Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Para generasi sepeninggal Nabi saw mengelompokkan aliran-aliran tafsir

yaitu bil matsur dan tafsir bi al-rayi. Tafsir bi al-matsur merupakan tafsir yang

menjelaskan ayat-ayat Al-quran berdasarkan pendapat-pendapat nabi. Sahabat

dan para ulama sedangkan tafsir bi al-rayi berdasarkan akal rasio (akal). Adanya

perbedaan pendapat dari para ulama tentang tafsir bi al-rayi menyebabkan

harusnya seorang muffasir, memenuhi syarat-syarat yang sangat ketat dan hal-hal

yang harus di hindari.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian tafsir bil matsur ?

2. Apa pengertian tafsir bil rayi ?

C. Tujuan Penulisan

1. Menjelaskan pengertian tafsir bil matsur

2. Menjelaskan pengertian tafsir bil rayi

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tafsir Bil Matsur

Tafsir bi al-MatsurTasir bil al-Matsur disebut juga tafsir riwayah atau tafsir

manqul, yaitu tafsir al-Quran yang dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran

berdasarkan atas sumber panafsiran dalam Al-Quran dari riwayat para sahabat dan

dari riwayat para tabiin. sebagaimana definisi oleh Prof. Dr. H. Abdul Djalal H. A

dalam manaaul Qaththan.

Artinya:
Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan
yang shahih yaitu menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, Al-Quran
dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan
perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui
Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabiin karena
mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.

Tafsir bi al-matsur menurut sebagian pendapat adalah corak tafsir Al-

Quran yang dalam operasional penafsirannya mengutip dari ayat-ayat Al-Quran

sendiri dan apa-apa yang dikutip dari hadits Nabi, pendapat sahabat dan tabiin,

namun bagi sebagian mufasir lainya tidak memasukkan pendapat tabiin kepada

tafsir bi al-matsur tetapi sebagai tafsir bi al rayi. Hal ini mungkin karena

pendapat tabiin sudah banyak tekooptasi akal atau karena mufasirnya dalam

menafsirkan al-quran lebih memprioritaskan kaidah-kaidah bahasa tanpa

mementingkan aspek riwayah berbeda dengan sahabat yang memiliki integritas

2
dan kemungkinan besar untuk mengetahui fenafsiran suatu ayat berdasarkan

petunjuk nabi bahkan penafsiran sahabat yang menyaksikan nuzul wahyu di

hukumi marfu Nabi.

Adapun alasan pendapat yang memasukkan pendapat sahabat sebagai

tafsir bi al matsur karena di jumpai kitab-kitab tafsir bi al matsur, seperti tafsir al-

thabary dan sebagainya tidak mencukupi dengan menyebutkan riwayat-riwayat

dari Nabi atau sahabat saja, tetapi perlu memasukkan pendapat sahabat dalam

tafsirnya . Di samping itu, para tabiin banyak yang bergaul dengan sahabat.

Mempelajari ilmu-ilmu mereka dan banyak mengetahui hal ihwal al-Quran dari

mereka di banding generasi berikutnya. Apalagi, jika penafsiran itu menyangkut

persoalan-persoalan metafisika yang berada di luar kemampuan mereka.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir bi al-

matsur bersumber pada al-Quran, penjelasan nabi, pendapat sahabat dan tabiin.

Dari dua penjelasan di atas maka dapat dipertegas lagi, bahwa penafsiran bi al-

matsur ialah: Penafsiran ayat-ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran, penafsiran

ayat-ayat Al-Quran dengan Hadits, dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran dengan

Asar yang datang dari para sahabat.

Keistimewaan tafsir bi al-matsur menurut Quraisy Shihab sebagai berikut:

a. Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Quran


b. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-

pesannya
c. Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya agar

tidak terjerumus dalam subjektivitas yang berlebihan.

Menurut Adz-Dzahabi ada beberapa kelemahan Tafsir bi al-Matsur antara

lain sebagai berikut:

3
a. Terjadi pemalsuan (wadh) dalam tafsir.
b. Penghilangan sanad
b. Mufassir terjerumus ke dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang

bertele-tele sehingga pokok al-Quran menjadi kabur.


c. Kronologis asbab an-Nuzul hukum yang di pahami dari uraian (naskh-

mansukh) hampir di katakan terabaikan sehingga ayat-ayat tersebut

bagaikan turun di tengah-tengah masyarakat yang hampa budaya.


d. Masuknya unsur israiliyyat yang di definisikan sebagai unsur Yahudi dan

Nasrani ke dalam penafsiran al-Quran. Tafsir-tafsir bil matsur yang

terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy,

Tafsir Ad Dararul Matsur fit Tafsiri bil Matsur (karya Jalaluddin As

Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn

Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh

(karya Abu Jafar An Nahhas).

B. Tafsir Bi Al Rayi

1. Pengertian

Kata al rayi secara etimologis berarti keyakinan, qiyas dan Ijtihad. Jadi,

tafsir bi al rayi adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara Ijtihad. Yakni rasio

yang dijadikan titik tolak penafsiran setelah mufasir terlebih dahulu memahami

bahasa Arab dan aspek-aspek dilalah (pembuktian) nya dan mufasari juga

menggunakan syair-syair arab jahili sebagai pendukung, di samping

memperhatikan asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, qiraat dan lain-lain.

Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir

karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini

memperbesar peranan Ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-

Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-

4
Quran, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir

akan menggunakan kemampan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan

mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang

ada.

Karena penafsiran dengan corak ini didasarkan atas hasil pemiiran mufasir

sendiri maka sering terjadi perbedaan di antara seorang mufasir dengan mufasir

lainnya dibanding tafsir bil al-Matsur, tidak heran kalau ada sebagian ulama yang

menolak corak penafsiran al-Rayi ini, seperti halnya Ibn Taimiyah. Ini bukan

berarti tafsir corak ini tidak mendapat pendapat tempat di kalangan para ulama.

Sebagian ulama menerimanya dengan syarat-syarat tertentu dan kaidah-kaidah

yang ketat, syarat-syarat yang dimaksud adalah:

a. Menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya.


b. Menguasai ilmu-ilmu Al-Quran
c. Berkaidah yang benar.
d. Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam dan menguasai ilmu yang

berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan. Tidak

terpenuhinya syarat-syarat ini, maka seorang mufasir akan terjebak pada

penyimpangan dalam menafsirkan al-Quran. Di samping itu penerimaan

mereka juga didasarkan atas ayat-ayat al-quran sendiri, yang menurut

mereka, sering menganjurkan manusia untuk memikirkan dan memahami

kandungannya. Ayat-ayat yang mendukungnya, sebagian dikutip al-Shubhi

Shalih, di antaranya ayat ke-24 dari surat Muhammad dan ayat ke-29 dari

surah shad.

Ada beberapa contoh penafsiran yang keliru dalam penggunaan corak

tafsir al-rayi, misalnya penafsiran kalam syiah terhadap ayat ke-33 dari surat

alwaqiah yang artinya:

5
Wahai sekalian jin dan manusia, jika kamu sanggup melintasi penjuru
langit dan bumi, maka lakukanlah, niscaya kamu tidak akan mampu
melakukannya, kecuali dengan kekuatan ....
Mereka menduga bahwa ayat di atas mengisyaratkan kemungkinan para

scientis memungkinkan ayat itu diberi pengertian demikian, sebab ayat

sebelumnya (ayat ke-31) berbunyi yang artinya:

Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu, wahai manusia dan


jin,
Dan ayat sesudahnya (ayat ke-35) berbunyi yang artinya:

Kepada kamu (jin dan manusia) dilepaskannya nyala api dan cairan
tembaga, maka kamu tidak dapat menyelamatkan diri (darinya).
Kedua ayat tersebut berbicara masalah hari kiamat, demikian pula ayat

sesudahnya oleh karena itu, penafsiran demikian jelas menyimpang dan terkesan

di paksakan. Tafsir bi ar-rayi disebut juga dengan istilah tafsir dirayah dan tafsir

maqul, yaitu: Penjelasan-penjelasan yang bersendi pada ijtihad dan akal,

berpegang pada kaidah-kaidah bahasa dan adat istiadat orang Arab dalam

mempergunakan bahasanya. Ali As-Sabuni menjelaskan:

Artinya:
Yang dimaksud dengan ar-rayu di sini adalah ijtihad, karena itu tafsir
secara rayu berarti tafsir al-Quran berdasarkan ijtihad setelah mufassir
mengetahui kata-kata dan uslub orang Arab dalam berbicara, serta
menetahui lafaz-lafaz bahasa Arab dan pengertiannya.

6
Jadi maksud rayu di sini bukan semata-mata pendapat, atau menafsirkan

Al-Quran berdasarkan kata hati dan hawa nafsu seseorang. Al-Qurtubi dalam kitab

tafsirnya telah menuliskan:



Artinya:
Siapa yang menafsirkan Al-Quran berdasarkan imajinasinya tanpa
berdasarkan kaidah-kaidah, maka ia adalah orang yang keliru.
Untuk menghindari kesesatan penafsiran Al-Quran, maka ijtihadnya harus

disandarkan pada petunjuk-petunjuk yang benar. Berhubungan dengan hal ini,

maka senada dengan imam Az-Zarkasyi, imam As-Suyuti menegaskan bahwa

prinsip-prinsip yang harus dipegangi dalam menafsirkan Al-Quran bi ar-Rayi itu

ada empat, yaitu:

a. Dikutif dari Rasul dengan menghindari Hadits-hadits dhaif dan maudhu.

b. Mengambil dari pendapat para sahabat dalam hal tafsir karena kedudukan-

nya adalah marfu.

c. Mengambil berdasarkan bahasa Arab secara mutlak, karena Al-Quran

diturunkan dengan bahasa Arab.

d. Mengambil berdasarkan ucapan yang popular di kalangan orang Arab serta

sesuai dengan ketentuannya syara.

Para ulama telah berselisih pendapat mengenai kedudukan tafsir bi ar

rayi, sebahagian membolehkan dengan cara ini, sedang yang lainnya tidak tidak

memperbolehkannya. Masing-masing pihak mempunyai argumentasi sendiri-

sendiri, namun bila ditinjau dengan teliti dan cermat ternyata perselisihan itu tidak

menyangkut masalah prinsip, hanya menyangkut cara pengungkapannya saja.

7
Oleh karena itu kedua pandangan tersebut bisa ditarik dan dipadukan, dimana

tafsir bi ar-rayi itu ada dua macam, yaitu:

a. Tafsir bi ar-rayi yang terpuji (al-Mahmud), yaitu: Penafsiran dengan

ijtihad yang menggunakan kaidah dan persyaratan, sehingga jauh untuk

menyimpang.

a. Tafsir bi ar-rayi yang tercela (al-mazmum), yaitu: apabila penafsirannya

tidak memenuhi beberpa persyaratan, sehingga ia berada dalam kesesatan

dan kejahilan.

Sejak awal digagas, legalitas tafsir bi ar-Rayi telah menjadi bahan

perdebatan dari berbagai kalangan. Argumentasi kelompok penentang:

a. Penafsiran melalui perangkat rayu tidak akan membuahkan interpretasi

maksimal (al-mutayaqqan ishabatuh), maksimal hanya sampai taraf

akurasi kesimpulan-kesimpulan yang tidak lebih dari sekedar persangkaan

tanpa dasar ilmu yang jelas dan tegas, di mana hal ini dilarang oleh Allah I.

Dalam firman-Nya:

Artinya
Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melenggar
hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui.
b. Penafsiran al-Quran sudah diturunkan oleh Allah I. Dalam al-Quran sendiri

atau lewat hadis-hadis nabi sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya.

Artinya:
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.
c. Disamping itu, penafsiran dengan rayu juga dilarang, sabda nabi dalam HR.

Turmudzi.

Artinya:
Dan barangsiapa berbicara tentang al-Quran dengan akalnya, maka pergi
dan bersemayamlah di neraka.
d. Adanya riwayat dari para sahabat dan tabiin yang bersikap membatasi diri

dalam menafsirkan al-Quran dengan logikanya, karena khawatir akan

mengantarkan pada penafsiran yang tidak dikehendaki Allah swt.

2. Sumber Penafsiran Tafsir Bir Rayi

a. Riwayat-riwayat shahih yang dikutip dari Nabi dengan tetap mengedepankan

sikap selektif terhadap hadits-hadits yang lemah dan palsu. Jika terdapat suatu

riwayat yang shohih, maka tidak diperbolehkan menafsirkan dengan metode

rayu.

b. Mengambil pendapat sahabat. Sebab ijtihad penafsiran yang dilakukan para

sahabat setingkat dengan hadits marfu.

c. Makna asli dari bahasa arab, mengingat al-Quran diturunkan dengan bahasa

Arab dengan catatan mufassir harus tetap memperhatikan makna mayoritas

yang terlaku dikalangan bangsa arab.

d. Tuntutan Kandungan makna dari susunan kalimat sesuai dengan prinsi-

prinsip syariat.

9
3. Hal-hal yang Harus Dihindari Oleh Seorang Mufassir bi Ar-Rayi.

Seorang mufasir agar dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran tidak sampai

tergelincir dalam jurang kesesatan sehingga akan masuk dalam kategori tafsir bi

ar-rayi yang tertolak maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai

berikut:

a. Mengemukkan maksud dari firman Allah tanpa di bekali pengetahuan

kaidah-kaidah bahasa serta ilmu syariat secara lengkap dan memadai.

b. Mengarahkan kandungan makna al-Quran berdasarkan madzhab yang

rusak dan sesat.

c. Menetapkan dengan tegas bahwa maksud Allah swt. Demikian tanpa ada

tendensi dalilnya.

d. Menafsirkan al-Quran hanya untuk menuruti hawa nafsu atau sangkaan-

sangkaan yang dianggap benar.

4. Metodologi Tafsir Bi Ar-Rayi

Sebelum seorang mufassir terjun dalam menafsiri al-Quran bi ar-rayi ia

harus mengetahui dahulu tahapan yang harus ditempuh dalam menafsirkan al-

Quran bi ar-rayi supaya hasil pentafsirannya kalau tidak dikatakan melenceng

dari ketentuan syariat paling tidak mendekati kebenaran. Maka tidak

diketemukan, maka beralih pada as-sunnah dan atsarusshohabah sebagai tahapan

berikutnya. Dalam hal tidak adanya tiga sumber penafsiran di atas, barulah bagi

mufassir boleh menafsirkan al-Quran bi ar-rayi, dengan berpedoman pada

kaidah-kaidah sebagaimana berikut:

a. Memulai alur pembicaraan sesuai dengan susunan kalimat dari sisi Irab

dan balaghah.

10
b. Mendahulukan makna hakiki dari makna majazinya.

c. Memperhatikan sebab-sebab diturunkannya suatu ayat (asbabunnuzul).

b. Memperhatikan korelasi antara ayat pertama dan setelahnya.

c. Memperhatikan tujuan dasar dari runtutan suatu ayat.

d. Tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, sejarah manusia secara

umum ataupun khusus dikomunitas bangsa Arab.

e. Dalam menjelaskan makna dan istimbat hukum tetap berjalan di atas

prinsip-prinsip kaidah bahasa, syariat dan ilmu pengetahuan.

f. Mengikuti aturan-aturan tarjih tatkala menemukan beberapa

keberagaman makna.

Beberapa tafsir bi ar-rayi yang terkenal antara lain: Tafsir al-Jalalain

(karya Jalaluddin Muhammad Al-Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin

Abdur Rahman As Sayuthi), Tafsir Al-Baidhawi, Tafsir Al-Fakhrur Razy, Tafsir

Abu Suud, Tafsir An-Nasafy, Tafsir Al-Khatib, Tafsir Al-Khazi

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tafsir terbagi menjadi 2 yaitu:

11
1. Tafsir bi al matsur yang di sebut juga tafsir riwayah atau tafsir manqul.

Yaitu tafsir yang berusaha menjelaskan ayat-ayat alquran berdasarkan

pendapat-pendapat Nabi, sahabat dan ulama

2. Tafsir bi al-rayi disebut juga tafsir dirayah yaitu tafsir yang menjelaskan

ayat-ayat alquran berdasarkan akal (rasio) intelektual. Penafsiran bi al

matsur yaitu dengan :

a. Penafsiran al-Quran dengan al-Quran.

b. Penafsiran al-Quran dengan hadits

Penafsiran al-Quran dengan qaul sahabat. syarat-syarat seorang mufasir

tafsir bi al rayi :

a. Menguasai bahasa arab dan cabang-cabangnya

b. Menguasai ilmu-ilmu Alquran

c. Berakidah yang benar

d. Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam.

Kitab-kitab tafsir bi al matsur diantaranya: Tafsir ibnu Jarir, tafsir Abu

Laits as Samarkandy, tafsir ad Daratul Matsur fit Tafsiri bil matsur, tafsir Ibnu

Katsir, tasfir al-Baghawi dan tafsir Baqy ibn Makhlad, asbabun nuzul dan an-

Nasih wa mansukh. Kitab-ktiab tafsir bi al rayi Tafsir al Jalalain, tafsir al-

Baidhawi, tafsir al-Fakhrur Razy, tafsir Abu Suud, tafsir an- Nasafy, tasfir al

Khatib, tafsir al-Khazin.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar Rosihan, Ilmu Tafsir, Bandung, CV Pustaka Setia, 2000

12
Supiana, Karman, Ulumul Quran, Pustaka Islamika, Bandung, 2002.
Wap.islami.com

Syadah Ahmad, Rofii Ahmad, Ulumul Quran II, Bandung, CV Pustaka Setia,
2000

13

Anda mungkin juga menyukai