Anda di halaman 1dari 10

Peran Perguruan Tinggi

dalam Pemberantasan Korupsi


(Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Melalui Pendidikan
Tinggi Hukum,

dan Launching Pembukaan Program Kekhususan Anti-korupsi, diadakan oleh Fakultas Hukum Universitas
Tamansiswa-Padang, di Hotel Inna Muara, Padang, 14 Maret 2009)

Oleh Saldi Isra


Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) F.Huk UNAND, Padang.

Kesatu

Dewasa ini, korupsi adalah masalah serius di banyak negara-negara Asia.


[1] Begitu seriusnya, perkembangan korupsi telah mengancam stabilitas dan
keamanan masyarakat nasional dan internasional, melemahkan institusi dan
nilai-nilai demokrasi dan keadilan, serta membahayakan pembangunan
berkelanjutan dan penegakan hukum.[2] Dalam pandangan Peter Eigen,
sampai batas-batas tertentu, korupsi tidak saja mengancam lingkungan
hidup, hak asasi manusi, lembaga-lembaga demokrasi, tetapi juga
menghambat pembangunan dan memperparah kemiskinan jutaan orang di
seluruh dunia.[3]

Di Indonesia, misalnya, dari waktu ke waktu, perkembangan tindak


pidana korupsi sudah begitu meluas dalam masyarakat. Perluasan itu tidak
hanya dalam jumlah kerugian keuangan negara dan kualitas tindak pidana
yang dilakukan, tetapi juga semakin sistematis dan meluas sehingga
menimbulkan bencana terhadap perekonomian nasional. Dalam sudut
pandang hak asasi manusia, tindak pidana korupsi yang meluas dan
sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak
ekonomi masyarakat. Karenanya, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat
digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) melainkan telah
menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). [4]

Sepanjang yang bisa diamati, praktik korupsi sudah begitu meruyak di


Indonesia. Begitu parahnya, bentuk penyalahgunaan wewenang itu malah
dianggap sebagai sebuah praktik yang lumrah. Melihat kondisi itu, tidak
heran kalau dalam tiga tahun terakhir lembaga riset Political and Economic
Risk Consultancy (PERC) selalu menempatkan Indonesia sebagai juara
korupsi di Asia. Prediket serupa datang pula dari Transparency
International yang selalu menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara
terkorup di dunia.[5]

Kedua
United Nation Development Programme (UNDP) menyebutkan
korupsi sebagai the misuse of public power, office or authority for private
benefit through bribery, extortion, influence peddling, fraud, speed money,
or embezzlement.[6] Hampir sejalan dengan UNDP, buku Controlling
Corruption: A Parliamentarians Handbook memaknai korupsi sebagai
penyalahgunaan jabatan publik untuk kepentingan personal atau untuk
keuntungan individual atau kelompok yang kepadanya seseorang berhutang
kepatuhan/kesetiaan.[7]

Pengertian korupsi yang dikemukan UNDP dan buku Controlling


Corruption: A Parliamentarians Handbook dapat dikatakan sebagai racikan
dari pandangan Syed Hussein Alatas (1999), William J Chambliss (1973), dan
Milovan Djilas (1973). Alatas cenderung melihat peranan segelintir tokoh
yang berintegritas tinggi. Sedangkan Chambliss melihat korupsi sebagai
bagian integral dari sebuah birokrasi akibat konflik kepentingan antara
segelintir pengusaha, penegak hukum, birokrat dan politisi. Mereka ini,
menurut Chambliss merupakan satu cabal (jejaring) yang tertutup, yang
sukar dibongkar dari daam dan tidak juga mudah diubah dari luar
(pendekatan struktural). Sementara Djilas lebih melihat korupsi dalam kaitan
munculnya kelas baru di negara-negara sosialis. [8]

Berdasarkan pandangan Alatas, Chambliss dan Djilas, Aditjondro


membagi korupsi menjadi tiga lapis. Korupsi lapis pertama, suap (bribery) di
mana prakarsa datang dari pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa
dari birokrat atau penguasa pelayanan publik, atau pembatalan kewajiban
membayar denda ke kas negara. Pemerasan (extortion) di mana prakarsa
untuk meminta balas jasa datan dari birokrat atau pejabat pelayanan publik
lainnya.Korupsi lapis kedua, nepotisme (diantara mereka yang punya
hubungan darah dengan pejabat publik), kroniisme (diatara mereka yang
idak punya hubungan darah dengan pejabat publik), kelas baru (terdiri dari
semua kader partai pemerintah dan keluarga mereka yang menguasai semua
pos basah, pos ideologis dan pos yuridis penting).Korupsi lapis ketiga, jejaring
(cabal) yang bisa bercakup regional, nasional, aupun internasional, yang
meliputi unsur pemerintahan, politisi, pengusaha dan aparat penegak hukum.
[9]

Terlepas dari berbagai pandanga tentang korupsi, yang perlu ditelusuri


lebih jauh adalah penyebab terjadinya korupsi. Dalam buku Peran Parlemen
dalam Membasmi Korupsi, disebutkan ada lima faktor yang menyebabkan
terjadinya korupsi, yaitu (1) faktor politik, (2) faktor hukum, (3) faktor
ekonomi dan birokratik, dan (4) faktor transnasional.[10]

Faktor politik dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya


korupsi karena banyak peristiwa politik yang dipengaruhi oleh faktor uang
(money politics). Edmund Terence Gomez (1994) seorang pengkaji politik
Malaysia menggambarkan politik uang sebagai use of money and material
benefits in the pursuit of political influence. Sementara itu Ahmad Attory
Hussein (1994) mengatakan bahwa politik uang adalah salah satu daripada
berbagai tingkah laku negatif karena uang dipergunakan untuk membeli
suara, menyogok, merasuah calon-calon pemilihan atau angota-anggota
partai supaya memenangkan si pemberi uang.[11]

Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, praktik politik uang sering


muncul karena undang-undang tidak memberikan aturan yang tegas tentang
dana kampanye. Bahkan, dalam praktik, tidak jarang peserta pemilihan
umum membeli suara pemilih.[12] Untuk pemilihan kepala daerah, misalnya,
disinyalir banyak pasangan calon melakukan money politics untuk
mendapatkan dukungan partai politik.[13]

Faktor hukum juga tidak kalah pentingnya sebagai penyeba terjadinya


korupsi. Munculnya faktor hukum, bisa jadi terkait dengan
pertayaan: mengapa begitu sulit mengungkapkan kasus korupsi? Untuk kasus
Indonesia, misalnya, banyak kalangan berpendapat, salah satu faktor yang
menyebabkan korupsi sulit diungkapkan karena adanya aturan hukum yang
tidak jelas, multiinterpretasi, dan memihak kepada pelaku korupsi.[14]

Faktor ekonomi sebagai penyebab terjadinya korupsi lebih mungkin


tumbuh subur di negara-negara yang pemerintahannya menciptakan bingkai
ekonomi monopoli. Kekuasaan negara, digabungkan dengan informasi orang
dalam, menciptakan kesempatan-kesempatan bagi para pegawai pemerintah
untuk mempertinggi kepentingan mereka sendiri atau kepentingan para
sekutunya. Serangkaian faktor tersebut berhubungan erat dengan dengan
faktor-faktor birokratik. Dalam suasana yang demikian kebijakan ekonomi
pemerintah dikembangkan, diimplementasikan, dan dimonitor dengan cara
yang tidak partisipatif, transparan, dan bertanggung jawab. Sementara itu,
faktor transnasional amat terkait dengan perkembanga lintas negara
peningkatan kasus-kasus korupsi. [15]

Berbeda dengan pandangan di atas, dalam studi komparasi


terhadap control of bureaucratic corruption di Hong Kong, India, dan
Indonesia L Palmer (1985) mengidentifikasi tiga faktor penting penyebab
terjadinya korupsi: opportunities (which depended on the extent of
involvement of civil servant in the administration), salariesand policing (the
probability of detection and punishment).[16] Namun, dari semua pendapat
yang ada, pendapat Robert Klitgaard termasuk yang paling sering digunakan
untuk menjelaskan penyebab terjadinya korupsi. Menurut Klitgaard, korupsi
(C) terjadi karena monopoli (M) ditambah dengan adanya diskresi oleh
pejabat yang berwenang (D). Di mana, monopoli dan diskresi dilakukan tanpa
akuntabilitas (A). Pandangan Klitgaard ini diformulasikan menjadi C = (M +
D) A.[17]
Ketiga

Pengalaman sebelum pemilihan langsung kepala daerah. Perubahan


paradigma hubungan pusat dan daerah merupakan sebuah keniscayaan
dalam melakukan reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dari
segi politik ketatanegaraan, perubahan paradigma itu mesti terjadi dari
pemerintahan yang bercorak highly centralized menjadi pola yang lebih
terdesentralisasi. Tujuannya, mencegah terulangnya praktik strong state and
weak society yang menutup ruang terhadap aspirasi masyarakat. Salah satu
strategi perubahan tersebut, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (UU No. 22/1999) memberikan kekuasaan politik yang
lebih besar kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
dengan memisahkan secara tegas posisi legislatif daerah (DPRD) dengan
eksekutif daerah (Kepala Daerah).

Di luar pemisahan itu, ada beberapa bukti yang dapat dikemukakan


bahwa UU 22/1999 memberikan kekuasaan lebih kepada DPRD yaitu berupa
kewenangan DPRD untuk menentukan kata-putus dalam proses pemilihan
kepala daerah. Perubahan yang terjadi, memberikan DPRD
posisi bargaining yang lebih dominan dalam menentukan pemimpin daerah.
Di samping itu, dalam menjalankan tugas dan kewajibannya kepala daerah
bertanggung jawab kepada DPRD. Ketentuan ini memberikan kesempatan
kepada DPRD untuk memberhentikan kepala kaerah di tengah masa jabatan.
Hal ini dapat terjadi kalau laporan pertanggungjawaban tahunan (annual
report) dan pertanggungjawaban untuk hal tertentu (seperti melakukan
tindak pidana) ditolak oleh DPRD.[18]

Pada awalnya, perubahan yang dibawa oleh UU No. 22/1999 terhadap


posisi DPRD diharapkan akan memberikan nilai positif dalam
penyelenggaraan otonomi daerah.Tetapi dalam praktik yang terjadi justru
sebaliknya, sebagian besar anggota DPRD kehilangan kepekaan dalam
menyahuti kepentingan publik yang lebih luas. Misalnya, mengemukanya isu
praktik politik uang (money politics) dalam hampir setiap pemilihan kepala
daerah, serta munculnya kekisruhan dalam pertanggungjawaban kepala
daerah.

Menarik apa yang ditulis oleh Andrinof A. Chaniago, anggota DPRD


yang seharusnya berperan mengontrol tindakan eksekutif justru berkembang
ke arah pemerasan negara oleh politisi. Para politisi lembaga legislatif daerah
cenderung menggunakan kesempatan untuk menekan eksekutif agar mau
melakukan penggerogotan keuangan negara lewat proses pengajuan
Rancangan Anggaran Pembangunan Daerah dan lewat mekanisme laporan
pertanggungjawaban Kepala Daerah.[19] Dalam hal ini patut pula disimak
laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), bahwa selama kurun waktu 2004
terdapat 432 kasus korupsi yang meliputi hampir di semua wilayah Indonesia
(lihat Tabel 1 dan 2). Dilihat dari sisi aktor, laporan ICW menunjukkan, 432
kasus korupsi yang terjadi pada 2004 menyeret mayoritas dua elit lokal di
daerah, yakni anggota DPRD (124 kasus) dan Kepala Daerah (83 kasus).

Tabel 1

Kasus Korupsi di Daerah

Sumber: Otonomi Daerah, Lahan Subur Korupsi, Laporan Akhir Tahun 2004 ICW

Tabel 2

Pelaku Tindak Pidana Korupsi


Sumber: Otonomi Daerah, Lahan Subur Korupsi, Laporan Akhir Tahun 2004 ICW

Keempat

Pengalaman ketika pemilihan langsung kepala daerah. Sebelum


pemilihan langsung kepala daerah memberi ruang kepada calon
perseorangan, sebagian partai politik benar-benar menikmati berkah
pemilihan langsung di daerah. Meski tidak ada pengakuan, jamak diketahui,
mayoritas calon harus mengucurkan dana kepada partai politik agar bisa
dicalonkan dalam pemilihan kepala daerah. Misalnya, dalam proses seleksi
pasangan calon gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta, (sebagian) partai politik
berubah menjadi mesin uang. Begitu proses pencalonan dibuka, partai politik
pun meraup uang bagi mereka yang berminat. Mirip dengan pukat harimau,
jumlah uang yang diraup juga sangat bervariasi, mulai dari ratusan juta
rupiah sampai dengan (tawaran) ratusan miliar rupiah.
Setidaknya, testimoni Slamet Kirbiyantoro yang mengaku memberikan
Rp 1,5 miliar kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan
Djasri Marin memberikan Rp 2 miliar kepada PDI-P dan Partai Persatuan
Pembangunan (http:// www. antikorupsi. org) cukup untuk menjelaskan
bagaimana partai politik (parpol) bekerja menjadi mesin uang. Jika ditambah
dengan keterangan yang pernah dilansir Faisal Basri dan Sarwono
Kusumaatmadja, mesin uang itu bekerja seperti pukat harimau. Dalam hal ini,
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku kecewa dengan adanya pensiunan
jenderal yang bakal dicalonkan sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta harus
menyetorkan sejumlah dana kepada partai politik (Kompas,
23/6/2007). Ibarat investasi, uang yang ditanamkan selama dalam proses
menjadi kepala daerah harus dikembalikan. Karena gaji seorang kepala
daerah tidak untuk mengembalikan uang yang ditanamkan selama proses
menjadi kepala daerah, penyimpangan (misalnya: korupsi) menjadi pilihan
sulit dielakkan.
Praktik serupa meluas, di samping tidak adanya ancaman terhadap
parpol, ancaman pidana bagi penyumbang dan penerima sumbangan dinilai
terlalu ringan. Penyumbang hanya diancam dengan pidana kurungan paling
lama dua bulan dan/ atau pidana denda paling banyak Rp 200 juta.
Sementara itu, pengurus parpol yang menerima sumbangan melebihi batas
maksimum diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan
dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta. Melihat jabatan politik
yang akan diraih dan posisi politik penerima, ancaman sanksi tersebut sulit
untuk menghentikan terjadinya praktik politik uang dalam proses seleksi
kepala daerah. Tambah lagi, formula sanksi dengan menggunakan rumusan
"dan/atau" memberi ruang kepada hakim untuk hanya menjatuhkan sanksi
denda semata, tanpa pidana penjara. Karenanya, kasus korupsi di daerah
masih marak (lihat gambar).
Gambar 1

Peta Korupsi Daerah versi Kompas

Sumber: Kompas, 21/07-2008

Kelima

Setelah terbukanya ruang bagi calon perseorangan untuk maju sebagai calon
kepala daerah, tidak otomatis akan menghilangkan praktik korupsi di daerah.
Paling tidak, tiga alasan berikut amat potensial memicu praktik korupsi di
daerah, yaitu: (1) dana jumlah besar yang diperlukan incumbent untuk maju
lagi sebagai calon kepala daerah periode berikutnya, (2) masih
bagi incumbent, besarnya dana yang diperlukan untuk kampanye (seperti
iklan) dengan alasan iklan program kerja, dan (3) ongkos politik bagi kepala
daerah yang minority government guna menjaga stabilitas dengan DPRD.

Lalu, apa yang harus dilakukan untuk mencegah praktik korupsi


sebagai dampak pelaksanaan otonomi daerah itu? Jawabnya: menutup
semua celah hukum yang memudahkan praktik politik uang (money politik)
dalam proses politik di daerah dan menghukum berat para pelaku korupsi!

Keenam

Sebelum menjelaskan sub topik di atas, terlebih dahulu harus dijelaskan


sikap dan posisi perguruan tinggi dalam mainstreaming isu korupsi selama
ini. Maksudnya, apakah sikap dan posisi perguruan tinggi selama ini
menegasikan agenda pemberantasan korupsi, atau justru sebaliknya yaitu
mengafirmasi praktik korupsi?[20]

Pertanyaan (yang bersifat otokritik) tersebut muncul karena beberapa


latar pemikiran. Pertama, dalam beberapa tahun terakhir, dari perguruan
tinggi (khususnya di fakultas hukum) sering munculnya saksi ahli yang
meringankan tersangka atau terdakwa korupsi. Kedua, sebagian kalangan
perguruan tinggi yang bersuara lantang di kampus, setelah berpindah ke
dunia lain sering terjebak dalam kasus korupsi berjamaah. Kasus yang
menimpa Komisi Pemilihan Umum cukup untuk menjelaskan kondisi tersebut.
[21] Karena kedua perkembangan itu, sering terjadi generalisasi bahwa
perguruan tinggi, baik dalam kapasitas kelembagaan maupun personal,
sudah menjadi bagian dari sitem yang korup dan karenanya sudah tidak
punya kredibilitas dan integritas moral untuk bersuara lantang melawan
korupsi.[22]

Ketiga, secara kelembagaan, perguruan tinggi (barangkali, dengan


pengecualian sebagian organisasi kemahasiswaan) belum menampilkan
sosok sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi.[23] Padahal, secara
individu, cukup banyak kalangan kampus (terutama staf pengajar dan
mahasiswa) yang terlibat secara langsung dalam agenda pemberantasan
korupsi. Keempat, sampai sejauh ini, perguruan tinggi masih belum terjamah
oleh isu-isu antikorupsi. Padahal, tidak ada jaminan bahwa perguruan tinggi
terbebas dari praktik korupsi.

Berdasarkan penjelasan di atas, peran apakah yang seharusnya


dilakukan oleh perguruan tinggi dalam agenda pemberantasan korupsi.
Dengan tetap berpegang pada doktrin Tri Dharma Perguruan Tinggi,
setidaknya ada tiga peran penting yang harus dimainkan oleh perguruan
tinggi.

Pertama, dalam segenap aktifitas (pendidikan, penelitian, dan


pengabdian) perguruan tinggi seharusnya memberikan ruang bagi
berkembangnya agenda pemberantasan korupsi. Agenda ini akan amat
terbantu kalau perguruan mampu memperbaiki kecenderungan yang
disebutkan di atas.

Kedua, menjadi agenda setter dalam narasi besar (grand narration)


pemberantasan korupsi. Kecenderungan selama ini, peran tersebut lebih
banyak dilakukan oleh kalangan di luar perguruan tinggi terutama lembaga
swadaya masyarakat (LSM).[24] Padahal, dalam pembaruan agenda
pemberantasan korupsi, sebagian LSM juga melibatkan tenaga dan pemikiran
dari perguruan tinggi. Oleh karenanya, perguruan tinggi harus mampu
melakukan peran sebagai comprehensive anticorruption legislation
reform[25]terutama memperbaharui aturan-aturan hukum yang tidak
membantu agenda pemberantasan korupsi.

Ketiga, berupaya melakukan peran ganda sekaligus. Pada salah satu


sisi, melakukan PRESSURE FROM WITH IN dalam bentuk building
capacity lembaga-lembaga yang terkait langsung dengan agenda
pemberantasan korupsi. Sementara di sisi lain, melakukan PRESSURE FROM
WITH OUT yaitu dengan melakukan pengawalan secara ketat terhadap
agenda pemberantasan korupsi.

Ketujuh

Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, perguruan tinggi amat


diharapkan menjadi ujung tombak pmberantasan korupsi. Kalau peran itu
dilakukan, meruyaknya praktik korupsi yang terjadi di daerah selama
beberapa tahun terakhir bisa diminimalisir.

[1] Jon ST Quah, (2003), Causes and Cosequences of Corruption in Southeast Asia: Analysis
of Indonesia, the Philippines and Tahiland, dalam Asian Journal of Public Administration,
Volume 25, No. 2.
[2] Romli Atmasasmita, (2004), Strategi dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca-
Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003, makalah disampaikan dalam Diskusi Panel
Menjelang Pengadilan Anti-Korupsi di Indonesia, diselenggarakan oleh British Council, 15-16
September, di Jakarta.
[3] Peter Eigen, Pengantar, dalam Jeremy Pope, (2003), Strategi Memberantas Korupsi: Elemen
Sistem Integritas Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
[4] Bandingkan dengan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[5] Masyarakat Transparansi Indonesia, (2005), Di Balik Palu Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
[6] Jon ST Quah, (2003), Singapores Anti-Corruption Strategy: Is this Form of Governance
Transferable to Others Asian Countries?, dalam John B Kidd dan Frank Jurgen
Richter, Corruption and Governance in Asia, Palgrave Macmillan.
Bandingkan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU No 31/1999). Pasal 2 UU No 31/1999 menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi
adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian.
[7] Indonesia Corrution Watch, (2000), Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi, Jakarta.
[8] George Junus Aditjondro, (2002), Membedah Kembar Siam Pengusaha Politik dan
Ekonomi Indonesia: Metodologi Investigasi Korupsi Sitemik bagi Aktivis dan Wartawan,
Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Jakarta.
[9] Ibid.
Uraian lebih jelas dan sistematis tentang ketiga lapis korupsi dapat dibaca dalam Rusdi
Tampo, (2005), Ayo Lawan Korupsi: Gerak dan Langkah membangun Semangat
Antikorupsi di Sulawesi Selatan, LBH P2I Makassar.
[10] Indonesia Corrution Watch, (2000), Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi, Jakarta.
[11] Dikutip dalam Saldi Isra, (2000), Ancaman Politik Uang dalam Pemilihan
Gubernur, Bukittinggi Pos, 10-16 Januari.
[12] Lebih jauh tentang isu ini dapat dibaca dalam Saldi Isra, (2004), Kampanye dengan Uang
Haram, Citra Budaya Indonesia, Padang.
[13] Saldi Isra, (2005), Pilkada Langsung: Catatan Kritis atas Beberapa Isu Krusial,
dalam Jurnal Politika, Vol. 1, No. 1, Jakarta.
[14] Saldi Isra, (2004), Getting rid of corruption in Indonesia: The future, dalan The Jakarta
Post, Edisi Khusus Akhir Tahun, 30 Desember, Jakarta.
[15] Indonesia Corrution Watch, (2000), Peran
[16] Jon ST Quah, (2003), Causes and
[17] Robert Kiltgaard, (1988), Controlling Corruption, University of California Press, Berkely.
[18] Saldi Isra, 2002, Potret Lembaga Perwakilan Rakyat, dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan,
Edisi 18, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta.
[19] Andrinof A. Chaniago, 2002, Rintangan-rintangan Demokratisasi di Indonesia, dalam
Maruto MD & Anwari MWK (Edit.), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan
peluang menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta.
[20] Pertanyaan (baca: gugatan) ini pernah saya sampaikan dalam Focused Group Discussion
Pertama persiapan Anti-Corruption Summit yang diselenggarakan di Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada pada 22 Juni 2005.
[21] Kedua poin ini adalah sebagian dari jawaban atas pertanyaan otokritik yang muncul dalam
even pada catatan kaki 24.
[22] Ibid.
[23] Dalam hal ini menarik membaca buku Ayo Lawan Korupsi (2005), dari 22 organisasi yang
bergerak membangun semangat antikorupsi di Sulawesi Selatan tidak satupun yang berasal dari
perguruan tinggi.
[24] Lebih jauh tentang hal ini baca Richard Halloway, (1999), NGOs Fighting
Corruption, Makalah disampaikan dalam 9th International Anti-Corruption Conference, Durban
South Africa, 10-15 Ocotober.
[25] Tentang hal ini baca Jon ST Quah, (2004), Best Practices for Curbing Corruption in
Asia, dalam The Governance Brief, Asian Development Bank.

Anda mungkin juga menyukai