102012276
D9
Email : Lenigantiasih@gmail.com
Pendahuluan
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja,
bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian penyakit akibat kerja merupakan
penyakit yang artificial atau man mad disease. World Health Organization (WHO)
membedakan empat kategori penyakit akibat kerja: penyakit yang hanya disebabkan oleh
pekerjaan, seperti Pneumokoniosis, penyakit yang salah satunya penyebabnya ialah
pekerjaan, seperti carcinomaBronkhogenik, penyakit dengan pekerjaan merupakan salah satu
penyebab diantara faktor-faktor penyebab lainnya seperti Bronchitis kronis, penyakit dimana
pekerjaan memperberat suatu kondisi yang sudah ada sebelumnya seperti Asma.Faktor
penyebab Penyakit Akibat Kerja sangat banyak, tergantung pada bahan yang digunakan
dalam proses kerja, lingkungan kerja ataupun cara kerja. Pada umumnya faktor penyebab
dapat dikelompokkan dalam 5 golongan antara lain: golongan fisik (suara (bising), radiasi,
suhu (panas/dingin), tekanan yang sangat tinggi, vibrasi, penerangan lampu yang kurang
baik), golongan kimiawi (bahan kimiawi yang digunakan dalam proses kerja, maupun yang
terdapat dalam lingkungan kerja, dapat berbentuk debu, uap, gas, larutan, awan atau kabut),
golongan biologis (bakteri, virus atau jamur), golongan fisiologis (biasanya disebabkan oleh
penataan tempat kerja dan cara kerja), golongan psikososial (lingkungan kerja yang
mengakibatkan stres). Penyakit Akibat Kerja pada akhirnya dapat mempengaruhi kesehatan
individu pekerja dalam menjalani kehidupan sehari-hari seperti dalam produktivitas kerja
yang sebetulnya sangat diharapkan konsistensinya. Melalui tinjauan pustaka ini diharapkan
pembaca dapat memahami pentingya mengetahui penyakit-penyakit akibat kerja serta faktor-
1
faktor yang mempengaruhi perkembangannya.Sehingga nantinya dapat dilakukan usaha-
usaha yang efektif agar dapat melakukan pencegahan dan tatalaksana yang sesuai bagi orang
sakit dan bagi industri dalam melakukan kegiatan ekonomi nya yang patut juga
memperhatikan Kesehatan Keselamatan Kerja (K3)1.
Isi
Anamnesis
Anamnesis adalah wawancara seksama yang dilakukan pasien yang berguna untuk
menunjang diagnosis penyakit seorang pasien. Seringkali, diagnosis yang baik sudah dapat
menentukan penyakit seseorang. Anamnesis merupakan gabungan dari keahlian
mewawancarai dan pengetahuan yang mendalam tentang gejala dan tanda suatu penyakit
sehingga dapat melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang yang sesuai untuk penyakit
tersebut.
Dalam penegakkan diagnosis penyakit paru lingkungan atau penyakit paru kerja,
maka anamnesis tentang riwayat pekerjaan atau lingkungan merupakan suatu alat yang amat
berguna dalam menentukan apakah suatu problem respirasi ada hubungannya dengan suatu
paparan debu tertentu. Pertanyaan pada anamnesis harus sistematis, lengkap,kronologis.2
2
Daftar pekerjaan yang pernah dialami scjak awal (kronologis).
Aktivitas kerja dan material yang digunakan tiap posisi (bagian tugas).
Lama dan intensitas paparan bahan pada tiap posisi kerja.
Alat proteksi kerja yang digunakan (respirator, sarung tangan, baju pelindung kerja
dan sebagainya).
Kecukupan ventilasi ruang kerja.
Selain seorang pekerja apakah pekerja-pekerja lain juga terkena paparan dan berefek
pada kesehatannya.
Tugas tambahan lain yang dialami.
Paparan lain (yang dialami) di luar tempat kerja
Penyakit-penyakit yang pemah diderita (kronologis) yang ada hubungannya dengan
paparan bahan di tempat kerja atau lingkungan.
Pemeriksaan
1. Fisik
Sebagian besar kasus tidak menunjukkan adanya tanda gangguan fisik. Hal
tersebut tidak berarti bahwa langkah pemeriksaan fisik dapat dihilangkan atau hanya
sepintas. Observasi menyeluruh terhadap pasien akan mengungkapkan pasien yang
napasnya memburuk pada waktu istirahat atau setelah melakukan tes fungsi paru. Hal ini
juga penting dalam menentukan diagnosis banding atau mencari kemuginan terjadinya
komplikasi, misalnya gagal jantung ataustenosis katup mitral yang mungkin tidak
berhubungan dengan kerja.2
2.
Pemeriksaan Penunjang1-3
Pemeriksaan Rontgen paru
Computed Tomography (CT) Scanning
Tes Fungsi Paru
Tes fungsi paru saat istirahat (spirometri, volume paru, kapasitas difusi) merupakan
tes diagnostik yang penting untuk menentukan status fungsi paru pasien dengan
penyakit paru kerja, terlebih pada proses interstitial.Meskipun hasil tes fungsi paru
tidak spesifik untuk beberapa penyakit paru akibat kerja, tetapi pemeriksaan ini amat
penting untuk evaluasi sesak napas, membedakan adanya kelainan paru tipe restriktif
atau obstruktif dan mengetahui tingkat gangguan fungsi paru. Selain itu tes fungsi
paru dapat dipakai untuk diagnosis adanya kelainan obstruksi saluran napas (adanya
3
hiperreaktif bronkus dengan tes bronkodilator atau tes provokasi memakai paparan
bahan-bahan yang diambil dari tempat kerja atau lingkungannya).
Pemeriksaan sputum4
- Pewarnaan gram dan pemeriksaan basil tahan asam (BTA) adalah suatu tindakan rutin.
- Kultur mikobakteri dan jamur. Pemeriksaan ini dilakukuan pada pasien yang
didapatkan adanya kelainan foto toraks berupa infiltrate di apeks atau kavitas atau pada
pasien imunokompromis.
- Pemeriksaan sitologi dilakukan pada pasien batuk yang dicurigai juga menderita
kanker paru.
- Pemeriksaan silver pada dahak untuk mencari Pneumocystis cariniipada pasien
imunokompromis.
Tes Tuberkulin 4
Pembacaan hasil tuberkulin dilakukan setelah 48 72 jam; dengan hasil positif bila
terdapat indurasi diameter lebih dari 10 mm, meragukan bila 5-9 mm. Uji tuberkulin
bisa diulang setelah 1-2 minggu.
Diagnosis Klinis
Klasifikasi pasien TB
4
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau
karena reinfeksi).
Pasien yang diobati kembali setelah gagaladalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up)adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up
(klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus
berobat).
Lain-lain adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.
c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di
dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan
estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB
diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya. Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari
seluruh kasus TB baru (lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20%
dari kasus TB dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB
setiap tahunnya.5
5
Jumlah kasus TB anak pada tahun 2009 mencapai 30.806 termasuk 1,865 kasus BTA
positif. Proposi kasus TB anak dari semua kasus TB mencapai 10.45%. Angka-angka ini
merupakan gambaran parsial dari keseluruhan kasus TB anak yang sesungguhnya mengingat
tingginya kasus overdiagnosis di fasilitas pelayanan kesehatan yang diiringi dengan
rendahnya pelaporan dari fasilitas pelayanan kesehatan.5
Diagnosis Okupasi
Untuk mendiagnosis suatu Penyakit Akibat Kerja (PAK) dapat melalui 7 langkah
berikut:1,4
4. Tentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat
mengakibatkan penyakit tersebut.
6. Cari adanya kemungkinan lain yang mungkin dapat merupakan penyebab penyakit.
Penderita silikosis noduler simpel tidak memiliki masalah pernafasan, tetapi mereka
bisa menderita batuk berdahak karena saluran pernafasannya mengalami iritasi (bronkitis).
Silikosis konglomerata bisa menyebabkan batuk berdahak dan sesak nafas. Mula-mula sesak
nafas hanya terjadi pada saat melakukan aktivitas, tapi akhirnya sesak timbul bahkan pada
saat beristirahat.
Keluhan pernafasan bisa memburuk dalam waktu 2-5 tahun setelah penderita berhenti
bekerja. Kerusakan di paru-paru bisa mengenai jantung dan menyebabkan gagal jantung yang
bisa berakibat fatal. Jika terpapar oleh organisme penyebab tuberkulosis (Mycobacterium
6
Tuberculosis, penderita silikosis mempunyai resiko 3 kali lebih besar untuk menderita
tuberkulosis. 4,6
demam,
batuk,
penurunan berat badan, dan
gangguan pernafasan yang berat.
1. Silikosis kronis simplek, terjadi akibat pemaparan sejumlah kecil debu silika dalam
jangka panjang (lebih dari 20 tahun). Nodul-nodul peradangan kronis dan jaringan
parut akibat silika terbentuk di paru-paru dan kelenjar getah bening dada.
2. Silikosis akselerata, terjadi setelah terpapar oleh sejumlah silika yang lebih banyak
selama waktu yang lebih pendek (5-10 tahun). Peradangan, pembentukan jaringan
parut dan gejala-gejalanya terjadi lebih cepat.
3. Silikosis akut, terjadi akibat pemaparan silikosis dalam jumlah yang sangat besar,
dalam waktu yang lebih pendek. Paru-paru sangat meradang dan terisi oleh cairan,
sehingga timbul sesak nafas yang hebat dan kadar oksigen darah yang rendah.
7
Pada berbagai jenis pekerjaan yang berhubungan dengan silika penyakit ini dapat terjadi,
pada:
Industri yang memakai silika sebagai bahan misalnya pabrik amplas dan gelas.
Pabrik semen
Diagnosis Diferensial
Asbestosis
Asbestosis adalah fibrosis interstitialis kronis yang menyebar pada parenkim paru
akibat menghirup serat asbes. Contoh penyakit paru lainnya yang berhubungan dengan asbes
adalah plak dan kalsifikasi pleura, kanker paru, dan tumor ganas mesotelioma. Penyakit
inimungkon berhubungan dengan asbes, mungkin juga tidak.
Pekerjaan beresiko
Derajat pajanan terhadap asbes yang tinggi dapat timbul pada pembuatan
produk berbahan semen asbes, pertambangan, dan pemrosesan serat asbes,
pembongkaran gedung dan renovasi bangunan dengan membuang bahan yang terbuat
dari asbes, pekerjaan isolasi sepertipelapisan katel uap, penggantian isolasi tungku
pembakaran, dsb. Pekerja lain yang terpaja termasuk pekerja perbaikan dan
pemeliharaan d galangan kapal, kilang minyak, stasiun tenaga listrik, dan pekerja
bangunan.
8
Tatalaksana
Diagnosis
II. Stanosis
Pada stanosis biasanya tidak terdapat fibrosis yang massif, tidak ada tanda-
tanda cacat paru, dan jarang terjadi komplikasi. Pada keadaan sakit tingkat permulaan,
gambaran Ro paru menunjukkan penambahan corakkan danpelebaran hilus.
9
Kemudian menampak noduli di daerah antar iga ketiga, mula-mula di paru kanan, lalu
di paru kiri. Lebih lanjut, penambahan corakan hilang, sedangkan noduli semakin
jelas dan opak.7
Manifestasi Klinik
10
batu bara disertai timbul gejala
rematoid artritis penyakit paru
dengan nodul paru interstitial sampai
besar, bulat di penyakit berkembang
daerah tepi paru. progresif sehingga
menyebabkan
kelemahan, cepat
lelah, sesak napas
saat istirahat,
anoreksia dan berat
badan turun.
Etiologi
Penyakit karena debu (Dust Lung Disease) tergantung pada jenis debu, lama pajanan,
sifat debu dan kepekaan tubuh terhadap debu.6,7
1. Jenis debu
a. Debu non-fibrogenik
Debu yang tidak menimbulkan reaksi jaringan paru (debu, besi, timah, kapur).
Pada dosis tetap merangsang dan menimbulkan reaksi jaringan, memproduksi
lender banyak, menyebabkan perubahan jaringan retikulin, disebut
pneumoconiosis non-kolagen.
b. Debu fibrogenik
Adalah debu yang menimbulkan reaksi jaringan paru (fibrosis), juga disebut
pneumoconiosis kolagen seperti batubara, silica bebas dan asbes.
Jenis Etiologi
Coal Worker Pneumokoniosis Batu bara
Silikosis Silica
Asbestosis Asbes
Siderosis Besi
Berryliosis Berilium
2. Sifat debu
Penyakit atau gangguan saluran nafas akibat inhalasi debu, dipengaruhi oleh:
a. Factor debu: sifat kimiawi, bentuk, ukuran partikel, daya larut, konsentrasi dan
lama pajanan.
11
b. Factor individu: mekanisme pertahan paru
Debu Industri
o Deposite particulate matter: debu yang sementara di udara, kemudian
mengendap karena gaya tarik bumi.
o Suspended particulate matter: debu yang tetap di udara dan tidak mudah
mengendap.
12
Gambar 3 : Fraksi deposisi terhadap diameter partikel7
Patofisiologi
Dengan menri napas, udara yang mengandung debu masuk kedalam paru-paru. Apa
yang terjadi dengan debu itu, sangat tergantung dari pada besarnya ukuran debu. Debu-debu
berukuran diantara 5-10 mikron akan ditahan oleh jalan pernafasan bagian atas, sedangkan
yang berukuran 3-5 mikron ditahan oleh bagian tengah jalan pernapasan. Partkel-pertikel
yang besarnya diantara 1 dan 3 mikron berukuran 0,1-1 mikron tidak begitugampang hinggap
dipermukaan alveoli, oleh karena debu-debu ukuran demikian tidak mengendap. Debu-debu
yang partikel-partikelnya berukuran kurang dari 0,1 mikron bermassa terlalu kecil, sehingga
tidak hinggap di permukaan alveoli atau selaput lendir, oleh karena gerakan Brown, yang
menyebabkan debu demikian bergerak ke luar masuk alveoli.5,8
13
terutama untuk partikel-partikel yang berukuran sekitar atau kurang dari 0,1 mikron. Partikel-
partikel yang kecil ini oleh gerakan brown tadi ada kemungkinan membentur permukaan
alveoli dan tertimbun disana.
Nasib partikel-partikel debu ini tergantung dari tempatnya berada dalam paru-paru
dan sifat-sifat debu itu sendiri. Debu-debu yang mengendap dipermukaan bronchi dan
bronchioli akan dikembalikan keatas dan akhirnya keluar oleh cilia-cilia yang bergetar,
dengan kecepatan 3 cm/jam dijalan pernafasan sebelah atas dan 1 cm/jam di dalam bronchus
tertius dan bronchioli. Selain itu, juga batuk merupakan satu mekanisme untuk mengeluarkan
debu-debu tersebut. Debu-debu dialveoli mengalami beberapa kemungkinan.
Salah satu kemungkinan menyusui permukaan alveoli dan setelah berada dekat batas
bronchioli tertangkap oleh cilia, yang lalu dikembalikan kejalan pernafasan tengah dan atas,
lalu keluar. Kalau bahan-bahan kimia penyusun debu mudah larut dalam air, maka bahan-
bahan itu akan larut dan langsung masuk pembuluh-pembuluh darah kapiler alveoli. Apabila
bahan-bahan tersebut tidak mudah larut, tetapi ukurannya kecil, maka partikel-partikel itu
dapat memasuki dinding alveoli, lalu kesalauran limfe atau keruang peribronchial. Satu
kemungkinan lain ialah ditelan oleh phagocyt, yang biasanya histiocyt atau inti atau sel-sel
mesenchym yang tidak berdifferrensiasi. Sel-sel phagocyt ini mungkin msuk ke dalam
saluran limfa, atau melalui dinding alveoli ke ruang peribronchial, atau ke luar dari tempat itu
ke bronchioli, lalu oleh rambut-rambut getar dikembalikan ke atas.
14
Gambar 4 : Patofisiologi silikosis7
Penatalaksanaan
Promotif
Pada promotif dapat dilakukan penyuluhan kepada tenaga kerja seperti
penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) saat bekerja, penyuluhan mengenai
kesehatan para tenaga kerja berdasarkan pekerjaan yang dilakukannya.
15
Preventif
Ventilasi, baik lokal, maupun umum. Ventilasi umum antara lain dengan
mengalirkan udara ke ruang kerja melalui pintu dan jendela, tapi cara ini biasanya
mahal harganya. Cara ventilasi lokal, yang disebut pompa keluar setempat,
biasanya biayanya tidak seberapa sedangkan manfaatnya besar dalam melindungi
para pekerja.
Pengendalian debu
a) Isolasi sumber agar tidak mengeluarkan debu diruang kerja dengan Local
Exhauster atau dengan melengkapi water sprayer pada cerobong asap.
16
b) Substitusi alat yang mengeluarkan debu dengan yang tidak mengeluarkan debu.
a). Memakai metode basah yaitu,penyiraman lantai dan pengeboran basah (Wet
Drilling).
Wet drilling sudah menjadi prosedur standard dalam hard rock mining dan hal itu
memiliki kontribusi yang besar dalam pencegahan pneumoconiosis, akan tetapi
beberapa pekerja masih ragu-ragu untuk menjalankannya ketika bekerja dengan
dasar kontrak karena hal tersebut melambatkan proses produksi.
Ventilasi yang baik juga penting untuk mengeliminasi debu. Setiap tempat kerja
seharusnya memiliki supply udara bersih untuk mengencerkan atau mengangkut
airborne dust. Akan tetapi, underground ventilation, terutama di negara
berkembang, sering buruk akibat buruknya fasilitas.
Pre-worker check-up
17
Semua penambang harus menjalani pemeriksaan medis sebelum bekerja dan
berkala dengan mengutamakan upaya untuk mendeteksi pre-existing lung disease
dan perkembangan pneumoconiosis.
Kuratif
Tidak ada pengobatan khusus untuk silikosis. Untuk mencegah semakin
memburuknya penyakit, sangat penting untuk menghilangkan sumber pemaparan.
Terapi suportif terdiri dari obat penekan batuk, bronkodilator dan oksigen. Jika
terjadi infeksi, bisa diberikan antibiotik.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah:
Membatasipemaparan terhadap silika
berhenti merokok
menjalani tes kulit untuk TBC secara rutin.
18
Penderita silikosis memiliki resiko tinggi menderita Tuberkulosis (TBC),
sehingga dianjurkan untuk menjalani tes kulit secara rutin setiap tahun. Silika
diduga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh terhadap bakteri penyebab TBC.
Jika hasilnya positif, diberikan obat anti TBC.
Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu :
Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari
(tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali
dalam seminggu (tahap lanjutan).
Diberikan kepada:
19
o Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.
Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3
Diberikan kepada:
o Penderita kambuh.
Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Diberikan kepada:
Rehabilitatif
20
Rehabilitasi dan mempekerjakan kembali para pekerja yang menderita
cacat. Sedapat mungkin perusahaan mencoba menempatkan karyawan-karyawan
cacat di jabatan-jabatan yang sesuai.9-10
Komplikasi
Prognosis
Prognosisnya kurang baik,terlebih jika ada infeksi tuberkulosis (diagnosis sukar dan
tentunya berakibat pengobatan tidak tuntas). Usaha pencegahan penyakit dilakukan dengan
menghindari paparan debu silika dan para pekerja sulit bekerja memakai masker basah.9
Kesimpulan
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan dapat disimpulkan bahwa pasien di diagnosis
secara okupasi menderita penyakit akibat kerja pneumoconiosis et causa silica dan diagnosis
klinis yaitu TB Resisten karena pengobatan obat TB yang pasien jalani selama 3 bulan tidak
mendapatkan perbaikan. Diagnosis okupasi ditetapkan berdasarkan 7 langkah diagnosis
dimana didapatkan faktor-faktor penting seperti pekerjaan pasien yang selama 10 tahun
berada di tambang bagian terowongan dimana rawan sekali terkena bahan-bahan seperti
silicon yang menyebabkan pasien terpapar terlalu sering. Diagnosis klinis yang sebelumnya
sudah diterapkan malahan akan menjadi komplikasi dari diagnosis okupasi karena tatalaksana
nya yang sebelumnya kurang tepat.
Tatalaksana simptomatik dan suportif yang tepat sepatutnya segera dilaksanakan bagi
pasien agar prognosis yang diharapkan semakin membaik. Perlu juga dibarengi oleh usaha-
usaha pencegahan oleh tempat bekerja pasien, agar menghindari kejadian sakit yang sama
bagi pekerja yang lain.
21
Daftar Pustaka
22