menunjang, bisa turut mempercepat proses pengentasan

kemiskinan melalui usaha bersama masyarakat lokal.

Hasil dari program ini tidak bisa dilihat dengan segera seperti halnya

pembangunan fisik, namun ke depan (sepuluh atau lima belas tahun kedepan),

tercapainya masyarakat yang mandiri sebagai hasil kegiatan pemberdayaan pada

saat ini, akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengentaskan

kemiskinan di Indonesia. Hasil dari kegiatan pemberdayaan tidak boleh diukur

dengan indikator-indikator ekonomi dan secara waktu dapat tercapai dalam waktu

singkat, namun hendaknya diukur dengan perubahan perilaku masyarakat menjadi

lebih mandiri secara berkelanjutan. Meski begitu, dari berbagai kegiatan yang telah

dilaksanakan melalui PNPM Mandiri Perkotaan di Kabupaten Magelang,

pembangunan fisik dan lingkungan merupakan primadona. Hal ini dikarenakan

100
pembangunan fisik dan lingkungan dianggap lebih sederhana, lebih terukur, dan

mudah menarik dana masyarakat. Kegiatan fisik dan lingkungan pada program

PNPM Mandiri Perkotaan di wilayah ini baik yang sudah dilaksanakan atau sudah

direncanakan antara lain adalah: pengaspalan jalan lingkungan, pembangunan

jembatan, pembangunan MCK, pembuatan saluran drainase, reklamasi tanah,

pendirian klinik desa, pembangunan irigasi pertanian, penyediaan air bersih,

pavingisasi jalan lingkungan, pembuatan senderan jalan, penerangan jalan dan

penataan sanitasi lingkungan.

Kemudian, kegiatan dalam bidang ekonomi yang menjadi andalan dalam

program ini adalah pengelolaan dana bergulir yang diupayakan untuk mendorong

lahirnya lembaga keuangan desa/kelurahan yang kuat dan mandiri untuk

memperdayakan ekonomi masyarakat, sehingga bisa memperluas lapangan kerja,

kesempatan usaha kecil dan mikro, dan akses modal serta pembiayaan yang murah

untuk kepentingan warga miskin. Tolak ukur dari keberrhasilan kegiatan ini adalah

adanya peningkatan Nilai Persentase Pengembalian pinjaman ekonomi bergulir

(RR).

Kegiatan dalam bidang sosial yang telah dilaksanakan dan masih dalam

perencanaan pun sangat beraneka ragam, diantaranya adalah penggaduhan kambing,

pelatihan kerajinan batu, pelatihan teknisi perbengkelan, pelatihan servis

handphone, penyuluhan penanggulangan narkoba, pelatihan mitigasi dan adaptasi

bencana, penyuluhan kesehatan ibu hamil, penyuluhan KB, fogging untuk

pemberantasan penyakit demam berdarah, penyediaan pupuk untuk petani, kursus

komputer, beasiswa bagi anak kurang mampu, kursus kecantikan, dan lain

sebagainya.

101
Pada perkembangannya hingga saat ini PNPM Mandiri telah ditempatkan

sebagai salah satu program unggulan pengentasan kemiskinan oleh pemerintah,

yang juga merupakan hasil dari perjalanan panjang pencarian model yang dianggap

tepat dalam program pengentasan kemiskinan. Dibandingkan dengan program

pemerintah untuk pengentasan kemiskinan yang lain, program ini lebih kental

nuansa pendekatan pemberdayaannya. Melalui program ini masyarakat lokal diberi

kewenangan dan peluang untuk mengontrol proses pengambilan keputusan dan

sumberdaya. Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) sebagai institusi lokal yang

dibentuk melalui program ini didesain sebagai institusi sukarela versi Uphoff.

Dengan demikian baik proses pembentukannya maupun aktivitasnya tidak banyak

“campur tangan dan arahan” dari pemerintah termasuk pemerintah desa (dalam

Soetomo, 2011:172).

Organisasi pelaksana kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan di Kelurahan

Muntilan adalah Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) “Amanah Warga”, yang

memiliki 3 (tiga) unit pelaksana di bawahnya, yaitu Unit Pelaksana Lingkungan

(UPL), Unit Pelaksana Sosial (UPS), dan Unit Pelaksana Keuangan (UPK). Dari

struktur organisasi BKM Amanah Warga bisa diketahui bahwa kondisi sosial

budaya di masyarakat sangat mempengaruhi kepengurusan suatu organisasi di level

kelurahan. Sehingga latar belakang religi yang seimbang, dimana 48% anggota

BKM Amanah Warga beragama Kristen/Protestan dan 52% beragama Islam,

menjadikan adanya dualisme kepengurusan yang kentara. Beberapa visi dan misi

keagamaan yang dibawa masing-masing anggota menjadikan fungsi BKM sebagai

pengayom masyarakat tak memiliki kejelasan arah. Koordinator BKM Amanah

Warga pun cenderung bersifat kurang terbuka ketika di konfirmasi mengenai

102
permasalahan-pemasalahan menyangkut internal BKM, khususnya masalah kredit

macet yang melibatkan salah satu Koordinator UPK Kelurahan Muntilan yang juga

merupakan rekanan dalam kelompok kebhaktian. Berikut struktur organisasi BKM

Amanah Warga:

Sumber: BKM Amanah Warga, 2010


GAMBAR 3.7
STRUKTUR ORGANISASI BKM AMANAH WARGA

Sedangkan Badan Keswadayaan Masyarakat Desa Gunungpring adalah

BKM “Mandiri” yang juga memiliki 3 (tiga) unit pelaksana di bawahnya, yaitu

UPL, UPS, dan UPK. Organisasi pelaksana kegiatan langsung di masyarakat adalah

Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang masing-masing memiliki program

kegiatan masing-masing. Berbeda dengan stuktur organisasi BKM Amanah Warga

yang cenderung mengusung dualisme kepengurusan, anggota BKM Mandiri justru

berada pada posisi saling meleburkan diri. Persamaan latar belakang religi membuat

kepengurusan BKM Mandiri berhasil mengusung visi dan misi yang sama dalam

pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan. Kebersamaan yang terjalin karena adanya

persamaan latar belakang tersebut menumbuhkan sikap inklusif para anggota BKM,

sehingga menjadikan jaringan-jaringan kerjasama dengan berbagai pihak dari luar

semakin luas. Berikut struktur organisasi BKM Mandiri:

103
Sumber: BKM Mandiri, 2010.
GAMBAR 3.8
STRUKTUR ORGANISASI BKM MANDIRI

Konsep yang digulirkan melalui PNPM Mandiri merupakan hasil pencarian

panjang model yang dianggap tepat dalam program pengentasan kemiskinan. Meski

begitu, kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa apa yang selama ini diinisiasi

oleh pemerintah masih jauh dari kata sempurna. Kelembagaan yang dilakukan

masih sebatas mengajak masyarakat penerima program datang ke forum-forum

konsultasi warga, tanpa adanya pemberian kuasa bagi mereka untuk

mengembangkan dan mengambil keputusan atas dirinya. Alasannya adalah karena

pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang program ini masih rendah,

sehingga ketika kuasa sepenuhnya dilakukan oleh mereka membuat keterlambatan

dan kendala di lapangan.

C. Pelaksanaan Siklus PNPM Mandiri Perkotaan di Kelurahan Muntilan dan

Desa Gunungpring

Kelurahan Muntilan dan Desa Gunungpring merupakan dua lokasi penerima

bantuan program PNPM Mandiri Perkotaan, dan masuk dalam kelompok desa yang

secara bersama-sama dan seragam memperoleh program tersebut. Sampai saat ini

104
kegiatan siklus PNPM Mandiri Perkotaan di Desa Gunungpring dan di Kelurahan

Muntilan telah berjalan selama 3 tahun dan berhasil menyelesaikan tahapan BLM

tahun ketiga, sehingga kegiatan di kedua wilayah tersebut bisa dikatakan telah

terlaksana semua.

Pada pada tahun anggaran 2007 dan 2008 BKM Amanah Warga Kelurahan

Muntilan mendapat dana alokasi BLM sebesar 300 juta dan anggaran tersebut telah

terserap 100%. Sedangkan pada tahun anggaran 2009 mendapat lagi dana alokasi

BLM sebesar 150 juta yang dicairkan menjadi 3 tahapan (BLM tahap I, II dan III),

namun anggaran tersebut belum terserap 100% karena hingga saat ini dana alokasi

BLM tahap II dan tahap III APBN sebesar 75 juta belum masuk ke rekening BKM.

Pada tahun 2010 atau memasuki tahun ketiga BLM, Kelurahan Muntilan

mendapatkan alokasi dana Rehabilitasi Paket sebesar 50 juta yang bersumber dari

APBD dan Swadaya Masyarakat.

Besaran Dana dari Pemerintah


untuk Kelurahan Muntilan

Rp300
Rp250
Rp200
300
Rp150
Rp100 150
Rp50 50
Rp0
2008 2009 2010
Dalam Juta Rupiah

Sumber: hasil analisis penulis, 2011.


GAMBAR 3.9
BESARAN DANA BLM KELURAHAN MUNTILAN

Sedangkan di Desa Gunungpring pada tahun anggaran 2007 dan 2008 BKM

Mandiri mendapat dana alokasi BLM sebesar 350 juta dan anggaran tersebut telah

105
terserap 100%. Sedangkan pada tahun anggaran 2009 mendapat lagi dana alokasi

BLM sebesar 180 juta yang dicairkan menjadi 3 tahapan BLM tahap I, II dan III.

Kemudian pada tahun 2010 atau memasuki tahun ketiga BLM, Desa Gunungpring

mendapatkan alokasi dana Rehabilitasi Paket sebesar 85 juta yang bersumber dari

APBD dan Swadaya Masyarakat (diolah dari wawancara dengan BKM Amanah

Warga dan BKM Mandiri, April-Juli 2011).

Besaran Dana dari Pemerintah


untuk Desa Gunugpring

Rp350
Rp300
Rp250
Rp200 350
Rp150
180
Rp100
85
Rp50
Rp0
2008 2009 2010
Dalam Juta Rupiah

Sumber: hasil analisis penulis, 2011.


GAMBAR 3.10
BESARAN DANA BLM DESA GUNUNGPRING

Hal terpenting dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan adalah adanya

program-program dari pemerintah yang memberikan penawaran dalam upaya

menyelesaikan masalah kemiskinan masyarakat kota melalui pendekatan

pemberdayaan masyarakat. Masyarakat diposisikan sebagai pelaku utama dalam

kegiatan pengentasan kemiskinan, sehingga diharapkan mampu mengelola kegiatan

yang digulirkan melalui PNPM Mandiri Perkotaan secara optimal sehingga

penguatan modal sosial setempat menjadi sangat penting. Kemampuannya

106
mengelola sumber daya yang dimiliki akan membantu mereka untuk lebih mandiri

dan tidak bergantung pada pemerintah.

Visi kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan adalah terciptanya masyarakat yang

berdaya yang mampu menjalin sinergi dengan pemerintah daerah serta kelompok peduli

setempat dalam rangka menanggulangi kemiskinan dengan efektif, secara mandiri dan

berkelanjutan. Sedangkan misi kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan adalah

memberdayakan masyarakat perkotaan, terutama masyarakat miskin, untuk menjalin

kerjasama sinergis dengan pemerintah daerah dan kelompok peduli lokal dalam upaya

penanggulangan kemiskinan, melalui pengembangan kapasitas, penyediaan sumber

daya, dan melembagakan budaya kemitraan antar pelaku pembangunan. Sebagaimana

tujuan dari PNPM Mandiri Pertkotaan itu sendiri, yakni :

a. Mewujudkan masyarakat “Berdaya” dan “Mandiri”, yang mampu mengatasi

berbagai persoalan kemiskinan di wilayahnya, sejalan dengan kebijakan

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.

b. Meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah dalam menerapkan model

pembangunan partisipatif yang berbasis kemitraan dengan masyarakat dan

kelompok peduli setempat.

c. Mewujudkan harmonisasi dan sinergi berbagai program pemberdayaan

masyarakat untuk optimalisasi penanggulangan kemiskinan.

d. Meningkatkan capaian manfaat bagi masyarakat miskin untuk mendorong

peningkatan IPM dan pencapaian sasaran MDGs.

Sasaran pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan adalah:

a. Terbangunnya lembaga kepemimpinan masyarakat (BKM) yang aspiratif,

representatif, dan akuntabel untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya

partisipasi serta kemandirian masyarakat.

107
b. Tersedianya PJM Pronangkis sebagai wadah untuk mewujudkan sinergi

berbagai program penanggulangan kemiskinan yang komprehensif dan

sesuai dengan aspirasi serta kebutuhan masyarakat dalam rangka

pengembangan lingkungan permukiman yang sehat, serasi, berjati diri dan

berkelanjutan.

c. Meningkatnya akses terhadap pelayanan kebutuhan dasar bagi warga miskin

dalam rangka meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan

pencapaian sasaran MDGs.

Pendekatan yang digunakan dalam pencapaian tujuan dari pelaksanaan PNPM

Mandiri Perkotaan adalah sebagai berikut:

a. Melembagakan pola pembangunan partisipatif yang berorientasi masyarakat

miskin dan berkeadilan, melalui pembangunan lembaga kepemimpinan

masyarakat (BKM) yang representatif, akuntabel, dan mampu menyuarakan

kepentingan masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan dan

Perencanaan Partisipatif dalam menyusun PJM-Pronangkis berbasis pada

peningkatan IPM MDGs.

b. Menyediakan stimulan BLM secara transparan untuk mendanai kegiatan

penanggulangan kemiskinan yang mudah dilakukan oleh masyarakat dan

membuka kesempatan kerja, melalui pembangunan sarana/prasarana

lingkungan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, pengembangan

ekonomi lokal dengan prasyarat tertentu, memperkuat keberlanjutan

program dengan menumbuhkan rasa memiliki di kalangan masyarakat

melalui proses penyadaran kritis, partisipatif, pengelolaan hasil-hasilnya,

dan sebagainya.

108
c. Meningkatkan kemampuan perangkat pemerintah dalam perencanaan,

penganggaran, dan pengembangan setelah program.

d. Meningkatkan efektifitas perencanaan dan penganggaran yang lebih

berorientasi pada masyarakat miskin dan berkeadilan.

Pelaksanaan siklus PNPM Mandiri Perkotaan dimulai dari sosialisasi awal,

perekrutan relawan, pemetaan swadaya, refleksi kemiskinan, pembentukan BKM,

penyusunan dokumen Perencanaan Jangka Menengah Program Penanganan

Kemiskinan (PJM Pronangkis), pelatihan-pelatihan dan pelaksanaan kegiatan

lapangan diberbagai bidang, seperti: pembangunan fisik dan lingkungan, meliputi

pembangunan sarana/prasarana lingkungan permukiman, sosial, maupun ekonomi

yang belum memadai; pengembangan kapasitas lembaga-lembaga pendukung;

peningkatan kemampuan sumber daya manusia yang minim; maupun pengelolaan

potensi lokal yang belum maksimal.

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2008

GAMBAR 3.11
SIKLUS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DALAM PNPM MANDIRI PERKOTAAN

109
Kegiatan awal dalam siklus pemberdayaan PNPM Mandiri Perkotaan adalah

refleksi kemiskinan. Refleksi kemiskinan ini dilakukan untuk menumbuhkan

kesadaran kritis masyarakat terhadap akar penyebab masalah kemiskinan. Kegiatan

refleksi kemiskinan ini dilaksanakan melalui Focus Group Discussion (FGD), yang

dilaksanakan di tingkat basis masyarakat atau RT dan dalam pertemuan ibu-ibu

PKK. Hasil dari refleksi kemiskinan di tingkat basis selanjutnya disampaikan dalam

lokakarya refleksi kemiskinan tingkat desa yang diikuti oleh perwakilan dari tiap RT

atau basis masyarakat untuk selanjutnya diambil kesepakatan bersama tentang

kriteria masyarakat miskin di wilayah tersebut. Indikator yang disepakati untuk

mengidentifikasi kemiskinan adalah berdasarkan pekerjaan, pendapatan keluarga

perbulan, pendidikan, dan kondisi rumah tinggal.

Dari kegiatan refleksi kemiskinan ini masyarakat bisa mendapatkan banyak

pembelajaran, dimana mereka mendapatkan banyak cerita dan pengalaman

mengenai agenda penanggulangan kemiskinan dari modul-modul yang disampaikan,

serta dapat bertukar pikiran dengan fasilitator maupun sesama warga terutama dalam

menyampaikan pandangan-pandangannya mengenai kondisi kemiskinan dan kondisi

sosial ekonomi lainnya. Melalui rangkaian FGD tersebut, masyarakat dapat

mencurahkan pemikirannya secara bebas, apalagi kegiatan tersebut dikemas dalam

suasana yang tidak begitu formal. Dalam kegiatan ini terdapat proses untuk

mengembangkan jiwa altruism atau mengutamakan kepentingan umum, pengakuan

terhadap kesamaan nilai dalam masyarakat dan kebersamaan dalam kehidupan di

komunitasnya jika fasilitator dan masyarakat melakukan kegiatan tersebut dengan

maksimal.

110
Rangkaian kegiatan dalam siklus yang kedua adalah pemetaan swadaya (PS).

Kegiatan Pemetaan Swadaya dilakukan untuk mendapatkan gambaran kondisi

masyarakat, kondisi kemiskinan, potensi yang dimiliki masyarakat serta peluang,

hambatan dan ancaman yang ada dalam mengatasi masalah-masalah kemiskinan dan

masalah lingkungan di wilayahnya. Pelaksanaannya dilakukan oleh tim pemetaan

swadaya yang menghasilkan data-data berupa kondisi umum desa/kelurahan,

permasalahan kemiskinan di tingkat desa/kelurahan, potensi yang dimiliki

masyarakat serta profil dan karakteristik masyarakat miskin di kedua wilayah

tersebut.

Selain untuk menentukan kriteria warga yang miskin, kegiatan pemetaan

swadaya juga dilakukan untuk menyusun daftar kebutuhan bagi kegiatan

penanggulangan kemiskinan. Dari hasil pemetaan, permasalahan kemiskinan

didapatkan tiga komponen daftar kebutuhan masyarakat Desa Gunungpring, yaitu

komponen yang berkaitan dengan pembangunan lingkungan dengan menitik

beratkan pada pembangunan klinik desa dan jembatan penghubung antar dusun,

komponen yang berkaitan dengan pembangunan usaha produktif difokuskan pada

pengembangan sumber-sumber perekonomian di sekitar tempat wisata serta

memberikan pinjaman dana bergulir berupa modal kerja dan investasi kepada

anggota lewat KSM yang bersangkutan. Komponen yang berkaitan dengan rencana

pengembangan kegiatan sosial dan peningkatan SDM seperti memberi bantuan

berupa sumbangan kematian dan bencana alam lokal kepada warga Gunungpring

yang termasuk keluarga miskin, khitanan massal, dan lain sebagainya.

Di Kelurahan Muntilan pemetaan swadaya yang dilakukan pada saat

reorganisasi tersebut dihadiri oleh perwakilan masing-masing RW. Namun sayang,

111
warga yang hadir dalam kegiatan ini kurang dari jumlah peserta yang ditargetkan,

hal ini merujuk sebagaimana diutarakan oleh Ketua BKM Amanah Warga

Kelurahan Muntilan (wawancara tgl 24 April 2011, pkl. 08.11), sebagai berikut:

“…Pada kegiatan pemetaan swadaya antusiasme warga


Kelurahan Muntilan kami nilai sangat kurang. Bahkan untuk
sekedar datang saja masih harus saling tunjuk. Target 50 peserta
dalam kegiatan ini pun tidak terpenuhi. Padahal seharusnya hal ini
bisa dengan mudah terpenuhi jika masing-masing RW dari 12 RW
dan 47 RT di Kelurahan Muntilan bisa mendatangkan 3 perwakilan,
ditambah perwakilan dari unsur masyarakat. Kurang antusiasnya
warga Kelurahan Muntilan dalam menghadiri kegiatan ini
menimbulkan sejumlah masalah di awal program, bahkan sempat
menimbulkan keraguan para fasilitator…”

Pemetaan permasalahan kemiskinan di Kelurahan Muntilan menghasilkan

komponen yang berkaitan dengan pembangunan lingkungan berupa pavingisasi,

pembuatan jalan, blok cor dan bendungan, pembangunan saluran irigasi,

pembangunan tanggul dan selokan, serta pembangunan MCK. Komponen yang

berkaitan dengan pembangunan usaha produktif yang terdiri dari bantuan modal

usaha dan komponen yang berkaitan dengan rencana pengembangan kegiatan sosial

dan peningkatan SDM berupa pemberian santunan pendidikan bagi warga miskin,

bantuan kesehatan dan gizi buruk, rehab rumah tidak layak huni, penambahan

sarana pendidikan, dan kursus-kursus keterampilan.

Meski dalam kegiatan pemetaan swadaya warga di Kelurahan Muntilan

mengalami kesulitan untuk menentukan kriteria warga miskin dikarenakan kriteria

yang tercantum di buku petunjuk, seperti misalnya kriteria rumah harus yang

berlantai tanah atau semen, tidak sesuai dengan keadaan sebagian besar masyarakat

di kelurahan tersebut. Dimana tidak ada rumah yang lantainya tanah dan jarang yang

lantainya semen, sehingga kriteria rumah harus yang berlantai tanah atau semen

tidak mungkin diterapkan. Ada rumah yang bagus berlantai keramik tiba-tiba

112
Kepala Keluarga terkena imbas krisis global dan harus kehilangan pekerjaan

sehingga menganggur. Kenyataan seperti ini menjadikan penghasilan sebagai salah

satu kriteria warga miskin, yaitu dengan penghasilan minimal Rp 20.000,00/hari dan

memiliki tanggungan minimal 3 orang anak.

Kegiatan pemetaan swadaya yang dilakukan di kedua wilayah tersebut

berhasil mengidentifikasi sebanyak 625 KK miskin di Desa Gunungpring dan 455

KK miskin di Kelurahan Muntilan, hal tersebut didasarkan pada kriteria-kriteria

yang disepakati oleh warga masyarakat di kedua wilayah tersebut, yaitu jenis

pekerjaan, pendapatan keluarga, pendidikan, dan keikutsertaan sebagai penerima

manfaat program sejenis sebelumnya (misalnya Raskin, BLT, Askeskin).

Kriteria kemiskinan yang berhasil disusun dan disepakati tersebut kemudian

dipergunakan oleh pengurus BKM untuk membuat program kegiatan yang

seharusnya difasilitasi oleh fasilitator kelurahan. Tetapi kenyataan yang terjadi di

Keurahan Muntilan tidak seperti itu, BKM Amanah Warga jarang mengetahui

tupoksi fasilitator kelurahan dan bahkan pernah terjadi beberapa kali kekosongan

fasilitator. Saat ini pun ada fasilitator tetapi tidak sepenuhnya membimbing dan

mengarahkan dengan baik. Fasilitator terkadang hanya datang jika ada pertemuan di

tingkat RT/RW untuk mendapatkan data dari hasil pertemuan tersebut (wawancara

Ketua BKM Amanah Warga, Bpk. HY. Suparno, 24 April 2011 pkl. 08.11).

Melalui kegiatan pemetaan swadaya masyarakat diajak untuk

mengembangkan jiwa altruism atau mengutamakan kepentingan umum,

mengembangkan akses informasi baik dalam lingkup internal atau eksternal

masyarakat, memahami hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi, semua elemen

masyarakat memiliki kepercayaan kepada tim yang ditunjuk, serta adanya

113
keselarasan antar semua anggota kelompok, baik laki-laki dengan perempuan, tua

dan muda, miskin dan kaya, terpelajar dan tidak terpelajar, dan antar kelompok basis

masyarakat di tingkat RT/RW. Pemetaan swadaya juga diharapkan bisa

menghasilkan berbagai daftar kebutuhan masyarakat baik yang berkaitan dengan

fisik lingkungan, pengembangan ekonomi masyarakat, maupun daftar kebutuhan

kegiatan sosial, yang pada akhirnya bisa menjadikan masyarakat menerima

kebebasan tambahan dan tanggung jawab yang lebih besar. Kebebasan tambahan

yang dimaksud adalah bahwa masyarakat merasa bebas untuk mengidentifikasi

daftar kebutuhannya disertai pandangan dan keinginannya serta tanggung jawab

untuk memenuhi kebutuhan tersebut berdasarkan potensi yang dimiliki. Realitanya

tujuan baik tersebut tak berjalan semulus implementasi di lapangan.

Proses penyusunan dokumen pemetaan swadaya model P2KP cukup menjadi

pelajaran dalam pengembangan perencanaan kegiatan pengentasan kemiskinan yang

berbasis pada partisipasi warga. Pada proses selanjutnya yakni proses pembangunan

BKM, dimana BKM merupakan suatu konsekuensi dari penerimaan masyarakat

akan adanya PNPM Mandiri Perkotaan, penumbuhan kesadaran kritis masyarakat

terhadap hakikat kelembagaan masyarakat menuju masyarakat yang madani benar-

benar digali. Proses awal dalam pembangunan BKM adalah menyadarkan

masyarakat mengenai pentingnya membangun organisasi masyarakat untuk

menanggulangi persoalan bersama yaitu penanggulangan kemiskinan melalui

pembentukan kelembagaan masyarakat dan pemilihan pemimpin-pemimpin

masyarakat yang mengakar dan representatif. Proses pembangunan BKM ini terdiri

dari penyusunan Anggaran Dasar (AD) organisasi BKM, penyusunan panitia

pembentukan BKM dan pemilihan anggota BKM.

114
Penyusunan Anggaran Dasar organisasi BKM di kedua wilayah tersebut

dilakukan oleh masyarakat yang direpresentasikan oleh relawan dengan dipandu

fasilitator. Pada tahap penyusunan AD di Kelurahan Muntilan peran fasilitator

cukup besar, yakni dengan memberikan contoh-contoh dokumen yang ada dan

membantu secara langsung dalam proses penyusunan, sehingga kemandirian

masyarakat dalam penyusunan AD ini masih kurang. Masyarakat sepakat untuk

memberikan nama organisasi BKM di kelurahannya dengan nama BKM “Amanah

Warga”, yang mengandung maksud dan cita-cita agar warga di Kelurahan Muntilan

selalu bisa menjalankan amanah dengan jujur dan penuh tangung jawab.

Proses penyusunan BKM di Desa Gunungpring dilakukan dengan lebih

mandiri karena beberapa relawan desa sudah cukup paham mengenai

pengadministrasian, sehingga relawan cukup menjadi pemandu. Disini masyarakat

bersepakat memberikan nama organisasi BKM di desanya dengan nama BKM

“Mandiri” dengan tujuan agar warga di Desa Gunungpring secara keseluruhan bisa

beranjak dari kemiskinan sehingga untuk kedepannya tidak lagi bergantung pada

bantuan dari pihak luar. Keberadaan kedua BKM tersebut juga langsung didaftarkan

pada notaris untuk mendapatkan status hukum yang tetap. Masing-masing BKM

memiliki 3 unit pelaksana di bawahnya, yaitu Unit Pelaksana Lingkungan (UPL),

Unit Pelaksana Sosial (UPS), dan Unit Pelaksana Keuangan (UPK).

Kegiatan pembangunan BKM di Desa Gunungpring sebenarnya telah

dimulai pada saat pemetaan swadaya, dimana masyarakat menentukan sendiri

kriteria kepemimpinan yang diharapkan dengan basis nilai-nilai dan modal sosial

sesuai hasil FGD kepemimpinan. Kriteria-kriteria pemimpin yang diinginkan

tersebut yang selanjutnya disosialisasikan kepada masyarakat untuk memilih

115
utusan-utusannya dalam pemilihan anggota BKM. Pemilu atau pemilihan utusan di

tingkat dusun dilaksanakan serentak di 11 dusun tanpa kampanye dan propaganda

apapun, yang berhasil memilih 34 orang utusan masyarakat untuk mengikuti

pemilihan anggota BKM. Ke-34 orang utusan tersebut selanjutnya saling memilih

dan dipilih untuk mendapatkan anggota BKM berdasarkan perolehan suara

terbanyak masing-masing utusan. Anggota BKM Mandiri berjumlah 19 orang,

terdiri dari 14 orang laki-laki (74%) dan 5 orang perempuan (26%).

Sama halnya dengan di Gunungpring, keanggotaan BKM Amanah Warga

Kelurahan Muntilan berhasil memilih anggota berjumlah 21 orang, yang terdiri dari

15 orang laki-laki (71%) dan 6 orang perempuan (29%). Ditinjau dari aspek gender,

maka keterwakilan perempuan di kedua wilayah tersebut cukup representatif,

dimana dalam ketentuan pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan tahun 2007

dipersyaratkan terdapat keterlibatan perempuan minimal 20%. Organisasi pelaksana

kegiatan langsung di masyarakat adalah Kelompok Swadaya Masyarakat. Sejak

awal pelaksanaan kegiatan pada tahun 2007 sampai penelitian ini dilakukan,

berbagai KSM telah terbentuk dan memiliki program kegiatan masing-masing.

Setelah melakukan pemetaan swadaya, anggota BKM Mandiri Desa

Gunungpring membuat program kerja berdasarkan petunjuk teknis PNPM Mandiri

Perkotaan yang meliputi (diolah dari hasil wawancara dengan Manajer Unit

Pengelola Lingkungan BKM Mandiri, Bpk. Djamal, MHP., 30 Juli 2011 pkl. 11.07):

1. Bidang Kelembagaan

a. Membuat perubahan anggaran dasar dan rumah tangga BKM.

b. Mengadakan sosialisasi PNPM Mandiri Perkotaan kepada

masyarakat di lingkungan RT/RW di Desa Gunungpring.

116
c. Mengadakan pembinaan, pembenahan, dan bimbingan kepada KSM-

KSM yang sudah ada agar mandiri.

d. Mengadakan penilaian kepada KSM-KSM secara rutin.

e. Mengadakan pelatihan manajemen KSM dan ketrampilan yang

dibutuhkan.

2. Bidang Lingkungan

a. Memberi bantuan perbaikan lingkungan sebagai dana stimulan yang

diselenggarakan masyarakat Desa Gunungpring.

b. Memperbaiki sarana dan prasarana utamanya adalah jembatan yang

menghubungkan antar dusun sehingga dapat meningkatkan stabilitas

perekonomian bagi masyarakat.

c. Penataan lingkungan permukiman pada area penghijauan,

perdagangan dan jasa, pendidikan, serta lingkungan permukiman.

3. Bidang Ekonomi

a. Memberikan pinjaman dana bergulir berupa modal kerja dan

investasi kepada anggota lewat KSM yang bersangkutan.

b. Menggiatkan adanya pemupukan modal berupa tabungan yang

dikaitkan dengan angsuran pinjaman dana bergulir. Pada akhir

pelunasan dapat diambil 50% untuk modal KSM.

c. Membuka unit simpan pinjam dan unit perdagangan.

4. Bidang Sosial

a. Memberi bantuan berupa sumbangan kematian dan bencana alam

lokal kepada warga Gunungpring yang termasuk keluarga miskin.

117
b. Memberi beasiswa SD dan madrasah dari keluarga miskin pada tahun

ajaran baru.

c. Memberi bantuan kepada acara khitanan massal yang

diselenggarakan oleh masyarakat Desa Gunungpring.

Sesuai dengan hasil pemetaan swadaya yang dilakukan oleh BKM Amanah

Warga Kelurahan Muntilan maka ada beberapa isu yang mengemuka antara lain

adalah: pemberdayaan lembaga-lembaga sebagai pelaku pembangunan; membangun

simbol-simbol perekonomian; membangun fasilitas mobilisasi barang dan jasa;

perbaikan gizi, santunan warga miskin dan beasiswa pendidikan bagi keluarga

miskin; serta meningkatkan pembangunan manusia baik sebagai pelaku

pembangunan maupun obyek pembangunan. Dari hal tersebut maka kebijakan-

kebijakan yang berhasil disusun oleh masing-masing bidang BKM Amanah Warga

adalah sebagai berikut (diolah dari hasil wawancara dengan Ketua BKM Amanah

Warga, 24 April 2011 pkl. 08.15 dan Anggota BKM Amanah Warga, Bpk. Priyono,

23 April 2011 pkl. 15.58) :

1. Bidang kelembagaan

a. Mendorong agar tertib administrasi guna mempermudah dalam

pelaporan dan evaluasi.

b. Melaksanakan Rapat Pleno atau rutin yang dilaksanakan untuk

membahas permasalahan atau kebijakan dari tingkat KMW, KMP

dan juga masyarakat.

c. Mengadakan pelatihan atau pembekalan untuk Sekretasis dan UP-UP

agae berkualitas dalam menjalankan tugasnya.

118
d. Mengevaluasi program jangka menengah untuk di revisi atau

disempurnakan.

2. Bidang Lingkungan

a. Fasilitasi terhadap KSM atau pelaksana pembangunan dari perencana

pelaksanaan sampai kepada pelaporan dan evaluasi.

b. Memperbaiki sarana dan prasarana utamanya adalah jalan yang dapat

meningkatkan ekonomi bagi masyarakat.

3. Bidang Ekonomi

a. Pendampingan kepada KSM Ekonomi tentang peningkatan usaha dan

terobosan-terobosan baru dalam manajemen usaha kecil.

b. Mendorong peningkatan Nilai Prosentase Pengembalian pinjaman

ekonomi bergulir (RR).

c. Mendorong lahirnya lembaga ekonomi kelurahan yang kuat dan

mandiri untuk memperdayakan ekonomi kelurahan, yang dapat

memperluas lapangan kerja, kesempatan usaha, akses modal, serta

pembiayaan yang murah sehingga mudah di akses dan mampu

menekan pengangguran yang akan berdampak terhadap pengurangan

kemiskinan.

4. Bidang Sosial

a. Peningkatan kesejahteraan dan kesehatan warga miskin melalui

program rehab rumah tidak layak huni .

b. Peningkatan kesejahteraan keluarga miskin melalui usaha

pengembangan ternak.

119
Di dalam proses pembangunan BKM terdapat proses untuk mengembangkan

jiwa kepemimpinan dimana masyarakat memilih pemimpin mereka sendiri,

menyadari kebutuhan akan pentingnya organisasi atau lembaga yang dapat

merepresentasikan kepentingannya dan kepentingan komunitasnya, sehingga

organisasi yang terbentuk nantinya bisa memiliki nilai tawar dan peran dalam

pembangunan daerahnya, masyarakat penerima pun bisa sepenuhnya memberikan

kepercayaan kepada orang-orang yang sesuai dengan kriteria atau nilai yang mereka

kembangkan sendiri, serta tercipta suatu keselarasan dimana utusan dari masing-

masing kelompok bisa bekerja bersama-sama untuk kepentingan masyarakat tingkat

desa/kelurahan.

Keberlanjutan dan keberhasilan program penanggulangan kemiskinan di

daerah sangat bergantung kepada dukungan masyarakat dan Pemerintah Daerah,

untuk itu PJM Pronangkis yang disusun oleh BKM harus juga mendapatkan

dukungan dari Pemerintah Daerah. Dokumen perencanaan daerah yang disusun oleh

Pemerintah Daerah sebagai dasar pelaksanaan pembangunan sebenarnya juga

berasal dari usulan-usulan di tingkat masyarakat melalui Musrenbang (musyawarah

perencanaan pembangunan) desa yang dibawa ke Musrenbang kecamatan dan

diteruskan di Musrenbang kabupaten, untuk itu PJM Pronangkis harus disinergikan

dengan forum Musrenbang agar program yang terdapat dalam PJM Pronangkis

dapat terfasilitasi dalam rencana pembangunan daerah dan program-program

pemerintah daerah dapat mendukung rencana penanggulangan kemiskinan secara

lebih holistik dan dapat mengakomodir kebutuhan-kebutuhan yang belum tercantum

dalam dokumen PJM Pronangkis.

120
Namun, secara umum implementasi sinergi program yang lebih jauh belum

dapat terlaksana, termasuk untuk meningkatkan nilai tawar PJM Pronangkis BKM

dan memasukkan agenda-agenda program ke dalam Musrenbang kecamatan atau

Musrenbang di tingkat Kabupaten, sehingga selama ini program-program yang

dilaksanakan masih mengandalkan kemampuan sendiri yaitu pendanaan dari BLM

dan dana-dana Swadaya serta dukungan dari masyarakat sendiri. Kerjasama dengan

pihak swasta, LSM/NGO lain, perguruan tinggi dan instansi lain juga belum

terlaksana karena masih terbatasnya akses dan kemampuan negosiasi serta

kesempatan dan posisi tawar yang dimiliki BKM untuk melakukan kerjasama

dengan pihak-pihak eksternal tersebut. Meski begitu, BKM Mandiri Desa

Gunungpring sudah memulai beberapa kerjasama dengan beberapa stakeholder di

tahun 2011 ini, khususnya dalam pengembangan wisata sekaligus pendidikan

berbasis nilai-nilai budaya dan religi masyarakat setempat.

Dengan adanya peluang kerjasama dengan pihak luar, maka BKM Mandiri

dapat merencanakan program-program dengan lingkup dan target sasaran yang lebih

luas dari yang sebelumnya karena adanya tambahan dukungan dan sumber daya

untuk mencapai target yang diharapkan. Masyarakat Desa Gunungpring kini dapat

meningkatnya akses terhadap informasi terutama dari pihak-pihak eksternal,

meningkatnya jaringan kerja sehingga dengan terciptanya jaringan masyarakat bisa

mengoptimalkan potensi dan sumber daya yang ada, serta dapat meminimalkan

halangan-halangan yang selama ini dihadapi. Selain itu melalui BKM masyarakat

bisa meningkatkan political power, karena mereka memiliki nilai tawar yang lebih

tinggi dalam pengambilan keputusan dan merencanakan pembangunan di

daerahnya.

121
Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan program, dalam tahapan ini

masyarakat mengimplementasikan program-program yang telah mereka susun

sebagaimana yang tercantum dalam PJM Pronangkis dan dijabarkan dalan Rencana

Tahunan Pronangkis. Tahap pelaksanaan dan pemantauan ini terdiri dari

pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), pengajuan usulan kegiatan

oleh KSM kepada BKM, prioritasi dan penilaian usulan oleh BKM, pencairan dana,

pelaksanaan kegiatan lapangan, pelaporan dan evaluasi serta monitoring.

KSM adalah kelompok masyarakat yang terdiri dari 5 sampai 10 orang yang

dibentuk untuk mengatasi permasalahan anggota kelompok secara bersama-sama

dalam rangka penanggulangan kemiskinan, sekaligus sebagai pelaksana kegiatan di

lapangan program-program yang telah direncanakan. Masing-masing KSM

mengajukan usulan kegiatan dalam bentuk proposal kegiatan yang selanjutnya

diverifikasi dan dilakukan penilaian serta prioritasi oleh BKM dibantu oleh Unit

Pengelola (UP) sesuai kegiatan yang diusulkan. Setelah usulan kegiatan disetujui

dan telah cukup tersedia dana, maka dilakukan pencairan dana dan kegiatan

dilaksanakan. Selama pelaksanaan kegiatan, fungsi monitoring dilaksanakan oleh

segenap anggota masyarakat, dan untuk kegiatan pembangunan lingkungan harus

disertai papan informasi kegiatan sehingga semua elemen masyarakat dapat

mengakses informasi mengenai kegiatan yang dilaksanakan. Setelah kegiatan selesai

dilaksanakan, maka KSM harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban

kegiatan kepada BKM melalui UP. Pada akhir tahun dilaksanakan audit

kelembagaan dan keuangan BKM yang dilaksanakan oleh lembaga auditor yang

independen.

122
Tahap pelaksanaan ini bisa dikatakan sebagai tahap pemberdayaan yang

sesungguhnya, dimana masyarakat melalui KSM-KSM yang terbentuk “seharusnya”

dapat benar-benar diberdayakan untuk melaksanakan program dan kegiatan yang

hasilnya adalah untuk kepentingan mereka sendiri, dengan penerima manfaat utama

yaitu warga miskin. Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, masyarakat juga harus

menyediakan swadaya, baik berupa swadaya pendanaan, bahan atau material,

maupun swadaya tenaga kerja, karena sebenarnya dana BLM yang diberikan

pemerintah hanya bersifat sebagai stimulan saja, dan masyarakat harus menyediakan

sendiri sumber daya untuk pelaksanaan kegiatannya.

Dengan penyediaan swadaya tersebut, diharapkan masyarakat juga memiliki

rasa memiliki (sense of belonging) dari hasil kegiatan yang mereka lakukan.

Pelaksanaan kegiatan dan pemanfaatan BLM ini mengajarkan masyarakat untuk

mengembangkan altruism yaitu mengutamakan kepentingan umum, melayani

masyarakat terutama warga miskin, mengembangkan keterampilan berorganisasi,

mengembangkan kepercayaan masyarakat, mengembangkan keahlian, dan dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

123
BAB IV
MEMAHAMI MODAL SOSIAL DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN

A. PNPM Mandiri Perkotaan: Beda Konsep Beda Realita

Masalah kemiskinan merupakan masalah yang tidak kunjung menemukan

titik penyelesaian. Berbagai upaya untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan

telah dilakukan, tetapi hasilnya masih saja jalan ditempat. Hal yang melegakan

tentunya ketika upaya yang dilakukan oleh pemerintah setiap tahunnya bisa

mengurangi angka kemiskinan. Meski tak jarang program pengentasan kemiskinan

yang digulirkan secara seragam oleh pemerintah justru memunculkan masalah baru

di masyarakat. Hal ini serta merta menjelaskan bahwa upaya yang dilakukan oleh

pemerintah selama ini seharusnya tidak hanya berfokus pada hasil, melainkan juga

harus bisa mengakomodasi kebutuhan masyarakat setempat. Setidaknya program-

program yang digulirkan meski mendapat “arahan dari atas”, tetap harus

diharmonisasikan dengan kearifan lokal yang ada dan disesuaikan dengan

karakteristik masyarakat. Sehingga untuk selanjutnya diharapkan upaya pemerintah

bisa mendekati optimal dalam mendayagunakan potensi ekonomi keluarga miskin,

yang didukung oleh kondisi sosial budaya yang menunjang, melalui usaha bersama

masyarakat lokal, guna mempercepat proses pengentasan kemiskinan.

Kondisi sosial, budaya, politik, ekonomi, dan aset memang merupakan hal

yang mempengaruhi perbedaan program-program penanganan kemiskinan. Hal ini

sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Oscar Lewis bahwa kemiskinan bukanlah

semata-mata berupa kekurangan dalam ukuran ekonomi, tetapi juga melibatkan

kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan psikologi, yang juga memberikan warna

tersendiri terhadap proses sosialisasi yang diwariskan oleh generasi tua kepada

124
generasi anak-anak mereka dan seterusnya, yang pada akhirnya melanggengkan

kebudayaan kemiskinan (dalam Suparlan, 1984: 20-21).

Dalam kondisi yang ideal pelaksanaan program pengentasan kemiskinan

memang sudah seharusnya dijalankan dengan menyesuaikan kemampuan dan

karakteristik masyarakat setempat, sehingga bisa jadi proses tersebut memerlukan

waktu dan pendekatan yang berbeda-beda antar satu komunitas dengan komunitas

lainnya. Namun, masuknya PNPM Mandiri Perkotaan di wilayah ini ternyata masih

mengabaikan masyarakat dari sistem yang telah mereka bangun. Perubahan atau

pengelolaan struktur yang diciptakan oleh pemerintah secara seragam di seluruh

wilayah Indonesia tersebut ternyata masih berfokus pada pemenuhan hasil

dibanding pemenuhan kebutuhan masyarakatnya. Pelaksanaan PNPM Mandiri

Perkotaan di Kabupaten Magelang yang secara umum dinilai berhasil, ternyata

masih menyisakan berbagai persoalan.

Latar belakang masyarakat di Kelurahan Muntilan yang berbeda (sebelah

utara cenderung bersifat rural pertanian dan sebelah selatan cenderung urban)

mengakibatkan banyaknya keinginan masyarakat untuk “berjalan sendiri-sendiri”.

Hal inilah yang selama ini belum bisa diakomodir oleh keberadaan PNPM Mandiri

Perkotaan. Program yang seharusnya bisa menjadi jalan tengah bagi banyaknya

perbedaan di masyarakat justru menimbulkan difestasi sosial yang semakin kentara.

Hal ini merujuk dari apa yang diungkapkan oleh Bapak Priyono salah satu anggota

BKM Amanah Warga Kelurahan Muntilan (wawancara tgl. 23 April 2011, pkl.

15.58), sebagai berikut:

“….Di Muntilan itukan satu RW dengan RW yang lainnya


sangat berbeda karakteristiknya, tapi sampai saat ini belum ada
cara agar program bisa berjalan sesuai perencanaan. Kalau satu
program terganjal, mesti program lain berpengaruh dan jadi

125
mundur. Ntah karena memang warganya yang terlalu apatis atau
karena memang fasilitatornya yang terlalu idealis. Tapi yang jelas
kan kalo di awal-awal biasanya warga itu ya mung manut dengan
yang ndampingi, nah fasilitator yang sekarang itu dianggap warga
kurang bisa nyambung dan ndak bisa ngemong warga. Sudah gitu
dalam pembagian bantuan pemerintah kemarin terkesan pilih
kasih dan lebih mementingkan kepentingan yang selama ini
berpengaruh, …..”

Situasi tersebut jelas telah mengabaikan masyarakat dari sistem yang telah

mereka bangun. Difestasi sosial yang kentara karena adanya ketidakadilan dalam

prosesnya, menjadikan nilai-nilai kemandirian atau keswadayaan hancur lebur

diterpa oleh proyek-proyek PNPM Mandiri, sehingga semangat pemberdayaan yang

digaungkan semakin tak jelas arahnya. Perubahan atau pengelolaan struktur yang

diterapkan oleh pemerintah ini justru mendegradasi modal sosial setempat.

Akibatnya masyarakat di Kelurahan Muntilan, khususnya masyarakat miskin

semakin tidak berdaya terhadap sistem yang diterapkan oleh pemerintah, cenderung

apatis dan menganggap bahwa partisipasi hanyalah sebagai suatu timbal balik atas

bantuan yang diberikan pemerintah, yang pada akhirnya membawa mereka berada

pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi ruang geraknya.

Selama PNPM Mandiri Perkotan di Kelurahan Muntilan yang sebelumnya

disebut P2KP bergulir, baru di tahun 2009 hubungan antara pihak BKM Amanah

Warga dengan pihak Kelurahan Muntilan terintegrasi, hingga saat ini pun hubungan

tersebut belum berjalan dengan baik. Program kerja BKM yang dijalankan meski

mendapat masukan dari pihak kelurahan hingga saat ini belum bisa diakomodir

menjadi bahan Musyawarah Rencana Pembangunan Kelurahan (Musrenbangkel).

Jalinan BKM dengan pihak kelurahan terkait dengan “Program Dasar Pembangunan

Partisipatif” Kabupaten Magelang masih banyak terkendala oleh berbagai

kepentingan politis.

126
Kendala lain juga dikarenakan anggaran APBD yang seharusnya sudah

mulai digulirkan sebagai dana scalling up PNPM Mandiri Perkotaan tahun anggaran

kedua belum disediakan, sehingga muncul usulan perubahan anggaran yang

mengakibatkan alokasi dana BLM tahap II dan III tahun anggaran 2009 senilai 75

juta hingga saat ini belum masuk ke rekening BKM Amanah Warga. Dengan kata

lain, dokumen/program kerja BKM Amanah Warga belum diakomodir menjadi

usulan pemerintah kelurahan pada Musrenbang di tingkat kecamatan karena selama

ini BKM Amanah Warga dengan pihak Kelurahan Muntilan berjalan sendiri-sendiri

(wawancara Ketua BKM Amanah Warga, Bpk. HY. Suparno, 24 April 2011 pkl.

08.15 dan Anggota BKM Fajar Rahmat S.Si, 27 April 2011 pkl. 16.20)

Setelah dikonfirmasi dengan pihak Kelurahan Muntilan, Lurah Muntilan

menuturkan bahwa pihak kelurahan selalu melakukan koordinasi dengan BKM serta

memberikan masukan kepada Ketua BKM seandainya memiliki program yang

harus/dapat diintegrasikan dengan program kelurahan. Meski begitu, Lurah

Muntilan tetap membenarkan bahwa memang belum pernah ada program kerja

BKM (dokumen BKM) yang diakomodasi menjadi usulan Musrenbangkel maupun

Musrenbangkec, walaupun pihak kelurahan selalu memantaunya melalui laporan

pertanggungjawaban (LPJ) yang setiap bulan disusun oleh BKM Amanah Warga.

Sempat beberapa waktu LPJ BKM Amah Warga tidak rutin diberikan kepada pihak

kelurahan sehingga pihak kelurahan kurang benar-benar memahami kondisi BKM

pada saat itu. Jadi secara administrasi pelaporan LPJ BKM Amanah Warga agak

terhenti.

Koordinasi dan pemantauan yang dilakukan oleh pihak kelurahan terbatas

pada perijinan kepada warga yang akan meminjam dana bergulir. Setiap warga

127
maupun KSM yang akan mengakses dana bergulir harus mendapat persetujuan dan

tanda tangan dari Lurah Muntilan. Pihak kelurahan dapat mengikuti perkembangan

BKM Amanah Warga berdasarkan laporan yang diberikan kepada kelurahan (LPJ),

Sehingga ketika pihak kelurahan jarang mengikuti pertemuan-pertemuan warga

(LPJ), dapat dipastikan jika pihak kelurahan tidak akan bisa berintegrasi dengan

BKM (wawancara Ketua BKM Amanah Warga, Bpk. HY. Suparno, 24 April 2011

pkl. 08.15 dan Anggota BKM Fajar Rahmat S.Si, 27 April 2011 pkl. 16.20).

1. Pengembangan Kemampuan Kelembagaan

Kelembagaan dalam komunitas harus dilihat sebagai suatu sistem

yang saling silang menyilang (cross-cutting affiliation) yang menyediakan

jaring pengaman sosial ketika komunitas lokal berada dalam situasi krisis.

Kehadiran kelembagaan bukan atas kepentingan pribadi/individu tetapi atas

kepentingan bersama, sehingga kelembagaan lokal yang terbangun pada

akhirnya bisa menduduki posisi penting dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Rasa saling percaya warga masyarakat yang digalang dan

diasah melalui institusi-institusi tersebut semakin hari semakin didambakan

sebagai modal sosial.

Menurut Soetomo (2011:109-110), masuknya PNPM Mandiri dengan

kelembagaan dan nilai-nilai baru (BKM dan KSM) yang dibawanya, secara

tidak langsung berpengaruh terhadap existing kondisi di kedua wilayah

tersebut. Di Desa Gunungpring, adanya kelembagaan dan nilai-nilai baru

melalui BKM dan KSM memang membawa hasil yang positif bagi

perkembangan masyarakatnya. Namun tak bisa dipungkiri lagi jika hal

tersebut tidak terjadi di Kelurahan Muntilan. Perkembangan kelembagaan di

128
Kelurahan Muntilan masih saja jalan di tempat, pertemuan-pertemuan yang

diadakan hanya sebatas pertemuan darurat ketika terjadi masalah serius dan

selebihnya hanya “basa-basi” karena visi yang dibawa oleh masyarakat

sudah berbeda-beda. (dalam LPJ BKM Amanah Warga, 2010 dan

wawancara dengan Kasi Kesra Kecamatan Muntilan, 21 Juli 2011).

Hal ini menggambarkan bahwa apa yang terjadi di Masyarakat

Muntilan sejalan dengan apa yang telah dipaparkan oleh Soetomo (2011:

11), yakni bahwa proses institusionalisasi dan berbagai upaya yang

dilakukan oleh pihak eksternal dalam rangka pemberdayaan memang dinilai

kurang mampu menumbuhkembangkan potensi modal sosial yang ada di

masyarakat, bahkan tidak jarang karena kesalahan dalam pendekatan, yang

terjadi justru sebaliknya, mereduksi potensi modal sosial setempat.

Sehingga, apa yang diharapkan dari PNPM Mandiri Perkotaan, yaitu adanya

sebuah sistem dan mekanisme penanggulangan kemiskinan yang

mengakomodiasi kebutuhan masyarakat secara menyeluruh, hingga saat ini

masih belum optimal. Belum nampak adanya sebuah model penanggulangan

kemiskinan yang bisa direplikasi secara massal sebagai hasil dari proses

belajar di PNPM Mandiri Perkotaan (dalam Soetomo, 2011: 238).

Substansi dari program ini sangat penting sebagai upaya proses

transformasi berbagai program pengentasan kemiskinan dari “tataran

proyek” menjadi “tataran program” oleh masyarakat bersama pemerintah

daerah setempat. Namun, sangat disayangkan ketika seringkali pemanfaatan

“bantuan” yang diberikan kepada masyarakat itu tidak sesuai dengan tujuan

sebenarnya dari pemerintah. Kenyataan di lapangan justru membenarkan

129
bahwa program yang selama ini digulirkan untuk mengatasi masalah di

masyarakat, justru tidak pernah lepas dari persoalan.

Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya, pendekatan

partisipatif yang diusung sebagai suatu bentuk open menu program yang

memberikan kebebasan kepada penerima manfaat untuk merancang kegiatan

sesuai kebutuhan, justru terbukti terjebak oleh birokrasi administratif

sehingga bias proses. Usulan dan prioritas masyarakat menjadi daftar belanja

semata. Tidak adanya teknik fasilitasi yang baik, seperti halnya di Kelurahan

Muntilan, menyebabkan suatu usulan bukan menjadi konsensus tetapi lebih

pada akomodasi kepentingan masing-masing kelompok masyarakat,

walaupun disadari bahwa hanya sedikit usulan yang pada akhirnya dapat

direalisasikan. Padahal konsensus dalam proses pengambilan keputusan

merupakan yang sangat faktor penting dan prinsipil. Disinilah substansi

PNPM Mandiri Perkotaan sebagai proses pemberdayaan dan pembelajaran

bagi masyarakat mengalami pergeseran dari paradigma perencanaan yang

selama ini dikembangkan secara seragam oleh pemerintah di berbagai

daerah.

Belum adanya evaluasi yang signifikan dalam pelaksanaan program-

program ini mengakibatkan pemerintah pusat tidak pernah belajar dari

berbagai kesalahan yang selalu terulang, bahkan jarang sekali ada perbaikan

atas kekurangan yang terjadi di lapangan. Substansi dari program-program

PNPM Mandiri sebagai upaya proses transformasi berbagai program

pengentasan kemiskinan dari “tataran proyek” menjadi “tataran program”

dikhawatirkan menjadi sebaliknya jika hal tersebut tidak juga diperbaiki. Hal

130
ini akan mengakibatkan tidak adanya tujuan kuat dalam mengentaskan

segala bentuk kemiskinan dan mengupayakan tercapainya kesejahteraan

rakyat. Seharusnya pemerintah bisa lebih memahami bagaimana program-

program pengentasan kemiskinan bisa ditingkatkan kualitas, bukan melulu

mempersoalkan peningkatan kuantitas.

Kelemahan mendasar lain adalah kelembagaan yang dicoba

diterapkan tidak cocok dengan perencanaan di level pemerintah paling

bawah. Ketidakcocokan bukan pada proses dan sistem perencanaan yang

dikembangkan tetapi lebih kepada “aktor” yang memfasilitasi. Pada masing-

masing tingkat, PNPM Mandiri Perkotaan telah memiliki fasilitator. Di

tingkat desa terdapat fasilitator desa yang berasal dari desa setempat. Di

tingkat kecamatan terdapat fasilitator kecamatan yang berasal dari proses

penjaringan oleh Konsultan Manajemen Wilayah. Fasilitator kecamatan

terdiri dari satu ahli teknik dan satu ahli pemberdayaan yang mempunyai

masing-masing fungsi di lapangan.

Setahun menjelang berakhirnya PNPM Mandiri Perkotaan di

Kabupaten Magelang, kegelisahan fasilitator-fasilitator desa mulai muncul

mempertanyakan perannya pasca program. Banyak masyarakat yang bisa

berubah menjadi dinamis yang diindikasikan dengan berbagai kegiatan

kolektif untuk meningkatkan kondisi kehidupannya sebagai dampak dari

fasilitasi yang diberikan oleh pihak eksternal (fasilitator), akan tetapi

kemudian secara perlahan mengendur dan kembali dalam posisi semula

setelah fasilitasi dihentikan (Soetomo, 2011: 9-10). Berikut beberapa alasan

131
mendasar mengapa kelembagaan yang dicoba diterapkan tidak cocok dengan

perencanaan di level pemerintah paling bawah:

a. Peran Fasilitator

Keberlanjutan peran fasilitator desa menjadi tanda tanya besar

ketika program yang kini telah berganti “label” pun dinilai semakin

jauh dari kata “memberdayakan” masyarakat miskin, karena yang

ada justru semakin “memanjakan” masyarakat. Hal ini bisa dicermati

dari hasil pemaparan bapak Muh Taslim selaku Kasi Kesra

Kecamatan Muntilan (wawancara tgl. 21 Juli 2011 pkl. 11.37), yang

menyatakan bahwa:

“…..masyarakat Muntilan kini sudah terlalu


dimanjakan baik dari program rutin maupun program
aspirasi, tapi sampai saat ini ga ada kejelasan hasilnya. Ga
ada evaluasi dari program-program itu. Nah akhire, di
Kelurahan Muntilan saja warga bisa mengajukan 10-20
proposal sing ora ono kejelasane. Intine asal cedhak karo
Dewan utowo Pejabat langsung iso gol. Makanya
masyarakat Muntilan ki paling egois. Geleme mlaku dhewe-
dhewe, istilahe ki “sakkarepe wudhele”. Wis ora bakal
mikirke tanggane sing mlarat, sing penting awake
mulyo…..”

Berdasarkan wawancara dengan Kasi Kesra Kecamatan

Muntilan juga diperoleh suatu gambaran dari pelaksanaan berbagai

kegiatan di Kelurahan Muntilan dan Desa Gunungpring. Kegiatan

baik yang berbentuk program maupun proyek sulit diswakelola oleh

warga. Hal ini dicontohkan oleh Bapak Taslim dari kasus yang

beberapa waktu lalu terjadi di Kelurahan Muntilan. Ketika itu

masyarakat diberi bantuan 30 koli untuk aspalisasi jalan yang

menghubungkan antar dusun, karena tidak adanya dana untuk proses

132
pelaksanaan aspalisasi maka warga menjual 15 koli untuk biaya lain-

lain yang seharusnya bisa dianggarkan melalui swadaya masyarakat.

Akhirnya, karena aspal yang tersisa tidak sebanding dengan panjang

jalan yang akan di aspal, maka kegiatan yang seharusnya bisa

dilakukan secara swadaya tersebut justru mengalami kegagalan.

Masyarakat masih menganggap bahwa keberhasilan program

yang digulirkan oleh pemerintah melalui PNPM Mandiri Perkotaan

diukur melalui keberhasilan dalam pembangunan fisik, bukan

bagaimana keseluruhan masyarakat di level bawah bisa berdaya. Hal

ini secara jelas menggambarkan bahwa fasilitator-fasilitator di

tingkat desa dan kecamatan hanya berhasil menempatkan diri sebagai

pihak yang “tidak penting” dan “tidak berkepentingan”. Dengan

posisi tersebut fasilitator dapat menjaga jarak yang sama, sekaligus

tidak menciptakan struktur dalam komunikasi. Hal ini jelas berbeda

dengan proses musyawarah pembangunan, fasilitator menempatkan

diri sebagai “penampung usulan”, sedangkan masyarakat sebagai

pengusul. Dengan posisi ini terdapat kesenjangan struktural antara

masyarakat dengan fasilitator, sehingga istilah fasilitator menjadi

tidak tepat pada posisinya.

Di Kelurahan Muntilan ketidakpercayaan masyarakat

terhadap sejumlah fasilitator telah mencapai puncaknya, kekecewaan

ini berbuntut dengan adanya “boikot” di beberapa dusun peserta

PNPM Mandiri yang merasa telah diperlakukan tidak adil dalam

proses pembagian dana padat karya PNPM Mandiri. Komunikasi

133
intensif dan pengikutsertaan masyarakat dalam proses pelaksanaan

program justru diabaikan. Fasilitator seolah-olah tidak ingin

menciptakan harmonisasi dengan masyarakat, sehingga terkesan

bahwa beberapa dari mereka hanya “kejar target proyek”. Hal ini

semakin jelas membuktikan bahwa proses pemberdayaan dan

partisipasi hanya dilaksanakan secara prosedural administratif

semata.

Pemberdayaan yang seharusnya dilakukan sebagai pemberian

kuasa bagi orang miskin untuk mengembangkan dan mengambil

keputusan atas dirinya menjadi tereduksi maknanya, “sekedar”

datang dalam forum-forum konsultasi warga. Apalagi dalam forum

warga itu ada upaya mobilisasi “terhadap” orang-orang tertentu yang

merupakan orang-orang dekat elit desa yang memiliki segudang

kepentingan. Akibatnya, masyarakat tidak memiliki kecukupan

informasi tentang PNPM Mandiri Perkotaan dan masih memahami

program ini sebagai program bantuan murni. Padahal program

tersebut adalah program bantuan yang bersifat pinjaman yang

mementingkan aspek pemberdayaan.

Belum optimalnya peran fasilitator dalam mengangkat peran

kelompok marjinal yang notabenenya merupakan sasaran utama

program mengakibatkan prinsip keberpihakan yang tertuang dalam

Petunjuk Teknis Operasional belum dapat dilakukan secara optimal.

Apalagi terdapatnya kasus-kasus dimana kondisi kemiskinan tidak

134
hanya berdimensi ekonomi belaka tetapi juga pada kemiskinan

struktural.

Beberapa kasus yang terpantau dalam pertemuan-pertemuan

PNPM Mandiri Perkotaan menyatakan bahwa kemiskinan juga

berarti kelemahan dalam mengemukakan pendapat, negosiasi,

komunikasi, dan bahkan pada tataran ide. Disinilah seharusnya

keberpihakan fasilitator dapat memberikan peluang yang sama,

karena jika tidak ada keberpihakan kepada kaum miskin maka

kebutuhan mereka tidak dapat diakomodir. Meski realitanya,

berbagai kegiatan pemberdayaan yang lahir dari forum konsultasi

seperti pembuatan jembatan, gorong-gorong, jalan, MCK, dan

saluran-saluran air belum menyentuh aspek kebutuhan dasar

masyarakat di wilayah program.

Oleh karenanya, menurut pendapat dari Bapak Agus Widagdo

mantan anggota BKM Kelurahan Muntilan yang kini menjabat sebagi

penasehat sebuah LSM di Kabupaten Magelang, sosialisasi dengan

menggunakan pendekatan yang tepat menjadi hal utama yang harus

diperhatikan sebelum progam berjalan (wawancara tgl. 23 April 2011

pkl. 19.00). Hal ini menjadi penting karena ketidaklancaran

pelaksanaan program tersebut banyak diakibatkan oleh proses

sosialisasi yang seringkali dijalankan secara sepihak oleh para

perencana program pemberdayaan. Model yang dilakukan pun

bersifat searah (one way communication) dan instruktif, sehingga

kurang memperhatikan kondisi masyarakat seperti misalnya pada

135
konteks sistem komunikasinya, struktur masyarakatnya, dan fungsi

institusi/lembaga lokal masyarakat setempat. Meskipun para

fasilitator telah dilatih keterampilan berkomunikasi dan atau

kemampuan bersosialisasi akan tetapi tanpa mengenal, memahami

dan menggunakan peta komunikasi sosial, serta pengetahuan tentang

struktur masyarakat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat,

maka kemungkinan besar mereka akan menuai kegagalan diproses

selanjutnya.

Kelemahan lainnya terletak pada rekruitmen awal dan

lemahnya pembekalan fasilitator. Tugas dan peran fasilitator dalam

pendampingan masyarakat membutuhkan lebih dari sekedar

kecakapan teknik dan penguasaan metodologi, namun juga empati

dan keberpihakan kepada masyarakat. Empati semacam itu tidak bisa

ditumbuhkan hanya dengan seminggu maupun dua minggu pelatihan

fasilitator. Pengalaman di Kelurahan Muntilan misalnya, fasilitator

tidak tinggal di desa yang didampingi, padahal empati dan

keberpihakan yang otentik hanya bisa tumbuh ketika fasilitator live

in, tinggal bersama masyarakat yang didampingi dan berbaur dengan

aktivitas mereka sehari-hari. Substansi inilah yang menyebabkan

Bapak Fajar salah satu anggota BKM Amanah Warga Kelurahan

Muntilan meyakini bahwa fasilitator (khususnya fasilitator di tahun

ketiga BLM) belum berpengalaman di masyarakat dirasa masih

terlalu muda, sehingga cenderung kurang memiliki empati,

136
keberpihakan, fokus, niat, keadilan dan awareness terhadap

masyarakat miskin (wawancara tgl. 26 April 2011 pkl. 10.27).

Dampak kelemahan dari metode fasilitasi juga merujuk

kepada biasnya kebutuhan riil masyarakat. Banyaknya usulan yang

menunjuk pada jenis prasarana tertentu yang sebenarnya diusulkan

oleh kelompok dominan saja. Jika kebutuhan akan pembangunan

prasarana menjadi bias kepada kaum berdaya, maka pembangunan

prasarana tidak akan dapat mengangkat derajat masyarakat dari

kemiskinan. Penentuan keputusan seperti ini merupakan bentuk

ketidakinkluisifan keputusan, yang tidak hanya menyisakan cerita-

cerita kepentingan elit tetapi yang paling mendasar ialah hancurnya

modal sosial diakar rumput. Realita tersebut mengakibatkan PNPM

Mandiri Perkotaan yang seharusnya bisa “menyesuaikan diri” dengan

kondisi di suatu wilayah program justru dinilai masih relatif

superfisial dan belum menyentuh langsung akar atau inti dari

penguatan modal sosial setempat.

b. Manajemen BKM

Penyusunan AD/ART dilakukan oleh BKM Amanah Warga

tanpa bantuan fasilitator kelurahan. Di dalam AD/ART dirumuskan

berbagai aturan yang berkaitan dengan teknis pelaksanaan kegiatan

PNPM Mandiri perkotaan. Dari kegiatan tesebut, BKM Amanah

Warga banyak belajar mengenai manajemen organisasi (wawancara

Ketua BKM Amanah Warga, Bpk. HY. Suparno, 24 April 2011 pkl.

08.15 dan Anggota BKM Amanah Warga, Bpk. Priyono, 23 April

137
2011 pkl. 15.58). Meskipun fasilitator dan anggota BKM Amanah

Warga tidak pernah berdiskusi secara intensif terutama dalam proses

pengambilan keputusan, apalagi kantor BKM Kelurahan Muntilan

masih jadi satu dengan kantor BKM Kelurahan Sedayu.

Sebagaimana dijelaskan di depan, pihak BKM Amanah

Warga melalui anggotanya merasa kecewa dengan fasilitator (secara

manajerial tujuannya visioner tetapi implementasi di lapangan masih

dirasa kurang). Fasilitator kelurahan sama sekali tidak membantu,

mengarahkan, membimbing BKM. Fasilitator hanya datang ketika

pertemuan RW/RT, melakukan pengambilan data tanpa memberikan

petunjuk maupun pengarahan. Padahal pemerintah memberikan

kompensasi yang besar setiap bulan kepada masing-masing fasilitator

yang tidak memiliki kejelasan tanggung jawab dan tupoksinya tidak

ada (wawancara Anggota BKM Amanah Warga, Bpk. Priyono, 23

April 2011 pkl. 15.58).

Berbeda hal nya dengan apa yang terjadi di Gunungpring,

Fasilitator Kelurahan yang lebih gesit membuat proses pelaksanaan

PNPM Mandiri Perkotaan di wilayah ini lebih terarah. Diskusi

intensif dan pendekatan kekeluargaan dari fasilitator kepada

masyarakat dan anggota BKM menyebabkan hubungan yang terjalin

masih langgeng meskipun program telah usai. Bahkan hingga saat ini

ada beberapa fasilitator yang seharusnya sudah tidak bertugas di

wilayah ini justru masih bertahan dan membaur dengan kehidupan

masyarakat Desa Gunungpring (wawancara Manajer Unit Pengelola

138
Lingkungan BKM Mandiri, Bpk. Djamal, MHP Sabtu, 30 Juli 2011

pkl. 11.07).

Pemetaan swadaya di Kelurahan Muntilan dilakukan oleh

Ketua RT dengan dibantu oleh warga, kemudian BKM melakukan

verifikasi apakah yang ditentukan oleh Ketua RT sudah memasukkan

kriteria warga miskin berdasarkan penghasilan yaitu Rp 20.000,- per

hari dengan beban minimal 3 orang anak (wawancara Ketua BKM

Amanah Warga, Bpk. HY. Suparno Minggu, 24 April 2011 pkl.

08.11, Anggota BKM Amanah Warga, Bpk. Priyono, 23 April 2011

pkl. 15.58 dan Bpk. Fajar Rahmat S.Si, 27 April 2011 pkl. 16.20).

Laporan pertanggungjawaban penggunaan dana harus

dilaporkan secara rutin oleh BKM setiap tahunnya. Dengan

demikian, akses warga masyarakat untuk memperoleh informasi

tentang kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan menjadi mudah. Setiap

bulan BKM Amanah Warga membuat laporan keuangan ke PJOK

kecamatan melalui kelurahan, meski pernah selama beberapa bulan

tidak menyerahkan laporan keuangan tersebut. Pelaporan dilakukan

hanya dengan memberikan perhitungan antara pemasukan dan biaya

operasional (pengeluaran) yang dilakukan secara internal. Hal ini

juga dibenarkan oleh pihak kelurahan, bahwa memang betul pihak

BKM membuat laporan keuangan ke kelurahan dan setiap tahun

menyerahkan LPJ, tetapi dalam beberapa kesempatan laporan

keuangan pernah tersendat dan tidak diserahkan.

139
BKM Amanah Warga jarang dilibatkan dalam kegiatan

perencanaan pembangunan seperti Musrenbangkel, maupun

Musrenbangkec apalagi dalam Musrenbang Daerah Kabupaten

Magelang. Hal ini menandakan bahwa akses terhadap dokumen

PNPM Mandiri Perkotaan belum maksimal. Hingga saat ini belum

ada kerja sama dengan Dinas/instansi lain dikarenakan sikap anggota

BKM masih eksklusif dalam lingkungan masing-masing, di sisi lain

egosentrisme dari masing-masing instansi yang cukup tinggi juga

menjadi penyebabnya.

c. Manajemen KSM

Pemberian dana pinjaman bergulir yang digulirkan melalui

PNPM Mandiri Perkotaan telah memberikan pembelajaran tentang

pentingnya menabung bagi masyarakat penerima program. Hal ini

dikarenakan pada waktu membayar cicilan/mengangsur mereka juga

diminta untuk menabung. Tabungan tersebut sifatnya tanggung

renteng. Artinya jika ada salah satu anggota yang sedang berhalangan

untuk mengangsur bisa diambilkan dari uang tabungan mereka. Hal

inilah yang hingga kini berhasil diimplementasikan oleh warga

miskin di Desa Gunungpring. Warga menjadi sangat terbantu dengan

adanya permodalan yang diberikan untuk mengembangkan usaha

kecil mereka. Nilai RR di Desa Gunungpring bahkan tertinggi di

antara wilayah penerima program-program PNPM Mandiri Perkotaan

Kabupaten Magelang.

140
Namun ternyata, hal ini tidak dapat diimplementasikan

dengan maksimal di Kelurahan Muntilan. Kredit pinjaman hingga

saat ini macet, bahkan nilai RR wilayah ini menjadi yang terendah di

Kecamatan Muntilan. Hal ini dikarenakan:

 Anggota BKM yang seharusnya menjadi teladan justru tidak

bertanggungjawab. Pemberian dana perguliran yang

seharusnya tepat sasaran, yakni bagi warga miskin, justru

digunakan oleh oknum anggota BKM. Hal inilah yang

menjadi tidak tepat, apalagi hingga saat ini belum ada

kejelasan dalam pengembalian dana yang seharusnya selalu

bergulir dan digunakan untuk kepentingan warga miskin.

 Mantan anggota BKM membuat pernyataan kontroversial

dengan mengatakan pinjaman tersebut merupakan dana hibah.

Hal ini menyebabkan banyaknya warga yang memaknai

bahwa dana tersebut bisa digunakan untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari atau bahkan untuk membeli keperluan

rumah tangga, seperti TV, sepeda motor, dll., sehingga

mereka tidak sadar ketika uang yang mereka peroleh dari

pinjaman tersebut telah habis sebelum usaha mereka

menghasilkan. Bahkan hingga kini mereka tidak bisa

melakukan pengembalian karena uang tersebut tidak berputar.

 Tidak ada kedisiplinan warga dalam membayar. Dalam

prakteknya, jika ada satu anggota tidak membayar maka akan

mempengaruhi anggota-anggota yang lain, sehingga uang

141
tersebut tidak bisa bergulir karena pemberian pinjaman belum

bisa dilakukan sebelum perguliran kembali (wawancara Ketua

BKM Amanah Warga, Bpk. HY. Suparno dan Anggota BKM

Amanah Warga, Bpk. Priyono 24 April 2011 pkl. 09.06).

Jarang ada pertemuan antara anggota KSM. KSM yang

terbentuk hanya dimaknai karena adanya kepentingan akan pinjaman

dan semata-mata hanya untuk pencairan dana, sehingga tidak ada

KSM di Kelurahan Muntilan yang mengadakan pertemuan antar

anggota untuk menyusun rencana kerja maupun kegiatan tahunan

anggota. Pada waktu pembentukan, KSM memang berupaya

menyusun proposal yang formatnya sudah dibuatkan oleh BKM

dalam pengajuan permohonan dana, namun implementasi di lapangan

jauh dari apa yang telah dituliskan (wawancara dgn Mantan anggota

BKM Bpk. Agus Widagdo, 23 April 2011 pkl. 19.00, dan ketua KSM

Perkasa, 26 April 2011, pkl. 10.27).

Hingga saat ini telah terbentuk 87 KSM di Kelurahan

Muntilan. Dari keseluruhan kegiatan yang digulirkan pengembangan

daya lingkungan melalui perbaikan dan pengadaan infrastruktur fisik

masih menjadi primadona. Bantuan dana BLM dialokasikan untuk

perbaikan jalan dengan memberikan dana stimulan di setiap RW.

Namun dikarenakan keuangan di BKM Amanah Warga tidak

berjalan dengan baik maka kegiatan fisik belum bisa berjalan sesuai

perencanaan. Kegiatan yang dianggap lebih berhasil memberikan

dampak dalam menumbuhkan kesadaran dan keswadayaan sosial dari

142
warga masyarakat di Kelurahan Muntilan adalah kegiatan daya

sosial. Meskipun belum semua wilayah merasakan keberhasilan

program daya sosial, namun kegiatan ini dirasa lebih unggul daripada

kegiatan di bidang lain.

Hingga akhir pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan di

Kelurahan Muntilan, KSM yang terbentuk hanyalah 1 (satu) KSM,

yakni KSM Pantang Mundur. Realisasi pemanfaatan BLM Tahap II

Tahun Anggaran 2010 untuk KSM Pantang Mundur digunakan untuk

pembangunan talud sungai senilai 39 juta yang bersumber dari

APBD dan swadaya masyarakat.

Sedangkan KSM yang terbentuk di Desa Gunungpring selama

proses pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan Kabupaten Magelang

berjumlah 108 KSM. Sama halnya dengan di Kelurahan Muntilan,

dari keseluruhan kegiatan yang digulirkan oleh kelompok-kelompok

tersebut, kegiatan pengembangan daya lingkungan menjadi unggulan

di Desa Gunungpring. Pengembangan bidang ini merupakan salah

satu komponen pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan di Desa

Gunungpring yang menunjukkan hasil yang cukup baik. KSM

lingkungan merupakan KSM yang paling berhasil memberikan

dampak dalam menumbuhkan kesadaran dan keswadayaan sosial dari

warga masyarakat di Desa Gunungpring. Hal ini bisa dilihat dari

perencanaan pembangunan yang sudah terrinci dalam PJM

Pronangkis dan Rencana Tahunan, pembentukan KSM sebagai

pelaksana kegiatan, penghimpunan swadaya masyarakat, serta

143
pelaksanaan dan monitoring kegiatan selama dan pasca

pembangunan.

Di penghujung pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan BLM

Tahap II Tahun Anggaran 2010 terdapat 7 (tujuh) KSM yang

terbentuk di Desa Gunungpring, antara lain: Mbangun Deso, Margi

Utomo, Margi Rukun, GPK, Wahana Sari, Rukun Sentosa, dan

Rekso Dono. KSM tersebut berhasil merealisasikan kegiatan BLM

Tahap II senilai 80 juta yang bersumber dari APBD dan swadaya

masyarakat untuk pembuatan jalan rambat beton, talud jalan, talud

sungai, pavingisasi, serta rehabilitasi rumah warga.

2. Pengembangan Bidang Ekonomi

PNPM Mandiri Perkotaan adalah kegiatan pembelajaran dan

pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan melalui penciptaan kekuatan

ekonomi kelompok, yang dilakukan dengan memberikan kredit pinjaman

modal usaha pada anggota KSM. Kegiatan pengembangan daya ekonomi

sebagai salah satu komponen dalam PNPM Mandiri Perkotaan dimaksudkan

untuk memberikan stimulus bagi masyarakat guna menjalankan usaha

perekonomian sehingga diharapkan dapat memberi dampak pada

peningkatan kesejahteraan serta mengurangi kemiskinan.

Kegiatan daya ekonomi yang dimaksud berupa pengelolaan dana

pinjaman bergulir dan pembinaan usaha yang secara kelembagaan dikelola

oleh Unit Pengelola Keuangan (UPK) yang berada di bawah koordinasi

BKM. Peminjaman dana bergulir harus dilakukan melalui mekanisme KSM

atau kelompok kecil masyarakat yang terdiri dari 10 orang untuk

144
mengajukan peminjaman dana secara berkelompok. Proposal pengajuan

dana yang diajukan KSM baru dapat direalisasikan setelah dilakukan

diverifikasi oleh UPK dan disetujui oleh BKM.

BKM Amanah Warga dan BKM Mandiri juga melaksanakan

program bidang daya ekonomi dengan memberikan pinjaman tanpa agunan

dengan bunga rendah. Sasaran dari pinjaman ini adalah warga miskin yang

memiliki usaha atau ingin membuka usaha, sehingga dana pinjaman yang

diperoleh dapat digunakan untuk modal dan mengembangkan usaha mereka.

Namun, karena anggota BKM dan UPK kurang profesional di bidangnya,

maka sering memberikan pinjaman kepada yang tidak berhak. Misalnya,

manager UPK yang latar belakang pendidikannya adalah bidang agama

justru memberikan analisis KSM yang mendapatkan perguliran tidak

berdasarkan usaha tetapi berdasarkan kemampuan membayar itu sendiri dan

kegunaan untuk meningkatkan ekonomi.

Pemberian dana bergulir pertama kali diberikan untuk membuka

usaha atau untuk menambah modal bagi warga yang sudah memiliki usaha

kecil, seperti misalnya warung makan, warung kelontong, pedagang kaki

lima, penjahit rumahan, pedagang asongan, pedagang sayur keliling,

pembuat kue rumahan, pedagang pakaian di pasar, dll. Dari dana pinjaman

tersebut sebagian besar masyarakat miskin dapat merasakan manfaatnya

sebagaimana dikemukakan oleh anggota KSM Perkasa, yakni Ibu Napsiah

yang merupakan pembuat kue pelok, kelici, kuping gajah, dan rempeyek

kacang, serta Ibu Muslimah yang menjadi salah satu pengelola kantin SMP

Muhammadiyah 1 Muntilan.

145
Sebagaimana dikemukakan di atas, dana bergulir PNPM Mandiri

Perkotaan jika dipergunakan secara tepat dapat menyentuh kehidupan

masyarakat miskin. Warga yang mendapatkan dana adalah orang yang

mempunyai usaha, dan yang belum mempunyai usaha bisa mempergunakan

untuk membuka usaha baru. Namun, sayangnya sistem perguliran dana

pinjaman KSM yang sifatnya tanggung renteng masih sangat sulit diterapkan

di beberapa wilayah.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa KSM di Kelurahan

Muntilan terbentuk semata-mata hanya untuk memperoleh dana pinjaman

bergulir. Dalam prakteknya, anggota dari satu KSM tidak hanya dari warga

miskin saja, namun ada juga warga menengah keatas. Hal ini dilakukan

semata-mata agar si kaya nantinya bisa membantu membayar angsuran

ketika ada seorang anggota yang tidak bisa membayar, karena jika ada

seorang anggota saja tidak bisa membayar maka akan mempengaruhi

anggota yang lain, dan dana pinjaman tidak bisa diberikan sebelum

perguliran kembali (pinjaman dikembalikan). Berikut kendala-kendala yang

dihadapi KSM, antara lain:

a. Sistem tanggung renteng yang diterapkan secara seragam di

seluruh wilayah penerima PNPM Mandiri Perkotaan berakibat

pada kemacetan yang tinggi, karena ketika ada seorang anggota

yang tidak bisa membayar maka akan berpengaruh terhadap

perguliran dana pinjaman ke anggota yang lain. Hal ini

memberikan alternatif lain yang tepat diterapkan dengan situasi di

sebagian besar wilayah penerima program ini, seperti di BKM

146
Amanah Warga Kelurahan Muntilan, yaitu dengan meminjamkan

kepada perseorangan (sistem perseorangan dianggap tepat).

b. Kondisi keuangan BKM mengalami kemacetan yang cukup

tinggi, dengan nilai RR lebih dari 40%. Dimana persentase

tersebut adalah yang terbesar di Kecamatan Muntilan.

c. Mantan anggota BKM yang membuat pernyataan kontroversial

dengan mengatakan bahwa pinjaman tersebut adalah ”hibah”,

sehingga secara tidak sadar telah memepngaruhi pemikiran warga

miskin penerima dana pinjaman tersebut.

d. Ada warga yang lari ke luar kota dengan membawa seluruh dana

bergulir KSM, padahal oknum ini merupakan ketua KSM.

Setelah diselidiki ternyata KSM ini tidak memiliki anggota

(anggota fiktif). Hal ini membuktikan bahwa UPK dan BKM

bidang ekonomi kurang teliti dan lalai dalam menjalankan

tanggungjawabnya.

Untuk menjalankan BKM membutuhkan biaya operasional yang

besar sehingga pada akhirnya BKM Amanah Warga menempuh jalan tengah

yakni dengan memberikan pinjaman terhadap perseorangan, di samping

tetap mempertahankan KSM yang rutin mengangsur. Pinjaman secara

perseorangan skala prioritasnya tetap warga miskin di Kelurahan Muntilan,

sasarannya adalah warga yang memiliki usaha mandiri yang bisa menjadi

jalan keluar terhadap kemacetan yang terjadi.

Pendapatan bagi hasil dari perseorangan tersebut digunakan untuk

menopang biaya operasional dan kemacetan pinjaman. Pinjaman

147
perseorangan juga diberikan kepada warga kaya yang memiliki usaha yang

melibatkan warga miskin. Contoh usaha bengkel besar yang dijalankan oleh

warga beretnis Cina, meskipun pemilik usaha adalah orang berasa tetapi

dalam menjalankan usahanya melibatkan warga miskin di lingkungannya.

Kegiatan perguliran dana pinjaman di BKM Mandiri Desa

Gunungpring termasuk dalam kategori yang bagus dimana dari hasil review

keuangan yang dilaksanakan pada akhir tahun kedua (tahun 2010)

menunjukkan kinerja yang sangat baik. Kejadian kredit macet sangat kecil

dan perolehan bunga pinjaman yang dikelola menunjukkan hasil yang cukup

besar, dimana dari aset awal sebesar 75 juta rupiah dalam setengah tahun

perguliran telah berhasil terkumpul bunga pinjaman sebesar 11 juta rupiah.

Kemajuan dalam pengelolaan keuangan ini tidak terlepas dari komitmen dan

kerjasama antara KSM dan UPK selaku pengelola perguliran dana dan itikad

baik dari semua anggota masyarakat untuk menjalankan sistem dana bergulir

tersebut.

Kondisi pengelolaan perguliran dana pinjaman di BKM Mandiri yang

cukup baik saat ini juga didukung oleh pembinaan usaha yang optimal.

Masyarakat yang mengajukan pinjaman sudah mulai bisa menyesuaikan

dengan dana yang dibutuhkan dan skala usaha yang akan dikembangkan.

BKM Mandiri juga melakukan pembinaan usaha dan memfasilitasi

masyarakat dalam mengembangkan lapangan usaha baru, diversifikasi

usaha, serta memberi bantuan dalam mengakses jaringan pemasaran dan

informasi-informasi bisnis dari dunia luar.

148
Kondisi masyarakat yang ada saat ini mulai mengalami peningkatan

kemandirian dalam memperoleh peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang

nantinya bisa meningkatkan kesejahteraannya. Masyarakat dapat dikatakan

berdaya secara ekonomi ketika mereka mampu menjalankan roda

perekonomian dalam komunitasnya secara baik, efektif dan efisien. Kondisi

semacam itu bisa dilihat secara langsung dalam masyarakat di Desa

Gunungpring, dimana pembinaan usaha secara terpadu sudah mampu

mengimbangi keberadaan stimulus dana yang digulirkan oleh pemerintah.

3. Pengembangan Bidang Sosial

Sasaran pengembangan di bidang sosial adalah terciptanya kondisi

masyarakat yang mampu mengidentifikasi permasalahan-permasalahan

sosial yang terjadi dalam komunitasnya untuk kemudian dilakukan

pemecahan masalahnya sesuai dengan potensi-potensi yang dimiliki serta

dengan memanfaatkan peluang-peluang yang mungkin didapatkan.

Permasalahan sosial yang dimaksud meliputi kesehatan, pendidikan, jaminan

sosial, kesetaraan gender, dan peningkatan kesejahteraan keluarga. Kegiatan

penanganan masalah sosial dalam PNPM Mandiri Perkotaan dikelola oleh

unit pengelola sosial (UPS) yang berada di bawah koordinasi BKM. Di

bidang ini, program kerja BKM Mandiri yang sudah dilakukan adalah:

a. Memberikan santunan menjelang hari raya kepada fakir miskin.

Santunan ini diberikan kepada 1 orang sebesar Rp 50.000,-

(dalam wujud sembako dan uang Rp 20.000,-) di masing-masing

RT.

149
b. Memberikan beasiswa bagi 1 anak yang tidak mampu sebesar Rp

50.000,00 di setiap RT, yang diterima langsung oleh anak yang

bersangkutan, tidak melalui sekolah, jadi tepat ke sasaran.

c. Mengirimkan 2 orang anggota BKM dan UPK untuk mengikuti

pelatihan tentang penguatan manajerial, juga mengirimkan

beberapa orang warga miskin yang ikut dalam pelatihan tata rias

dan tata boga yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan.

Realisasi pengembangan daya sosial dalam kegiatan PNPM Mandiri

Perkotaan di Desa Gunungpring lebih banyak pemberian santunan/bantuan

untuk fakir miskin dalam bentuk sembako dan uang tunai. Program tersebut

dirasa cukup membantu meningkatkan kesempatan bagi warga miskin untuk

mendapatkan bantuan sosial. Namun demikian, keterbatasan dana

menyebabkan tidak semua sasaran untuk mendapatkan bantuan tersebut. Hal

ini mengakibatkan beberapa warga miskin yang sebenarnya layak mendapat

bantuan sosial terpaksa tidak mendapatkan.

Beruntung pihak BKM Mandiri mengajak warga yang mampu untuk

membantu warga miskin. Bantuan sosial yang tadinya diberikan kepada 2

orang di masing-masing RT, ditambah dengan 1 orang yang mendapatkan

bantuan sosial yang berasal dari gotong-royong warga mampu di lingkungan

masing-masing. Pada akhirnya, pemberian bantuan sosial kepada fakir

miskin menjadi 3 orang tiap RT. Hal ini tentu saja menggembirakan karena

ada kepedulian warga yang mampu terhadap warga miskin.

Berdasarkan penjelasan Ketua BKM tersebut maka adanya kegiatan

yang digulirkan melalui PNPM Mandiri Perkotaan di Desa Gunungpring

150
dapat menimbulkan kesadaran sosial warga mampu untuk membantu warga

yang miskin. Dana sosial ini diharapkan dapat menggugah warga mampu

untuk turut membantu warga miskin melalui BKM.

Di bidang sosial, program kerja BKM Amanah Warga yang sudah

dilakukan adalah kegiatan peningkatan pendapatan warga miskin melalui

Penggadohan Kambing yang dikelola oleh KSM Gadoh Kambing. Kegiatan

ini merupakan salah satu kegiatan yang masih jalan hingga saat ini. Namun

karena karakteristik wilayah antar RW sangat berbeda maka perguliran

ekonomi dari kegiatan ini hanya bisa dinikmati oleh warga miskin di

beberapa RW saja. Pengetahuan dan pemahaman KSM (masyarakat) yang

rendah tentang berbagai program yang digulirkan melalui PNPM Mandiri

Perkotaan mengakibatkan berbagai kegiatan pemberdayaan sosial di BKM

Amanah Warga mengalami keterlambatan.

Pelaksanaan kegiatan pemberdayaan sosial dalam PNPM Mandiri

Perkotaan di Kelurahan Muntilan termasuk sangat kurang dimana dari

rencana-rencana kegiatan yang telah diprogramkan belum sepenuhnya

terlaksana. Dana kegiatan yang sedianya digunakan untuk kegiatan sosial

dialihkan sementara untuk menopang biaya operasional dan kemacetan

pinjaman. Rencana-rencana kegiatan sosial yang disusun antara lain

pelatihan kerajinan tangan, pelatihan servis telepon genggam dan barang-

elektronik, khitanan massal, penyuluhan penanggulangan narkoba,

penyuluhan kesehatan ibu hamil, penyuluhan KB, pengasapan (fogging)

untuk pemberantasan penyakit demam berdarah, penyediaan pupuk untuk

151
petani, pelayanan pengobatan gratis, pendirian program paket B dan C,

kursus komputer, dan beasiswa bagi anak kurang mampu.

Kegiatan-kegiatan pelatihan yang sudah terlaksana dalam PNPM

Mandiri Perkotaan di BKM Amanah Warga sebagian besar adalah kegiatan

yang diprogramkan oleh fasilitator pendamping dan bersifat general serta

dilaksanakan di semua desa/kelurahan. Sedangkan untuk kegiatan

pembelajaran yang murni muncul dari inisiatif masyarakat belum ada,

meskipun dari dokumen perencanaan dapat dilihat agenda-agenda pelatihan

atau pembelajaran masyarakat cukup banyak. Dari hal tersebut dapat

dikatakan bahwa komunitas belajar kelurahan di Kelurahan Muntilan belum

efektif dalam memberikan pembelajaran bagi seluruh warga masyarakatnya.

4. Pengembangan Bidang Lingkungan

Pengembangan bidang lingkungan adalah pendekatan dalam

pengelolaan atau manajemen pembangunan lingkungan dimana masyarakat

diharapkan memiliki keberdayaan untuk merencanakan, melaksanakan, dan

mengevaluasi sendiri kegiatan pembangunan lingkungan di sekitar tempat

tinggal atau dalam komunitasnya. Kegiatan pembangunan lingkungan dalam

PNPM Mandiri Perkotaan ini diorganisir oleh Unit Pengelola Lingkungan

(UPL) yang berada di bawah BKM.

Pengembangan bidang ini merupakan salah satu komponen

pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan di Desa Gunungpring yang

menunjukkan hasil yang cukup baik. Pembangunan lingkungan merupakan

program yang paling berhasil memberikan dampak dalam menumbuhkan

kesadaran dan keswadayaan sosial dari warga masyarakat di Desa

152
Gunungpring. Hal ini bisa dilihat dari perencanaan pembangunan yang sudah

terrinci dalam PJM Pronangkis dan Rencana Tata Bangunan dan

Lingkungan, pembentukan KSM sebagai pelaksana kegiatan, penghimpunan

swadaya masyarakat, serta pelaksanaan dan monitoring kegiatan selama dan

pasca pembangunan.

Rencana tata bangunan dan lingkungan adalah panduan lingkungan

atau kawasan yang di maksudkan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang,

penataan bangunan dan lingkungan, serta memuat materi pokok ketentuan

program bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan,

rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman

pengendalian pelaksanaan pengembangan lingkunan atau kawasan. kawasan

prioritas terpilih untuk desa

Gunungpring termasuk termasuk dalam kawasan dengan tingkat

kebutuhan sedang. Sebagai kawasan yang merupakan pusat perkembangan

pemerintahan desa, pendidikan, dan pariwisat, Desa Gunungpring mulai

menunjukkan penurunan kualitas dan kuantitas lingkungan alami seperti

permasalahan sampah. Oleh karenanya rehabilitasi tata bangun dan

lingkungan di wilayah ini berfokus di pusat-pusat kegiatan ekonomi

masyarakat, pondok pesantren yang menjadi simbol Desa Gunungpring yaitu

Pondok Pesantren Darussalam Watucongol, Masjid Kyai Krapyak, Makam

Santren, serta di sisi selatan Gunungpring yakni di Makam Gunungpring

yang hingga saat ini masih menjadi primadona pariwisata religi bagi

wisatawan dari berbagai tempat di Indonesia. Pemilihan kawasan ini sejalan

dengan penerapan visi dan misi pembangunan Desa Gunungpring, yaitu

153
sebagai desa wisata yang berdasar pada nilai nilai pendidikan, religius Islami

dan budaya lokal.

Pada tahun pertama dan kedua kegiatan pembangunan tata bangun

dan lingkungan banyak terfokus kepada pembangunan jembatan beton dan

penataan jalan lingkungan yang kondisi awalnya memang kurang baik yaitu

berupa jalan tanah dan jalan batu kerikil yang selanjutnya dibangun menjadi

jalan paving dan jalan aspal. Dengan pembangunan jembatan beton dan

penataan jalan lingkungan, maka mobilitas masyarakat menjadi lebih mudah

dan lingkungan terlihat lebih rapi dan tertata.

Pada review program tahun kedua dan sebagai masukan tahun

berikutnya masyarakat sudah mulai memikirkan kebutuhan pembangunan

yang mendukung mata pencahariannya yang sebagian berprofesi sebagai

pedagang yaitu berupa pembangunan dan penataan kembali area

perdagangan dan pariwisata dengan melakukan pengembangan beberapa

fasilitas umum yang selama ini belum optimal pemanfaatanya seperti:

pasar/terminal desa, lapangan olahraga desa, dan area parkir wisata, serta

beberapa area pengembangan yang sangat potensial untuk dikembangkan

(wawancara dengan Manajer Unit Pengelola Lingkungan BKM Mandiri,

Bpk. Djamal, MHP Sabtu, 30 Juli 2011 pkl. 11.07).

Pembangunan fisik lingkungan di Desa Gunungpring didukung

dengan adanya kemudahan berupa keberadaan penambangan material

bangunan berupa pasir dan batu kali yang lokasinya dekat serta keberadaan

tenaga kerja yang jumlahnya cukup memadai, karena sebagian besar

154
masyarakat memiliki keterampilan sebagai pekerja bangunan, sehingga

potensi swadaya masyarakat berupa material dan tenaga kerja cukup besar.

Berdasarkan realita tersebut, dapat disimpulkan bahwa

pengembangan bidang lingkungan merupakan daya yang paling berhasil

mencapai tujuan kegiatan. Menurut dimensi partisipasi, kegiatan fisik

merupakan kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan yang terlihat dapat

menumbuhkan sikap mental keswadayaan kolektif. Kepedulian dan

keterlibatan unsur-unsur masyarakat secara fisik terlihat dalam wujud yang

nyata yaitu pengaspalan jalan. Sedangkan berdasarkan dimensi responsivitas,

kegiatan fisik telah sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat di Desa

Gunungpring dan dinilai mampu mengatasi sebagian permasalahan yang

selama ini dirasakan.

Karakteristik yang banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat

miskin di perkotaan adalah mereka hidup dalam keterbatasan infrastruktur

fisik. Oleh karena itu, bantuan dana PNPM Mandiri Perkotaan di BKM

Amanah Warga dialokasikan untuk perbaikan jalan dengan memberikan

dana stimulan di setiap RW. Namun sejak ada proyek PNPM Mandiri

Perkotaan, BKM Amanah Warga baru dua kali memberikan dana alokasi

untuk perbaikan sarana prasarana fisik di masing-masing RW. Hal ini

dikarenakan keuangan di BKM Amanah Warga tidak berjalan dengan baik.

Adanya kredit macet menyebabkan kegiatan fisik belum bisa berjalan

dengan lancar. Kondisi masyarakat yang apatis, mengakibatkan kegiatan

yang diinisiasi tanpa adanya subsidi penuh dari pemerintah dipastikan tidak

akan bisa berjalan sesuai perencanaan.

155
Sama halnya dengan Desa Gunungpring, Kelurahan Muntilan juga

memiliki potensi penambangan material bangunan berupa pasir dan batu kali

yang lokasinya dekat serta keberadaan tenaga kerja yang jumlahnya cukup

memadai, karena sebagian besar masyarakat memiliki keterampilan sebagai

pekerja bangunan, sehingga potensi swadaya masyarakat berupa material

dan tenaga kerja cukup besar. Namun potensi yang ada tersebut belum

didukung upaya meningkatkan keterampilan dan kreativitas masyarakat,

misalnya pelatihan teknik dan manajemen konstruksi sehingga kegiatan yang

dilaksanakan belum efektif dan efisien. Perencanaan pembangunan yang

dimiliki sekarang masih terbatas pada perencanaan jangka menengah atau

selama 3 tahun, dan belum terdapat skenario atau konsep pembangunan

jangka panjang untuk lingkungan kelurahan tersebut, sehingga program-

program kegiatan yang muncul sangat dimungkinkan bersifat pragmatis dan

tidak berkelanjutan.

Dilihat dari level konsep, adanya BKM, KSM dan kelembagaan yang

terbentuk karena adanya PNPM Mandiri Perkotaan diatas dapat dijelaskan dengan

teori strukturasi dari Anthony Giddens (Priyono, 2002) bahwa strukturasi

merupakan suatu proses yang dapat berdampak pada penguatan struktur lama, akan

tetapi dapat pula sebaliknya, merupakan transformasi struktur. Hal ini bergantung

pada bagaimana praktik sosial baru yang terjadi. Apabila praktik sosial baru

merupakan pengulangan dari sebelumnya, atau walaupun kemasannya berbeda akan

tetapi substansinya masih sama, maka akan terjadi penguatan struktur. Sebaliknya,

apabila praktik sosial baru berbeda dengan sebelumnya dan kemudian menjadi

rutinitas baru yang diakui dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat maka yang

156
terjadi adalah transformasi struktur (dalam Soetomo, 2011:10). Prasyarat bagi

semakin tumbuhnya kemandirian di masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan

adalah terjadinya proses institusionalisasi. Hal ini dikarenakan institusionalisasi

berdampak pada pengembangan kapasitas masyarakat yang berkelanjutan, sehingga

akan ada jaminan bahwa berbagai kegiatan di masyarakat akan tetap berlangsung

meski fasilitasi sudah dihentikan (Soetomo, 2011: 11)

Proses institusionalisasi tersebut dapat berlangsung melalui proses belajar

sosial, dimana modal sosial merupakan faktor yang penting, perlu diidentifikasi dan

dikembangkan dalam rangka proses belajar sosial tersebut. Seperti apa yang telah

dipaparkan pada bab sebelumnya, modal sosial merupakan energi sosial yang

mampu menggerakkan tidakan kolektif di masyarakat, meskipun pada kenyataannya

berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pihak eksternal (fasilitator) kurang

mampu menumbuhkembangkan potensi modal sosial di masyarakat, bahkan karena

kesalahan dalam pendekatan yang terjadi justru semakin mereduksi potensi modal

sosial.

Penguatan modal sosial perlu diawali dari penguatan nilai-nilai budaya

setempat, hal inilah yang berhasil diinisiasi Pemerintah Desa dalam proses

penguatan modal sosial (wawancara Sekretaris Desa Gunungpring, pada tgl. 14 Juli

2011 pkl. 09.18). Selain nilai-nilai budaya, elemen modal sosial yang dinilai penting

dikembangkan dalam pengentasan kemiskinan adalah kompetensi sumberdaya

manusia (human capital), manajemen sosial dan keorganisasian masyarakat madani

(civil society) yang kuat, struktur sosial yang tidak timpang, kepemimpinan lokal

yang kuat, sistem moral dan hukum yang kuat, serta penyelenggaraan pemerintahan

yang baik.

157
Seperti yang telah dibahas diawal, kondisi sosial budaya masyarakat di Desa

Gunungpring yang baik, diikuti dengan etos kerja yang tinggi dan kepemimpinan

lokal yang kuat membuat fasilitasi di tingkat desa yang menghasilkan usulan yang

berbasis pada kebutuhan dan prioritas yang jelas. Proses eliminasi usulan di tingkat

selanjutnya dilakukan dengan adanya pelibatan stakeholder melalui perwakilan.

Menurut Bapak Djamal anggota BKM Mandiri Gunungpring, BKM Mandiri Desa

Gunungpring telah berhasil memegang peranan sebagai forum pengambilan

keputusan tertinggi di tingkat warga masyarakat, sekaligus kendali untuk mengatasi

berbagai persoalan sosial yang terjadi di masyarakat. Hal ini dikarenakan BKM,

dalam proses pembentukan keanggotaannya dilakukan secara demokratis melalui

musyawarah warga (wawancara Manajer Unit Pengelola Lingkungan BKM

Mandiri, Bpk. Djamal, MHP Sabtu, 30 Juli 2011 pkl. 11.07).

Terlepas dari ada atau tidaknya program pengentasan kemiskinan ala

pemerintah, ternyata yang mempunyai peranan sebagai penggerak utama dan

strategis dalam upaya pengentasan kemiskinan berkelanjutan di masyarakat adalah

modal sosial. Harus diakui bahwa pangkal modal sosial adalah pada lingkungan

sosial awal. Baik dalam kelompok maupun masyarakat tertentu. Apabila dalam

masyarakat sudah kehilangan modal sosial, maka intervensi apapun yang dilakukan

oleh pihak luar tidak akan terlalu mempengaruhi derajat modal sosial di masyarakat

tersebut. Sebab, sejalan dengan apa yang telah dipaparkan oleh Soetomo (2009:

204-205) berkurangnya modal sosial dalam suatu masyarakat dapat menghambat

mereka dalam menggali dan memanfaatkan kesempatan yang sebenarnya bisa

didapatkan.

158
Menurut pemaparan Yusuf Ahmad, warga Dusun Karaharjan Gunungpring

yang juga merupakan Asisten Dosen Jurusan MKP Fisipol UGM (wawancara tgl. 23

April 2011 pkl. 13.46), modal sosial masyarakat Desa Gunungpring yang kuat

secara konsisten dapat meningkatkan usaha kolektif masyarakat dalam

mengentaskan masalah kemiskinan. Jaringan kerja sama melalui BKM yang

didukung dengan adanya rasa saling percaya dan kepatuhan terhadap aturan kerja

sama akan menghasilkan keputusan kolektif dalam meningkatkan political power.

Hal ini dikarenakan mereka memiliki nilai tawar yang lebih tinggi dalam

pengambilan keputusan dan merencanakan pembangunan di daerahnya.

Adanya modal sosial dalam jaringan-jaringan akan membentuk hubungan

timbal balik dalam proses untuk mengembangkan jiwa kepemimpinan, dimana

masyarakat memilih pemimpin mereka sendiri, menyadari kebutuhan akan

pentingnya organisasi atau lembaga yang dapat merepresentasikan kepentingannya

dan kepentingan komunitasnya, sehingga organisasi yang terbentuk nantinya bisa

memiliki nilai tawar dan peran dalam pembangunan daerahnya, masyarakat

penerima pun bisa sepenuhnya memberikan kepercayaan kepada orang-orang yang

sesuai dengan kriteria atau nilai yang mereka kembangkan sendiri, serta tercipta

suatu keselarasan dimana utusan dari masing-masing kelompok bisa bekerja

bersama-sama untuk kepentingan masyarakat tingkat desa/kelurahan.

Ketika modal sosial yang berlandaskan pada partisipasi dalam jaringan

sosial, sikap saling percaya, kohesifitas sosial, pranata sosial, dan saling tukar

kebaikan di masyarakat sudah terbentuk dengan kuat, maka program yang diberikan

oleh pemerintah akan bisa diterima dengan baik. Faktor-faktor eksternal yang

selama ini melemahkan keberadaan program pemerintah pun bisa diminimalkan.

159
Perbedaan persepsi di masyarakat atas pemberian program pengentasan kemiskinan

pemerintah yang selama ini masih memahami bahwa PNPM Mandiri Perkotaan

sebagai program bantuan murni adalah salah satu evaluasi bagi pemerintah untuk

bisa mengubah paradigma masyarakat agar tidak melulu bergantung pada bantuan

dari pemerintah. Dengan demikian, realitas yang dianggap masalah sosial seperti

penyelenggaraan PNPM Mandiri Perkotaan yang masih berorientasi pada

pendekatan target dan top-down, pengabaian nilai-nilai modal sosial setempat dan

bias outsiders, kurangnya partisipasi, pendekatan yang tidak holistik dan ilusi

investasi harus bisa mendorong atau memberi inspirasi bagi munculnya usaha untuk

melakukan perubahan dan perbaikan.

Pengalaman sekitar keberhasilan program pengentasan kemiskinan

menunjukkan bahwa kesadaran untuk mengembangkan dan menguatkan modal

sosial setempat menjadi faktor penting dan dominan. Modal sosial tersebut dinilai

cukup efektif untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat dalam menciptakan

kondisi ideal yang didambakan, yakni kondisi masyarakat yang sejahtera (social

welfare). Berdasarkan pada keadaan diatas, maka memunculkan sebuah tesis awal

bahwa apapun dan berapa pun yang diberikan pemerintah akan berhasil membawa

masyarakat menuju kesejahteraan jika dilandasi dengan adanya penguatan modal

sosial setempat. Meskipun, implementasinya memang tidak semudah membalikkan

telapak tangan jika tidak ada keseriusan untuk mewujudkan kondisi ideal tersebut.

Dari berbagai permasalahan diatas, disimpulkan bahwa faktor yang selama

ini menjadi akar permasalahan dari kegagalan berbagai praktek pengentasan

kemiskinan adalah karena belum optimalnya pemanfaatan modal sosial setempat

yang merupakan nilai-nilai dan hubungan-hubungan sosial yang mengakar dalam

160
struktur masyarakat. Sehingga pada akhirnya individu dalam suatu masyarakat tidak

dapat mengkoordinir tindakan untuk mencapai tujuan secara maksimal dalam proses

institusionalisasi yang berdampak pada pengembangan kapasitas masyarakat yang

berkelanjutan.

TABEL 4.1
BEBERAPA PERBEDAAN KOMPONEN MODEL PENGENTASAN KEMISKINAN
DALAM PNPM MANDIRI PERKOTAAN
DI KELURAHAN MUNTILAN DAN DESA GUNUNGPRING

Komponen Model Kelurahan Muntilan Desa Gunungpring


Pengentasan Kemiskinan

Kegiatan utama yang Peningkatan ekonomi rumah Pengembangan pelayanan


menonjol tangga miskin publik

Sebaran masyarakat yang Petani, pengrajin rumah Petani, pengrajin, pelaku


dijadikan sasaran tangga dan masyarakat desa ekonomi nonpertanian dan
masyarakat desa

Prasarana pendukung Relatif lebih memadai Kurang memadai

 Pasar  Relatif besar  Relatif kecil


 Jalan  Relatif banyak  Relatif sedikit Relatif
 Alat transportasi  Relatif banyak sedikit

Program peningkatan Relatif kecil dan kurang Relatif besar dan cukup
partisipasi masyarakat beragam beragam

Intensitas dan keberlanjutan Relatif kurang intensif dan Relatif intensif dan tampak
fasilitasi tidak berlanjut berlanjut

Kepemimpinan lokal Relatif lemah Relatif kuat

Solidaritas dan kohesifitas Lemah dan kurang Cukup kuat dan berkembang
sosial setempat berkembang

Manajemen dan Relatif lemah dan belum Relatif kuat dan berkembang
keorganisasian masyarakat berkembang sehat

Kepercayaan diri dan Relatif rendah dan kurang Relatif tinggi dan cukup
kewirausahaan lokal berkembang berkembang

Penyelenggaraan Relatif kurang baik dan Relatif baik dan diterima


pemerintahan desa/kelurahan kurang diterima masyarakat masyarakat

Penguatan modal sosial Relatif kecil Relatif besar

Sumber: hasil analisis penulis, 2012.

161
B. Analisis Sikap dan Cara Pandang Masyarakat dalam Memahami Modal Sosial

Setempat

Suatu masyarakat yang memiliki modal sosial rendah, kualitas pembangunan

manusianya akan jauh tertinggal. Beberapa dimensi pembangunan manusia yang

sangat dipengaruhi oleh modal sosial antara lain kemampuannya menyelesaikan

berbagai masalah kolektif, mendorong roda perubahan yang cepat di tengah

masyarakat, memperluas kesadaran bersama bahwa banyak jalan yang bisa

dilakukan oleh setiap anggota kelompok untuk memperbaiki nasib secara bersama-

sama, memperbaiki mutu kehidupan seperti meningkatkan kesejahteraan,

perkembangan anak dan banyak keuntungan lainnya yang dapat diperoleh. Bangsa

yang memiliki modal sosial tinggi akan cenderung lebih efisien dan efektif

menjalankan berbagai kebijakan untuk menyejahterakan, memajukan rakyat,

menanggulangi permasalahan sosial warga negaranya, terutama kemiskinan.

Analisis sikap dan cara pandang masyarakat dilakukan untuk

mengidentifikasi nilai, institusi, dan mekanisme yang mendasari interaksi

antarindividu dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan sosial di

Kelurahan Muntilan dan di Desa Gunungpring yang berlandaskan pada partisipasi

dalam jaringan sosial, sikap saling percaya, kohesifitas sosial, pranata sosial, saling

tukar kebaikan, informasi dan komunikasi, serta tindakan proaktif.

1. Partisipasi dalam jaringan sosial

Saat ini, kebanyakan masyarakat terbawa arus ”individualistik”

dalam berbagai aktivitas kehidupannya. Masyarakat yang berada di

Kecamatan Muntilan dan berbagai aktivitas yang dilakukan dapat

dijadikan contoh komplit mengenai gambaran kehidupan masyarakat

162
yang kompleks. Umumnya masyarakat perkotaan di Indonesia tidak jauh

berbeda antara satu daerah dengan yang lainnya. Aktivitas yang

dilakukan oleh masyarakatnya cukup kompleks. Oleh karena itu, penting

untuk mencermati berbagai informasi yang mendalam dari kehidupan

masyarakat yang berkarakteristik tersebut, khususnya dalam hal interaksi

dan aktivitas sosialnya.

Kelompok yang ada di kedua wilayah tersebut relatif banyak dan

beragam, mulai dari kelompok keagamaan, kelompok tani/nelayan,

kelompok pedagang, kelompok profesi, serikat pekerja, kelompok warga,

parpol, kelompok pemerhati budaya, kelompok arisan, kelompok

pemuda, kelompok olahraga, komite sekolah, bahkan LSM/ormas.

Demikian pula dari keikutsertaan masyarakat dalam kelompok-kelompok

tersebut, hanya beberapa dari anggota masyarakat yang tidak menjadi

anggota kelompok manapun. Artinya, motivasi masyarakat untuk terlibat

dalam kegiatan kelompok-kelompok yang ada di lingkungan

permukimannya relatif tinggi, meskipun hal ini tidak secara langsung

berkorelasi dengan tingkat keaktifannya dalam berorganisasi (diolah dari

Profil Kelurahan Muntilan dan Data Monografi Desa Gunungpring

2010).

Banyaknya kelompok yang tersedia di masyarakat ini ternyata

tidak berkorelasi dengan tingkat keaktifan masyarakat dalam

berpartisipasi karena masih banyaknya masyarakat di Kelurahan

Muntilan yang menilai bahwa partisipasi mereka dalam kelompok yang

diikutinya justru lebih sedikit dibanding dengan lima tahun yang lalu.

163
Penyebabnya beragam, utamanya adalah karena kesibukan dalam bekerja

sebagai akibat dari mahalnya kebutuhan hidup sehari-hari menyebabkan

masyarakat banyak yang berkonsentrasi untuk mencari nafkah,

sementara kegiatan di kelompok cenderung hanya sebagai sampingan

bila ada waktu luang. Hal ini menunjukkan kecenderungan rendahnya

tingkat keaktifan masyarakat dalam berpartisipasi di kelompok-

kelompok yang diikutinya. Sehingga ketika anggota masyarakat

cenderung malas menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang

sinergis maka dapat dipastikan bahwa modal sosial yang terbangun di

masyarakat tersebut lemah (Hasbullah, 2006).

Meskipun setiap individu sebagai mahluk sosial diberi bakat

untuk membina dan mengembangkan hubungan interpersonal yang

intensif. Namun, dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat,

hubungan ini justru diletakkan pada prioritas yang rendah. Hubungan

kerjasama dibiarkan berada dalam kedangkalan dan berhenti pada tingkat

basa-basi dan tidak di bekali dengan ketulusan, hal ini sejalan dengan apa

yang dipaparkan oleh Bapak Muh. Taslim (wawancara tgl. 21 Juli 2011

pkl. 11.37), sebagai berikut:

“…..musyawarah antar RW di Kelurahan Muntilan


sifatnya hanya basa-basi, visi yang dibawa masing-masing
individu di masyarakat jelas beda. Kelihatannya berdamai
dari luar, tapi dasarnya crash besar antarindividu antar
kelompok keagamaan. Ga usah ditutup-tutupi lagi karena
masalah perbedaan visi dan misi yang dibawa oleh agama
sudah ada sejak jaman simbah-simbah dulu. Kalau suatu
kelompok membantu pasti ada misi tertentu yang ingin
dicapai, itupun pasti jarang berbagi dan meminta bantuan
ke pemerintah.....”

164
“…..pancen kegiatan koyo kerja bakti mlaku, tapi
kegiatan-kegiatan sing dibiayai pemerintah gur
masyarakat tertentu wae sing gelem guyub, itupun kalau
danane besar dan nguntungke…..”

Mungkin bukan karena kegiatan yang diinisiasi oleh pemerintah

dianggap tidak penting, namun disangka bahwa semua akan berjalan dan

berkembang dengan sendirinya. Padahal, betapa kita melihat bahwa

banyak hal “tidak jalan”, “tidak terkomunikasikan” atau “tidak

tersosialisasikan” karena tidak terbinanya partisipasi, tanggung jawab

bersama dan inisiatif dari masing-masing anggota kelompok. Kehidupan

kelompok pada masyarakat yang memiliki pandangan “konservatif”

biasanya memiliki radius modal sosial yang pendek yang dapat

menghasilkan pandangan-pandangan negatif terhadap kelompok di

luarnya (negative externalities), seperti apa yang terjadi di masyarakat

Muntilan.

Menurut analisa Fukuyama, agama merupakan sumber modal

sosial yang melimpah. Agama memiliki peranan dalam

”menghangatkan” kembali ikatan sosial dan kontrol sosial masyarakat.

Modal sosial (yang terkandung dalam nilai-nilai agama), dipercaya lebih

efektif dan ”berbiaya” lebih murah ketimbang institusi manapun. Namun,

jika dicermati secara mendalam maka akan memunculkan berbagai

persepsi tentang hal ini. Agama dalam artian sebagai kerangka

individualistik jelas tidak akan mampu menjawab tantangan terkikisnya

modal sosial yang paradigmatik dan teknis. Warisan agama yang turun-

temurun ada di masyarakat justru menimbulkan efek negatif bagi

165
perkembangan modal sosial setempat. Keberagaman yang ada di

Muntilan ternyata mewarisi gejolak negatif dari masa lalu.

Tidak adanya integrasi antara pendekatan komunal dan privat

yang mampu memberikan solusi terhadap persoalan paradigmatik dan

teknis meyebabkan berkembangnya paradigma kapitalistik yang

melunturkan modal sosial setempat. Sehingga, tidaklah mustahil jika

perkembangan modal sosial yang ada di wilayah ini cenderung berada

pada titik kebuntuan. Perkembangan modal sosial yang terlihat sangat

dipaksakan ini, lambat laun dapat menimbulkan konflik jika di salah satu

kelompok tidak lagi bisa “menutupi” keharmonisan yang tercipta.

Karakteristik masyarakat yang demikian jika tidak diimbangi dengan

perasaan senasib secara perlahan melemahkan potensi modal sosial di

masyarakat.

Dalam skala pemerintah, kita juga menyaksikan betapa sulitnya

pemerintah berbagi susah dan masalah dengan masyarakat di level

bawah dikarenakan tidak adanya social bonding antara pengambil

keputusan, kebijakan dengan orang kecil yang tidak tahu apa-apa dan

hanya menanggung dampak dari keputusan yang dibuat. Hal inilah yang

menyebabkan warga masyarakat menjadi “malas” ketika berhubungan

dengan administrasi maupun birokrasi pemerintah yang rumit.

Kesenjangan modal sosial yang terjadi antar RW yang berdekatan

di Kelurahan Muntilan menunjukkan kemungkinan adanya

ketidakharmonisan hubungan antar RW dalam satu kelurahan. Hal ini

sekaligus memberikan petunjuk bahwa kemungkinan besar kekuatan

166
pemerintahan dan kepemimpinan Lurah tidak mampu menembus

masyarakat lapisan bawah di tingkat RW. Oleh karenanya, akan sulit

mengharapkan kekuatan kepemimpinan Lurah untuk mampu

menyeimbangkan dan menggabungkan kekuatan modal sosial yang

tersebar pada berbagai satuan komunitas kecil (RW) dalam bangunan

modal sosial tingkat kelurahan.

Salah satu RW di Kelurahan Muntilan, yaitu RW IX Kauman,

memiliki kemampuan untuk membangun modal sosial relatif mandiri.

Tingkat ketergantungannya pada pusat pemerintahan kelurahan dalam

penguatan modal sosial relatif kecil. Gambaran yang sama juga terlihat

di Desa Gunungpring, di saat pemerintahan desa di masa lalu dinilai

tidak berfungsi dengan baik, kehidupan masyarakat dusun relatif tidak

terlalu terpengaruh. Di Kelurahan Muntilan juga terjadi ketimpangan

modal sosial antar RW VIII Balemulyo dengan RW IX Kauman.

Paling tidak ada tiga penyebab terjadinya ketimpangan kekuatan

modal sosial antar dua RW yaitu perbedaan gaya kepemimpinan,

manajemen sosial, dan hubungan elit dengan anak buah. Pada RW IX

elemen kepemimpinan non-formal, yang terkait dengan kemampuan

pemimpin dalam melakukan komunikasi dengan anak buahnya,

kemampuan khusus yang dimiliki pemimpin, menggalang kebersamaan

(solidarity maker), dan menegakkan prisip musyawarah dalam

pengambilan keputusan bersama lebih kuat dibanding yang dimiliki

Ketua RW VIII. Modal sosial tingkat desa/kelurahan akan kuat jika bisa

dibangun social bridging, yang menghubungkan antara RW VIII dan

167
RW IX dan seterusnya. Selain itu, modal sosial tingkat desa/kelurahan

akan kuat jika antarelemen kerja sama tidak terputus.

Dalam hubungan interpersonal sebenarnya social bonding, social

brigding, dan social linking, selalu dipraktekkan dalam kehidupan sehari-

hari, tetapi tergantung empati, keberpihakan, frekuensi, fokus, niat dan

awareness pelakunya. Arisan keluarga, paguyuban, kekompakan dalam

suatu divisi, menandakan kapasitas individu untuk saling merangkul dan

bersama-rasa dalam kelompok yang relatif memudar. Meski begitu,

partisipasi masyarakat baik di Kelurahan Muntilan maupun di Desa

Gunungpring dalam kegiatan yang diinisisasi oleh kelompok keagamaan

dan kelompok arisan ibu-ibu di lingkungan masih patut diacungi jempol.

Kelompok keagamaan justru “tumbuh subur” di antara kelompok non

keagamaan yang mulai terlupakan.

2. Pranata Sosial

Selama ini masyarakat memang cenderung lebih menikmati

keberadaan kelompok yang bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan

spiritual, status sosial, dan aktualisasi diri; peningkatan taraf hidup; dan

bermanfaat untuk masa darurat. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari

Bapak Muh. Taslim diatas (wawancara tgl. 21 Juli 2011 pkl. 11.37),

bahwa kelompok yang paling besar peranannya dalam kehidupan sehari-

hari masyarakat adalah kelompok keagamaan dan kelompok-kelompok

arisan. Sebagian besar masyarakat akan secara sukarela mengikuti

kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan meski tidak sedikit juga yang

bergabung karena ajakan dari orang-orang disekitarnya. Hal itulah yang

168
pada akhirnya memunculkan karakter voluntaris di masyarakat, yang

juga bisa dilihat dari adanya pendanaan kelompok yang bersumber dari

iuran anggota, serta adanya pengembangan kemampuan dan kegiatan

yang masih sangat mengandalkan masukan dari sesama anggota.

Kelompok-kelompok yang diikuti oleh masyarakat di Kecamatan

Muntilan umumnya menunjukkan karakteristik yang sama dalam

sejumlah faktor, terutama menyangkut kesamaan lokasi dan kesamaan

agama di antara anggota-anggotanya. Menurut tanggapan Bapak Agus

Widagdo mantan anggota BKM Amanah Warga (wawancara tgl. 23

April 2011 pkl. 19.00), hal tersebut dengan jelas menegaskan bahwa

dominasi peran kelompok-kelompok keagamaan dan kewargaan di

sekitar permukiman sebagai kelompok yang banyak diikuti oleh

masyarakat. Namun, kemampuan kelompok untuk menjalin jejaring

kerjasama dengan kelompok lainnya relatif rendah. Sebagian masyarakat

menilai bahwa kelompoknya sering menjalin kerja sama dengan

kelompok lain dalam lingkungan komunitas yang sama untuk mencapai

tujuan tertentu saja, sehingga ketika tidak ada tujuan yang jelas jaringan

kerjanya masih terbatas dalam lingkup komunitas tersebut.

Tentunya kekompakan tersebut tidak boleh dibiarkan terhenti

ditingkat itu saja, karena hasilnya hanya akan terbatas pada kinerja

kelompok tertentu. Social bonding perlu dilanjutkan dengan upaya social

brigding, dimana individu dan pemimpin berusaha untuk mengikatkan

diri dengan individu atau kelompok yang justru berbeda pandangan,

keahlian, generasi dan dari jejaring yang lain pula. Karena jika social

169
bridging tidak dilakukan maka ikatan kuat dalam kelompok kecil

tersebut bisa menjadikannya kelompok yang tidak percaya pada pihak

luar, bahkan menutup diri dan tidak bersedia melakukan alignment

dengan kelompok lain. Oleh karena itu diperlukan adanya hubungan

timbal balik serta proses pembelajaran social linking yang bisa

memudahkan masyarakat mengakses sumber daya dan perubahan yang

terjadi.

3. Sikap Saling Percaya

Terdapat suatu nilai atau norma yang timbul akibat hubungan

timbal balik di antara masyarakat, yang menumbuhkan ikatan sosial atau

kesetiakawanan sosial. Norma-norma tersebut berupa peraturan secara

informal yang mengatur tata kehidupan masyarakat sehingga

menumbuhkan kepercayaan diantara satu dengan yang lainnya, yang

tentu akan mempengaruhi dan menunjang segala aktivitas di masyarakat

khususnya dalam mengentaskan kemiskinan. Merujuk dari beberapa

pandangan sosiolog, pada dasarnya kepercayaan dapat dibagi menjadi 3

(tiga) tingkatan, yaitu: tingkatan individual, tingkatan relasi sosial,dan

tingkatan sistem sosial.

Kepercayaan pada tingkatan individual merupakan kekayaan

batin, norma, dan nilai individual yang merupakan variabel personal dan

sekaligus sebagai karakteristik individu. Kepercayaan di dalam tingkatan

relasi sosial, merupakan atribut kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan

kelompok yang didasari oleh semangat altruism, social resiprocity, dan

homo ets homo homini. Kepercayaan pada tingkatan sistem sosial,

170
merupakan nilai publik komunitas, atau masyarakat, atau bangsa, yang

perkembangannya difasilitasi oleh sistem sosial yang ada, dimana sistem

sosial tersebut didasari pada nilai-nilai budaya unggul. (Hasbullah,

2006). Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

kepercayaan merupakan salah satu kunci terpenting untuk menjalin

hubungan sosial yang baik.

Sebagian besar masyarakat di Kelurahan Muntilan dan di Desa

Gunungpring menilai bahwa secara individu sebagian besar orang-orang

di sekitarnya dapat dipercaya. Namun, di Kelurahan Muntilan hal

tersebut tidak berlaku bagi kelompok-kelompok keagamaan yang ada.

Rasa saling percaya diantara kelompok kini sudah berganti dengan

adanya prasangka terpendam yang bisa menjadi “bom waktu” bagi

kerukunan warga masyarakat di Kelurahan Muntilan yang selama ini

terlihat “adem ayem” dari luar. Ini menunjukkan bahwa deposit

kepercayaan di kalangan masyarakat antar kelompok keagamaan

sebenarnya sudah sulit dikembalikan jika merujuk dari sejarah yang

selama ini ada di masyarakat.

Kehancuran rasa saling percaya dalam masyarakat akan

mengundang hadirnya berbagai problematik sosial yang serius.

Masyarakat yang kurang memiliki perasaan saling mempercayai akan

sulit menghindari berbagai situasi kerawanan sosial dan ekonomi yang

mengancam. Semangat kolektifitas tenggelam dan partisipasi masyarakat

untuk membangun bagi kepentingan kehidupan yang lebih baik akan

hilang.

171
Ketika salah satu pihak tidak lagi bisa menjaga gejolak negatif

yang merupakan warisan dari masa lalu ini, maka konflik di masyarakat

tak kan lagi bisa terbantahkan. Hal inilah yang menjadikan usaha yang

selama ini digulirkan bagi masyarakat di Kelurahan Muntilan tak

kunjung menuai hasil. Dari luar masyarakat seolah-olah berjalan

bersama, namun pada implementasinya mereka membawa visi dan misi

berbeda yang syarat akan berbagai kepentingan golongan masing-

masing.

Hal ini sejalan dengan adanya pernyataan dari Bapak Agus

Widagdo (wawancara tgl. 23 April 2011 pkl. 19.00), selain adanya

masalah ketidakpercayaan antar golongan yang selama ini sudah

mendarah daging di masyarakat, beliau juga menyatakan bahwa

tingginya tingkat kepercayaan yang terjadi di masyarakat hanya terhadap

orang-orang maupun individu dari etnis yang sama. Hal ini memang

merupakan suatu kecenderungan yang normal karena kepercayaan juga

dibentuk oleh dasar ikatan genealogis dan identitas yang sama, namun

jika terus dibiarkan tanpa adanya usaha untuk menyatukan visi dan misi

kebersamaan, maka tak pelak akan menggerogoti semangat

pemberdayaan yang selama ini terus-menerus dibangun oleh berbagai

pihak, khususnya dalam mengentaskan masalah kemiskinan.

Ini bisa dilihat dari adanya kecenderungan menurunnya tingkat

kepercayaan masyarakat di Kelurahan Muntilan menyangkut masalah

keuangan. Masyarakat mulai merasa tidak percaya pada orang lain dalam

hal utang-piutang uang, terutama jika yang akan meminjam adalah orang

172
yang memiliki perbedaan dasar ikatan genealogis dan identitas. Hal

tersebut juga diperparah dengan adanya permasalahan “kredit macet”

yang terjadi di BKM Amanah Warga Kelurahan Muntilan, yang hingga

kini tak kunjung jelas muaranya. Permasalahan yang sebenarnya terjadi

karena ulah salah seorang “oknum” pun bisa diperpanjang dan

disangkut-pautkan dengan permasalahan antar golongan maupun etnis

tertentu yang sudah ada secara turun-temurun di masyarakat, meski

hanya diungkapkan di dalam komunitasnya.

Meskipun begitu, ternyata masyarakat di Kelurahan Muntilan

masih memiliki rasa kepercayaan yang besar terhadap figur-figur yang

menjalankan pranata atau norma sosial dan keagamaan, seperti guru,

perawat dan dokter, serta tokoh agama. Hal inilah yang seharusnya bisa

menjadi suatu pendukung terjadinya ikatan sosial di masyarakat,

sehingga tercipta suatu social linking yang positif dan dapat bekerja

dalam kelemahan maupun kelebihan di masyarakat.

Sejalan dengan masih adanya kepercayaan masyarakat terhadap

figur-figur yang menjalankan pranata atau norma sosial dan keagamaan

yang terjadi di Kelurahan Muntilan, sebagian besar masyarakat di Desa

Gunungpring menyatakan bahwa figur utama yang menjadi panutan dan

teladan di desanya adalah Bapak Iryanto, Kepala Desa terpilih yang kini

tengah menjabat. Karena figur kepemimpinan beliau yang kuat maka

masyarakat dengan mudah “dibawa” kearah perubahan yang positif

melalui proses pembelajaran bersama, guna memperkuat dan

melembagakan kembali modal sosial setempat.

173
Masyarakat di Desa Gunungpring cenderung menilai sebagian

besar orang-orang di sekitarnya dapat dipercaya (diolah dari wawancara

dengan warga Desa Gunungpring, April-Juli 2011). Ini menunjukkan

bahwa deposit kepercayaan di kalangan masyarakat Desa Gunungpring

masih cukup tinggi. Dalam pergaulan sehari-hari, tingkat kepercayaan ini

masih menunjukkan tingkat yang positif, termasuk dalam hal utang-

piutang. Masyarakat di Desa Gunungpring yang cenderung lebih besifat

homogen dibanding masyarakat di Kelurahan Muntilan juga lebih

memiliki tingkat kepercayaan yang relatif tinggi meskipun terhadap

orang-orang yang memiliki perbedaan latar belakang sosial, ekonomi,

dan budaya

Hal ini tampak dari adanya rasa saling memiliki dan rasa saling

tukar kebaikan antar warga masyarakatnya. Sikap saling mempercayai di

masyarakat Gunungpring meliputi adanya unsur kejujuran, kewajaran,

sikap egaliter, toleransi dan kemurahan hati. Hal ini sesuai dengan

definisi trust yang dipaparkan oleh Badaruddin et al. (2005). Sikap saling

percaya yang terbentuk di masyarakat Desa Gunungpring

memungkinkan mereka saling bersatu dengan yang lain dan memberikan

kontribusi pada peningkatan modal sosial.

Latar belakang masyarakat Desa Gunungpring yang turun-

temurun sebagai pedagang, membuat mereka terbuka dalam menerima

berbagai perbedaan di lingkungannya. Meski begitu, jika generasi muda

tak bisa menyaring pengaruh negatif yang datang seiring adanya

globalisasi, maka tak menutup kemungkinan rasa saling kepercayaan,

174
saling memiliki, maupun rasa saling tukar kebaikan yang selama ini

terjalin kuat perlahan-lahan akan memudar. Lambat laun hal ini akan

mendatangkan biaya tinggi bagi pembangunan karena masyarakat

cenderung bersikap apatis dan hanya menunggu apa yang diberikan oleh

pemerintah. Jika rasa saling mempercayai luntur maka yang akan terjadi

adalah sikap-sikap menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku.

Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi secara informal, cukup

banyak masyarakat di Kelurahan Muntilan yang menilai bahwa tingkat

kepercayaan dalam lingkungan mereka juga mulai pudar. Kesediaan

untuk bergotong-royong pun menunjukkan penurunan karena adanya

kesibukan dan aktivitas lain menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup.

Makna gotong royong pun tampaknya telah mulai menunjukkan

pergeseran karena tidak selalu harus berupa tenaga, tapi juga dalam

bentuk lain seperti uang, saran, dan fasilitas.

Pada dasarnya masyarakat di Kelurahan Muntilan sebenarnya

tidak berkeberatan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan bersama,

walau partisipasi yang dilakukan tidak secara langsung . Dengan kata

lain, rasa solidaritas masyarakatnya dirasa masih ada, meski

perwujudannya yang mengalami perubahan. Karena banyaknya

masyarakat yang sibuk bekerja, mereka umumnya lebih suka

menyumbangkan uang atau fasilitas untuk mendukung kegiatan bersama.

Sementara di Desa Gunungpring, masyarakat masih yakin bahwa

tingkat kepercayaan di masyarakat, yang diikuti dengan rasa saling

bertukar kebaikan masih cukup kuat dan akan selalu bisa menjadi

175
warisan turun-temurun kepada anak dan cucu mereka kelak. Hal ini

ditunjukkan dengan keramahtamahan yang terjalin antar anggota

masyarakat, kesetiaan dan moral tinggi, antusiasme terhadap apa yang

dikerjakan, mau mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan

masyarakat, serta rela menerima tanggung jawab atas aktivitas yang

dilakukan untuk memenuhi kewajibannya di masyarakat. Keseluruhan

yang terjadi di masyarakat Gunungpring menunjukan adanya kesatuan,

kereratan, dan saling menarik dari warganya. Bahkan hingga saat ini

masyarakat di Desa Gunungpring berhasil mempertahankan keberadaan

jaminan sosial tradisional (kolektif), ditengah maraknya keberadaan

jaminan sosial modern ala pemerintah.

4. Saling Tukar Kebaikan

Sebagian besar masyarakat di Desa Gunungpring menyatakan

ikut serta dalam kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat secara

sukarela. Umumnya, kegiatan kolektif yang dilakukan terkait dengan

pelaksanaan kegiatan agama (tahlilan, pernikahan, penguburan,

pengajian, dll), gugur desa maupun lingkungan, membangun sarana

umum, siskamling, posyandu, dan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat

sosial.

Bila ada warga yang tidak berpartisipasi, tidak ada kritik atau

sanksi terhadap yang bersangkutan, meski terkadang ada himbauan

terhadapnya. Himbauan ini biasanya diberikan oleh aparat pemerintah

setempat, seperti RT/RW maupun Kepala Desa. Aksi-aksi kolektif dan

kerjasama yang terjalin di masyarakat sangat ditentukan oleh kesadaran

176
pribadi warga, keterlibatan mereka dalam program-program pengentasan

kemiskinan pun dilakukan untuk kepentingan bersama. Demikian pula

jika ada warga yang mendapat musibah, maka secara otomatis sebagian

besar warga akan membantu.

Dengan demikian, dalam hal aksi kolektif, resiprositas dan

semangat altruism, kesadaran individual di kedua wilayah tersebut masih

tergolong tinggi. Pada masyarakat Gunungpring, berbagai problem sosial

dapat diminimalkan dan masyarakat lebih mudah membangun diri,

kelompok, lingkungan sosial serta fisik mereka secara mengagumkan.

Hal ini dikarenakan masyarakat Gunungpring memiliki sikap dan

orientasi nilai yang relatif terbuka, sehingga resiprositas yang kuat akan

memberikan dampak positif yang luas, baik untuk lingkungan sosial

sendiri maupun untuk kelompok masyarakat di luar lingkungannya.

Masyarakat di Kelurahan Muntilan yang sebenarnya juga

memiliki tingkat resiprositas yang kuat, ternyata tidak dapat

menghasilkan dampak positif yang cukup besar bagi kelompok

masyarakat lain. Hal ini dikarenakan sikap dan orientasi nilai yang

berkembang di beberapa kelompok masyarakat di Kelurahan Muntilan

relatif tertutup. Resiprositas yang kuat akan bernilai positif untuk

lingkungan sosialnya sendiri, sehingga tidak menghasilkan nilai positif

bagi kelompok masyarakat yang lain.

5. Kohesifitas Sosial

Masyarakat di kedua wilayah tersebut masih memiliki kohesifitas

sosial meskipun komposisi masyarakat di Kelurahan Muntilan semakin

177
heterogen. Perbedaan yang ada di masyarakat jarang menimbulkan

permasalahan apalagi perilaku kekerasan. Kalaupun ada perbedaan yang

berpotensi menimbulkan keresahan atau gangguan ketertiban di

lingkungan permukiman, umumnya bersumber dari perbedaan dalam hal

kekayaan atau kepemilikan barang materiil dan perbedaan identitas

maupun status sosial. Perbedaan ini biasanya akan memicu kesenjangan

dan prasangka sosial yang rawan bagi stabilitas sosial di lingkungan

komunitasnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan warga masyarakat

di Desa Gunungpring, hampir semua lokasi penelitian masyarakatnya

tidak memiliki prasangka sosial yang negatif terhadap pendatang maupun

masyarakat lain yang memiliki status sosial-ekonomi yang lebih lebih

tinggi.

Di Kelurahan Muntilan lokasi permukiman antara masyarakat

etnis Jawa dan Cina, juga antara warga Muslim dan non Muslim terpisah.

Namun, keterpisahan ini tidak menimbulkan permasalahan signifikan

karena interaksi di antara lapisan masyarakat masih dapat berlangsung

dengan lancar meski sering timbul prasangka-prasangka yang kurang

baik di antara mereka.

Interaksi sosial di kalangan warga yang berbeda status sosial-

ekonomi berjalan baik, sehingga kondisi lingkungannya damai. Walau

amat disayangkan karena akhir-akhir ini semakin sering terjadi pencurian

dan perampokan khususnya di wilayah Kelurahan Muntilan selatan yang

cenderung bersifat urban dengan status sosial-ekonomi yang lebih baik.

Dengan demikian, dari sisi kohesifitas dan inklusivitas sosial masyarakat

178
Desa Gunungpring relatif lebih tinggi dibandingkan dengan apa yang ada

di Kelurahan Muntilan.

6. Akses Informasi dan Komunikasi

Akses informasi dan komunikasi baik bagi kalangan Pra-KS,

KS-1, KS-2, KS-3, dan KS-3+ pun tidak menjadi permasalahan serius.

Masyarakat kini sudah mulai “melek” teknologi, sehingga akses mereka

dalam memperoleh informasi semakin meningkat. Dengan adanya

televisi dan handphone yang harganya relatif terjangkau, informasi dapat

diperoleh dengan mudah. Akses terhadap pelayanan listrik sudah dapat

dinikmati oleh seluruh warga, meskipun terkadang ada keluhan bahwa

pelayanan listrik masih belum optimal karena sering terjadi pemadaman

bergilir.

Akses transportasi juga relatif mudah meski ada beberapa

wilayah yang agak terpencil. Namun dengan adanya ojek dan motor yang

relatif mudah diperoleh secara kredit (mengangsur dalam jangka wajtu

tertentu), menyebabkan mobilitas masyarakat semakin tinggi.

Pembangunan jembatan penghubung antar dusun yang diinisiasi dari

PNPM Mandiri Perkotaan di Desa Gunungpring menyebabkan akses

transportasi lebih nyaman dan ringkas. Mobilisasi masyarakat di

wilayah-wilayah yang terpencil kini relatif lebih mudah karena

masyarakat tidak perlu lagi memutar jauh untuk sampai ke pusat kota.

Sebagian warga di Kelurahan Muntilan dan di Desa Gunungpring

bermata-pencaharian sebagai pedagang dan pegawai, sehingga rata-rata

179
bisa melakukan perjalanan ke luar daerahnya 1 hingga 7 kali setiap

minggunya.

7. Tindakan Proaktif

Masyarakat di kedua wilayah tersebut mayoritas sudah mampu

mengambil keputusan sendiri dalam kehidupannya, bahkan juga dalam

menentukan keputusan yang akan mengubah kehidupan mereka.

Sebagian besar dari mereka merasa cukup bahagia dengan keadaannya,

meskipun tidak sedikit masyarakat miskin di Kelurahan Muntilan yang

belum bisa menerima keadaannya karena masih banyaknya diskriminasi

yang mereka dapatkan.

Tingkat partisipasi politik masyarakat Gunungpring relatif tinggi,

tidak hanya sebatas memberikan suara pada pemilu, pilpres, dan pilkada.

Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya proposal usulan kolektif dari

warga masyarakat di level grassroot yang masuk di “meja” pemerintah,

sebagai upaya mendukung program pembangunan dan pengentasan

kemiskinan. Masyarakat Desa Gunungpring pun selalu dilibatkan dalam

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), sehingga

dengan begitu proses pembangunan dirasa lebih transparan dan tercipta

pola pemerintahan desa yang bersih dan baik.

Sedangkan yang terjadi di Kelurahan Muntilan justru sebaliknya,

tingkat partisipasi politik masyarakat miskin cenderung kurang, masih

sebatas memberikan suara pada Pemilihan Umum, Pemilihan Presiden,

dan Pemilihan Kepala Daerah. Meskipun telah ada mekanisme

Musrenbang yang dilaksanakan mulai dari level kelurahan, namun pada

180
praktiknya masyarakat umum jarang dilibatkan dalam forum tersebut.

Musrenbang hanya melibatkan sebagian kelompok masyarakat yang

umumnya merupakan kelompok elit di masyarakat, seperti aparat

pemerintah setempat maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat

yang memiliki pengaruh.

Hal tersebut menyebabkan minat warga masyarakat di level

grassroot dalam mengajukan usulan program pembangunan dan program

pengentasan kemiskinan secara kolektif kepada pemerintah masih dirasa

kurang, sehingga hal ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum dari

kelompok elit yang dekat dengan pejabat untuk mengeruk keuntungan

bagi dirinya maupun kelompoknya

Tingginya kualitas masyarakat dalam upaya pengentasan kemiskinan sangat

ditentukan oleh kuatnya modal sosial setempat. Selain itu, kualitas program

pengentasan kemiskinan di suatu desa/kelurahan sangat terkait erat dengan

perkembangan kegiatan perekonomian, pengurangan kemiskinan, dan

pengembangan modal manusia atau SDM. Berdasar analisis sikap dan persepsi

masyarakat dapat ditunjukkan bahwa gambaran perbaikan kelembagaan, perbaikan

sarana prasarana publik, dan peningkatan perekonomian di Desa Gunungpring

sangat baik dan bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Ini

berarti pelaksanaan program pengentasan kemiskinan di Desa Gunungpring lebih

berhasil dibandingkan di Kelurahan Muntilan.

Hal ini sejalan dengan apa yang berhasil diraih oleh Desa Gunungpring di

tahun 2010. Desa Gunungpring dinilai berhasil menyelenggarakan pemerintahan

desa secara baik, peningkatan ekonomi masyarakat Gunungpring menunjukan ke

181
arah yang cukup baik dengan rendahnya pengangguran yang telah terserap pada

bidang kerajinan dan industri kecil yang inovatif, kreatif, dan sangat bersinergi

dalam menunjang kemajuan wisata sekaligus pendidikan berbasis nilai-nilai budaya

dan religi yang tengah berkembang.

Program pengentasan kemiskinan yang digulirkan pemerintah melalui

PNPM Mandiri Perkotaan telah dapat diterima dan diikuti oleh masyarakat Desa

Gunungpring dengan baik. Dilihat dari dampaknya terhadap peningkatan kapasitas

dan kemampuan SDM di Desa Gunungpring juga menunjukkan gambaran yang

lebih baik dibanding di Kelurahan Muntilan. Sehingga, bisa dimengerti jika derajat

keberhasilan program pengentasan kemiskinan di Kelurahan Muntilan lebih rendah

dibanding di Desa Gunungpring dikarenakan sejak awal modal sosialnya cenderung

kurang.

TABEL 4.2
PERBANDINGAN MASYARAKAT BERDASARKAN
KONTINUM MODAL SOSIAL

Tingkat Perbandingan Masyarakat


Modal Sosial
Kelurahan Muntilan Desa Gunungpring
Hanya mengutamakan kesejahteraan Komitmen terhadap kesejahteraan orang
Ciri Utama sendiri; kerjasama terjadi sejauh bisa lain; kerjasama tidak terbatas pada
menguntungkan diri sendiri. Di kemanfaatan sendiri, tetapi juga kebaikan
sebagian masyarakat masih memiliki bersama
komitmen terhadap upaya bersama,
sehingga kerjasama akan terjadi jika
memberi keuntungan bagi orang lain

Nilai-nilai Efisiensi kerja Altruisme dipandang sebagai hal yang


baik dan diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat

Isu-isu Pokok Biaya transaksi: Tidakan kolektif:


Bagaimana biaya ini bisa dikurangi Bagaimana kerjasama (penghimpunan
untuk meningkatkan manfaat bersih sumberdaya) bisa berhasil dan
bagi masing-masing orang berkelanjutan

Strategi Kerjasama taktis Kerjasama Strategis

182
Kepentingan Instrumental Transendental
Bersama

Pilihan Bersuara, berusaha untuk memperbaiki Setia, menerima apapun jika hal itu baik
syarat pertukaran untuk kepentingan bersama

Teori Zero-sum: Positive-sum:


Permainan Pertukaran yang memaksimalkan Ditujukan untuk memaksimalkan
keuntungan sendiri bisa menghasilkan kepentigan sendiri dan kepentingan
positive-sum untuk mendapatkan manfaat bersama

Fungsi Independen, dengan utilitas bagi diri Interdependen positif, lebih banyak
Utilitas sendiri diperbesar melalui kerjasama penekanan diberikan bagi kemanfaatan
orang lain daripada keuntungan diri
sendiri

Sumber: hasil analisis penulis, 2011.

C. Modal Sosial: Kunci Pembuka Mengatasi Masalah Kemiskinan

Terbentuknya modal sosial tidak bisa dipandang sebagai hasil penjumlahan

sekumpulan individu pembentuk sistem masyarakat, melainkan harus dipandang

sebagai terbentuknya jaringan kerja sama yang dinamis dan terorganisir.

Terbentuknya jaringan kerja sama seperti yang telah dipaparkan diatas mengandung

dua makna bahwa penggabungan dan persenyawaan. Makna penggabungan

diibaratkan pencampuran elemen gula, air panas, dan teh untuk menghasilkan

secangkir minuman teh hangat. Sedangkan makna persenyawaan diibaratkan

mensenyawakan elemen hidorogen (atom H) dan oksigen (atom O) untuk

menghasilkan air (H2O). Jika kesadaran kolektif di masyarakat bisa diarahkan untuk

melakukan kerja sama dalam kegiatan umum (Pretty, 2003). Seperti dalam memberi

akses dalam pelayanan perekonomian, maka saat itulah baru bisa dikatakan bahwa

modal sosial bisa dijadikan kekuatan untuk mendukung upaya di pengentasan

kemiskinan. Keberhasilan program pengentasan kemiskinan merupakan bagian dari

hasil kerjasama dan gotong-royong masyarakat setempat.

183
Ciri khusus dari modal sosial yang dimiliki oleh kelompok masyarakat

miskin adalah ikatan yang kuat dan hubungan intensif diantara mereka. Namun

demikian, modal sosial di setiap level memiliki kelebihan dan kekurangannya,

khususnya jika keterikatan yang terjadi antar kelompok sangat kuat. Modal sosial

berkaitan erat dengan ketertinggalan yang terjadi di suatu komunitas masyarakat.

Dalam jangka panjang ketertinggalan ini berpeluang besar memunculkan degradasi

sosial ke tingkat yang semakin parah. Kemiskinan kultural merupakan bentuk paling

akhir terjadinya degradasi sosial karena semakin lemahnya modal sosial setempat.

Perkembangan dari program pengentasan kemiskinan adalah bagian dari

transformasi sosio-budaya masyarakat setempat. Jika upaya yang dilakukan hanya

mengandalkan rehabilitasi fisik, peluang untuk berhasil relatif kecil. Namun jika

upaya tersebut diintegrasikan dengan penguatan modal sosial secara komprehensif,

maka peluang keberhasilannya akan relatif besar. Dampak dari penguatan modal

sosial ini baru akan teramati setelah program-program pengentasan kemiskinan yang

telah diinisiasi oleh pemerintah bisa suistanable dan menjadi bagian dari

transformasi sosio-budaya pada masyarakat setempat. Modal sosial dibutuhkan

dalam rangka membangun kerjasama yang baik di masyarakat, sehingga bisa

tercipta wadah perjuangan kaum miskin, yang mandiri dan berkelanjutan dalam

menyuarakan aspirasi serta kebutuhan mereka dan mampu mempengaruhi proses

pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal,

baik aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, maupun lingkungan (dalam Pranadji,

2001 dan Rozaki, 2006).

Usaha-usaha pengentasan kemiskinan secara berkelanjutan tidak cukup jika

hanya dilandaskan pada pemberian bantuan material berdasar semangat belas

184
kasihan atau pengembangan sistem usaha perekonomian produktif berbasis fisik,

melainkan harus juga mempertimbangkan penguatan semangat kerja kolektif dan

menghormati kearifan lokal milik bersama. Ada beberapa aspek yang menunjukkan

penguatan modal sosial, yaitu: adanya sikap saling percaya, terbentuknya kerja sama

dan kohesifitas, pranata sosial yang kuat, saling tukar kebaikan, serta perluasan

jaringan (bermakna peningkatan partisipasi) guna peningkatan daya saing kolektif

secara berkelanjutan, seperti apa yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Di

lapangan teramati bahwa kekuatan modal sosial tersebut dibangkitkan oleh sejumlah

nilai-nilai yang membentuk jaringan mutual trust, mutual respect dan mutual benefit

(Pranadji, 2001). Nilai-nilai tersebut merupakan komponen modal sosial yang

strategis.

Kombinasi penguatan dari sejumlah nilai-nilai modal sosial yang ada di

masyarakat, sekaligus gabungan antara nilai rasa malu, empati, keberpihakan dan

altruisme merupakan hal yang sangat penting. Gabungan dari nilai-nilai penguatan

modal sosial yang telah dibahas sebelumnya merupakan komponen penting untuk

pembuatan model pemberdayaan masyarakat dalam mengentaskan kemiskinan

secara berkelanjutan. Suatu kelompok masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi

akan membuka kemungkinan menyelesaikan kompleksitas persoalan dengan lebih

mudah. Hal ini memungkinkan terjadi terutama pada masyarakat yang terbiasa

hidup dengan rasa saling mempercayai yang tinggi. Masyarakat yang bersatu dan

memiliki hubungan keluar lingkungan kelompoknya secara intensif, dengan

didukung oleh semangat kebaikan untuk hidup saling menguntungkan akan

merefleksikan kekuatan modal sosial itu sendiri.

185
Kekuatan modal sosial di tingkat RW/dusun juga terlihat sangat menentukan

kekuatan modal sosial tingkat desa/kelurahan. Hanya sayangnya, kekuatan modal

sosial di tingkat RW/dusun pada setiap desa/kelurahan tidaklah sama. Hal tersebut

menunjukkan bahwa masing-masing masyarakat di tingkat RW/dusun memiliki

kekhasan komposisi nilai-nilai dasar, yang diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-

hari untuk membangun modal sosial setempat. Peran kepemimpinan sangat penting

dalam penguatan modal sosial setempat. Kepemimpinan formal mendapat tempat

tersendiri di masyarakat. Namun demikian, peran kepemimpinan non-formal

umumnya memiliki pengaruh lebih nyata dalam membangun dan memelihara modal

sosial. Memperkuat basis kepemimpinan pada tokoh non-formal setempat untuk

menguatkan modal sosial setempat dinilai memberikan jaminan lebih baik daripada

harus mengandalkan pada tokoh formal atau tokoh dari desa/kelurahan yang belum

tentu bisa membawa pengaruh positif bagi masyarakat yang dipimpinnya.

Di Desa Gunungpring yang merupakan daerah bercorak rural, kelompok

yang banyak berperan dalam kehidupan masyarakat adalah kelompok pedagang,

kelompok pengajian, dan kelompok warga di lingkungan permukiman. Tingkat

partisipasi dalam kelompok cenderung tinggi, demikian pula tingkat kepercayaan

dan resiprositas masyarakatnya yang ditandai dengan tingginya aksi kolektif dan

kerjasama antar warga masyarakat. Meski daerah rural, namun informasi dan

komunikasi sudah dapat diakses secara luas, dan sudah mulai mengandalkan

teknologi informasi modern seperti internet. Kohesi dan inklusivitas sosial relatif

tinggi karena masyarakatnya homogen.

Tindakan proaktif seperti misalnya dalam partisipasi politik yang bersifat

konvensional dengan memberi suara dalam pemilu dan pilkada relatif tinggi. Hal ini

186
juga diimbangi dengan tingginya tidakan proaktif (partisipasi politik) yang bersifat

otonom, seperti menghubungi pejabat pemerintah, mengajukan usulan kepada

pemerintah, masyarakat selalu mengikuti setiap proses pengambilan kebijakan yang

dilakukan aparat pemerintah/elit.

Secara keseluruhan, pemanfaatan modal sosial dalam penanggulangan

kemiskinan di daerah ini sudah mulai dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat

secara umum, bersifat sustainable, dan kolektif. Meski kelompok yang dominan

berada di lingkungan internal permukiman dan beranggotakan masyarakat

permukiman itu sendiri, namun akses terhadap sumber daya dari luar yang

semestinya terbatas ternyata bisa diatasi dengan adanya keterbukaan antar warga

masyarakat. Keterbukaan ini mengakibatkan informasi baru dari luar dengan cepat

terserap dan masyarakat di level bawah tak lagi gagap teknologi. Hubungan dengan

kelompok-kelompok di luar lingkungan permukiman pun terjalin dengan baik.

Masyarakat sudah mulai berdaya dan bisa berbaur dengan lingkungan di luar

wilayahnya. Hal ini menyebabkan banyaknya tawaran kerjasama dari beberapa

stakeholder untuk mengembangkan potensi di desa tersebut.

Kecenderungan untuk berhubungan dengan orang-orang dengan kemampuan

ekonomi setara memang masih tinggi, namun hal ini tidak menyebabkan masyarakat

sulit memperoleh bantuan bila terkena musibah mendadak. Masyarakat memiliki

jaminan sosial tradisional yang dikumpulkan satu bulan sekali dalam kegiatan

arisan. Sehingga ketika di antara warganya terkena musibah mendadak mereka

senantiasa siap membantu mengurangi beban. Modal sosial setempat pun dapat

dimanfaatkan dengan maksimal untuk menunjang kegiatan-kegiatan produktif.

187
Lembaga-lembaga lokal yang kuat dengan berbagai kreativitas yang dihasilkan oleh

sumber daya manusia yang selalu diarahkan untuk berpikir visioner.

Berdasarkan karakteristik modal sosial dan pemanfaatannya selama ini

dalam penanggulangan kemiskinan, maka model pemanfaatan modal sosial untuk

penanggulangan kemiskinan di daerah ini diarahkan untuk penguatan jejaring

kerjasama antar kelompok secara eksternal (di luar lingkungan

permukiman/komunitas). Selain itu, peningkatan kapasitas kepemimpinan para

tokoh masyarakat sangat diperlukan sehingga tokoh masyarakat yang ada tidak

hanya sebagai simbol kepercayaan masyarakat, tetapi juga mampu memberi

dorongan positif bagi pembangunan masyarakat.

Pemerintah daerah dapat memfasilitasi pelatihan-pelatihan bagi para tokoh

masyarakat agar dapat melaksanakan peran advokasi atau pendampingan terhadap

masyarakat sekitarnya. Selain itu, juga diperlukan peningkatan kapasitas

kelembagaan dari kelompok-kelompok masyarakat yang ada, misalnya berupa

pelatihan manajerial dan kepemimpinan, sehingga dapat mengembangkan jejaring

kerjasama dengan kelompok lain intra dan ekstra komunitas. Pemberian insentif,

termasuk berupa pelembagaan praktik-praktik lokal yang menunjang social safety

net, misalnya pembangunan sentra kerajinan di sekitar kawasan wisata juga dapat

menjadi alternatif untuk meningkatkan kapasitas modal sosial dalam

penanggulangan kemiskinan.

188
TABEL 4.3
PEMANFAATAN MODAL SOSIAL DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN
DI DESA GUNUNGPRING (WILAYAH RURAL)

Karakteristik Modal Pemanfaatan dalam Pengembangan Modal


Sosial Pengentasan Kemiskinan Sosial

 Kelompok dominan adalah  Pemanfaatan modal sosial  Pengembangan modal


kelompok pengajian, dalam penanggulangan sosial untuk
kelompok pedagang, dan kemiskinan dimanfaatkan untuk penanggulangan
kelompok warga di kepentingan masyarakat umum, kemiskinan diarahkan
lingkungan permukiman. bersifat sustainable, dan untuk penguatan jejaring
kolektif. kerjasama antar kelompok
 Tingkat partisipasi dalam secara eksternal (di luar
kelompok cenderung tinggi.  Meski kelompok yang dominan lingkungan permukiman).
berada di lingkungan internal
 Tingkat kepercayaan dan permukiman dan  Peningkatan kapasitas
solidaritas relatif tinggi. beranggotakan masyarakat kepemimpinan para tokoh
permukiman itu sendiri, namun masyarakat sehingga
 Aksi kolektif dan kerjasama akses terhadap sumber daya mampu memberi dorongan
relatif tinggi. dari luar sudah sangat luas positif bagi pembangunan.

 Meski daerah rural, akses  Keterbukaan mengakibatkan  Peningkatan kapasitas


informasi dan komunikasi informasi baru dari luar dengan kelembagaan dari
sudah dapat diakses secara cepat terserap dan masyarakat kelompok-kelompok
luas, dan sudah mulai di level bawah tak lagi gagap masyarakat yang ada,
mengandalkan teknologi teknologi. misalnya berupa pelatihan
informasi modern seperti manajerial dan
internet Kohesi dan  Hubungan dengan kelompok di kepemimpinan, sehingga
inklusivitas sosial relatif luar lingkungan permukiman dapat mengembangkan
tinggi karena masyarakatnya terjalin dengan baik. jejaring kerjasama dengan
homogen. kelompok lain intra dan
 Masyarakat mulai berdaya dan ekstra komunitas.
 Tindakan proaktif, seperti dapat berbaur dengan
misalnya dalam partisipasi lingkungan di luar kelompok  Pemberian insentif,
politik yang bersifat maupun di luar wilayahnya. termasuk berupa
konvensional dengan pelembagaan praktik-
memberi suara dalam pemilu  Kecenderungan untuk praktik lokal yang
dan pilkada relatif tinggi. berhubungan dengan orang- menunjang social safety net,
orang berkemampuan ekonomi misalnya pembangunan
 Tidakan proaktif yang setara memang masih tinggi, sentra kerajinan di sekitar
bersifat otonom, seperti namun hal ini tidak kawasan wisata.
menghubungi pejabat menyebabkan masyarakat sulit
pemerintah, mengajukan memperoleh bantuan apabila
usulan kepada pemerintah terkena musibah yang
relatif tinggi, masyarakat pun mendadak.
selalu mengikuti setiap
proses pengambilan  Modal sosial setempat dapat
kebijakan yang dilakukan dimanfaatkan oleh masyarakat
aparat pemerintah maupun secara maksimal untuk
kelompok elit di masyarakat. menunjang berbagai kegiatan
produktif.

Sumber: hasil analisis penulis, 2011.

189
Masyarakat di Kelurahan Muntilan yang bercorak urban di wilayah selatan,

dan rural-pertanian di wilayah utara, atau bisa disebut sebagai kawasan ”pheri

urban”. Dimana Kelurahan Muntilan merupakan wilayah kedesaan yang kini

mengalami perubahan menuju sifat kekotaan. Secara keseluruhan kelompok

dominan adalah kelompok keagamaan, kelompok profesi, dan kelompok warga di

lingkungan permukiman. Meskipun ada beberapa kelompok petani di daerah utara

namun keberadaannya masih kurang diperhitungkan karena bukan kelompok

dominan. Di wilayah ini partisipasi dalam kelompok-kelompok lain, seperti

organisasi massa, partai politik, dan koperasi, juga sudah berkembang sehingga

akses dan hubungan dengan kelompok-kelompok masyarakat lain dari luar

lingkungannya relatif luas.

Tingkat partisipasi individu cenderung rendah, masyarakat cenderung apatis

karena biasanya baru terlibat dalam suatu kegiatan jika diundang. Tingkat

kepercayaan dan proaktivitas di masyarakat secara umum relatif rendah. Biasanya

masyarakat akan saling bertukar kebaikan jika didasari oleh motif-motif tertentu

yang menguntungkan, misalnya agar bisa dipandang oleh orang lain, agar disegani

di masyarakat, dll.

Aksi kolektif dan kerjasama di dalam kelompok relatif kuat, namun di luar

kelompok (antar kelompok) cenderung rendah. Heterogenitas masyarakat cenderung

menjadi beban daripada modal bagi suatu wilayah. Hal ini terlihat dari munculnya

berbagai masalah yang sumbernya berbau pada kemajemukan, khususnya bidang

agama. Dalam kehidupan kelompok di masyarakat Muntilan, agama seringkali

diisolasi dari persoalan publik. Permasalahan agama yang sudah mengakar rumput

jika tidak segera diselesaikan dapat memunculkan konflik antar kelompok

190
keagamaan di Kelurahan Muntilan, yang kini mulai mengalami kemunduran atas

rasa dan semangat kebersamaan yang sudah dibangun. Intoleransi semakin menebal

ditandai dengan meningkatnya rasa benci dan saling curiga diantara kelompok

masyarakat, bahkan kini mulai mempengaruhi hubungan antar individu di masing-

masing kelompok.

Hegemoni mayoritas atas minoritas semakin menebal, mengganti kasih

sayang, tenggang rasa, dan semangat untuk berbagi. Intoleransi muncul akibat

hilangnya komitmen untuk menjadikan toleransi sebagai jalan keluar untuk

mengatasi berbagai persoalan di masyarakat. Dalam perspektif keagamaan,

kelompok agama yang ada di Kelurahan Muntilan belum memegang keyakinan

bahwa nilai dasar dari setiap agama adalah toleransi. Akibatnya, muncul intoleransi

antarumat beragama yang bisa menjadi duri dalam daging bagi kehidupan

masyarakat Kelurahan Muntilan. Tertib sipil dipertentangkan dengan tertib

“versi” agama. Perilaku terkait agama seolah berada di luar hukum sekuler.

Ambiguitas penjamin tertib sipil turut menyuburkan watak primordial bangsa.

Ekslusivisme dan intoleransi agama telah mengorbankan tertib sipil.

Saat ini orang miskin semakin banyak, namun yang naik haji juga banyak.

Ini karena agama kurang dikontektualisasikan dan dijadikan solusi atas berbagai

masalah sosial. Jadi kurang adanya pembahasan tentang tanggung jawab sosial umat

beragama. Sebagai contoh dalam Islam ada ajaran untuk menyantuni orang miskin.

Namun yang sekarang banyak diserukan adalah perintah membayar zakat.

Sedangkan bagaimana cara orang bisa zakat, kemana zakat disalurkan dan

bagaimana zakat itu dikelola agar bermanfaat bagi kaum dhuafa masih kurang

diagendakan, sehingga masih sebatas wacana.

191
Suburnya sikap penolakan yang berujung hambatan beribadah bagi umat lain

yang semestinya terjadi di negara komunis, justru melanda kota kecil di negara yang

menjunjung ketuhanan. Pemerintah di level paling bawah yang seharusnya bisa

secara langsung berperan dalam mendisiplinkan warga agar tidak membiasakan diri

menebar kebencian primordial nyatanya justru larut dalam situasi tersebut. Agama

yang seharusnya bisa menjadi energi positif dalam penguatan modal sosial justru

melanggengkan sentimen kekamian yang lambat laun dapat menggerus makna

kekitaan.

Akses informasi dan komunikasi masyarakat di Kelurahan Muntilan yang

relatif tinggi tidak sebanding dengan penggunaannya bagi kepentingan bersama.

Secara garis besar kohesi dan inklusivitas sosialnya pun relatif rendah karena

masyarakatnya heterogen dan cenderung individualistis. Tindakan proaktif berupa

partisipasi politik yang bersifat konvensional (memberi suara dalam pemilu dan

pilkada) cenderung rendah. Partisipasi politik yang bersifat otonom, seperti

menghubungi pejabat pemerintah dan mengajukan usulan kepada pemerintah

cenderung tinggi ketika hal tersebut bisa mengakomodasi kepentingan pribadi

masing-masing maupun kepentingan golongan tertentu. Meski begitu, beberapa RW

di Muntilan Selatan cenderung selalu “kritis” dalam pengambilan kebijakan

pemerintah dikarenakan figur pemimpin lokal (non-formal) memiliki gaya

kepemimpinan yang baik. Akses terhadap sumber daya dari luar cukup tinggi,

sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan jejaring kerjasama yang lebih

luas dengan melibatkan lebih banyak pelaku.

Ketimpangan kekuatan modal sosial antara wilayah utara dan selatan pun

kentara terlihat. Paling tidak ada tiga penyebab terjadinya ketimpangan kekuatan

192
modal sosial tersebut, yakni karena perbedaan gaya kepemimpinan, manajemen

sosial, dan hubungan elit dengan anak buah. Di wilayah selatan yang notabene lebih

maju elemen kepemimpinan non-formal, yang terkait dengan kemampuan pemimpin

dalam melakukan komunikasi dengan anak buahnya, kemampuan khusus yang

dimiliki pemimpin, menggalang kebersamaan (solidarity maker), dan menegakkan

prinsip musyawarah dalam pengambilan keputusan bersama lebih kuat dibanding

yang terdapat di wilayah utara. Hal ini menyebabkan modal sosial di level kelurahan

lemah dan mudah terombang-ambing karena sulitnya dibangun social bridging yang

menghubungkan antara RW.

Modal sosial belum bisa dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan atau

pengentasan kemiskinan karena biasanya untuk mengatasi masalah kemiskinan

dilakukan melalui hubungan formal, misalnya dengan meminjam uang ke bank, dll.,

sehingga pola hubungan sosial bersifat kontraktual. Hubungan dengan kelompok-

kelompok di luar lingkungan permukiman banyak dilakukan tetapi bersifat personal

dan dampaknya belum dirasakan oleh komunitas secara keseluruhan. Cukup banyak

jenis pelayanan yang dapat diperluas aksesnya, namun karena hubungan sosial

bersifat kontraktual maka sulit membangun komitmen masyarakat dan kepercayaan

untuk saling bekerjasama di wilayah ini.

Modal sosial juga belum bisa dimanfaatkan untuk menunjang kegiatan-

kegiatan produktif karena kecenderungan hubungan sosial yang individualistis dan

bersifat kontraktual menyebabkan masyarakat cenderung apatis untuk

mengembangkan komunitasnya. Dengan demikian, pada model ini, pengembangan

modal sosial diarahkan untuk mengembangkan kapasitas berorganisasi, membangun

jejaring kerjasama, serta meningkatkan partisipasi di ranah publik agar

193
jangkauannya semakin luas. Konsep “kekitaan” harus dikelola menjadi sebuah

modal sosial untuk menjadi bangsa yang maju dan terhormat sehingga mampu

menjadi suatu faktor yang mempercepat transformasi peradaban.

Keberadaan institusi mediasi, seperti ormas, parpol, dan kelompok profesi di

lingkungan komunitas dengan kualitas sumber daya manusia yang relatif terdidik

dapat diberdayakan untuk menjembatani aspirasi masyarakat dengan pemerintah

dalam pembuatan kebijakan (artikulasi kepentingan). Pemerintah setempat (di

tingkat RW, Kelurahan atau Kecamatan) dapat mengembangkan ruang publik yang

memungkinkan terjadinya interaksi sosial yang lebih luwes antarwarga, misalnya

dengan membangun sarana olahraga, taman, pasar, dll., sehingga tidak ada gap atau

prasangka antarwarga yang beragam status sosial ekonominya. Sehingga, kelompok

masyarakat yang relatif mampu secara ekonomi dapat didorong untuk berpartisipasi

dengan mengembangkan skema kemitraan sosial, untuk membantu penyediaan

fasilitas publik yang dapat digunakan bersama. Ketika keberagamaan dapat

dimaklumi dan diterima dengan baik oleh seluruh lapisan masyarakat, maka

keberagaman tersebut akan mencerdaskan, membebaskan, dan memartabatkan

masyarakat.

194
TABEL 4.4
PEMANFAATAN MODAL SOSIAL DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN
DI KELURAHAN MUNTILAN (WILAYAH PHERI URBAN)

Karakteristik Modal Pemanfaatan dalam Pengembangan Modal


Sosial Pengentasan Sosial
Kemiskinan

 Kelompok dominan adalah  Modal sosial belum bisa  Pengembangan modal sosial
kelompok keagamaan, dimanfaatkan untuk diarahkan untuk
kelompok profesi, dan pemenuhan kebutuhan atau mengembangkan kapasitas
kelompok warga di pengentasan kemiskinan. berorganisasi, membangun
lingkungan permukiman. jejaring kerjasama dan
 Untuk mengatasi masalah partisipasi di ranah publik
 Tingkat partisipasi individu kemiskinan dilakukan yang makin luas.
cenderung rendah, melalui hubungan formal,
masyarakat cenderung apatis. misalnya dengan meminjam  Keberadaan institusi mediasi,
uang ke bank, dll., sehingga seperti ormas, parpol, dan
 Tingkat kepercayaan dan pola hubungan sosial kelompok profesi di
proaktivitas di masyarakat bersifat kontraktual. lingkungan komunitas dengan
secara umum relatif rendah. kualitas sumber daya manusia
 Hubungan dengan yang relatif terdidik dapat
 Aksi kolektif dan kerjasama di kelompok-kelompok di luar diberdayakan untuk
dalam kelompok relatif kuat, lingkungan permukiman menjembatani aspirasi
namun di luar kelompok banyak dilakukan tetapi masyarakat dengan
(antar kelompok) cenderung bersifat personal dan pemerintah dalam pembuatan
rendah. dampaknya belum dirasakan kebijakan.
oleh komunitas secara
 Akses informasi dan keseluruhan.  Pemerintah setempat (di
komunikasi relatif tinggi. tingkat RW, Kelurahan atau
 Akses terhadap sumber daya Kecamatan) dapat
 Kohesi dan inklusivitas sosial dari luar pun cukup tinggi, mengembangkan ruang publik
relatif rendah karena sehingga dapat yang memungkinkan
masyarakatnya heterogen dan dimanfaatkan untuk terjadinya interaksi sosial yang
cenderung individualistis. mengembangkan jejaring lebih luwes antarwarga,
kerjasama yang lebih luas misalnya dengan membangun
 Tidakan proaktif berupa dengan melibatkan lebih sarana olahraga, taman, pasar,
partisipasi politik yang banyak pelaku. dll.
bersifat konvensional
cenderung rendah.  Hubungan dengan  Kelompok masyarakat yang
kelompok-kelompok di luar relatif mampu secara ekonomi
 Partisipasi politik yang lingkungan permukiman dapat didorong untuk
bersifat otonom, cenderung banyak dilakukan tetapi berpartisipasi dengan
tinggi ketika hal tersebut bisa bersifat personal dan mengembangkan skema
mengakomodasi kepentingan dampaknya belum dirasakan kemitraan sosial, untuk
pribadi masing-masing oleh komunitas secara membantu penyediaan fasilitas
maupun kepentingan keseluruhan. publik yang dapat digunakan
golongan tertentu. bersama.
 Modal sosial belum
dimanfaatkan untuk
menunjang kegiatan-
kegiatan produktif karena
kecenderungan hubungan
sosial yang individualistis
dan kontraktual.

Sumber: hasil analisis penulis, 2011.

195
Dari segi politik, keragaman di suatu negara merupakan pemicu timbulnya

konflik dan ketidakstabilan politik. Ada pula yang menghubungkan konflik dengan

sistem politik. Studi sementara memberi dukungan kepada pernyataan bahwa negara

yang menerapkan demokrasi atau autokrasi secara murni akan menekan timbulnya

konflik. Sebab demokrasi memberikan ruang bagi rakyat untuk menyampaikan

keluh kesah, sementara autokrasi tidak memberi ruang bagi mobilisasi massa,

sehingga peluang bagi konflik yang terbuka akan terbungkam. Akan tetapi bagi

negara yang berada diantara demokrasi dan autokrasi atau yang sedang dalam proses

ke arah demokrasi, peluang terjadinya konflik justru lebih tinggi.

Sementara dari sisi ekonomi, keragaman diduga ikut mempengaruhi

lambatnya pertumbuhan ekonomi, pendapatan, dan tingkat keberhasilan penerapan

kebijakan ekonomi. Hal ini terkait dengan hancurnya institusi-institusi ekonomi dan

institusi yang mengatur manajemen konflik sebagai akibat dari konflik itu sendiri.

Dari segi psikologi sosial, masyarakat heterogen sudah semestinya berusaha

ekstra keras dalam membangun rasa modal sosial diantara mereka ketimbang

masyarakat yang homogen. Ketimpangan ekonomi, akses politik, dan hal lain yang

termasuk dalam perbedaan suku, agama, dan ras akan dengan mudah tersulut

menjadi konflik. Kemajemukan dalam hal sistem nilai dan norma ikut

mempengaruhi kelancaran komunikasi dan interaksi diantara pemangku

kepentingan.

Kelemahan utama dari program pengentasan kemiskinan selama ini adalah

karena terlalu menekankan pada penguatan modal prasarana, penggunaan jaringan

organisasi keproyekan dan pemerintahan yang bersifat sentralistik, top-down, dan

monolitik, sehingga mengabaikan variabel-variabel kultural yang sedang dan terus

196
berkembang di masyarakat. Oleh karenanya, model yang dianggap sesuai adalah yang

mengacu pada evolusi modal sosial secara menyeluruh. Untuk mencapai hal tersebut perlu

dilengkapi dengan adanya sikap saling percaya, terbentuknya kerja sama dan kohesifitas,

pranata sosial yang kuat, saling tukar kebaikan, serta perluasan jaringan (bermakna

peningkatan partisipasi) guna peningkatan daya saing kolektif secara berkelanjutan yang

diupayakan melalui penguatan modal sosial dengan memadukan kekuatan kelompok-

kelompok kecil masyarakat di tingkat RW/dusun.

Pembangunan yang mengabaikan dimensi modal sosial sebagai pendorong

munculnya kekuatan masyarakat dan bangsa, tidak saja akan kehilangan fondasi

kemasyarakatan yang kuat, tetapi juga akan mengalami stagnasi dan kesulitan untuk

keluar dari berbagai krisis yang dialami. Sebagai energi, modal sosial akan efektif

memberikan dorongan keberhasilan bagi berbagai kebijakan, baik yang dilakukan

oleh pemerintah maupun oleh pihak-pihak lain (dalam Soetomo, 2011: 11)

Keyakinan ini didasarkan pada kekuatan yang dimilikinya guna merangsang

masyarakat dalam membangun secara swadaya, yang hasilnya akan memaksimalkan

pencapaian dari setiap kebijakan pembangunan yang dibuat oleh pemerintah.

Seyogyanya, peran pemerintah dalam hal ini dipandang sebagai representasi campur

tangan publik untuk memenuhi kebutuhan dan melayani kepentingan masyarakat.

Dengan demikian, intervensi kebijakan yang dapat dilakukan adalah dengan

melakukan intervensi di level micro-community (keluarga, tetangga, kelompok

keagamaan), terutama bagi kelompok masyarakat miskin. Intervensi tersebut bukan

hanya sekedar melibatkan mereka dalam proses kebijakan (reach out atau inklusif)

namun terutama adalah membaurkan mereka pada komunitas masyarakat yang

memiliki strata ekonomi yang lebih mapan (scaled up), sehingga akan terbentuk

jejaring baru antar strata (cross cutting ties).

197
Mengingat bahwa budaya patron-client masih hidup dengan subur, terutama

di kawasan yang bercorak rural, maka kegiatan pengembangan modal sosial tidak

bisa dilepaskan begitu saja, tanpa melibatkan tokoh-tokoh masyarakat di dalam

komunitas tersebut. Menurunnya partisipasi masyarakat, diasumsikan karena

intensitas tokoh masyarakat dalam kegiatan kemasyarakatan mengalami penurunan

pula. Karena itu, hal pertama yang harus dilaksanakan, adalah memberikan

pemahaman secara mendalam dalam bentuk pelatihan-pelatihan kepada tokoh-tokoh

masyarakat untuk kembali meningkatkan sensibilitas mereka terhadap

permasalahan-permasalahan sosial di sekitarnya.

D. Penguatan Modal Sosial: Melindungi Masyarakat dari Kerentanan

Krisis telah memperparah kerentanan banyak kelompok masyarakat dan

menciptakan kerentanan baru yang membutuhkan langkah-langkah perlindungan

khusus. Belum lagi berbagai bencana alam yang tidak pernah berhenti mendera

Bangsa Indonesia di sepanjang “musim” reformasi ini. Dalam situasi tersebut,

masyarakat di level bawah menjadi semakin rentan terhadap ancaman kenaikan

harga bahan pokok, perbaikan pelayanan dan fasilitas kesehatan, mahalnya biaya

pendidikan, yang tentu saja akan dengan mudah mendorong mereka jatuh dalam

kemiskinan yang berkepanjangan.

Meskipun telah dilakukan perbaikan dalam bidang pendidikan dan

kesehatan, pelayanan publik dan standar kesehatan, Indonesia masih tertinggal dari

negara lain yang berpendapatan menengah. Tingginya tingkat kerawanan gizi anak

dan kematian ibu, serta kurangnya akses pendidikan, perekonomian, air bersih dan

sanitasi adalah masalah yang sering dialami oleh penduduk miskin. Oleh karenanya,

198
tantangan yang harus kita jawab adalah bagaimana mengentaskan kemiskinan di

masyarakat yang selama ini rentan dengan berbagai persoalan pembangunan.

Secara filosofis, Magnis dan Suseno (2001) menyatakan bahwa masyarakat

jangan hanya dijadikan obyek dalam pembangunan, namun harus dijadikan sebagai

subyek pembangunan. Oleh karenanya, penguatan modal sosial di masyarakat untuk

melindungi masyarakat dari kerentanan mutlak diperlukan. Dalam kultur

masyarakat kita, di kawasan perkotaan sekali pun, masyarakat mempunyai

seperangkat nilai yang dijunjung bersama. Perangkat itulah yang menghasilkan rasa

saling percaya, yang muaranya akan meningkatkan partisipasi masyarakat untuk

merespons isu-isu di sekitar lingkungannya.

Robert Putnam (1993: 35-42), misalnya, meyakini bahwa modal sosial

menghasilkan nilai saling percaya di antara anggota masyarakat, termasuk

menghasilkan hubungan yang sinergis antara masyarakat dan pemimpinnya. Dalam

pengertian ini, Putnam menggarisbawahi bahwa modal sosial adalah mekanisme

sosial yang terdiri atas jaringan (network), norma (norms), dan kepercayaan sosial

(social trust). Unsur-unsur tersebut terbukti dan terus diyakini mampu menjadi

stimulan untuk mewujudkan kolaborasi sosial yang harmonis di masyarakat. Modal

sosial di sini bisa dimaknai sebagai sumberdaya kelompok masyarakat yang berasal

dari jaringan sosial yang terlembagakan dengan baik, sehingga para anggota

kelompok masyarakat tersebut mempunyai dukungan kolektif untuk melakukan

sesuatu. Hubungan di dalam suatu kelompok masyarakat, misalnya persahabatan,

komunitas di sebuah perumahan, kehidupan bertetangga di kampung, dapat terjalin

rapi menjadi suatu hubungan jangka panjang yang didasari oleh rasa kepedulian dan

perhatian.

199
Dengan demikian, kelompok masyarakat seperti arisan ibu-ibu, kelompok

keagamaan, perkumpulan pengusaha, kelompok pelajar, paguyuban pedagang, dan

lain sebagainya, merasa memiliki kewajiban terhadap pihak lainnya. Hal tersebut

sangat relevan untuk diterapkan, khususnya guna meningkatkan tindakan kolektif

warga masyarakat dalam pembangunan, termasuk dalam upaya penguatan modal

sosial masyarakat bagi pengentasan kemiskinan. Lewat penguatan modal sosial,

mekanisme tanggung jawab muncul dari diri internal warga, bukan karena dorongan

maupun paksaan pemerintah melalui perangkat keras berupa regulasi. Hal ini juga

menjadi soft campaign bagi upaya menumbuhkembangkan energi sosial di

masyarakat yang nantinya dapat menggerakkan proses dan dinamika pembangunan

secara mandiri.

Secara lebih terstruktur, penguatan modal sosial di masyarakat akan dapat

berkontribusi secara signifikan terhadap upaya-upaya mengatasi persoalan

kemiskinan, baik itu kemiskinan struktural maupun kemiskinan kultural. Berikut

akan dipaparkan beberapa alasan yang dapat meyakinkan khalayak bahwa

penguatan modal sosial setempat benar-benar dapat melindungi masyarakat dari

keretanan yang terjadi akibat adanya dinamika sosial maupun perubahan gaya hidup

di suatu masyarakat.

Pertama, di tingkat individu, modal sosial bisa mendekatkan antara warga

masyarakat dan pengambil kebijakan. Hubungan di antara kelompok warga

memungkinkan adanya kolaborasi sosial untuk menyalurkan aspirasi mereka.

Perencanaan program-program pengentasan kemiskinan harus berbasis pada

kebutuhan masyarakat, sehingga pemberdayaan bagi masyarakat di level bawah bisa

dirintis dan diwujudkan secara nyata.

200
Kedua, di tataran antarindividu (komunitas/kelompok masyarakat seperti

arisan ibu-ibu, kelompok keagamaan, perkumpulan pengusaha, paguyuban

pedagang, dan lain sebagainya.), dimungkinkan adanya upaya membangun jejaring

kerjasama secara kolektif untuk diseminasi informasi dalam pengambilan

keputusan. Lembaga-lembaga yang berada di level desa bisa menjalin kerjasama

dengan komunitas-komunitas di masyarakat, sehingga masyarakat benar-benar bisa

membuka peluang ketelibatan dalam proses pengambilan keputusan, melepaskan

diri dari dominasi elit, mendorong adanya stimulasi internal dalam proses

institusionalisasi yang berdampak pada pengembangan kapasitas masyarakat secara

berkelanjutan, serta agar masyarakat di level bawah bisa mengidentifikasi

kelemahan, kelebihan, peluang maupun hambatan yang ada dalam dirinya.

Modal Sosial dapat bekerja sebagai sebuah mekanisme operasional yang

berkontribusi secara langsung terhadap upaya mengentaskan kemiskinan. Hal ini

dapat dipahami menggunakan kerangka modal sosial yang dikembangkan Woolcock

(2001), terdapat tiga hal yang bisa dipaparkan beserta contoh teknisnya.

Pertama, social bonding. Dalam kerangka ini, modal sosial dikembangkan dengan

karakteristik keterikatan yang kuat di dalam kelompok masyarakat. Misalnya, terkait

soal kekerabatan. Di Muntilan misalnya, ikatan kekerabatan dalam sebuah sistem

kemasyarakatan masih terus dibawa. Bisa diperhatikan bahwa di Muntilan terdapat

Paguyuban Masyarakat Tiong Hoa, dan berbagai paguyuban dengan latar belakang

kekerabatan atau berbasis kedaerahan lainnya.

Kelompok-kelompok tersebut tidak boleh dimaknai secara negatif terkait

semangat kedaerahan yang sempit, melainkan harus dipahami sebagai kultur warga

masyarakat kita. Modal sosial itulah yang harus dipupuk untuk tujuan mewujudkan

201
masyarakat madani. Kelompok-kelompok masyarakat dengan latar belakang

kekerabatan atau basis kedaerahan mempunyai rasa empati dan kebersamaan yang

luar biasa. Di antara mereka timbul rasa saling menyayangi, saling percaya, dan

saling berkewajiban satu sama lain. Jika ada satu saja anggota kelompok yang

melanggar norma, mereka dikenakan sanksi moral dari anggota kelompok lainnya.

Mekanisme semacam ini menghasilkan tata nilai keteraturan di dalam masyarakat

(social order). Nilai-nilai tersebut bisa dijadikan sebagai pintu masuk untuk

memupuk rasa kebersamaan antar warga dalam mengatasi persoalan yang timbul

akibat kemiskinan. Jika ada anggota dari suatu kelompok tertimpa musibah,

misalnya sang anak mengalami kecelakaan, maka anggota kelompok lain akan

saling mengingatkan dan menanamkan kesadaran untuk saling membantu.

202
TABEL 4.5
DINAMIKA MASYARAKAT BERDASARKAN SOCIAL BONDING
Dinamika Masyarakat Berdasarkan Social Bonding
Kelurahan Muntilan Desa Gunungpring
a. Dalam dinamika masyarakat yang heterogen dan a. Dalam dinamika masyarakat yang homogen
berkarakteristik latar belakang budaya serta latar belakang budaya serta kearifan lokal
kearifan lokal sering bertabrakan dengan hukum cenderung sejalan dengan hukum positif.
positif.
b. Modal sosial yang berlandaskan dengan prinsip-
b. Warisan sejarah yang ada di masyarakat justru prinsip “religiusitas” di wilayah Gunungpring
menimbulkan efek yang negatif bagi berkembang begitu pesat.
perkembangan modal sosial setempat.
c. Prinsip keterbukaan, kebebasan, persamaan,
c. Keberagaman yang ada di Muntilan mewarisi dan kemajemukan yang merupakan warisan
gejolak negatif dari masa lalu yang dapat turun menurun telah memberikan inspirasi
mengakibatkan perkembangan modal sosial terhadap perubahan-perubahan sosial yang saat
cenderung berada pada titik kebuntuan. ini tumbuh kuat.

d. Kelompok yang paling besar peranannya dalam d. Perkumpulan-perkumpulan keagamaan sangat


kehidupan sehari-hari masyarakat adalah potensial untuk menghadirkan dan membangun
kelompok keagamaan dan arisan. suatu bentuk dan ciri tertentu dari modal sosial.

e. Motivasi masyarakat untuk terlibat dalam e. Motivasi masyarakat untuk terlibat dalam
kegiatan kelompok-kelompok yang ada di kegiatan kelompok-kelompok yang ada di
lingkungan permukimannya relatif tinggi, lingkungan permukimannya tinggi, sehingga
meskipun hal ini tidak secara langsung secara langsung berkorelasi dengan tingkat
berkorelasi dengan tingkat keaktifannya dalam keaktifannya dalam berorganisasi.
berorganisasi.
f. Partisipasi masyarakat baik di dalam kegiatan
f. Partisipasi masyarakat baik di dalam kegiatan yang diinisisasi oleh kelompok keagamaan
yang diinisisasi oleh kelompok keagamaan patut maupun kelompok lain di lingkungan sangat
diacungi jempol, sehingga kelompok tersebut tinggi.
“tumbuh subur” di antara kelompok non
keagamaan. g. Masyarakat cenderung menilai bahwa orang-
orang di sekitarnya, meskipun memiliki
g. Tingginya tingkat kepercayaan yang terjadi di perbedaan latar belakang sosial, ekonomi, dan
masyarakat hanya terhadap orang-orang maupun budaya, dapat dipercaya.
individu dari etnis yang sama.
h. Deposit kepercayaan di kalangan masyarakat
h. Ada kecenderungan menurunnya tingkat masih cukup tinggi dan dalam pergaulan sehari-
kepercayaan masyarakat menyangkut masalah hari tingkat kepercayaan ini masih
keuangan, sehingga mereka mulai merasa tidak menunjukkan tingkat yang positif, termasuk
percaya pada orang lain dalam hal utang-piutang, dalam hal utang-piutang.
terutama jika yang meminjam adalah orang yang
memiliki perbedaan ikatan genealogis/identitas. i. Adanya rasa saling memiliki dan rasa saling
tukar kebaikan antar warga masyarakatnya
i. Hubungan kerjasama dibiarkan berada dalam memungkinkan mereka saling bersatu dan
kedangkalan dan berhenti pada tingkat basa-basi berkontribusi pada peningkatan modal sosial.
dan tidak di bekali dengan ketulusan.
j. Sebagian besar masyarakat di Desa
j. Sulitnya pemerintah berbagi susah dan masalah Gunungpring menyatakan ikut serta dalam
dengan masyarakat bawah membuat masyarakat kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat
enggan ikut serta dalam kegiatan kolektif. secara sukarela.

Sumber: hasil analisis penulis, 2011.

203
Kedua, social bridging. Dalam kerangka ini, terdapat relasi antar kelompok

yang lebih luas dibanding kerangka social bonding. Terdapat jembatan sosial yang

menghubungkan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Perluasan relasi

antarkelompok ini bukan terjadi dengan sendirinya, melainkan berangkat dari

kesadaran untuk membentuk kelompok yang lebih luas sebagai refleksi dari

kelemahan yang ada pada kelompok sebelumnya yang lebih sempit. Bentuk modal

sosial ini juga biasa disebut bentuk modern dari suatu pengelompokan, grup,

jaringan, asosiasi atau masyarakat. Modal utama dari ketercapaiannya adalah

melalui interaksi sosial. Dengan demikian institusi sosial tetap eksis sebagai tempat

artikulasi kepentingan bagi masyarakat.

Misalnya, terdapat asosiasi profesi seperti perhimpunan dokter, asosiasi

dunia usaha, ikatan notaris, perkumpulan pemuda, himpunan kelompok tani,

kelompok pedagang kaki lima, baik di Desa Gunungpring dan di Kelurahan

Muntilan, maupun di Kabupaten Magelang secara umum. Kelompok-kelompok ini

merupakan kelompok lintas etnis, budaya, atau bahkan agama, sehingga

memungkinkan adanya diseminasi informasi yang lebih kuat, terakar, dan cepat.

Social Bridging bisa juga dilihat dengan adanya keterlibatan umum sebagai

warga negara. Jika pemerintah ingin menyusun program pengentasan kemiskinan

yang mengakomodasi pemahaman tentang persoalan kemiskinan maka kelompok

masyarakat ini dapat dilibatkan. Untuk diseminasi informasi dalam mengatasi

berbagai persoalan kemiskinan juga lebih mudah dilakukan karena modal sosial

sudah berjalan dengan struktur yang rapi dan kuat. Proses integrasi sosial di dalam

kerangka ini memudahkan perwujudan cita-cita bersama dalam upaya perbaikan dan

penyempurnaan konsep pengentasan kemiskinan yang selama ini bias.

204
TABEL 4.6
DINAMIKA MASYARAKAT BERDASARKAN SOCIAL BRIDGING
Dinamika Masyarakat Berdasarkan Social Bridging
Kelurahan Muntilan Desa Gunungpring
a. Latar belakang masyarakat di Kelurahan a. Latar belakang masyarakat Desa Gunungpring
Muntilan yang berbeda mengakibatkan yang turun-temurun sebagai pedagang,
banyaknya keinginan masyarakat untuk “berjalan membuat masyarakatnya terbuka dalam
sendiri-sendiri”. menerima berbagai perbedaan di lingkungan.

b. Sikap dan orientasi nilai yang berkembang di b. Masyarakat Gunungpring memiliki sikap dan
beberapa kelompok masyarakat relatif tertutup, orientasi nilai yang relatif terbuka, sehingga
sehingga resiprositas yang kuat akan bernilai resiprositas yang kuat akan memberikan
positif untuk lingkungan sosialnya sendiri dan dampak positif yang lebih luas, baik untuk
tidak menghasilkan nilai positif bagi kelompok lingkungan sosial sendiri maupun untuk
lain. kelompok masyarakat yang lain.

c. Perkembangan kelembagaan masih jalan di c. Kondisi pengelolaan kelembagaan yang cukup


tempat, pertemuan-pertemuan yang diadakan baik didukung oleh pembinaan usaha yang
sebatas pertemuan darurat ketika terjadi masalah optimal dan memfasilitasi masyarakat dalam
serius, selebihnya hanya “basa-basi” karena visi mengembangkan lapangan usaha baru,
yang dibawa masyarakat sudah berbeda-beda. diversifikasi usaha, serta memberi bantuan
dalam mengakses jaringan pemasaran dan
d. Kemampuan kelompok menjalin jejaring informasi-informasi bisnis dari dunia luar.
kerjasama dengan kelompok lain relatif rendah.
Jalinan kerja sama sebatas untuk mencapai tujuan d. Kelompok masyarakat dan pemimpin berusaha
tertentu, sehingga ketika tidak ada tujuan yang untuk mengikatkan diri dengan individu atau
jelas jaringan kerjanya terbatas dalam lingkup kelompok yang justru berbeda pandangan,
komunitas tersebut. keahlian, generasi dan dari jejaring yang lain.

e. Proses institusionalisasi dan berbagai upaya yang e. Proses institusionalisasi dapat berlangsung
dilakukan oleh pihak eksternal dalam rangka melalui proses belajar sosial, dimana modal
pemberdayaan memang dinilai kurang mampu sosial merupakan faktor yang penting, perlu
menumbuhkembangkan potensi modal sosial diidentifikasi dan dikembangkan dalam rangka
yang ada di masyarakat. proses belajar sosial tersebut.

f. Kehidupan kelompok pada masyarakat yang f. Adanya sikap yang inklusif di masyarakat
berpandangan “konservatif” dan ekslusif memungkinkan diperluasnya jaringan kerjasama
biasanya memiliki radius modal sosial yang dengan berbagai pihak dari luar.
pendek yang menghasilkan pandangan negatif
terhadap kelompok di luarnya. g. Keseragaman tipologi modal sosial antar dusun,
menjadikan keberhasilan program pengentasan
g. Kesenjangan modal sosial yang terjadi antar RW kemiskinan di tingkat desa terasa secara nyata
yang berdekatan menunjukkan kemungkinan dan pelaksanaannya bisa berjalan dengan lancar.
adanya ketidakharmonisan hubungan antar RW
dalam satu kelurahan. h. Penguatan modal sosial diawali dari penguatan
nilai-nilai budaya di tingkat dusun, hal inilah
h. Tingkat ketergantungan masyarakat di tingkat yang berhasil diinisiasi oleh pemerintah di
RW yang memiliki kemampuan untuk tingkat desa.
membangun modal sosial mandiri relatif kecil,
tidak terlalu terpengaruh pemerintah i. KSM yang terbentuk rata-rata telah mampu
menyusun proposal pengajuan dana secara
i. KSM yang terbentuk dimaknai karena adanya mandiri hingga mencapai hasil yang baik.
kepentingan akan pinjaman dan semata-mata Kemajuan dalam pengelolaan kelembagaan tidak
hanya untuk pencairan dana. Jarang ada KSM terlepas dari komitmen dan kerjasama antar
yang mengadakan pertemuan untuk menyusun KSM, UP, serta itikad baik dari semua anggota
rencana kerja maupun kegiatan tahunan anggota, masyarakat untuk menjalankan sistem yang
hal ini dikarenakan kurangnya komitmen dan telah disepakati bersama.
kerjasama antara KSM, UP, dan anggota
masyarakat itu sendiri.

Sumber: hasil analisis penulis, 2011.

205
Ketiga, social linking. Dalam kerangka ini, relasi di dalam masyarakat sudah

diartikan secara jauh lebih luas. Relasi dalam mekanisme ini melibatkan satu

kekuatan sosial dengan kekuatan sosial lainnya. Social linking merujuk pada sifat

dan luas hubungan vertikal diantara kelompok orang yang mempunyai saluran

terbuka untuk mengakses sumberdaya dan kekuasaan dengan siapa saja. Hubungan

antara pembuat kebijakan dan elit politik dengan kelompok masyarakat sipil (LSM,

akademisi, mahasiswa, maupun pers) termasuk di dalam social linking. Sektor

umum (seperti negara dan institusinya) adalah pusat untuk kegunaan dan

kesejahteraan masyarakat (Cullen dan Whiteford, 2001). Negara maupun di

pemerintahan dipandang khalayak sebagai tokoh, dan mempunyai status sosial dari

pada masyarakat kebanyakan. Namun, di antara elemen-elemen tersebut terdapat

satu kepentingan tertentu untuk suatu tujuan sekaligus kebutuhan untuk menjalin

hubungan yang saling menguntungkan.

Dalam konteks ini, para pengambil kebijakan yang mayoritas adalah elit

politik dapat membangun relasi dengan kelompok masyarakat sipil terkait upaya

mengatasi persoalan kemiskinan. Kepentingan masyarakat adalah mendapatkan

kehidupan yang layak melalui sosok yang bisa dipercaya dan bisa menjadikan

penyalur aspirasi mereka, sedangkan kepentingan elit politik adalah membutuhkan

massa untuk mendapat kepercayaan, suara, dan dukungan dari masyarakat agar bisa

mendapatkan akses ke pemerintahaan/kekuasaan. Dua kepentingan tersebut bisa

berpadu dalam sebuah modal sosial yang kuat jika memang benar-benar

didayagunakan.

206
TABEL 4.7
DINAMIKA MASYARAKAT BERDASARKAN SOCIAL LINKING

Dinamika Masyarakat Berdasarkan Social Linking


Kelurahan Muntilan Desa Gunungpring
a. Proses pemberdayaan dan partisipasi hanya a. Proses pemberdayaan dan partisipasi yang baik,
dilaksanakan secara prosedural administratif diikuti dengan etos kerja yang tinggi dan
semata sehingga warga menjadi “malas” ketika kepemimpinan lokal yang kuat membuat fasilitasi
berhubungan dengan administrasi maupun di tingkat desa yang menghasilkan usulan yang
birokrasi pemerintah yang rumit. berbasis pada kebutuhan dan prioritas yang jelas.

b. Masyarakat menganggap bahwa keberhasilan b. Keberhasilan program pengentasan kemiskinan


program pengentasan kemiskinan pemerintah pemerintah diukur dari bagaimana keseluruhan
diukur melalui keberhasilan pembangunan fisik. masyarakat di level bawah bisa berdaya.

c. Fasilitator-fasilitator di tingkat kelurahan hanya c. Fasilitator di tingkat desa berhasil menempatkan


berhasil menempatkan diri sebagai pihak yang diri sebagai “penampung usulan”, sedangkan
“tidak penting” dan “tidak berkepentingan” masyarakat sebagai pengusul.

d. Banyaknya usulan yang menunjuk pada jenis d. Fasilitator Kelurahan yang gesit membuat proses
prasarana tertentu yang sebenarnya diusulkan pelaksanaan program lebih terarah, sehingga
oleh kelompok dominan saja. proses eliminasi usulan di tingkat selanjutnya
dilakukan dengan adanya pelibatan stakeholder
e. BKM Amanah Warga jarang dilibatkan dalam melalui perwakilan.
kegiatan perencanaan pembangunan sehingga
akses terhadap dokumen PNPM Mandiri e. BKM Mandiri Desa Gunungpring telah berhasil
Perkotaan belum maksimal. memegang peranan sebagai forum pengambilan
keputusan tertinggi di tingkat warga masyarakat,
f. Hingga saat ini belum ada kerja sama dengan sekaligus kendali untuk mengatasi berbagai
dinas/instansi lain dikarenakan sikap anggota persoalan sosial yang terjadi di masyarakat.
BKM masih eksklusif dalam lingkungan masing-
masing, di lain sisi juga karena egosentrisme f. Sikap yang inklusif dari BKM menjadikan
dari masing-masing instansi yang cukup tinggi. terbukanya jaringan-jaringan kerjasama dengan
berbagai dinas/instansi lain, sehingga seluruh
g. Kekuatan pemerintahan dan kepemimpinan kegiatan yang digulirkan bisa berjalan dengan
formal tidak mampu menembus masyarakat lancar karena adanya kolaborasi dari berbagai
lapisan bawah di tingkat RW pihak.

h. Sulit mengharapkan kekuatan kepemimpinan g. Kekuatan pemerintahan dan kepemimpinan formal


tokoh formal untuk mampu menyeimbangkan mampu mengayomi masyarakat hingga lapisan
dan menggabungkan kekuatan modal sosial yang bawah di tingkat dusun.
tersebar pada berbagai satuan komunitas kecil
(RW) dalam bangunan modal sosial tingkat h. Figur utama yang menjadi panutan dan teladan
kelurahan. adalah tokoh formal desa yang memiliki figur
kepemimpinan yang kuat sehingga masyarakat
dengan mudah “dibawa” kearah perubahan yang
positif melalui proses pembelajaran bersama, guna
memperkuat dan melembagakan kembali modal
sosial setempat.

Sumber: hasil analisis penulis, 2011.

207
Dengan adanya penguatan modal sosial diharapkan masyarakat mampu

menumbuhkembangkan energi sosial yang dapat menggerakkan proses dan

dinamika pembangunan secara mandiri. Kini tinggal bagaimana seluruh stakeholder

yang ada, mulai dari pemerintah, swasta, kelompok masyarakat sipil, warga, hingga

pelajar, bergandengan tangan dan berkolaborasi memupuk modal sosial yang telah

ada untuk mewujudkan perbaikan dan penyempurnaan implementasi program-

program pemerintah. Terlebih apabila dengan perbaikan dan penyempurnaan

tersebut dapat memberikan kontribusi yang lebih besar untuk mengatasi berbagai

permasalahan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

208
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Masalah kemiskinan merupakan masalah yang tidak kunjung menemukan

titik penyelesaian. Berbagai upaya untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan

telah dilakukan, tetapi hasilnya masih saja jalan ditempat. Pelaksanaan PNPM

Mandiri Perkotaan di Kabupaten Magelang yang secara umum dinilai berhasil,

ternyata masih menyisakan berbagai persoalan. Desa Gunungpring yang memiliki

kondisi sosial budaya masyarakat yang baik, diikuti dengan etos kerja yang tinggi

dan kepemimpinan lokal yang kuat, keberhasilan program pengentasan kemiskinan

terasa secara nyata dan pelaksanaannya bisa berjalan dengan lancar. Hal yang

sebaliknya terjadi pada Kelurahan Muntilan dimana kondisi sosial budaya di

masyarakatnya kurang baik, keberhasilan program pengentasan kemiskinan pun

kurang bisa dirasakan, bahkan program ini justru semakin mendegradasi modal

sosial di masyarakatnya.

Setidaknya ada tiga permasalahan utama yang memberikan kontribusi

terhadap kegagalan Pemerintah di dalam pelaksanaan program pengentasan

kemiskinan. Pertama, masuknya PNPM Mandiri Perkotaan di wilayah ini ternyata

masih mengabaikan masyarakat dari sistem yang telah mereka bangun. Perubahan

atau pengelolaan struktur yang diciptakan oleh pemerintah secara seragam di

seluruh wilayah Indonesia tersebut ternyata masih berfokus pada pemenuhan hasil

dibanding pemenuhan kebutuhan masyarakatnya. Kedua, proses institusionalisasi

yang dicoba diterapkan tidak cocok dengan perencanaan di level pemerintah paling

bawah. Ketidakcocokan bukan pada proses dan sistem perencanaan yang

209
dikembangkan tetapi lebih kepada “aktor” yang memfasilitasi. Belum optimalnya

peran fasilitator dalam mengangkat peran kelompok marjinal yang notabenenya

merupakan sasaran utama program mengakibatkan prinsip keberpihakan yang

tertuang dalam Petunjuk Teknis Operasional PNPM Mandiri Perkotaan belum dapat

dilakukan secara optimal.

Ketiga, pemanfaatan modal sosial setempat yang merupakan nilai-nilai dan

hubungan-hubungan sosial yang mengakar dalam struktur masyarakat dinilai belum

optimal. Sehingga individu di masyarakat tidak dapat mengkoordinir tindakan untuk

mencapai tujuan secara maksimal dalam proses institusionalisasi yang berdampak

pada pengembangan kapasitas masyarakat yang berkelanjutan. Tingginya kualitas

masyarakat dalam upaya pengentasan kemiskinan tidak cukup jika hanya

dilandaskan pada pemberian bantuan material berdasar semangat belas kasihan atau

pengembangan sistem usaha produktif berbasis fisik, tapi juga sangat ditentukan

oleh kuatnya modal sosial setempat.

Modal sosial yang ada di Kelurahan Muntilan (pheri-urban) masih dalam

tahap bonding (sebagai pengikat saja), belum dalam tahap bridging (sebagai

jembatan) yang menghubungkan seluruh potensi warga, apalagi dalam tahap linking

(sebagai jaringan sosial). Hal ini ditandai oleh: kelompok-kelompok yang terbentuk

mayoritas berdasarkan persamaan baik karena kekerabatan; persamaan agama;

persamaan etnik; persamaan strata ekonomi; yang memiliki ikatan yang kuat. Hal ini

disebabkan karena pertemuan diantara anggotanya cukup intens, kerjasama yang

dilaksanakan terbatas pada komunitas yang sama, dan pendanaan dalam kelompok

tersebut pada umumnya swadaya dari iuran anggota. Namun kini, hubungan antar

individu di kelompok masyarakat sendiri sudah mulai terbawa arus individualistik.

210
Hal ini menimbulkan berbagai prasangka negatif atas apa yang terjadi dan atas apa

yang dilakukakan oleh individu lain dikelompoknya, sehingga hal tersebut akan

berakibat pada rusaknya ikatan sosial di dalam kelompok-kelompok masyarakat,

yang pada akhirnya dapat mendegradasi modal sosial dari kehidupan masyarakat.

Kelompok masyarakat di Kelurahan Muntilan cenderung bersifat

ekslusivisme, sehingga lebih menonjolkan semangat “kita” daripada semangat

“kami”, budaya sinis antar kelompok masyarakat pun masih terasa kental, tidak

hanya yang terjadi antar kelompok keagamaaan, tetapi juga yang terjadi antara

kelompok dalam suatu lingkungan sehingga di tingkat individu mereka seringkali

terjebak pada transaksional yang bersifat sementara, diskriminatif dan hanya

memberikan perlakuan khusus pada kelompok tertentu yang dianggap sesuai dengan

tujuannya.

Lain halnya dengan modal sosial yang ada di Desa Gunungpring (rural).

Modal sosial di wilayah ini sudah memasuki tahap linking (sebagai jaringan sosial),

dimana hubungan kolektif yang terbangun di masyarakat diikuti dengan etos kerja

yang tinggi dan kepemimpinan lokal yang kuat membuat fasilitasi di tingkat desa

menghasilkan usulan yang berbasis pada kebutuhan dan prioritas yang jelas. Sikap

yang inklusif dari masyarakat menjadikan jaringan-jaringan kerjasama dengan

berbagai dinas/instansi terbuka. Adanya kolaborasi dari berbagai pihak

menyebabkan kegiatan yang digulirkan di tingkat desa berjalan dengan baik.

Sifat ekslusivisme yang lebih menonjolkan semangat “kami” daripada

semangat “kita” berhasil menghilangkan budaya sinis, menghilangkan penekanan

pada formalitas dengan berlindung dibalik peraturan organisasi, menjadikan warga

masyarakat terlepas dari adanya semangat transaksional yang bersifat sementara,

211
serta dapat menghilangkan kebiasaan diskriminatif dengan memberikan perlakuan

khusus pada kelompok tertentu. Sehingga ketika lingkungan organisasi di tingkat

keluarga kondusif untuk menumbuhkan individu dengan modal sosial yang baik,

maka di lingkungan masyarakat yang lebih luas modal sosial bisa tumbuh ke arah

positif.

Potret positif modal sosial dapat digambarkan dalam formulasi kepercayaan

yang meliputi terbentuknya kerja sama dan kohesifitas, pranata sosial yang kuat,

saling tukar kebaikan, serta perluasan jaringan (bermakna peningkatan partisipasi)

guna peningkatan daya saing kolektif secara berkelanjutan yang keseluruhannya

akan berdampak dalam memunculkan kontrol sosial baru, revitalisasi modal sosial

baru, kerjasama dengan pihak luar, demokrasi dan desentralisasi. Norma harus

diwujudkan dalam bentuk kesetaraan dan kemitraan sehingga tidak muncul

perbedaan perlakuan antarwarga, dalam alokasi ini akan muncul kendala

kebudayaan luar, anomalis primordialisme dan vested interest sehingga perlu

dipersiapkan jawaban untuk membentengi persoalan yang akan muncul.

Potret negatif modal sosial dapat digambarkan dalam formulasi melemahnya

modal sosial sehingga modal sosial terdegradasi dalam bentuk interaksi sosial dan

komunitas. Interaksi sosial ditandai dengan pelanggaran norma, krisis

kepemimpinan, kerenggangan hubungan sosial dan dehumanisasi. Kondisi ini

disebabkan oleh lemahnya kontrol sosial, sentimen kelompok, meningkatnya

semangat individualisme dan merebaknya nilai budaya material. Jika kondisi ini

dibiarkan maka akan berakibat pada pembangkangan, konflik dan perilaku

menyimpang.

212
Sedangkan komunitas ditandai dengan munculnya sikap baru dari komunitas

dalam bentuk apatis, pragmatis, pengingkaran dan budaya menerobos. Sikap ini

muncul karena disebabkan oleh tidak ada kepercayaan, rendahnya rasa

kebersamaan, egoisme, menurunnya partisipasi, menghalalkan segala cara dan

pelayanan publik yang rendah. Jika kondisi ini tidak segera diantisipasi, maka yang

muncul adalah stagnansi, intensitas komunikasi rendah, tingginya manipulasi

publik, pelanggaran nilai sosial, dimungkinkan terjadi KKN, dan dampak yang

paling parah adalah disintegrasi sosial.

B. Saran

Terlepas dari ada atau tidaknya program pengentasan kemiskinan ala

pemerintah, ternyata yang mempunyai peranan sebagai penggerak utama dan

strategis dalam upaya pengentasan kemiskinan berkelanjutan di masyarakat adalah

modal sosial. Harus diakui bahwa pangkal modal sosial adalah pada lingkungan

sosial awal. Baik dalam kelompok maupun masyarakat tertentu. Apabila dalam

masyarakat sudah kehilangan modal sosial, seperti yang terjadi di Muntilan, maka

intervensi apapun yang dilakukan oleh pihak luar tidak akan terlalu mempengaruhi

derajat modal sosial di masyarakat tersebut.

Pembangunan yang mengabaikan dimensi ini sebagai pendorong munculnya

kekuatan masyarakat dan bangsa, tidak saja akan kehilangan fondasi

kemasyarakatan yang kuat, tetapi juga akan mengalami stagnasi dan kesulitan untuk

keluar dari berbagai krisis yang dialami. Modal sosial akan efektif memberikan

dorongan keberhasilan bagi berbagai kebijakan, sehingga dengan adanya penguatan

213
modal sosial diharapkan mampu menumbuhkembangkan energi sosial yang dapat

menggerakkan proses dan dinamika pembangunan secara mandiri.

Modal sosial dibutuhkan dalam rangka membangun kerjasama yang baik di

masyarakat, sehingga bisa tercipta wadah perjuangan kaum miskin, yang mandiri

dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhan mereka dan mampu

mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan

publik di tingkat lokal, baik aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, maupun

lingkungan.

Secara lebih terstruktur, penguatan modal sosial di masyarakat akan dapat

berkontribusi secara signifikan pada upaya untuk mengatasi persoalan kemiskinan,

baik kemiskinan kultural maupun struktural. Modal Sosial dapat bekerja sebagai

sebuah mekanisme operasional yang berkontribusi pada upaya pengentasan

kemiskinan. Penguatan modal sosial dapat dilakukan melalui beberapa alternatif,

yakni: pengorganisasian kelembagaan diarahkan dalam rangka memfasilitasi

komunitas-komunitas lokal, mengembangkan kerangka berfikir re-linking

(menyambung kembali) yang diarahkan untuk menyambung kembali titik temu

dimensi formal dengan dimensi nonformal yang ada di dalam masyarakat, serta

perbaikan infrastruktur dalam suasana kultural dan religious.

214
DAFTAR PUSTAKA

Alfian, et.al. 1980. Kemiskinan Struktural, Suatu Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan
Ilmu-ilmu Sosial.

Ali, Nizar, et.al. 2008. Panduan Fasilitator: Pengembangan Nilai-nilai Masyarakat


Madani Melalui pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Berbasis Pesantren.
Yogyakarta: PUSKADIBUANA PPs. UIN Sunan Kalijaga dan The Asia
Foundation (TAF)

Ancok, D. 1998. Membangun Kompetensi Manusia dalam Milenium ke Tiga. Jurnal


Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Psikologika, No. 6.

________. 2003. Modal Sosial dan Kualitas Masyarakat. Makalah ini disampaikan
dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah Mada, diucapkan di hadapan Rapat Majelis Guru Besar Terbuka
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Badaruddin, Nasution, M. Arif, dan Subhilhar. 2005. Isu-isu Kelautan: Dari


Kemiskinan hingga Bajak Laut. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bappenas. 2007. Kita Suarakan MDGs Demi Pencapaiannya di Indonesia. Jakarta:


Bappenas.

Basowi dan Suawandi. 1997. Memahami Penelitian Kualitatif . Jakarta : Rineka Cipta.

Bogdan, Robert dan Steven J Taylor. 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif.
Surabaya: Usaha Nasional.

Cullen, Michelle, dan Whiteford. 2001. The Interrelations of Social Capital with Health
and Mental Health. Makalah ini Disajikan dalam Discussion of Mental Health
and Special Programs Branch Commonwealth Department of Health and Aged
Care. Canberra : The Commonwealth Australia.

Sutoro Eko. 2003. Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal. Draft makalah
ini disajikan dalam Seminar Internasional IV “Dinamika Politik Lokal di
Indonesia: Demokrasi dan Partisipasi”, yang digelar oleh Yayasan Percik dan
The Ford Foundation, Salatiga, 15-18 Juli 2003.

Faisal, Sanapiah. 2001. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Faried, Ali. 1997. Metode Penelitian Sosial dalam Bidang Ilmu Administrasi dan
Pemerintahan. Jakarta: Grafindo Persada.

215
Faturochman, et.al. 2007. Membangun Gerakan Penanggulangan Kemiskinan Melalui
Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan UGM.

Fukuyama, Francis. 2002. The Great Disruption. Yogyakarta: Penerbit Qalam.

Hartono, Rudi. 2010. Pengaruh dan Wujud Pengembangan Modal Sosial untuk
Meciptakan Sistem Politik yang Dinamis. Diunduh dari
http://masroed.wordpress.com/2010/05/26/pengaruh-dan-wujud-pengembangan-
modal-sosial-untuk-menciptakan-sistem-politik-yang-d6inamis/, diakses pada
tanggal 17 Mei 2011.

Hasbullah, J. 2006. Social Capital : Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia.


Jakarta : MR-United Press.

Hermawanti, Mefi dan Hesti Rinandari. 2003. Modul Pemberdayaan Masyarakat Adat:
Penguatan dan Pengembangan Modal Sosial Masyarakat Adat. Yogyakarta:
IRE.

Hureirah, A. 2005. Strategi Penanggulangan Kemiskinan. Bandung: Ilmu Kesejahteraan


Sosial Fisipol UNPAS-LSM Mata Air (Masyarakat Cinta Tanah Air).

Ife, Jim dan Tesoriero, Frank. 2008. Community Development: Alternatif


Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Pelajar.

K. Yin, Robert. 2003. Studi Kasus, Desain dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers.

Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat. Jakarta: CIDES.

Kartono, Kartini. 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: CV. Mandar
Maju.

Kontributor Kabupaten Magelang. 2010. Desa Gunungpring Wakili Kab. Magelang


Dalam Lomba Desa 2010. Diunduh dari
http://www.jatengprov.go.id/?document_srl=6887, diakses pada tanggal 20
Februari 2011.

Kontributor Kabupaten Purwakarta. 2011. Sekilas Tentang Program Nasional


Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan, diunduh dari
http://pnpmjatiluhur.wordpress.com/2011/03/08/sekilas-tentang-pnpm-mandiri-
perkotaan/, dikutip dari: Buku Pedoman Umum P2KP-3, Edisi Oktober 2005,
diakses pada tanggal 3 Maret 2011.

Lenggono, PS. 2004. Modal Sosial dalam Pengelolaan Tambak : Studi Kasus Pada
Komunitas Petambak di Desa Muara Pantuan Kecamatan Anggana Kabupaten
Kutai Kartanegara. Tesis Sekolah Pascasarjana, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

216
Mawardi, M. 2007. Peranan Social Capital Dalam Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal
Pengembangan Masyarakat Islam, Komunitas, Vol. 3, No. 2, 2011.

Moleong, Lexy. 2000. Metode Penelitian Kualitatif, Cetakan 13. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.

Oyen, Else. 2002. Social capital formation as a poverty reducing strategy? in Social
Capital and Poverty Reduction which role for civil society organizations and the
state?. UNESCO.

Pemkab Jembrana. 2010. IFC World Bank Group: Belum Lengkap Kalau Tidak ke
Jembrana. Diunduh dari
http://jembranakab.go.id/index.php?module=detailberita&id=468, diakses pada
tanggal 9 Juni 2011.

Pranadji, Tri. 2001. Penguatan Modal Sosial Untuk Pemberdayaan Masyarakat


Pedesaan Dalam Pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering, Studi Kasus Di
Desa-Desa (Hulu DAS) Ex Proyek Bangun Desa, Kabupaten Gunungkidul Dan
Ex Proyek Pertanian Lahan Kering, Kabupaten Boyolali. Jurnal Agro Ekonomi,
Vol. 24 No.2, hlm. 178-206, Oktober 2006.

Pretty, J. 2003. Social Capital and Connectedness: Issues and Implications for
Agriculture, Rural Development and Natural Resource. Diunduh dari
http://www.cta.int/pubs/wd8032/WD8032.pdf, diakses pada tanggal 9 juni 2011.

Purbathin, Agus. Tinjauan Terhadap Berbagai Program Pemberdayaan Masyarakat Di


Indonesia. Yayasan Agribisnis, Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya
(PPMA).

Putnam, R.D. 1993. The Prosperous Community: Social Capital and Public Life.
American Prospect, 13, Spring, pp. 35- 42. In Elinor

Ostrom dan T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward
Elgar Publishing Limited.

Renggapratiwi, Amelia. 2009. Kemiskinan dalam Perkembangan Kota Semarang:


Karakteristik dan Respon Kebijakan. Semarang: UNDIP.

Rozaki, Abdur, et.al. 2006. Kaya Proyek, Miskin Kebijakan: Membongkar Kegagalan
Pembangunan Desa. Yogyakarta: Yayasan Tifa dan IRE.

Situru, M. 2010. PNPM Perdagangan Bantuan Sosial dan Hancurnya Kearifan Lokal.
Diunduh dari http://politik.kompasiana.com/2010/12/31/pnpm-perdagangan-
bantuan-sosial-dan-hancurnya-kearifan-lokal/, diakses pada tanggal 17 Mei
2011.

217
Soekanto, Soerjono. 1987. Sosiologi Sebagai Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

Soetomo. 2009. Pembangunan Masyarakat, Merangkai Sebuah Kerangka. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

_______. 2011. Pemberdayaan Masyarakat, Mungkinkah Muncul Antitesisnya?.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:


Alpabeta.

Suparlan, Parsudi. 1984. Kemiskinan di Perkotaan, Bacaan Untuk Antropologi


Perkotaan. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan dan Yayasan Obor Indonesia.

Supriono, Agus, et.al. 2010. Modal Sosial: Unsur-Unsur Pembentuk. Diunduh Dari
http://p2dtk.bappenas.go.id/artikel-15-unsurunsur-pembentuk.html, diakses pada
Tanggal 17 Mei 2011.

Suyatna, Hempri. 2008. Realitas Pembangunan Masyarakat di Indonesia. Disampaikan


dalam Kuliah Masalah Sosial Dalam Pembangunan Indonesia. Yogyakarta:
Jurusan Ilmu Sosiatri UGM.

Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.

Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Woolcock, Michael. 2002. Social Capital Theory and Practice” in Social Capital and
Poverty Reduction which role for civil society organizations and the state?.
UNESCO.

218
LAMPIRAN

219
UNTVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN

Nomor : 13/PSDK/IIllz}ll Yogyakarta, 20 April 2011


Hal : Permohonan ijin pra-survey

Kepada
Yth. Kordinator PNPM Mandiri Perkotaan
Kabupaten Magelang

Dengan hormat, .

Sekretaris Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahter&ln dengan ini menerangkan bahwa
mahasiswa di bawah ini :

Nama : Aulia Widya S


NIM : 07125395415P122140

Ada.lah mahasiswa Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan yang akan menyusun skripsi
dengan judul : "Pola Pengentasan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat" (Studi
Komparasi Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan Kabupaten Magelang). Berkaitan dengan hal
tersebut kami mengajukan permohonan ijin pra-survey dan pengambilan data di Kecamatan
Muntilan Kabupaten Magelang.
Demikian surat permohonan ini disampaikan, kepada pihak terkait dimohon bantuannya untuk
dapat mendukung pra-survey penelitian ini. Atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima
kasih.

Dosen Pembimbing

Aiif Darmawan, S.Sos, M.Si Drs.


9740803 199803 1001 NIP. 9680619199412t001

Jl. Sosio Yusticia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Telepon +62 - 0274 - 563362, +62 - 0274 - 542382,
Fax. +62 - 0274 - 563362 Ext222 http://wwwfisipol.ugm.ac.id e-mail:sekdeksp@ugm.ac.id
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Nomor : 231 1 I JO1.SP/M HS- gNIt2O1 1 Yogyakarta, 25 Juli 201


Hal : ljin mencari data
1

Kepada:
Yth. Camat
Kec. Muntilan, Kab. Magelang
Jawa Tengah

':l

Dengan hormat,
'saudara
Untuk keperluan penelitian ''skripsi, mengharap bantuan mengijinkan
mahasiswa kami:

Nama : Aulia Widya S.


NIM : 07125395415P122140
Program studi : s1 Pembangunan sosial dan Kesejahteraan

Yltyt mencari' data di Desa.:Gun:ungpring dan Kelurahan Muntilan, yang akan


dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus ZOll.

Atas bantuan Saudara, diucapkan terimakasih.

i Akademik dan Kemahasiswaan

12 198503 1 006

Jl. Sosio Yustici4 Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Telepon : (0274) 563362,542382Fax. (0274)
http:/ vwwfisipol.ugm.ac.id e-mail:sekdeksp@ugm.ac.id
FAKULTA$ ILMU SOSIAL DAF{ ILMU POLITIK
I]NIYERSITAS GADIAH MADA
Bulaksumur, Yogyakarta 55281, lndoriesia ) (0274) 563362, 9A1270,W1273
F ak. (027 4) 563362, E-mailsigma-phigamma@isipol.ugm.ac.id

STJRAT TUGAS
223Bl JA 1. S P/AKD- 1 0N finO fi
20 Juli 2011

Ditugas!gn

l.Nama : Aulia Widya S


2. Nomor Mahasiswa : 07X2539541SP8214A
3.Jurusan : Pembangunan Sosial dan Keseiahteraan
4.Alamat : Kauman RT 01/RW 09 No. 33 Muntilan, Magelang
5. Keperluan : Mengadakan penelitian
a. Daerah : Kecamatan Muntilan (Desa Gunungpring & Kelurahan Muntilan)
b. ObyeUsasaran : : Aparat Pemerintah Desa/Kelurahan, KoordinatorlPelaksana PNPM
Mandiri Perkotaan, Masyarakat Setempat
c. Waktu : 3 (tiga) bulan

Kamimengharap $audara dapat memberikan bantuan seperlunya, terima kasih.

a.n. Dekan,
Dekan I

in lndah Wahyuni, MSi..


NtP. 1973Q312199803 2 003

Perhatian: Menqetahui :
Setelah menjalankan penelitian, surat tugas ini Mahasiswa yang bersangkutan telah
Supaya diserahkan kepada ketua jurusan : menialankan wajib penelitian sesuai
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Perintah tercebut.
Fakultas llmu Sosialdan llmu Politik mulaitgl. :
Universitas Gadjah Mada s/d. tgl. :

Pejabat,
FAKT]LTA$ ILMU SOSIAL DAh[ ILMU POLITIK
I]NIYERSITAS GADJAH IVIADA
Bulaksumur, Yogyakarta 55281, lndonesiaI @2741 563362, 901270'$1-273
Fak. (0274) 563362, E-rnaitsigma-phigamma@isipol.ugm.ac'id

Nomor :22391J01.SP/AKD-1 ANU€:011 20 Juli 2011


Lampiran
Hal : Permohonan ijin penelitian

Yth. : Wakil Rektor Senior


Bidang Pendidikan, Penelitian & Pengabdian
Kepada Masyarakat
Universitas Gadjah Mada

Dengan honnat,

Kami beritahukan bahwa mahasiswa tingkat sadana jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Fakultas llmu Sosial dan llmu Politik Universitas Gadjah Mada yang namanya tersebut di bawah ini
akan mengadakan penelitian dengan judul :

Memahami Modal $osial Masyarakat dalam Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Magelang : Studi
Komparasi Kelurahan Muntilan dan Desa Gunungpring

Pada bulan : Juli s/d September 24fi

Penelitian ini oleh mahasiswa yang bersangkutan diperlukan untuk penulisan skripsi yang merupakan
bagian ujian tingkat sariana sesudah yang bersangkutan lulus uiian teori.

Nama mahasiswa yang bersangkutan dan obyek penelitiannya adalah :

Narna : Aulia Widya S


Nomor mahasiswa : 07 85395418P /,22144
:
ObyeUsasaran Aparat Pemerintrah Desa/Kelurahan, Koordinator/Pelaksana PNPM Mandiri
Perkotaan, Masyarakat $etempat

Kami mengharap bantuan Saudara untuk dapat memberikan ijin kepada mahasiswa tersebut di atas.
Kamiucapkan terima kasih atas bantuan Saudara

a.n. Dekan

lndah Wahyuni, MSi.


NrP. 19730312199803 2 003

Tembusan:
1. Gubemur Jawa Tengah
2. Bakeslinmas D.l.Y"
3. Bupati Magelang
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Telp. (0274) 588688, Fax. (0274) 565223
Website : www.ugm.ac.id, E-1nail : setr@qgm.ac.id

Nomor 426lDit. AA lLit.ME / 20 I I 21 Juli 2011


Lamp.
Hal Permohonan Izin Penelitian

Kepada Yth. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta


c.q. Ka. Biro Administrasi Pembangunan
------.-\ Setda Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Kompleks Kepatihan - Danurejan
Yogyakarta

Dengan hormat kami mohon kesediaan Saudara untuk memberikan izin kepada:

Nama AULIA WIDYA S

No. Mahasiswa 07125395415P/22t40


Fakultas ISIPOL
Keperluan Mengadakan penelitian dengan judul : "MEMAHAMI SOSIAL
MASYARAKAT DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN
DI KABUPATEN MAGELANG : STUDI KOMPARASI
KELURAHAN MUNTILAN DAN DESA GUNUNGPRING'
Lokasi Kelurahan Muntilan dan Desa Gunungpring Kabupaten
Magelang
Wakhr ruLI 2O1I S.D. SEPTEMBER 2O1I
Anggota Tim

Atas perhatian dan bantuan Saudara kami ucapkan terima kasih.

Direktur Administrasi Akademik


Ub. Kasubdit
Akademik

W^J'\
o, S.Sos., SE.T.' M.Si.
Tenrbusan:
l.t' Dekan Fakultas Isipol UGM
2.Yangbersangkutan.
PE,MtrRINTAH PROVINSI DAE.RAH ISTIMtr\MA YO GYAKARTA
SEI{FTE|IAFIIAIT DAERAII
Kepatihan - Danurejan, Yogyakarta - 552L8

Nomor : 070/5933N12011 Yogyakarta, 21 Juli 2011


Hal : ljinPenelitian
Kepada Yth.
Gubernur Provinsi Jawa Tengah
Cq. Bakesbang Pol Linmas
Di SEMARANG

Menunjuk surat
Dari :
Direktur AA UGM YogYakarta
Nomor :'426D|T.AA/L|T.MEI2O11.
Tanggal : 21 JULI 2011.
Perihal : ljin Penelitian.

Setelah mempelajari proposal/desain riset/usulan penelitian yang diajukan, maka dapat diberikan surat
keterangan untuk melaksanakan penelitian kepada

Nama ; AULIA WIDYA S.


NIM/NIP. :'07 12539541SP122140.
Alamat : BulaksumurYogyakarta

Judu, pene,itian , $i*H,iJ[':R:'ifrtgfr'-"ATtft;,"'#'fiy^[^=S'"^'JJ.i;f,T^[=#lli,filtN


DAN DESA GUNUNGPRING.
Lokasi : Muntilan, Jateng.
Waktu : 3 (tiga) bulan MulaiTanggal 21 Juli s/d 21 Oktober 2011

Peneliti berkewajiban menghormati dan mentaati peraturan dan tata tertib yang berlaku diwilayah
penelitian.

Kemudian harap menjadikan maklum

. An. Sekretaris Daerah


Asisten Perekonomian dan Pembangunan
Ub. Kepala Biro Administrasi Pembangunan

Tembusan disampaikan Kepada :


1. Gubernur Daerah lstimewa Yogyakarta (sebagai Laporan);
2. Direktur AA UGM Yogyakarta.
ffi DJUMADA
3. Yang Bersangkutan. r98209 1 001

ffi

Anda mungkin juga menyukai