Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat
peningkatan dugaan kasus malpraktik dan kelalaian medik di
Indoneia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis
bidan yang berdampak buruk terhadapa pasiennya. Media massa
banyak memberitahukan tentan kasus gugatan/tuntutan hukum
(perdata dan atau pidana) kepada bidan, dokter, dan tenaga
medis lain, dan atau manajemen rumah sakit yang diajukan
masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari
tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis. (Reni
Heryani,2013)
Tuntutan bahwa etik adalah hal penting dalam kebidanan
salah satunya adalah karena bidan merupakan profesi yang
bertanggung jawab terhadap keputusan yang dibuat
berhubungan dengan klien serta harus mepunyai tanggung
jawab moral terhadap keputusan yang diambil. Untuk dapat
menjalankan praktik kebidanan dengan baik tidak hanya
dibutuhkan pengetahuan klinik yang baik serta pengetahuan
yang up to date tetapi bidan juga harus mempunyai pemahaman
isu etik dalam pelayanan kebidanan. Menurut Daryl Koehn dalam
The Ground Of Professional Ethis (1994), bahwa bidan dikatakan
professional bila menerapkan etika dalam menjalankan praktik
kebidanan. Dengan memahami peran sebagai bidan, akan
meningkatkan tanggungjawab profesionalnya kepada pasien
atau klien. Bidan berada pada posisi yang baik, yaitu
memfasilitasi pilihan klien dan membutuhkan peningkatan
pengetahuan tentang etika untuk menerapkan dalam strategi
praktik kebidanan. (Heni, 2008)

B. Rumusan Masalah

1
- Bagaimana melakukan pembuktian malpraktek
dipelayanan kesehatan?
- Apa saja tanggung jawab hukum dalam pembuktian
malpraktek dipelayanan kesehatan
- Bagaimana pandangan islam terhadap malpraktek beserta
dalilnya !

C. Tujuan
- Menjelaskan cara-cara melakukan pembuktian malpraktek
dipelayanan kesehatan
- Menjelaskan tanggung jawab hukum dalam pembuktian
malpraktek dipelayanan kesehatan
- Menjelaskan pandangan islam tentang malpraktek beserta
dalil

2
s
BAB II
PEMBAHASAN
Menghadapi Masalah Etik Moral dan Dilema dalam
Praktek Kebidanan
A. Pembuktian Malpraktek dalam Pelayanan Kebidanan
Dari deifinisi malpraktik diatas maka tindakan malpraktik
harus dibuktikan bahwa apakah benar atau tidak telah terjadi
kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim
dipergunakan diwilayah tersebut.
Apabila akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi maka
harus dilihat apakah bukan merupakan risiko yang melekat
terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment)
karena perikatan dalam transaksi terapeutik antara tenaga
kesehatan dengan pasien yang merupakan perikatan/perjanjian
jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan
perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat verbintenis).
Dalam hal tenaga bidan didakwa telah melakukan criminal
malpractice, maka harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga
bidan tersebut telah memenuhi unsur tindak pidana yakni :
1. Apakah perbuatan (positive act atau negatif act) merupakan
perbuatan yang tercela.
2. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin
(mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh, atau adanya
kealpaan)
Selanjutnya apabila tenaga bidan dituduh telah melakukan
kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meniggal dunia
ataupun menderita luka, maka yanng harus dibuktikan adalah

3
adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan
sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang
praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice
pembuktiannya dapat dilakukan dengan 2 cara yakni :
1. Secara langsung
Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur
adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Adanya kewajiban atau keharusan dalam pelayanan medis
yang terwujud dalam hubungan antara tenaga kerja kesehatan
dan pasiennya, atau adanya ketentuan standard profesi atau
standar pelayanan kesehatan (medis).
Standard profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan
sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik, yang
biasanya dirumuskan dengan dipenuhinya unsur atau kriteria
sebagai berikut :
- Perbuatan dilakukan secara cermat.
- Perbuatan dilakukan sesuai dengan ukuran illmu kedokteran.
- Perbuatan dilakukan sesuai dengan rata-rata kemampuan
kategori keahlian tenaga medis yang sama.
- Perbuatan dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi yang
sama/sebanding.
- Perbuatan dilakukan sebanding dengan sarana yang tersedia.
Dalam hubungan perjanjian tenaga bidan dengan pasien,
tenaga bidan haruslah bertindak berdasarkan :
- Adanya indikasi media.
- Bertindak secara hati-hati dan teliti.
- Bekerja sesuai standar profesi.
- Sudah ada informed consent.

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)


Jika seorang tenaga bidan melakukan
menyimpang/pelanggaran asuhan kebidanan dari apa yang
seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya

4
dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga bidan
tersebut dapat dipersalahkan.

c. Direct Causation (penyebab langsung)


Penyebab langsung yang dimaksud yaitu dimana suatu
tindakan langsung yang terjadi, yang mengakibatkan kecacatan
pada pasien akibat kealpaan seorang bidan/tenaga kesehatan
pada diagnosis dan perawatan terhadap pasien. Adanya
hubungan kausalitas antara tindakan pelanggaran dan luka,
kesakitan atau derita kesehatan pada diri pasien yang
bersangkutan.
Secara hukum harus dapat dibuktikan secara medis yang
menjadi bukti penyebab langsung terjadinya malpraktek dalam
kasus manapun. Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti-rugi
berdasarkan malpraktek mmedik, maka harus ada hubungan
kausal yang wajar anatara sikap-tindak tergugat (bidan/tenaga
keseahatan) dengan kerugian (damage) yang diderita oleh
pasien sebagai akibatnya. Tindakan bidan itu harus merupakan
penyebab langsung. Hanya atas dasar penyimpangan saja
belumlah cukup untuk mengajukan tuntutan ganti-
kerugian.kecuali jika siat penyimpangan itu sedemikian tiidak
wajar sahingga sampai mencederai pasien. Namun apabila
pasien tersebut sudah diperiksa oleh bidan/tenaga kesehatan
secara adekuat, maka hanya atas dasar suatu kekeliruan dalam
menegakkan diagnosis saja, tidaklah cukup kuat untuk meminta
pertanggungjawaban hukumannya.

d. Damage (kerugian)
Yakni adanya luka, kesakitan, atau derita pasien dalam segi
kesehatan fisik atau emosionalnya. Tenaga bidan untuk dapat
dipersalhkan haruslah ada hubunngan kausal (langsuung) antara
penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita olleh

5
karenanya dan tidak ada peristiwa atauu tindakan sela
diantaranya, dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil
(outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan
tenaga bidan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum
maka pembuktian adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan
oleh si penggugat (pasien).

2. Secara tidak langsung


Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah
bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita
olehnya sebagai hasil layanan bidan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta
yang ada memenuhi kriteria :
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga bidan tidak
lalai.
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab
tenaga bidan.
c. Fakta itu terjadi tanpa adanya kontribusi dari pasien dengan
perkataan lain tidak ada contributory negligence.
d. Misalnya ada kasus saat tenaga bidan akan
mengganti/memperbaiki kedudukan jarum infus pasien bayi,
saat menggunting perban ikut terpotong jari pasien tersebut.
Dalam hal ini jari yang putus dapat dijadikan fakta yang
secara tiidak langsung dapat membuktikan kesalahan tenaga
bidan, karena:
- Jari bayi tidak akan terpotong apabila tidak ada kelalaian
tenaga bidan.
- Membetulkan jarum infus adalah merupakan/berada pada
tanggung jawab bidan.
- Pasien atau bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan
kejadian tersebut.

Jadi dapat disimpulkan bahwa malpraktek dalam asuhan


kebidanan merupakan suatu kelalaian dari seorang bidan untuk

6
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuannya
dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan
terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama.

Pembuktian Secara Medis dalam Kasus Malpraktik Perdata


Untuk memahami ruang lingkup dan mekanisme pembuktian medis dalam hal
menindaklanjuti tuntutan malpraktik perdata, maka perlu di uraikan secara jelas
mengenai definisi pembuktian medis dan ruang lingkup pembuktian secara medis.
Dalam berbagai referensi, istilah pembuktian secara medis belum digunakan
secara umum dan tegas. Meski istilah pembuktian secara medis ini dinyatakan
secara eksplisit, namun dalam pelaksanaan penelitian didapatkan suatu fakta
bahwa ada kalanya suatu kasus malpraktik tidak memerlukan pembuktian secara
medis karena pada kasus tersebut unsur kesalahan, kelalaian maupun PMH
seorang dokter dapat terlihat secara jelas (clear), tegas (explicit) dan tidak perlu
diperdebatkan lagi (undebatable). Ini merupakan implementasi nyata dari doktrin
res ipsa loquitur. Doktrin res ipsa loquitur (the thing speaks for itself) banyak
dijadikan acuan oleh beberapa negara dalam mengadili kasus dugaan malpraktik.
Doktrin ini pada dasarnya menyatakan bahwa fakta-fakta mengenai kelalaian
maupun kesalahan dokter dapat dilihat secara jelas dan gamblang, tanpa harus
dilakukan pembuktian secara lebih detail, mendalam, dan rumit.
Seperti kasus yang pernah terjadi di Yogyakarta misalnya, ketika seorang
pasien yang mengalami sakit disalah satu kakinya, anmun yang dioperasi adalah
kaki yang lain. Atau ketika terdapat alat-alat kedokteran seperti pisau atau benda
lain yang tertinggal (yang seharusnya tidak tertinggal) di dalam tubuh pasien yang
telah dioperasi. Jika berdasarkan pada doktrin res ipsa loquitur ini, memang
pembuktian secara medis mendetail, rumit dan berbelit-belit tidak diperlukan.
Oleh karena itu, ada pendapat bahwa sebenarnya membuktikan tindakan
malpraktiek bukan merupakan hal yang sulit untuk dilakukan.
Secara logika, tidak bisa dipungkiri bahwa jasa pelayanan kesehatan
melibatkan dua pihak (pasien dann dokter) yang tiidak seimbanng dari segi
pengetahuannya meskipun menurut undang-undang kedudukan hukumm di antara

7
keduanya harus setara (equal). Ketika terjadi persoalan yang mengarah pada
malpraktek, baik malpraktek perdata, pidana maupun administratif, segala fakta
yang sifatnya membenarkan suatu peristiwa dan menegaskan suatu hak perlu di
buktikan dari segi ilmu kedokteran. Pembuktian secara medis ini berkaitan dengan
pembuktiian mengenai benar tidaknya dan perlu tidaknya suatu tindakan medik
yang telah dilakukan oleh dokter terhadap pasien, termasuk menguji apakh
tindkan medik yang diambil sudah dijalankan sesuai dengan standar ptrofesi dan
ilmu kedokteran. Tindakan medik sendiri didefinisikan sebagai suatu keputusan
etis yang dilakukan oleh seorang manusia terhadap manusia lainnya yang
umumnya memerlukan pertolongan, dimana keputusan tersebut diambil
berdasarkan pertimbangan atas beberapa alternatif. Sementara menurut peraturan
yang berlaku saat ini, tindakan medik diartikan sebagai suatu tindakan yang
dilakukan terhadap pasien berupa diagnosis terapeutik. Dari peraturan tersebut
dapat disimpulkan bahwa tindakan medik bertujuan untuk menegakkan dignostik
dan untuk menerapkan terapi.
Tidak ada ilmu lain yang bisa menjelaskan kebenaran akan suatu tindakan
medik, termasuk diagnosa, pengobatan dan perawatan jika bukan ilmu kedokteran
itu sendiri. Oleh karena itu, jika dalam satu kasus malpraktek perdata tidak
memungkinkan diterapkannya doktrn res ipsa loquitur, maka pembuktian secara
medis (berdasarkan ilmu kedokteran) adalah syarat mutlak untuk membuktiakan
ada tidaknya malpraktik, dan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
tahap pembuktian kasus malpraktek.
B. Tanggung Jawab Hukum
Seperti dikemukakan di atas bahwa tidak setiap upaya
kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien
baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka
seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu
dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan
bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa
yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut
merupakan akibat kelalian tenaga bidan. Di dalam transaksi
terapeutik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain :

8
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya
kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati.
Dibagian pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan adalah
daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care
provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya
bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai
dengan standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung
gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga
kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate),
misalnya rumah sakit akan bertannggung gugat atas kerugian
pasien yang diakibatkan oleh kelalaian bidan sebagai
karyawannya.
3. Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan
hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum,
kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap
orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan
kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitiann yang patut
dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda
orang lain.

Tanggung Jawab Hukum Ditinjau Dari Undang Undang Nomor


36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Menurut pasal 52 Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan terdapat beberapa bentuk pelayanan
kesehatan antara lain: pelayanan kesehatan promotif, preventif,
kuratif, rehabilitatif, dan pelayanan kesehatan tradisional.
Seorang tenaga kesehatan yang akan menangani pasien harus

9
mempunyai kompetensi yang cukup yang dapat memberikan
asuhan sesuai dengan kewenangannya sehingga dapat
memberikan kenyamanan kepada pasien. dalam setiap profesi
didalamnya memiliki standar tersendiri baik standar profesi
maupun standar prosedurnya.
Dalam Pasal 47 Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan menyebutkan bahwa upaya kesehatan
diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan
secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan.Dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien seorang dokter
dan perawat harus berpegan teguh pada standar profesi, standar
prosedur dan kode etik sebagai pedoman untuk memberi arah
terhadap praktik kedokteran sehingga mengikat pekerjaan dalam
profesi kedokteran tersebut. seorang dokter yang akan membuka
praktik Menurut Pasal 29 Ayat (1) Undang Undang Nomor 29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran wajib memiliki
kewenangan untuk memiliki Surat Tanda Registrasi (STR), dan
menurut pasal 36 Undang Undang Nomor 29 Tahun 2009
seorang dokter wajib memiliki Surat Izin Praktik (SIP).
Tanggung Jawab Hukum Tanggung jawab hukum dokter adalah
suatu keterikatan dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum
dalam menjalankan profesinya. Tanggung jawab dalam bidang
hukum perdata, terjadi apabila dokter tidak dapat melaksankan
kewajibannya (ingkar janji), yaitu tidak memberikan prestasi
sebagaimana yang telah disepakati dan karena perbuatan
melanggar hukum. Tindakan dokter yang termasuk wanprestasi
antara lain: tidak melakukan apa yang menurut kesepaktannya
wajib untuk dilakukan, melakukan apa yang menurut
kesepakatannya wajib dilaksanakan akan tetapi terlambat,
melakukan kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna dan melakukan apa yang menurut kesepakatannya

10
tidak seharusnya.Ada tiga unsur dalam pertanggung jawaban
secara perdata, yakni: Pertama, adanya kelalaian yang dapat
dipersalahkan. Kedua, adanya kerugian, ketiga, adanya
hubungan kausal. Pada umumnya ada dua bentuk
pertanggungjawaban dokter di bidang hukum perdata, yaitu
pertanggungiawaban atas kerugian yang disebabkan karena
wanprestasi (yaitu perbuatan tidak memenuhi prestasi atau
memenuhi prestasi secara tidak baik) dan kedua,
pertanggungjawaban disebabkan oleh perbuatan melanggar
hukum yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban
profesi.
Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk pengaduan
oleh konsumen kesehatan untuk yang merasa dirugikan hak
haknya oleh pelaku usaha jasa layanan kesehatan antara lain
melalui: Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), melalui
BPSK, dan melalui Peradilan Umum.

Cara Menghindari Malpraktek


Untuk menghindari kejadian malpraktek, ada hal yang harus kita
perhatikan, diantaranya yaitu :
1. Pilih tempat pengobatan (RS atau Klinik) yang memiliki
reputasi cukup baik. Jangan hanya mempertimbangkan jarak
dengan rumah sebagai dasar memilih tempat berobat.
Jangan ragu memilih ditempat yang jauh asalkan reputasinya
bagus, meskipun didekat rumah ada layanan kesehatan
tetapi belum jelas reputasinya.
2. Ketika pasien melakukan rawat inap, akan ada dokter yang
ditunjuk untuk menangani pasien. Jangan ragu untuk
meminta bidan/tenaga kesehatan yang dipercayai kepada
pihak manajemen, apalagi jika merasa ragu dengan
kemampuan dari pelayanan bidan/tenaga kesehatan yang
menangani.

11
3. Jangan takut untuk bertanya kepada bidan/tenaga kesehatan
mengenai tindakan medis yang dilakukan. Menurut UU
Kesehatan, keluarga pasien berhak tau apa saja tindakan
medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan kepada pasien.
Jangan ragu untuk bertanya mengenai diagnosa, dasar
tindakan medis dan apa manfaat dari tindakan medis yang
dilakukan oleh bidan/tenaga kesehatan tersebut.
4. Jangan takut untuk bertanya kepada bidan/tenaga kesehatan
obat yang diberikan kepada pasien. Keluarga berhak tahu dan
dilindungi oleh UU Kesehatan. Hal ini karena tidak jarang ada
oknum yang hanya mengejar komisi dari perusahaan
distributor obat sehingga memberikan obat yanng lebih
banyak atau bahkan tidak diperlukan kepada pasien.

C. Dalil yang berhubungan dengan Malpraktek di


Pelayanan Kesehatan
Berdasarkan firman Allah subhanahuwataala dalam surah An-
Nisa ayat 92 :
















Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang
mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan
barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada

12
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang
ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka
(hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba
sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya,
maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-
turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Ayat di atas menjelaskan secara umum mengenai masalah


malpraktek. Karena dalam perbuatan malpraktek jika hal
tersebut sudah terlalu parah maka akan mengakibatkan
kematian pada pasien. Hingga dapatlah kita ambil hukum
berdasarkan ayat al-quran di atas. Namun secara garis besar
perbuatan malpraktek sudah jelas dibantah dalam islam karena
dampaknya merugikan pasien selain itu juga memberikan
kemudhorotan kepada pasien. Berdasarkan surahh Al-baqoroh
ayat 231 yang artinya janganlah kamu rujuki mereka untuk
memberi kemudhorotan, karena dengan demikian kamu
menganiaya merek.
Kemudian malpratek dalam islam juga terdapat beberapa
perbedaan pendapat ulama yaitu :
1) Jika tenaga kesehatan yang dianggap melakukan
malpraktek itu merupakan ahli dalam bidangnya, maka itu
bukan tanggung jawab dia karena tidak ada unsur
malpraktek melainkan qodarullah.
2) Jika tenaga kesehatan yang dianggap melakukan
malpraktek itu merupakan seseorang yang bukan ahli
dalam bidangnya, maka dia harus bertanggung jawab atas
perbuatan yang dia lakukan. Karena nyawa merupakan hal

13
yang tidak dapat dipermainkan dan tidak dapat ditawar-
tawar.

BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Malpraktek merupakan hal yang sering terjadi dalam dunia
kesehatan. Untuk itu perlu adanya pembuktian-pembuktian

14
kegiatan malpraktek sehingga kegiatan malpraktek bisa lebih
kita waspadai. Untuk mengetahui apakah perbutan terrsebut
malpraktek atau bukan dapat kita lakukan dengan 2 cara, yaitu
langsung dan tidak langsung. Secara langsung pun ada 4
langkah yaitu Duty (kewajiban), Dereliction of Duty
(penyimpangan dari kewajiban), Direct Causation (penyebab
langsung), dan Damage (kerugian). Jika secara tidak langsung
maka kasus malpraktik harus memenuhi kriteria fakta-fakta
seperti :
- Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga bidan tidak
lalai.
- Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab
tenaga bidan.
- Fakta itu terjadi tanpa adanya kontribusi dari pasien dengan
perkataan lain tidak ada contributory negligence.
- Misalnya ada kasus saat tenaga bidan akan
mengganti/memperbaiki kedudukan jarum infus pasien bayi,
saat menggunting perban ikut terpotong jari pasien tersebut.
Kemudian jika memang sudah terbukti bahkan tenaga
kesehatan tersebut melakukan malpraktek maka selanjutnya
hukum akan melakukan pertanggung jawaban sebagaimana
yang sudah tertera dalam undang-undang kesehatan.

B. Saran
Kita sebagai pengguna jasa kesehatan sebaiknya lebih
berhati-hati dan harus dapat memilih serta mengetahui jasa
kesehatan apa dan bagaimana yang akan kita dapatkan,
sehingga untuk kedepannya tidak akan terjadi hal yang tidak
pernah diinginkan.

15
DAFTAR PUSTAKA
Heryani, Reni. 2013. Buku Ajar Etikolegal dalam Praktik Kebidanan. Jakarta :
sTrans Info Media
Wahyuningsih, Heni Puji. 2008. Etika Profesi Kebidanan. Yogyakarta : Penerbit
Fitramaya
Age, Julianus. 2002. Malpaktek dalam Keperawatan. Jakarta : EGCs
Sandra Dini Fevri Aristya. 2010. Pembutian Perdata dalam Kasus Malpraktek di
Yogyakarta. Diambil dari
download.portalgaruda.org/article.phparticle&val&titlePembuktianPerdatadalam
KasusMalpraktikdiYogsyakarta (22 Februari 2017)
Ameln, F. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta : Grafikatama Jaya
Ayu Sartika Sari, Fendi Setyawan, ardi Handono. 2013. Jurnal Tanggung Jawab
Hukum Pelaku Usaha Jasa Layanan Kesehatan Terhadap Kerugian Pasien Ditinjau
dari Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. (22 Februari
2017)
Mariyanti, Ninik. 1988. Malpraktek Kedokteran. Jakarta : Bina Aksara
Mohamad Rizky Pontoh. 2013. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Resiko
Medik dan Malpraktek dalam Pelaaksanaan Tugas Dokter. Jurnal Lex Crimen.
Vol.II/No.7/November/2013

16

Anda mungkin juga menyukai