Anda di halaman 1dari 13

PENGENTASAN KEMISKINAN MELALUI PERUBAHAN SOSIAL DAN

KEBIJAKSANAAN SOSIAL

KEMISKINAN

Secara sederhana kemiskinan dapat dilihat sebagai suatu keadaan


kekurangan harta dan benda berharga yang diderita oleh seseorang atau
kelompok orang. Kekurangan harta dan benda berharga tersebut
menyebabkan tingkat kesejahteraan hidup seseorang atau sekelompok
orang itu lebih rendah dari pada yang seharusnya berlaku secara
umum. Harta dan benda berharaga digunakan oleh pemiliknya sebagai
alat tukar untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan bagi kesejahteraan
hidupnya. Sehingga seseorang atau sekelompok orang yang tergolong
miiskin itu, sebenarnya, adalah mereka yang kurang harta dan benda
berharga yang dimilikinya sehingga kurang mampu untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan karena itu juga maka
kesejahteraan hidupnya berada dibawah rata-rata yang berlaku secara
umum (lihat Suparlan 1984: 11-26, 1992: 49).

Secara umum, seseorang yang mempunyai harta dan benda berharga


yang sedikit akan mempunyai kemampuan berbelanja yang sedikit bagi
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan dengan demikian
maka kesejahteraan hidupnya menjadi lebih rendah dari pada mereka
yang harta dan benda berharga berlebih. Tetapi seseorang yang harat
dan benda berharga berlebih dapat juga hidup dengan hemat bagi
pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, sama dengan mereka yang
tergolong miskin. Dan, sebaliknya, seseorang yang tidak mempunyai
harta dan benda berharga yang cukup dapat hidup dengan memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya secara berlebih dengan cara berhutang,
dengan resiko penderitaan secara fisik dan mental yang harus
dibayarnya. Tetapi pada umumnya kemampuan untuk
memenuhiberbagai kebutuhan hidup secara selayaknya merupakan
perwujudan dari kemampuan kekayaan yang dimiliki seseorang.
Sehingga kemampuan membeli berbagai barang dan jasa untuk
pemenuhan kebituhan-kebutuhan tersebut dapat digunakan sebagai
indikator untuk menggolongkan mereka sebagai miskin atau tidak.
Permasalahannya kemudian, terletak pada acuan-acuan yang digunakan
bagi pembuatan tolak ukurnya. Sebagai indikator, maka tingkat
kemampuan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup tidaklah sama
dengan kemiskinan itu sendiri. Karena kemiskinan itu sendiri adalah
kekurangan harta dan benda berharga yang dimiliki.

Bila miskin atau tidak miskin itu dilihat dari ukuran pemilikan harta
dan benda berharga, maka permasalahannya terletak pada cara-cara
dan kemampuan memperoleh, memiliki, mengembangkan, dan
menggunakan harta dan benda berharga dalamkehidupan para pelaku
tersebut. Para pelaku atau warga masyarakat, dimanapun dan
kapanpun, mempunyai seperangkat pedoman yang digunakan dalam
kehidupan mereka berkenaan dengan cara-cara memperoleh, memiliki,
mengembangkan, dan menggunakan harta dan benda berharga dalam
kehidupan mereka. Pedoman berkenaan dengan harta dan benda
berharga tersebut hanyalah salah satu unsur diantara berbagai unsur
yang lain yang secara keseluruhan saling berkaitan satu dengan yang
lainnya dalam hubungan fungsional dan secara umum digunakan untuk
menghadapi lingkungannya, untuk dapat dimanfaatkan bagi
pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, dalam upaya melangsungkan
kehidupannya sebagai manusia. Pedoman yang isinya adalah
pengetahuan yang rasional maupun yang penuh dengan keyakinan akan
kebenarannya, yang digunakan untuk menginterpretasi dan memahami
lingkungan yang dihadapi beserta segala isinya, dan menghasilkan
tindakan-tindakan untuk memanfaatkannya bagi pemenuhan
kebutuhan- kebutuhan hidupnya.

Pedoman bagi kehidupan inilah yang dinamakan kebudayaan. Yaitu


pengetahuan yang diyakini kebenarannya oleh sebuah masyarakat,
fungsional kegunaannya dalam struktur kehidupan anggota- anggota
masyarakat yang bersangkutan dalam memanfaatkan lingkungan untuk
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup mereka. Sebuah kebudayaan
tidak diciptakan oleh para pelaku atau para warga masyarakat yang
bersangkutan, tetapi diperoleh melalui sosialisasi dan pendidikan yang
deberikan oleh generasi sebelumnya. Penciptaan sejumlah pedoman
yang baru dalam kehidupan mereka, yang berbeda dari kebudayaan
yang secara tradisional mereka gunkan, dapat saja terjadi karena
adanya kontak-kontak hubungan dengan kebudayaan lain, karena
menurut pengalaman pedoman-pedoman yang baru tersebut lebih
menguntungkan, atau karena lingkungan mereka itu telah berubah.
Perubahan kebudayaan tersebut dapat juga terjadi karena kemampuan
ekonomi yang disebabkan oleh berkurangnya harta dan benda berharga
yang mereka miliki itu melanda mereka. Dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan yang dimiliki oleh sebuah masyarakat itu beroperasi atau
berlaku dalam dan melalui berbagai pranata sosial yang ada dalam
masyarakat tersebut: pranata keluarga, ekonomi, pendidikan, agama,
dsb.

Sebuah kebudayaan berisikan konsep-konsep, teori-teori, dan metode-


metode untuk mengoperasionalkan konsep-konsep dan teori- teori
mengenai lingkungan beserta segala isinya, yang dipunyai oleh
masyarakat tersebut. Isi kebudayaan tersebut digunakan untuk
mengidentifikasi, menghasilkan, memiliki, dan menggunakan apa yang
telah diperoleh dari lingkungannnya, termasuk harta benda berharga.
Sebuah kebudayaan tidak mungkin berkembang dan maju tanpa adanya
teknologi dan ekonomi beserta pengembangannya, yang merupakan
pedoman bagi menghasilkan, memiliki, menggunakan, atau
memanfaatkan harta benda berharga. Pengembangan unsur-unsur
teknologi dan ekonomi dalam sebuah kebudayaan akan mengembangkan
unsur-unsur lain dalam kebudayaan tersebut, dan begitu juga
sebaliknya. Pengembangan teknologi dan ekonomi tidak mungkin dapat
dilakukan dalam lingkungan yang serba kekurangan atau serba miskin,
dan begitu juga pengembangan pemeliharaan harta dan benda-benda
berharga tidak mungkin dapat dilakukan kalau unsur- unsur teknologi
dan ekonomi dalam kebudayaan tersebut juga terbatas atau miskin.
Keterbatasan atau kemiskinan dalam unsur-unsur teknologi dan
ekonomi ini terwujud dalam berbagai pranata ekonomi, fasilitas-fasilitas
sosial untuk pelayanan kesejahteraan hidup, dan pada berbagai pranata
sosial yang dipunyai oleh sebuah masyarakat secara keseluruhan.
Keterbatasan dan kemiskinan tersebut diatas itulah yang menghasilakan
adanaya kebudayaan kemiskinaan.

KEBUDAYAAN KEMISKINAN

Oscar Lewis (1984) melihat bahwa orang miskin yang hidup


mengelompok sebagaisebuah masyarakat atau komuniti itu mempunyai
kebudayaan kemiskinan; yaitu suatu cara hidup yang dijalani oleh
mereka yang miskin yang berbeda dari cara hidup mereka yang tidak
miskin. Kebudayaan kemiskinan dilihat sebagai nilai-nilai, sikap-sikap,
pola-pola kelakuan yang adaptif terhadap lingkungan mereka yang serba
miskin. Muncul dan berkembang serta lestarinya kebudayaan
kemiskinan, menurut Oscar Lewis, adalah karena mereka yang tergolong
miskin itu cenderung untuk hidup mengelompok dengan sesamanya
dalam sebuah komuniti. Dan dalam komuniti tersebut pranata-pranata
sosial yang mengacu atau bersumber pada kebudayaan kemiskinan
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:(1) Pranata-pranata sosial mereka
itu terpisah dari pranata- pranata sosial yang berlaku umum dalam
masyarakat luas, karena itu mereka itu tidak atau kurang dapat
memanfaatkan fasilitas- fasilitas yang disajikan oleh pranata-pranata
sosial yang ada dalam masyarakat luas. Partisipasi dan integrasi sosial
mereka dalam masyarakat itu kurang atau tidak efektif. (2) Kehidupan
keluarga yang tidak stabil, anak-anak yang cepat dewasa karena
terbatasnya masa belajar dan bermain. (3) Hutang menghutang dan
gadai menggadai untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. (4) Sikap
pasrah, apatis atau masa bodoh dan senang meminta-minta atau
menerima bantuan derma dan sedekah tetapi di lain pihak juga
menunjukkan sikap-sikap memberontak dan mementingkan diri sendiri.
(5) Tidak punya tabungan, tidak punya rencana hari esok yang jauh
jangkauannya. Yang penting hari ini, pratikal, langsung dan
dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup hari ini.

Kesukaran yang dihadapi dalam menggunakan konsep kebudayaan


kemiskinan, sebagaimana didefinisikan oleh Oscar Lewis tersebut diatas,
dalam upaya untuk menentukan sasaran dan strategi dalam
pengentasan kemiskinan adalah menentukan sasaran utama yang
merupakan konsep inti atau konsep kunci dari kebudayaan kemiskinan.
Karena, dalam konsep tersebut diatas, konsep kebudayaan mencakup
nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola dari kelakuan, sedang tiga konsep
utama ini secara konseptual tidak berada dalam satu kategori. Nilai-nilai
adalah konsep yang berada dalam pengetahuan manusia, yang penuh
dengan muatan emosi dan perasaan, yang terbatas dari dan tidak
mudah berubah karena adanya stimulus yang berasal dari kehidupan
sehari-hari, karena itu merupakan acuan untuk menilai dan
menghasilkan tindakan dalam menghadapi berbagai stimulus yang
berasal dari lingkungan yang dihadapi. Sedang sikap adalah respons
atau tanggapan terhadap stimulus yang berasal dari lingkungan yang
dihadapi yang didapat terwujud sebagai tindakan-tindakan secara verbal
maupun secara kelakuan. Dan, pola-pola kelakuan adalah abstraksi
yang dibuat oleh peneliti mengenai beranekaragam kelakuan dari yang
diteliti untuk mengetahui pola-pola atau prinsip-prinsip umumnya.

Jadi, dalam konsep kenbudayaan kemiskinan dari Oscar Lewis terdapat


konsep-konsep yang saling berbeda tingkat fungsinya dalam struktur
kehidupan manusia dan yang masing-masing berdiri sendiri sebagai
satuan-satuan konsep atau tidak terkait secara fungsional yang secara
keseluruhan merupakan suatu sistem. Karena itu juga dalam metodologi
yang telah digunakan oleh Oscar Lewis untuk meneliti kehidupan
mereka yang tergolong sebagai miskin. Pendekatan etic atau emic telah
digunakannya secara serampangan. Dan karena kelemahannya terletak
pada tingkat konseptual, yaitu konsep kebudayaan kemiskinan, dan
pada metodologinya, maka yang dihasilkan oleh Oscar Lewis adalah
deskripsi- deskripsi atau karya-karya etnografi mengenai gejala-gejala,
yang informatif (lihat misalnya, karyanya yang telah diterbitkan dalam
bahasa Indonesia di Tahun 1989).

Sebagai sebuah konsep, kebudayaan kemiskinan dapat operasional


kegunaannya dalam upaya mengidentifikasi inti permasalahan
kemiskinan dan mengentaskannya. Asalkan konsep-konsep kebudayaan
kemiskinan tersebut dipertajam dalam pendifinisian dan operasional
kegunaannya dalam menjelaskan gejala-gejala kemiskinan yang ada.
Cara yang dapat dilakukan adalah melihat kebudayaan sebagai
pedoman bagi kehidupan, dan sebagai pedoman bagi kehidupan maka
kebudayaan berada dalam pengetauan yang dimiliki dan diacu oleh para
warga sebuah masyarakat untuk menginterpretasi lingkungannya untuk
dapat dimanfaatkan bagi kebutuhan-kebutuhannya. Sebagai pedoman
bagi kehidupan kebudayaan berisikan konsep-konsep dan teori-teori
mengenai gejala-gejala yang merupakan isi dari lingkungannya, dan
metode-metode untuk memilah-milah dan menyeleksi serta merangkai-
rangkai gejala-gejala tersebut sehingga dapat didayagunakan atau
dimanfaatkan. Kebudayaan kemiskinan adalah kebudayaan yang atau
pedoman bagi kehidupan dari mereka yang tergolong miskin yang
digunakan untuk menghadapi lingkungannya yang serba miskin. Karena
lingkungan yang serba miskin maka juga konsep-konsep dan teori-teori
yang ada dalam kebudayaan kemiskinan adalah konsep-konsep dan
teori-teori yang berkaitan dengan kemiskinan tersebut, dan begitu juga
metode-metode yang digunakan untuk memilah-milah, menyeleksi, dan
merangkai gejala-gejala yang ada dalam lingkungan yang serba miskin
tersebut menghasilkan konsep-konsep dan teori-teori yang mencirikan
kemiskinan. Ciri- ciri kebudayaan kemiskinan tersebut terwujud dalam
berbagai pranata sosial yang berlaku dalam masyarakat luas,
sebagaimana telah diidentifikasi oleh Oscar Lewis.

Dengan melihat dan memperlakukan kebudayaan sebagai pengetahuan


yang menjadi pedoman bagi kehidupan dan terwujud sebagai
operasional melalui pranata-pranatanya, maka kebudayaan kemiskinan
dapat dilihat sebagai pedoman bagi kehidupan lingkungan hidup yang
serba miskin yang operional melalui pranata-pranata sosial yang ada
dalam masyarakat miskin tersebut. Kebudayaan kemiskinan tidak dapat
digunakan sebagai acuan dalam menghadapi lingkungan yang tidak
miskin, karena konsep-konsep, teori-teori dan metode- metode yang ada
dalam kebudayaan kemiskinan tidak relevan dengan gejala-gejala yang
ada dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan yang tidak miskin.
Dengan konsep kebudayaan kemiskinan yang saya ajukan tersebut (lihat
juga Suparlan 1984: 11-26), maka nampak jelas sasaran yang harus
diperhatikan dalam upaya pengentasan kemiskinan; yaitu ada dalam
pengetahuan dalam pranata-pranata sosial, dan dalam lingkungan
hidup yang serba miskin. Tiga unsur ini saling terkait satu sama lainnya
dalam hubungan-hubungan fungsional dan secara keseluruhan
merupakan sebuah satuan sistem. Dan, karena itu tidak dapat
ditangani secara setengah-setengah atau hanya menekankan
penanganannya pada pengetahuan saja atau salah satu unsur lainnya,
tetapi harus secara keseluruhan. kalau ditangani secara keseluruhan
maka perubahan-perubahan yaang akan nampak adalah dimulai dari
perubahan dalam tindakan-tindakan para pelaku, yang kemudian
disusul dengan perubahan-perubahan tindakan-tindakan sosial dalam
masyarakat, dan perubahan-perubahan selanjutnya nampak dalam
pranata-pranata sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Kesemua
perubahan tersebut sebenarnya mengacu pada perubahan-perubahan
yang terjadi dalam kebudayaan dari masyarakat orang miskin tersebut.

PERUBAHAN DAN KEBIJAKSANAAN SOSIAL

Kehidupan manusia bermasyarakat terwujud dalam berbagai tindakan


sosial, yaitu antara tindakan para pelaku dalam kegiatan-kegiatan sosial
dengan sesama mereka atau dalam kebersamaan, untuk kepentingan
pemenuhan berbagai kebutuhan untuk hidup mereka. Tindakan-
tindakan sosial para pelaku selalu dilakukan secara spontan dan selalu
diselimuti oleh unsur-unsur emosi dan perasaan; sehingga dibedakan
dari tindakan-tindakan formal atau rasional yang berlaku dalam
kegiatan-kegiatan korporasi atau birokrasi. Tindakan-tindakan sosial,
yang menghasilkan adanya hubungan-hubungan sosial antara warga
masyarakat, terwujud dalam berbagai kegiatan pranata-pranata sosial
yang ada dalam masyarakat tersebut. Tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh para pelaku tersebut selalu berpedoman pada norma-
norma dan peranan-peranan serta serta nilai-nilai yang ada dalam
pranata sosial yang bersangkutan. Selanjutnya, nilai-nilai, norma-
norma, dan peranan- peranan yang ada dalam pranata sosial tersebut
berpedoman pada kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.

Perubahan sosial atau perubahan dari norma-norma, peranan- peranan


sosial, dan pranata-pranata sosial yang berlaku dalam kehidupan sosial
sebuah masyarakat dapat terjadi karena adanya perubahan dalam
lingkungan hidup masyarakat tersebut, karena perubahan dalam
jumlah dan komposisi penduduk yang menjadi warga masyarakat
tersebut, karena adanya peminjaman sesuatu unsur kebudayaan lain
dan karena adanaya penemuan (discovery) dan penciptaan (invention)
dalam kehidupan ekonomi, teknologi, keyakinan, dan berbagai aspek
kehidupan lainnya dari masyarakat tersebut. Perubahan-perubahan
yang terjadi di dalam lingkungan hidup dari masyarakat dan begitu juga
perubahan demografinya, menyebabkan bahwa pedoman-pedoman yang
ada dalam kebudayaan masyarakat tersebut tidak lagi dapat digunakan
atau kurang efektif penggunaannya dalam mengatur kehidupan dan
dalam menghadapi lingkungan hidup dari masyarakat tersebut. Karena
itu, nilai- nilai, norma-norma, dan peranan-peranan yang secara
keseluruhan merupakan sistem, yang digunakan untuk upaya-upaya
pemenuhan kebutuhan bagi hidup mereka harus dirubah, yang
perubahan- perubahannya disesuaikan dengan lingkungan yang telah
berubah tersebut. Perubahan-perubahan tersebut telah menghasilkan
adanya perubahan-perubahan kebudayaan dan kebudayaan yang
berubah tersebut, sebagai pedoman acuan kehidupan sosial, telah
menghasilkan adanya perubahan sosial.

Dalam kasus pengambil alihan unsur-unsur kebudayaan dari luar, tejadi


penemuan dan penciptaan, prosesnya selalu dimulai secara individual
oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Unsur- unsur kebudayaan
yang diambil dari luar, yang ditemukan, atau yang diciptakan biasanya
dimulai dengan penggunaannya secara individual oleh yang
bersangkutan karena dirasakan sebagai menguntungkan. Dengan
demikian maka perubahan yang terjadi terwujud pada tingkat individual
dan tidak pada tingkat kehidupan sosial dari masyarakat tersebut.
Perubahan yang terjadi pada tingkat kehidupan sosial atau perubahan
sosial, baru akan terjadi pada waktu keuntungan yang dirasakan secara
individual tersebut dikomunikasikannya dengan para warga lainnya
tersebut juga merasakan keuntungan yang diperoleh karena
menggunakan unsur-unsur kebudayaan baru di dalam kehidupan
mereka. Unsur-unsur kebudayaan baru tersebut diakomodasikan
didalam norma-norma, peranan-peranan para pelaku, dan diberi
muatan nilai-nilai sesuai kebudayaan yang ada. Dengan demikian
terjadilah perubahan di dalam kehidupan sosial dari masyarakat
tersebut, yang acuannya adalah perubahan kebudayaan, yang terwujud
sebagai corak atau pola-pola kehidupan sosial yang berbeda dari pada
yang telah ada sebelumnya.

Kalau kita perhatikan bersama mengenai proses-proses terjadinya


perubahan sosial, maka terlihat adanya dua cara: yaitu;

1. Terpaksa berubah karena terjadinya perubahan dalam lingkungan


(termasuk perubahan demografi), yang dalam keadaan perubahan
tersebut para warga masyarakat tidak mempunyai alternatif
lainnya selain menyesuaikan diri dengan perubahan
lingkungannya, karena lingkungan itulah tempat mereka hidup
dan yang menghidupi mereka.
2. Terjadi secara sukarela, bertahap dari yang sederhana menjadi
kompleks. Dilakukan oleh individu-individu warga masyarakat
yang bersangkutan karena perubahan sosial dan budaya tersebut
dirasakan sebagai menguntungkan bagi kehidupan mereka.

Suatu kebijaksanaan sosial, yaitu kebijaksanaan yang digunakan


sebagai pedoman atau acuan bagi pemuatan strategi-strategi dan
perencanaan untuk peningkatan kesejahteraan sisoal atau kehidupan
para warga masyarakat, mau tidak mau harus memperhatikan proses-
proses perubahan seperti yang telah dibahas diatas. Karena, pada
dasarnya, kegiatan peningkatan kesejahteraan hidup atau pengentasan
kemiskinan adalah upaya-upaya terencana untuk merubah kebudayaan
dari masyarakat yang menjadi sasaran.

Hakekat perubahan pada butir yang pertama, yaitu perubahan dalam


lingkungan dapat dilakukan untuk memaksa terjadinya perubahan
kebudayaan dan sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Tetapi kalau
warga masyarakat yang bersangkutan tidak mampu untuk merubah
kebudayaan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan lingkungan hidup
yang baru, maka yang terjadi adalah, mereka tidak memperdulikan
lingkungan hidup yang baru, tidak hidup dari lingkungan yang baru
tersebut, atau melarikan diri dari lingkungan hidup yang baru tersebut
dan membentuk lingkungan hidup yang sesuai dengan corak atau pola-
pola kebudayaan mereka. Dalam kasus pertama, lingkungan yang baru
tersebut tidak dipelihara bahkan dirusak, karena dirasakan sebagai
gangguan dalam kehidupan mereka.

Hakekat perubahan pada bulir yang kedua memperlihatkan bahwa


perubahan kebudayaan itu berlangsung secara individual, spontan dan
menguntungkan bagi para pelaku perubahan sosial dan kebudayaan
tersebut. Bila perubahan tersebut dirasakan sebagai merugikan maka
mereka itu akan menolaknya. Dan, bila perubahan tersebut dipaksakan,
maka yang terjadi adalah adanaya perubahan, pada tingkat formalatau
sebagai basa-basi dalam upaya sosial, tetapi tidak terjadi perubahan
pada tingkat kehidupan sehari-hari atau yang nyata. Proses-proses
penolakan secara halus itu terwujud dalam kehidupan sosial karena
setiap perubahan kebudayaan mempunyai mekanisme untuk menolak
unsur-unsur yang merugikan kebudayaan ataupun pelaku pendukung
kebudayaan tersebut. Penolakan, karena dianggap merugikan, selalu
mengacu pada kecocokan unsur-unsur baru tersebut dengan konsep-
konsep, teori-teori, metode-metode yang ada dalam kebudayaan yang
bersangkutan. Kalau cocok atau mengungtungkan para pelaku dan
pengembangan kebudayaan tersebut maka unsur-unsur kebudayaan
yang baru tersebut diterima dan dijadikan sebagai bagian dari pedoman
yang secara umum digunakan dalam kehidupan masyarakat tersebut.

Dengan melihat kemiskinan sebagai kebudayaan kemiskinan, dan


melihat kebudayaan kemiskinan sebagai kebudayaan yang tidak
dipisahkan dari pranata-pranata sosialnya, dan dari lingkungannya,
maka sasaran yang harus ditangani dalam upaya pengentasan
kemiskinan, melalui kebijaksanaan sosial yang dilakukan oleh
pemerintah, menjadi jelas. Yaitu; kebudayaan, pranata-pranata, dan
lingkungan hidup dari masyarakat miskin. Begitu juga berbagai strategi
dan perencanaan, sesuai kebijaksanaan sosial tersebut, dapat menjadi
jelas. Kejelasan yang pertama adalah, bahwa perubahan kebudayaan
dan kehidupan sosial itu tidak dapat berubah secara seketika. Kejelasan
yang kedua adalah, kebudayaan dan kehidupan sosial itu dapat dirubah
secara terencana dengan cara merubah lingkungan hidup masyarakat
yang bersangkutan, melalui berbagai perubahan berbagai fasilitas yang
ada dalam lingkungan, merubah pranata-pranata sosialnya dengan
menambah atau mengurangi berbagai bentuk pelayanan yang
menguntungkan para warga masyarakat, dan merubah konsep-konsep,
teori-teori, nilai-nilai yang mendasarinya, serta metode-metode yang ada
dalam kebudayaan dari masyatrakat tersebut dengan konsep-konsep,
teori-teori, dan nilai-nilai, serta metode-metode yang dapat dirasakan
oleh para warga masyarakat sebagai menguntungkan secara ekonomi,
sosial, dan secara budaya atau kemanusiaan.

Dalam upaya merubah kebudayaan kemiskinan menjadi kebudayaan


yang biasa maka perubahan yang dilakukan secara terencana tersebut
harus sekaligus mencakup tiga buah sasaran yang telah disebutkan
diatas. Kalau tidak maka upaya tersebut akan sia-sia dan bahkan
merugikan pemerintah maupun masyarakat miskin yang bersangkutan.
Diantara tiga satuan sasaran yang sering terabaikan, dan kerena itu
patut diperhatikan adalah permasalahan-permasala han yang ada dalam
kebudayaan kemiskinan. Yang utama adalah tidak adanya atau kurang
berkembangnya konsep modal, dan yang kedua adalah kebudayaan
kemiskinan tidak menyajikan banyak alternatif pilihan dalam hal
konsep-konsep, teori-teori, dan nilai- nilai, karena itu maka konsep-
konsep, teori-teori dan mettode- metode yang ada dalam kebudayaan
tersebut di pegang teguh sebagai satu-satunya kebenaran yang
menguntungkan didalam menghadapai lingkungan.

Kebudayaan kemiskinan tidak mempunyai konsep modal, atau konsep


mengenai modal yang dapat mendorong terwujudnya kegiatan- kegiatan
ekonomi yang menghasilkan keuntungan dan keuntungan tersebut yang
dapat menambah volume modal yang telah ada sebelumnya. Tidak
adanya konsep modal ini didukung oleh tidak adanya konsep-konsep
lain yang ada dalam kebudayaan kemiskinan, seperti, tidak adanya
konsep mengenai perencanaan kegiatan yang bertahap- tahap yang
harus diselesaikan dalam jangka waktu yang panjang, tidak adanya
uang, energi, dan keahlian yang merupakan potensi yang dapat
diaktifkan untuk mampu mengatasi kemiskinan, dan tidak adanya
konsep mengenai pasar dan peluang-peluang dalam pasar, dan berbagai
hambatan lainnya yang terdapat dalam nilai-nilai budaya yang ada
dalam kebudayaan kemiskinan, sebagaimana dikemukakan oleh Oscar
Lewis. Di samping itu, dalam struktur kehidupan orang miskin juga
dikenal adanya patron-patron, yang hidup diantara dan di dalam
masyarakat orang miskin. Patron-patron yang tidak berpedoman pada
kebudayaan kemiskinan, yang hidup dari mengahtarai orang miskin
dengan kehidupan masyarakat luas. Jika permasalahan ini tidak
diperhatikan dengan sungguh-sungguh maka program pengentasan
kemiskinan hanya akan mengenai para patron, atau para patron itulah
yang menjadi sasaran pengentasan kemiskinan (lihat Suparlan 1985,
1991).

Lebih lanjut lagi, upaya pendidikan, penataran, atau sosialisasi yang


dilakukan terhadap orang miskin haruslah yang praktikal,
menguntungkan, tidak bertentangan secara keras dengan nilai-nilai
budaya yang ada, dan sesuai dengan perubahan- perubahan yang
dilakukan oleh pemerintah terhadap lingkungan dan pranata-pranata
sosial dari masyarakat miskin yang bersangkutan. Pendidikan yang
dilakukan bukan hanya pendidikan ketrampilan sebagai ketrampilan
saja, tetapi pendidikan ketrampilan yang menguntungkan. Pendidikan
ketrampilan tersebut mencakup pemberian pengetahuan mengenai
pasar dan mekanismenya, mengenai uang dan modal, dan mengenai
berbagai kewajiban dan tanggung jawab secara ekonomi dan sosial
terhadap masyarakat dan pranata-prranatanya. Dalam keadaan siap
pakai, seperti tersebut diatas, maka modal yang dipinjamkan kepada
orang miskin akan dapat dimanfaatkan secara ekonomi, yang
menguntungkan mereka dan yang meminjamkan modal.

Dalam upaya mengentaskan kemiskinan, pemerintah daerah yang


bersangkutan yang lebih tahu mengenai masyarakat-masyarakat yang
ada dalam wilayah administrasinya. Tingkat ketahuan tersebut juga
bertingkat-tingkat, dari yang sangat khusus dan terperinci sampai
dengan umum, atau dari tingkat desa sampai dengan tingkat propinsi.
Kewenangan untuk menciptakan kebijaksanaan sosial untuk
menciptakan perubahan sosial dalam rangka pengentasan kemiskinan
tentunya akan lebih tepat bila ditangani oleh pemerintah daerah yang
bersangkutan secara bertingkat-tingkat.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Lewis, Oscar

1984 Kebudayaan kemiskinan. Dalam Kemiskinan di Perkotaan. (di-edit


oleh Parsudi Suparlan). Jakarta: OBOR-SINAR HARAPAN. Hal. 29-48.

1884 Harta Milik Orang Miskin. Dalam kemiskinan di Perkotaan. (di-edit


oleh Parsudi Suparlan). Jakarta: Obor-Sinar Harapan. Hal.200-289.

Parsudi Parsudi

1980 Lapangan Kerja Bagi Penduduk Berpenghasilan Rendah.


Widaypura, Vol.2. No.6. Hal.11-28.

1984 Pendahuluan. Dalam Kemiskinan di Perkotaan. (di-edit oleh


Parsudi Suparlan). Jakarta: OBOR-Sinar Harapan. Hal.11-26.

1985 Pola Hubungan Patron-Klien. Model dan Penerapannya pada


Komuniti Gelandangan. Buletin Antropologi, UGM, No.4, Hal. 27-31.

1986 Kebudayaan dan Pembangunan. Media IKA, Antropologi FISP - UI.


No.11, Hal. 95-135.

1991 Berbagai Jenis Akar Rumput: Struktur dan Pola Kerjanya. Media
IKA, Antropologi FISIP - UI, No.13.

1992 Kehidupan Orang Miskin. Kasus di Jakarta, Pangan. No.13, Vol.4,


Juli, Hal. 49-61.

Effendi. N.T.

1983 Masyarakat Hunian Liar Di Kota: Sebuah Studi Kasus Wonosito,


Kotamadya Yogyakarta. Pusat Studi Kependudukan Universitas Gajah
Mada.
Lewis, Oscar.

1989 Kisah Lima Keluarga (terjemahan dari buku Five Failies). Jakarta:
OBOR - Sinar Harapan.

Anda mungkin juga menyukai