Anda di halaman 1dari 15

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ginjal
2.1.1 Anatomi Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga
retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya
menghadap ke medial. Cekungan ini disebut sebagai hilus renalis, yang di
dalamnya terdapat apeks pelvis renalis dan struktur lain yang merawat ginjal,
seperti pembuluh darah, sistem limfatik, dan sistem saraf.
Besar dan berat ginjal sangat bervariasi; hal ini tergantung pada jenis
kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi yang lain. Dalam hal ini, ginjal
lelaki relatif lebih besar ukurannya daripada perempuan. Pada orang yang
mempunyai ginjal tunggal yang didapat sejak usia anak, ukurannya lebih besar
daripada ginjal normal. Pada autopsi klinis didapatkan bahwa ukuran rerata ginjal
orang dewasa adalah 11,5cm (panjang) x 6cm (lebar) x 3.5cm (tebal). Beratnya
bervariasi antara 120 170 gram, atau kurang lebih 0.4 % dari berat bedan
(Purnomo, 2011).

2.1.2 Struktur di sekitar ginjal


Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrous tipis dan mengkilat yang disebut
kapsula fibrosa (true capsule) ginjal, yang melekat pada parenkim ginjal. Di luar
kapsul fibrosa terdapat jaringan lemak yang di sebelah luarnya dibatasi oleh fasia
Gerota. Diantara kapsula fibrosa ginjal dengan kapsul Gerota terdapat rongga
perirenal (Purnomo, 2011).
Di sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula
adrenal atau disebut juga kelenjar suprarenal yang berwarna kuning. Kelenjar
adrenal bersama-sama ginjal dan jaringan lemak perirenal dibungkus oleh fasia
Gerota. Fasia ini berfungsi sebagai barrier yang menghambat meluasnya
perdarahan dari parenkim ginjal serta mencegah ekstravasasi urine pada saat

Universitas Sumatera Utara


5

terjadi trauma ginjal. Selain itu, fasia Gerota dapat pula berfungsi sebagai barrier
dalam menghambat penyebaran infeksi atau menghambat metastasis tumor ginjal
ke organ di sekitarnya. Di luar fasia Gerota terdapat jaringan lemak
retroperitoneal yang terbungkus oleh peritoneum posterior. Rongga di antara
kapsula Gerota dan peritoneum ini disebut rongga pararenal (Purnomo, 2011),
Di sebelah posterior, ginjal dilindungi oleh berbagai otot punggung yang
tebal serta tulang rusuk ke XI dan XII, sedangkan di sebelah anterior dilindungi
oleh organ intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, dan
duodenum; sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pancreas,
jejenum, dan kolon (Purnomo, 2011).

Gambar 2.1. Rongga perirenal dan pararenal yang membatasi ginjal


Sumber: Purnomo, 2011

2.1.3 Struktur Ginjal


Secara anatomis ginjal terbagi kepada 2 bagian, yaitu korteks dan medula
ginjal. Korteks ginjal terletak lebih superfisial dan di dalamnya terdapat berjuta
juta nefron. Nefron merupakan unit fungsional terkecil ginjal. Medulla ginjal yang
terletak lebih profundus banyak terdapat duktuli atau saluran kecil yang
mengalirkan hasil ultrafiltrasi berupa urin. (Purnomo, 2011)
Nefron terdiri dari glomerulus, tubulus kontortus (TC) proksimalis, Loop
of Henle, tubulus kontortus (TC) distalis, dan duktus kolegentes.

Universitas Sumatera Utara


6

Gambar 2.2. Nefron


Sumber: Purnomo, 2011

Sistem pelvikalises ginjal terdiri dari kaliks minor, infundibulum, kaliks


major, dan pielum/pelvis renalis. Mukosa sistem pelvikalises terdiri atas epitel
transisional dan dindingnya terdiri dari otot polos yang mampu berkontraksi untuk
mengalirkan urin sampai ke ureter (Purnomo, 2011).

Gambar 2.3. A : Irisan longitudinal ginjal, tampak korteks dan medulla


ginjal .
B :Sistem pelvikalises ginjal yang terdiri atas kaliks minor,
............................ .infundibulum, kaliks mayor, dan pelvis renalis
Sumber : Purnomo, 2011

Universitas Sumatera Utara


7

2.1.4 Fungsi Ginjal


Ginjal berperan dalam berbagai fungsi tubuh yang sangat penting bagi
kehidupan, yakni menyaring sisa hasil metabolisme dan toksin dari darah, serta
mempertahankan homeostasis cairan dan eletrolit tubuh, yang kemudian dibuang
melalui urin. Fungsi tersebut di antaranya adalah:
a) Mengontrol sekresi hormon aldosteron dan ADH (anti diuretic
hormone) yang berperan dalam mengatur jumlah cairan tubuh.
b) Mengatur metabolisme ion kalsium dan vitamin D.
c) Menghasilkan beberapa hormon, antara lain: eritropoetin yang
berperan dalam pembentukan sel darah merah, renin yang berperan
dalam mengatur tekanan darah, serta hormon prostaglandin yang
berguna dalam berbagai mekanisme tubuh (Purnomo, 2011).

2.2 Trauma Ginjal


2.2.1 Definisi
Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai
macam trauma baik tumpul maupun tajam. Trauma ginjal merupakan trauma
yang terbanyak pada sistem urogenitalia. Kurang lebih 10% dari trauma pada
abdomen mencederai ginjal (Purnomo, 2011).

2.2.2 Epidiomologi
Frekuensi cedera ginjal tergantung pada populasi pasien yang
dipertimbangkan. Trauma ginjal menyumbang sekitar 3% dari seluruh penerimaan
trauma dan sebanyak 10 % dari pasien yang mempertahankan trauma abdomen.
Dengan menggunakan Nasional Trauma Data Bank, Grimsby et al.
mengulas data cedera ginjal anak untuk menentukan mekanisme cedera dan
kelas, demografi, perawatan, dan pengaturan perawatan. Sebagian besar trauma
ginjal pada anak-anak ditemukan pada kelas rendah (79%) dan ditemukan trauma
tumpul (>90%). Cedera usia rata-rata adalah 13.7 tahun, yaitu 94% dari pasien
adalah berusia 5 sampai 18 tahun. Hanya 12% dari pasien dirawat di rumah sakit

Universitas Sumatera Utara


8

anak. Meskipun sebagian besar anak-anak dirawat secara konservatif di rumah


sakit dewasa, tingkat nefrektomi tiga kali lebih tinggi dibandingkan pasien dirawat
di rumah sakit anak (Grimsby et al, 2014).

2.2.3 Etiologi
Cedera ginjal dapat terjadi secara:
a) Langsung akibat benturan yang mengenai daerah pinggang.
b) Tidak langsung, yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan
ginjal secara tiba - tiba di dalam rongga retroperitoneum.
Jenis cedera yang mengenai ginjal dapat merupakan cedera tumpul, luka
tusuk, atau luka tembak. Goncangan ginjal di dalam rongga retroperitoneum
menyebabkan regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika
intima arteri renalis. Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan darah yang
selanjutnya dapat menimbulkan trombosis arteri renalis beserta cabang-
cabangnya. Cedera ginjal dapat dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan
pada ginjal, seperti hidronefrosis, kista ginjal atau tumor ginjal (Purnomo, 2011).

Terdapat 3 penyebab utama dari trauma ginjal :


a) Trauma tumpul
Trauma tumpul biasanya terjadi karena kecelakaan kenderaan
bermotor, dan jatuh. Trauma tumpul dari tabrakan kendaraan
bermotor, jatuh dan tabrakan pribadi adalah penyebab utama
trauma ginjal
b) Trauma iatrogenik
Trauma iatrogenik dapat hasil dari operasi, retrograde pyelography,
percutaneous nephrostomy, dan percutaneous lithotripsy. Biopsi
ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal
c) Trauma tajam
..................... Trauma tajam adalah seperti tikaman atau luka tembak pada daerah
......................abdomen bagian atas ataupun pinggang (Lusaya, 2015).

Universitas Sumatera Utara


9

2.2.4 Klasifikasi
Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal
dibedakan menjadi:
a) cedera minor.
b) cedera mayor.
c) cedera pada pedikel atau pembuluh darah ginjal.
Pembagian sesuai dengan skala cedera organ (organ injury scale) cedera
ginjal dibagi dalam 5 derajat sesuai dengan penemuan pada pemeriksaan
pencitraan maupum hasil eksplorasi ginjal. Sebagian besar (85%) trauma ginjal
merupakan cedera minor (derajat I dan II), 15% merupakan cedera mayor (derajat
III dan IV), dan 1% merupakan cedera pedikel ginjal (Purnomo, 2011).
Klasifikasi trauma ginjal menurut Sargeant dan Marquadt yang
dimodifikasi oleh Federle :

Tabel 2.1 Klasifikasi Trauma Ginjal

DERAJAT JENIS CEDERA GAMBARAN CEDERA


Derajat I - Kontusio - Mikroskopis atau hematuria gross,
..studi urologi yang normal.
- Hematoma - Subkapsular, nonexpanding tanpa
..parenkim laserasi
Derajat II - Hematoma - Nonexpanding hematoma perirenal
..dikonfirmasi ke ginjal.
- Retroperitoneum.
- Laserasi - <1.0 cm kedalaman parenkim dari
..korteks ginjal tanpa kemih extravasasi

Universitas Sumatera Utara


10

Derajat III - Laserasi -< 1,0 cm kedalaman parenkim


korteks ginjal tanpa mengumpulkan
sistem ruptur atau extravasasi kemih.
Derajat IV - Laserasi - Laserasi parenkim memperpanjangkan
..melalui korteks ginjal, medula dan
..sistem pengumpulan.
- Vaskular - Arteri ginjal atau cedera vena utama
..mengandungi pendarahan.

Derajat V -Laserasi - Ginjal terbelah sepenuhnya.

- Vaskular - Avulsi pedikel ginjal, mungkin terjadi


..trombosis arteri renalis.
Sumber: The American Association of the Surgery of Trauma (AAST), 2015

Gambar 2.4. Klasifikasi trauma ginjal menurut AAST


Sumber: The American Association of the Surgery of Trauma (AAST), 2015

2.2.5 Manifestasi Klinis


Tanda-tanda dan gejala trauma ginjal adalah :

Universitas Sumatera Utara


11

a) Hematuria : Hematuria merupakan manifestasi yang umum


terjadi. Oleh karena itu, adanya darah dalam urin setelah suatu cedera
menunjukkan kemungkinan cedera ginjal. Namun demikian,
hematuria mungkin tidak akan muncul atau terdeteksi hanya melalui
pemeriksaan mikroskopik.
b) Nyeri mungkin terlokalisasi pada satu daerah panggul atau di atas
perut.
c) Syok atau tanda-tanda kehilangan darah.
d) Ekimosis pada daerah panggul atau kuadran atas perut.
e) Sebuah massa teraba mungkin merupakan retroperitoneal besar
hematoma atau kemungkinan ekstravasasi kemih.
f) Laserasi (luka) di abdomen lateral dan rongga panggul (Summerton et
al, 2014).

2.2.6 Komplikasi
Jika tidak mendapatkan perawatan cepat dan tepat, maka trauma mayor dan
trauma pedikel sering menimbulkan perdarahan yang hebat dan berakhir dengan
kematian. Terdapat beberapa komplikasi awal setelah cedera yaitu :
a) Delayed bleeding.
b) Urinary leakage.
c) Abses perirenal.
Dikemudian hari pasca cedera ginjal dapat menimbulkan komplikasi
lanjutan yaitu :
a) Hidronefrosis.
b) Pielonefritis kronis.
c) Hipertensi.
d) Fistula arteriovenosa.
e) Urolithiasis (Purnomo, 2011).

Universitas Sumatera Utara


12

2.2.7 Diagnosis
Penilaian awal pada pasien trauma ginjal harus meliputi jalan nafas,
mengkontrol perdarahan yang tampak. Pada banyak kasus, pemeriksaan fisik
dilakukan sesuai dengan kondisi pasien. Apabila trauma ginjal dicurigai maka
harus dilakukan evaluasi lebih lanjut:
1) Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Indikasi yang memungkinkan bahwa terjadinya trauma ginjal meliputi
mekanisme deselerasi yang cepat seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan
bermotor dengan kecepatan yang laju, atau trauma langsung pada region flank.
Riwayat penyakit sebelumnya harus digali, apakah adanya disfungsi
organ sebelum terjadinya trauma dan adanya riwayat penyakit ginjal sebelumya
yang dapat memperberat trauma (Cachecho et al., 1994). Hidronefrosis, batu
ginjal, kista, atau tumor telah dilaporkan dapat menimbulkan komplikasi yang
berat (Sebasti et al., 1999).
Pemeriksaan fisik adalah suatu pemeriksaan yang harus dilakukan pada
pasien trauma. Stabilitas haemodinamik merupakan faktor utama dalam
pengelolaan semua trauma ginjal. Vital sign harus dicatat untuk mengevaluasi
pasien (Summerton et al., 2014).
Pada pemeriksaan fisik harus dinilai adanya trauma tumpul atau trauma
tembus pada region flank, lower thorax, dan abdomen atas. Pada luka tembus,
panjang luka tidak menggambarkan secara akurat kedalaman penetrasi. Penemuan
seperti hematuria, jejas, dan nyeri pada daerah pinggang, patah tulang iga bawah,
atau distensi abdomen dapat dicurigai adanya trauma pada ginjal (Summerton et
al., 2014).
Kecurigaan adanya cedera ginjal jika terdapat :
a) Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah, dan perut
...................bahagian atas dengan disertai nyeri ataupun didapati adanya jejas pada
...................daerah tersebut.
b) Hematuria
c) Fraktur kosta sebelah bawah (T8-T12) atau fraktur prosesus spinosus
...................vertebra.

Universitas Sumatera Utara


13

d) Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang.


e) Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau
kecelakaan lalu lintas (Purnomo, 2011).
2) Pemeriksaan Laboratorium
Urinalisa, darah rutin dan kreatinin merupakan pemeriksaan
laboratorium yang penting. Urinalisa merupakan pemeriksaan penting untuk
mengetahui adanya cedera pada ginjal. Hematuria mikroskopis atau gross, sering
terlihat tetapi tidak cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan apakah suatu
trauma minor atau mayor (Buchberger et al., 1993). Tambahan pula, untuk trauma
ginjal yang berat seperti robeknya ureteropelvic junction, trauma pedikel ginjal,
atau trombosis arteri dapat tampil tanpa disertai dengan hematuria (Eastham et al,
1992).
Hematokrit serial dan vital sign merupakan pemeriksaan yang
digunakan untuk mengevaluasi pasien trauma. Penurunan hematokrit dan
kebutuhan untuk transfusi darah merupakan tanda kehilangan darah dan respon
terhadap resusitasi akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Peningkatan kreatinin dapat dikatakan sebagai tanda patologis pada ginjal.
3) Pemeriksaan Radiologi (Pencitraan)
Indikasi untuk melakukan pemeriksaan radiologi pada trauma ginjal
adalah gross hematuria, hematuria mikroskopik yang disertai syok, atau cedera
pada organ lain. Pada luka tembus, setiap kecurigaan adalah luka yang mengarah
pada ginjal maka perlu melakukan pemeriksaan radiologi tanpa memperhatikan
derajat hematuria.
a) Pemeriksaan Intravenous Urografi (IVU) atau disebut sebagai
Pielografi Intra Vena (PIV) atau Intravenous Pyelografi (IVP). Pemeriksaan IVP
adalah foto yang dapat mengambarkan keadaan sistem urinaria melalui bahan
kontras( dengan menyuntikkan bahan kontras dosis tinggi 2ml/kgBB) digunakan
untuk menilai tingkat kerusakan ginjal dan menilai keadaan ginjal kontralateral.
Pemeriksaan IVU dilakukan apabila diduga terdapat :
i. Luka tusuk atau luka tembak yang mengenai ginjal.

Universitas Sumatera Utara


14

ii..Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria


...........makroskopik.
iii. Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria
...........mikroskopik dan disertai syok (Purnomo, 2011).
b) Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) dilakukan sebagai pemeriksaan
penunjang apabila diduga cedera tumpul pada ginjal yang menunjukkan tanda
hematuria mikroskopik tanpa disertai syok. Pemeriksaan USG ini dapat
menemukan adanya kontusio parenkim ginjal atau hematoma subkapsuler.
Dengan pemeriksaan ini dapat juga diperlihatkan ada atau tidak robekan kapsul
ginjal. Pemeriksaan USG pada ginjal dipergunakan :
i. Untuk mendeteksi keberadaan dan keadaan ginjal (hidronefrosis,
....kista, massa, atau pengkerutan ginjal) yang menunjukkan non
....visualized pada pemeriksaan IVU.
ii. Sebagai penuntun pada saat melakukan pungsi ginjal, atau
...........................nefrostomi perkutan (Purnomo, 2011).
Pada color Droppler ginjal dan arteri renalis, dapat menentukan adanya
penyempitan (stenosis) karena arteriosklerosis menyebabkan aliran darah ke ginjal
menurun (Purnomo, 2011).
c) Pemeriksaan Computed Tomography (CT) adalah teknik pencitraan
non invasive, yang lebih superior daripada USG. Pemeriksaan CT scan ini
dilakukan untuk menerangkan kelainan pada ginjal, arteri dan vena renalis, vena
kava, dan massa di retroperitoneal. Pemeriksaan CT scan dapat menunjukkan
adanya robekan jaringan ginjal, ekstravasasi kontras yang luas, dan adanya
nekrosis jaringan ginjal. Selain itu, pemeriksaan CT scan juga dapat mendeteksi
adanya trauma pada organ yang lain. Alat CT scan ini dapat mendeteksi kelainan
dalam waktu cepat (< 30 detik), sehingga dapat dipakai untuk menilai penyebab
kolik ureter atau ginjal. Pemeriksaan CT scan merupakan pemeriksaan radiologi
yang utama bagi pasien trauma ginjal dengan hemodinamik stabil (Purnomo,
2011).

Universitas Sumatera Utara


15

2.2.8 Penatalaksanaan
Kebutuhan untuk eksplorasi ginjal dapat diprediksi dengan jenis cedera,
kebutuhan transfusi, darah urea nitrogen, dan kadar kreatinin, serta grade cedera
(Shariat et al., 2008). Namun, manajemen cedera ginjal mungkin dipengaruhi oleh
keputusan untuk mengeksplorasi atau mengamati luka di abdominal.

Table 2.2. Indikasi pemeriksaan CT scan pada kelainan urologi

Kecurigaan adanya massa di ginjal.


Penderajatan (staging) keganasan urologi.
Abses, urinoma, dan infeksi urogenitalia.
Kolik ureter atau ginjal.
Cedera pada urogenitalia (ginjal, buli-buli, ureter, dan
uretra).
Kecurigaan kelainan di retroperitoneum.

Gambar 2.5. Pencitraan CT scan pada trauma ginjal


Sumber: Purnomo, 2011

Universitas Sumatera Utara


16

Terapi yang dikerjakan pada trauma ginjal adalah :


1) Operasi dan Rekontruksi
Operasi ditujukan pada trauma ginjal mayor dengan tujuan untuk segera
menghentikan perdarahan. Selanjutnya mungkin perlu dilakukan debriment
reparasi ginjal (berupa renorafi atau penyambungan vaskuler) atau tidak jarang
harus dilakukan nefrektomi parsial bahkan nefrektomi total karena kerusakan
ginjal yang sangat berat. Semakin banyak pihak menganut pendekatan konservatif
untuk pasien trauma ginjal (Hammer dan Santucci, 2003). Pada trauma ginjal,
mayoritas ahli menganjurkan pendekatan transperitoneal (Robert et al., 1996).
Untuk menilai di tingkat acak secara prospektif nefrektomi, tingkat transfusi,
kehilangan darah, dan waktu operasi dalam menembus pasien trauma ginjal acak
kontrol vaskular atau tidak ada kontrol vascular adalah sebelum membuka fasia
Gerota. (Gonzalez et al., 1999)
Secara keseluruhan, 13 % pasien trauma ginjal yang membutuhkan
nefrektomi pada saat eksplorasi, umumnya nefrektomi dilakukan pada pasien
dengan riwayat syok, hemodinamik tidak stabil, dan skor trauma yang berat
(Davis et al., 2006). Pada luka tembak, rekonstruksi mungkin susah dilakukan
sehingga dibutuhkan nefrektomi (Wright et al., 2006).
Secara keseluruhan, perbaikan berhasil dicapai pada 89 % dari unit ginjal
dieksplorasi. Prinsip-prinsip manajemen operasi yang sukses termasuk kontrol
vaskular awal dan berbagai teknik bedah. Penyelamatan ginjal setelah trauma
utama dapat berhasil dilakukan dengan aman (McAninch et al., 1990). Pada
semua kasus, direkomendasikan penggunaan drainase retroperitoneal untuk
mengalirkan kebocoran urin.
2) Manajemen Non- Operatif / Konservatif
Perbedaan dalam pengelolaan trauma tumpul dan penetrasi adalah hasil
dari ketidakstabilan yang lebih besar dari pasien setelah trauma tembus dan
kemungkinan lebih tinggi dari cedera tumpul parah setelah senjata api dan luka
tusuk (Vanni dan Wessels, 2011).

Universitas Sumatera Utara


17

a) Cedera ginjal tumpul


Manejemen non-operatif semakin banyak dipertimbangkan oleh pasien
trauma ginjal. Pada pasien yang stabil, melakukan perawatan suportif yaitu
dengan istirahat dan observasi. Semua kasus trauma ginjal derajat 1 dan 2 dapat
dirawat secara konservatif baik pada trauma tumpul ataupun trauma tembus.
Tetapi pada trauma ginjal derajat 3 telah menjadi kontroversi selama bertahun-
tahun (Alsikafi dan Rosenstein, 2006).
Mayoritas pasien dengan trauma ginjal derajat 4 dan 5 datang dengan
trauma penyerta dan akhirnya menjalani eksplorasi dan tingginya angka untuk
melakukan nefrektomi (Santucci et al., 2001). Pada pasien trauma ginjal derajat 4
dan 5 dapat dirawat secara konservatif dengan syarat kondisi haemodinamik
stabil. Pendekatan klinis yang sistematis adalah berdasarkan pada temuan klinis,
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang radiologi.
b) Penetrasi trauma ginjal
Luka tembus telah mendekati pembedahan secara tradisional. Namun,
pendekatan sistematis berdasarkan evaluasi klinis, laboratorium dan radiologi
untuk meminimalkan eksplorasi negatif tanpa meningkatkan morbiditas dari
cedera terjawab (Armenakas et al., 1999). Selektif oleh manajemen non-operatif
untuk luka tusuk perut umumnya diterima untuk meningkatkan proporsi pusat
trauma (Jansen et al., 2013).
Perdarahan terus-menerus merupakan indikasi utama untuk eksplorasi
dan rekonstruksi. Dalam semua kasus cedera parah, manajemen non-operatif
harus mengambil langkah hanya setelah pementasan ginjal lengkap pada pasien
hemodinamik stabil (Buckley dan McAninch, 2006).
Luka tembak harus dieksplorasi hanya jika melibatkan hilus atau
disertai dengan tanda-tanda perdarahan terus, cedera ureter, atau laserasi pelvis
ginjal (Velmahos et al., 1998). Tembak kecepatan rendah dan luka tusuk minor
dapat dikelola secara konservatif dengan hasil yang diterima baik (Baniel dan
Schein, 1994). Sebaliknya, jaringan kerusakan dari cedera tembak kecepatan
tinggi bisa lebih luas dan nefrektomi diperlukan lebih sering.

Universitas Sumatera Utara


18

Pada pasien hemodinamik stabil tanpa peritonitis mampu menjalani


pemeriksaan klinis serial, cedera organ padat bukan kontra - indikasi untuk
manajemen non - operatif. Dalam pengaturan yang sesuai, manajemen non -
operatif cedera organ padat setelah tembak melukai dikaitkan dengan tingkat
keberhasilan yang tinggi dan penyelamatan organ (DuBose et al., 2007). Jika situs
penetrasi dengan luka tusukan adalah posterior ke garis aksila anterior, 88% dari
cedera ginjal tersebut dapat dikelola dengan non-operatif (Bernath et al., 1983).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai