Peran Perguruan Tinggi
Peran Perguruan Tinggi
dan Launching Pembukaan Program Kekhususan Anti-korupsi, diadakan oleh Fakultas Hukum Universitas
Tamansiswa-Padang, di Hotel Inna Muara, Padang, 14 Maret 2009)
Kesatu
Kedua
United Nation Development Programme (UNDP) menyebutkan
korupsi sebagai the misuse of public power, office or authority for private
benefit through bribery, extortion, influence peddling, fraud, speed money,
or embezzlement.[6] Hampir sejalan dengan UNDP, buku Controlling
Corruption: A Parliamentarians Handbook memaknai korupsi sebagai
penyalahgunaan jabatan publik untuk kepentingan personal atau untuk
keuntungan individual atau kelompok yang kepadanya seseorang berhutang
kepatuhan/kesetiaan.[7]
Tabel 1
Sumber: Otonomi Daerah, Lahan Subur Korupsi, Laporan Akhir Tahun 2004 ICW
Tabel 2
Keempat
Kelima
Setelah terbukanya ruang bagi calon perseorangan untuk maju sebagai calon
kepala daerah, tidak otomatis akan menghilangkan praktik korupsi di daerah.
Paling tidak, tiga alasan berikut amat potensial memicu praktik korupsi di
daerah, yaitu: (1) dana jumlah besar yang diperlukan incumbent untuk maju
lagi sebagai calon kepala daerah periode berikutnya, (2) masih
bagi incumbent, besarnya dana yang diperlukan untuk kampanye (seperti
iklan) dengan alasan iklan program kerja, dan (3) ongkos politik bagi kepala
daerah yang minority government guna menjaga stabilitas dengan DPRD.
Keenam
Ketujuh
[1] Jon ST Quah, (2003), Causes and Cosequences of Corruption in Southeast Asia: Analysis
of Indonesia, the Philippines and Tahiland, dalam Asian Journal of Public Administration,
Volume 25, No. 2.
[2] Romli Atmasasmita, (2004), Strategi dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca-
Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003, makalah disampaikan dalam Diskusi Panel
Menjelang Pengadilan Anti-Korupsi di Indonesia, diselenggarakan oleh British Council, 15-16
September, di Jakarta.
[3] Peter Eigen, Pengantar, dalam Jeremy Pope, (2003), Strategi Memberantas Korupsi: Elemen
Sistem Integritas Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
[4] Bandingkan dengan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[5] Masyarakat Transparansi Indonesia, (2005), Di Balik Palu Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
[6] Jon ST Quah, (2003), Singapores Anti-Corruption Strategy: Is this Form of Governance
Transferable to Others Asian Countries?, dalam John B Kidd dan Frank Jurgen
Richter, Corruption and Governance in Asia, Palgrave Macmillan.
Bandingkan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU No 31/1999). Pasal 2 UU No 31/1999 menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi
adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian.
[7] Indonesia Corrution Watch, (2000), Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi, Jakarta.
[8] George Junus Aditjondro, (2002), Membedah Kembar Siam Pengusaha Politik dan
Ekonomi Indonesia: Metodologi Investigasi Korupsi Sitemik bagi Aktivis dan Wartawan,
Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Jakarta.
[9] Ibid.
Uraian lebih jelas dan sistematis tentang ketiga lapis korupsi dapat dibaca dalam Rusdi
Tampo, (2005), Ayo Lawan Korupsi: Gerak dan Langkah membangun Semangat
Antikorupsi di Sulawesi Selatan, LBH P2I Makassar.
[10] Indonesia Corrution Watch, (2000), Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi, Jakarta.
[11] Dikutip dalam Saldi Isra, (2000), Ancaman Politik Uang dalam Pemilihan
Gubernur, Bukittinggi Pos, 10-16 Januari.
[12] Lebih jauh tentang isu ini dapat dibaca dalam Saldi Isra, (2004), Kampanye dengan Uang
Haram, Citra Budaya Indonesia, Padang.
[13] Saldi Isra, (2005), Pilkada Langsung: Catatan Kritis atas Beberapa Isu Krusial,
dalam Jurnal Politika, Vol. 1, No. 1, Jakarta.
[14] Saldi Isra, (2004), Getting rid of corruption in Indonesia: The future, dalan The Jakarta
Post, Edisi Khusus Akhir Tahun, 30 Desember, Jakarta.
[15] Indonesia Corrution Watch, (2000), Peran
[16] Jon ST Quah, (2003), Causes and
[17] Robert Kiltgaard, (1988), Controlling Corruption, University of California Press, Berkely.
[18] Saldi Isra, 2002, Potret Lembaga Perwakilan Rakyat, dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan,
Edisi 18, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta.
[19] Andrinof A. Chaniago, 2002, Rintangan-rintangan Demokratisasi di Indonesia, dalam
Maruto MD & Anwari MWK (Edit.), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan
peluang menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta.
[20] Pertanyaan (baca: gugatan) ini pernah saya sampaikan dalam Focused Group Discussion
Pertama persiapan Anti-Corruption Summit yang diselenggarakan di Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada pada 22 Juni 2005.
[21] Kedua poin ini adalah sebagian dari jawaban atas pertanyaan otokritik yang muncul dalam
even pada catatan kaki 24.
[22] Ibid.
[23] Dalam hal ini menarik membaca buku Ayo Lawan Korupsi (2005), dari 22 organisasi yang
bergerak membangun semangat antikorupsi di Sulawesi Selatan tidak satupun yang berasal dari
perguruan tinggi.
[24] Lebih jauh tentang hal ini baca Richard Halloway, (1999), NGOs Fighting
Corruption, Makalah disampaikan dalam 9th International Anti-Corruption Conference, Durban
South Africa, 10-15 Ocotober.
[25] Tentang hal ini baca Jon ST Quah, (2004), Best Practices for Curbing Corruption in
Asia, dalam The Governance Brief, Asian Development Bank.